Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Produksi susu sapi perah di Indonesia masih sangat rendah, salah satu
penyebabnya adalah kasus mastitis subklinis oleh bakteri Streptococcus
agalactiae. Penanganan penyakit mastitis dengan antibiotik hanya akan
meninggalkan residu pada susu serta resistensi mikroba, sehingga diperlukan
metode peningkatan sistem imun dari tubuh sapi perah untuk melawan mastitis.
Peningkatan sistem imun ini dapat diperoleh dengan pemberian vaksin. BATAN
(Badan Tenaga Nuklir Nasional) telah mengembangkan vaksin baru dengan
metode radiasi sinar gamma 17Gy menggunakan sumber 60Co pada S. agalactiae
hingga mencapai Lethal Dose 50 (LD50). Keamanan vaksin ini perlu diteliti untuk
mengetahui tingkat toksik vaksin tersebut terhadap tubuh hewan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek vaksin S. agalactiae yang
diradiasi dengan sinar gamma untuk mencegah mastitis subklinis. Penelitian
dilakukan pada hati dan ginjal mencit (Mus musculus). Dua belas mencit betina
digunakan dalam penelitian ini yang dibagi dalam 4 kelompok, kontrol negatif
(K); kontrol positif (T); kelompok vaksin (V); kelompok vaksin dan tantang
(VT). Perlakuan diberikan selama masa kebuntingan dan ditantang setelah
melahirkan (7 hari), selanjutnya vaksinasi diberikan selama kebuntingan dengan
interval satu minggu antara vaksinasi pertama dan vaksin booster dengan suspensi
108cfu/ml/ekor S. agalactiae, vaksinasi dilakukan selama 4 minggu. Seminggu
setelah melahirkan, mencit ditantang dengan S. agalactiae patogen yang berasal
dari kasus sapi mastitis subklinis, diteteskan 50µl 108cfu/ml/puting pada orificium
externa ambing mencit. Sehari kemudian mencit dinekropsi, lalu sampel diambil
dan difiksasi dengan Buffered Neutral Formalin 10% (BNF 10%) serta diproses
menjadi slide histopatologi.
Parameter yang diamati dan dihitung adalah perubahan hepatosit yang
mengalami degenerasi hidropis, degenerasi lemak, sel radang dan nekrosis di area
vena porta dan vena sentralis. Parameter yang diamati dan dihitung pada ginjal
meliputi degenerasi hidropis, degenerasi lemak, degenerasi hyalin, dan nekrosa
pada tubulus ginjal, sedang pada glomerulus diamati jarak kapsula-glomerulus,
jumlah sel radang, dan luas glomerulus. Data dianalisis dengan uji ANOVA dan
dilanjutkan dengan uji Duncan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa vaksin iradiasi S. agalactiae tidak
memiliki efek toksik pada hati dan ginjal mencit yang dapat dibuktikan dengan
tidak ada perbedaan nyata (p<0,05) antara kelompok V dan kelompok K dalam
peningkatan degenerasi sel, sel radang dan kematian sel. Efek vaksin S. agalactiae
yang diradiasi dan ditantang juga tidak menimbulkan perubahan patologis sel hati
dan ginjal. Hal ini menunjukkan bahwa vaksin S. agalactiae yang diradiasi aman
digunakan.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penulisan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KAJIAN HISTOPATOLOGIS PENGARUH VAKSIN
Streptococcus agalactiae YANG DIRADISI PADA ORGAN
HATI DAN GINJAL MENCIT (Mus musculus)
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
Disetujui,
(Dr. Drh. Sri Estuningsih, MSi, APVet) (Dr. Drh. Boky Jeanne Tuasikal, MSi)
Pembimbing I Pembimbing II
Diketahui :
Tanggal lulus :
PRAKATA
Puji syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan
skripsi tentang “Kajian Histopatologis Pengaruh Vaksin Streptococcus agalactiae
yang Diradiasi pada Organ Hati dan Ginjal Mencit (Mus musculus)”.
Dengan selesainya skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1 Dr. Drh. Sri Estuningsih, Msi. APVet selaku dosen pembimbing
akademik dan pembimbing skripsi I atas segala bimbingan dan kesabaran
selama penelitian dan penulisan skripsi.
2 Dr. Drh. Boky Jeanne Tuasikal, MSi selaku dosen pembimbing skripsi II
atas segala bimbingan dan kesabaran selama penelitian dan penulisan
skripsi.
3 Orang tua tercinta, Bapak Laseni (almarhum) dan ibu Sumriyah yang
senantiasa mendoakan dan mencurahkan segenap kasih sayang pada
penulis.
4 Saudara tercinta, Sofia Pratiwi SE, Nia Kurniati dan Latif Edi Wirawan
yang senantiasa memberikan motivasi pada penulis.
5 Teman sepenelitian, Andrio, dan teman Patologi (Mohamad Jami
Ramadhan dan Intan Junita) yang selalu memberikan semangat dan
dukungan untuk mengerjakan penelitian.
6 Seluruh staf dan teknisi di Bagian Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan
IPB yang telah membantu penulis selama penelitian.
7 Sahabat-sahabat penulis (Fitria Apriliani, Iin Nuraeni, Euis Fajriati, Dwi
Oktaviani, Niaka Mey Filina, Kusnul Chotimah, Ana Khovifah, Siti
Astuti, Hastin Utami Damayantie, Kholis Afidatunnisa, Ruri Indrian, Rika
Febri Annisa) dan Avenzoar 45 atas kebersamaan dan keceriaan yang
selalu dihadirkan.
8 Semua pihak dan rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Terimakasih atas kerjasama dan dukungannya.
Akhir kata penulis berharap semoga penelitian dan skripsi ini dapat
bermanfaat.
PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
Latar belakang ................................................................................................. 1
Tujuan penelitian ............................................................................................. 3
Hipotesa penelitian ........................................................................................... 3
Manfaat penelitian ........................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................... 4
Streptococcus agalactiae .................................................................................. 4
Mastitis sub klinis ............................................................................................ 5
Vaksin iradiasi ................................................................................................. 7
Tinjauan tentang Hati Mencit ........................................................................... 8
Anatomi Hati Mencit .................................................................................... 8
Histologi Hati............................................................................................... 9
Fungsi Hati ................................................................................................ 10
Patologi Sel ................................................................................................ 11
Patologi Sel Hati ........................................................................................ 12
Tinjauan tentang Ginjal .................................................................................. 13
Anatomi Ginjal........................................................................................... 13
Histologi Ginjal .......................................................................................... 14
Fungsi Ginjal ............................................................................................. 15
Patologi Ginjal ........................................................................................... 15
viii
Gambaran Histopatologi Organ Hati Mencit .................................................. 23
Area Vena Sentralis.................................................................................... 23
Area Vena Porta ......................................................................................... 23
Gambaran Histopatologi Organ Ginjal Mencit ............................................... 32
Tubulus ginjal ............................................................................................ 32
Glomerulus ginjal ....................................................................................... 37
PENUTUP ......................................................................................................... 40
Simpulan ........................................................................................................... 40
Saran ................................................................................................................. 40
LAMPIRAN ...................................................................................................... 45
ix
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Fungsi Tiap Segmen Ginjal ........................................................................ 15
2 Hasil perhitungan kelainan daerah vena sentralis hati setelah dilakukan
vaksinasi dan uji tantang S. agalactiae ........................................................ 23
3 Hasil perhitungan kelainan daerah vena porta hati ....................................... 30
4 Hasil perhitungan kelainan tubulus ginjal setelah dilakukan vaksinasi
dan ditantang S. agalactiae.......................................................................... 33
5 Hasil perhitungan kelainan glomerulus ginjal setelah dilakukan
vaksinasi dan ditantang S. agalactiae .......................................................... 37
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 S.agalactie dengan pewarnaan Gram ........................................................ 4
2 Struktur ambing dan puting ..................................................................... 5
3 Skema Hati ............................................................................................ 10
4 Daerah Porta Hati Tikus dengan Pewarnaan HE, perbesaran 20x ............ 10
5 Glomerulus normal dikelilingi oleh tubulus ............................................ 14
6 Jadwal pemberian pretreatment .............................................................. 19
7 Jadwal booster dan vaksinasi pada kelompok hewan coba ...................... 20
8 Perbandingan gambaran histopatologi vena sentralis setelah dilakukan
vaksinasi dan ditantang S. agalactiae. ..................................................... 29
9 Perbandingan gambaran histopatologi vena porta setelah dilakukan
vaksinasi dan ditantang S. agalactiae. ..................................................... 32
10 Perbandingan gambaran histopatologi tubulus.. ...................................... 36
11 Perbandingan gambaran histopatologi glomerulus. ................................. 39
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
LAMPIRAN ...................................................................................................... 45
xii
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Susu merupakan sumber nutrisi protein hewani yang dapat menyediakan
kebutuhan gizi tubuh. Dengan mengkonsumsi susu maka kemungkinan
munculnya penyakit malnutrisi dan kekurangan kalsium dapat dihindari. Di
Indonesia, konsumsi susu masih merupakan hal yang dianggap mewah dan hanya
dapat dinikmati oleh kalangan menengah ke atas. Hal ini disebabkan minimnya
produksi susu yang dihasilkan oleh peternakan sapi perah lokal di Indonesia.
