Você está na página 1de 9

Pola Usaha Peternakan Kambing dan Kinerja Produktivitasnya

di Wilayah Eks-Karesidenen Banyumas Jawa-Tengah


(Goat farming pattern and their productivity in the area of eks-karesidenan
banyumas, central java)

Akhmad Sodiq1
1
Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal Soedirman
Jln. Dr. Soeparno, Po. Box 110, Purwokerto, Jawa-Tengah

ABSTRACT Goats play an important role in the breeds. PE goats focus on dual purposes for
livelihood of rural people in upland and lowland producing milk and meat are mostly found on
farming systems in the areas of Eks-Karesidenan upland. Flock size of PE and JR goats in upland and
Banyumas Central Java. The main focus of this lowland ranges from 2 to 9 head (mean: 3.8 head)
study presented in this paper, consist of (i) and from 1 to 6 head (mean: 2.7 head), respectively.
documenting the regional goat farming pattern, and Flock size of PE goat focus on dual purposes ranges
(ii) find out the level of goat productivity in their from 8 to 75 head. PE and JR goats in upland and
farming. Importance of this study related to the lowland were dominated by double litter, followed
development strategic fof their goat farming. Study by single and triplets. The highest litter size (1.89
was conducted in the areas of Eks-Karesidenan kids) was found in lowland, followed by single
Banyumas Central Java (consist of Banyumas, purpose of PE and JR goats in upland (1.78 kids),
Purbalingga, Banjarnegara, and Cilacap regencies). and dual porposes PE goats in upland areas (1.66
Upland and lowland areas were selected by kids). Pre-weaning mortality was highest (9.5%) in
purposive sampling method. Qualitative and lowland areas for single purpose of PE and JR
quantitative descriptive statistic was applied in this goats. Does reproduction and productivity ranges
study. Most of goats are raised within traditional from 1.76-5.24 kids/does/year and 12.92-87.42
system, characterized by small-scale production. kg/does/year, respectively. Doe productivity was
The production in upland and lowland areas focused lowest (12.92 kg/does/year) in single purpose of PE
on single purposes for producing kid goats from and JR at lowland due to low of their survival rate
Peranakan Etawah (PE) and Jawa Randu (JR) and weaning weight.

Key words: Goat farming pattern, goat productivity


2010 Agripet : Vol (10) No. 2: 1-8

PENDAHULUAN1 Devendra 2000; Sodiq, 2005) di samping itu


berperan sebagai pemacu program peningkatan
Ternak kambing mampu berkembang
konsumsi protein hewani. Kontribusi ternak
dan bertahan di semua zona agroekologi dan
kambing terhadap petani adalah substansial,
hampir tidak terpisahkan dari sistim usaha tani
Sabrani dan Knipscheer (1995) melaporkan
(Devendra and McLeroy, 1982; Wilson, 1995).
rataan sumbangan ruminansia kecil terhadap
Di banyak negara berkembang, ternak kambing
total pendapatan usaha tani sangat berarti, yaitu
telah dijadikan sebagai komuditas strategis
17, 26 dan 14 persen masing-masing untuk
sebagai instrumen pengentasan kemiskinan
dataran rendah, perkebunan karet dan dataran
(poverty alleviation) oleh kelembagaan
tinggi.
internasional. Peran ternak tersebut sangat
Dua tipe utama sistim produksi
strategis bagi kehidupan masyarakat pedesaan
peternakan kambing meliputi sistim tradisional
dan berkembang di hampir seluruh wilayah
dan modern (Gatenby, 1995). Sistim integrasi
Indonesia. Ternak kambing memainkan peran
tanaman dan ternak merupakan bagian integral
yang penting sebagai sumber pendapatan dan
dari usaha pertanian secara umum (Devendra,
mengurangi kemiskinan (FAO, 1999;
2002) dan untuk waktu kedepan memiliki
prospek dalam pemenuhan daging asal ternak
Corresponding author: sodiq_akhmad@hotmail.com

Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010

1
ruminansia (Thomas et al., 2002). Sistim deskriptif kualitatip dan kuantitatip untuk
peternakan kambing yang ditemukan di analisis data.
wilayah Indonesia pada umumnya termasuk
HASIL DAN PEMBAHASAN
kategori sistim tradisional smallholders, dan
dari sisi pengembangan usaha termasuk Pola Usaha Peternakan Kambing
kategori usaha mikro, kecil, dan menengah Sistim produksi ternak ruminansia
(UMKM). Pengembangan UMKM termasuk termasuk kambing secara tradisional
pada subsektor peternakan kambing, dewasa dikembangkan sebagai respon terhadap iklim
ini dirasakan semakin penting dan memiliki dan beberapa aspek lain dari lingkungan
peranan yang sangat strategis, apalagi disaat (Gatenby, 1995). Peternakan kambing yang
pemerintah belum sepenuhnya mampu ditemukan di wilayah Eks-Karesidenan
mengatasi berbagai dampak krisis ekonomi Banyumas dikategorikan sistim tradisional
seperti terbatasnya kesempatan kerja serta dalam bentuk smallholder. Pola usaha
masih banyaknya jumlah penduduk miskin. peternakan kambing di wilayah Eks-
Kajian pola usaha peternakan kambing di Karesidenan Banyumas dapat diklasifikasikan
wilayah Eks-Karesidenan Banyumas yang menjadi tiga tipologi (model) berdasarkan
mencakup upland dan lowland serta tujuan pemeliharaan (Sodiq, et al., 2006),
pencapaian tingkat produktivitasnya yaitu: (1) Tipologi usaha untuk menghasilkan
dibutuhkan dalam rangka penyusunan strategi anakan (meat purpose) yaitu model usaha
pengembangan untuk meningkatkan UMKM pemeliharaan kambing untuk memproduksi
subsektor peternakan kambing. Tujuan anakan (cempe) yang akan dibesarkan untuk
penelitian ini adalah mendokumentasikan pola tujuan sebagai calon bibit ataupun dibesarkan
usaha peternakan kambing beserta (digemukan) untuk tujuan disembelih (Tipologi
karakteristiknya dan mengetahui tingkat Model I); (2) Tipologi usaha untuk
produktivitasnya. menghasilkan daging dan susu (dual purposes)
atau model kombinasi, yakni model peternakan
METODE PENELITIAN kambing PE yang bertujuan untuk
memproduksi anakan (cempe) dan juga untuk
Penelitian dilaksanakan di wilayah Eks-
memproduksi susu (Tipologi Model II); dan (3)
Karesidenan Banyumas (meliputi kabupaten
Tipologi usaha kambing sebagai cabang usaha
Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara dan
tani (model integrasi) penderes gula kelapa.
Cilacap) dan ditujukan pada peternakan
Model peternakan kambing PE yang
kambing dalam bentuk individual maupun
diusahakan secara bersama dengan usaha
tergabung dalam bentuk kelembagaan
pembuatan gula kelapa. Pada tipe ini peternak
(kelompok). Sasaran utama penelitian ini
kambing juga berprofesi sebagai penderes nira
adalah peternakan (ternak dan peternak)
kelapa. Tipologi usaha ini dimaksudkan untuk
kambing dan masuk kategori Usaha Mikro
mengoptimalkan sumber tenaga kerja yang
Kecil Menengah (UMKM). Purposive
tersedia pada keluarga petani serta
Samping Method digunakan untuk penetapan
mengoptimalkan fungsi lahan untuk tanaman
lokasi penelitian dengan mempertimbangkan
hijauan pakan ternak disela-sela tanaman atau
topografi upland dan lowland. Dilibatkan 347
pinggiran areal perkebunan kelapa (Tipologi
peternak yang berasal dari peternak kambing
Model III).
Peranakan Etawah (PE) dan kambing Jawa
Pada umumnya usaha peternakan
Randu yang berada di daerah upland dan
kambing PE masih diusahakan untuk tujuan
lowland. Variabel penelitian meliputi variabel
menghasilkan anakan (cempe) dan hanya
pola usaha peternakan kambing beserta
sebagian kecil peternak yang melakukan usaha
karakteristiknya, serta variabel kinerja
pemeliharaan kambing PE untuk tujuan
produktivitas kambing mencakup litter size,
penghasil anakan sekaligus penghasil susu
preweaning mortality, doe reproduction index
(dual purposes). Hasil pengamatan di
dan doe productivity. Digunakan analisis
kabupaten Purbalingga tidak ditemukan
peternak yang mengusahakan kambing PE

Pola Usaha Peternakan Kambing dan Kinerja Produktivitasnya di Wilayah Eks-Karesidenen Banyumas Jawa-Tengah (Dr. Ir. Akhmad Sodiq, M.Sc. Agr)

