Você está na página 1de 8

FUNGAL PNEUMONIA

Overview of Fungal Pneumonia


Pneumonia is the leading infectious cause of death in developed countries. Among the
vast diversity of respiratory pathogens, fungi account for only a small portion of
community-acquired and nosocomial pneumonias. However, fungal respiratory infections
generate concern in the expanding population of immunosuppressed patients. [1] Fungi
may colonize body sites without producing disease or they may be a true pathogen,
generating a broad variety of clinical syndromes.

Fungal pneumonia is an infectious process in the lungs caused by one or more endemic
or opportunistic fungi. Fungal infection occurs following the inhalation of spores, after the
inhalation of conidia, or by the reactivation of a latent infection. Hematogenous
dissemination frequently occurs, especially in an immunocompromised host.

Endemic fungal pathogens


(eg, Histoplasma capsulatum, Coccidioides immitis, Blastomyces
dermatitidis, Paracoccidioides brasiliensis, Sporothrix schenckii, Cryptococcus
neoformans) cause infection in healthy hosts and in immunocompromised persons, in
defined geographic locations of the Americas and around the world.

Opportunistic fungal organisms


(eg, Candida species, Aspergillus species, Mucor species) tend to cause pneumonia in
patients with congenital or acquired defects in the host immune defenses.
The diagnosis of fungal pneumonias is difficult to prove, and is often made on a
presumptive basis. It relies on a combination of clinical, radiologic, and microbiological
factors. Nonmolecular fungal markers in serum or other biological samples represent a
noninvasive diagnostic tool, which can help in therapeutic decisions.
The individual prognosis is often linked to the severity and outcome of the underlying
disease and to whether a reversal of factors affecting the patient's immune status is
possible.
Pulmonary nodules resulting from fungal infection are seen below.

Chest radiograph showing multiple pulmonary nodules. The patient was treated with corticosteroids for
acute graft versus host disease following bone marrow transplantation for chronic myeloid leukemia. The
patient smoked marijuana for 2 weeks prior to this chest radiograph being taken. Bronchoalveolar lavage
revealed Aspergillus niger and other species on fungal cultures.

Complications of fungal pneumonia


Complications of fungal pneumonia include (1) disease dissemination to other sites (ie,
brain, meninges, skin, liver, spleen, kidneys, adrenals, heart, eyes) and sepsis syndrome
and (2) blood vessel invasion, which can lead to hemoptysis, pulmonary infarction,
myocardial infarction, cerebral septic emboli, cerebral infarction, or blindness.
Other complications may include the following:
 Bronchopleural or tracheoesophageal fistulas
 Chronic pulmonary symptoms
 Mediastinal fibromatosis (histoplasmosis)
 Broncholithiasis (histoplasmosis)
 Pericarditis and other rheumatologic symptoms

Treatment of fungal infection


Therapy for fungal pneumonias must include antifungal agents. The type of antifungal
drug employed must be selected based on the particular pathogen that is isolated or that
is clinically suspected. Many classes of antifungal agents are now available, including the
classic antibiotics; first-, second-, and third-generation triazoles; and the echinocandins.
Amphotericin B is less frequently used and, when used, is often given as a liposomal
formulation to decrease toxicity.

Risk Factors
Workers or farmers with heavy exposure to bird, bat, or rodent droppings or other animal
excreta in endemic areas are predisposed to any of the endemic fungal pneumonias,
such as histoplasmosis, in which the environmental exposure to avian or bat feces
encourages the growth of the organism. In addition, farmers, nursery workers,
landscapers, and gardeners are at higher risk of acquiring sporotrichosis because of their
chance of cuts or puncture wounds while working with soil.
Coccidioides species are dimorphic existing as mold in the environments and as
spherules in vivo. Arthroconidia in mold state are easily dispersed and inhaled into the
lungs. [3]Therefore, because of its high virulence, it is also a threat among laboratory
personnel working with this fungus. [3]
Conditions that predispose patients to any of the opportunistic fungal pathogens are as
follows:
 Acute leukemia or lymphoma during myeloablative chemotherapy
 Bone marrow or peripheral blood stem cell transplantation
 Solid organ transplantation on immunosuppressive treatment
 Prolonged corticosteroid therapy
 Acquired immunodeficiency syndrome
 Prolonged neutropenia from various causes
 Congenital immune deficiency syndromes
 Postsplenectomy state
 Genetic predisposition
With regard to predisposition through stem cell transplants, certain toll-like receptor (TLR)
polymorphisms (eg, TLR 4 haplotype S4) in an unrelated stem cell donor can increase
the risk of invasive aspergillosis in the transplant recipient. Similarly, TLR1 and TLR6
polymorphisms in the recipient have been associated with susceptibility to invasive
aspergillosis after allogeneic stem cell transplantation.
CYSTIC FIBROSIS

