Você está na página 1de 12

ANALISIS TUTUPAN KARANG PADA TIGA PULAU DI SEKITAR

TELUK JAKARTA

Dr. Y. Paonganan, S.Si.,M.Si.

Abstrak

Perairan Teluk Jakarta setiap tahun mendapatkan masukan bahan organik maupun
anorganik dari daratan melalui 13 buah sungai yang bermuara di teluk tersebut. Kondisi
ini tentunya akan berdampak pada kualitas perairan yang akan memberikan pengaruh
terhadap kestabilan ekosistem yang ada terutama beberapa pulau-pulau kecil yang ada
disekitranya bahkan sampai ke Kepulauan Seribu. Penelitian yang dilakukan untuk
melihat perubahan tutupan karang pada tiga pulau (Pulau Bokor, Pulau Pari dan Pulau
Payung) yang berada di sekitar Teluk Jakarta menunjukkan bahwa selama periode satu
tahun yaitu dari bulan Juni 2004 hingga bulan Mei 2005 terjadi perubahan tutupan
karang yang signifikan. Jumlah spesies karang yang ditemukan sebanyak 28 spesies.

Kata kunci: Tutupan, karang,

Pendahuluan

Teluk Jakarta adalah perairan yang dibatasi garis bujur 106o33’B.T. hingga

107o03’ B.T. dan garis lintang 5o48’30”L.S. hingga 6o10’30”L.S. Secara administrasi,

perairan Teluk Jakarta berada dalam wilayan pemerintahan DKI Jakarta. Teluk Jakarta

membentang dari Tanjung Kait di bagian Barat hingga Tanjung Karawang di bagian

Timur yang mempunyai panjang pantai ±89 km. Sepanjang perairan Teluk Jakarta

bermuara beberapa sungai besar, diantaranya Sungai Cisadane di Bagian Barat, Sungai

Ciliwung di Bagian Tengah dan Sungai Citarum dan Sungai Bekasi masing-masing di

Bagian Timur. Selain itu terdapat beberapa pulau diantaranya Pulau Bidadari, Pulau
Damar, Pulau Anyer, Pulau Rambut, Pulau Untung Jawa, Pulau Lancang, Pulau Bokor,

Pulau Pari dan lain sebagainya.

Secara umum, kondisi perairan Teluk Jakarta dipengaruhi oleh empat musim yaitu

Musim Barat yang mewakili Bulan Desember, Januari dan Februari, Musim peralihan

Barat-Timur mewakili Bulan Maret, April dan Mei, Musim Timur mewakili Bulan Juni,

Juli dan Agustus serta Musim Peralihan Timur-Barat mewakili Bulan September,
Oktober dan November. Selama musim-musim tersebut tejadi perubahan kondisi umum

perairan Teluk Jakarta, baik dari aspek fisik, kimia maupun biologis. Kondisi suhu air

permukaan pada Musim Barat berkisar antara 28.5 oC – 30.0 oC, pada Musim peralihan

Barat-Timur antara 29.5 oC – 30.7 oC, pada Musim Timur suhu berkisar antara 28.5 oC

– 31.0 oC dan pada Musim peralihan Timur Barat berkisar antara 28.5 oC – 31.0 oC.

Salinitas minimum di perairan Teluk Jakarta yang berkisar antara 25.0 – 32.5‰ terjadi

pada Musim Barat dengan kisaran 29.0 – 32.0‰. Kondisi salinitas maksimum dijumpai

pada Musim peralihan Barat-Timur yaitu berkisar antara 28.0‰ – 32.5‰ serta pada

Musim peralihan Timur-Barat berkisar antara 28.0‰ - 32‰ (Ilahude, 1995).

Karang merupakan penamaan umum untuk spesies dari kelompok Cnidaria, yang

merupakan penyusun utama terumbu karang, khususnya spesies yang memiliki rangka

yang terbuat dari Calsium Carbonat. Spesies yang memiliki kerangka keras dikenal

dengan nama karang batu (hard coral) yang merupakan anggota dari kelas Anthozoa.

Semua spesies dari kelas Anthozoa bersifat radial simetri, dimana secara morfologi

terkondisikan sebagai hewan yang hidup menetap di dasar perairan. Kelas Anthozoa

dibagi menjadi dua sub kelas yaitu Alcyonaria yang merupakan kelompok karang lunak

yang dicirikan dengan delapan buah tentakel, sedangkan sub kelas Zoantharia dicirikan

dengan enam buah tentakel yang merupakan kelompok karang keras (Veron, 1993)

Secara umum hewan karang hidup berkoloni dalam kerangka yang terbuat dari

kapur yang disebut Corralite serta eksoskeleton yang diproduksi oleh jaringan epitel.