Produksi susu nasional hanya memenuhi permintaan domestik 25 persen
dari jumlah konsumsi sekitar 700.000 ton per tahun (Kompas 2009). Rendahnya
produksi tersebut disebabkan pendidikan dan pengetahuan para peternak yang
masih rendah sehingga berdampak pada penurunan kualitas susu yang pada
akhirnya ditolak oleh pengumpul. Penyebab lain rendahnya produksi susu adalah
adanya penyakit mastitis yang mengakibatkan produksi susu turun, kualitas susu
rendah, harga jual turun, susu ditolak karena tidak dapat memenuhi standar
penerimaan susu, dan susu tidak layak konsumsi (Lukman et al. 2009).
Radang ambing yang umum disebut dengan mastitis bukan hal baru lagi
dalam dunia peternakan sapi perah di Indonesia. Mastitis merupakan masalah
utama dalam tata laksana usaha peternakan sapi perah yang sangat merugikan,
baik peternak sapi perah, industri pengolah susu dan konsumen (Sudarwanto
1999).
Bentuk mastitis secara umum dibagi dua yaitu mastitis klinis dan mastitis
subklinis. Mastitis klinis dapat dengan mudah dideteksi karena munculnya gejala
klinis yang dapat diamati secara langsung, seperti perubahan susu yang
dihasilkan, pembengkakan ambing disertai sakit, merah dan panas. Mastitis
subklinis tidak menunjukkan gejala klinis baik pada ambing maupun pada susu
yang dihasilkan (Lukman et al. 2009).
Kejadian mastitis subklinis pada sapi perah di Indonesia sangat tinggi (95-
98%) dan menimbulkan banyak kerugian (Sudarwanto 1999). Streptococcus
agalactiae dan Staphylococcus aureus merupakan dua bakteri utama penyebab
mastitis subklinis (Wahyuni et al. 2005). Bakteri ini secara umum normal ada
dalam ambing, namun dalam jumlah tertentu akan mengiritasi ambing sehingga
2
tidak menghasilkan susu yang baik, bahkan terhentinya produksi. Bakteri yang
umum mencemari ambing biasanya dapat masuk ke dalam ambing melalui dua
cara yaitu: diluar waktu pemerahan dan saat pemerahan.
Kontaminasi dari S. agalactiae dapat diketahui secara langsung dari kondisi
abnormal yang kasat mata (klinis) maupun kondisi abnormal yang tidak kasat
mata (subklinis). Mastitis klinis biasa dapat ditangani dengan baik karena terlihat
gejala peradangan ambing akibat bakteri. Berbeda dengan mastitis subklinis yang
gejalanya menyerupai fenomena gunung es, dimana kondisi yang tampak sangat
minim dibandingkan dengan kejadian kasus sesungguhnya (Lukman et al. 2009).
Kasus mastitis subklinis termasuk penyakit yang sukar disembuhkan dan
sulit ditangani karena selain gejalanya yang sukar terlihat, juga karena
kebanyakan peternak sengaja menutup-nutupi agar susu sapi tidak ditolak oleh
koperasi. Pengobatan dengan antibiotik akan beresiko meninggalkan residu pada
susu. Untuk mengatasi mastitis subklinis diperlukan metode peningkatan respon
imun dari dalam tubuh sapi, yaitu dengan membentuk antibodi dari sapi perah
terhadap serangan mastitis. Pembentukan antibodi ini dapat dipicu dengan
pemberian vaksin.
Vaksin bakteri S. agalactiae dapat dibuat dengan metode dilemahkan
(attenuated) ataupun dimatikan (killed). Metode pelemahan bakteri ini dapat
ditempuh dengan berbagai cara, salah satunya dengan cara diradiasi. Beberapa
mikroorganisme akan mati bila mendapat paparan radiasi dari sinar-sinar tertentu,
termasuk jenis S. agalactiae. BATAN telah mengembangkan teknik baru
pembuatan vaksin dengan menggunakan radiasi sinar gamma 17 Gray. Bakteri
yang telah dilemahkan dengan LD50 (Lethal Dose 50) tersebut diujikan pada
mencit untuk mengetahui efektifitas vaksin dalam menanggulangi mastitis.
Apabila nantinya vaksin ini berhasil dalam membentuk antibodi sapi guna
melawan mastitis, tetap diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui efek
vaksin tersebut terhadap organ lain.
Ginjal dan hati merupakan organ pendeteksi toksisitas dalam tubuh. Seluruh
peredaran darah dalam tubuh akan melalui penyaringan di ginjal dan penetralan
racun di hati (Guyton 2006). Dari kedua organ ini akan diketahui toksisitas dari
suatu bahan asing yang dimasukkan dalam tubuh. Penelitian mengenai toksisitas
3
Tujuan penelitian
Menguji efek toksik vaksin S. agalactiae yang diradiasi terhadap perubahan
histopatologi pada organ ginjal dan hati mencit (Mus musculus).
Hipotesis penelitian
H0 : Vaksin S. agalactiae yang diradiasi tidak memberikan efek toksik pada
organ hati dan ginjal mencit.
H1 : Vaksin S. agalactiae yang diradiasi memberikan efek toksik pada organ hati
dan ginjal mencit.
Manfaat penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang efek
toksisitas vaksin S. agalactiae yang diradiasi sehingga penggunaan vaksin secara
luas di masyarakat tidak dipertanyakan lagi keamanannya.
TINJAUAN PUSTAKA
Streptococcus agalactiae
S. agalactiae adalah bakteri Gram positif dengan ukuran koloni yang sangat
kecil dan berwarna kebiruan pada medium Edward (Gambar 1). S. agalactiae
merupakan penyebab terbesar dari kasus mastitis dan dapat dengan mudah
berpindah pada satu sapi ke sapi lainnya saat proses pemerahan. Koloni bakteri ini
biasa berada pada ambing walaupun terkadang berada pada puting dan kulit dari
puting, terutama jika permukaan kulit mengalami perlukaan (Blowey dan
Edmondson 2010).
(1990), kemampuan bakteri untuk menempel pada sel inang diperantarai oleh
komponen adhesin bakteri yang membantu perlekatan pada reseptor spesifik
inang. S. agalactiae dengan hemaglutinin mempunyai kemampuan menempel
pada sel epitel ambing yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak
memiliki hemaglutinin. Melalui kemampuan adhesi inilah S. agalactiae terbebas
dari pengaruh pembasuhan organ-organ sekresi sehingga tidak ikut keluar saat
ambing diperah.
Mastitis Subklinis
Mastitis adalah istilah bagi peradangan jaringan internal ambing dan
merupakan penyakit yang paling banyak menyerang sapi perah. Mastitis
merupakan penyakit yang kompleks pada sapi perah karena kausa, tingkat
peradangan, lama sakit, dan akibat yang berbeda.
6
langsung adalah CMT (Californian Mastitis Test), WST (Whiteside Test), AMP
(Aulendorfer Mastitis Probe), WMT (Wisconsin Mastitis Test), Brabanter
Mastitis Test, dan IPB-1 Test (Lukman et al. 2009).
Anatomi Hati
Secara anatomi, hati memiliki empat lobus yaitu kanan, kiri, caudate, dan
quadrate, dimana lobus kanan memiliki ukuran setengah hingga dua per tiga dari
keseluruhan volume hati. Terdapat pula empat segmen fungsional yang
diklasifikasikan berdasarkan aliran darah dan aliran empedu.
Hati diperantarai oleh beberapa ligamen yang berbeda. Ligamentum
hepatoduodenal menghubungkan antara hati dengan area superior dari duodenum
dan mendukung pembuluh darah serta duktus. Fisura transversa memisahkan
lobus kanan dengan lobus kaudatus. Ligamen lainnya adalah ligamentum
falciforme, ligamentum coronarium, ligamentum triangulare sinistrum dan
ligamentum teres (Kanel dan Korula 1992).
Salah satu fungsi hati adalah sebagai kelenjar sekretori penghasil empedu.
Empedu memiliki fungsi penting dalam mencerna lemak. Saat tidak ada makanan
di dalam duodenum, maka sphincter of oddi antara duktus empedu dan duodenum
tertutup, dan empedu tidak dapat masuk saluran pencernaan melainkan disimpan
dalam kantung empedu. Epitel dari kantung empedu menyerap sodium, chloride
dan bicarbonate dari empedu sementara air diabsorbsi secara pasif. Pada spesies
yang tidak memiliki kantung empedu seperti tikus, mencit dan kuda, sphincter of
oddi tidak berfungsi dan empedu hanya disekresikan ke usus saat dan selama
proses pencernaan (Cunningham 2002).
