Você está na página 1de 24

YANTRA DAN MANTRA WAYANG KULIT SUDDHAMALA DALAM UPACARA

MAMUKUR

Oleh : I Made Gde Chandra Narayama *)

ABSTRACK

Shadow puppets is one of the art form that is still preserved and developed by his
successors. Balinese shadow puppets in the played in any religion can not be separated from
the influence of religious, that can be divided into three, namely: wali puppet, bebali puppets
and balih-balihan puppet. Of the three types of puppets, shadow play is a kind of puppet of
Suddhamala guardians who just performed at the ceremony Pitra Yadnya and Manusa
Yadnya.
Shadow puppets of Suddhamala are sacred puppets ceremony staged at Pitra Yadnya
especially Mamukur ceremony. In the shadow puppet performances Suddhamala, yantra and
mantra role is very important. Yantra and mantra Suddhamala shadow puppet is a means or
media used by the puppeteers to visualization and transformation all forms of expression,
messages, wishes, and so forth motion so that all the desired objectives can be realized.
Yantra in Suddhamala shadow puppets can take the form of puppet and offerings presented at
the time of staging. Mantra can be chanted Suddhamala shadow puppets by puppeteers while
before staging, staging is complete, and when the request holy water (tirtha). Thus, yantra
and mantra shadow puppets of Suddhamala in the Mamukur ceremony is an integral and
complemented so that the purpose of the ceremony can be achieved.

Key words: Yantra, Mantra, Suddhamala shadow puppets, Mamukur ceremony

I. PENDAHULUAN segala persoalan yang dihadapinya


(Soetrisno, 2008: 3-4). Wayang kulit
Wayang kulit merupakan karya merupakan salah satu seni pertunjukan yang
budaya genius bangsa Indonesia yang telah masih lestari dan terus dikembangkan seperti
dikenal sejak abad X, dan kini masih di Jawa dan Bali. Demikian pula kesenian
mempunyai posisi dan fungsi yang sangat didalamnya mengandung unsur-unsur seni,
penting dalam kehidupan manusia. Wayang budaya, dan agama. Di samping itu, kesenian
pada awalnya merupakan budaya lisan yang wayang adalah salah satu hasil kreatifitas
bermutu seni sangat tinggi. Daya tahan dan budaya yang ditetapkan oleh UNESCO
perkembangan wayang telah teruji dalam (United Nation Educational Scientific
menghadapi tantangan zaman, oleh karena Cultural Organisation) sebagai warisan
wayang berakar dalam masyarakat. Wayang budaya dunia pada tanggal 7 November
tidak hanya sekedar tontonan atau hiburan 2003. Penetapan itu tercantum pada piagam
melainkan berisi nasehat (pitutur) yang yang bernama “A Masterpiece of the Oral
penuh dengan keteladanan. Pementasan and Intangible Heritage of Humanity”
wayang menggambarkan wewayangane (Soetrisno, 2008:1)
ngaurip, karena merupakan bayangan atau
simbol kehidupan manusia dari lahir sampai *) I Made Gde Chandra Narayama, S.Ag.,
M.Fil.H., Alumni Program Studi Brahma Widya,
mati. Wayang sebagai bayangan dalam
PPs. IHDN Denpasar, sebagai staf
kehidupan manusia karena wayang pengajar/Dosen Tidak Tetap pada Fakultas
menggambarkan kehidupan manusia dengan Brahma Widya, IHDN Denpasar

1
Pertunjukan wayang di Bali telah Dalam praktek dan realisasi ajaran
dikenal masyarakat, yaitu pada pemerintahan agama hindu diterapkan sebuah konsep yang
raja Ugrasena. Hal ini dapat dilihat pada disebut dengan Panca Yajña. Panca Yajña
sebuah prasasti yang dikeluarkan oleh Raja merupakan lima jenis pengorbanan yang
Ugrasena yang sekarang disimpan di Desa tulus ikhlas tanpa pamerih yang diwujudkan
Bebetin Kabupaten Buleleng. Prasasti dalam bentuk upacara (aktifitas ritual) yang
tersebut menyebutkan tentang adanya terdiri dari: Dewa Yajña yaitu korban suci
kelompok kesenian yaitu pemukul (penabuh yang tulus ikhlas kehadapan Tuhan Yang
gambelan), pegending (penyanyi), Maha Esa (Sang Hyang Widhi) dan beserta
pebunjing, papadaha (pemukul kendang), manifestasi-Nya. Pitra Yajña yaitu suatu
pabangsi (pengesek rebab), partapuk (penari upacara untuk pemujaan kepada roh leluhur
topeng) dan parbwayang (pertunjukan yang telah disucikan melalui upacara Ngaben
wayang). Pada saat itu pertunjukan wayang dan Mamukur dengan hati yang tulus.
sangat digemari oleh masyarakat pada Manusa Yajña adalah korban suci tulus
pemerintahan raja Ugrasena (Sukaderi, 2008: ikhlas yang ditujukan pada umat manusia
2-3). Pertunjukan wayang dilihat dari fungsi dengan tujuan untuk keselamatan dan
dan peranannya dalam masyarakat kesejahteraan bersama. Rsi Yajña.yaitu
mengalami perubahan jika dibandingkan korban suci yang tulus ikhlas yang
pada zaman-zaman dahulu. Hal ini dipersembahkan kepada Rsi, Pandita,
tergantung dari kebutuhan, tuntutan, pola Pinandita dengan tujuan untuk kesejahteraan
pikir, perkembangan ilmu pengetahuan dan baik lahir maupun batin. Bhuta Yajña adalah
teknologi sehingga pementasan wayang kulit korban suci kepada makhluk-makhluk
dapat dilihat seperti sekarang ini. bawahan baik yang kelihatan maupun tidak
kelihatan untuk memelihara kesejahteraan
Tumbuh dan berkembangnya dan ketentraman alam semesta (Wiadnyana,
kesenian wayang di Bali seiring dengan 2007:4). Pada umumnya dalam pelaksanaan
perkembangan agama Hindu di Indonesia upacara yajña khususnya upacara Mamukur
(Wiadnyana, 2007: 3). Wayang dipentaskan wayang kulit yang disebut
didayagunakan sebagai alat atau sarana dengan Wayang Lemah atau Wayang Kulit
untuk menyampaikan pesan-pesan atau Suddhamala.
ajaran-ajaran yang termuat dalam kitab suci
Veda khususnya dalam kitab Itihasa yaitu: Wayang kulit Bali dilihat dari
Mahabharata dan Ramayana. Dalam fungsinya sebagai pendukung ritual
pementasannya, wayang juga tidak terlepas keagamaan dapat digolongkan menjadi dua
dari kreasi sang dalang yakni melakukan macam, yakni: (1) pertunjukan babali, yakni
inovasi atau perubahan-perubahan baik dari pertunjukan wayang kulit untuk menyertai
segi pementasannya maupun dari segi cerita pelaksanaan upacara keagamaan seperti
dengan tidak mengurangi makna yang upacara Dewa Yadnya, Pitra Yadnya,
termuat dalam sumber aslinya (Veda). Kitab Manusa Yadnya, dan Bhuta Yadnya. (2)
suci Veda merupakan sumber ajaran agama pertunjukan balih-balihan, yaitu pertunjukan
Hindu yang dalam ajarannya berlandaskan wayang untuk hiburan yang menekankan
pada tiga kerangka dasar yaitu: Tattwa pada nilai-nilai artistik dan didaktis
(filsafat), Susila (etika) dan Acara (ritual). (Wicaksana, 2000: 133). Pada pementasan
Ketiga unsur tersebut dilaksanakan secara wayang tidak terlepas dari upacara
utuh untuk memperdalam rasa bhakti kepada keagamaan. Dari berbagai jenis wayang
Sang Hyang Widhi, juga menjaga rasa kulit, wayang Lemah/Gedog, wayang Sapuh
persatuan untuk meningkatkan keimanan Leger dan wayang Suddhamala merupakan
lahir batin. wayang yang dipentaskan dalam upacara
keagamaan sebagai pelengkap suatu upacara
yang dikenal dengan wayang wali.

2
Seiring dengan perkembangan zaman dalam Wayang Kulit Suddhamala dalam
yang semakin pesat dan maju, maka Upacara Mamukur sehingga dalam
diberbagai segi kehidupan mengalami pementasannya hanya mengutamakan isi
imbasnya. Seperti halnya dalam seni cerita atau lakon yang dibawakan serta berisi
pertunjukan wayang kulit sudah mengalami humor atau lelucon.
perubahan yang besar dan signifikan. Hal ini
dapat diketahui dari semaraknya masyarakat II. PEMBAHASAN
(penonton) yang senang menikmati
2.1 Yantra dan Mantra Wayang Kulit
pertunjukan wayang kulit modern, sehingga
Suddhamala Dalam Upacara Mamukur
peran dan fungsi wayang kulit yang bersifat
wali dan tadisi sudah mulai tidak digemari Dalam kamus Sanskerta, kata yantra
lagi sebagai sebuah pementasan yang memiliki arti mengikat, menyimpulkan,
memiliki tujuan sebagai persembahan atau sebuah peralatan, instrumen, mesin, dan
yajña serta sebagai pedoman hidup dalam sebuah jimat (Surada, 2007:257). Yantra
menjalani kehidupan. Begitu juga halnya umumnya berarti alat untuk melaksanakan
dengan pementasan Wayang Kulit sesuatu guna mencapai tujuan. Di dalam
Suddhamala yang mana wayang yang pemujaan, yantra adalah sarana tempat
dikategorikan sebagai wayang wali ini sangat memusatkan pikiran. Yantra merupakan
disakralkan oleh umat Hindu. aspek dalam dari bentuk penciptaan. Sifat
dasar dari manusia dan binatang, seperti
Pertunjukan Wayang Kulit
halnya para dewata yang diekspresikan
Suddhamala biasanya dipentaskan ketika ada
melalui yantra. Yantra adalah garis-garis
upacara agama seperti Manusa Yajña dan
lurus, lengkung yang dipadukan yang
Pitra Yajña. Pertunjukan wayang kulit ini
merupakan basis dari energi alam semesta
diyakini oleh umat Hindu dapat
yang merupakan perwujudan dewata (Titib,
membersihkan serta menyucikan diri secara
2003:469-470). Selain itu, yantra adalah
sekala-niskala bagi orang yang
suatu lukisan geometri dari tipe tertentu yang
melaksanakan upacara tersebut. Menurut
mempunyai makna serta mempunyai bentuk
Hooykaas (dalam Yudabakti dan Watra,
yang berbeda-beda sehingga pada masing-
2007 : 113-114) mengatakan bahwa ada
masing bentuk memiliki struktur dan
beberapa orang yang patut diruwat dengan
komposisi dari suatu dewa tertentu (Tim
Wayang Suddhamala, serta berbagai mantra
Penyusun, 1987:6). Yantra merupakan hal
atau sakralisasi yang bertujuan agar orang
yang sangat penting bagi seseorang dalam
yang meninggal tidak menderita di alam
hal melakukan pemujaan serta persembahan
akhirat. Adapun orang-orang yang perlu
kehadapan Tuhan. Yantra dilihat dari
diruwat dengan Wayang Suddhamala, yakni:
struktur memiliki bentuk yang beragam serta
orang mati atau ketika hidupnya mengalami
disusun sesuai dengan si penggunanya.
sakit ila (sakit lepra, gila dan sebagainya),
orang yang mati salah pati dan ulah pati, dan Hal senada dijelaskan pula dalam
orang mati mengandung (ngadut manik). kamus Jawa Kuno oleh L. Mardiwarsito
(dalam Wiana 2004:189), kata yantra
Di sisi lain, jika dicermati lebih
dinyatakan berasal dari bahasa Sanskerta
mendalam, pertunjukan Wayang Kulit
yang artinya sarana untuk memuja Dewa,
Suddhamala sampai saat ini masih
sedangkan dalam kamus Sanskerta-
dipentaskan di beberarapa daerah di Bali
Indonesia, kata yantra diartikan harta
seperti di Kecamatan Sukawati Kabupaten
kekayaan, bantuan, alat perlengkapan dan
Gianyar. Di sisi lain pertunjukan Wayang
lain-lain. Yantra merupakan kebutuhan dasar
Kulit Suddhamala sarat dengan makna dan
untuk menggambarkan semua simbol-
fungsi yang cukup signifikan. Selain itu,
simbol, semua wujud suci, altar, pura dan
banyak Dalang yang kurang memahami
mudra. Yantra dipergunakan dalam upacara
bagaimana wujud-wujud yantra dan mantra