2
untuk tujuan produksi susu. Di wilayah Secara umum usaha peternakan
kabupaten Banjarnegara dan Cilacap masing- kambing di daerah upland maupun lowland
masing ditemukan satu peternak yang pada wilayah Eks-Karesidenan Banyumas
mengusahakan kambing PE untuk tujuan hampir seluruhnya berupa usaha peternakan
produksi susu, sedangkan di kabupaten rakyat dan merupakan komponen pendukung
Banyumas dapat dijumpai pada dua lokasi dari sistim usaha tani. Hasil penelitian
(yaitu Purwokerto dan Gumelar) dengan terdahulu di daerah lain oleh Djajanegara dan
jumlah peternak mencapai 15 orang. Usaha Setiadi (1991) dan Soedjana (1993)
kambing perah dari jenis PE dan persilangan menunjukkan bahwa mendekati 99 persen
(kambing Sanen) dapat ditemukan di daerah ternak ruminansia kecil berada di tangan petani
tersebut. kecil dan kurang dari satu persen diusahakan
Peternak kambing PE di wilayah secara komersial penuh. Kebanyakan ternak
Gumelar tergabung dalam suatu dipelihara oleh petani kecil di pedesaan dengan
pengorganisasian Kelompok Tani Ternak tatalaksana secara tradisional (Chaniago, 1993)
Kambing “Peranakan Etawah Gumelar dengan jumlah yang kecil (4-5 ekor per
Banyumas (Pegumas)” yang memiliki anggota peternak) dibawah kondisi tradisional, dengan
32 orang dengan total populasi kambing PE cut-and-carry feeding system, dengan
mencapai 920 ekor dengan beragam umur penggembalaan setiap hari yang dibatasi
fisiologis dan jumlah induk yang yang (Djajanegara dan Setiadi, 1991). Tiga kategori
berproduksi sekitar 16 persen (68 ekor induk). sistim produksi ternak ruminansia, yaitu sistim
Penampilan kambing PE pada peternakan ekstensip, sistim kombinasi arrable cropping
Tipologi Model II nampak lebih baik (pinggiran jalan, sistim penggembalaan pada
dibandingkan penampilan kambing PE pada pangonan umum maupun lahan tanaman,
peternakan Tipologi Model I. Penampilan tethering, cut-and-carry feeding), dan sistim
kambing dapat ditunjukkan dengan ukuran integrasi tanaman dengan ternak. Di wilayah
morfologis tubuh seperti tinggi pundak, Eks-Karesidenan Banyumas ditemukan
panjang badan, bentuk profil muka dan berbagai pola, yaitu pada dataran rendah
panjang telinga. Kambing dewasa di (wilayah Cilacap dan Purbalingga) dijumpai
peternakan kambing PE tipologi Model II (di pola pemeliharaan ekstensip dan model
Banyumas, Banjarnegara dan Cilacap) tethering pada pinggiran jalan dan persawahan,
sebagian besar memiliki ukuran tinggi pundak serta areal lapangan dan pinggiran pantai
lebih dari 80 cm untuk betina dewasa dan 105 (wilayah pesisir Cilacap). Bangsa kambing
cm untuk pejantan, dengan panjang telinga yang dipelihara pada sistim tersebut sebagian
lebih dari 30 cm. Adapun kambing dewasa di besar adalah kambing Jawa Randu.
peternakan kambing PE Tipologi Model I dan Pertanyaan yang cukup mendasar
III (seperti di Purbalingga, dan Banyumas) apakah usaha ternak kambing berpeluang
pada umumnya memiliki ukuran tinggi pundak dikembangkan menjadi industri peternakan
kurang dari 55 cm untuk betina dewasa dan yang efisien. Di wilayah Eks-Karesidenan
sekitar 80 cm untuk pejantan, dengan panjang Banyumas, hingga saat ini ternak kambing
telinga lebih dari 25 cm. pada umumnya masih diusahakan secara
Keragaan kepemilikan ternak pada sambilan, namun ada kecenderungan pada
pola usaha penghasil anakan (Tipologi Model beberapa daerah bergeser dari usaha sambilan
I) maupun model integrasi (Tipologi Model III) yang bersifat ”subsisten” menjadi cabang
relatip bervariasi antar peternak. Jumlah usaha (mix-farming) maupun menjadi skala
kepemilikan kambing relatip bervariasi. industri peternakan kambing. UMKM
Kepemilikan kambing PE dan Jawa randu peternakan kambing PE di wilayah Eks-
setiap peternak pada wilayah upland berkisar Karesidenan Banyumas masih bersifat
2-9 ekor dengan rataan 3,8 ekor, sedangkan sambilan dengan menerapkan sistim tradisional
pada wilayah lowland berkisar 1-6 ekor dalam bentuk usaha rumah tangga. Pada usaha
dengan rataan 2,7 ekor. skala subsisten fungsi pemeliharaan ternak
kambing PE hanya sebatas sebagai tabungan

Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010

3
yang sewaktu-waktu dapat diuangkan bila ada pakan dan manajemen pemeliharaan, serta (iv)
keperluan mendesak. Perhitungan ekonomis pengembangan kelembagaan untuk memper-
termasuk biaya produksi dan tenaga kerja yang cepat arus informasi, pemasaran, promosi,
dilibatkan pada usaha tersebut belum menjadi permodalan, dll. Kegiatan di subsistim hulu
perhatian utama. Pada tipologi Model I untuk yang tidak kalah pentingnya dan perlu
menghasilkan anakan (meat purpose) usaha dilakukan oleh pemerintah antara lain: (i)
peternakan kambing cenderung masih bersifat penyediaan infrastruktur untuk memudahkan
tradisional sehingga belum memerlukan arus barang input-output serta pemasaran
investasi dan melibatkan lembaga perbankan. produk, (ii) ketersediaan laboratorium
Pada tipologi Model II (usaha untuk kesehatan hewan, pakan dan reproduksi, serta
dual purposes) atau model kombinasi yaitu (iii) penyiapan lahan usaha peternakan dan
model peternakan kambing PE yang bertujuan penetapan tata ruang agar pengembangan
memproduksi anakan (cempe) sekaligus untuk ternak tidak terganggu oleh masalah kesehatan
memproduksi susu, ada kecenderungan hewan, sosial, hukum dan lingkungan.
mengarah pada cabang usaha mix-farming Investasi swasta, mengacu kepada
maupun menjadi skala industri. Hal tersebut karakteristik usaha ternak kambing dan kondisi
didasari adanya perolehan tambahan riil yang ada, maka strategi yang tepat adalah
keuntungan yang relatif besar dari hasil mendorong peran peternak kecil dengan tetap
penjualan susu (sebagai daily income) memberi kesempatan swasta untuk berkiprah.
disamping hasil penjualan calon bibit, cempe Kombinasi pendekatan ini dinilai ideal,
atau pembesaran cempe. Hasil evaluasi mengingat keterbatasan kemampuan peter-
kelayakan usaha ternak kambing PE di wilayah nakan rakyat serta risiko yang dihadapi oleh
Eks-Karesidenan Banyumas (Sodiq et al., pihak swasta. Dalam skala terbatas swasta
2006), membuktikan bahwa usaha peternakan dapat bergerak dalam sektor produksi
kambing PE sebagai ternak dual purpose (budidaya), namun secara mandiri swasta dapat
(penghasil anakan dan susu) memberikan nilai bergerak di sektor hulu (usaha penyediaan
keuntungan usaha yang jauh lebih tinggi calon induk, penyediaan pejantan, penyediaan
dibanding dengan usaha hanya sebagai semen beku, pabrik pakan mini, dll), serta di
penghasil cempe. Parameter ekonomi kegiatan hilir (RPH, industri pengolahan
Profitability Indeks (PI) dan Internal Rate of daging, susu, kulit, kompos). Usaha ternak
Return (IRR) pada usaha kambing PE sebagai budidaya oleh swasta dilakukan dengan pola
ternak dual purpose (5,92 dan 105,12%) lebih kemitraan, peternak menghasilkan bakalan dan
tinggi dibanding hanya sebagai penghasil inti membeli untuk digemukkan atau langsung
anakan (1,002 dan 20,05%). Oleh sebab itu dipasarkan.
usaha kambing PE dapat mempunyai nilai Investasi masyarakat sebagian besar
strategis ekonomis, membantu program berasal dari pemanfaatan aset yang telah
pengentasan kemisikinan di pedesaan, serta dimiliki, atau sumber pendanaan baru yang
berperan dalam program ketahanan pangan berasal dari lembaga keuangan, bantuan
dengan menyediakan protein hewani berupa pemerintah, kerjasama dengan swasta (inti)
daging dan susu. atau bantuan keluarga/kelompok. Pengem-
Untuk pengembangan UMKM bangan investasi jelas akan mampu
peternakan kambing PE, terdapat tiga pelaku menciptakan lapangan kerja baru, baik peluang
investasi dalam pengembangan agribisnis untuk menjadi peternak mandiri maupun
kambing yaitu pemerintah, swasta, dan lowongan pekerjaan yang terlibat pada sektor
masyarakat/komunitas peternak. Investasi hulu dan hilir. Investasi masyarakat untuk
pemerintah dalam agribisnis ternak kambing pengembangan agribisnis ternak kambing
mencakup beberapa aspek yaitu (i) pelayanan dapat berupa investasi sumberdaya dan
kesehatan hewan, (ii) dukungan penyediaan produksi yang meliputi perkandangan, ternak,
bibit (pejantan) unggul dan induk berkualitas, pakan, obat, peralatan kandang serta bahan
(iii) kegiatan penelitian, pengkajian dan pembantu lainnya. Sumber pembiayaan dapat
pengembangan yang terkait dengan aspek berupa kredit dari perbankan ataupun dari