9
Histologi Hati
Sel utama dari hati adalah hepatosit yang merupakan jaringan hidropis dan
membentuk unit stuktural yang disebut hepatic lobules (lobulus hati). Hati juga
dilindungi oleh jaringan serosa atau peritoneum yang terdiri atas jaringan ikat tipis
yang selanjutnya membagi hati menjadi lobus dan lobulus. Selanjutnya,
berdasarkan struktur anatomi lobulus hati juga disebut dengan classic liver lobule
/lobulus klasik (Samuelson 2007).
Lobulus hati memiliki struktur silindris dengan panjang antara 0,8 - 2 mm.
Lobulus tersebut terdiri atas banyak rangkaian sel-sel hati/hepatosit yang secara
radial mengelilingi vena sentralis seperti jari-jari pada roda (Gambar 3). Lobulus
hati mengelilingi vena sentralis yang kosong. Vena porta menerima darah yang
mengandung zat makanan hasil absorbsi dari usus menuju ke hati. Selanjutnya
darah disalurkan melalui venous sinusoid yang berada di antara hepatic plate. Dari
sini, darah akan masuk ke dalam vena sentralis dan selanjutnya mengalir ke vena
hepatika lalu masuk vena cava. Empedu juga disekresi ke dalam canaliculi
diantara hepatosit yang selanjutnya mengalir menuju saluran empedu (bile duct)
di daerah perifer dimana terletak vena porta dan arteri hepatika. Saluran empedu,
vena porta dan arteri hepatika membentuk struktur yang bernama portal triad
(Gambar 4). Sel hati akan terpapar oleh aliran darah dari vena porta dan dari sisi
lain oleh empedu.
Diantara lempengan sel hati terdapat kapiler-kapiler yang dinamakan
sinusoid, yang merupakan cabang vena porta dan arteri hepatika. Sinusoid vena
terdiri atas dua tipe sel yaitu sel endotel dan sel Kupffer. Sel endotel merupakan
sel pipih memanjang yang berfungsi menyaring molekul pada darah seperti
glikoprotein dan secara langsung berkontak dengan hepatosit. Sel kuppfer
merupakan sistem reticuloendothelial yang memiliki kemampuan untuk
memfagosit mikrobakteria dan material asing dalam darah. Sel ini mempunyai inti
yang besar dan pucat serta sitoplasma yang lebih banyak dengan cabang yang
meluas atau melintang di dalam sinusoid hati (Kanel dan Korula 1992). Garis
endothel memiliki pori yang sangat besar mencapai diameter 1 mikron. Hal ini
menyebabkan adanya pertukaran substansi yang bebas dari plasma dengan cairan
di sekeliling sel hati (Guyton 2006).
10
Vena porta
Arteri hepatika
Duktus empedu
Gambar 4 Daerah Porta Hati Tikus dengan Pewarnaan HE, perbesaran 20x
(Anonim 2012).
Fungsi Hati
Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh yang memiliki beberapa
fungsi dasar yaitu: pembentukan empedu, penyimpanan dan pelepasan
karbohidrat, pembentukan urea, pembuatan protein plasma, berhubungan dengan
metabolisme lemak, inaktivasi sejumlah hormon polipeptida, pengurangan dan
konjugasi hormon korteks adrenal dan steroid gonads, sintesis 25-
hidroksikolekalsiferol, detoksikasi banyak obat dan toksin (Ganong 1995).
11
Patologi Sel
Secara garis besar, proses patologi adalah peradangan dan penyembuhan.
Proses peradangan merupakan respon terhadap perlukaan jaringan yang berguna
untuk menghancurkan agen patologis. Karakteristik peradangan sel dapat berupa
akumulasi eksudat purulen (neutrophils) dan granulomatous (monosit dan
makrofag). Proses penyembuhan pada jaringan dapat berupa angiogenesis,
fibrosis, dan regenerasi. Apabila proses ini tidak dapat berlangsung, maka terjadi
nekrosa yaitu kematian jaringan (Cheville 2006).
Kelainan morfologi secara fisiologis maupun patofisiologis dapat ditemukan
sebagai perubahan pada sel. Perubahan tersebut terdiri dari dua tipe, yaitu :
1. Kerusakan sel yang masih dapat pulih kembali (Reversible cellular injury),
yaitu kemampuan dimana sel dapat beradaptasi dan kembali pada fungsi
normalnya (McGavin dan Zachary 2007).
2. Kerusakan sel yang tidak dapat pulih kembali (Irreversible cellular
injury). Tipe ini disebabkan oleh kerusakan membran plasma,
pembengkakan lisosom, kehilangan DNA, kalsium masuk ke dalam sel,
mitokondria bengkak dan bervakuol, serta amorphous densitas dalam
mitokondria (Kemp et al. 2008; McGavin dan Zachary 2007). Pada
keadaan ini, kerusakan tidak dapat dipulihkan. Dua faktor penting yang
berperan pada kerusakan yang ireversibel adalah gangguan membran dan
disfungsi mitokondria.
Terdapat dua jenis kematian sel yang merupakan bentuk kerusakan sel
ireversibel. Kedua jenis tersebut adalah apoptosis dan nekrosis. Apoptosis adalah
kematian terprogram dari sel sebagai respon terhadap kerusakan DNA atau saat
pertumbuhan dan perkembangan. Nekrosis adalah kematian yang tidak terkontrol
akibat respon dari kerusakan sel (Kemp et al. 2008).
Dua tipe utama dari nekrosis adalah nekrosa koagulatif yaitu tipe nekrosa
dimana kerusakan protein lebih banyak daripada kerusakan enzim. Gambaran
mikroskopis yang khas dari tipe ini adalah meningkatnya warna merah
12
Anatomi Ginjal
Ginjal memiliki banyak bentuk dan ukuran pada hewan. Karnivora dan
ruminansia kecil memiliki bentuk menyerupai kacang dan permukaan yang halus.
Setiap ginjal membentuk hilum, yaitu area dimana ureter meninggalkan ginjal dan
sebagian besar darah dan pembuluh limpa serta nervus dapat keluar masuk. Ginjal
memiliki kapsula tipis serta jaringan ikat yang terdiri dari kolagen, serat elastik,
dan sel otot polos. Letak ginjal yang berada di superior dari retroperitoneum
membuat strukturnya dibatasi oleh smooth serosal mesothelium. Ginjal juga
14
diselubungi jaringan adiposa (lemak perirenal) yang menutup batas ventral dan
berada di regio hilum (Samuelson 2007).
Histologi Ginjal
Ginjal terdiri dari bagian korteks yang berwarna coklat kemerahan gelap dan
area medulla yang lebih terang. Pada semua hewan domestik korteks terletak di
sebelah luar medulla (Samuelson 2007). Setiap ginjal terdiri dari satu hingga dua
juta nephron yang merupakan unit fungsional dari ginjal. Setiap nephron
mencakup glomerulus, tubulus proksimal, tubulus distal, connecting segment dan
duktus kolektifus (Gambar 5) (Lennan dan Cheng 2011).
Cara kerja ginjal dalam membentuk urin adalah sebagai berikut : darah
masuk dalam glomerulus dari nefron melalui afferent arteriole dan selanjutnya
meninggalkan glomerulus melewati efferent arteriole. Glomerulus adalah jaringan
dari 50 kapiler paralel yang dibungkus oleh capsula Bowman’s yang berfungsi
sebagai filter cairan. Setelah darah melewati efferent arteriole dari glomerulus,
kebanyakan dari darah tersebut mengalir melalui peritubular capillary network di
sekitar tubulus nefron dan akhirnya kembali ke vena.
Cairan yang terfiltrasi melalui glomerulus kemudian melewati proximal
tubule, masuk segmen tipis yang disebut lengkung Henle, kemudian masuk distal
tubuli dan terakhir dikumpulkan dalam tubulus kolektifus. Air yang melalui
tubulus sebagian besar diserap kembali oleh peritubular capiller, adapun air dan
materi yang tidak diserap kembali akan diekskresikan sebagai urin (Guyton 2006).
Tubulus
Glomerulus
Fungsi Ginjal
Ginjal pada hewan dan manusia memiliki dua fungsi utama, yang pertama
untuk mengekskresi hasil akhir dari proses metabolisme tubuh, dan yang kedua
mengontrol konsentrasi dari seluruh cairan tubuh. Setiap ginjal terdiri dari
1.000.000 nefron, dengan tiap nefron memiliki kemampuan untuk membentuk
urin (Guyton 2006).
Sebagai organ yang menjaga kestabilan cairan dan asam basa tubuh, maka
ginjal berperan pula sebagai organ yang mendeteksi toksisitas dalam tubuh selain
hati. Zat-zat asing yang masuk dalam peredaran darah, seluruhnya akan difiltrasi
oleh ginjal dalam gomerulus dan direabsorbsi melalui tubulus ginjal. Hal ini
membuat ginjal mudah mengalami gangguan apabila ada zat toksik yang masuk
ke dalam tubuh. Ginjal menjadi salah satu parameter penting untuk mengetahui
berbahaya atau tidaknya suatu zat/ vaksin yang diujikan pada hewan coba.