Cystic fibrosis atau fibrosis kistik adalah penyakit genetika yang menyebabkan lendir-
lendir di dalam tubuh menjadi kental dan lengket, sehingga menyumbat saluran-saluran
di dalam tubuh.

Akibat penyumbatan ini beberapa organ, terutama paru-paru dan sistem pencernaan,
mengalami gangguan dan bahkan kerusakan.

Beberapa gejala yang dapat timbul ketika kondisi ini menyerang paru-paru adalah:

 Batuk berkepanjangan
 Muntah
 Sesak napas atau sulit bernapas
 Mengi
Batuk terjadi ketika tubuh berusaha membersihkan paru-paru dari lendir yang kental, dan
gejala ini merupakan yang paling umum.
Selain gejala-gejala di atas, infeksi paru-paru juga rentan dialami oleh penderita fibrosis
kistik. Infeksi ini dapat menjadi makin parah dan berpotensi menular antar sesama
penderita fibrosis kistik akibat berkembang biaknya bakteri.

Di dalam sistem pencernaan, saluran pankreas juga dapat tersumbat oleh lendir. Dengan
tersumbatnya pankreas, maka otomatis enzim pencernaan yang dihasilkan oleh organ
tersebut tidak dapat mencapai usus untuk membantu proses pencernaan makanan.

Itu sebabnya penderita fibrosis kistik yang mengalami gangguan pada sistem
pencernaannya akan mengalami gejala-gejala seperti:

 Penurunan berat badan atau bahkan pertumbuhan yang terhambat akibat makanan yang
tidak tercerna dengan baik sehingga penderita kekurangan nutrisi atau malanutrisi.
 Tekstur tinja yang menggumpal, berminyak, dan berbau tajam.
Pada bayi yang baru lahir, fibrosis kistik dapat menyumbat proses pembuangan kotoran
awal atau meconium yang umumnya keluar di hari pertama atau hari kedua kelahiran
mereka.
Kotoran yang berwarna hitam pekat tersebut menjadi sulit melewati usus karena
teksturnya berubah menjadi makin padat. Kondisi ini dinamakan meconium ileus dan
penanganannya hanya bisa dilakukan melalui operasi.
Selain meconium ileus, bayi yang lahir dengan fibrosis kistik juga rentan mengalami
gejala sakit kuning.

Gejala Cystic Fibrosis Lainnya


Seseorang yang memiliki penyakit cystic fibrosis atau fibrosis kistik juga akan rentan
terkena:
 Infeksi hidung, seperti polip hidung dan sinusitis.
 Diabetes, akibat pankreas tidak dapat memproduksi insulin yang cukup.
 Kemandulan pada pria akibat terhalangnya saluran yang membawa sperma, serta
kemandulan pada wanita akibat terganggunya siklus menstruasi dan tebalnya cairan di
dinding rahim.
 Inkontinensia urin karena hilangnya kontrol otomatis dari kandung kemih sehingga urin
bisa merembes keluar kapan saja.
 Gangguan hati.
Pada tiap penderita fibrosis kistik, gejala yang berkembang bisa berbeda-beda, namun
yang terpenting adalah Anda mengenali gejala tersebut sejak dini terutama pada anak
Anda. Oleh karena itu, temuilah dokter jika anak Anda kerap mengalami mengi, sesak
napas, batuk-batuk bahkan dahak bercampur darah, demam, infeksi paru-paru, mudah
lelah saat melakukan aktivitas, dan pertumbuhan berat badan yang lambat atau statis
bahkan mempunyai jari-jari tabuh.
Penyebab Cystic Fibrosis
Cystic fibrosis atau fibrosis kistik adalah penyakit keturunan atau didapat seseorang dari
orang tuanya akibat adanya perubahan genetika. Perubahan genetika ini memengaruhi
pergerakan air dan garam pada sel-sel tubuh yang bertugas memproduksi lendir
sehingga kadar kekentalan dan kelengketan lendir tersebut menjadi sangat tinggi.
Lendir-lendir yang kental dan lengket ini kemudian menumpuk dan menyumbat berbagai
saluran di dalam organ tubuh, seperti sistem pencernaan, paru-paru, dan organ lainnya,
yang pada akhirnya menimbulkan radang dan infeksi berulang, serta kerusakan pada
organ-organ tersebut.

