Você está na página 1de 8

KESEHATAN MENURUT AL-

QUR'AN DAN HADIST


KESEHATAN MENURUT ALQURAN DAN HADIST

Konsep sehat dan kesehatan merupakan dua hal yang hampir sama tapi
berbeda. Konsep sehat menurut Parkins (1938) adalah suatu keadaan
seimbang yang dinamis antara bentuk dan fungsi tubuh dan berbagai faktor
yang berusaha mempengaruhinya. Sementara menurut White (1977), sehat
adalah suatu keadaan di mana seseorang pada waktu diperiksa tidak
mempunyai keluhan ataupun tidak terdapat tanda-tanda suatu penyakit dan
kelainan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun mengembangkan defenisi tentang
sehat. Pada sebuah publikasi WHO tahun 1957, konsep sehat didefenisikan
sebagai suatu keadaan dan kualitas dari organ tubuh yang berfungsi secara
wajar dengan segala faktor keturunan dan lingkungan yang dimiliki.
Sementara konsep WHO tahun 1974, menyebutkan Sehat adalah keadaan
sempurna dari fisik, mental, sosial, tidak hanya bebas dari penyakit atau
kelemahan. Sementara Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam musyawarah
Nasional Ulama tahun 1983 merumuskan kesehatan sebagai ketahanan
“jasmaniah, ruhaniyah dan sosial” yang dimiliki manusia sebagai karunia
Allah yang wajib disyukuri dengan mengamalkan tuntunan-Nya, dan
memelihara serta mengembangkannya.
Kesehatan dalam pandangan Islam
Islam menetapkan tujuan pokok kehadirannya untuk memelihara agama,
jiwa, akal, jasmani, harta, dan keturunan.
Setidaknya tiga dari yang disebut di atas berkaitan dengan kesehatan. Tidak
heran jika ditemukan bahwa Islam amat kaya dengan tuntunan kesehatan.
Paling tidak ada dua istilah literatur keagamaan yang digunakan untuk
menunjuk tentang pentingnya kesehatan dalam pandangan Islam.
1. Kesehatan, yang terambil dari kata sehat;
2. Afiat.
Keduanya dalam bahasa Indonesia, sering menjadi kata majemuk sehat afiat.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesra, kata “afiat” dipersamakan dengan
“sehat”. Afiat diartikan sehat dan kuat, sedangkan sehat (sendiri) antara lain
diartikan sebagai keadaan baik segenap badan serta bagian-bagiannya (bebas
dari sakit).
Istilah sehat dan afiat masing-masing digunakan untuk makna yang berbeda,
kendati diakui tidak jarang hanya disebut salah satunya (secara berdiri
sendiri), karena masing-masing kata tersebut dapat mewakili makna yang
dikandung oleh kata yang tidak disebut.
Pakar bahasa al-Quran dapat memahami dari ungkapan sehat wal-afiat bahwa
kata sehat berbeda dengan kata afiat, karena wa yang berarti “dan” adalah
kata penghubung yang sekaligus menunjukkan adanya perbedaan antara yang
disebut pertama (sehat) dan yang disebut kedua (afiat). Nah, atas dasar itu,
dipahami adanya perbedaan makna di antara keduanya.
Dalam literatur keagamaan, bahkan dalam hadis-hadis Nabi Saw. ditemukan
