Você está na página 1de 13

KEBIJAKAN SISTEM PEMBAYARAN PAJAK SECARA

ELEKTRONIK (BILLING SYSTEM) DITINJAU DARI ASAS EASE OF


ADMINISTRATION

Lidya Intan Virgianti, Inayati

Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Indonesia

Abstract
This study discusses the policy of the electronic tax payment system (billing system) in
terms of the principle of ease of administration. Electronic tax payment system (billing
system) is a tax payment system which is a refinement and development of State Revenue
Module (MPN) by utilizing information technology, given to provide convenience to
taxpayers in meeting their tax obligation. The purpose of this study was to analyze the tax
policy of the electronic payment systems (billing system) in terms of the principle of ease of
administration as well as inhibiting factors encountered in implementation. The approach
used in this research is descriptive quantitative approach. Results from this study is the
fulfillment of the principle of ease of administration include: certainty, on the basis of the
legal system of electronic tax payment (billing system), procedure implementation procedures
are spelled out clearly and definitely just that there are ambiguities caused the sound of the
legal basis ie "test application". Convenience, electronic tax payment system (billing system)
providing convenience for taxpayers, with the flexibility, convenience and security system
procedures. Efficiency, time efficiencies, costs and human resources in the electronic tax
payment system (billing system). Simplicity, simplicity of procedures include registration
procedures, making billing code and payment. The limiting factor in the implementation is
the lack of socialization acquired by the taxpayer, inadequate internet access throughout
Indonesia as well as the limited scope of electronic tax payment system (billing system).
Keywords:
Tax Policy, Information Technology, State Revenue Module (MPN), Electronic Tax
Payment System (Billing System), Ease Of Administration Principle

Pendahuluan
Sudah tidak asing lagi salah satu pemegang peranan penting dalam penerimaan negara
adalah penerimaan dari sektor pajak. Sesuai dengan salah satu fungsi pajak yaitu sebagai
fungsi budgetair, yang bertujuan untuk memasukan penerimaan uang untuk Kas Negara
sebanyak-banyaknya dalam mengisi RAPBN, sesuai dengan target penerimaan pajak yang
telah ditetapkan (Wahyutomo, 1994:7). Semakin besarnya peranan penerimaan pajak dalam
pembangunan, menjadikan pajak sebagai perhatian penting bagi pemerintah, dimana
pemerintah mengharapkan penerimaan pajak dari tahun ke tahun dapat meningkat.
Peningkatan penerimaan pajak menunjukan perbaikan kemandirian Indonesia dalam
pembiayaan pembangunan nasional. Tuntutan yang diberikan oleh pemerintah dalam
pencapaian target penerimaan pajak menjadi suatu tantangan bagi Direktorat Jenderal Pajak
sebagai intitusi yang berwenang dalam menghimpun penerimaan negara dari pajak, untuk

Kebijakan Sistem ..., Lidya Intan Virgianti, FISIP UI, 2013


memperbaiki sistem perpajakan (Iriawan, 2010:1-2). Salah satu upaya yang dapat dilakukan
adalah dengan mengadakan Reformasi Perpajakan.
Menurut Gunadi (2004), reformasi perpajakan meliputi dua area, yaitu reformasi
kebijakan pajak (tax policy) yaitu regulasi atau peraturan perpajakan yang berupa undang-
undang perpajakan dan reformasi administrasi perpajakan. Reformasi administrasi memiliki
tujuan utama, pertama, untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam memenuhi
kewajiban perpajakannya; kedua, untuk mengadministrasikan penerimaan pajak sehingga
transparansi dan akuntabilitas penerimaan sekaligus pengeluaran pembayaran dana dari pajak
setiap saat bisa diketahui; ketiga, untuk memberikan suatu pengawasan terhadap pelaksanaan
pemungutan pajak, terutama adalah kepada aparat pengumpul pajak, kepada Wajib Pajak,
ataupun kepada masyarakat pembayar pajak (Rahman, 2010:210).
Dalam rangka reformasi perpajakan, Direktorat Jenderal Pajak mengambil langkah-
langkah meliputi berbagai bidang, antara lain dibidang administrasi perpajakan untuk
meningkatkan kepercayaan Wajib Pajak dalam hal pembayaran/penyetoran pajak.
Sebelumnya pembayaran/penyetoran pajak dilakukan secara manual dengan menggunakan
Surat Setoran Pajak (SSP), yaitu bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah
dilakukan, dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara
melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Keabsahan pembayaran
pajak dibuktikan dengan validasi melalui pencantuman nomor transaksi penerimaan negara
(NTPN), yang menandakan bahwa setoran pajak telah terekam dalam Modul Penerimaan
Negara (Faisal, 2009:101).
Seperti dikutip dari penulisan Rochmah, didalam melakukan pembayaran/penyetoran
pajak masih terdapat berbagai permasalahan yang menjadi penghambat, antara lain:
Pelayanan penerimaan pembayaran oleh bank/pos persepsi dilakukan hanya sampai pukul
11:00 atau 12:00 siang, hal ini tidak sesuai dengan ketentuan yang mewajibkan bank/pos
persepsi harus tetap membuka loket penerimaan sesuai jam buka kas. Banyaknya lembar
Surat Setoran Pajak (SSP) yang harus dicap dan ditandatangani oleh pihak bank (5 (lima)
lembar SSP). Potensi kesalahan perekaman yang dilakukan oleh teller karena banyaknya
struktur data MPN yang harus direkam/diinput, misalnya, struktur data untuk penerimaan
pajak terdiri dari: NPWP, nama Wajib Pajak, kode MAP (Mata Anggaran Penerimaan), kode
jenis setoran, masa/tahun pajak, tanggal setor, jumlah bayar, kode KPPN, nomor SKP/STP,
nomor objek pajak, dan kode KPP. Potensi kesalahan input oleh teller akan semakin tinggi di
saat-saat peak season jatuh tempo penyetoran pajak. (Rochmah, 2012:6-7)
Dalam sistem pembayaran pajak juga ditemukan beberapa masalah antara lain
pemalsuan Surat Setoran Pajak (Sejarah, l.37, n.d.). Banyaknya Wajib Pajak yang membayar
pajak melalui biro jasa, membuktikan bahwa mungkin sistem pembayaran masih kurang
friendly untuk masyarakat (Pandji: reformasi pajak harus terus berlangsung, 2012, l.25).
Novianto juga menuliskan dalam tesisnya bahwa permasalahan administrasi perpajakan yang
masih manual, prosedural dan tidak memberikan kemudahan merupakan masalah
penghambat kepatuhan Wajib Pajak dalam membayar pajak (Novianto, 2006:3)
Dapat dilihat dengan masih banyaknya berbagai permasalahan-permasalahan dalam
melakukan pembayaran pajak, hal tersebut menunjukan bahwa kemudahan pelayanan dalam
administrasi perpajakan khususnya pembayaran pajak masih relatif rendah, Untuk itu melalui
pemanfaatan teknologi informasi dan dalam rangka penyempurnaan dan pengembangan
Modul Penerimaan Negara sebagai upaya mengintegrasikan data penerimaan negara dalam
sebuah sistem yang handal. Direktorat Jenderal Perbendaharaan mengeluarkan sebuah
kebijakan sistem pembayaran pajak secara elektronik (billing system) dengan tujuan untuk
mengurangi permasalahan Wajib Pajak dalam melakukan pembayaran pajak. Kebijakan