Diagnosis Cystic Fibrosis


Diagnosis untuk mengetahui keberadaan cystic fibrosis atau fibrosis kistik dapat
dilakukan sejak bayi baru lahir. Tujuannya agar pengobatan bisa dilakukan sedini
mungkin apabila kondisi ini ternyata diidap mereka.
Salah satu jenis pemeriksaan yang umum dilakukan adalah tes sampel DNA. Di dalam
metode ini, kerusakan pada gen berperan besar menyebabkan fibrosis kistik diperiksa.
Sampel DNA dapat diambil dari air liur atau darah bayi.

Jenis pemeriksaan lainnya adalah tes sampel keringat. Sama seperti pemeriksaan DNA,
tujuan pemeriksaan ini adalah untuk mengetahui adanya fibrosis kistik melalui kadar
garam keringat. Tes sampel keringat biasanya sudah bisa dilakukan saat baru berusia
satu bulan.

Pemeriksaan bakteri pada air liur dan pemindaian yang terdiri dari CT scan, MRI
scan, dan pemindaian X-ray / rontgen dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat
kerusakan paru-paru.
Selain itu ada pemeriksaan fungsi organ untuk mengukur tingkat kesehatan organ hati
dan pankreas. Metode ini juga dapat dipakai untuk mendeteksi adanya gejala diabetes
dan biasanya dilakukan secara berkala setelah pasien berumur sepuluh tahun.

Jenis pemeriksaan lanjutan yang keempat adalah pemeriksaan fungsi paru-paru untuk
mengetahui seberapa cepat pasien bernapas, besarnya volume udara yang dihirup atau
dihembuskan, serta seberapa baik organ tersebut dalam mengedarkan oksigen ke darah.

Tujuan seluruh pemeriksaan lanjutan ini adalah untuk mengetahui perkembangan gejala
dan mengendalikannya agar tidak makin parah.

Pengobatan Cystic Fibrosis


Sebenarnya cystic fibrosis atau fibrosis kistik adalah kondisi yang tidak dapat
disembuhkan. Penanganan yang dilakukan hanya sebatas untuk meredakan gejala,
mencegah munculnya berbagai komplikasi dan infeksi-infeksi jangka panjang yang
merusak, serta membantu penderita menjalani aktivitas dalam kehidupan sehari-hari
secara lebih mudah.
Pengobatan utama fibrosis kistik adalah menggunakan antibiotik untuk melawan infeksi
di dalam paru-paru. Bentuk konsumsi antibiotik ini bermacam-macam, ada yang diminum
sebagai kapsul, pil, atau sirup, tapi ada juga yang diinfus. Contoh-contoh obat antibiotik
untuk fibrosis kistik di antaranya tobramycin dan ciprofloxacin.

Selain antibiotik, dokter juga dapat meresepkan obat-obatan untuk mengurangi


peradangan, seperti predisone atau fluticasone yang masuk ke dalam golongan
kortokosteroid, cromolyn yang masuk ke dalam golongan penstabil membran, dan
ibuprofen yang masuk ke dalam golongan obat antiinflamasi nonsteroid.

