Você está na página 1de 69

KAJIAN HISTOPATOLOGIS PENGARUH VAKSIN

Streptococcus agalactiae YANG DIRADIASI PADA ORGAN


HATI DAN GINJAL MENCIT (Mus musculus)

GITA TRI WARDANI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi “Kajian Histopatologis Pengaruh


Vaksin Streptococcus agalactiae yang Diradiasi pada Organ Hati dan Ginjal
Mencit (Mus musculus)” adalah karya saya sendiri dengan arahan Dosen
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, November 2012

Gita Tri Wardani


B04080191
ABSTRACT
GITA TRI WARDANI. Histopathological Study of Effect Irradiated Vaccine
Streptococcus agalactiae on Liver and Kidney of Mice (Mus musculus). Under
supervision of SRI ESTUNINGSIH and BOKY JEANNE TUASIKAL.

This research was conducted to study the effect of irradiated vaccine


Streptococcus agalactiae as attenuated vaccine (LD50) by gamma iradiation for
the prevention of subclinical mastitis. The study was carried out on the liver and
kidney of mice (Mus musculus). Twelve female mice were used in this study which
divided into 4 groups, negative control (K); positive control (T); vaccine group
(V); vaccine and challange group (VT). The treatment were done during
pregnancy and challange post parturient (7 days), while vaccination gave during
pregnancy with interval one week between first vaccination and boosting vaccine
with 108cfu/ml/mice of S. agalactiae suspension a long four weeks. A week after
parturient, mice were challange by S. agalactiae isolated from bovine subclinical
mastitis case, dropped 50µl 108cfu/ml/teat on to orificium externa of mice
mammary teat. One day after word followed by necropsy, samples were collected
and fixed by Buffered Neutral Formalin 10% (BNF 10%) and procecced for
histopathological slides. The parameters studied were counting of hepatocytes
changes as degeneration, inflammation and necrosis both in central and portal
vein region. These parameters also observed in kidney on glomerular and tubular
part. Data were analized by ANOVA test and followed by Duncan test. The result
showed that irradiated vaccine S. agalactiae did not have toxic effect on liver and
kidney of mice that can be proved with have no significant different (p<0,05)
compared between V group and K group include increase of degeneration,
inflamatory cell, and cell death.

Keywords : mice, irradiated vaccine, liver, kidney, histopathological.


RINGKASAN

GITA TRI WARDANI. Kajian Histopatologis Pengaruh Vaksin Streptococcus


agalactiae yang Diradiasi pada Organ Hati dan Ginjal Mencit (Mus musculus).
Dibimbing oleh SRI ESTUNINGSIH dan BOKY JEANNE TUASIKAL.

Produksi susu sapi perah di Indonesia masih sangat rendah, salah satu
penyebabnya adalah kasus mastitis subklinis oleh bakteri Streptococcus
agalactiae. Penanganan penyakit mastitis dengan antibiotik hanya akan
meninggalkan residu pada susu serta resistensi mikroba, sehingga diperlukan
metode peningkatan sistem imun dari tubuh sapi perah untuk melawan mastitis.
Peningkatan sistem imun ini dapat diperoleh dengan pemberian vaksin. BATAN
(Badan Tenaga Nuklir Nasional) telah mengembangkan vaksin baru dengan
metode radiasi sinar gamma 17Gy menggunakan sumber 60Co pada S. agalactiae
hingga mencapai Lethal Dose 50 (LD50). Keamanan vaksin ini perlu diteliti untuk
mengetahui tingkat toksik vaksin tersebut terhadap tubuh hewan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek vaksin S. agalactiae yang
diradiasi dengan sinar gamma untuk mencegah mastitis subklinis. Penelitian
dilakukan pada hati dan ginjal mencit (Mus musculus). Dua belas mencit betina
digunakan dalam penelitian ini yang dibagi dalam 4 kelompok, kontrol negatif
(K); kontrol positif (T); kelompok vaksin (V); kelompok vaksin dan tantang
(VT). Perlakuan diberikan selama masa kebuntingan dan ditantang setelah
melahirkan (7 hari), selanjutnya vaksinasi diberikan selama kebuntingan dengan
interval satu minggu antara vaksinasi pertama dan vaksin booster dengan suspensi
108cfu/ml/ekor S. agalactiae, vaksinasi dilakukan selama 4 minggu. Seminggu
setelah melahirkan, mencit ditantang dengan S. agalactiae patogen yang berasal
dari kasus sapi mastitis subklinis, diteteskan 50µl 108cfu/ml/puting pada orificium
externa ambing mencit. Sehari kemudian mencit dinekropsi, lalu sampel diambil
dan difiksasi dengan Buffered Neutral Formalin 10% (BNF 10%) serta diproses
menjadi slide histopatologi.
Parameter yang diamati dan dihitung adalah perubahan hepatosit yang
mengalami degenerasi hidropis, degenerasi lemak, sel radang dan nekrosis di area
vena porta dan vena sentralis. Parameter yang diamati dan dihitung pada ginjal
meliputi degenerasi hidropis, degenerasi lemak, degenerasi hyalin, dan nekrosa
pada tubulus ginjal, sedang pada glomerulus diamati jarak kapsula-glomerulus,
jumlah sel radang, dan luas glomerulus. Data dianalisis dengan uji ANOVA dan
dilanjutkan dengan uji Duncan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa vaksin iradiasi S. agalactiae tidak
memiliki efek toksik pada hati dan ginjal mencit yang dapat dibuktikan dengan
tidak ada perbedaan nyata (p<0,05) antara kelompok V dan kelompok K dalam
peningkatan degenerasi sel, sel radang dan kematian sel. Efek vaksin S. agalactiae
yang diradiasi dan ditantang juga tidak menimbulkan perubahan patologis sel hati
dan ginjal. Hal ini menunjukkan bahwa vaksin S. agalactiae yang diradiasi aman
digunakan.