3
pemujaan, devata dihadirkan dengan Mantra disusun dengan menggunakan
menggambar melalui yantra dan memanggil aksara-aksara tertentu yang diatur
nama yang gaib. Yantra dapat diekspresikan sedemikian rupa sehingga menghasilkan
ke dalam aspek internal dari setiap bentuk suatu bentuk bunyi, sedangkan huruf-huruf
ciptaan. Sifat alami manusia dan binatang- itu sebagai perlambang dari bunyi tersebut.
binatang, seperti halnya dewa-dewa dapat Mantra mempunyai getaran atau suara
diekspresikan melalui yantra (Titib, tersendiri sehingga untuk menghasilkan
2003:469). Yantra dapat berbentuk diagram, pengaruh yang dikehendaki mantra harus
dilukis atau dipahatkan di atas logam, kertas disuarakan dengan cara yang tepat, sesuai
atau benda-benda lain dan disucikan seperti dengan “svara” atau ritme, dan warna atau
menyucikan pratima, kemudian dilakukan bunyi. Apabila mantra tersebut
pemujaan melalui sarana yantra tersebut, diterjemahkan ke dalam bahasa lain, mantra
seperti pemujaan melalui pratima, arca itu tidak memiliki warna yang sama,
(patung), dan sebagainya. Mantra yang sehingga terjemahannya hanya sekedar
berbeda digunakan untuk melakukan kalimat (Avalon dalam Titib, 2003:439).
pemujaan yang berbeda, demikian pula
halnya dengan penggunaan yantra-yantra. Mantra merupakan sebuah pola
Menurut Ensiklopedi Hindu, yantra gabungan kata-kata bahasa Veda yang
merupakan simbol seperti banten atau alat- diidentikkan dengan dewa atau dewi tertentu.
alat upacara (Tim Penyusun, 2011:619). Mantra digunakan dalam sadhana Tantra
Yantra adalah segala bentuk dan wujud atau berbagai ritual, diucapkan atau diulang-
sarana, alat atau instrumen yang ulang dalam berbagai kombinasi dan konteks
dipergunakan oleh seorang dalang dalam yang kemudian membuat pola vibrasi
pementasan Wayang Kulit Suddhamala. tertentu. Mantra-mantra yang ada sekarang
Selain itu, yantra lebih banyak adalah warisan dari para maharsi, orang suci,
mengejawantah ke dalam berbagai lambang- sadhu dan yogi yang telah mempraktekkan
lambang atau simbol beserta peralatan, berbagai mantra selama ribuan tahun
sarana dan prasarana ritual bersangkutan. (Chawdhri, 2003:97). Dalam pengucapan
mantra, ada ha-hal yang perlu dicermati
Mantra berasal dari bahasa Sanskrta seperti: susunan kata-kata, ritme/intonasi
dari kata “Man” artinya pikiran dan “Tra” serta pengucapan yang tepat yang diikuti
artinya menyeberangkan. Dengan demikian dengan suasana lingkungan yang baik
mantra adalah media untuk menyeberangkan sehingga akan menciptakan suatu kesucian.
pikiran dari yang tidak suci atau tidak benar Jadi mantra adalah sebuah kata-kata atau
menjadi semakin suci dan semakin benar kalimat suci yang bersumber dari kitab suci
(Wiana, 2004:184). Mantra memiliki tujuan Veda khususnya dalam teks Dharma
untuk melindungi pikiran dari jalan yang Pewayangan yang diucapkan oleh sang
sesat menuju jalan yang benar dan suci. dalang pada saat pementasan Wayang Kulit
Menurut Danielou (dalam Titib 2003:437) Suddhamala dalam Upacara Mamukur.
bahasa yang benar yang merupakan ucapan
suci yang digunakan dalam pemujaan disebut Wayang Kulit Suddhamala terdiri
dengan mantra. Kata mantra berarti “bentuk atas dua kata yaitu wayang kulit dan
pikiran”, sehingga seseorang yang mampu Suddhamala. Kata wayang berarti
memahami makna yang terkandung di dalam “bayangan”. Berbicara bayangan mesti harus
mantra dapat merealisasikan apa yang ada sumber cahaya. Sumber cahaya yang
digambarkan di dalam mantra tersebut. dimaksud adalah Tuhan. Wayang adalah
menceritakan kembali alam semesta ini
Mantra adalah kumpulan dari pada sebagai bayangan dari yang menciptakan-
kata-kata yang mempunyai arti mistik, serta Nya, dengan berbagai interpretasi dan
umumnya berasal dari bahasa Sanskerta dan kemampuan intelek dari yang
dinamai Bijaksara (Tim Penyusun, 1987:6). menceritakannya (Yudabakti dan Watra,

4
2007: 93-92). Menurut Watra (2006: 4) Hindu berarti kotor, noda, cacat, dosa (Tim
wayang adalah bayangan akibat dari adanya penyusun,2002: 60). Demikian juga kata
sinar antara gelap dan terang (rwa bhineda). Mala berarti kotoran, dosa (Surada,2009:
Pengertian wayang selanjutnya dinyatakan 250). Wayang Kulit Suddhamala merupakan
sebagai orang yang terbuat dari pahatan kulit salah satu jenis seni pewayangan yang
atau kayu dan lain sebagainya yang dapat bersifat wali atau sakral ritual dan religius
dimanfaatkan untuk menerangkan tokoh yang selalu dipentaskan serangkaian upacara
dalam pertunjukan drama tradisional yang Pitra Yajña khususnya dalam upacara
dimainkan oleh seseorang yang disebut Mamukur.
dalang yang bersumber dari cerita Ramayana Dari segi penggunaan sarana
dan Mahabharata. Selain itu, sesuai dengan (aparatus), pertunjukan wayang kulit
perjalanan waktu pengertian wayang menjadi mempunyai dua bentuk, yaitu pertunjukan
berkembang bukan hanya berarti bayangan, wayang yang menggunakan layar (kelir)
tetapi juga dapat berarti pertunjukan yang dikenal dengan wayang peteng dan
panggung atau teater dan juga berarti pemain pertunjukan wayang yang tidak memakai
(Semadi, 2006:21). Menurut Sugriwa (1963 : layar (kelir) yang disebut dengan wayang
16) menjelaskan tentang wayang kulit adalah lemah (Semadi, 2006:22). Pertunjukan dalam
suatu pertunjukan wayang yang di buat dari Wayang Kulit Suddhamala biasanya
kulit sapi yang dipahat serta merupakan dipentaskan pada malam hari maupun pada
bentuk khayalan dari dewa-dewa, raksasa, siang hari disesuaikan dengan situasi dan
binatang, pohon-pohon dan lain-lain. Hal kondisi upacara yang diselenggarakan.
senada juga diungkap oleh Rudita (2011 : Sarana pertunjukan Wayang Kulit
22) wayang kulit adalah suatu aktifitas Suddhamala ketika dipentaskan pada malam
pertunjukan dramatik dengan memainkan hari menggunakan kelir/kain putih seperti
wayang yang terbuat dari kulit sapi atau pagelaran wayang pada umumnya,
kerbau sebagai media ungkap. Sedangkan sedangkan pada siang hari tidak
kata Suddhamala terdiri dari kata sudha yang menggunakan kelir tetapi diganti dengan
artinya bersih atau suci dan mala yang benang tukelan (seutas benang putih tenunan
artinya kotor atau leteh. Dengan demikian Bali) yang direntangkan di antara dua
Suddhamala berarti upacara pembersihan cabang/batang dapdap (kayu yang khusus
kekotoran secara niskala pada diri manusia dipakai pada pertunjukan wayang lemah,
atau atma orang yang sudah meninggal yang diberi nama Kayu Sakti) yang
(Yudabakti dan Watra, 2007: 103). dipancangkan di sisi kanan dan kiri dari sisi
Dalam Kamus Jawa Kuna depan arena pementasan.
menjelaskan kata Śuddha berarti bersih, suci, Jadi pengertian Wayang Kulit
murni, tak tercela, tak ternoda Suddhamala adalah pementasan wayang
(Mardiwasito,1985: 569-570). Kata Sudha Suddhamala yang berfungsi untuk
artinya suci (Punyatmadja,1993: 83). membersihkan segala kekotoran secara
Demikian juga dalam Kamus Istilah Agama niskala pada diri manusia baik dalam masa
Hindu kata Suddha berarti bersih, murni, hidup maupun pada waktu meninggal dengan
terang, cerah, putih (Tim Penyusun,2002: tujuan untuk menyucikan diri baik sekala
110). Dalam Kamus Bahasa Bali di jelaskan maupun niskala.
bahwa kata Suddhamala berarti menjauhkan Upacara dalam agama Hindu
kekotoran atau menghilangkan kekotoran memiliki ruang lingkup serta dimensi yang
(Sutjaja,2003: 123 dan 230). Dalam Kamus luas. Oleh karena itu upacara tidak hanya
Sanskerta Śuddha berarti bersih, suci mengandung dimensi religius tetapi aspek
cemerlang (Surada,2009: 287). Sedangkan sosial dan budaya turut mendukung serta
kata mala artinya kotor, noda, cemar mempengaruhinya. Kata upacara berasal dari
kejahatan, cacat (Mardiwasito,1985: 337). kata Upa dan Cara. Upa berarti dekat atau
Kata Mala dalam Kamus Istilah Agama mendekat dan “Cara” berasal dari urat kata

5
“Car” yang memiliki arti harmonis, Panca Tan Matra) serta dapat mencapai
seimbang, dan selaras. Jadi upacara memiliki alam Svarga atau Svargaloka dan bahkan
arti serta makna keseimbangan, mencapai Moksa (Tim Penyusun, 2011:275).
keharmonisan, dan keselarasan dalam diri
kita (Wiadnyana, 2007:24). Upacara Di Bali ada beberapa istilah yang
merupakan suatu usaha atau jalan untuk mempunyai pengertian yang hampir sama
mendekatkan diri dengan Tuhan beserta dengan Mamukur, yaitu: Nyekah, Ngeroras,
manifestasi-Nya sehingga keharmonisan, dan Maligya. Namun istilah yang umum
keselarasan, dan keseimbangan dapat digunakan dalam proses penyucian pada
tercapai. Hal ini juga diungkapkan oleh tingkat Atma atau roh adalah Mamukur dan
Wiana (2004:49) bahwa kata upacara berasal Maligya. istilah Mamukur dan Maligya
dari bahasa Sanskerta artinya mendekatkan. sudah lazim dipergunakan untuk menyatakan
Dengan demikian mendekat dalam upacara suatu jenis upacara yang bertujuan untuk
agama Hindu didasarkan pada yajña yakni menyucikan Atma sehingga dapat mencapai
korban suci tulus ikhlas. Oleh karena itu moksa atau bersatu dengan Tuhan.
upacara yajña merupakan usaha manusia
2.2 Bentuk Yantra Wayang Kulit
dalam beryajña untuk mendekatkan diri pada
Suddhamala Dalam Upacara Mamukur
alam lingkungan, sesama manusia, dan yang
paling utama adalah mendekatkan diri pada Dalam Kamus Bahasa Indonesia
Tuhan (Wiana, 2004: 49). disebutkan bahwa bentuk adalah kata benda
Upacara Mamukur merupakan suatu yang mengandung pengertian sebuah
istilah yang dipergunakan dalam kaitannya bangunan yang dapat memberikan gambaran
dengan Upacara Pitra Yajña, khususnya wujud atau rupa dari sesuatu (Suharto, 2002 :
dalam proses penyucian roh tahap kedua 135). Ducasse dalam bukunya The
setelah melaksanakan upacara Ngeben. Kata Philosophy of Art (1929) membedakan karya
Mamukur berasal dari kata “bukur”. Kata seni dari segi bentuk dan isi. Menurutnya
“bukur” akronim dari kata “bu/bhu” artinya dari segi bentuk terdiri dari unsur-unsur
alam, dan kata “ur” berasal dari kata abstrak dari suatu karya seni yaitu berbagai
“urdhah” artinya atas. Kata “bukur” artinya garis, warna, nada, hubungan-hubungannya
alam atas. Kata Mamukur artinya menuju menurut waktu, ruang atau sebab akibat,
alam atas atau swah loka yang juga disebut sedangkan dari segi isi terdiri dari unsur-
Swarga. Upacara Mamukur adalah upacara unsur dramatiknya dari suatu karya seni
Pitra Yajña yang dilakukan setelah upacara yakni penggambaran (pokok soal) berupa
Ngaben untuk meningkatkan kesucian arwah orang-orang atau kejadian-kejadian. Baik
menjadi dewa pitara sehingga dapat berada bentuk maupun isi memiliki ciri emosional
di alam dewa atau swah loka. Dewa pitara yang jelas (Gie, 2004 : 33-32).
yang penuh kesucian memberikan bimbingan Menurut Ahmad dalam bukunya
serta perlindungan kepada seluruh Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (2006 :
keturunannya, sehingga dewa pitara juga 112) mengatakan bahwa bentuk mengandung
diberi sebutan bhatara kawitan yang dipuja pengertian : bangun, wujud dan rupa.
pada palinggih Kamulan atau Kawitan Djelantik (dalam Rudita, 2011 : 72-73)
(Purwita, 1992:4-5). Dalam Ensiklopedi menguraikan tentang struktur dalam karya
Hindu upacara Mamukur bertujuan untuk seni atau kesenian adalah aspek yang
menyucikan suksma sarira atau badan halus menyangkut keseluruhan dari karya dan
seseorang agar kembali ke unsur-unsur meliputi juga peranan dari masing-masing
Panca Tan Matra, yakni unsur yang lebih bagian dalam keseluruhan. Kata struktur
halus dari unsur-unsur Panca Maha Bhuta mengandung pengertian suatu
dan diharapkan Atma atau roh seseorang pengorganisasian, pengaturan, ada hubungan
yang diupacarakan tidak terikat dengan yang tertentu antara bagian-bagian dari
unsur-unsur materi (Panca Maha Bhuta dan keseluruhan itu. Dalam struktur karya seni