Patologi Ginjal
Respon terhadap peradangan pada ginjal biasanya dimulai dengan infiltrasi
makrofag, proliferasi fibroblas, deposisi ECM (extra cellular matrix) dan terjadi
dalam tiga tahap. Tahap pertama yaitu fase induksi, dimana sel epitel tubulus
mengeluarkan Chemokine sehingga menyebabkan infiltrasi sel mononuklear
(leukosit) dan mengeluarkan pro-fibrogenetic cytokines untuk mengaktifkan
proliferasi fibroblasts. Tahap kedua adalah Matrix synthesis yang terus-menerus
mengeluarkan dan mendeposisi pro-fibrogenetic cytokines. Tahap ketiga adalah
Post-inflammatory phase yaitu penghentian stimulus inflamatori, memulai
16
Hewan coba
Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah 12 ekor mencit
betina dalam periode bunting hingga melahirkan dengan berat badan rata-rata 30-
37 gram. Hewan coba dalam keadaan sehat fisik dan tidak pernah digunakan
untuk penelitian lain.
Bahan penelitian
Bahan yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas; vaksin S. agalactiae
yang diradiasi berasal dari BATAN, Albendazole 5% (obat cacing dosis
10mg/kgBB), Clavamox® (antibiotik dosis 250mg/kgBB), Flagyl® (anti protozoa
dosis 50mg/kgBB), pelet, air minum, bahan kaos sebagai alas kandang, xylazin
dosis 8 mg/kgBB, Ketamin dosis 20 mg/kgBB untuk anestesi, Buffer Neutral
Formalin 10% (BNF 10%) untuk fiksasi organ mencit serta bahan-bahan lain
yang digunakan untuk membuat preparat histopatologi ginjal dan hati mencit yaitu
etanol 70%, 80%, 90%, etanol absolut, xylol, zat warna HE (Hematoxylin Eosin),
parafin.
Alat penelitian
Alat yang digunakan yaitu 12 box plastik berbentuk persegi panjang dengan
ukuran panjang 40 cm, lebar 29 cm, tinggi 12 cm dengan tutup yang terbuat dari
anyaman kawat untuk tempat pemeliharaan mencit selama penelitian, botol, sonde
lambung, timbangan, spoit, alat bedah (gunting, skalpel, pinset, pin, alas bedah),
pot plastik, alat-alat untuk membuat preparat histopatologi (alat dehidrasi yaitu
automatic tissue processor, mikrotom, hot plate, inkubator, basket, gelas objek,
19
kaca penutup), digital eye piece camera, seperangkat komputer, software imageJ
yang dapat di download pada Http://rsweb.nih.gov/ij/.
Metode penelitian
Analisis data
Tabel 2 Hasil perhitungan kelainan daerah vena sentralis hati setelah dilakukan
vaksinasi dan uji tantang S. agalactiae
Jumlah hepatosit (persentase %)
Kelompok Normal Sel radang Degenerasi Degenerasi Nekrosa
hidropis lemak
b a a
K 78,9±6,3 15,9±4,5 4,8±2,7 0,3±0,2a 0,0a
T 73,1±7,8b 23,8±8,2ab 3,0±0,9a 0,0a 0,0a
b ab a a
V 73,7±6,1 23,3±7,4 2,5±1,4 0,3±0,3 0,0a
VT 60,6±3,2a 33,2±1,3b 5,4±1,7a 0,7±1,2a 0,0a
Keterangan : Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
(p<0,05). K= kontrol negatif; T= kontrol positif; V= vaksin; VT = vaksin tantang.
pelarut NaCl fisiologis. Suatu materi hidup seperti sel, bila terkena sinar gamma
akan mengalami kerusakan secara langsung atau tidak langsung. Efek langsung
adalah terjadinya pemutusan ikatan senyawa-senyawa penyusun sel. Efek tidak
langsung terjadi karena materi sel terbanyak adalah air yang apabila terkena sinar
gamma akan mengalami hidrolisis dan menghasilkan radikal bebas. Radikal bebas
yang akan menyebabkan kerusakan materi sel (Tetriana dan Sugoro 2007). Vaksin
yang diuji dalam penelitian ini memakai pelarut isotonis yang tidak mengandung
radikal bebas karena molekul air yang terpisah akibat radiasi bersifat reversible.
Adapun bakteri penantang yang digunakan adalah isolat murni S. agalactiae
patogen yang diisolasi dari kasus mastitis subklinis.
Bakteri bahan vaksin yang diberikan juga akan menimbulkan respon buluh
darah begitu diinjeksikan di intraperitoneal dan kemudian beredar secara sistemik.
Zat yang diberikan secara injeksi intraperitoneal pada hewan percobaan akan
masuk ke dalam vena sentralis melalui sel darah merah yang beredar secara
sistemik (Pratheeshkumar dan Kuttan 2010). Injeksi intraperitoneal bahan yang
mengandung produk bakteri seperti interleukin (IL)-1b, radikal bebas, nitrogen
species, dan kalsium seluler akan mengaktifkan cytokines. Adanya sitokin atau
bacterial Lipopolysaccaride (LPS) akan mengaktifkan Nitric oxide yang berperan
dalam vasodilatasi, neurotransmisi koagulasi darah dan regulasi sistem imun yang
akan memperparah respon inflamasi (Choi et al. 2009). Vasodilatasi ini
menyebabkan zat yang diinjeksi secara intraperitoneal akan beredar sistemik
melalui pembuluh darah.
Aktifitas inflamasi oleh mediator peradangan dimulai dengan dilatasi
pembuluh darah (arteriol, kapiler sampai vena) di sekitar penyebab radang atau
jaringan yang rusak. Saat dilatasi, darah yang mengalir di daerah radang menjadi
banyak dan memicu kontraksi dan retraksi sel endotel dinding kapiler yang
menimbulkan celah antar endotel (Spector dan Spector 1988). Dari celah inilah
banyak sel radang yang dapat masuk dalam jaringan sekitar radang.
Parameter selanjutnya yang diamati adalah hadirnya sel radang pada
daerah vena. Sel radang secara normal dapat ditemukan di area vena hati karena
terbawa dalam sistem sirkulasi. Namun dalam jumlah tertentu, banyaknya sel
radang akan memberikan efek negatif terhadap fungsi hati. Ditemukannya sel
26
radang selalu terkait dengan peradangan dimana sel endotel akan mengaktifkan
prostaglandin sebagai vasodilatator, cytokine sebagai media pemanggil leukosit,
dan faktor prokoagulasi (Cheville 2006). Interferon gamma (IFNγ) adalah
mediator peradangan yang penting pada kerusakan hati sebagai bagian dari
jaringan kompleks cytokine (McCullough 2006). Jenis sel radang yang ditemukan
adalah limfosit dan makrofag. Pada vaksinasi, respon awal yang terjadi adalah
munculnya antigen spesifik limfosit (Nonnecke et al. 2012). Dari hasil
perhitungan, didapatkan bahwa antara keempat kelompok memiliki perbedaan
angka jumlah sel radang yang cukup bevariasi secara statistik. Pada area vena
sentralis (tabel 2) terdapat perbedaan nyata antara jumlah sel radang kelompok K
dengan kelompok VT (p<0,05). Kelompok VT (Gambar 8) menunjukkan nilai
peradangan yang paling tinggi diperkirakan karena pada kelompok ini sudah ada
induksi vaksinasi sistemik yang menyebabkan hadirnya sitokin yang dapat
mengaktifkan sel radang. Hal ini diperkuat oleh uji tantang yang meskipun
bersifat lokal di kelenjar mamae, tetapi sitokin yang dimasukkan bersama suspensi
bakteri dapat terbawa secara sitemik sehingga merangsang hadirnya sel radang.
Vaksinasi menyebabkan sel radang menjadi sensitif, sehingga uji tantang
berpengaruh terhadap kondisi sistemik.