Masing-masing polip yang hidup dalam satu kerangka dihubungkan oleh jaringan tipis

yang disebut cenosark. Untuk jenis karang yang bersifat hermatipik, pembuatan
kerangka dibantu oleh simbion yang hidup di dalam jaringan karang yang dikenal

dengan Zooxanthella yang merupakan kelompok mikroalga. Spesies yang umum

ditemukan dalam jaringan karang adalah Sybiodinium microadriaticum dari kelompok

Dinophyta. Bentuk simbiosis yang terjadi adalah simbiosis mutualisme dimana

zooxanthella membantu dalam pembuatan kerangka, sedangkan karang memberikan

nutrien yang dibutuhkan oleh Zooxanthella untuk kehidupannya (Veron 1993). Menurut
Sumich (1999) dan Burke et al. (2002) bahwa Zooxanthella dalam simbiosis dengan

hewan karang menghasilkan oksigen dan senyawa organik melalui fotosintesis yang

akan dimanfaatkan oleh karang, sedangkan karang menghasilkan komponen inorganik

berupa nitrat, fosfat dan karbon dioksida untuk keperluan hidup zooxanthella.

Harrison et al. (1994) mengungkapkan bahwa secara seksual, hewan karang

melakukan pemijahan setelah fertilisasi eksternal dan internal. Secara anatomi

reproduksi, hewan karang ada yang hermaprodit dimana ovarium dan testes berada pada

satu polip dan ada juga yang bersifat dioecius dimana ovarium dan testes terpisah pada

masing-masing polip. Proses fertilisasi pada hewan karang terjadi secara internal, yaitu

telur-telur dibuahi di dalam gastrovascular cavity (viviparous), setelah itu gonad

akan berkembang didalam mesentrial chamber atau di body cavity selanjutnya

melepaskan planula larva. Pada proses fertilisasi eksternal terjadi pelepasan telur dan

sperma kedalam air lalu tejadi fertilisasi. Berdasarkan penelitian Harrison et al.(1994)

didapatkan bahwa dari beberapa tahun penelitian terhadap reproduksi karang ternyata

bahwa sebagian besar spesies karang melakukan fertilisasi di luar tubuh. Larva planula

sebagai hasil pembuahan akan terbawa arus selama kurang lebih 2 - 3 hari lalu menjadi

larva bentik pada umur 5 - 7 hari dan akan melakukan penempelan pada substrat di

dasar perairan pada umur sekitar 5 - 7 hari. Hasil penelitian Gee (1999) menunjukkan

bahwa hewan karang dewasa melepaskan telur dan sperma atau zigot (fertilized

offspring) ke dalam air lalu berkembang menjadi juvenil dan selanjutnya akan

menempati tempat baru dan membentuk koloni.

Menurut Dupra (2002) bahwa ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu


sudah mengalami peningkatan budget materi organik maupun inorganik terutama yang

berasal dari daratan. Hasil penelitian Damar (2003) menunjukkan estimasi Dissolve

Inorganic Nitroegen (DIN) yang masuk ke perairan Teluk jakarta dari 3 sungai besar

21.260 ton/tahun. Total fosfat yang masuk ke Teluk Jakarta sepanjang tahun adalah

sebesar 6.741 ton/tahun, sedangkan silikat sebesar 52.417 ton/tahun. Materi organik dan

inorganik yang masuk begitu besar ke Teluk Jakarta sepanjang tahun akan berdampak
bagi kerusakan ekosistem laut. Pola penyebaran nutrien di Teluk Jakarta pada setiap

musim menunjukkan kecenderungan terjadi perubahan. Pada Musim peralihan Barat-

Timur kandungan fosfat tertinggi dijumpai di sepanjang pantai yakni pada bagian Barat

Teluk Jakarta mulai dari Tg.Pasir hingga ke muara Bekasi yang mencapai >0.60 µgA-

PO4/l dan semakin ke arah laut lepas konsentrasinya semakin kecil. Sebaliknya pada

Musim Timur dan Musim peralihan Timur- Barat konsentrasi fosfat tertinggi

ditemukan di sepanjang pantai Teluk Jakarta bagian Barat dan semakin ke arah laut

lepas mengalami penurunan (Suyarso, 1995).