Obat-obatan pengendali volume dan pengurang kekentalan lendir di dalam paru-paru


juga merupakan bagian dari pengobatan yang umumnya diresepkan untuk penderita
fibrosis kistik. Contoh obat-obatan ini adalah hypertonic saline atau golongan larutan
garam, serta acetylcysteine yang masuk ke golongan mukolitik. Selain dapat
mengendalikan lendir di dalam paru-paru, mukolitik juga dapat mengurangi kadar
kekentalan lendir di dalam usus.
Untuk memperlebar saluran pernapasan agar napas menjadi lega dan mengeluarkan
lendir melalui batuk, dokter dapat meresepkan obat-obatan, seperti atrovent, yang masuk
ke dalam golongan antikolinergik, serta salmeterol yang masuk ke dalam golongan
bronkodilator.

Metode Penanganan Cystic Fibrosis Lainnya


Selain melalui konsumsi obat-obatan, gejala-gejala cystic fibrosis atau fibrosis kistis juga
dapat diobati melalui beberapa terapi di bawah bimbingan dokter, seperti:
 Fisioterapi untuk membersihkan lendir di dalam paru-paru.
 Terapi siklus pernapasan.
 Terapi oksigen.
 Terapi latihan fisik dan olahraga untuk menjaga postur tubuh dan memobilisasi otot dan
sendi-sendi di sekitar dada, pundak, serta punggung.
 Terapi perubahan posisi agar lendir mudah keluar dari paru paru. Teknik ini disebut
juga postural drainage.

Penanganan Cystic Fibrosis dengan Operasi


Penanganan cystic fibrosis atau fibrosis kistik dengan prosedur operasi kemungkinan
akan disarankan oleh dokter apabila gejala yang ada sudah makin parah dan tidak bisa
lagi ditangani dengan obat-obatan atau metode lainnya. Pada kasus fibriosis kistik
dengan gejala paru-paru yang berhenti berfungsi, operasi transplantasi paru-paru
mungkin merupakan satu-satunya cara yang paling efektif untuk memperpanjang usia
penderita, meski operasi ini sendiri tergolong sangat berisiko.

ABSES PARU
Abses paru-paru adalah infeksi paru-paru. Penyakit ini menyebabkan pembengkakan
yang mengandung nanah, nekrotik pada jaringan paru-paru, dan pembentukan rongga
yang berisi butiran nekrotik atau sebagai akibat infeksi mikroba. Pembentukan banyak
abses dapat menyebabkan pneumonia atau nekrosis paru-paru.
Gejala
Gejala abses paru-paru biasanya terjadi dalam jangka waktu beberapa minggu sampai
beberapa bulan, yang meliputi: demam, menggigil, berkeringat, batuk dan bau air liur
yang tidak enak. Pasien sering mengalami kelelahan, kelemahan, kehilangan napsu
makan dan penurunan berat badan. Kadang-kadang dapat mengeluarkan air liur
berdarah dan nyeri dada serta diperburuk oleh batuk dan pendalaman napas. Pasien
dapat mengalami denyut jantung yang cepat, sesak napas, bengek, dan efusi pleura.
Penyebab

Menghirup benda asing merupakan penyebab utama dari abses paru-paru. Benda asing
tersebut biasanya makanan, minuman, muntah, atau sekresi dari mulut yang terhirup ke
dalam paru-paru. Pembentukan bengkak, pneumonia, dan abses dapat terjadi dalam
jangka waktu 7-14 hari. Stroke, epilepsi, penyalahgunaan narkoba, alkohol, penyakit gigi,
emfisema, kanker paru-paru, dan gangguan esofagus dapat menyebabkan terhirupnya
benda asing.

Bakteri yang menyebabkan abses paru biasanya anaerob (tumbuh tanpa oksigen) dan
berasal dari mulut. Mikroorganisme lain seperti parasit dan jamur juga dapat
menyebabkan infeksi paru-paru dan menyebabkan abses.

Faktor Resiko

 Pecandu alkohol;
 Penyalahgunaan narkoba;
 Memiliki kondisi lain seperti stroke, epilepsi, dan penyakit periodontal, emfisema, kanker
paru-paru dan gangguan esophagus

Pengobatan

Pertama-tama dokter akan menghilangkan mikroorganisme yang menyebabkan abses


paru-paru. Kemudian dokter akan mengobati penyakit-penyakit yang menyebabkan
abses seperti epilepsi, pecandu alkohol, kebersihan mulut yang buruk atau stroke.