Kata kunci : mencit, vaksin iradiasi, hati, ginjal, histopatologi.


© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penulisan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KAJIAN HISTOPATOLOGIS PENGARUH VAKSIN
Streptococcus agalactiae YANG DIRADISI PADA ORGAN
HATI DAN GINJAL MENCIT (Mus musculus)

GITA TRI WARDANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Judul Skripsi : Kajian Histopatologis Pengaruh Vaksin Streptococcus
agalactiae yang Diradiasi pada Organ Hati dan Ginjal Mencit
(Mus musculus)
Nama : Gita Tri Wardani
NIM : B04080191

Disetujui,

(Dr. Drh. Sri Estuningsih, MSi, APVet) (Dr. Drh. Boky Jeanne Tuasikal, MSi)
Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui :

(Drh. H. Agus Setiyono MS, Ph.D, APVet)


Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Tanggal lulus :
PRAKATA
Puji syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan
skripsi tentang “Kajian Histopatologis Pengaruh Vaksin Streptococcus agalactiae
yang Diradiasi pada Organ Hati dan Ginjal Mencit (Mus musculus)”.
Dengan selesainya skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1 Dr. Drh. Sri Estuningsih, Msi. APVet selaku dosen pembimbing
akademik dan pembimbing skripsi I atas segala bimbingan dan kesabaran
selama penelitian dan penulisan skripsi.
2 Dr. Drh. Boky Jeanne Tuasikal, MSi selaku dosen pembimbing skripsi II
atas segala bimbingan dan kesabaran selama penelitian dan penulisan
skripsi.
3 Orang tua tercinta, Bapak Laseni (almarhum) dan ibu Sumriyah yang
senantiasa mendoakan dan mencurahkan segenap kasih sayang pada
penulis.
4 Saudara tercinta, Sofia Pratiwi SE, Nia Kurniati dan Latif Edi Wirawan
yang senantiasa memberikan motivasi pada penulis.
5 Teman sepenelitian, Andrio, dan teman Patologi (Mohamad Jami
Ramadhan dan Intan Junita) yang selalu memberikan semangat dan
dukungan untuk mengerjakan penelitian.
6 Seluruh staf dan teknisi di Bagian Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan
IPB yang telah membantu penulis selama penelitian.
7 Sahabat-sahabat penulis (Fitria Apriliani, Iin Nuraeni, Euis Fajriati, Dwi
Oktaviani, Niaka Mey Filina, Kusnul Chotimah, Ana Khovifah, Siti
Astuti, Hastin Utami Damayantie, Kholis Afidatunnisa, Ruri Indrian, Rika
Febri Annisa) dan Avenzoar 45 atas kebersamaan dan keceriaan yang
selalu dihadirkan.
8 Semua pihak dan rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Terimakasih atas kerjasama dan dukungannya.
Akhir kata penulis berharap semoga penelitian dan skripsi ini dapat
bermanfaat.

Bogor, November 2012

Gita Tri Wardani


RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 9 September 1989 di Blitar, Jawa Timur.
Penulis adalah anak ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan Laseni (Alm) dan
Sumriyah.
Pendidikan formal dimulai dari pendidikan dasar yang diselesaikan pada
tahun 2002 di SDN Mojorejo 4 Madiun. Kemudian pendidikan lanjutan tingkat
pertama diselesaikan pada tahun 2005 di SMPN 3 Blitar. Dan pendidikan
menengah umum diselesaikan pada tahun 2008 di SMAN 1 Blitar.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada Fakultas
Kedokteran Hewan Melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi
Negeri (SNMPTN) pada tahun 2008. Selama perkuliahan penulis aktif sebagai
pengurus dalam Forum Mahasiswa Indonesia Tanggap Flu Burung (FMITFB)
tahun 2008-2009, Himpunan Minat dan Profesi Ruminansia selama dua periode
(2009-2010 dan 2010-2011), pengurus BEM FKH (2009-2010), pengurus PB
IMAKAHI (2009-2010), pengurus IMAKAHI cabang FKH IPB selama dua
periode (2009-2010 dan 2010-2011), dan pengurus DKM An-Nahl (2010-2011).
Penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Embriologi tahun ajaran 2009/2010
serta asisten mata kuliah Anatomi Veteriner I tahun ajaran 2010/2011.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................... x