sekian banyak doa, yang mengandung permohonan afiat, di samping
permohonan memperoleh sehat.
Dalam kamus bahasa Arab, kata afiat diartikan sebagai “perlindungan Allah
untuk hamba-Nya dari segala macam bencana dan tipu daya”. Perlindungan
itu tentunya tidak dapat diperoleh secara sempurna kecuali bagi mereka yang
mengindahkan petunjuk-petunjuk-Nya. Maka kata afiat dapat diartikan
sebagai: “berfungsinya anggota tubuh manusia sesuai dengan tujuan
penciptaannya.”
Kalau sehat diartikan sebagai keadaan baik bagi segenap anggota badan, maka
agaknya dapat dikatakan bahwa mata yang sehat adalah mata yang dapat
melihat maupun membaca tanpa menggunakan kacamata. Tetapi, mata yang
afiat adalah yang dapat melihat dan membaca objek-objek yang bermanfaat
serta mengalihkan pandangan dari objek-objek yang terlarang, karena itulah
fungsi yang diharapkan dari penciptaan mata.
Sesuai dengan Sunnah Nabi umat Islam diajarkan untuk senantiasa
mensyukuri nikmat kesehatan yang diberikan oleh Allah SWT. Bahkan bisa
dikatakan Kesehatan adalah nikmat Allah SWT yang terbesar yang harus
diterima manusia dengan rasa syukur. Bentuk syukur terhadap nikmat Allah
karena telah diberi nikmat kesehatan adalah senantiasa menjaga kesehatan.
Firman Allah dalam Al Quran, “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu
memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan
menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku),
Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (Surah Ibrahim [14]:7).
Sebagai seorang Muslim, keyakinan atas kondisi sehat seseorang terkait takdir
pula. Meski sudah berperilaku sehat, apabila Allah mentakdirkan ia sakit
maka seseorang akan menderita kesakitan. Apabila seseorang ditakdirkan
oleh Allah untuk sehat maka sehatlah ia. Janji Allah SWT dalam Surah Asy
Syu’araa’ [26]: 78 – 82: “(Yaitu Tuhan) yang telah menciptakan Aku, Maka
Dialah yang menunjuki Aku. Dan Tuhanku, yang Dia memberi Makan dan
minum kepadaKu. Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan Aku.
Dan yang akan mematikan Aku, kemudian akan menghidupkan aku
(kembali). Dan yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada
hari kiamat”.
Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Jabir dari Nabi SAW bersabda: Setiap
penyakit pasti ada obatnya, apabila obatnya itu digunakan untuk
mengobatinya, maka dapat memperoleh kesembuhan atas
izin Allah SWT (HR. Muslim). Bahkan Allah SWT tidak akan menurunkan
penyakit kecuali juga menurunkan obatnya, sebagaimana hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA dari Nabi SAW bersabda: Allah SWT
tidak menurunkan sakit, kecuali juga menurunkan obatnya (HR Bukhari).
Makna kesehatan menunjukkan kebersihan dan kesucian dalam diri manusia,
baik jasmani maupun ruhani, lahir maupun batin, baik