S. agalactiae memiliki kapsul yang tersusun dari asam sialat dan senyawa
karbohidrat lainnya yang membentuk struktur oligosakarida. Kapsul ini sebagai
salah satu faktor virulen dari S. agalactiae yang berperan dalam mencegah
fagositosis, menentukan ketahanan hidup dan mencegah proses pembunuhan
bakteri (Poeloengan 2009). Uji tantang diberikan sehari sebelum nekropsi
dilakukan, sehingga diduga masih masih ada respon akut dari jaringan yang
memicu terjadinya degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan munculnya sel
radang pada hati. Kelompok T tidak menunjukkan peningkatan jumlah sel radang
pada hati, hal ini disebabkan uji tantang yang diberikan bersifat lokal dengan cara
diteteskan pada orificum externa puting mencit dengan bakteri isolat murni S.
agalactiae. Bakteri akan dihadang oleh pertahanan lokal ambing yang terdiri dari
organ lymphoid, sistem sel T, cytotoxic spesifik limfosit T, level IgG spesifik dan
respon proliferasi dari sel mononuklear darah perifer (Tizard 2004; Prelog dan
Zimmerhackl 2010). Selain itu pada kelompok T, sel radang tidak mengalami
27
sensitisasi akibat vaksinasi, sehingga tidak terjadi respon cepat sel radang. Bakteri
S. agalactiae memiliki hemaglutinin yang merupakan faktor dalam proses adhesi,
sebagai langkah awal kolonisasi bakteri pada permukaan sel epitel ambing. Pada
penyakit yang bersifat subklinik, kemampuan menempel bakteri tampaknya lebih
penting dari pada kemampuan invasi bakteri ke dalam jaringan dalam mekanisme
infeksi, sehingga tidak dijumpai perubahan yang berarti pada jaringan ambing
maupun gejala klinis yang muncul (Wahyuni et al. 2005). Hal ini menyebabkan
jumlah sel radang kelompok T rendah karena bakteri tidak memasuki sistem
sirkulasi umum yang sampai ke hati.
Parameter toksisitas pada hati yang ketiga adalah terjadinya degenerasi
hidropis yang merupakan manifestasi akut dari kebengkakan sel karena masuknya
air ke dalam sitoplasma (Cheville 2006). Kebengkakan ini disebabkan oleh
kerusakan membran plasma yang menyebabkan kebocoran membran plasma.
Selanjutnya K+ dan enzim keluar sel, sementara Ca+, Na+, plasma protein, dan air
masuk sel (McGavin dan Zachary 2007). Kelompok VT menunjukkan jumlah sel
yang mengalami degenerasi hidropis paling tinggi meskipun tidak berbeda nyata
dengan kelompok lainnya. Hal ini dapat terjadi karena mencit kelompok VT
mendapat perlakuan dua kali. Kebengkakan dari sitoplasma sel hati
mengindikasikan terjadinya kerusakan hati secara akut maupun sub-akut.
Degenerasi pada hati dapat disebabkan oleh adanya perubahan kromosom yang
dapat diinduksi oleh toksisitas suatu agen, waktu paparan, dan interaksi agen
asing dengan protein serta enzim yang bertentangan dengan mekanisme
pertahanan sehingga dapat menyebabkan atropi dan nekrosis sel hati (Abdelhalim
dan Jarrar 2011). Kerusakan pada hati biasanya berhubungan dengan oxidative
stress dan reactive oxygen species (Moreno et al. 2008). Ketidakseimbangan
reactive oxygen species dalam proses detoksifikasi akan memicu munculnya stres
oksidatif sehingga menimbulkan degenerasi sel. Ada beberapa mekanisme seperti
efek keracunan sel secara langsung oleh hippuric atau glyoxylic acid metabolites
yang dapat merangsang terjadinya kerusakan sel (Ozcan 2007), pemicu lainnya
adalah radiasi, zat kimia berbahaya dan obat-obatan. Vaksin dan tantang yang
diberikan pada kelompok VT berpotensi mengandung agen toksisitas yang dapat
memicu ketidak seimbangan reactive oxygen species, sehingga terjadi degenerasi
28
sel hati. Degenerasi hidropis merupakan respon awal terhadap bahan-bahan yang
bersifat toksik dan merupakan kerusakan sel karena adanya toksin yang masuk
melalui membran sel sehingga mengakibatkan menurunnya produksi ATP dan
terganggunya pengaturan ion sodium-potasium (Cheville, 2006), namun
perubahan ini bersifat reversible.
Parameter terakhir yang diamati adalah degenerasi lemak dari hepatosit.
Akumulasi lemak atau trigliserida dalam sitoplasma dari hepatosit dikenal sebagai
fatty liver, fatty change, atau hepatic lipidosis. Kelainan ini adalah lesio umum
yang sering ditemukan pada hati. Kehadiran lemak tidak selalu mengindikasikan
terjadinya proses patologi. Dalam jumlah kecil lemak dapat ditemukan pada
hewan normal (Jones et al. 2006). Hepatosit sering diamati sehubungan dengan
peningkatan trigliserida pada awal injury karena banyak fungsi hati yang
berhubungan dengan metabolisme lemak. Akumulasi lemak berlebih akan
menyebabkan lipidosis dan steatosis yang merupakan dampak dari masuknya
trigliserida intraselluler di atas normal ke dalam sel. Hepatic steatosis (lipidosis
hepatik, fatty liver, degenerasi lemak) dapat ditemukan dalam banyak kondisi
fisiologi seperti adaptasi atau disfungsi patologi (Dunlop dan Malbert 2004) yang
bisa dipicu oleh pemberian vaksin dan tantang.
Penghitungan hepatosit yang mengalami degenerasi lemak pada keempat
kelompok menunjukkan hasil yang hampir seragam dan tidak berbeda nyata
(p>0,05). Degenerasi ini merupakan perubahan yang reversible dan dalam
persentase rendah sehingga tidak berbahaya pada hati atau dapat kembali normal
(McGavin dan Zachary 2007).
Berikut disajikan perbedaan gambaran histopatologis area vena sentralis
hati yang disajikan dalam Gambar 8.
29
K T a
c
c
a
20 µm 20 µm
V VT a
c
c
b
a
20 µm
20 µm
Gambar 8 Perbandingan gambaran histopatologi vena sentralis setelah dilakukan
vaksinasi dan ditantang S. agalactiae. K = kontrol ; T = tantang ; V =
vaksin ; VT = vaksin tantang, a = sel degenerasi hidropis; b = sel degenerasi
vakuol; c = sel radang. Pewarnaan HE.
untuk membandingkan paparan vaksin berpengaruh pada area porta juga atau
hanya pada area vena sentralis saja.
Hasil pengamatan histopatologi menunjukkan adanya perubahan hepatosit
di daerah vena porta. Perubahan yang ditemukan meliputi adanya sel radang,
hepatosit mengalami degenerasi lemak dan hepatosit yang mengalami degenerasi
hidropis, sementara nekrosa tidak ditemukan. Hasil analisis statistik persentase
kelainan hepatosit dan perubahan yang terjadi pada area vena porta disajikan pada
Tabel 3.
Tabel 3 Hasil perhitungan kelainan daerah vena porta hati setelah dilakukan
vaksinasi dan uji tantang S. agalactiae
Jumlah hepatosit (persentase %)
Kelompok Normal Sel radang Degenerasi Degenerasi Nekrosa
hidropis lemak
ab a a
K 73,4±11,3 21,7±9,9 4,6±2,1 0,1±0,2a 0,0a
b a a a
T 76,4±9,8 20,1±10,8 3,0±1,3 0,4±0,8 0,0a
V 72,6±6,1ab 24,4±6,7a 6,8±2,0a 0,0a 0,0a
a a a a
VT 58,5±5,1 37,1±7,4 3,3±3,0 0,9±1,6 0,0a
Keterangan : Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
(p<0,05). K= kontrol negatif; T= kontrol positif; V= vaksin; VT= vaksin tantang.
Jumlah sel hepatosit normal hati pada area vena porta (Tabel 3)
menunjukkan perbedaan antara keempat kelompok mencit. Kelompok VT
menunjukkan jumlah sel normal yang rendah karena perlakuan yang diberikan
memicu terjadinya degenerasi, sehingga jumlah sel normal berkurang.
Jumlah sel radang pada area vena porta keempat kelompok mencit tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata akan hadirnya sel radang sehingga
berdasarkan Cheville (2006), vaksin tersebut tidak menimbulkan peradangan.
Namun tetap ada kecenderungan kelompok VT yang lebih banyak jumlah sel
radangnya akibat terkena dua kali paparan zat asing yaitu divaksin dan ditantang.
Vaksin diberikan melalui rute intraperitoneal pada mencit, proses ini mirip dengan
injeksi subkutan. Mencit dengan injeksi subkutan di dorsal midline antara skapula
akan menjadi bakterimia yang beredar di seluruh pembuluh darah post inokulasi
(Colton et al. 2011). Banyaknya sel radang yang hadir di area vena porta pada
kelompok VT karena adanya peradangan akibat dua kali perlakuan akan
mengaktifkan mediator peradangan sitokin sebagai media pemanggil leukosit
sehingga hadir sel radang di area vena hati.
31
K c T c
b
a
a
20 µm 20 µm
V a
c VT
b
c
20 µm 20 µm
a
Gambar 9 Perbandingan gambaran histopatologi vena porta setelah dilakukan
vaksinasi dan ditantang S. Agalactiae. K = kontrol ; T = tantang ; V =
vaksin ; VT = vaksin tantang, a = sel degenerasi hidropis; b = sel
degenerasi vakuol; c = sel radang. Pewarnaan HE.