Kebijakan Sistem ..., Lidya Intan Virgianti, FISIP UI, 2013


sistem pembayaran pajak secara elektronik (billing system) menjadi sangat penting mengingat
Wajib Pajak memerlukan suatu kemudahan dalam pembayaran perpajakan secara cepat,
mudah, transparan dan akuntabilitas. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, dapat
dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana kebijakan sistem pembayaran pajak secara elektronik (billing system)
ditinjau dari asas ease of administration ?
2. Apa saja faktor penghambat dalam implementasi kebijakan sistem pembayaran pajak
secara elektronik (billing system)?
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menganalisis sistem pembayaran pajak secara elektronik (billing system) ditinjau dari asas
ease of administration serta menganalisis faktor penghambat dalam implementasi kebijakan
sistem pembayaran pajak secara elektronik (billing system).

Tinjauan Teoritis
Kebijakan pajak adalah kebijakan fiskal dalam arti yang sempit, yaitu kebijakan yang
berhubungan dengan penentuan siapa-siapa yang akan dikenakan pajak, apa-apa yang akan
dikenakan pajak ataupun yang dikecualikan dikenakan pajak, apa yang akan dijadikan dasar
pengenaan pajak, bagaimana menghitung besarnya pajak yang harus dibayar dan bagaimana
tata cara pembayaran pajak yang terutang (Mansury, 1999:1-2). Suandy medefinisikan
kebijakan perpajakan (tax policy) sebagai alternatif dari berbagai sasaran yang hendak dituju
dalam sistem perpajakan. Dari berbagai aspek kebijakan pajak, terdapat faktor-faktor yang
mendorong dilakukannya suatu perencanaan pajak (Suandy, 2011:11). Adapun tujuan
kebijakan pajak menurut Mansury adalah (a) Peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran
adalah penggunaan sumberdaya yang terkumpul untuk pembentukan barang modal publik
dan pengeluaran belanja negara lainnya yang berhubungan dengan pembangunan, (b)
distribusi penghasilan yang lebih adil dan (c) stabilitas (Mansury, 2002:5)
Didalam menjalankan suatu kebijakan pajak diperlukan adanya administrasi
perpajakan. Menurut Nowak seperti yang dikutip oleh Mansury, administrasi perpajakan
merupakan kunci bagi berhasilnya pelaksanaan kebijakan perpajakan. Tugas administrasi
perpajakan tidak membuat kebijakan atau ketentuan undang-undang, tidak memutuskan
subjek pajak yang dikecualikan dari pemungutan pajak, juga tidak menentukan objek-objek
pajak baru. (Mansury, 2002:6). Salah satu indikator administrasi perpajakan yang baik adalah
tingkat efisiensi. Efisiensi dapat dilihat dari dua sisi. Dari sisi Fiskus pemungutan pajak
dikatakan efisisen jika biaya pemungutan pajak yang dilakukan oleh Kantor Pajak (antara lain
dalam rangka pengawasan kewajiban Wajib Pajak) lebih kecil daripada jumlah pajak yang
berhasil dikumpulkan. Dari sisi Wajib Pajak, sistem pemungutan pajak dikatakan efisien jika
biaya yang harus dikeluarkan oleh Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya
bisa seminimal mungkin. Dengan kata lain, pemungutan pajak dikatakan efisien jika
compliance cost-nya rendah. (Rosdiana, Irianto, 2012:103)
Compliance cost dapat diartikan sebagai biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Wajib
Pajak dalam rangka memenuhi kewajiban perpajakannya atau biaya kepatuhan. Cedric
Sandford membagi compliance cost menjadi tiga macam, yakni direct money, time cost, dan
psychic or psychological cost. Untuk Wajib Pajak direct money dapat berupa pembayaran
kepada konsultan pajak, akuntan, dan biaya perjalanan pulang pergi ke kantor pos dan atau
bank tempat penyetoran pajak. Time cost adalah waktu yang terpakai oleh Wajib Pajak dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya, mulai dari waktu yang terpakai untuk membaca
formulir SPT dan buku petunjuknya, waktu berkonsultasi dengan akuntan dan konsultan