6
ada tiga unsur mendasar yang berperan yaitu: kehidupan untuk mencapai kesadaran Tuhan.
1) Unity (keutuhan); mempunyai tiga segi Selain itu, jika yantra terdiri dari berbagai
yaitu keutuhan dalam keanekaragaman, gambar dan tulisan, maka mantra dan tantra
keutuhan dalam tujuan atau maksud, dan secara internal saling berhubungan karena
keutuhan dalam perpaduan atau kontras, 2) keduanya diekspresikan dengan media
Dominance (penonjolan) yaitu mengarahkan yantra (Chawdhri, 2003 : 3). Secara umum
perhatian pada orang yang menikmati suatu yantra adalah sebuah gambar khusus yang
karya seni ke suatu hal tertentu yang digurat pada lempengan logam, baja,
dipandang lebih penting dari pada hal-hal tembaga, perak atau emas dan kulit. Bahan
yang lain dalam karya seni itu, dan 3) yang digunakan biasanya adalah bahan yang
Balance (keseimbangan); rasa keseimbangan bersifat tahan lama sehingga ketika
dalam karya seni paling mudah tercapai dilakukan puja, yang menggunakan akan
dengan simetri. terlindungi dari berbagai kekuatan yang
berlawanan dengannya. Dalam sastra
Dengan menggunakan teori Estetika disebutkan bahwa yantra adalah
dari Djelantik tentang unsur-unsur kesenian pengetahuan yang dapat digunakan dalam
yang terdiri dari tiga aspek, yaitu: wujud atau mengendalikan lima elemen alam serta
rupa, bobot atau isi, dan penampilan atau dengan mengulang-ulang mantra.
penyajian, maka mengenai bentuk yantra Lebih jauh, Chawdhri membedakan
dan mantra Wayang Kulit Suddhamala dalam pembagian serta jenis-jenis yantra
dalam Upacara Mamukur dapat di lihat dari: disesuaikan dengan puja yantra menjadi lima
1) Pengertian dan jenis-jenis yantra, 2) jenis yaitu: 1) Bhu Pristha Yantra : yantra
Yantra dalam Wayang Kulit Suddhamala, 3) ini terbuat dari berbagai jenis bahan yang
Yantra dalam bentuk upakara. dapat dibedakan menjadi yantra yang dibuat
timbul dengan diikuti oleh puja mantra, bija
2.2.1 Jenis-Jenis Yantra Dalam Wayang
mantra dan yantra yang hanya ditulis saja. 2)
Kulit
Meru Pristha Yantra adalah yantra yang
Nyasa yang banyak dipergunakan terbuat seperti pegunungan karena dasarnya
dalam agama Hindu adalah simbol dengan yang besar, mengecil hingga ke puncak. 3)
garis-garis tertentu yang disebut dengan Patala Yantra adalah yantra-yantra yang
“yantra” atau “rekha”. Perpaduan warna dan berbentuk seperti gunung terbalik
kembang, gambar-gambar tertentu dan area berlawanan dengan Meru Yantra dan yantra
yang wujud bentuknya kadang-kadang ini diukir. 4) Meru Parastar Yantra adalah
fantasi. Semuanya merupakan “sakala yantra yang di potong. 5) Ruram Pristha
sarira” (badan kasar). Huruf adalah badan Yantra adalah yantra yang berbentuk segi
kasar yang dapat pula dipakai sebagai nyasa. empat yang pada dasar dan puncaknya
Bentuk badan lainnya yang juga merupakan berbentuk kura-kura di puncaknya (2003 :
simbol adalah suara. Suara-suara ini dapat 11-12).
berbentuk mantra, stotra, lagu dan lain-lain Yantra merupakan alat atau
(Puja, 2007 : 28). Yantra adalah alat atau instrumen yang digunakan oleh seseorang
simbol-simbol keagamaan yang diyakini ketika melakukan suatu pemujaan
mempunyai kekuatan spiritual untuk memberikan pengaruh yang sangat
meningkatkan kesucian (Tim Penyusun, signifikan. Hal ini dapat diketahui dari
2009 : 17). beberapa umat Hindu yang menggunakan
Umat Hindu dalam mengekpresikan yantra dalam melakukan pemujaan atau
rasa bhaktinya pada Tuhan dapat dilihat dari persembahyangan yaitu: menggunakan
penggunaan simbol-simbol keagamaan. simbol-simbol atau sarana
Simbol-simbol tersebut merupakan alat atau persembahyangan. Begitu juga halnya dalam
instrumen yang diyakini memiliki kekuatan pertunjukan Wayang Kulit Suddhamala,
yang sangat efektif dalam menjalani dalang merupakan pelaku utama sekaligus

7
narator atau sutradara yang mengolah serta dalang dan wayang beserta perangkatnya
mengatur jalannya pertunjukan. Dalam adalah kesemuanya juga merupakan simbol-
pertunjukan wayang kulit, sang dalang tidak simbol yantra. Dengan demikian seni
dapat lepas dari alat bantu untuk pertunjukan Wayang Kulit Suddhamala tidak
menyampaikan visi atau pesan yang ingin hanya semata-mata menggunakan upacara
disampaikan kepada orang lain (penonton). sebagai simbol yantra, kalau dikaji lebih
Alat bantu tersebut adalah wayang kulit, dalam penuh dengan makna ketuhanan,
dimana wayang kulit dalam hal ini simbol dunia, dan simbol isi alam semesta
(konteksnya) merupakan yantra bagi sang ini. Mengkhusus dalam pertunjukan Wayang
dalang dalam melakukan pertunjukan. Bagi Kulit Suddhamala, dalang adalah simbol
sang dalang, pertunjukan wayang kulit tidak Tuhan, kelir sebagai simbol dunia,
hanya sebatas pertunjukan semata (hiburan), Pamurtian Ludra Murti dan Wisnu Murti
namun merupakan sebuah persembahan serta yang ditancapkan pada awal pertunjukan, di
pemujaan kepada Beliau (Tuhan). kanan dan kiri dalang ditancapkan di atas
Persembahan atau pemujaan dalam bentuk batang pisang (gedebong) sebagai awal
pertunjukan wayang kulit bagi sang dalang penciptaan alam semesta disimbolkan
merupakan tugas dan kewajiban dengan wayang tersebut di atas, juga
(dharmaning sang dalang) dalam termasuk kategori yantra yaitu berupa
menyebarkan pesan-pesan yang termuat simbol penciptaan alam semesta. Kemudian
dalam kitab suci Veda yang di kemas dengan dilanjutkan dengan kayonan sebagai simbol
cerita-cerita yang dekat dengan kehidupan macrocosmos wujud yantra tampak di atas
masyarakat secara umum. Oleh karena itu, kelir merupakan sebagai awal dan akhir
yantra dalam bentuk wayang kulit daripada pertunjukan wayang kulit
disesuaikan dengan jenis wayang. Jenis-jenis Suddhamala di Kecamatan Sukawati. Tokoh
wayang kulit dapat dikategorikan seperti, wayang yang muncul dalam cerita
Wayang Parwa,Wayang Ramayana, Wayang pertunjukan wayang kulit Suddhamala yang
Tantri, Wayang Babad dan lain sebagainya. utama sebagai simbol yantra yang memiliki
Oleh karena itu, jenis-jenis yantra dalam esensi yang utama adalah tokoh Acintya,
wayang kulit dapat berupa tokoh dewa/ Siwa dan Tualen sebagai wujud yantra
bhatara, raksasa, manusia, binatang, dalam bentuk wayang sebagai simbol
tumbuhan dan sebagainya. Sanghyang Tri Semaya yang juga disebut
Siwa, Sada Siwa, dan Parama Siwa
2.2.2 Yantra Wayang Kulit Suddhamala (Wawancara dengan I Wayan Tunjung
Pertunjukan Wayang Kulit tanggal 30 Mei 2012).
Suddhamala mempunyai makna yang sangat Lebih lanjut, penggunaan Acintya,
kompleks. Di samping itu, penggunaan Siwa dan Tualen dalam pertunjukan wayang
yantra merupakan sarana yang utama juga di kulit Suddhamala, khususnya dalam proses
samping pertunjukan wayang kulit. Adapun memohon tirtha Suddhamala terkait dengan
yantra yang lazim di masyarakat Sukawati fungsi ketiga tokoh tersebut dalam meruwat,
disimbolikkan dengan upacara-upakara yang membersihkan serta menyucikan diri baik
merupakan sarana vital dalam media secara lahir maupun secara rohani. Lebih
permohonan Tirtha Suddhamala dalam jauh, dalam Dharma Pewayangan di
Upacara Mamukur khususnya di Kecamatan jelaskan bahwa dalang adalah simbol bumi,
Sukawati. Makna yantra dalam pertunjukan simbol butha, simbol dewa yang bertugas
Wayang Kulit Suddhamala tidak hanya menjalankan ajaran Siwa, Sada Siwa,
semata-mata disimbolkan dengan proses Parama Siwa dan Sang Hyang Acintya
upacara-upakara yang lengkap dengan sebagai Sang Hyang Tunggal. Dengan
sangku, karowista, uang kepeng (jinah demikian, peran dalang dan kewenangannya
bolong) dan jumlah bunga lima sampai penting bagi kehidupan masyarakat, yaitu
sebelas macam jenis bunga, melainkan berhak menyebarkan cerita dan makna

8
aksara dan mengucapkan japa mantra, sesuai tri bhuana sangkania ana sor luhur,
dengan teks berikut: madia utama, pati berate, sabda
“Sang Amengku Dalang mawak bayu, ideping ala. Wenang pwa sira
gumi, mawak bhuta, mawak dewa, Sanghyang Catur Lokapala,
dalang ngarania waneh, karana umideraken satsatnira Sanghyang
dadi Siwa, karana dadi Kawicarita, sira ta ngaran dadi
Paramasiwa, karana dadi Sadasiwa, dalang-dalang. Sangkanya ana
karana dadi Sang Hyang Acintya, dalang patpat: yuwaktinia, Brahma,
mapan Sang Hyang Acintya Wisnu, Iswara, Mahadewa yan ring
panunggalaning bhuana kabeh, bhuana agung, Iswara akasa,
wenang umilihaken lungguhnia. Mahadewa sitidrani, Sanghyang
Wenang sira uncarakena carita, Wisnu rupaning bhuana, Brahma
wenang uncarakena kataning tejaning bhuana, sangkania dadi
aksara, wenang uncarakena japa urip, dadi pati, dadi sabda, dadi
muang mantra. Samangkana ngaran bayu”.
dalang” (DP-1)
Terjemahan:
Terjemahan: Ini adalah ilmu tentang Dharma
“Orang yang berprofesi sebagai Pewayangan, yang wajib diterapkan
dalang merupakan simbol bumi, dalam alam kecil dan alam besar.
simbol bhuta/makhluk halus, simbol Bagi yang mau dan senang dengan
dewa yang berhak menjalankantugas- keputusan melaksanakan tugas
tugas Hyang Siwa, Sadasiwa, pewayangan, agar tidak dikutuk oleh
Paramasiwa, sebagai Sang Hyang Sanghyang Catur Lokapala, karena
Acintya, karena Acintya simbol akan membicarakan kesucian tattwa,
panunggalaning bumi semua, dapat tahu dengan yang jauh dan yang
menentukan kedudukannya, berhal dekat, tahu dengan bilangan yang ada
menyebarluaskan cerita, berhak dalam badan dan yang ada di tiga
mengucapkan Veda atau mantra. dunia, oleh karena itu ada bawah ada
Demikianlah seorang dalang” atas, menengah utama, taat dan
(Nardayana, 2009 : 43) patuh, suara tenaga, pikiran jelek,
sehingga pantaslah Sanghyang
Dalang dalam melaksanakan tugas Lokapala mengelilingi dan
dan kewajibannya, tidak boleh menyimpang menempatkan Sangh Kawicarita,
dari ketentuan yang sudah tertulis dalam dialah namanya menjadi dalang-
Dharma Pewayangan , jika para dalang dalang. Oleh karena itu, sebenarnya
berperilaku menyimpang dari ajaran-ajaran ada empat dalang yaitu: Brahma,
atau kewajiban yang telah digariskan, maka Wisnu, Iswara dan Mahadewa. Kalau
mereka akan dikutuk oleh Sang Hyang di dunia Iswara sama dengan
Catur Loka Pala seperti yang termuat dalam angkasa, mahadewa sama dengan
teks Dharma Pewayangan (DP-2) berikut ini: tanah, Sanghyang Wisnu merupakan
“Iti aji dharma Pawayangan, nga wajah/warna dunia, sedangkan
wenang sumuliha ring ganal alit, Brahma sinarnya dunia, makanya
mwah ring bhuana agung. Yan sira menjadi hidup, menjadi mati,
mahyun sudi ring putusaning menjadi suara dan jadi tenaga.
ngawayang, palania tan langgana ri
jengira Sanghyang Catur Lokapala. Dengan mengetahui ketentuan,
Apan sira umindahaken suci nirmala panduan dan aturan yang telah tersurat dalam
tatwa, weruh ri adoh aparek, ring Dharma Pewayangan seperti tersebut di atas,
satwa adnyana, terus malunga ring yang merupakan kewajiban yang harus di