Pola Usaha Peternakan Kambing dan Kinerja Produktivitasnya di Wilayah Eks-Karesidenen Banyumas Jawa-Tengah (Dr. Ir. Akhmad Sodiq, M.Sc. Agr)

4
lembaga keuangan formal lainnya serta tidak sekelahiran (litter size) merupakan penampilan
menutup kemungkinan berasal dari lembaga reproduksi induk kambing lokal yang dapat
keuangan non formal seperti pinjaman dijadikan indikator kualitas atau mutu induk
kelompok atau koperasi bersama. Hastuti kambing, hal ini akan membantu program
(2004) dan Supadi dan Sumedi (2004) seleksi dalam usaha untuk mempercepat
melaporkan bahwa aksesibilitas masyarakat perbaikan performans. Sifat dewasa dini dan
desa terhadap lembaga pembiayaan formal fekunditas (jumlah anak/bunting) dan fertilitas
relatif kecil, oleh karena itu diperlukan kreasi tinggi memberi gambaran kemampuan
kelembagaan pembiayaan yang tepat. Sodiq meningkatkan populasi.
(2009 dan 2010) merekomendasikan perlunya
penguatan kelembagaan kelompok dengan Tabel 1. Keragaan produktivitas kambing di
fasilitasi teknologi untuk meningkatkan wilayah Eks-Karesidenan Banyumas
aksesibilitas penguatan modal dari perbankan Kambing Kambing Kambing
PE PE PE
yang harus didukung oleh kebersamaan dan Karakteristik Produksi tipe dan Jawa dan Jawa
sinergis berbagai komponen yaitu Government, dwiguna
(Upland)
Randu
(Upland)
Randu
(Lowland)
Academician, Businessman-Bank, and Social Litter Size pada Saat Beranak:
Community (GABBS).  Rataan litter size (ekor) 1,66 1,78 1,89
 Litter size tunggal (%) 36,82 30,76 15,78
Produktivitas Ternak Kambing  Litter size kembar dua (%) 59,88 60,00 78,94
Hasil pendataan terhadap 347 peternak  Litter size kembar tiga (%) 3,29 9,23 5,26

diperoleh bahwa kepemilikan kambing PE dan Mortalitas Cempe Prasapih:

Jawa Randu setiap peternak pada wilayah  Rataan mortalitas prasapih (%) 6,04 7,30 9,43