Kebijakan Sistem ..., Lidya Intan Virgianti, FISIP UI, 2013


pajak untuk mengisi SPT, serta waktu yang terpakai untuk pergi dan pulang ke kantor pajak.
Yang dimaksud dengan psychic cost adalah rasa stress dan berbagai rasa takut atau cemas
karena melakukan tax evasion dan juga rasa rasa keingintahuan Wajib Pajak timbul pada
saat-saat menunggu hasil pemeriksaan atau hasil pengajuan keberatan dan banding.
(Nurmantu, 2005:161)
Suatu sistem perpajakan yang baik haruslah mudah dalam administrasinya dan mudah
pula untuk mematuhinya, maka dari itu terdapat asas-asas perpajakan, diantaranya asas ease
of administration yang terdiri dari unsur-unsur, sebagai berikut: Asas certainty (kepastian)
seperti menurut Adam Smith yang dikutip oleh Rahman mengandung pengertian bahwa
semua pungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang, sehingga bagi yang melanggar
akan dapat dikenai sanksi hukum (Rahman, 2010:26). Soemitro menjelaskan bahwa certainty
dari perspektif kepastian hukum, dimana dalam membuat undang-undang dan peraturan-
peraturan pajak yang mengikat umum, harus diusahakan agar ketentuan yang dimuat dalam
undang-undang dan peraturan-peraturan tersebut adalah jelas, tegas, dan tidak mengandung
arti ganda, atau memberikan peluang untuk ditafsirkan lain. Dalam pemberian definisi harus
dijaga supaya tidak terdapat kekosongan atau loopholes yang masih dapat diselundupi. Harus
diperhatikan juga, jangan memberi definisi yang terlalu luas, melainkan diberikan definisi
yang sempit serta tepat . Selain itu penafsiran secara otentik adalah tafsiran yang mengikat
dan dilakukan untuk menghilangkan keragu-raguan atau arti ganda demi kepastian hukum
(Soemitro, 2004:21). Rosdiana dan Irianto menyatakan bahwa asas certainty adalah harus ada
kepastian, baik bagi petugas pajak maupun semua wajib pajak dan seluruh masyarakat. Asas
kepastian antara lain mencakup kepastian mengenai siapa-siapa yang harus dikenakan pajak,
apa-apa saja yang dijadikan sebagai objek pajak, serta besarnya jumlah pajak yang harus
dibayar dan bagaimana jumlah pajak yang terutang itu harus dibayar. Artinya, kepastian
bukan hanya menyangkut kepastian mengenai subjek pajak (dan pengecualiannya), objek
pajak (dan pengecualiannya), dasar pengenaan pajak serta besarnya tarif pajak, tetapi juga
mengenai prosedur pemenuhan kewajibannya, antara lain prosedur pembayaran dan
pelaporan, serta pelaksanaan hak-hak perpajakannya. (Rosdiana, Irianto, 2012:168)
Asas convenience (kemudahan/kenyamanan) menyatakan bahwa saat pembayaran
pajak hendaklah dimungkinkan pada saat yang “menyenangkan”/memudahkan wajib pajak,
misalnya pada saat menerima gaji atau penghasilan lain seperti saat menerima bunga
deposito. Dalam asas ini ditekankan pula bahwa pembayaran pajak harus memberi kesan
mudah dan menyenangkan sehingga mendorong Wajib Pajak senang membayar pajak. Ini
berarti, petugas pajak dan Direktorat Jenderal Pajak harus mengedepankan konsep kepuasan
konsumen (customer satisfaction) dan memperbaiki tingkat dan kualitas pelayanannya
(service level and quality ). Sebagai contoh Direktorat Jenderal Pajak memberikan pelayanan
pembayaran pajak dengan cara yang mudah. Penyederhanaan ketentuan formal administratif
(tata cara Wajib Pajak berinteraksi dengan Direktorat Jenderal Pajak dalam pemenuhan
kewajiban perpajakan) maupun ketentuan materil (cara menghitung dan menentukan
kewajiban perpajakan) juga sudah menjadi tuntutan saat ini (Priantara, 2009:3-4).
Asas efficiency dapat dilihat dari dua sisi yaitu dari sisi fiskus pemungutan pajak
dikatakan efisien jika biaya pemungutan pajak yang dilakukan oleh kantor pajak (antara lain
dalam rangka pengawasan kewajiban pajak) lebih kecil daripada jumlah pajak yang berhasil
dikumpulkan. Dari sisi wajib pajak, sistem pemungutan pajak dikatakan efisien jika biaya
yang harus dikeluarkan oleh wajib pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya bisa
seminimal mungkin (Rosdiana, Irianto, 2012:172). Seperti yang dikatakan Nightingale:
“The efficiency of a tax includes not only the costs incurred by the tax authorities, ie.
Administration costs, but also the costs incurred by the taxpayer in complying with

Kebijakan Sistem ..., Lidya Intan Virgianti, FISIP UI, 2013


the tax legislation, known as compliance costs, e.g professional tax advice”
(Nightingale, 2000:7).
Nightingale menjelaskan bahwa efisiensi pajak tidak hanya mencakup biaya yang
dikeluarkan oleh otoritas pajak, yaitu. Biaya administrasi, tetapi juga biaya yang dikeluarkan
oleh wajib pajak dalam mematuhi undang-undang pajak, yang dikenal sebagai biaya
kepatuhan, misalnya konsultasi pajak professional. Asas simplicity, Bagaimana pajak
dipungut akan sangat menetukan keberhasilan dalam pungutan pajak. Sistem yang sederhana
akan memudahkan Wajib Pajak sehingga akan memberikan dampak positif bagi para Wajib
Pajak untuk meningkatkan kesadaran dalam pembayaran pajak (Rahman, 2010:25). Pada
umumnya peraturan yang sederhana akan lebih pasti, jelas, dan mudah dimengerti oleh wajib
pajak. Oleh karena itu dalam menyusun suatu undang-undang perpajakan, harus diperhatikan
juga asas kesederhanaan. (Rosdiana, Irianto, 2012:167-178).
Seperti dikutip oleh Nurmantu, menurut Neumark prinsip ease of administration ini
kemudian dirinci lagi dalam 4 persyaratan, yaitu : (1). The requirement of clarity, dalam
sistem perpajakan, baik dalam undang-undang perpajakan maupun pada peraturan
pelaksanaanya, khususnya dalam proses pemungutan maka ketentuan-ketentuan pajak
haruslah dapat dipahami (comprehensible), tidak boleh menimbulkan keragu-raguan atau
penafsiran yang berbeda, tetapi harus menimbulkan kejelasan (must be unambiguous and
certain) baik untuk Wajib Pajak maupun untuk fiskus sendiri. (2). The requirement of
continuity, undang-undang perpajakan tidak boleh sering berubah, dan apabilan terjadi
perubahan, perubahan tersebut haruslah dalam konteks pembaharuan undang-undang
perpajakan (tax reform) secara umum dan sistematis. (3). The requirement of economy, biaya-
biaya perhitungan, penagihan, dan pengawasan pajak harus pada tingkat serendah-rendahnya
dan konsisten dengan tujuan-tujuan pajak yang lain. Biaya yang diminimalkan tidak hanya
meliputi biaya-biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah (administrative cost), tetapi juga
biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban dan
kepatuhan perpajakannya (compliance cost). (4). The requirement of convenience,
pembayaran pajak harus sedapat mungkin tidak memberatkan Wajib Pajak. Persyaratan
convenience tercermin pada pelayanan fiskus terhadap Wajib Pajak. (Nurmantu, 2005:94-95)

Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif yaitu
salah satu upaya untuk menjelaskan, menguji hubungan antar variabel, menentukan kasualitas
dari variabel, menguji teori dan mencari generalisasi yang mempunyai nilai prediktif. Jenis
penelitian diklasifikasikan berdasarkan tujuan penelitian, manfaat penelitian, dimensi waktu
penelitian dan teknik pengumpulan data.
Berdasarkan tujuan penelitian, maka penelitian ini termasuk kedalam jenis penelitian
deskriptif (descriptive research), penelitian yang bertujuan mendeskripsikan atau
menjelaskan sesuatu hal seperti apa adanya (Irawan, 2002:60-61). Berdasarkan manfaat
penelitian, penelitian yang dilakukan termasuk penelitian murni atau basic research.
Penelitian ini dilakukan dengan latar belakang akademis dan ilmu pengetahuan, bermanfaat
untuk memberi pengetahuan mendasar yang independen sehingga dapat dijadikan referensi
bagi penelitian selanjutnya yang sejenis.
Bila dilihat dari dimensi waktu, penelitian sistem pembayaran pajak secara elektronik
(billing system) bersifat cross-sectional, karena penelitian hanya dilakukan pada satu waktu
tertentu saja. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan studi lapangan (field research) meliputi wawancara mendalam dengan

Kebijakan Sistem ..., Lidya Intan Virgianti, FISIP UI, 2013


narasumber dan juga studi atas dokumen-dokumen yang ditemukan dilapangan. Studi
kepustakaan (library research) meliputi pengumpulan literatur berupa buku, artikel, jurnal,
maupun peraturan terkait, baik yang berbentuk media dan juga elektronik. Kedua teknik
pengumpulan data ini digunakan dalam rangka mendapatkan jawaban yang lebih
komprehensif atas permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini. Teknik analisis data
menurut Moleong, memiliki definisi proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke
dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat
dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Prastowo, 2011:238)
Dalam penelitian kuantitatif deskriptif, narasumber atau informan merupakan pihak
yang memberikan informasi penting yang dibutuhkan peneliti dalam menganalisis
permasalahan penelitian. Pemilihan narasumber atau informan dilakukan dengan pihak-pihak
yang memiliki pengetahuan dan keterkaitan dengan permasalahan penelitian, adapun pihak-
pihak tersebut antara lain: I Nyoman Widia selaku Kepala Subbidang KUP dan PPSP Badan
Kebijakan Fiskal, Taukhid selaku kepala subdit penerimaan negara, Andi Mulyadi selaku
Kepala Seksi Bank/Pos Persepsi subdit rekening kas negara Direktorat Jenderal
Perbendaharaan, Gatot S.M Faisal selaku pelaksana seksi pengembangan, pemetaan dan
penilaian Direktorat Transformasi Proses Bisnis Direktorat Jenderal Pajak, Putu V.
Cintyadewi selaku Assistant Manager PIC Central Operations Group, PT. Bank Mandiri
(Persero), Tbk, Gunadi selaku Pihak Akademisi.

Hasil Penelitian dan Pembahasan


Didalam dasar hukum kebijakan sistem pembayaran pajak secara elektronik (billing
system) yaitu PMK nomor 60/PMK.05/2011 telah diatur secara jelas mengenai siapa saja
yang dapat menggunakan fasilitas sistem pembayaran pajak secara elektronik (billing system)
yaitu wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan yang terdaftar pada kantor pelayanan
pajak yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk melaksanakan uji coba penerapan
sistem pembayaran pajak secara elektronik (billing system). Sampai dengan Mei 2013 baru
terdapat 16 Kanwil DJP yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, hal tersebut diatur dalam
Keputusan Direktorat Jenderal Pajak nomor KEP-09/PJ/2013 tentang penunjukan kantor
pelayanan pajak dan wajib pajak dalam rangka uji coba penerapan sistem pembayaran pajak
secara elektronik (billing system) dalam sistem modul penerimaan Negara
Sistem pembayaran pajak secara elektronik (billing system) saat ini diperuntukan atas
pembayaran pemenuhan kewajiban perpajakan PPh/atau PPN atas nama wajib pajak tidak
termasuk pajak-pajak yang dibayar bukan atas nama dan NPWP wajib pajak sendiri, dan
pajak-pajak dalam rangka impor. Adapun pihak-pihak yang terkait dalam pelaksanaan sistem
pembayaran pajak secara elektronik (billing system) yaitu Kementerian Keuangan yang
meliputi Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Direktorat Jenderal Pajak, Pusintek, pihak
bank/pos persepsi yang dapat memfasilitasi sistem pembayaran pajak secara elektronik yaitu
PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk dan PT. Pos Indonesia serta pihak wajib pajak yang telah
ditunjuk untuk melaksanakan uji coba penerapan sistem pembayaran pajak secara elektronik
(billing system). Mekanisme pelaksanaan sistem pembayaran pajak secara elektronik (billing
system) meliputi prosedur pendaftaran peserta billing, pembuatan kode billing, pembayaran
berdasarkan kode billing, dan rekonsiliasi billing.
Kebijakan Sistem pembayaran pajak secara elektronik (billing system) masih
menimbulkan ambiguitas, hal ini disebabkan oleh bunyi judul dalam peraturan tersebut yang
masih menyebutkan “uji coba penerapan”, dimana banyaknya wajib pajak yang masih
berpendapat bahwa sistem ini baru uji coba dan belum real berlangsung, padahal sebenarnya