9
taati dan dilaksanakan oleh seorang dalang, merupakan bentuk materi daripada upakara.
maka mereka yang disebut sebagai dalang Upakara adalah segala sesuatu yang
sejatinya memangku tugas yang berat. berhubungan dengan perbuatan, pekerjaan,
Dikatakan memangku tugas yang cukup tangan.
berat, karena dengan kondisi yang sekarang Menurut Wiana (2001 : 1)
(globalisasi) sudah tentu tantangan dan menyatakan bahwa banten dalam agama
hambatan sangat kompleks dan menuntut Hindu merupakan bahasa agama. Banten
sebuah kesadaran untuk mampu memahami dalam lontar Yajna Prakerti memiliki tiga
serta melaksanakan apa yang mesti arti sebagai simbol ritual yang sakral. Dalam
dilakukan oleh seorang dalang. lontar tersebut banten disebutkan :
Sahananing bebanten pinaka raganta tuwi,
2.2.3 Yantra Dalam Bentuk Upakara pinaka warna rupaning Ida Battara, pinaka
(Banten) Anda Bhuvana. Banten sebagai Raganta
Banten Artinya kurban, sesaji kepada Tuwi, artinya simbol dirimu atau simbol diri
Dewa, leluhur, roh (Kersten,1970:177). kita, Pinaka Warna Rupaning Ida Battara
Banten sesungguhnya berasal dari kata artinya simbol kemahakuasaan Tuhan dan
“Bangten” dan terdiri dari dua suku kata Pinaka Anda Bhuvana, artinya simbol alam
yaitu “Bang” dan “enten” (bahasa Bali). semesta (Bhuvana Agung).
Suku kata Bang diartikan sebagai Brahma Banten juga diartikan sebagai wali.
dan kata Brahma berubah menjadi Brahman Kata wali berarti wakil. Banten merupakan
(Sang Hyang Widhi). Sedangkan “enten” suatu sarana yang dipakai sebagai wakil
bisa diartikan “ingat” atau dibuat sadar untuk berhubungan dengan yang dipuja atau
(cetana). Jadi Banten mengandung yang dimuliakan. Selain itu pula kata wali
pengertian bahwa umat Hindu membuat berarti kembali. Dalam pengertian ini,
Banten untuk mendidik dirinya supaya selalu banten dimaksudkan kembali
ingat dengan keberadaan Sang Hyang Widhi dipersembahkan, yang pada mulanya semua
karena beliau adalah pencipta segala dunia sarana banten berasal atau bersumber dari
ini (Sudarsana, 2000:13). Dalam Lontar ciptaan Sang Hyang Widhi. Sarana untuk
„Tegesing Sarwa Banten” dinyatakan : upakara dipilih dan diatur oleh manusia,
Banten mapiteges pakahyunan, nga ; kemudian dipersembahkan kembali dalam
pakahyunan sane jangkep galang. suatu upakara yang berbentuk banten.
Terjemahan Maksud dari persembahan ini adalah untuk
Banten itu adalah buah pemikiran mewujudkan keseimbangan antara sang
artinya pemikiran yang lengkap dan Pencipta dengan ciptaannya karena Tuhan
bersih (Arwati, 2005:8). menciptakan alam semesta lengkap dengan
isinya, dengan manusia sebagai makhluk
Bila dicermati secara mendalam ciptaan-Nya yang paling banyak menerima
banten merupakan wujud dari pikiran yang dan menikmati segala anugerah-Nya.
didasari dengan hati yang tulus dan suci. Banten adalah persembahan suci
Dalam mewujudkan simbol, pertama diawali yang dibuat dengan sarana tertentu antara
dengan pemikiran yang bersih dan suci. lain berupa: bunga, buah, daun tertentu
Bentuk Banten mempunyai makna dan nilai seperti sirih dan makanan seperti nasi dengan
yang tinggi mengandung simbolis filosofis lauk pauk, jajan dan sebagainya, di samping
yang mendalam serta adanya unsur sarana yang sangat penting lainnya adalah air
kebudayaan yaitu susunan dalam bentuk dan api (Titib, 2003 : 134). Banten adalah
karya seni dan keindahan. Banten segala sesuatu yang berbentuk materi yang
dipergunakan sebagai sarana untuk dirangkai sedemikian rupa yang
menyampaikan rasa cinta, bhakti, dan kasih mengandung nilai filosofis dan estetika yang
kehadapan sang Pencipta. Menurut Surayin tinggi untuk dipersembahkan dan dihaturkan
(2002 : 4-5) “Banten atau bebanten” kehadapan Sang Hyang Widhi. Upakara

10
(banten) pertunjukan Wayang Suddhamala lain, 2) Upamasu japa adalah melaksanakan
disimbolkan dengan pejati gede (serba 4) japa dalam hati secara teratur, berulang-
yang merupakan implementasi dari empat ulang, mulut bergerak namun tidak terdengar
penjuru dunia (Catur Dewata) yang di suara sama sekali, 3) Manasika japa adalah
stanakan dalam pertunjukan sebagai Tuhan melaksanakan mantra dalam hati, mulut
yang utama dalam prosesi panglukatan tertutup rapat, teratur, berulang-ulang, penuh
Suddhamala. Adapun banten atau upakara konsentrasi, tidak mengeluarkan suara sama
adalah sebagai berikut: peras, lis, penyeneng, sekali, dan 4) Likhita japa adalah
daksina gede (serba 4) yang isinya beras 4 melaksanakan japa dengan menulis
kg, kelapa 4 butir, telur itik 4 butir, ketipat berulang-ulang mantra japa di aatas kertas
kelanan (6 ketupat), uang kepeng cina 11, atau kitab suci secara teratur, berulang-ulang
benang atukel dan segehan 3 tanding. Sarana dan khusuk. Mantra dilihat dari kualitas atau
dan prasarana yang mendukung upacara sifat dapat dbigai menjadi tiga yakni :
yaitu: sangku sebagai tempat tirtha sattwika mantra, rajasika mantra, dan
Suddhamala, air sebagai sarana tirtha satu tamasika mantra. Sattwika mantra adalah
sangku, bunga lima sampai sebelas jenis, mantra yang diucapkan dengan tujuan
canang 3 tanding sebagai sarana mohon pencerahan, sinar, kebijaksanaan, kasih
panugrahan pada Sanghyang Prajapati sayang atau cinta kasih Tuhan tertinggi dan
(Wawancara dengan Dalang I Wayang Lalar perwujudan Tuhan. Rajasika mantra adalah
dari Tabanan tanggal 21 Juni 2012). mantra yang diucapkan untuk kemakmuran
duniawi serta kesejahteraan hidup,
2.3. Jenis-Jenis Mantra Wayang Kulit sedangkan tamasika mantra adalah mantra
Suddhamala yang diucapkan guna mendamaikan roh-roh
Kata mantra berasal dari bahasa jahat (menetralisir) dan untuk menyerang
Sanskerta yang terdiri dari dua kata, yaitu orang lain atau perbuatan kejam lainnya
man dan tra. Man yang mengandung (Titib dalam Rudita, 2011 : 96-97).
pengertian manah (hati nurani) dan tra yaitu Mantra disusun dengan
trayati yang berarti menyampaikan. Dengan menggunakan aksara-aksara tertentu, diatur
demikian mantra adalah suara yang sedemikian rupa sehingga menghasilkan
disampaikan dari hati nurani kehadapan suatu bentuk bunyi, sedang huruf-huruf itu
Tuhan atau dewa-dewi, agar beliau tersentuh sebagai perlambang-perlambang dari bunyi
dan tertarik oleh suara hati nurani itu tersebut. Untuk menghasilkan pengaruh yang
(Rudita, 2011 : 95). Menurut Wiana (2004 : dikehendaki, mantra harus disuarakan
62) mantra berasal dari kata “man” artinya dengan cara yang tepat, sesuai dengan svara
pikiran, dan “yantra” artinya alat. Jadi atau ritme, dan warna atau bunyi. Mantra
mantra adalah alat dari pikiran atau alat mempunyai getaran atau suara tersendiri,
untuk melindungi pikiran. Dilihat dari karena itu apabila diterjemahkan ke dalam
sumbernya, mantra dapat dibedakan menjadi bahasa lain, mantra tersebut tidak memiliki
tiga, yaitu : 1) Weda Mantra adalah doa warna yang sama, sehingga terjemahannya
pujaan yang diambil dari kitab Sruti, 2) hanya sekedar kalimat (Titib, 2003 : 439).
Tantrik Mantra adalah doa pujaan yang Dalam mantra terdapat dua istilah yang
diambil dari kitab-kitab Tantrayana, dan 3) sering dipergunakan oleh umat Hindu yaitu:
Puranik Mantra adalah doa pujaan yang biji mantra dan bījāksara. Biji mantra
diambil dari sumber Purana. merupakan mantra yang terdiri dari satu
Dipandang dari segi pengucapan, huruf suara atau dua huruf yaitu huruf mati
mantra dapat diklasifikasikan menjadi empat dengan huruf hidup, atau lebih dari dua huruf
yakni : 1) Waikaram japa adalah tetapi terdiri dari satu suku kata dan kadang-
melaksanakan japa dengan mengucapkan kadang terdiri dari dua atau tiga suku kata,
mantra japa berulang-ulang, teratur dan sedangkan bījāksara adalah huruf-huruf asal
ucapan mantra tersebut terdengar oleh orang