upland berkisar 2-9 ekor (rataan 3,8 ekor), Indeks Reproduksi Induk:
 Rataan (ekor/induk/tahun) 2,54 2,67 2,03
sedangkan pada wilayah lowland berkisar 1-6
 Minimal (ekor/induk/tahun) 1,56 1,50 0,93
ekor (rataan 2,7 ekor). Pada pemeliharaan
 Maksimal (ekor/induk/tahun) 5,14 5,14 3,60
untuk tujuan dwi-guna penghasil cempe dan Produktivitas Induk:
susu, kepemilikan berkisar dari 8-75 ekor.  Rataan (kg/induk/tahun) 42,85 37,66 28,44
Tujuan pemeliharaan pada umumnya sebagai  Minimal (kg/induk/tahun) 26,53 21,00 12,92
usaha sambilan, dan beberapa peternak sudah  Maksimal (kg/induk/tahun 87,42 72,00 50,40
mengarah sebagai cabang usaha maupun usaha
pokok terutama pada skala usaha di atas 50 Induk kambing dapat beranak lebih
ekor. Keragaan produktivitas yang meliputi dari satu ekor dan lamanya bunting lebih
jumlah anak sekelahiran (litter size), mortalitas pendek dari ruminansia besar. Jumlah anak tiap
cempe prasapih, indeks reproduksi dan kelahiran tergantung dari kemampuan betina,
produktivitas induk disajikan pada Tabel 1. yakni banyaknya ovum yang masak dan jumlah
Jumlah anak sekelahiran berkisar dari telur yang dibuahi. Kemampuan ini
1-3 ekor dengan frekuensi kelahiran kembar dipengaruhi oleh sifat-sifat pembawaan
dua cenderung lebih (59-79%), diikuti (bakat), pengaruh luar (lingkungan), dan
kelahiran tunggal dan kelahiran kembar tiga. interaksinya (Hardjosubroto, 1994). Tabel 1
Rataan jumlah anak sekelahiran pada kambing memperlihatkan bahwa mortalitas cempe
adalah1,66 ekor (PE dwi-guna di wilayah prasapih di bawah 10 persen berkisar 6-9,4
upland), serta 1,78 dan 1,89 ekor masing- persen. Mortalitas pra-sapih umumnya sering
masing pada kambing PE dan Jawa Randu di terjadi pada anak kambing yang lahir kembar
wilayah upland dan lowland. Jumlah anak daripada anak kambing yang lahir tunggal. Hal
sekelahiran induk kambing lebih tinggi dari ini kemungkinan disebabkan anak kambing
yang didapatkan oleh Handiwirawan et al. yang lahir tunggal lebih mempunyai
(1996), yaitu sebesar 1,29 ekor, dan lebih kesempatan untuk mendapatkan air susu dari
rendah dari hasil penelitian Ngadiono induknya dibandingkan dengan anak kambing
dkk.(1984) yakni sebesar 1,56 ekor. Hasil yang lahir kembar. Sedangkan Handiwirawan
penelitian ini mendekati laporan Astuti (1983) et al. (1996) melaporkan kematian cempe
yakni sebesar 1,70 ekor. Jumlah anak

Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010

5
banyak ditemui pada induk kambing yang mortalitas prasapih dan memperpendek selang
diberi pakan dengan tingkat protein rendah beranak. Untuk meningkatkan jumlah anak
(10%) dan tanpa suplementasi mineral mikro. sekelahiran dapat dilakukan dengan jalan
Laju mortalitas cempe ini juga lebih rendah memelihara induk kambing yang sering
dibandingkan dengan laporan Setiadi et al. beranak kembar. Pemeliharaan induk dengan
(1984) yaitu sebesar 34,23 persen dan jumlah anak kembar, harus diiringi dengan
Handiwirawan et al. (1996) sebesar 45 persen.. manajemen pemeliharaan yang lebih intensif
Indeks reproduksi induk atau laju untuk menekan laju mortalitas cempe prasapih.
reproduksi induk (LRI) merupakan gambaran Jarak beranak dapat diperpendek dengan
kemampuan induk dalam merawat cempe memperbaiki tatalaksana perkawinan, yaitu