Secara keseluruhan, sel normal, sel radang, sel degenerasi vakuol dan sel
degenerasi hidropis yang terjadi pada sel hepatosit tidak spesifik berubah akibat
vaksin maupun tantang (perlakuan). Hal ini dapat membuktikan bahwa vaksin
iradiasi yang diberikan pada hewan coba mencit, tidak menyebabkan kelainan
hati.
Gambaran Histopatologi Organ Ginjal Mencit
Tubulus ginjal
Untuk melihat toksisistas pengaruh pemberian vaksin S. agalactiae yang
diradiasi selain pada hati juga melalui pengamatan pada ginjal. Seluruh peredaran
darah dalam tubuh akan melalui penyaringan di ginjal (Guyton 2006). Parameter
yang dapat dilihat dari patologi ginjal adalah tubulus dan glomerulus ginjal.
Semakin berbahaya suatu zat asing, maka lesio ginjal akan meningkat. Namun
lesio ginjal merupakan lanjutan dari hati karena darah akan dinetralisasi dahulu di
hati baru difiltrasi di ginjal. Apabila ginjal rusak akibat toksin yang bersirkulasi
33
melalui darah, maka hati akan mengalami kerusakan yang lebih parah. Hati
menjadi organ yang sangat potensial menderita keracunan lebih dahulu sebelum
organ lain (Santoso dan Nurliani 2006).
Hasil pengamatan menunjukkan perubahan pada sel epitel tubulus ginjal
setelah diberikan perlakuan. Terdapat perubahan sel epitel tubulus berupa
degenerasi hidropis, degenerasi lemak, degenerasi hyalin dan nekrosa. Hasil
analisis statistik persentase sel tubulus ginjal yang mengalami perubahan dapat
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Hasil perhitungan kelainan tubulus ginjal setelah dilakukan vaksinasi dan
ditantang S. agalactiae
Jumlah tubulus (persentase %)
Kelompok Normal Degenerasi Degenerasi Degenerasi Nekrosa
hidropis lemak hyalin
a ab a
K 92,8±2,9 2,3±2,1 0,4±0,7 0,9±1,6 a 3,3±0,0a
a b a a
T 92,6±3,0 5,0±1,5 0,0 0,0 2,3±1,7a
V 93,7±2,0a 0,9±0,6a 0,0a 1,4±2,1 a 3,8±1,1a
a b a a
VT 89,0±5,0 4,5±1,8 0,7±1.0 0,9±1 4,6±3,0a
Keterangan : Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
(p<0,05). K= kontrol negatif; T= kontrol positif; V= vaksin; VT= vaksin tantang.
tubulus normal kelompok VT yang rendah disebabkan mencit terpapar dua kali
perlakuan yaitu di vaksin dan ditantang. Jumlah tubulus normal yang tinggi pada
kelompok V menunjukkan bahwa vaksin yang diberikan tidak memberikan efek
toksik sehingga tidak menyebabkan lesio pada sel tubulus normal ginjal. Hal ini
disebabkan vaksin yang berasal dari mikroba dilemahkan (attenuated) telah
berkurang faktor virulennya sehingga tidak lagi menyebabkan penyakit (Tizard
2004).
Jumlah sel degenerasi hidropis pada tubulus ginjal menunjukkan
peningkatan pada kelompok T dan VT, serta berbeda nyata (p<0,05) dengan
kelompok V. Keadaan ini menjelaskan bahwa vaksin (kelompok V) yang
digunakan tidak berpotensi menyebabkan lesio degenerasi hidropis pada sel tubuli
ginjal seperti yang terjadi pada kelompok K. Adapun tingginya nilai degenerasi
hidropis pada VT dan T dapat disebabkan karena mencit terdepres imunitasnya
akibat tantang yang diberikan. Bakteri penantang yang telah dimetabolisme di hati
akan mengalami filtrasi di ginjal sehingga mempengaruhi terjadinya degenerasi
pada tubulus ginjal kedua kelompok ini.
Degenerasi hidropis merupakan perubahan umum yang sering terjadi
akibat adanya luka. Hal ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan ukuran dan
volume sel oleh air karena kegagalan sel dalam mempertahankan homeostasis dan
meregulasi pengeluaran cairan. Mekanisme pembengkakan sel pada kondisi akut
biasanya akan menyebabkan kerusakan membran sel, kegagalan memproduksi
energi, atau kerusakan enzim yang meregulasi ion channels dari membran.
Kebengkakan sel merupakan respon terhadap gangguan homeostasis sel sebagai
efek sekunder akibat respon mekanik, hypoxic, toxic, radikal bebas, viral,
bacterial, dan kerusakan imun (McGavin dan Zachary 2007). Degenerasi hidropis
tubuler tadi jika terus berlanjut akan diikuti vasokonstriksi arteriol glomerulus,
lalu menyebabkan iskemik, diikuti dengan nekrosis tubulus (Prakoso 2008).
Kondisi degenerasi hidropis ini merupakan perubahan yang reversible apalagi
dalam persentase yang cukup kecil, sehingga tidak terlalu berbahaya bagi ginjal.
Beberapa bakteri yang digunakan dalam vaksin memiliki kemampuan
untuk melindungi diri dari enzim lysososom maupun makrofag. Mekanisme yang
dapat terjadi pada sel antara lain bakteri dapat masuk dalam sitoplasma , bakteri
35
dapat mencegah terjadinya fusi antara lysosom dan phagosome, serta bakteri
resisten terhadap enzim lysosomal. Beberapa hal tersebut dapat menyebabkan
terjadinya kerusakan intraseluler (Tizard 2004). Kerusakan yang mungkin terjadi
adalah degenerasi vakuol sel tubulus ginjal. Akumulasi lemak atau trigliserida
dalam sitoplasma dari sel dikenal degenerasi lemak (Jones et al. 2006).
Degenerasi vakuol pada tubulus tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada
keempat kelompok mencit, namun terlihat peningkatan yang lebih tinggi pada
kelompok VT. Hal ini wajar terjadi karena mencit mengalami dua kali perlakuan.
Seperti halnya degenerasi hidropis, degenerasi vakuol dalam jumlah yang relatif
rendah merupakan perubahan sel yang reversible sehingga tidak memberikan efek
negatif terhadap ginjal.
Degenerasi hyalin pada tubulus biasanya menunjukkan adanya material
protein dalam sel yang diserap dari filtrat glomerulus yang melewati tubulus. Hal
ini dapat mengindikasikan terjadinya kelainan ekskresi protein yang diserap oleh
tubulus. Secara mikroskopik, sel epitel tubulus akan tampak seperti granul
eosinophilik yang terang. Di dalam lumen, materi albumin ini akan nampak
seperti presipitat terang yang berwarna merah muda (Smith et al.1975). Penyakit
pada glomerulus akan merusak filtration barrier dan menurunkan kemampuan
permeabilitas selektif terhadap protein. Glomerulus menjadi meningkat
permeabilitasnya terhadap protein plasma yang lebih besar. Protein ini akan
melewati filtration barrier dan tidak secara penuh diserap oleh tubulus sehingga
diekskresikan dalam urin (proteinuria). Tubular proteinuria biasanya berhubungan
dengan penyakit ginjal akut (keracunan dan hipoksia) namun dapat juga bersifat
kongenital (Stockham dan Scott 2008). Keempat kelompok mencit menunjukkan
nilai degenerasi hyalin yang tidak berbeda nyata, dengan standard deviasi yang
tinggi. Hal ini disebakan tingginya variasi individu. Faktor penyebab antara lain
adalah defisiensi oksigen, agen fisik, agen infeksius, ketidakseimbangan nutrisi,
kelainan genetik, beban kerja yang berlebihan, disfungsi imunologi, bahan kimia,
obat-obatan dan toksin (McGavin dan Zachary 2007). Faktor-faktor tersebut akan
mempengaruhi kondisi mencit selama penelitian karena mencit yang digunakan
bukanlah mencit SPF (Spesific Pathogen Free), sehingga mencit mungkin telah
terpapar infeksi sebelum diadaptasi.
36
Sel nekrosa yang dihitung adalah berdasarkan terjadinya piknosis pada inti
sel tubulus ginjal. Piknosis yaitu keadaan dimana nukleus mengecil, gelap,
homogen, dan bulat. Piknosis merupakan lanjutan dari penggumpalan kromatin
pada awal degenerasi dan biasanya terjadi pada nekrosa tubulus distal ginjal
(McGavin dan Zachary 2007). Kelompok VT memperlihatkan angka sel piknosis
yang lebih tinggi. Hal ini wajar terjadi, karena secara fisiologis sel memang
memang mengalami pergantian atau kematian. Saat sel normal yang mengalami
signal stres, radiasi, kerusakan DNA, dan deplesi oksigen, sel dapat beristirahat
atau mengalami program cell death (apoptosis) atau keduanya. Protein PS3 yang
merupakan tumor supressor sering muncul bila ada variasi eksogen/endogen
signal kerusakan DNA akibat radiasi sinar γ, radiasi sinar Ultra Violet, bahan
kimia dan stress oksidasi (Cunningham 2002). Secara keseluruhan nekrosa yang
terjadi tidak berbeda nyata pada keempat kelompok mencit. Gambaran tubulus
ginjal disajikan dalam Gambar 10.