Kebijakan Sistem ..., Lidya Intan Virgianti, FISIP UI, 2013


sistem ini sudah dapat diimplementasikan sejak tanggal 6 Februari 2012 dan pembayaran
yang telah terjadi atau dilakukan dengan sistem pembayaran pajak secara elektronik (billing
system) merupakan pembayaran yang nyata dan dianggap sah. Hal ini seperti yang
diungkapkan oleh Andi Mulyadi, selaku Kepala Seksi Bank/Pos Persepsi subdit rekening kas
negara Direktorat Jenderal Perbendaharaan, yang menyatakan bahwa “Kalo menurut saya
ambiguitas hanya terletak pada judul peraturannya, karena disitu disebutkan uji coba
penerapan, sebenarnya kita juga sadar pada saat itu seharusnya bunyinya bukan uji coba
seharusnya implementasi terbatas, tetapi ini kan kita baru mulai jadi kita tidak bisa langsung
pasif, kita harus pelan-pelan, jadi kita uji dulu, dan ini sebenarnya sudah berjalan dari
Februari 2012” (Wawancara Andi Mulyadi, 13 Mei 2013). Dengan bunyi peraturan yang
menyebutkan uji coba tersebut, maka kebijakan sistem pembayaran pajak secara elektronik
(billing system) masih bersifat optional dan voluntary yang artinya sesuatu hal yang masih
merupakan pilihan dan tidak bersifat dipaksakan terhadap wajib pajak sehingga hal tersebut
menyebabkan kurangnya partisipasi wajib pajak dalam menggunakan sistem pembayaran
pajak secara elektronik (billing system).
Kurangnya partisipasi wajib pajak juga disebabkan oleh keraguan wajib pajak
terhadap keabsahan Bukti Penerimaan Negara yang diperoleh wajib pajak sebagai output dari
sistem ini, yang merupakan bukti pembayaran atau penyetoran. Bukti penerimaan Negara
yang diterima wajib pajak sudah tidak lagi berupa SSP, melainkan bukti penerimaan negara
berdasarkan kanal pembayaran yang dipilih wajib pajak dalam melakukan pembayaran.
Wajib pajak yang melakukan pembayaran melalui over the counter (teller) maka wajib pajak
akan mendapatkan dokumen penerimaan negara yang dapat diprint melalui bank/pos persepsi
di tempat dimana dilakukannya pembayaran. Wajib pajak yang melakukan pembayaran pajak
melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM) akan mendapatkan bukti penerimaan negara berupa
struk ATM, dan apabila wajib pajak melakukan pembayaran melalui internet banking, yang
akan diperoleh wajib pajak sebagai bukti penerimaan negara adalah format elektronik yang
dapat dicetak oleh wajib pajak. Keraguan keabsahan akan bukti penerimaan Negara
disebabkan karena tidak adanya tanda tangan cap basah baik sebagai wajib pajak/penyetor
yang melakukan pembayaran pajak maupun pihak bank/pos persepsi yang telah menerima
pembayaran. Namun seperti yang disampaikan oleh Taukhid, selaku Kepala Subdit
Penerimaan Negara, Direktorat Jenderal Perbendaharaan, “BPN itu sudah sah, disahkan
sebagai dokumen sumber dan saya akan mengatakan bahwa ini dapat berlaku secara
independent hanya jika SSPnya tidak ada.” (Wawancara Taukhid, 20 Mei 2013). Dapat
disimpulkan bahwa Bukti Penerimaan Negara itu memang sudah diatur keabsahannya dalam
suatu peraturan hanya saja memang kedudukan Surat Setoran Pajak masih lebih tinggi
dibandingkan dengan Bukti Penerimaan Negara. Peraturan yang mengatur tentang keabsahan
Bukti Penerimaan Negara diatur dalam PER - 19/PJ/2012 pasal 8 ayat (4) yaitu bukti
penerimaan negara atas pembayaran pajak melalui pelaksanaan uji coba penerapan sistem
pembayaran pajak secara elektronik (billing system) termasuk cetakan, salinan dan
fotokopinya kedudukannya disamakan dengan Surat Setoran Pajak (SSP) dalam rangka
pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pada PP Nomor 74 Tahun
2011 pasal 9 ayat (2) juga sudah diatur bahwa pembayaran dan penyetoran pajak dapat
dilakukan dengan menggunakan sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan
dengan Surat Setoran Pajak.
Sistem pembayaran pajak secara elektronik (billing system) merupakan fasilitas
pembayaran yang memberikan kenyamanan pembayaran pajak secara fleksibel (flexible self-
service system), Dengan menggunakan sistem pembayaran pajak secara elektronik (billing
system) wajib pajak dapat melakukan pembayaran pajak dimana saja dan kapan saja selama
24 jam. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Taukhid, yang menyatakan “Wajib pajak dapat

Kebijakan Sistem ..., Lidya Intan Virgianti, FISIP UI, 2013


melakukan pembayaran kapan saja, dengan menggunakan sistem elektronik ini wajib pajak
benar-benar dapat melakukan pembayaran secara mandiri dan secara fleksibel” (Wawancara
Taukhid, 20 Mei 2013). Wajib pajak sudah tidak perlu lagi mengantri saat melakukan
pembayaran, sudah tidak lagi dihadapkan dengan batas waktu yang ditetapkan oleh pihak
bank/pos persepsi, karena pembayaran pajak dapat dilakukan selama 24 jam melalui kanal
pembayaran dalam sistem pembayaran pajak secara elektronik (billing system)
Pada saat ini, sistem pembayaran pajak secara elektronik (billing system) dapat
dilakukan melalui PT. Bank Mandiri (Persero), Tbk dan PT. Pos Indonesia. Penunjukan PT.
Bank Mandiri (Persero) Tbk dan PT. Pos Indonesia oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan
didasarkan oleh jangkauan jaringan yang luas dari kedua pihak tersebut yang tersebar di
seluruh Indonesia. Saat ini PT. Bank Mandiri (Persero), Tbk memiliki jumlah ATM Bank
Mandiri yang mencapai 8.996 unit tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. PT Pos yang
mempunyai jaringan sebanyak 3.736 Kantor Pos, sehingga kedua pihak tersebut merupakan
media yang sangat strategis untuk memfasilitasi sistem pembayaran pajak secara elektronik
(billing system).
Walaupun kedua pihak tersebut mempunyai jangkauan yang tersebar luas di seluruh
Indonesia namun karena baru terdapat dua pihak yang dapat memfasilitasi, hal tersebut masih
menyebabkan adanya keterbatasan yang mengurangi dari sisi kenyamanan wajib pajak,
misalnya untuk pembayaran pajak melalui ATM atau internet banking hanya dapat dilakukan
oleh nasabah PT. Bank Mandiri saja dan juga pembayaran pajak melalui PT. Pos Indonesia
saat ini hanya dapat melayani pembayaran pajak melalui over the counter, sehingga tidak ada
perbedaan dengan sistem pembayaran pajak secara manual, yang membedakan hanya
pengisian formulir setoran pajaknya saja melalui online.
Pada dasarnya dari ketiga fasilitas yang diberikan oleh sistem pembayaran pajak
secara elektronik (billing system) yaitu pembayaran melalui over the counter (teller), ATM,
dan internet banking, yang dapat memberikan kenyamanan tinggi terhadap wajib pajak
adalah pembayaran melalui ATM dan internet banking, tetapi ternyata dari data yang
diperoleh peneliti menunjukan bahwa wajib pajak yang melakukan pembayaran pajak melalui
internet banking dan ATM relatif lebih rendah dibandingkan dengan wajib pajak yang
melakukan pembayaran melalui over the counter (teller). Selama 2012 sampai dengan mei
2013 jumlah transaksi yang melakukan pembayaran pajak melalui over the counter (teller)
pada PT. Bank Mandiri adalah sebanyak 2.726 transaksi, sedangkan yang melalui ATM dan
internet banking masing-masing sebanyak 183 dan 804 transaksi. Pada PT. Pos Indonesia
jumlah transaksi pembayaran pajak melalui over the counter (teller) adalah sebanyak 30
transaksi, sedangkan melalui ATM dan internet banking tidak ada transaksi hal ini
dikarenakan PT. Pos Indonesia belum dapat melayani pembayaran pajak secara online. Masih
rendahnya jumlah transaksi pembayaran yang dilakukan melalui ATM dan internet banking
kembali lagi disebabkan karena masih adanya keraguan wajib pajak terhadap bukti
penerimaan negara yang diperoleh.