Metodologi

Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di tiga pulau yaitu Pulau Bokor, Pulau Pari dan Pulau

Payung yang terletak di perairan sekitar Teluk Jakarta. Secara adminitrasi lokasi

tersebut masuk kedalam Wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Penelitian

ini berlangsung selama satu tahun yaitu dari bulan Juni 2004 – Mei 2005.

Metode Penelitian

Analisis jenis dan persentase penutupan lifeform organisme bentos yang


berasosiasi dengan terumbu karang dan penentuan kondisi terumbu karang dilakukan

dengan metode Line Intercept Transect (English et al., 1994). Pengukuran persentase

penutupan life form dilakukan pada ketiga lokasi dengan memasang permanen transek

pada kedalaman 3 m dan 10 m. Pengukuran dilakukan pada awal dan akhir penelitian

untuk melihat adanya perubahan yang terjadi selama masa penelitian berlangsung. Hasil

pengukuran tersebut akan tergambar perubahan pada kondisi terumbu karang secara

umum. Adapun prosedur pengamatan pada metode Line Intercept Transect adalah:
- Menarik garis transek sejajar garis pantai dengan mengikuti kontur dari

pertumbuhan terumbu karang sepanjang 30 m pada kedalaman 3 m dan 10 m

di setiap pulau.

- Mengukur jarak setiap organisme yang dilalui oleh transek berdasarkan bentuk

pertumbuhan dengan tingkat ketelitian 1 cm. Bentuk-bentuk pertumbuhan

organisme terumbu karang yang diukur dapat dilihat pada Tabel 3.

- Peralatan yang digunakan dalam analisis ini adalah perlengkapan alat selam,

alat tulis bawah air, rol meter. Selain itu disiapkan patok untuk memberikan

tanda transek permanen.

- Organisme yang belum teridentifikasi diambil contohnya dan diberi kode

untuk selanjutnya diidentifikasi di laboratorium.

Identifikasi contoh karang akan dilakukan di laboratorium menurut petunjuk;

Suharsono (1996) dan Veron (1986). Hasil pengukuran pada masing-masing transek

garis, selanjutnya dihitung nilai penutupannya berdasarkan rumus berikut (Gomez dan

Yap, 1988):

ni
Li  x100%
L
Dimana:

Li = persentase penutupan biota ke-i;

ni = panjang total kelompok biota karang ke-i; dan

L = panjang total transek garis.


Tabel 1. Kategori life form yang diukur pada pengamatan Line Intercept
Transect (English et.al., 1994)

Kategori Life form Kode


Hard Coral
a. Acropora
- Branching ACB
- Encrusting ACE
- Submassive ACS
- Digitate ACD
- Tabulate ACT
b. Non-Acropora
- Branching CB
- Encrusting CE
- Foliose CF
- Massive CM
- Submassive CS
- Mushroom CMR
- Millepora CME
- Heliopora CHL
Dead Coral DC
Dead Coral With Alga DCA
Other Fauna:
- Soft Coral SC
- Sponge SP
- Zoanthids ZO
- Other OT
Algae:
- Alga Asemblage AA
- Coralline Alga CA
- Halimeda HA
- Macroalgae MA
- Turf Algae TA
Abiotic:
- Sand S
- Rubble R
- Silt SI
- Water WA
- Rock RCK
Hasil dan Pembahasan
Salah satu ekosistem khas perairan tropis adalah ekosistem terumbu karang.

Meskipun secara kuantitatif ekosistem ini dikategorikan sedikit menyumbang nutrien di

lingkungan perairannya, tetapi ekosistem ini menyumbangkan produktivitas sangat

tinggi dalam sistem internalnya. Phyllum Coelenterata khususnya Cnidaria (karang)

merupakan satu-satunya biota yang mampu membentuk ekosistem yang selanjutnya

dinamakan ekosistem terumbu karang. Pembentukan ekosistem ini didahului oleh

pembentukan deposit CaCO3 pada hewan karang akibat hubungan simbiosisnya dengan

zooxanthellae.