K d T b
a a
20 µm 20 µm
V b VT a
a T b
c
20 µm 20 µm
Glomerulus ginjal
Hasil percobaan menunjukkan adanya perubahan pada daerah glomerulus
ginjal berupa hadirnya sel radang dan perubahan ukuran kapsula dan glomerulus.
Hasil analisis statistik persentase lesio disajikan pada Tabel 5.
morfologi pada glomerulus ginjal adalah nekrosis, proliferasi dari sel glomerulus
dan kapsula Bowman’s, infiltrasi leukosit dan penurunan fungsi vaskular
perfusion atau peningkatan vaskular permeability (McGavin dan Zachary 2007)
yang secara histopatologi dapat dilihat dari peningkatan luasan Bowman’s space.
Kelompok VT menunjukkan nilai luas glomerulus yang paling tinggi. Hal
ini dapat disebabkan dilatasi pembuluh darah yang aktif akibat peningkatan
aktifitas tubuh. Namun tidak ada perbedaan yang nyata antara keempat kelompok.
Glomerular capillary tuft atau glomerular rete adalah jaringan dari cabang dan
anastomose kapiler (Eurell dan Frappier 2006). Jaringan ini disuport oleh
mesangial matrix yang disekresikan oleh sel mesangial. Sel mesangial
mengekskresikan prostaglandin, cytokin, inflamasi mediator, sintesis colagen dan
mesangial matrix serta memiliki fungsi fagositik (McGavin dan Zachary 2007).
Semakin banyak agen yang beredar dalam darah, maka kinerja ginjal akan
semakin berat. Endotelial sel akan mengalami hipertropi sehingga glomerulus
ginjal tampak meluas. Hal inilah yang menyebabkan kelompok VT memiliki area
glomerulus yang paling luas karena mencit kelompok ini terpapar dua agen yaitu
vaksin S. agalactiae yang diradiasi dan tantang S. agalactiae patogen. Kerusakan
primer glomerulus biasa muncul sebagai akibat dari deposisi imun kompleks,
terjadinya thromboemboli dan bakteri emboli, virus, atau infeksi bakteri pada
komponen glomerulus(McGavin dan Zachary 2007).
Berikut disajikan perbedaan gambaran histopatologis area glomerulus
ginjal. Gambaran area glomerulus disajikan dalam Gambar 11.
39
K T
a
a
b
20 µm 20 µm
V VT
a
a
20 µm 20 µm
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Abdelhalim MAK, Jarrar BM. 2011. Gold nanoparticles induced cloudy swelling
to hydropic degeneration, cytoplasmic hyaline vacuolation, polymorphism,
binucleation, karyopyknosis, karyolysis, karyorrhexis and necrosis in the
liver. Lipids in Health and Disease 10:166.
Ahsan N, Cheung JY. 2003. Pathogenesis and molecular mechanisms of chronic
allograft nephropathy. Renal Fibrosis 139:187–204.
Anonim. 2012. Liver rat-hystology slide. [terhubung berkala]. http:www.histology
world.com. (20 April 2012).
Anonim. 2011. Bakteri Gram (+) Dan Bakteri Gram (-). [terhubung berkala].
http://www.dephicamunis.com. (17 Januari 2012).
Bacha WJ, Bacha LM. 2000. Color Atlas of Veterinary Histology. Ed Ke-2. USA:
Lippincott William and Wilkins. hlm 115.
Blowey RW and Edmondson P. 2010. Mastitis Control in Dairy Herds. Ed Ke-2.
UK : CABI. hlm 6;35.
Cheville NF. 2006. Introduction to Veterinary Pathology. Ed Ke-3. USA:
Blackwell Publishing. hlm 1;23.
Choi SE et al. 2009. Effect of topical application and intraperitoneal injection of
oregonin on atopic dermatitis in nc ⁄nga mice. Experimental Dermatology,
19, e37–e43.
Colville T, Bassert JM. 2002. Clinical Anatomy and Physiology for Veterinery
Technician. USA : Mosby Inc. hlm 252.
Colton L, Zeidner N, Kosoy MY. 2011. Experimental infection of swiss webster
mice with four rat bartonella strains: host specificity, bacteremia kinetics,
dose dependent response, and histopathology. Comparative Immunology,
Microbiology and Infectious Diseases 34: 465– 473.
Cummings B. 2004. Liver Hystology. [terhubung berkala]. http://www.as.miami.
edu. [20 April 2012].
Cunningham. 2002. Texbook of Veterinary Physiology. Ed Ke-3. USA: WB
Saunders Company. hlm 31; 298; 431-432 ; 513.
Dijk JE, Gruys E, Mouwen JMVM. 2007. Color Atlas for Veterinary Pathology.
Second edition. Philadelphia: WB Saunders Company. hlm 44; 59-61.
42
Riantama RI. 2008. Kajian patologi uji khasiat buah merah (pandanus conoideus)
sebagai hepatoprotektor. [Skripsi] Bogor : IPB.
Samuelson Don A. 2007. Textbook of Veterinary Histology. Missouri: Saunders
Elsevier. hlm 230.
Santoso HB, Nurliani A. 2006. Efek doksisiklin selama masa organogenesis pada
struktur histologi organ hati dan ginjal fetus mencit. Bioscientiae 3(1): 15-
27.
Smith HA, Jones TC, Hunt RD. 1975. Veterinary Pathology. Ed ke-4.
Philadelphia: Lea & Febringer. hlm 44.
Sudarwanto, M. 1999. Usaha Peningkatan Produksi Susu Melalui Program
Pengendalian Mastitis Subklinis. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu
Kesehatan Masyarakat Veteriner; Bogor 22 Mei 1999.
Stockham SL, Scott MA. 2008. Fundamentals of Veterinary Clinical Pathology.
Ed ke-2. USA: Blackwell Publishing. hlm: 458.
Syaifudin M, Nurhayati S, Tetriana D. 2008. Pengembangan vaksin malaria
dengan radiasi pengion. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II
2008; Universitas Lampung, 17-18 November 2008. hlm 98-112.
Tetriana D, Sugoro I. 2007. Aplikasi teknik nuklir dalam bidang vaksin. Buletin
Alara: Volume 9 Nomor 1&2, 1 – 4.
Tizard IR. 2004. Veterinary Imunology an Introduction. Ed Ke-7. USA: Elsevier.
hlm 265; 236-242; 274.
Uniprot 2012. Species Streptococcus agalactiae. [terhubung berkala].
http://www.uniprot.org/taxonomy/1311. (23 Mei 2012)
Wahyuni AETH, Wibawan TIW, Wibowo MH. 2005. Karakterisasi hemaglutinin
streptococcus agalactiae dan staphylococcus aureus penyebab mastitis
subklinis pada sapi perah. Journal Sains Veteriner 23 : 2.
Wibawan IT, Laemmler CH. 1990. Properties of Group B Streptococci with
protein surface Antigen X and R. Journal Clinical Microbiology 28:2834-
2836.