Kebijakan Sistem ..., Lidya Intan Virgianti, FISIP UI, 2013


Gambar 5.2 Jumlah Transaksi Per Kanal Pembayaran
Sumber: Subdit Penerimaan Negara, Direktorat Pengelolaan Kas Negara, Direktorat Jenderal
Perbendaharaan, 20 Mei 2013 (telah diolah penulis)
Penggunaan user id dan personal identification number (PIN) yang diberikan dalam
sistem pembayaran pajak secara elektronik (billing system) merupakan salah satu bentuk
keamanan atas sistem ini untuk menjaga privasi dari pembayar pajak, tetapi ternyata hal
tersebut dirasa belum cukup dan bahkan sebagian menilai dengan pemberian user id dan
personal identification number (PIN) menjadi masalah tersendiri bagi wajib pajak. Hal ini
seperti yang disampaikan oleh Gunadi, selaku pihak akademisi “misalnya harus ada pin,
terkadangkan orang sulit menghapal pin-pin tersebut” (Wawancara Gunadi, 13 Juni 2013).
Dari hasil wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan pin bagi sebagian wajib
pajak merupakan kendala seperti kesulitan dalam menghapal, lupa pin dan user id, apalagi
untuk wajib pajak yang melakukan pembayaran pajak tidak rutin hanya disaat masa tertentu,
resiko untuk lupa pin akan lebih tinggi.
Keefisienan system pembayaran pajak secara elektronik (billing system) dinilai dari
penggunaan biaya, sumber daya manusia yang dibutuhkan, dan penggunaan waktu. Dalam
system pembayaran pajak secara elektronik (billing system) pada pihak Direktorat Jenderal
Perbendaharaan, yang mempunyai tugas dan/atau kewajiban menunjuk bank/pos persepsi,
melakukan pengawasan terhadap bank/pos persepsi dan menyediakan data billing yang telah
dibayar biaya yang dikeluarkan tidak begitu besar, karena saat ini system ini masih bersifat
uji coba dan cakupannya terbatas jadi belum menyeluruh sehingga fasilitas yang digunakan
masih menggunakan fasilitas yang lama ketika existing system yaitu Modul Penerimaan
Negara generasi 1 (MPN-G1). Hal ini seperti yang disampaikan oleh Taukhid selaku Ka.
Subdit Penerimaan Negara, Direktorat Jenderal Perbendaharaan “Kalau dari biaya, untuk
pengembangan sistem billing berdasarkan PMK ini sangat rendah sekali, karena fasilitas yang
digunakan adalah fasilitas yang sudah ada, yang sekarang disebut MPN 1” (Wawancara
Taukhid, 20 Mei 2013). Berbeda apabila sistem pembayaran pajak secara elektronik (billing
system) sudah memberikan cakupan yang luas dan diperuntukan untuk seluruh wajib pajak
maka biaya yang dikeluarkan untuk pengembangannya akan lebih besar tetapi apabila
dikonverse dengan keuntungan yang didapat dalam jangka panjang maka masih dirasa cukup
effisien.
Dipihak Direktorat Jenderal Pajak, biaya yang dikeluarkan dalam uji coba kebijakan
sistem pembayaran pajak secara elektronik (billing system) membutuhkan biaya yang cukup
besar terkait dengan biaya investasi terhadap sistem teknologi informasi tersebut, seperti
server, koneksi internet dan biaya yang dikeluarkan sebagai bentuk sosialisasi kepada wajib
pajak, hal ini seperti yang disampaikan Gatot S.M Faisal selaku Pelaksana Seksi