11
yang membentuk mantra yang mempunyai “Ong ang ung mang ong sarwa reka
pengertian sendiri (Puja, 2007 : 39). mur prama saktiam, nirmala suddha ya
Berkaitan dengan pendapat di atas, nama, ong ang ung yang siwa lingga
dalam pertunjukan wayang kulit Suddhamala pramasidiam sarwa klesa winasanam
peranan mantra sangat penting dan utama. sarwa wigraha winasanam, ong ang ah
Dengan mantra dalang dapat ya ong Siwa guru maha sidiam,
menghubungkan diri dengan yang dipuja pramanam, sarwa ala maka geseng,
(dewaning ringgit). Selain itu, dalang suddha mala nirwighna, ya namah, ong
mengucapkan mantra dengan tujuan dan sri sri sri, jagat padumeng bioh, namah,
harapan yang terbaik baik bagi yang diruwat ong yang mretestra, suddha ya namah,
maupun bagi seluruh lingkungan siti ya ang” (dalam Nardayana, 2009 :
disekitarnya serta memperoleh anugerah dari 179-180).
Tuhan yakni kesucian diri. Dengan
demikian, jenis-jenis mantra yang Menurut Hooykaas dalam bukunya
dipergunakan dalam memohon tirtha Kama and Kala Materials for the study of
Suddhamala di Kecamatan Sukawati adalah Shadow theatre in Bali menjelaskan tentang
disesuaikan dengan tujuan dan fungsinya. mantra panyudamalan. Adapun mantra-
Menurut dalang I Made Sidja mantra-mantra mantra tersebut adalah sebagai berikut:
dalam panglukatan/panyudamalan adalah 1). Untuk wong urip (orang hidup)
sebagai berikut: “Om am um mam satma paratma
1). Untuk wong urip (orang hidup) nirwighna suddha tasta suksma ya
“Ong ang mang mreta ya nama namah. Pukulun Sang Hyang Tirtha
satma paratma nirwigna suddha ta Kamandalau manik, sirati pinaka-
saha suksma ya namah” urip ring Perthivi Apah Teja Bayu
Akasa. Pinakeng hulun anglukat
2). Untuk wong pejah mewatangan (orang janma-manusa, angilangaken dasa-
yang meninggal ada jasadnya) mala, tri-mala, papa-klesa, sakveh
“Ong ang ung mang siwa yogi ing ala-denda upata, kalukatan
prayojanam, ong ang ung mang sada avakipun, om am um mam, ksama
Siwa yogi prayojanam sarwa papa ning vighna suddha, tad astu
klesa winasanam, ong ang ung mang suksmaya namah. Om Sa Ba Ta A I
prama siwa yogi prama saktiam Na Ma Si Wa Ya
sarwa dosa angoara winasanam sah
siwa mahasaktiam, ah, ah, ah” 2). Untuk wong pejah mawatang (orang
meninggal ada jasadnya)
3). Untuk wong salah pati tan pawatang
(untuk meninggal akibat kecelakaan “Om am um mam Siva yogi
tanpa diketahui jasadnya) prayojanam, sarwa lara winasanam,
“Ong ang ung ang ah, sang yogi Om yam um mam, Sada-Siva yogi-
pramasidyam sarwa papo krama prayojanam sarwa papa klesa
suda ya namah. Ong ang ung mang winasanam, Om am um mam,
tri dewata prama saktiam sudha mala Parama Siwa yogi parama saktyam,
pataka winanam, uang ang yang sarwa dosa harohara-winasanam,
suratma mandiratma suksma sudha sah Siva maha saktyam, Am Ah 3x
ya nama, ong yung yang windu
sasaswatisrayu wamu namah, suksma Selanjutnya diikuti dengan mantra:
suda ya namah swaha”
“Om Sang Hyang Taya ngadeg
4). Untuk wong pejah anggawa manik (orang pinggir ing kawah, kawah dadi
meninggal yang sedang mengandung) kadaton, kadaton dadi svarga, Om

12
paripurna awak atmane sang baiknya sang dalang dalam mengucapkan
linukatan, apan awak atmane sang mantra sesuai dengan teks (lontar) yakni
linukatan kakakeb dening Ibu lontar Dharma Pewayangan.
Prthiwi, lunga sira maring Prthiwi,
Bhatara Brahma anglukat, Bhatara 2.3.1 Mantra Wayang Kulit Suddhamala
Wisnu anglukat, Bhatara Mantra menurut Kamus Umum
Maheswara anglukat, Bhatara Bahasa Indonesia dinayatakan sebagai suatu
Mahadewa anglukat, Bhatara kalimat atau perkataan yang mendatangkan
Sambhu anglukat, Bhatara daya atau kekuatan gaib (Poerwadarminta,
Maheswara anglukat, Bhatara 1976 : 450). Setiap upacara, mantra selalu
Ludra anglukat, Bhatara Sangkara hadir serta sebagai pengiring dan pengantar
anglukat, Om Om ya namah swaha persembahan (upakara/banten) yang
diucapkan oleh pinandita maupun pandita.
3) Untuk wong salah pati tanpa watang Menurut masyarakat, mantra yang diiringi
(orang meninggal akibat kecelakaan dengan bunyi-bunyian atau musik mampu
tanpa jasad). membersihkan dosa seseorang yang akhirnya
“Om am um mam am ah, sah yogi kembali menjadi suci seperti manusia
parama siddhyam, sarwa ila papa lainnya, itulah sebabnya setiap upacara
krama suddha ya namah, om am um ruwatan pengucapan mantra merupakan
mam, Tri Dewata parama saktyam, peristiwa yang pokok dan sakral (Soetarno
suddha mala pataka winasanam, om dalam Wicaksana, 2007 : 87). Pembagian
mam yam, suratma mandiratma, mantra menurut lontar Dharma Pewayangan
suksma suddhaya namah, om yam, dibagi menjadi tiga bagian yakni: 1) mantra
sindhu saraswati, sarayu, yamuna sebelum melakukan pertunjukan, 2) saat
namah, nirmalaya namah, suksma melakukan pertunjukan, dan 3) setelah
suddhaya namah” selesai pertunjukan dilakukan permohonan
air suci (tirtha panglukatan).
4) Untuk wong pejah anggawa manik (orang Penggunaaan mantra dalam wayang
meninggal yang sedang mengandung) kulit Suddhamala merupakan esensi yang
“Om am mam um om, Siwa Rekha paling utama dalam media permohonan air
parama saktyam nirmala suddhaya suci Suddhamala dalam rangkaian upacara
namah, Om am um yam, Siva lingga Mamukur. Mantra dalam pertunjukan
parama siddhyam sarwa papa klesa wayang kulit Suddhamala sangat disakralkan
winasanam, sarwa wigraha baik oleh dalang maupun masyarakat.
winasanam, Om am ah, ya om, Siwa Mantra yang merupakan kata-kata yang
Guru maha siddhyam sarwa dosa mengandung Veda yang diucapkan oleh
papa klesaya namah, Om yam,Wisnu dalang di dalam Upacara Mamukur
sphatika maha siddhyam, pramanam mempunyai akses yang sangat utama di
sarwa ila maha bharam, suddha dalam upacara Mamukur. Cerita yang
lara nirwighnaya namah, um um ditampilkan biasanya mengandung berbagai
um, sri sri sri, jagat padukebhyo unsur Dewa Tattwa, Kala Tattwa dan Atma
namah, um yam phat, astra Tattwa yang penuh dengan tuntunan dan
suddhaya namah Sivaya Om” (1973 tontonanyang di dalamnya mengandung
: 46-50) unsur-unsur proses Pitra Yadnya yang
lazimnya disebut Aji Panglepasan. Adapun
Dari dua pemaparan di atas berkaitan mantra-mantra yang dipergunakan oleh
dengan mantra yang dipergunakan oleh dalang di dalam pertunjukan wayang kulit
masing-masing dalang dalam memohon air Suddhamala dapat di bagi menjadi tiga
suci (tirtha) Suddhamala, tidak jauh berbeda bagian, yaitu : Aji Kembang, Agni
di masing-masing tempat, namun alangkah

13
Anglayang, dan Asta Pungku. Mantra- engkau tiba di rumah, selesaikanlah
mantra tersebut adalah sebagai berikut: konsentrasimu di sana, seluruh ruwat
1) Mantra Aji Kembang untuk bagidirimu, tuangkanlah isinya ke
panglukatan. anglo, dan masukan bahan bakar
“… Sang atapa sakti bhakti, asthiti dalam tungku.
purwa samskara, yan mati yan murip
manih, wisesa sireng bhuwana. Putih “…Wewangenandari tembaga,
timur abang wetan, rahina tatas rurube kang dadi emas, arenge kang
apadang, titis ning jaya kamantyan, dadi wesi, awune kang dadi slaka,
mapageh ta samadhinira kukuse kang dadi megha, yeh iku
mandadi ujan, tumiba ring mrtya-
Terjemahan : pada, yen iku dadi amrta”
…Penebusan memberikan kekuatan,
ketaatan, hadaplah ke timur, lakukan Terjemahan :
ritual, ketika mati dan juga ketika …Aroma dan bau berubah menjadi
lahir kembali, dia akan kuat di dunia, tembaga, kain pengikat berubah
putih timur, diufuk timur matahari menjadi emas, arang kemudian
merah, hari dimulai dengan segala menjadi besi, abu berubah menjadi
kecerahan, kelahiran kembali dari perak, uap berubah menjadi awan, air
kemenangan mutlak, konsentrasi menjadi hujan, air jatuh di dunia
merupakan keuletan. manusia, bagian dari air kehidupan

“…Nghulun angadeg ring natar, “…Kukuse Sang Hyang Iswara,


kama-jaya cinittanya, sang atunggu lalatu: Sang Hyang Maheswara,
paraweyan, mawungu pakarab- wawangen: Bhatara Brahma,
karab, ilangan ing dasa mala, makaligi: Bhatara Rudra, rurube:
ametang gangga asuci, panunggel Hyang Mahadewa, awune: Sang
rwan ning wandhira, pinaka len Hyang Iswara, Arenge: Bhatara
prenahira”. Wisnu, Awune: Bhatara Sambhu”

Terjemahan : Terjemahan:
…Aku berdiri di pelataran, dia …Uap adalah Hyang Iswara,
berpikir tentang Kamajaya, dia yang nyalanyaHyang Mahesvara, baunya
menanti….,bangkit…., kehilangan Bhatara Brahma, kamaliginya Hyang
sepuluh nodanya, dengan bergerak ke Rudra, kain pengikatnya Mahadewa,
sungai Gangga yang murni,… abunya Sang Hyang Iswara, arangnya
meninggalkan waringin, memasuki Bhatara Wisnu, abunya Bhatara
tempat lain. Sambhu.

“…Yan sampun sira arahup, isi “…Ring kunda: Bhatara Siwa,


nikang kundi manik, anut marga kita sarining kukus: Hyang Guru,
mulih, yang sira teka ning umah, pangleburan dasa-mala, lara roga
tutugaken samadhinta, sapangruwat winasa ya, purna jati sunirmala,
sariranta, iseni kang pangasepan, luput maring papa nraka, sandhya
kunda kumutug samiddhanya”. manggih swarga luwih, satya brata
mangarcana”
Terjemahan :
…Ketika orang membasuh wajahnya, Terjemahan:
dari pundi berhias permata, ikutilah …Dalam nyala api ada Sang Hyang
jalan itu dan pulanglah, ketika Siwa, inti asapnya Sang hyang Guru,

14
menghanguskan semua dosa, mengharumkan ciuman, Bhatara
mengakhiri penyakit dan wabah, Siwa dipuja, di dasar sungai Gangga
sehingga orang terbebas dari noda, yang murni, orang hendaknya
lolos dari kejahatan dan neraka, mengikuti semua perintah dewa, yang
bermaksud mendapatkan surga dipuja oleh semua umat, tempat
tertingi, dengan memuja pada tinggalnya…,mereka dipuja siang
ketaatan iman. dan malam,…tempat tinggal dewa,
kekuatan, ketaatan adalah kata-
“…Yan umanis marep angetan, astuti kataku.
Bhatara Iswara, yan pahing marep
angidul, astuti Bhatara Brahma, yan “…Ri purwa tunjunge putih, Hyang
pon marep ing angulon, astuti Hyang Iswara dewatanya, ring pupusuh
Mahadewa, yan wage marep prenahira, alinggih sira kalihan,
angalor, astuti Bhatara Wisnu, pantes ta kembange petak, ri tembe
Kaliwon marep ing tengah, astuti lamun dumadi, suka sugih tur
Bhatara Siwa, wus puput tang panca- rahayu, dana punya sthiti bhakti”
wara”
Terjemahan:
Terjemahan: …Di timur, teratai berwarna putih,
…Kalau umanis menghadap timur, dewa tertinggi di sini adalah Iswara,
langsung memuji Iswara, Pahing tempat tinggalnya berada di hati, di
menghadap selatan, langsung memuji sana dia tinggal, suami dan
Hyang Brahma, Pon menghadap pasangannya, bunganya berwarna
barat, langsung memuji Mahadewa, putih, di masa mendatang ketika
Wage menghadap utara, orang dilahirkan kembali, orang akan
mengarahkan diri untuk memuji tampan, gembira dan kaya, suka
Hyang Wisnu, Kliwon-tengah, memberi, berjasa bahkan taat.
menghadapkan diri langsung untuk
memuji Hyang Siwa, Mingu lima 2) Mantra Agni Aglayang
hari kini lengkap, tinggal di tubuh
manusia. “…Om Agni Anglayang murub
sakeng wetan, sakalangan urubira,
“…Angadeg angeka-pada, regep mijil denira Bhatara Iswara,
ikang pancendrya, sila tatakep ing anglukata ujar kadukaduhung,
kembang, salwir ing kembang kapalisah. Angadaken tan anna,
kangin, sinrang sakeng awak ing anglinyok sasamanya tumuwuh, Agni
wwang, mrebak arum gandhanira, Anglayang nggon ingulun, asalah
Bhatara Siwa puja, teleng ing mala, papa, pataka ning jadma
Gangga nirmala, anuta watek manusa kabeh, wastu siddhi puja
dewata, kang pinuja ring manusa, ning ulun, Om Sri ya wai namo
mareng sira prenahira, pinuja rahina namah swaha”
wengi, awuran tang kadewatan,
pangucapku sakti bhakti” Terjemahan:
…Api yang menyala berkobar dalam
Terjemahan: lingkaran cahaya dari timur yang
…Dia berdiri dengan satu kaki, memancarkan Bhatara Iswara.
sambil menguasai lima indera, karang Semoga dia memusnahkan kata-kata
tertutup kini terbuka, semua bentuk yang buruk, agak dan sangat
bunga menghadap timur, ditantang disesalkan, kebohongan dan melukai
oleh orang lain, baunya menyebar, makhluk sesamanya. Apai yang

15
menyala adalah tempatku, dengan guru/ayahnya, saudaranya,
menghapuskan semua noda dan kakak atau adiknya, orang tuanya,
pelanggaran semua umat manusia. cucunya, anaknya, dengan pendeta.
Semoga pemujaan saya mengarah Dibebaskan oleh Siwa muncul dalam
pada pemenuhan harapan. Ya Tuhan cacat dan kelemahan fisik, “cacat”
penghormatan dan pujian kepada Sri. tubuh manusia.