Hasli pengukuran tutupan terumbu karang di lokasi penelitian yang dilakukan

dengan metode LIT (life intercept trasect) pada kedalaman 3 m dan 10 m pada awal

penelitian yaitu pada bulan Juni 2004 dan akhir penelitian di bulan Mei 2005 dapat

dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2. Persentase tutupan karang hidup di Pulau Bokor

lebih rendah dibandingkan dengan kedua pulau lainnya. Kondisi ini diduga terkait

dengan kondisi fisik-kimia perairan yang terukur selama penelitian ini. Hasil

pengukuran aspek fisik-kimia perairan menunjukkan kecenderungan bahwa di Pulau

Bokor sudah terjadi penurunan kualitas perairan yang cenderung kurang mendukung

kehidupan hewan karang. Tingginya sedimentasi dan konsentrasi nutrien diduga telah

menghambat pertumbuhan karang. Menurut Wallace (1998) bahwa terumbu karang

sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan hidupnya, curah hujan yang tinggi dan

aliran permukaan dari daratan (mainland runoff) dapat membunuh terumbu melalui

peningkatan jumlah sedimen dan terjadinya penurunan salinitas air laut. Jumlah spesies
karang yang ditemukan dalam penelitian ini sebanyak 28 spesies, dengan kemunculan

setiap pulau dapat dilihat pada Tabel 1.


40

35

30
Persen Penutupan

25

20

15

10

0
P. Bokor P. Pari P. Payung

Makrolaga Acropora Non Acropora Fauna Lain Abiotik Karang Mati

Gambar 1 Persen penutupan karang pada awal penelitian

40

35

30
Persen Penutupan

25

20

15

10

0
P. Bokor P. Pari P. Payung

Makrolaga Acropora Non Acropora Fauna Lain Abiotik Karang Mati

Gambar 2 Persen penutupan karang pada akhir penelitian


Tabel 6 Spesies karang yang ditemukan pada lokasi penelitian

Spesies P. Bokor P. Pari P. Payung


Acropora formosa √ √ √
Acropora vaughani √ √
Montipora verrucosa √ √
Montipora monastriata √ √
Acropora hyacinthus √ √ √
Acropra aspera √ √
Acropora palifera √ √
Pavona explanulata √
Agaracia incrustans √ √ √
Leptoseris tubulifera √ √ √
Seriatopora hystrix √ √
Porites digitata √ √
Pavona lata √ √
Pavona minuta √ √ √
Leptoseris papyracea √ √
Goniastrea aspera √ √
Porites lutea √ √ √
Favia maxima √ √ √
Platygyra deadalea √ √
Platygyra sinensis √
Montastrea valenciennesi √ √ √
Lobophylla corymbosa √ √
Favites pentagona √ √ √
Pavona venosa √ √
Favia stelligera √ √ √
Fungia echinata √ √ √
Fungia danai √ √
Millepora dichotoma √ √

Kualitas perairan di lokasi penelitian diduga telah mengalami menurun

menyebabkan kerusakan terumbu karang. Kondisi ini akan memberikan peluang

tingginya laju pertumbuhan makroalga dan dapat mempercepat kerusakan ekosistem.

Sebagai contoh di beberapa pulau di Kepualaun Seribu dengan lokasi yang relatif dekat

dengan Teluk Jakarta terlihat bahwa tingginya aktivitas run-off dari daratan Jakarta dan

telah terlihat jelas tingkat degradasi ekosistem yang tinggi. Hasil yang ditunjukkan

UNESCO (1997) bahwa polusi dan sedimentasi di Teluk Jakarta telah menyebabkan

degradasi kondisi terumbu karang di Pulau Seribu secara terus-menerus. Kondisi ini
menyebabkan hilangnya sembilan buah pulau yang sebelumnya ada di Kepulauan

Seribu dalam kurun waktu antara 1901-1982. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh

UNESCO (1998) bahwa kerusakan ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu

sebagai akibat adanya gradien polusi dari Teluk Jakarta menuju ke perairan Kepulauan

Seribu, sekitar 80 km dari pantai.

Persentase tutupan karang hidup di pulau ini hanya berkisar 24 % - 26 % kondisi

ini masuk dalam kategori jelek, sedangkan di Pulau Pari dan Pulau Payung masih dalam

kategori sedang, namun hal ini juga sudah mulai menuju kerusakan karena berbagai

proses alam dan terutama karena pengaruh aktivitas manusia di daratan Jakarta dan
sekitarnya. Hasil analisis ANOVA menunjukkan bahwa panjang intercept masing

masing lifeform berbeda setiap pulau. Hasil uji HSD Tukey (α = 0.05) menunjukkan

bahwa panjang intercept lifeform masing-masing pulau berbeda nyata (uji F; P =

0.0017).