sampai disapih. LRI kambing di wilayah dengan mempercepat perkawinan induk
penelitian berkisar 0,95-5,14 ekor anak kambing setelah masa involutio uteri selesai
sapih/induk/tahun. Rataan nilai LRI tertinggi sekitar 2−3 bulan setelah induk beranak.
(2,67 ekor anak sapih/induk/tahun) diperoleh
pada kambing PE dan Jawa Randu di wilayah KESIMPULAN
upland. Kemampuan seekor induk untuk
Pola usaha peternakan kambing di
menghasilkan bobot cempe sapihan digunakan
wilayah Eks-Karesidenan Banyumas
indikator produktivitas induk (PI). Tabel 1
diklasifikasikan menjadi tiga tipologi (model)
memperlihatkan bahwa nilai PI berkisar dari
berdasarkan tujuan pemeliharaan: (i) Tipologi
12,92-87,42 kg cempe sapihan/induk/tahun.
usaha meat purpose yaitu model usaha
Rataan nilai PI tertinggi (42,85 kg
pemeliharaan kambing untuk memproduksi
cempe/induk/tahun) diperoleh pada kambing
cempe dengan tujuan calon bibit ataupun
PE tipe dwi guna, diikuti oleh kambing PE dan
dibesarkan (digemukan) untuk disembelih, (ii)
Jawa Randu pada wilayah upland dan lowland
Tipologi usaha dual purposes yaitu untuk
masing-masing 37,66 dan 28,66 kg
menghasilkan daging dan susu, dan (iii)
cempe/induk/tahun. Nilai PI meningkat sebagai
Tipologi usaha kambing sebagai cabang usaha
akibat meningkatnya bobot sapih cempe,
tani (model integrasi) dengan penderes gula
seperti pada kambing PE tipe dwiguna mampu
kelapa. Tipologi usaha ini dimaksudkan untuk
mencapai 18 kg.
mengoptimalkan sumber tenaga kerja yang
Greyling (2000) dan Marai et al.
tersedia pada keluarga petani serta
(2002) melaporkan bahwa penampilan
mengoptimalkan fungsi lahan untuk tanaman
produksi sangat ditentukan oleh interaksi
hijauan pakan.
faktor genetik dengan, dan pengaruh paritas
Kepemilikan kambing PE dan Jawa
sangat nyata terhadap produktivitas kambing.
randu pada pola single purpose di wilayah
Hasil penelitian Ndlovu dan Simela (1996)
upland berkisar 2-9 ekor (rataan 3,8 ekor),
menunjukkan bahwa akibat rendahnya laju
sedangkan pada wilayah lowland berkisar 1-6
pertumbuhan cempe dan panjangnya jarak
ekor (rataan 2,7 ekor). Kepemilikan kambing
beranak berakibat penurunan produktivitas
pada pola dual porposes berkisar 8-75 ekor.
induk dalam menghasilkan jumlah kg bobot
Pada upland maupun lowland, tipe beranak
cempe sapihan dalam periode tertentu. Rataan
didominasi oleh kelahiran kembar dua, diikuti
PI kambing meningkat sejalan peningkatan
tunggal dan kembar tiga. Rataan jumlah anak
paritas hingga paritas keempat dan kelima,
sekelahiran pada kambing PE dan Jawa Randu
kemudian berangsur menurun. Steve and
pola single purpose di lowland (1,89 ekor) dan
Marco (2001) memperlihatkan tingkat
upland (1,78 cempe), sedangkan pada kambing
produktivitas kambing dapat berkorelasi
PE pola dual porposes di upland sebesar 1,66
positip dengan umur kematangan induk, dan
ekor. Kematian cempe tertinggi (9,5%) terjadi
kemampuannya menurun drastis setelah iduk
di lowland. Laju reproduksi dan produktivitas
berumur 9 tahun.
induk masing-masing berkisar dari 1,76-5,24
Beberapa upaya untuk meningkatkan
cempe/induk/tahun dan 12,92-87,42 kg/induk/
LRI dapat dilakukan dengan meningkatkan
tahun. Tingkat produktivitas induk terendah
jumlah anak sekelahiran, menurunkan laju