Kebijakan Sistem ..., Lidya Intan Virgianti, FISIP UI, 2013


Pengembangan, Pemetaan Dan Penilaian,Transformasi Proses Bisnis, Direktorat Jenderal
Pajak “Jelas ada biaya, biasanya yang utama itu ada biaya investasi untuk TIKnya, untuk
sarana prasarana, infrastruktur, dan pengembangannya sendiri itu cukup mahal” (Wawancara
Gatot, 13 Mei 2013). Penggunaan biaya yang cukup besar pada pihak Direktorat Jenderal
Pajak didasari karena tugas dan/atau kewajiban yang dimiliki Direktorat Jenderal Pajak
antara lain menyiapkan infrastruktur server billing, menyediakan layanan pendaftaran peserta
billing, menyediakan layanan pembuatan billing, melaksanakan tugas sebagai operator sistem
dan pemeliharaan infrastruktur billing, dsbnya.
Dipihak wajib pajak, sistem pembayaran pajak secara elektronik (billing system)
memberikan penghematan biaya yang dikeluarkan dalam sistem sebelumnya yaitu
pembayaran pajak secara manual, dimana sebelumnya ada biaya yang dikeluarkan wajib
pajak seperti untuk pengadaan formulir surat setoran pajak, biaya yang dibutuhkan untuk
menuju ke bank/pos persepsi dimana dilakukannya pembayaran pajak, dengan menggunakan
sistem pembayaran pajak secara elektronik (billing system) wajib pajak tidak lagi harus
mengeluarkan biaya untuk pengadaan formulir surat setoran pajak karena pengisian formulir
surat setoran pajak dilakukan melalui portal yang telah ada secara online dan juga wajib pajak
dapat melakukan pembayaran pajak melalui internet banking atau ATM, sehingga wajib
pajak tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi karena fasilitas internet banking dan ATM
lebih mudah dan dekat dijangkau.
Dalam segi waktu pemerintah, dalam hal ini meliputi Direktorat Jenderal
Perbendaharaan dan Direktorat Jenderal Pajak dapat mengurangi penggunaan waktu yang
dipakai untuk pengadministrasian perpajakan, tidak hanya itu, untuk petugas bank/pos
persepsi, apabila wajib pajak melakukan pembayaran pajak secara elektronik (billing system)
melalui over the counter, petugas bank/pos persepsi dapat menghemat waktu menyelesaikan
transaksi pembayaran tersebut, karena tidak perlu lagi menginput ulang npwp wajib pajak,
kode jenis pembayaran, nominal jumlah pembayaran, dsb, cukup dengan memasukan kode
billing dan melakukan konfirmasi kepada wajib pajak. Dari sisi wajib pajak, dengan sistem
pembayaran pajak secara elektronik (billing system) wajib pajak dapat mengurangi
penggunaan waktu, baik waktu ketika digunakan wajib pajak dalam mengisi formulir surat
setoran pajak secara manual, dan juga waktu yang digunakan wajib pajak untuk menuju ke
bank/pos persepsi untuk melakukan pembayaran secara manual. Dengan adanya sistem
pembayaran pajak secara elektronik (billing sistem) wajib pajak lebih membutuhkan waktu
yang relatif lebih sedikit, karena wajib pajak dipermudah dan dapat lebih cepat melakukan
pembayaran.
Kebutuhan sumber daya manusia didalam sistem pembayaran pajak secara elektronik
(billing system) pada semua pihak dirasa tidak perlu dibutuhkan sumber daya manusia baru,
hanya saja sumber daya manusia yang sudah ada diberikan pengetahuan dan pemahaman
guna memahami suatu sistem baru. Pada pihak Direktorat jenderal perbendaharaan tidak
dibutuhkan adanya penambahan sumber daya manusia dalam pengembangan sistem
pembayaran pajak secara elektronik (billing system), karena masih menggunakan sumber
daya manusia yang sudah ada, hanya saja sumber daya manusia yang sudah ada tadi harus
selalu dapat mengimbangi kemajuan sistem teknologi informasi, mereka harus di berikan
pengetahuan untuk meningkatkan kualitasnya dan memahami sistem yang ada.
Suatu sistem yang memanfaatkan teknologi informasi sifatnya akan mengurangi
beban pekerjaan yang sifatnya administrasi yang sebelumnya dilakukan oleh manusia, karena
teknologi informasi langsung terintegrasi terhadap suatu sistem. Untuk itu pada pihak
Direktorat Jenderal Pajak, penambahan sumber daya manusia juga tidak ada, karena pihak
DJP masih menggunakan sumber daya manusia yang sudah ada

Kebijakan Sistem ..., Lidya Intan Virgianti, FISIP UI, 2013


Pada sisi wajib pajak, penambahan sumber daya manusia untuk pelaksanaan sistem
pembayaran pajak secara elektronik juga dipandang tidak perlu, karena sebenarnya dengan
kemudahan, kenyamanan dan kesederhanaan prosedur sistem pembayaran pajak secara
elektronik (billing system) malah akan banyak mengurangi beban pekerjaan yang dulunya
sifatnya administrasi dan membutuhkan sumber daya manusia yang banyak.
Kesederhanaan dalam kebijakan sistem pembayaran pajak secara elektronik (billing
system) diperoleh dari kesederhanaan prosedur pelaksanaannya dimana sistem ini
mengurangi beberapa tahapan dan interpretasi petugas bank/pos persepsi yang ada pada
sistem pembayaran pajak secara manual yang sering menyebabkan terjadinya reversal.
Sebesar 50.32% penyebab transaksi reversal atas penerimaan negara disebabkan oleh human
error (Teller Bank/Pos Persepsi). Kesederhaan prosedur dalam sistem pembayaran pajak
secara elektronik (billing system) juga dilakukan guna memudahkan Wajib Pajak sehingga
akan memberikan dampak positif bagi para Wajib Pajak untuk meningkatkan kesadaran
dalam pembayaran pajak.
Adapun kendala yang dihadapi dalam implementasi sistem pembayaran pajak secara
elektronik (billing system) antara lain, masih kurangnya sosialisasi yang diberikan oleh pihak
Direktorat Jenderal Pajak tentang kebijakan sistem pembayaran pajak secara elektronik
(billing system), menjadi suatu kendala dalam implementasinya, karena masih banyaknya
wajib pajak yang memang sudah ditunjuk dapat menggunakan sistem ini, tidak mengetahui
dan memahami tentang sistem ini, tidak hanya dipihak wajib pajak saja, tetapi sosialisasi juga
dirasakan kurang kepada pihak kantor pelayanan pajak (KPP) ataupun pihak bank/pos
persepsi yang ditunjuk dapat memfasilitasi sistem ini.
Akses Internet juga merupakan salah satu kendala dalam pelaksanaan sistem
pembayaran pajak secara elektronik (billing system), dimana adanya keharusan penggunaan
akses internet dalam sistem ini. apabila tidak ada akses internet, wajib pajak tidak dapat
mengakses portal DJP untuk membuat setoran pajak secara elektronik. Sulitnya melakukan
perubahan, dari sistem pembayaran pajak manual menjadi sistem pembayaran pajak secara
elektronik (billing system) dengan memanfaatkan teknologi informasi, merupakan suatu
kendala dalam implementasi dimana kesiapan sumber daya manusia harus dapat beradaptasi
terhadap sebuah sistem yang memanfaatkan teknologi informasi.

Simpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai sistem pembayaran pajak secara
elektronik (billing system) ditinjau dari asas ease of administration, dapat disimpulkan bahwa
didalam dasar hukum sistem pembayaran pajak secara elektronik (billing system) yaitu PMK
nomor 60/PMK.05/2011, telah diuraikan secara jelas terkait dengan prosedur tata cara
pelaksanaan uji coba sistem pembayaran pajak secara elektronik (billing system), mulai dari
siapa saja yang dapat menggunakan sistem tersebut, pihak-pihak yang terkait dan tahapan
prosedur pelaksanaannya, hanya saja masih terdapat ambiguitas yang disebabkan oleh bunyi
dari dasar hukum tersebut yaitu “uji coba penerapan” yang menyebabkan keraguan dalam
implementasinya. Sistem pembayaran pajak secara elektronik (billing system) memberikan
kenyamanan kepada wajib pajak dalam melakukan pembayaran pajak. Sistem ini
memberikan flexible service untuk melakukan pembayaran dimana saja dan kapan saja
selama 24 jam. Pembayaran pajak secara elektronik (billing system) dapat dilakukan melalui
over the counter (teller), ATM, dan internet banking.
Sistem pembayaran pajak secara elektronik (billing system) memberikan efficiency
dari segi biaya bila dilihat dengan manfaat yang didapat dalam jangka panjang. Dalam segi