Pustaka
Adey, W.H. and Goertemiller, T. 1987. Coral reef algal turf: master producers in
nutrient poor seas. Phycologia 26:374-386

A.G. Ilahude 1995. Sebaran suhu, salinitas, siqma-T, oksigen dan Zat hara di perairan
Teluk Jakarta in: Suyarso (ed) Atlas oseanologi Teluk Jakarta. Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia P3O, Jakarta

Atkinson, M.J. 1988. Are coral reefs nutrien limited?. Proc 6th Int.Coral Reef Symp
Publ 1 : 157-166.

Burke, L., E. Selig and M. Spalding. 2002. Terumbu karang yang terancam di Asia
Tenggara. Penerbit WRI, USA.

Damar, A. 2003. Effect of enrichment on nutrient dynamics, phytoplankton dynamics


and productivity in Indonesian tropical waters:a comparison between Jakarta
Bay, Lampung Bay and Semangka Bay (in English). Dissertation zur erlangung
des doktorgrades der mathematisc-natuwissenschaftlichen fakultat der Christian-
Alberchts Universitat. On line dissertation http//:e-diss.uni-
kiel.de/diss_702/d702.pdf dikunjungi tanggal 16 September 2003.
Dupra, V. 2002. Biogeochemical modeling of carbon, nitrogen and phosphorous
through the estuarine coastal system of east and southeast asia. www.survas.
mdx.ac.uk. Dikunjungi 10 Mei 2003.

English, S.,C. Wilkinson and V. Baker 1994. Survey manual for tropical marine
resources. AIMS, Townsville.

Gee, H. 1999. The coral challenge. In: Nature science update, www.nature.com.
Dikunjungi tanggal 14 Maret 2003.

Gomez, E. D. dan H. T. Yap. 1988. Monitoring Reef Condition in Kenchington, R. A.


and B. E. T. Hudson (ed.): Coral Reef Management Hand Book. UNESCO
Regional Office for Science and Technology for South East Asia. Jakarta.

Glynn, P.W. 1984. Widespread coral mortality and the 1982-83 El nino warming event.
Environ. Conserv 11:133-146

Guzman H.M. and Cortes,J. 1992. Cocos Island (Pasific coast of Costa Rica) coral reefs
after the 1982-83 El nino disturbance. Rev. Biol. Trop. 40:309-324.

Harrison, P. L. dan C. C. Wallace. 1990. Reproduction, dispersal and recruitment of


Scleractinian corals. Dalam: Dubinsky, Z (Ed), Ecosystem of the world, coral
reef. Elsevier Amsterdam, New York, Tokyo.

Harrison, P.L., R.C. Babcock., G.D. Bull., J.K.Oliver., C.C.Wallace, and B.L.Willis.
1994. Mass spawning in tropical reff corals. Science 223:1186-1189.

Hutagalung, H.P. Pencemaran laut oleh logam berat. P2O LIPI , Jakarta.

Legendre, L. dan P. Legendre. 1998. Numerical ecology. Second edition. Elsevier


Science B. V., Amsterdam.

Millero, F.J. 1996. Chemical Oceanography 2nd. Ed. CRC Press, New York.

Riley, J.P. and G. Skirrow. 1965. Chemical Oceanography. Academic Press, London
and New York.

Robertson, L.S., and F.J.Pierce.1988. Understanding sediments: problem and solutions.


Ext.Bulletin WQ-08, Michigan State University Extension:1-5.

Sumich, J.L 1999. An introduction to the biology of Marine Life. WCB McGraw-Hill
Publication.:484 p.

Suyarso 1995. Data dan analisis data oseanologi Teluk jakarta in: Suyarso (ed) Atlas
oseanologi Teluk Jakarta. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia P3O, Jakarta.
UNESCO. 1997. The missing islands of Pulau Seribu (Indonesia). www.unesco.org/
csi/act. Dikunjungi 13 November 2002.

UNESCO. 1998. Activities in Seribu Islands and in Jakarta Bay. www.unesco.or.id/


prog/science. Dikunjungi 13 November 2002.

Veron, J.E.N 1993. Corals of Australia and the Indo-Facific. Honolulu:University of


Hawaii Press.

Wallace D. 1998. Coral reef and their management. www.cep.unep.org (13 Maret
2003).

Você também pode gostar