“Brahma anglukata wong angental, “Wisnu anglukata wong aneluh


andura-dura sadhu, wong tanpa anaranjana angleyak, amokpok
dosa, anendawong tanpa dosa, andesti, angupas, angracun, anyetik.
mateni wong tanpa dosa, anuduk, Kalukat denira Bhatara Siwa, wastu
anumbak, anulup, amaling, ambahak, punah ilang lara roga, mwang
anjabung, wong amati-mati sama pataka ning jadma manusa kabeh,
tumuwuh, anglukata wong angrusuh. wastu sidhi ya namah swaha”.
Kalukat denira Bhatara Siwa, wastu
punah ilang lara roga, mwang Terjemahan:
pataka ning jadma manusa kabeh, …Semoga Wisnu menghukum semua
wastu siddhi ya namah swaha”. orang yang melakukan bentuk
Terjemahan: penyihiran dan menggunakan racun.
Kejahatan yang bisa dibebaskan oleh
…Semoga Brahma membasmi orang Siwa muncul dalam cacat dan
yang bersalah karena merampok di kelemahan fisik, “cacat” tubuh
jalan, menyerang pendeta, manusia.
menghukum orang tak bersalah,
membunuh orang tak berdosa, 3) Mantra Asta Pungku
melemparkan tombak, pedang dan
panah; semoga dia membasmi, Menguraikan tentang tata cara atau
pencuri, penipu, bandit, penyamun, proses dalam memohon air suci (tirtha)
pembunuh. Semoga dia membasmi panglukatan/panyudamalan. Adapun
para pembuat dosa. Dibebaskan oleh urutannya adalah sebagai berikut: Di awali
Siwa muncul dalam cacat dan dengan mengambil pasepan/dupa dengan
kelemahan fisik, “cacat” tubuh mantra: “Ong Ang Astra-Kalagni-Rudra ya
manusia. namah”. Selanjutnya coblong/sangku berisi
toya anyar (air bersih) di berikan mantra:
“…Mahadewa anglukata wong “Ong Ganggamrta ya namah swaha”,
angreh rabi ning arabi, anambah kemudian dipercikan kepada semua wayang
marga larangan, anglayani gurune, dan sesajennya sebanyak tiga kali. Beras
anglayani kadang wargane, kuning pada air samsam dan daun temen,
angkayani wong atuhne, anglayani letakkan di atas dupa/pasepan dengan
anak-putune, anglayani wong awiku. mengucapkan mantra: “Ong Wija warna ya
Kalukat denira Bhatara Siwa, wastu namah swaha”. Selanjutnya tuangkan ke
punah ilang lara roga, mwang tempat coblong/sangku. Mengambil sekar
pataka ning jadma manusa kabeh, (bunga) 11 macam jenis bunga yakni:
wastu siddhi ya namah swaha”. tunjung, jepun, cempaka, kenyiri, sandat,
remawa, menuh, soka, kemoning, dan
Terjemahan: kamrakan/campuran dengan mantra: “Ong
…Semoga Mahadewa menghukum puspa gandha ya namah swaha, letakan di
mereka yang menyerang istri orang dulang (tempayan) dekat sangku. Berturut-
lain, yang menempuh jalan terlarang, turut ambil bunga satu-persatu (sampai 10
yang melakukan hubungan sex

16
macam warna) lalu jatuhjan ke tempat memandikan orang yang tercemar 10 jenis
sangku dengan mengucapkan mantra: kekotoran, supaya berhenti, bersih kembali,
“…Ong atma paratma nirwighna suddha seperti sedia kala, Om, bersih, bersih, bersih.
tastta suksma ya namah swaha”. Pukulun
Sanghyang Tri-Wisesa, manusa aneda “…Ong gunung mas apucak manik, akerikil
anglukata, eka-mala, dwi-mala, tri-mala, nawa ratna, inapungan ing naga-patra,
catur-mala, panca-mala, sad-mala, sapta- ingaranan Sang Hyang Merti-Tirtha
mala, asta-mala, nawa-mala, dasa-mala, Kamandalu, maka urip ing watek nawa-
kabeh sama kalukat denira Sanghyang Tri- sanga, maka patirthan ira sang Pandhita-
Purusa, Ong Ang Ung Mang”. Ratu, anglukata anglebura sakweh ing lara-
wigna, jadma-manusa ring madhya-pada,
Terjemahan: wenang anglebur gering kabeh, lupa, lelep,
Ya Tuhan, jiwa yang kotor telah dibersihkan arip, purna sewu satus ing papa-klesa, lara-
dan disempurnakan. Hamba mohon roga, lara-wigna, kalukatakena upata ning
kehadapan Sang Hyang Tri Wisesa, hamba bapa-ibu, kaki-nini, buyut, Ong lukat, lukat,
akan membersihkan, satu sampai sepuluh lukat, Ong Awighnamastu swaha”.
kecemaran, semuanya dibersihkan oleh
Sanghyang Tri Purusa, Om Brahma Wisnu Terjemahan:
Siwa. …Ya Tuhan, bagaikan gunung emas dengan
“…Pukulun Sang Hyang Tri-Wisesa, manusa puncak permata, berbatu sembilanbunga,
anglukata pomahan ssalah-pita, mwah papa dililit oleh ukiran naga, disebut air
kajantaka, udug, edan, buyar, sangar, kehidupan, sebagai kehidupan sembilan
timpang, tinjik, bongol, bengil, manju, dewata, untuk pembersihan raja yang
kuming, bega, bisu, kolok, mwah sakweh bijaksana, dibersihkan segala penyakit yang
ning dasa-mala, ika pada kalukat denira terkutuk, manusia yang ada di dunia, wajib
Sanghyang Tri-Purusa, Ong Sri ya namah dibersihkan dari segala penyakit, lupa,
swaha” ngantuk, tertidur, 110 kali kekotoran dan
penyakit, dibersihkan atas perjanjian ayah-
Terjemahan: ibu, kakek-nenek, buyut, Om bersih, bersih,
…Hamba mohon kehadapan Sang Hyang Tri bersih, semoga tidak ada halangan.
Wisesa, hamba membersihkan tempat “Ong Awighnam Astu ya namah swaha. Ong
penyakit bawaan dan terkutuk dan kematian, Ayu-wrddhi yaso-wrddhir, wrddhir prajnya-
perut membesr, gila, sakitingatan, penakut, sukha-sriyam, dharma santana-wrddhih syat,
kegagalan, pincang, dungu, tuli, dekil, egois, santu te sapta-wrddhayah”.
kurang darah, bisu, kolok, dan semua
kekotoran, semua itu dibersihkan oleh Sang Terjemahan:
Hyang Tri-Purusa, Ya Tuhan, penghormatan …Ya Tuhan, semoga tidak ada halangan,
dan pujian kepada Dewi Sri. kebaikan selalu tumbuh, perbuatan yang baik
tumbuh semuanya, seisi alam, kebaikan
“…Ong Witara Sang Hyang Tunggal, arupa keluarga, semoga tumbuh, tujuh sumber
Taya Wisesa, ingaranan Sang Hyang Merti- kehidupan.
Tirtha-Kamandalu, winadahan kundi manik,
padyuakena dasa-mala, mari mala, marupa Selanjutnya dalang mengambil
jati, waluya jati wisesa, Ong lukat, lukat, wayang seperti: Kayonan, Acintya, Siwa, dan
lukat” Tualen lalu dimasukan ke damar (lampu
belencong) dengan menulis (menyurat)
Terjemahan: aksara Ang, Ung, Mang. Kemudian barulah
…Ya Tuhan sebagai Sang Hyang Tunggal, seluruh tangkai (katik) wayang tersebut satu
berupa Taya-Wisesa, disebut sebagai air persatu dimasukkan (celebang) ke dalam
kehidupan, ditempatkan dalam sangku, untuk

17
tirtha panglukatan pada sangku (Wicaksana, kecil bernada pelog (empat buah), kempul
2007: 249-257) (satu bauh), kajar (satu buah), tawa-tawa
(satu buah), klenang (satu buah), kecek (satu
2.3.2 Iringan (Instrumen) buah), dan kendang (dua buah). Selain tiga
Secara umum setiap kegiatan yang jenis gambelan yang dipergunakan untuk
melibatkan seni dan kesenian, peranan musik mengiringi pertunjukan wayang kulit,
sangat penting dan menduduki posisi yang belakangan ini muncul instrumen yang tidak
sentral. Begitu juga halnya dalam lazim digunakan untuk pertunjukan wayang
pertunjukan wayang kulit, musik selalu hadir kulit, seperti: Angklung Kebyar, Gong
dan mengiringi pertunjukan tersebut. Musik Kebyar, Semar Pagulingan, Gambelan
yang dipergunakan untuk mengiringi Palegongan, dan alat musik lainnya
pertunjukan wayang kulit disebut Gender (Nardayana, 2009 : 101-103). Menurut
Wayang (Wicaksana, 2007 : 95). Menurut Marajaya (2002 : 151) penggunaan berbagai
Nardayana (2009 : 101) ada tiga jenis musik jenis iringan selain gender, justru dapat
(gamelan) yang dipergunakan untuk menambah suasana pertunjukan menjadi
mengiringi pertunjukan wayang kulit tradisi, lebih meriah, estetis, dan ramai sebagai
yaitu: gambelan gender, gambelan batel dan konsep berkesenian orang Bali.
gambelan gambuh. Dari sekian jenis gambelan sebagai
Pada pertunjukan Wayang Kulit instrumen pengiring pertunjukan wayang
Parwa umumnya menggunakan empat kulit dewasa ini, maka pengiring yantra
tungguh gender yang masing-masing dalam hal ini wayang kulit disesuaikan
instrumen berlaras slendro dengan bilah dengan tokoh-tokoh serta karakter dari
sepuluh buah. Urutan nada gender wayang masing-masing wayang. Hal ini dapat dilihat,
terdiri dari lima nada yaitu: dong, deng, ketika di awal pertunjukan wayang kayonan
dung, dang, ding. Gender wayang selain biasanya diiringi dengan gending segara
dipakai untuk mengiringi pertunjukan mancuh. Apabila suasana adegan sedang
wayang kulit tradisi (Parwa), juga sering sidang (peparuman) tokoh wayang yang
digunakan untuk mengiringi berbagai keluar adalah wayang yang berkarakter
upacara keagamaan seperti: Manusa Yadnya, ksatrya maka iringan gendingnya adalah
Dewa Yadnya, Pitra Yadnya dan Bhuta gending alas harum, gending rundah untuk
Yadnya. Selain itu, gender wayang juga karakter keras (dedeling) dan gending candi
digunakan unttuk tabuh iringan dalam rebah untuk karakter raksasa.
pesantian seperti: kekawin, kidung, geguritan Menurut Wicaksana (2007 : 196)
dan sebagainya. kegunaan gending-gending gender dalam
Gambelan Batel biasanya digunakan pertunjukan wayang kulit secara umum dapat
untuk mengiringi pertunjukan Wayang Kulit dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu:
Ramayana, Calonarang, dan Wayang Kulit 1) gending-gending pategak adalah suatu
Cupak. Gambelan batel ini terdiri dari: permainan beberapa jenis komposisi lagu,
gender berbilah sepuluh lembar (empat baik klasik maupun modern sebelum
buah), kempul (satu buah), kemong (satu pembabakan cerita dimulai. Adapun
buah), kajar (satu buah), tawa-tawa (satu gending-gending yang dipakai seperti: sekar
buah), klenang (satu buah), kecek (satu ginotan, sekar sungsang dan sebagainya, 2)
buah), kendang (dua buah), dan suling (dua gending-gending yang mengiringi tetikesan
buah atau lebih). Wayang Kulit Ramayana (teknik menarikan wayang) terdiri dari:
juga disebut dengan Wayang Batel, karena pamungkah (pembukaan), petangkilan
diiringi dengan gambelan batel. Gambelan (persidangan), penyahcah/pemahbah
Gambuh biasanya dipergunakan untuk (introduksi), angkat-angkatan
mengiringi pertunjukan Wayang Kulit (keberangkatan tokoh wayang), rebong
Gambuh. Gambelan ini terdiri dari: suling (ekpresi romantis), tangis (suasana sedih),
besar bernada pelog (empat buah), suling tunjang (karakter keras/raksasa), batel