tauhid rububiyah (insaniyah) maupun uluhiyah (ilahiyah) sejak dari awal
kehidupan hingga di hari kebangkitan. Istilah kesehatan jasmani dalam kajian
ini lebih difokuskan pada perilaku amal shalih dan bukan sekedar berorientasi
pada bentuk jasadiyah, badaniyah maupun harta kekakayaan, tetapi sekali
lagi bahwa kesehatan jasmani di sini lebih mengarah pada amal perbuatan
yang didasarkan pada nilai-nilai ruhaniyah uluhiyah maupun rububiyyah.
Kesehatan amaliyah inilah yang dapat bertahan hingga hari kebangkitan.
Sedangkan kesehatan jasadiyah, badaniyah maupun ekonomi dapat
dipahami sebagai raga, alat atau media yang dapat dimanfaatkan dalam
mencapai kebersihan amal dengan melalui pertimbangan
tauhid rububiyah maupun uluhiyah. Boleh jadi jasad, raga, alat dan media
tidak permanen, melainkan bisa bergeser, berubah dan rusak, demikian
pandangan Aswadi Syuhadak.
Kesehatan Fisik
Telah disinggung bahwa dalam tinjauan ilmu kesehatan dikenal berbagai jenis
kesehatan, yang diakui pula oleh pakar-pakar Islam antara lain kesehatan
jasmaniah, ruhaniah, dan sosial
Memang banyak sekali tuntunan agama yang merujuk kepada ketiga jenis
kesehatan itu. Dalam konteks kesehatan fisik, misalnya ditemukan sabda Nabi
Muhammad saw.:
ْ ‫ّللا عَبدْ ع‬
‫َن‬ َْ ْ‫سو ُْل قَا َْل قَا َْل العَاصْ بنْ عَمرو بن‬ َْ ‫صلَى‬
ُ ‫ّللا َر‬ َْ ْ‫علَيه‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ‫سلَ َْم‬ َْ ْ‫أَلَم‬
َ ‫ّللا عَب َْد يَا َو‬
ْ‫ار أَنَكَْ أُخبَر‬ ُ َ ‫سو َْل يَا بَلَى قُلتُْ اللَي َْل َوتَقُو ُْم ت‬
َْ ‫صو ُمالنَ َه‬ َْ ‫ل قَا َْل‬
ُ ‫ّللا َر‬ َْ َ‫صمْ تَفعَلْ ف‬ ُ ْ‫َونَمْ َوقُمْ َوأَفطر‬
َْ ‫سدكَْ فَإ‬
‫ن‬ َ ‫علَيكَْ ل َج‬
َ ‫ن َحقًّا‬ َْ ‫ن َحقًّا لعَين َكعَلَيكَْ َوإ‬َْ ‫علَيكَْ ل َزوجكَْ َوإ‬ َ ‫َحقًّا‬
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash dia berkata bahwa Rasulullah saw telah
bertanya (kepadaku): “Benarkah kamu selalu berpuasa di siang hari dan
dan selalu berjaga di malam hari?” Aku pun menjawab: “ya (benar) ya
Rasulullah.”Rasulullah saw pun lalu bersabda: “Jangan kau lakukan semua
itu. Berpuasalah dan berbukalah kamu, berjagalah dan tidurlah kamu,
sesungguhnya badanmu mempunyai hak atas dirimu, matamu mempunyai
hak atas dirimu, dan isterimu pun mempunyai hak atas dirimu.” (Hadis
Riwayat al-Bukhari dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash)
Demikian Nabi Saw. menegur beberapa sahabatnya yang bermaksud
melampaui batas dalam beribadah, sehingga kebutuhan jasmaniahnya
terabaikan dan kesehatannya terganggu. Pembicaraan literatur keagamaan
tentang kesehatan fisik, dimulai dengan meletakkan prinsip: “Pencegahan
lebih baik daripada pengobatan.”
Salah satu sifat manusia yang secara tegas dicintai Allah adalah orang yang
menjaga kebersihan. Kebersihan dikaitkan dengan tobat (taubah) seperti
firman Allah:

َْ‫سا َْء فَاعتَزلُوا أَذًى ُه َْو قُلْ ال َمحيضْ عَنْ َويَسأَلُونَك‬ َ ‫ن َو َْل ال َمحيضْ في الن‬ َْ ‫يَْ َحتَى تَق َربُو ُه‬
َْ ‫ن فَإذَا ط ُهر‬
‫ن‬ َْ ‫ث مْنْ ت َ َط َهرنَفَأتُو ُه‬ َ
ُْ ‫ّللاُ أ َم َر ُك ُْم َحي‬
َْ ‫ن‬ َْ ‫ّللاَ إ‬ َْ ‫ال ُمت َ َطهْ َويُحبْ الت َ َواب‬
َْ ْ‫ين يُحب‬
َْ ‫ر‬
‫ين‬
"Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah
kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di
waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.
Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri." (QS al-
Baqarah [2]: 222)
Tobat menghasilkan kesehatan mental, sedangkan kebersihan lahiriah
menghasilkan kesehatan fisik. Wahyu kedua (atau ketiga) yang diterima Nabi
Muhammad Saw. adalah:

َْ‫(فَ َطهرْ َوثيَابَك‬4) ‫(فَاه ُجرْ َوالرج َْز‬5)


"Dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala)
tinggalkanlah." (QS al-Muddatstsir [74]: 4-5).
Perintah tersebut berbarengan dengan perintah menyampaikan ajaran agama
dan membesarkan nama Allah Swt. Terdapat hadis yang amat populer tentang
kebersihan yang berbunyi:

ُ‫ن النَ َظافَ ْة‬


َْ ‫اإلي َمانْ م‬
"Kebersihan adalah bagian dari iman."
Hadis ini dinilai oleh sebagian ulama sebagai hadis dha’if. Kendati begitu,
terdapat sekian banyak hadis lain yang mendukung makna tersebut, seperti
sabda Nabi Saw.:
ْ ‫سو ُْل قَا َْل قَا َْل ُه َري َر ْةَ أَبي ع‬
‫َن‬ َْ ‫صلَى‬
ُ ‫ّللا َر‬ َْ ْ‫علَيه‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ‫سلَ َْم‬ َْ ُ‫سبع‬
َ ‫ون بضعْ اإلي َمانُْ َو‬ َ ‫بضعْ أَوْ َو‬
َ ‫ّللاُ إ َْل إلَ ْهَ َْل قَو ُْل شُعبَةًفَأَف‬
َْ ‫ضلُ َها َوست‬
‫ون‬ َْ ‫منْ شُعبَةْ َوال َحيَا ُْء ال َطريقْ عَنْ اْلَذَى إ َما َط ْةُ َوأَدنَا َها‬
ْ‫اإلي َمان‬
"Iman, terdiri dan tujuh puluh atau enam puluh cabang, puncaknya adalah
ucapan “Tiada Tuhan selain Allah, dan yang terendah adalah
menyingkirkan gangguan dan jalan, dan malu itu adalah sebagian dari
iman” (Hadis Riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah).
Perintah menutup hidangan, mencuci tangan sebelum makan, bersikat gigi,
larangan bernafas sambil minum, tidak kencing atau buang air di tempat yang
tidak mengalir atau di bawah pohon, adalah contoh-contoh praktis dari sekian
banyak tuntunan Islam dalam konteks menjaga kesehatan. Bahkan sebelum
dunia mengenal ‘karantina’, Nabi Muhammad Saw. telah menetapkan dalam
salah satu sabdanya,
َ ْ‫ل بأَرضْ بال َطاعُون‬
‫سمعتُمْ إذَا‬ َْ َ‫ل ب َها َوأَنتُمْ بأَرضْ َوقَ َْع َوإذَا تَد ُخلُو َها ف‬
َْ َ‫من َها تَخ ُر ُجوا ف‬
"Apabila kalian mendengar adanya wabah di suatu daerah, janganlah
mengunjungi daerah itu, tetapi apabila kalian berada di daerah itu,
janganlah meninggalkannya." (Hadis Riwayat al-Bukhari dari Usamah bin
Zaid)
Ditemukan juga peringatan bahwa perut merupakan sumber utama penyakit:
Al-Mâ’idât Bait Addâ’. Dan karena itu, ditemukan banyak sekali tuntutan —
baik dari al-Quran maupun hadis Nabi Saw. — yang berkaitan dengan
makanan, jenis maupun kadarnya. Al-Quran juga mengingatkan:
‫ين يُحبْ َْل إنَ ْهُ تُسرفُوا َو َْل َواش َربُوا َو ُكلُوا َمسجدْ كُلْ عن َْد زينَتَكُمْ ُخذُوا َءا َد َْم يَابَني‬
َْ ‫ال ُمسرف‬
"Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)
mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan."
(QS al-A’râf [7]: 31)
Penjabaran peringatan itu dijelaskan oleh Rasulullah Saw. dengan sabdanya:

ْ ‫ب َمعدي بنْ مقدَامْ ع‬


‫َن‬ َْ ‫سمعتُْ قَا َْل كَر‬َ ‫سو َْل‬ َْ ‫صلَى‬
ُ ‫ّللا َر‬ َْ ْ‫علَيه‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ‫سلَ َْم‬َ ‫لَ َما يَقُو ُْل َو‬
َْ ‫آدَميْ َم‬
‫ن أُك َُلتْ آ َد َْم ابنْ بَطنب َحسبْ منْ ش ًَّرا وعَا ًْء‬ ُ ْ‫َان فَإن‬
َْ ‫صلبَ ْهُ يُقم‬ َ
َْ ‫َوثُلُثْ ل َطعَامهْ فَثُلُثْ َم َحالَ ْة َْل ك‬
ْ‫لنَفَسهْ َوثُلُثْ لش ََرابه‬
Dari Miqdam bin Ma’di Kariba, dia berkata bahwa dia pernah mendengar
Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada sesuatu yang dipenuhkan oleh putra
putri Adam lebih buruk daripada perut. Cukuplah bagi putra Adam
beberapa suap yang dapat menegakkan tubuhnya. Kalaupun harus
dipenuhkan, maka sepertiga untuk makanannya, seperti lagi untuk
minumannya, dan sepertiga sisanya untuk pernafasannya. (Hadis Riwayat
at-Tirmidzi).
Perlu pula digarisbawahi bahwa sebagian pakar, baik agamawan maupun
ilmuwan, berpendapat bahwa jenis makanan dapat mempengaruhi mental
manusia. Al-Harali (wafat 1232 M.) menyimpulkan hal tersebut setelah
membaca firman Allah yang mengharamkan makanan dan minuman tertentu
karena makanan dan minuman tersebut rijs.

‫ي َما في أَج ُْد َْل قُ ْل‬


َْ ‫ي أُوح‬ َْ ‫أَوْ َمسفُو ًحا َد ًما أَوْ َميت َ ْةً يَك‬
َ ْ‫ُون أَنْ إ َْل يَطعَ ُم ْهُ َطاعم‬
َْ َ‫علَى ُم َح َر ًما إل‬
‫ّللا لغَيرْ أُه َْل فسقًا أَوْ فَإنَ ُهرجسْ خنزيرْ لَح َْم‬ َْ ْ‫ط َْر فَ َمنْ به‬
ُ ‫غي َْر اض‬ َ ْ‫ن عَادْ َو َْل بَاغ‬ َْ ‫غفُورْ َربَكَْ فَإ‬
َ
ْ‫َرحيم‬
"Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang
mengalir atau daging babi — karena sesungguhnya semua itu kotor — atau
binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam
keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (QS al-An’âm [6]: 145).
Kata rijs diartikan sebagai keburukan budi pekerti atau kebobrokan mental.
Pendapat serupa dikemukakan antara lain oleh seorang ulama kontemporer
Syaikh Taqi Falsafi dalam bukunya Child Between Heredity and Education,
yang mengutip pendapat Alexis Carrel dalam bukunya Man the Unknown.
Carrel, peraih hadiah Nobel bidang kedokteran ini, menulis bahwa pengaruh