45
LAMPIRAN
46
1 Vena sentralis
Descriptives
95% Confidence
Interval for Mean
Std. Lower Upper Minim Maxi
N Mean Deviation Std. Error Bound Bound um mum
selnormal Control 3 78.9000 6.31744 3.64737 63.2066 94.5934 73.90 86.00
Tantang 3 73.1333 7.30776 4.21914 54.9799 91.2868 68.00 81.50
Vaksin 3 73.7667 6.18897 3.57320 58.3924 89.1409 68.80 80.70
vaksin
3 60.6333 3.28075 1.89414 52.4835 68.7832 58.40 64.40
tantang
Total 12 71.6083 8.66849 2.50238 66.1006 77.1160 58.40 86.00
selradang Control 3 15.7000 4.07308 2.35160 5.5819 25.8181 11.90 20.00
Tantang 3 23.8333 8.28573 4.78377 3.2504 44.4162 14.30 29.30
Vaksin 3 23.3333 7.44468 4.29819 4.8397 41.8270 14.80 28.50
vaksin
3 33.2333 1.35031 .77960 29.8790 36.5877 31.90 34.60
tantang
Total 12 24.0250 8.25074 2.38178 18.7827 29.2673 11.90 34.60
Degenerasihi Control 3 4.8667 2.75015 1.58780 -1.9651 11.6984 2.10 7.60
dropis Tantang 3 3.0000 .98489 .56862 .5534 5.4466 2.20 4.10
Vaksin 3 2.5667 1.43643 .82932 -1.0016 6.1350 1.50 4.20
vaksin
3 5.4667 1.70392 .98376 1.2339 9.6994 3.70 7.10
tantang
Total 12 3.9750 2.01951 .58298 2.6919 5.2581 1.50 7.60
Degenerasile Control 3 .3000 .26458 .15275 -.3572 .9572 .00 .50
mak tantang 3 .0000 .00000 .00000 .0000 .0000 .00 .00
vaksin 3 .3333 .35119 .20276 -.5391 1.2057 .00 .70
vaksin
3 .7333 1.27017 .73333 -2.4219 3.8886 .00 2.20
tantang
Total 12 .3417 .63455 .18318 -.0615 .7448 .00 2.20
ANOVA
Descriptives
95% Confidence
Interval for Mean
Std. Lower Upper Minim Maxi
N Mean Deviation Std. Error Bound Bound um mum
selnormal Control 3 78.9000 6.31744 3.64737 63.2066 94.5934 73.90 86.00
Tantang 3 73.1333 7.30776 4.21914 54.9799 91.2868 68.00 81.50
Vaksin 3 73.7667 6.18897 3.57320 58.3924 89.1409 68.80 80.70
vaksin
3 60.6333 3.28075 1.89414 52.4835 68.7832 58.40 64.40
tantang
Total 12 71.6083 8.66849 2.50238 66.1006 77.1160 58.40 86.00
selradang Control 3 15.7000 4.07308 2.35160 5.5819 25.8181 11.90 20.00
Tantang 3 23.8333 8.28573 4.78377 3.2504 44.4162 14.30 29.30
Vaksin 3 23.3333 7.44468 4.29819 4.8397 41.8270 14.80 28.50
vaksin
3 33.2333 1.35031 .77960 29.8790 36.5877 31.90 34.60
tantang
Total 12 24.0250 8.25074 2.38178 18.7827 29.2673 11.90 34.60
Degenerasihi Control 3 4.8667 2.75015 1.58780 -1.9651 11.6984 2.10 7.60
dropis Tantang 3 3.0000 .98489 .56862 .5534 5.4466 2.20 4.10
Vaksin 3 2.5667 1.43643 .82932 -1.0016 6.1350 1.50 4.20
vaksin
3 5.4667 1.70392 .98376 1.2339 9.6994 3.70 7.10
tantang
Total 12 3.9750 2.01951 .58298 2.6919 5.2581 1.50 7.60
Degenerasile Control 3 .3000 .26458 .15275 -.3572 .9572 .00 .50
mak tantang 3 .0000 .00000 .00000 .0000 .0000 .00 .00
vaksin 3 .3333 .35119 .20276 -.5391 1.2057 .00 .70
vaksin
3 .7333 1.27017 .73333 -2.4219 3.8886 .00 2.20
tantang
Total 4.429 11
Selnormal
Duncan
Subset for alpha = 0.05
Kelompok N 1 2
vaksin tantang 3 60.6333
tantang 3 73.1333
vaksin 3 73.7667
kontrol 3 78.9000
Sig. 1.000 .289
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Selradang
Duncan
Subset for alpha = 0.05
Kelompok N 1 2
Control 3 15.7000
Vaksin 3 23.3333 23.3333
Tantang 3 23.8333 23.8333
48
2 Vena Porta
Descriptives
95% Confidence
Interval for Mean
Std. Lower Upper Mini Maxi
N Mean Deviation Std. Error Bound Bound mum mum
selnormal kontrol 3 73.4333 11.37776 6.56895 45.1694 101.6972 62.90 85.50
tantang 3 76.4000 9.87877 5.70351 51.8598 100.9402 65.10 83.40
Vaksin 3 72.6667 6.12318 3.53522 57.4558 87.8775 65.60 76.40
vaksin
3 58.5667 5.10327 2.94637 45.8894 71.2439 52.90 62.80
tantang
Total 12 70.2667 10.23384 2.95426 63.7644 76.7689 52.90 85.50
selradang kontrol 3 21.7667 9.95707 5.74872 -2.9681 46.5014 10.70 30.00
tantang 3 20.1333 10.81311 6.24295 -6.7279 46.9946 13.30 32.60
Vaksin 3 24.4667 6.76782 3.90740 7.6545 41.2789 19.20 32.10
vaksin
3 37.1000 7.47262 4.31432 18.5370 55.6630 30.30 45.10
tantang
Total 12 25.8667 10.30845 2.97579 19.3170 32.4163 10.70 45.10
degenerasi kontrol 3 4.6667 2.13620 1.23333 -.6399 9.9733 3.10 7.10
hidropis tantang 3 3.0000 1.38924 .80208 -.4511 6.4511 2.10 4.60
Vaksin 3 2.8667 1.72143 .99387 -1.4096 7.1429 1.50 4.80
vaksin
3 3.3333 3.02875 1.74865 -4.1905 10.8572 1.20 6.80
tantang
49
3 Tubulus
Descriptives
95% Confidence
Interval for Mean
Std. Std. Lower Upper
N Mean Deviation Error Bound Bound Minimum Maximum
selnekrosa kontrol 3 3.3700 .07550 .04359 3.1825 3.5575 3.29 3.44
tantang 3 2.3433 1.76874 1.02118 -2.0505 6.7371 .91 4.32
vaksin 3 3.5400 1.50622 .86962 -.2017 7.2817 2.00 5.01
vaksin 12.291
3 4.6200 3.08832 1.78304 -3.0518 1.85 7.95
tantang 8
Total 12 3.4683 1.85132 .53443 2.2921 4.6446 .91 7.95
degenerasilemak kontrol 3 .4167 .72169 .41667 -1.3761 2.2094 .00 1.25
tantang 3 .0000 .00000 .00000 .0000 .0000 .00 .00
vaksin 3 .0000 .00000 .00000 .0000 .0000 .00 .00
vaksin
3 .7767 1.00371 .57949 -1.7167 3.2700 .00 1.91
tantang
Total 12 .2983 .62660 .18089 -.0998 .6965 .00 1.91
degenerasihidro kontrol 3 2.3600 2.09716 1.21080 -2.8496 7.5696 .00 4.01
pis tantang 3 5.0100 1.54165 .89007 1.1803 8.8397 3.23 5.92
vaksin 3 .9467 .69429 .40085 -.7780 2.6714 .45 1.74
vaksin
3 4.5333 1.82692 1.05477 -.0050 9.0717 2.66 6.31
tantang
Total 12 3.2125 2.20944 .63781 1.8087 4.6163 .00 6.31
degenerasihyalin kontrol 3 .9633 1.66854 .96333 -3.1816 5.1082 .00 2.89
tantang 3 .0000 .00000 .00000 .0000 .0000 .00 .00
vaksin 3 .0000 .00000 .00000 .0000 .0000 .00 .00
51
vaksin
3 1.4533 2.13940 1.23518 -3.8612 6.7679 .00 3.91
tantang
Total 12 .6042 1.33016 .38398 -.2410 1.4493 .00 3.91
selnormal kontrol 92.890 100.25
3 2.96560 1.71219 85.5230 89.65 95.47
0 70
tantang 92.650 100.24
3 3.05838 1.76576 85.0526 89.77 95.86
0 74
vaksin 93.790 98.812
3 2.02191 1.16735 88.7673 91.55 95.48
0 7
vaksin 89.080 101.65
3 5.06166 2.92235 76.5061 83.60 93.58
tantang 0 39
Total 92.102 94.323
12 3.49575 1.00914 89.8814 83.60 95.86
5 6
ANOVA
Vaksin 3 .0000
Control 3 .4167
vaksin tantang 3 .7767
Sig. .186
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Degenerasihidropis
Duncan
Subset for alpha = 0.05
Kelompok N 1 2
vaksin 3 .9467
kontrol 3 2.3600 2.3600
vaksin tantang 3 4.5333
Tantang 3 5.0100
Sig. .319 .092
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Degenerasihyalin
Duncan
Subset for alpha = 0.05
Kelompok N 1
Tantang 3 .0000
Vaksin 3 .0000
Control 3 .9633
vaksin tantang 3 1.4533
Sig. .252
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
4 Glomerulus
Descriptives
95% Confidence
Interval for Mean
Std. Std. Lower Upper Minimu Maximu
N Mean Deviation Error Bound Bound m m
jarak Control 2.7520 .16502
3 .285832 2.04195 3.46205 2.432 2.982
KG 0 5
Vaksin 2.6013 .31193
3 .540286 1.25919 3.94348 2.092 3.168
3 4
vaksin 2.6553 .24877
3 .430894 1.58493 3.72573 2.166 2.978
tantang 3 7
tantang tidak 2.5886 .26331
3 .456072 1.45572 3.72161 2.086 2.976
vaksin 7 3
Total 2.6493 .10955
12 .379502 2.40821 2.89046 2.086 3.168
3 3
selrad Control 6.4666 1.6825
3 2.914332 -.77294 13.70627 3.200 8.800
ang 7 91
Vaksin 4.5333 .43716
3 .757188 2.65237 6.41429 4.000 5.400
3 3
53