Kebanyakan pasien memerlukan cairan infus dan penggunaan antibiotik secara oral
selama 4-6 minggu. 95% dari pasien dapat sembuh, tetapi pengobatan tergantung pada
penyebabnya.

Tes yang dilakukan

Dokter Anda akan mendiagnosis berdasarkan gejala dan rontgen pada dada. Dokter
Anda mungkin memerlukan tomografi pada dada untuk memeriksa abses. Tes darah dan
air liur bisa dilakukan untuk membantu mengidentifikasi bakteri atau mikroorganisme
yang menyebabkan abses. Dokter Anda mungkin memerlukan bronkoskopi untuk
mengetahui kemungkinan adanya kanker paru-paru jika ada tanda-tanda material yang
menghalangi saluran pernapasan.

SUPERIOR VENA CAVA SYNDROME

Superior vena cava syndrome (SVCS) is obstruction of blood flow through the superior
vena cava (SVC). It is a medical emergency and most often manifests in patients with a
malignant disease process within the thorax. A patient with SVCS requires immediate
diagnostic evaluation and therapy.

Pathophysiology
The SVC is the major drainage vessel for venous blood from the head, neck, upper
extremities, and upper thorax. It is located in the middle mediastinum and is surrounded
by relatively rigid structures such as the sternum, trachea, right bronchus, aorta,
pulmonary artery, and the perihilar and paratracheal lymph nodes. It extends from the
junction of the right and left innominate veins to the right atrium, a distance of 6-8 cm. It
is a thin-walled, low-pressure, vascular structure. This wall is easily compressed as it
traverses the right side of the mediastinum.
Obstruction of the SVC may be caused by neoplastic invasion of the venous wall
associated with intravascular thrombosis or, more simply, by extrinsic pressure of a tumor
mass against the relatively thin-walled SVC. Complete SVC obstruction is the result of
intravascular thrombosis in combination with extrinsic pressure. Incomplete SVC
obstruction is more often secondary to extrinsic pressure without thrombosis. Other
causes include compression by intravascular arterial devices. The incidence is on the
rise, in line with the increased use of endovascular devices.
An obstructed SVC initiates collateral venous return to the heart from the upper half of
the body through four principal pathways. The first and most important pathway is the
azygous venous system, which includes the azygos vein, the hemiazygos vein, and the
connecting intercostal veins. The second pathway is the internal mammary venous
system plus tributaries and secondary communications to the superior and inferior
epigastric veins. The long thoracic venous system, with its connections to the femoral
veins and vertebral veins, provides the third and fourth collateral routes, respectively.
Despite these collateral pathways, venous pressure is almost always elevated in the
upper compartment if obstruction of the SVC is present. Venous pressure as high as 200-
500 cm H2O has been recorded in patients with severe SVCS.

Etiology
More than 80% of cases of SVCS are caused by malignant mediastinal tumors.
Bronchogenic carcinomas account for 75-80% of all these cases, with most of these being
small-cell carcinomas. Non-Hodgkin lymphoma (especially the large-cell type) account for
10-15%. Causes of SVCS appear similar to the relative incidence of primary lung and
mediastinal tumors. Rare malignant diagnoses include Hodgkin disease, metastatic
cancers, primary leiomyosarcomas of the mediastinal vessels, and plasmocytomas.
Nonmalignant conditions that can cause SVCS include the following:
 Mediastinal fibrosis
 Vascular diseases, such as aortic aneurysm, vasculitis, and arteriovenous fistulas
 Infections, such as histoplasmosis, tuberculosis,syphilis, and actinomycosis
 Benign mediastinal tumors such as teratoma, cystic hygroma, thymoma, and dermoid
cyst
 Cardiac causes, such as pericarditis and atrial myxoma
 Thrombosis related to the presence of central vein catheters
These account for approximately 22% of cases of SVCS.

Você também pode gostar