campuran kimiawi yang dikandung oleh makanan terhadap aktivitas jiwa dan
pikiran manusia belum diketahui secara sempurna, karena belum diadakan
eksperimen dalam waktu yang memadai. Namun tidak dapat diragukan
bahwa perasaan manusia dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas makanan.
Para ulama sering mengaitkan penyakit dengan siksa Allah. Dalam hal ini, al-
Biqa’i dalam tafsirnya mengenai surah al-Fatihah, mengemukakan sabda Nabi
Saw.:
ْ‫ض‬
ُ ‫ط ال َم َر‬ َ ْ‫ب اْلَرضْ فى للا‬
ُْ ‫سو‬ ُْ ‫للاُ يُؤَد‬
ْ ْ‫عبَا َد ُْه به‬
"Penyakit adalah cambuk Tuhan di bumi ini, dengannya Dia (Allah)
mendidik hamba-hamba-Nya."
Pendapat ini didukung oleh kandungan pengertian takwa yang pada dasarnya
berarti menghindar dari siksa Allah di dunia dan di akhirat. Siksa Allah di
dunia, adalah akibat pelanggaran terhadap hukum-hukum alam. Hukum alam
antara lain membuktikan bahwa makanan yang kotor mengakibatkan
penyakit. Seorang yang makan makanan kotor pada hakikatnya melanggar
perintah Tuhan, sehingga penyakit merupakan siksa-Nya di dunia yang harus
dihindari oleh orang yang bertakwa.
Dari sini dapat dimengerti bahwa Islam memerintahkan agar berobat pada
saat ditimpa penyakit.
َْ ‫ّللاَ فَإ‬
َ ‫ن تَد‬
‫َاووا‬ َْ ‫ضعْ لَمْ َو َج َْل ع ََْز‬ َ ْ‫ال َه َر ُْم َواحدْ دَاء‬
َ ‫غي َْر د ََوا ًْء لَ ْهُ َو‬
َ َ‫ض َْع إ َْل دَا ًْء ي‬
"Berobatlah, karena tiada satu penyakit yang diturunkan Allah, kecuali
diturunkan pula obat penangkalnya, selain dari satu penyakit, yaitu
ketuaan." (Hadis Riwayat Abu Dawud dan at-Tirmidzi dari — sahabat Nabi —
Usamah bin Syuraik).
Bahkan seandainya tidak ada perintah rinci dari hadis tentang keharusan
berobat, maka prinsip- prinsip pokok yang diangkat dari al-Quran dan Hadis
cukup untuk dijadikan dasar dalam upaya kesehatan dan pengobatan.
Namun dalam ajaran Islam juga ditekankan bahwa obat dan upaya hanyalah
“sebab”, sedangkan penyebab sesungguhnya di balik sebab atau upaya itu
adalah Allah Swt., seperti ucapan Nabi Ibrahim a.s. yang diabadikan al-Quran:

‫يَشفينْ فَ ُه َْو َمرضتُْ َوإذَا‬


"Apabila aku sakit, Dia (Allah) lah yang menyembuhkanku." (QS al-Syu’arâ’
[26]: 80)
Pola hidup Bersih dan Sehat
Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut
mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-
baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.
Q.S. al-Isrâ'/17: 70.
Di antara faktor yang mengantarkan kita menjadi manusia mulia adalah
kemampuan mendapatkan al-thayyibât (hal-hal yang baik-baik). Al-
Thayyibât mengandung makna halal, bersih dan sehat. Dalam al-Quran kata-
kata al-thayyibât sering digunakan untuk menunjuk pada makanan (Q.S. al-
Mâidah/5: 4-5, al-Mu'minûn/23: 51) dan rizki pada umumnya baik yang
bersifat material, intelektual, maupun spiritual (Q.S. al-Anfâl/8: 26,
Yûnus/10: 93, al-Nahl/16: 72). Kita akan menjadi mulia kalau mampu
memadukan secara imbang pola hidup bersih dan sehat baik secara
intelektual, spiritual, maupun material. Rasulullah SW bersabda:
Sesungguhnya Allah Ta’ala adalah baik dan mencintai kebaikan, bersih dan
mencintai kebersihan, mulia dan mencintai kemuliaan, dermawan dan
mencintai kedermawanan, maka bersihkanlah halaman rumahmu dan
janganlah kamu menyerupai orang Yahudi.” (H.R. al-Tirmidzi.)
Diantara pola hidup bersih dan sehat itu adalah
1. Positif thinking
2. Sucikan hati
3. Bersihkan harta dan lingkungan
Majlis Tarjih Muhammadiyah dan Rokok
Muhammadiyah telah mengeluarkan larangan merokok bagi warganya.
Apakah alasan utama dikeluarkanya fatwa haram merokok?
Wajib hukumnya mengupayakan pemeliharaan dan peningkatan derajat
kesehatan masyarakat setinggi-tingginya dan menciptakan lingkungan yang
kondusif bagi terwujudnya suatu kondisi hidup sehat yang merupakan hak
setiap orang dan merupakan bagian dari tujuan syariah (maqâshid asy-
syarî’ah).
Apa dalil yang melandasi diambilnya keputusan bahwa Merokok
hukumnya adalah haram?
 Merokok termasuk kategori perbuatan melakukan khabâ’its yang
dilarang dalam QS. 7: 157.
 Perbuatan merokok mengandung unsur menjatuhkan diri ke dalam
kebinasaan dan bahkan merupakan perbuatan bunuh diri secara perlahan
sehingga itu bertentangan dengan larangan Alquran dalam QS. 2: 195 dan 4:
29,
 Perbuatan merokok membahayakan diri dan orang lain yang terkena
paparan asap rokok sebab rokok adalah zat adiktif plus mengandung 4000 zat
kimia, 69 di antaranya adalah karsinogenik/pencetus kanker (Fact Sheet
TCSC-AKMI, Fakta Tembakau di Indonesia) sebagaimana telah disepakati
oleh para ahli medis dan para akademisi kesehatan. Oleh karena itu merokok
bertentangan dengan prinsip syariah dalam hadis Nabi saw. bahwa “tidak ada
perbuatan membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain.”
 Rokok diakui sebagai zat adiktif dan mengandung unsur racun yang
membahayakan walaupun tidak seketika melainkan dalam beberapa waktu
kemudian sehingga oleh karena itu perbuatan merokok termasuk kategori
melakukan sesuatu yang melemahkan sehingga bertentangan dengan hadis
Nabi saw yang melarang setiap perkara yang memabukkan dan melemahkan.
 Oleh karena merokok jelas membahayakan kesehatan bagi perokok dan
orang sekitar yang terkena paparan asap rokok, maka pembelanjaan uang
untuk rokok berarti melakukan perbuatan mubazir (pemborosan) yang
dilarang dalam QS. 17: 26-27.
 Merokok bertentangan dengan unsur-unsur tujuan syariah (maqâshid
asy-syarî’ah) yaitu (1) perlindungan agama (hifzh ad-dîn), (2) perlindungan
jiwa/raga (hifzh an-nafs) lih. No.11, (3) perlindungan akal (hifzh al-aql) lih.
No. 12 & 13, (4) perlindungan keluarga (hifzh an-nasl) lih. No. 12 & 13, dan (5)
perlindungan harta (hifzh al-mâl).
Bagaimana hukum fatwa ini bagi bukan perokok?
Mereka yang belum atau tidak merokok wajib menghindarkan diri dan
keluarganya dari percobaan merokok sesuai dengan QS. 66:6 yang
menyatakan, “Wahai orang-orang beriman hindarkanlah dirimu dan
keluargamu dari api neraka.”
Sumber :
1. Jawaban Muhammadiyah tentang seputar haram merokok, diakses dari
http://ejajufri.wordpress.com/2010/03/14/jawaban-majelis-tarjih-
muhammadiyah-seputar-fatwa-haram-merokok/
2. Pola Hidup Bersih dan Sehat, diakses dari
http://tabligh.muhammadiyah.or.id/berita-91-detail-pola-hidup-bersih-dan-
sehat.html
3. M. Quraish Shihab dalam buku Wawasan al-Quraan 2.
4. Kesehatan dalam prespektif Al Quran dan hadist, diakses
dari http://pamanabu.blogspot.com/2010/07/kesehatan-dalam-perspektif-al-
quran- dan.hadist
5. Konsep Sehat prespektif Islam, diakses
dari http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2010/09/20/konsep-sehat-
perspektif-islam/

Você também pode gostar