Kebijakan Sistem ..., Lidya Intan Virgianti, FISIP UI, 2013


waktu dan sumber daya manusia adanya pengurangan beban pekerjaan yang bersifat
administrasi sehingga menghemat pemakaian waktu dan sumber daya manusia.
Kesederhanaan prosedur dari sistem pembayaran pajak elektronik (billing system) adalah
kesederhanaan prosedur pembayaran pajak secara automasi yaitu memanfaatkan kemajuan
teknologi informasi sehingga mengurangi beberapa tahapan yang cukup berbelit-belit
prosedurnya. Adapun prosedur pelaksanaan sistem kebijakan pajak secara elektronik (billing
system) adalah pendaftaran peserta billing, pembuatan kode billing, pembayaran berdasarkan
kode billing, dan rekonsiliasi billing.
Kendala yang masih dihadapi dalam implementasi kebijakan sistem pembayaran
pajak secara elektronik (billing system) diantaranya adalah masih kurangnya sosisalisasi yang
didapat oleh para wajib pajak. Akses internet yang sangat minim di daerah-daerah tertentu,
kesiapan sumber daya manusia terhadap sebuah sistem yang memanfaatkan teknologi
informasi dan juga masih terbatasnya cakupan dari sistem pembayaran pajak secara
elektronik (billing system), seperti cakupan wilayah wajib pajak, cakupan bank/pos persepsi
yang memfasilitasi, dan juga cakupan jenis pajak yang dapat dilakukan pembayaran dengan
menggunakan sistem pembayaran pajak secara elektronik (billing system).

Saran
Terkait dengan keraguan dan kenyamanan bagi wajib pajak terhadap sistem ini, bunyi
dari dasar hukum kebijakan sistem pembayaran pajak secara elektronik (billing system) yaitu
PMK nomor 60/PMK.05/2011 harus dirubah sehingga tidak menimbulkan keraguan, perlu
adanya peningkatan keamanan data, seperti misalnya sistem billing ini seharusnya terdaftar
dalam SSL Server Certificate sehingga tingkat keamanan tidak diragukan dan dapat
meningkatkan kinerja server dan hosting. Terkait dengan masih terbatasnya cakupan sistem
ini seperti terbatasnya peruntukan jenis pajak yang dapat dilakukan pembayaran dengan
sistem pembayaran pajak secara elektronik (billing sytem), wilayah yang dapat
mengimplementasikan dan terbatasnya bank/pos persepsi yang memfasilitasi, masih perlu
dilakukan pengembangan sehingga billing system ini dapat memberikan cakupan yang lebih
luas.
Diperlukan juga sosialisasi secara menyeluruh dan berkelanjutan sebagai bentuk
evaluasi dengan cara penyuluhan dan pelatihan langsung kepada wajib pajak sehingga
memberikan pemahaman dalam pelaksanaan sistem pembayaran pajak secara elektronik
(billing system), memberikan informasi melalui berbagai media seperti mungkin adanya role
model dan juga diperlukan penyediaan pusat informasi seperti call center untuk bisa
memberikan informasi kepada wajib pajak yang mengalami permasalahan dalam
mengimplementasikan sistem ini.

Kepustakaan
Buku
Faisal, Gatot S.M. (2009). How To Be A Smarter Tax Payer. Jakarta: PT. Grasindo.
Mansury, R. (1999). Kebijakan Fiskal. Jakarta: Yayasan Pengembangan dan Penyebaran
Pengetahuan Perpajakan (YP4).
__________. (2002). Pajak Penghasilan Lanjutan Pasca Reformasi 2000. Jakarta: Yayasan
Pengembangan dan Penyebaran Pengetahuan Perpajakan (YP4)

Kebijakan Sistem ..., Lidya Intan Virgianti, FISIP UI, 2013


Neuman, W. Lawrence. (2003). Social Research Methods, Qualitative and Quantitative
Approaches Fifth Edition. Boston: Pearson Education.
Nightingale, Kath. (2000). Taxation: Theory And Practice. United Kingdom: Pearson
Education Limited.
Nurmantu, Safri. (2005). Pengantar Perpajakan (edisi 3). Jakarta: Granit.
Prastowo, Andi. (2011). Metode Penelitian Kualitatif Dalam Perspektif Rancangan
Penelitian. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Priantara, Diaz, (2009). Kupas Tuntas Pengawasan, Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak ,
Jakarta: Indeks.
Rahman, Abdul. (2010). Panduan Pelaksanaan Administrasi Perpajakan Untuk Karyawan,
Pelaku Bisnis dan Perusahaan. Bandung: Penerbit Nuansa.
Rosdiana, Haula dan Edi Slamet Irianto. (2012). Pengantar Ilmu Pajak, Kebijakan dan
Implementasi di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Soemitro, Rachmat dan Kania Sugiharti. (2004). Asas dan Dasar Perpajakan (edisi kedua).
Bandung : PT. Refika Aditama.
Suandy, Erly. (2011). Perencanaan Pajak (edisi 5). Jakarta: Salemba empat.
Wahyutomo, Imam. (1994). Pajak. Yogyakarta: UPP AMP YKPN

Tesis, Skripsi, Makalah seminar, konferensi dan sejenisnya


Novianto, Anthon. (2006). Kajian Terhadap Sistem On-line Administrasi Pembayaran Pajak:
Alternatif Peningkatan Tax Ratio di Indonesia (Studi Kasus Pada Direktorat Jenderal
Pajak). Tesis FE Universitas Indonesia.
Iriawan, Her Ovita. (2010), Pengaruh Pelayanan Prima Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak
Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Gambir Empat. Skripsi FE Universitas
Indonesia.
Rochmah, Siti. (2008). Evaluasi Kebijakan Modul Penerimaan Negara (MPN). Skripsi FISIP
Universitas Indonesia.

Publikasi Elektronik
Pandji: reformasi pajak harus terus berlangsung. Maret 27, 2013.
http://www.pajak.go.id/content/pandji-reformasi-pajak-harus-terus
berlangsung?lang=en
Sejarah. April 4, 2013
http://www.kpppmasatu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=25&It
emid=77
 

Kebijakan Sistem ..., Lidya Intan Virgianti, FISIP UI, 2013

Você também pode gostar