Pola Usaha Peternakan Kambing dan Kinerja Produktivitasnya di Wilayah Eks-Karesidenen Banyumas Jawa-Tengah (Dr. Ir. Akhmad Sodiq, M.Sc. Agr)

6
(12,92 kg/dinduk/tahun) dijumpai pada Gatenby, R.M., 1995. The Tropical
kambing PE dan Jawa Randu di lowland Agriculturalist: Goats. Macmillan
disebabkan oleh rendahnya daya hidup dan Education Ltd. London and
pencapaian bobot sapih cempe. Basingstoke. 153pp.
Greyling, J.P.C., 2000. Reproduction traits in
UCAPAN TERIMAKASIH the Boer goat doe. Small Rum. Res.
Tulisan ini merupakan bagian dari 36:171-177.
hasil Riset Strategis Nasional (Stranas) melalui Handiwirawan, E., Setiadi, B. dan Anggaeni,
Universitas Jenderal Soedirman. Kepada para D., 1996. Seminar Nasional
peternak dan pengurus kelompok tani ternak Peternakan dan Veteriner. Pusat
kambing di wilayah Eks-Karesidenan Penelitian dan Pengembangan
Banyumas dihaturkan terimakasih atas Peternakan Produktivitas Induk Ternak
kerjasamanya. Ruminansia Kecil pada Kondisi
Peternakan Rakyat di Kabupaten
DAFTAR PUSTAKA Lebak. In: Prosiding Badan Litbang
Astuti, M., 1983. Parameter Produksi Pertanian. Deptan. Bogor.
Kambing dan Domba di Daerah Hastuti, LE., 2004. Aksesibilitas Masyarakat
Dataran Tinggi Kec. Tretep Kab. Terhadap Kelembagan Pembiayaan
Temanggung. Dalam: Prosiding Pertanian di Pedesaan. ICASERD
Pertemuan Ilmiah Penelitian Working Paper No.57. Indonesian
Ruminansia Kecil. Bogor, Indonesia. Center for Agricultural Socio
22-23 Nopember 1983. pp.114-117. Economic Research and Development.
Chaniago, T.D., 1993. Present Management Hardjosubroto, W., 1994. Aplikasi
System. In: Small Ruminant Pemuliabiakan Ternak di Lapangan.
Production in the Humid Tropics, Gramedia Widiasarana Indonesia.
Manika Wodzicka. T., et al. (Ed.). Marai, I.F.M., Abou-Fandoud, E.I., Daader,
UNS-Press, Surakarta. pp.34-50. A.H., and Abu-Ella, A.A., 2002.
Devendra, C., 2002. Crop–animal systems in Reproductive doe traits of the Nubian
Asia: future perspectives. Agric. Syst. (Zaraibi) goats in Egypt. Small Rum.
71, 179– 186. Res. 46:201-205.
Devendra, C., 2000. Challenges for research Ndlovu and Simela, 1996. Effect of season of
and development of goats. In: birth and sex of kid on the production
Proceedings International Conferences of live weaned single born kids in
on Goats. France, 19-21 May 2000. smallholder East African goat flocks in
Devendra, C. and McLeroy, 1982. Goat and North East Zimbabwe. Small Rum.
Sheep Production in the Tropics. Res. 22:1-6.
Intermediate Tropical Agricultural Sabrani, M. and Knipscheer, H.C., 1995.
Series, Longman Group Limited, Small Ruminant for Small Farmers.
Essex, UK. 271pp. Ministry of Agriculture, Agency for
Djajanegara, A. and Setiadi, B., 1991. Goat Agricultural Research and
Production in the Asian Humid Development. Jakarta, Indonesia.
Tropics : Goat Production in Setiadi, B dan Sitoorus, P., 1984. Penampilan
Indonesia. In: Proceeding of an Reproduksi dan Produksi Kambing
International Seminar Goat Production Peranakan Etawah. In: Prosiding
in the Asian Humud Tropics. Prince Pertemuan Ilmiah Penelitian
of Sankla University of Thailand. Ruminansia Kecil Domba dan
FAO, 1999. Poverty Alleviation and Food Kambing di Indonesia. Pusat
Security in Asia: Role of Livestock. Penelitian dan Pengembangan
RAP Publication 1999/4. Food and Peternakan. Bogor.
Agriculture Organization of the United
Nations. Bangkok 10200, Thailand.

Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010

7
Sodiq, A., 2010. Improving Livestock
Production System of Peranakan
Etawah Goat Farming for Increasing
Accessibility to Bank. In: Proceedings
International Seminar on Prospects and
Challenges of Animal Production in
Developing Countries in the 21st
Century, Malang, March 23-25, 2010.
Sodiq, A., 2009. Aksesibiltas terhadap
Perbankan dalam Mendukung Pemba-
ngunan Peternakan. Makalah Utama
Sidang Pleno. Pertemuan Teknis
Fungsi-Fungsi Pembangunan
Peternakan, Mataram, NTB, 23-25
April 2009.
Sodiq, A., 2005. Small ruminants: Implication
and research strategies on rural poverty
alleviation. J. Rural Dev. 1(7):1-7.
Sodiq, A., Setianto, N.A., Sumarmono, J.,
Utami, S. dan Mustaufik. 2006. Kajian
Pola Pembiayaan Ternak Kambing PE
dan Pengolahan Susu Kambing PE di
Wilayah Eks- Karesidenan Banyumas.
Final Report. Kerjasama antara BI
dengan Fak. Peternakan Unsoed,
Purwokerto.
Soedjana, T.D., 1993. Produksi Kambing dan
Domba di Indonesia: Ekonomi
Pemeliharaan Ternak Ruminansia
Kecil. Sebelas Maret University Press.
Surakarta Indonesia.
Steve, D.C. and Marco, F.B., 2001.
Reproductive success in female
mountain goats: the influence of age
and social rank. Anim. Behaviour
62:173-181.
Supadi dan Sumedi, 2004. Tinjauan Umum
Kebijakan Kredit Pertanian. ICASERD
Working Paper No.25. Indonesian
Center for Agricultural Socio
Economic Research and Development.
Thomas, D., Zerbini, E., Rao, P.P. and
Vaidyanathan, A., 2002. Increasing
animal productivity on small mixed
farms in South Asia: a systems
perspective. Agric. Syst. 71(1-2): 41-
57
Wilson, R.T., 1995. Livestock Production
System. Macmillan Education, Ltd.,
Paris. 141pp.

Pola Usaha Peternakan Kambing dan Kinerja Produktivitasnya di Wilayah Eks-Karesidenen Banyumas Jawa-Tengah (Dr. Ir. Akhmad Sodiq, M.Sc. Agr)

8
Agripet Vol 10, No. 2, Oktober 2010

Você também pode gostar