18
(perang) dan tabuh gari (selesai pertunjukan Dharma Pewayangan, sebab Dharma
dan penyudamalan). Pewayangan merupakan suatu aturan tertulis
Setiap akhir pertunjukan wayang atau kewajiban yang secara bertahap harus
kulit, biasanya dilakukan prosesi memohon dilaksanakan oleh sang dalang, baik sebelum
air suci (tirtha) Suddhamala dengan sarana dan sesudah melakukan tugasnya ngewayang
wayang kulit (yantra) adalah Acintya, Siwa, (Sugriwa, 1995 : 37). Hal ini ditegaskan oleh
dan Tualen. Dalam prosesi ini instrumen atau I Gusti Ketut Kaler (dalam Wiadnyana, 2007
gambelan gender juga turut mengiringi : 54-55) yang mengatakan bahwa :
dengan gending bugari. …”wayang, yadiastu pawakan
walulang inikir, janten ring
2.4 Fungsi Yantra Wayang Kulit pangamiitannyane sampun
Suddhamala Dalam Upacara Mamukur maplaspas, katiwakin widi wedana
penyangaskara, sapunika taler
2.4.1 Fungsi Panglukatan piranti dulurannya sami (damar,
Pertunjukan Wayang Kulit kelir, keropak, lan sapa-
Suddhamala dalam Upacara Mamukur bagi nunggilannya). Widi-wedana taler
masyarakat yang masih memiliki tradisi yang kawentenang nangken rahina
kuat dalam berkesenian di Kecamatan Saniscara Kliwon, Wuku Wayang,
Sukawati masih dianggap mempunyai arti, miwah nangken pangringgitan
fungsi dan makna yang sangat penting dalam panyanggaskarane kadulurin antuk
kehidupannya, karena kesenian dan agama tata prawerti panyanggra,
tidak dapat dipisahkan bagaikan dua sisi malarapan kayun drda bhakti,
mata uang di mana keduanya saling terkait dumugi inucap Sanghyang Ringgit,
dan menyatu. Kesenian wayang kulit sebagai kahyangin antuk ida Sanghyang sane
alat komunikasi untuk memperkuat Maraga Niskala. Jantos sandang
keyakinan, nilai-nilai, norma-norma dalam tunasin tirtha wasuh pada
kehidupan serta secara universal dikaitkan (Suddhamal). Punapi malih Sang
dengan hal-hal yang bersifat magis (religi), Amangku Dalang, janten sampun
karena dalam religi tertanam berbagai nilai sinangaskara mawinten, saha tan
yang membawa masyarakat ke suatu maren tepet ring sasaning dalang,
kemungkinan untuk berkomunikasi dengan astiti ring Sanghyang Iswara, tegep
hakikat yang tertinggi (Wiadnyana, 2007 ring brata, tan wenang mumpang
:53). laku. Wenten taler mawidi-wedana
Pementasan Wayang Kulit masakapan ring wayang saha
Suddhamala dalam Upacara Mamukur pirantinnya. Mawastu sida
sangat erat kaitannya dengan prosesi matunggalan dalang ring wayange,
panglukatan (pembersihan dan penyucian). kadi Ardanareswari…”
Secara umum masyarakat menganggap Terjemahannya:
prosesi pementasan Wayang Suddhamala … wayang walaupun dibuat dari kulit
hanya bertujuan untuk nunas tirtha saja, binatang yang diukir, sebelum
sehingga pementasan wayang kulit menjadi dipergunakan dalam
sepi penonton. Oleh karena itu, pertunjukan pementasansudah tentu di-pelaspas
Wayang Kulit Suddhamala bagi masyarakat (disucikan) terlebih dahulu.
dianggap hanya untuk kepentingan nunas Demikian juga dengan halnya alat-
tirtha panglukatan dalam konteks ini adalah alat perlengkapan yang lain seperti
untuk membersihkan dan menyucikan roh blencong, layar, kotak dan lain-lain.
leluhur dari segala kekotoran (mala) Upacara juga dilaksanakan setiap hari
sehingga dapat pergi ke alam Siva. Dalam Sabtu Kliwon Wuku Wayang. Semua
pementasan sang dalang harus mengikuti disertai dengan tata aturan yang telah
aturan-aturan yang telah tercantum dalam ditentukan, serta keikhlasan dan

19
sujud bhakti yang tulus. Itulah lakon yang dibawakan oleh sang dalang
makanya dikatakan (wayang) itu seperti Bima Swarga dapat dipetik pesan
sebagai Sanghyang Ringgit karena atau makna bahwa segala bentuk perbuatan,
telah mendapat anugrah atau aktifitas, kerja, laksana atau perilaku (karma)
kekuatan Tuhan. Dan karena itu pula, baik perbuatan baik (subhakarma) maupun
dalang beserta wayangnya dapat perbuatan yang buruk (asubhakarma) akan
diminta air suci (panglukatan). mendapatkan hasil dari perbuatan atau
Demikian juga dengan halnya sang karmaphala. Untuk melebur serta
Amangku Dalang, sebenarnya tentu menyucikan segala bentuk kekotoran (mala),
sudah melakukan upacara penyucian dosa (kesalahan) maka dipergunakan sebuah
diri, juga harus mengikuti petunjuk- media atau sarana yang dikenal dengan tirtha
petunjuk yang sudah ditentukan, amerta atau air suci. Air suci atau tirtha
selalu sujud bhakti kepada Tuhan, inilah yang dipercaya dan diyakini dapat
patuh melaksanakan pantangan- melukat atau menyucikan segala kekotoran
pantangan tertentu, menghindari (leteh) pada diri seseorang baik dalam masa
berbuat/melakukan pekerjaan yang hidupnya maupun sudah meninggal.
tidak terpuji. Dan ada pula dalang
yang melakukan upacara perkawinan 2.4.2 Fungsi Estetis
dengan wayang dan semua Dalam konsep estetika Hindu yang
perlengkapannya, dengan maksud diutamakan adalah sebuah keseimbangan
supaya dapat menumbuhkan perasaan dan keharmonisan yang menempatkan
menyatu antara dalang dengan kebenaran itu suci dan indah, kesucian itu
wayangnya… harus benar dan indah, dan keindahan itu
Menurut Wicaksana (2007 : 96-97) suci dan mengandung kebenaran. Dengan
Dharma Pewayangan merupakan pustaka demikian, ketiga hal tersebut saling
khusus yang isinya memuat petunjuk yang mendukung serta mempengaruhi dalam
membimbing para dalang dalam melihat atau memandang sebuah konsep
melaksanakan dharma atau kewajibannya estetik. Menurut Bandem (dalam
sebagai dalang. Dengan demikian, secara Wiadnyana, 2007 : 142) mengungkapkan
tidak langsung merupakan aturan yang bahwa ketiga konsep tersebut (satyam,
mengikat dalang untuk tidak menyimpang sivam, dan sundaram) merupakan totalitas
dari prinsip-prinsip yang telah ditetapkan setetik yang tidak dapat menyentuh aspek
dalam ajaran agama dan moralitas. ragawi (fisik) namun juga estetik metafisik.
Dalam pertunjukan Wayang Kulit Dengan demikian seni pada kondisi tersebut
Suddhamala yang berkaitan dengan fungsi sebagai sarana pemujaan kepada Tuhan
panglukatan dapat dilihat dari cerita atau dalam wujud keindahan yang abadi untuk
lakon yang dibawakan oleh sang dalang. mencapai hubungan yang seimbang secara
Lakon atau cerita merupakan seni drama atau kosmologis. Seorang dalang sebelum
lelampahan yang dapat dihayati arti dan melaksanakan pertunjukan melakukan
makna yang mendalam dari setiap cerita kontemplasi estetik untuk dapat memohon
wayang yang bersifat klasik atau tradisi. kekuatan atas peran yang dimainkan,
Dalam lakon yang dipentaskan pada upacara sehingga karakter tokoh yang dimainkan
Mamukur biasanya cerita tentang Bima menjadi adung, lengut, pangus serta
Swarga. Cerita ini merupakan mitos yakni metaksu.
cerita yang dipercayai dapat memberikan
pedoman dan aturan-aturan tertentu untuk Sehubungan dengan yantra Wayang
menjalani kehidupan yang baik. Cerita atau Kulit Suddhamala dalam Upacara Mamukur,
mitos ini pada hakikatnya adalah cerita yang fungsi estetis dapat dilihat dari penggunaan
mengandung berbagai simbol yang berkaitan yantra dalam wujud tokoh-tokoh
dengan hal-hal yang bersifat magis. Dari pewayangan serta upakara (banten) yang

20
dipersembahkan pada dewanya wayang. Di dipergunakan sebagai pengiring pertunjukan
samping itu, fungsi estetis tidak hanya wayang. Seni tari berupa gerakan-gerakan
menyangkut bidang keindahan yang bersifat wayang yang disebut dengan tetikesan
fisik (wayang, tata panggung, teks lakon, (Wiadnyana, 2007 : 143).
gambelan, banten, dan unsur penyangga
pertunjukan), namun juga menyangkut Di samping itu, dalam estetika juga
bidang non fisik seperti: hal-hal yang terdapat seni yang menjadi unsur pembentuk
berkaitan dengan seni yang tidak dapat dalam konsep keindahan, sedangkan seni
dipegang dan dipandang, tetapi hanya dapat merupakan salah satu unsur pembentuk dari
dirasakan dengan perasaan, contohnya suara budaya, sebaliknya budaya merupakan hasil
tembang dan gending baik dari dalang produk dari manusia. Oleh karena itu seni
maupun dari nada-nada suara dari gambelan. dan budaya merupakan hasil ciptaan manusia
Menurut dalang I Gede Suartana, yang terus berkembang dan dikembangkan
menjelaskan tokoh-tokoh pewayangan yang sesuai dengan kondisi zamannya. Seni dan
dipergunakan dalam pembuatan atau budaya selalu mengalami perubahan-
memohon air suci (tirtha) Suddhamala perubahan dari tingkat yang paling sederhana
secara umum menggunakan Acintya, Siwa, hingga tingkat yang tinggi (kompleks).
dan Tualen (wawancara tanggal 2 Juni Perubahan tersebut dapat diketahui dari
2012). Dari ketiga jenis yantra atau tokoh hasil-hasil karya manusia yaitu berupa
wayang yang dipergunakan untuk membuat teknologi. Hasil-hasil teknologi manusia dari
tirtha Suddhamala dapat dilihat unsur-unsur yang paling sederhana sampai yang super
estetisnya yaitu: unsur pewarnaan, dari unsur canggih (modern) turut mempengaruhi seni
wujud atau bentuk, karakter dan sebagainya. dan budaya manusia secara umum.

Di samping itu, secara keseluruhan Begitu juga halnya dalam


yantra Wayang Kulit Suddhamala dalam pertunjukan wayang kulit mengalami
Upacara Mamukur dipandang dari fungsi dampaknya ketika perubahan zaman yang
estetis merupakan satu kesatuan yang ditandai dengan berkembang pesatnya
seimbang dan harmoni dari tujuh unsur yang teknologi dan informasi. Dampak tersebut
terkandung dalam keindahan yaitu: seni dapat disaksikan dalam bentuk pertunjukan
lukis, seni kria, seni drama, seni sastra, seni wayang kulit yang saat ini terus mengalami
karawitan, seni suara, dan seni tari. perubahan-perubahan ke arah yang lebih
Penggolongan seni lukis dan kria dapat baik. Dalam pertunjukan wayang kulit
disatukan menjadi seni rupa, karena dibedakan menjadi dua, yaitu: wayang kulit
merupakan unsur yang sama. Seni drama tradisi dan wayang kulit modern
yaitu teknik atau cara dalang dalam (kontemporer). Wayang kulit tradisi masih
menyajikan cerita atau lakon. Seni rupa tetap mempertahankan pakem atau aturan-
meliputi pahatan dan perwajahan tokoh- aturan dalam pertunjukan selain itu dalam
tokoh wayang sekaligus dengan pewarnaan penggunaan teknoligi masih sederhana,
dihubungkan dengan karakter masing- sedangkan wayang kulit kontemporer
masing tokoh. Seni sastra dapat dilihat dari penggunaan teknologi sudah modern dan
sumber cerita yang dibawakan oleh dalang sedikit masih menggunakan pakem lama.
yakni: Mahabharata, Ramayana, Tantri, Sehubungan dengan hal tersebut, yantra
Babad, Arjuna Wiwaha, Gatotkaca Sraya, Wayang Kulit Suddhamala dalam Upacara
Kunti Sraya dan sebagainya. Seni suara Mamukur merupakan bentuk kesenian tradisi
berupa tembang-tembang atau gending yang yang berfungsi sebagai kesenian wali yang
dilantunkan oleh dalang maupun sinde dipentaskan dalam upacara keagamaan.
(gerong) yang biasanya diambil dari karya Yantra-yantra dalam pertunjukan Wayang
sastra Jawa Kuna. Seni karawitan berupa Kulit Suddhamala merupakan hasil karya
perangkat gambelan (barungan) yang manusia yang adi luhung serta memiliki nilai
seni yang tinggi, sehingga dari hasil karya

21
manusia tersebut akan memunculkan mala, asta-mala, nawa-mala, dasa-mala,
kebudayaan dalam berkesenian. kabeh sama kalukat denira Sanghyang Tri-
Purusa, Ong Ang Ung Mang”.
2.5 Fungsi Mantra Wayang Kulit
Suddhamala Dalam Upacara Mamukur Terjemahan:

2.5.1 Fungsi Penyucian Ya tuhan, jiwa yang kotor telah dibersihkan


Pertunjukan wayang kulit secara dan disempurnakan. Hamba mohon
umum memiliki fungsi dan tujuan untuk kehadapan Sang Hyang Tri Wisesa, hamba
meruwat. Begitu juga dengan wayang kulit akan membersihkan, satu sampai sepuluh
Suddhamala dalam Upacara Mamukur kecemaran, semuanya dibersihkan oleh
bertujuan untuk meruwat serta menyucikan Sanghyang Tri Purusa, Om Brahma Wisnu
seseorang baik yang masih hidup maupun Siwa (Wawancara dengan Dalang I Made
yang sudah meninggal. Menurut dalang I Sidja tanggal 10 Juni 2012)
Made Juanda dari Desa Sukawati Dari uraian di atas berkaitan dengan
menjelaskan tentang fungsi wayang mantra yang diucapkan oleh dalang ketika
Suddhamala dalam suatu upacara keagamaan memohon air suci dengan harapan agar air
yakni untuk menyucikan diri secara sekala yang diberi puja mantra nantinya dapat
dan niskala melalui nunas tirtha Suddhamala melebur segala mala/kekotoran dalam diri
(Wawancara tanggal 10 Juni 2012). seseorang dari eka mala sampai dasa mala
Dalam fungsinya sebagai penyucian, sehingga orang yang dilukat menjadi
pertunjukan wayang kulit Suddhamala manusia yang memiliki karakter dewata
memiliki kedudukan yang penting dalam (daiwi sampad)
upacara keagamaan khususnya dalam
upacara Mamukur. Sebab, dari segi nama 2.5.2 Fungsi Permohonan
Suddhamala saja sudah menyiratkan arti Dalam lontar Dharma Pewayangan
tentang penyucian (bersih dari segala diuraikan tentang segala hal berkaitan
kekotoran) sehingga masyarakat memiliki dengan tugas dan kewajiban sang dalang
keyakinan dan percaya bahwa dengan nunas dalam melakukan pertunjukan wayang kulit.
tirtha Suddhamala dalam upacara Mamukur Sang dalang sebelum berangkat ke tempat
dapat menyucikan atma/roh leluhurnya dari ngwayang (orang yang menanggap) di awali
kesalahan atau dosa yang telah diperbuat dengan melakukan permohonan kepada
dalam masa hidupnya. Tuhan beserta manifestasi-Nya dengan
Di samping itu, pertunjukan wayang mengucapkan doa dalam Bahasa Bali yaitu:
kulit Suddhamala dalam Upacara Mamukur, “Ratu Sanghyang Widhi Wasa miwah
secara umum diyakini oleh masyarakat dapat Bhatara kawitan, Ratu Bhatara Manik
melebur segala mala atau kekotoran baik Dalang, titian nunas restu dumadak utsahan
yang bersifat fisik (sekala), maupun rohani titiange ngwayang mangguhang
(niskala). Hal ini sesuai dengan mantra yang kasampurnan” (Ya Tuhan Yang Maha Esa,
digunakan oleh dalang ketika melakukan Bhatara Kawitan dan Ratu Bhatara Manik
ruwatan baik pada orang yang masih hidup Dalang, hamba mohon restu semoga, usaha
maupun bagi orang yang sudah meninggal hamba melaksanakan pewayangan menemui
(Ngaben atau Mamukur). Adapun mantra- kesempurnaan). Dengan melakukan
mantra yang diucapkan oleh dalang adalah permohonan seperti itu, sang dalang secara
sebagai berikut: bathin (rohani) mendapatkan spirit dari
“…Ong atma paratma nirwighna suddha Tuhan sehingga harapan dalam
tastta suksma ya namah swaha”. Pukulun pertunjukannya menjadi lancer dan tidak ada
Sanghyang Tri-Wisesa, manusa aneda halangan.
anglukata, eka-mala, dwi-mala, tri-mala, Demikian juga dengan pertunjukan
catur-mala, panca-mala, sad-mala, sapta- wayang kulit Suddhamala dalam Upacara

22
Mamukur memiliki fungsi permohonan. Hal dengan mantra yang diucapkan oleh sang
ini terkait dengan fungsi mantra wayang dalang ketika akan memulai pementasan,
kulit Suddhamala yaitu memohon kepada selesai pementasan, dan pada saat memohon
Tuhan melalui perantara sang dalang untuk air suci (tirtha) Suddhamala. Dengan
membuat tirtha (air suci) yang nantinya sarana/media yantra dan mantra dalam
dipakai untuk meruwat/melukat segala pertunjukan wayang kulit dapat
kekotoran yang disebabkan oleh tri kaya mentranformasikan segala pesan serta
(wak, kaya, dan manah) dalam diri permohonan yang disampaikan oleh sang
seseorang. Mantra-mantra yang diucapkan dalang kehadapan sang Pencipta (Sang
oleh dalang ketika memohon tirtha Hyang Widhi Wasa) maupun kepada yang
Suddhamala pada hakikatnya adalah melaksanakan upacara tersebut.
memohon kehadapan Tuhan untuk berkenan
memberikan anugerah berupa kekuatan pada DAFTAR PUSTAKA
air yang diberikan mantra sehingga tirtha
tersebut memiliki khasiat yang bagus untuk Arwati, Ni Made Sri. 2005. Bentuk, Fungsi,
menyucikan diri (pikiran, perkataan, dan Makna Upakara Piodalan. Denpasar
perbuatan). : Upada sastra.
Chawdhri, L.R. 2003. Rahasia Yantra,
III. SIMPULAN Mantra dan Tantra. Surabaya :
Paramita.
Kesenian wayang kulit merupakan Gie, The Liang. 2004. Filsafat Keindahan.
warisan kebudayaan yang sangat adiluhung Yogyakarta: Pusat Belajar Ilmu
yang diwariskan oleh nenk moyang dari Berguna.
generasi ke genarasi. Dalam realisasinya, Hooykaas. 1973. Kama and Kala: Materials
pementasan wayang kulit mengalami for the Study of Shadow Theatre in
perubahan yang signifikan baik dari segi Bali. Amsterdam: North Holland
pementasannya maupun dari segi isi atau Publishing Company.
cerita yang dibawakan oleh sang dalang. Kersten, P.J. 1970. Tata Bahasa Bali. Ende
Pementasan wayang kulit Suddhamala Flores Nusa Indah.
merupakan kesenian yang masuk dalam Nardayana, I Wayan. 2009. Kosmologi
kategori kesenian wali yang hanya Hindu Dalam Kayonan Pada
dipentaskan dalam upacara Pitra Yadnya dan Pertunjukan Wayang Kulit Bali.
Manusa Yadnya. Denpasar: PPs IHDN Denpasar.
Poerwadarminta, W.J.S. 1976. Kamus Umum
Dalam pementasan wayang kulit
Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai
Suddhamala tidak lepas dari penggunaan alat
Pustaka
atau sarana yang mendukung dalam
Punyatmadja, Ida Bagus Oka. 1992. Panca
pementasan tersebut. Peranan yantra dan
Cradha. Jakarta : Yayasan
mantra dalam pementasan wayang kulit
Dharma Sarathi.
Suddhamala sangat penting dan utama,
Purwita, Ida Bagus Putu. 1992. Upacara
karena dengan yantra dan mantra yang
Mamukur. Denpasar : Upada Sastra
dipergunakan oleh sang dalang sebagai
Rudita, I Made. 2011. “Wayang Pemurtian
media visualisasi yang berwujud abstrak
dalam Pertunjukan Wayang Kulit
(transendent) menuju yang nyata (imanent).
Bali : Analisis Bentuk, Fungsi, dan
Hal ini dapat diketahui dari penggunaan
Makna”. (Tesis). Program
yantra dalam wujud wayang kulit serta
Pascasarjana IHDN
banten yang dipergunakan pada saat
Semadi, I Gusti Ngurah Serama. 2006.
pementasan berlangsung. Wujud yantra
“Wayang Lemah Dalam Upacara
dalam bentuk wayang kulit seperti: wayang
Manusa Yadnya Mabayuh Oton”.
pemurtian, Acintya, Panca Pandawa, Tualen,
Merdah dan sebagainya. Begitu juga halnya

23
(Tesis). Denpasar: PPs Universitas Wiana, I Ketut. 2004. Mengapa Bali Disebut
Udayana Bali. Surabaya : Paramita.
Soetrisno, R. 2008. “Wayang Sebagai Wicaksana, I Dewa Ketut. 2000. Jurnal Seni
Warisan Dunia”. MS. Abbas (Editor). Budaya Mudra. STSI Denpasar:
Surabaya: SIC Denpasar
Sugriwa, I Gusti Bagus. 1995. Dalang dan Wicaksana, I Dewa Ketut. 2007. Wayang
Wayang. Denpasar : Bidang Kesenian Sapuh Leger Fungsi dan Maknanya
Depdikbud Propinsi Bali Dalam Masyarakat Bali. Denpasar:
Suharto dan Tasa Iryato. 2002. Kamus Pustaka Bali Post.
Bahasa Indonesia. Surabaya : Indah Yudabakti, I Made, Watra, I Wayan. 2007.
Sukaderi, Ni Made. 2008. “Pementasan Filsafat Seni Sakral Dalam
Wayng Kulit Sebagai Sebuah Kebudayaan Bali. Surabaya:
Ruwatan (Perspektif Pendidikan Paramita.
Agama Hindu)”. (Skripsi). Denpasar:
IHDN
Surada, I Made. 2007. Kamus Sanskerta-
Indonesia. Surabaya : Paramita.
Surayin, Ida Ayu Putu. 2002. Melangkah
Kearah Persiapan Upakara-upacara
Yajna. Surabaya: Paramita.
Sutjaja, I Gusti Made. 2004. Kamus Sinonim
Bahasa Bali. Denpasar : Unud
Tim Penyusun. 1987. Pratima dan Pralingga
Koleksi Museum Bali (Laporan
Penelitian. Denpasar : Direktorat
Jenderal Kebudayan, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan
Tim Penyusun. 2002. Kamus Istilah Agama
Hindu. Denpasar : Pemerintah
Provinsi Bali
Tim Penyusun. 2009. Data
Sekaa/Sanggar/Organisasi Kesenian
Tersebar di 7 Kecamatan Kabupaten
Gianyar. Dinas Kebudayaan
Tim Penyusun. 2011. Ensiklopedi Hindu.
Surabaya : Paramita
Titib, I Made. 2003. Teologi dan Simbol-
Simbol dalam Agama Hindu.
Surabaya : Paramita.
Wiadnyana, I Ketut Bendesa. 2007. “Fungsi
dan Makna Wayang Sudamala dalam
Upacara Memukur di Desa Rendang
Kecamatan Rendang Kabupaten
Karangasem Perspektif Nilai-Nilai
Pendidikan Agama Hindu”.(Skripsi).
Denpasar: IHDN
Wiana, I Ketut. 2004. Makna Upacara Yajna
dalam Agama Hindu II. Surabaya:
Paramita.

24

Você também pode gostar