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xi

DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xii

PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
Latar belakang ................................................................................................. 1
Tujuan penelitian ............................................................................................. 3
Hipotesa penelitian ........................................................................................... 3
Manfaat penelitian ........................................................................................... 3

TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................... 4
Streptococcus agalactiae .................................................................................. 4
Mastitis sub klinis ............................................................................................ 5
Vaksin iradiasi ................................................................................................. 7
Tinjauan tentang Hati Mencit ........................................................................... 8
Anatomi Hati Mencit .................................................................................... 8
Histologi Hati............................................................................................... 9
Fungsi Hati ................................................................................................ 10
Patologi Sel ................................................................................................ 11
Patologi Sel Hati ........................................................................................ 12
Tinjauan tentang Ginjal .................................................................................. 13
Anatomi Ginjal........................................................................................... 13
Histologi Ginjal .......................................................................................... 14
Fungsi Ginjal ............................................................................................. 15
Patologi Ginjal ........................................................................................... 15

BAHAN DAN METODE PENELITIAN ........................................................... 18


Waktu dan tempat penelitian .......................................................................... 18
Bahan dan materi penelitian ........................................................................... 18
Metode penelitian........................................................................................... 19
Pembuatan preaparat histopatologi ................................................................. 20
Pemeriksaan preparat histopatologis ............................................................... 21
Analisis data .................................................................................................. 22

HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 23

viii
Gambaran Histopatologi Organ Hati Mencit .................................................. 23
Area Vena Sentralis.................................................................................... 23
Area Vena Porta ......................................................................................... 23
Gambaran Histopatologi Organ Ginjal Mencit ............................................... 32
Tubulus ginjal ............................................................................................ 32
Glomerulus ginjal ....................................................................................... 37

PENUTUP ......................................................................................................... 40
Simpulan ........................................................................................................... 40
Saran ................................................................................................................. 40

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 41

LAMPIRAN ...................................................................................................... 45

ix
DAFTAR TABEL

Halaman
1 Fungsi Tiap Segmen Ginjal ........................................................................ 15
2 Hasil perhitungan kelainan daerah vena sentralis hati setelah dilakukan
vaksinasi dan uji tantang S. agalactiae ........................................................ 23
3 Hasil perhitungan kelainan daerah vena porta hati ....................................... 30
4 Hasil perhitungan kelainan tubulus ginjal setelah dilakukan vaksinasi
dan ditantang S. agalactiae.......................................................................... 33
5 Hasil perhitungan kelainan glomerulus ginjal setelah dilakukan
vaksinasi dan ditantang S. agalactiae .......................................................... 37

x
DAFTAR GAMBAR

Halaman
1 S.agalactie dengan pewarnaan Gram ........................................................ 4
2 Struktur ambing dan puting ..................................................................... 5
3 Skema Hati ............................................................................................ 10
4 Daerah Porta Hati Tikus dengan Pewarnaan HE, perbesaran 20x ............ 10
5 Glomerulus normal dikelilingi oleh tubulus ............................................ 14
6 Jadwal pemberian pretreatment .............................................................. 19
7 Jadwal booster dan vaksinasi pada kelompok hewan coba ...................... 20
8 Perbandingan gambaran histopatologi vena sentralis setelah dilakukan
vaksinasi dan ditantang S. agalactiae. ..................................................... 29
9 Perbandingan gambaran histopatologi vena porta setelah dilakukan
vaksinasi dan ditantang S. agalactiae. ..................................................... 32
10 Perbandingan gambaran histopatologi tubulus.. ...................................... 36
11 Perbandingan gambaran histopatologi glomerulus. ................................. 39

xi
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

LAMPIRAN ...................................................................................................... 45

Lampiran Pengolahan data ................................................................................. 46


1 Vena sentralis .............................................................................................. 46
2 Vena Porta .................................................................................................. 48
3 Tubulus ....................................................................................................... 50
4 Glomerulus ................................................................................................. 52

xii
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Susu merupakan sumber nutrisi protein hewani yang dapat menyediakan
kebutuhan gizi tubuh. Dengan mengkonsumsi susu maka kemungkinan
munculnya penyakit malnutrisi dan kekurangan kalsium dapat dihindari. Di
Indonesia, konsumsi susu masih merupakan hal yang dianggap mewah dan hanya
dapat dinikmati oleh kalangan menengah ke atas. Hal ini disebabkan minimnya
produksi susu yang dihasilkan oleh peternakan sapi perah lokal di Indonesia.
Produksi susu nasional hanya memenuhi permintaan domestik 25 persen
dari jumlah konsumsi sekitar 700.000 ton per tahun (Kompas 2009). Rendahnya
produksi tersebut disebabkan pendidikan dan pengetahuan para peternak yang
masih rendah sehingga berdampak pada penurunan kualitas susu yang pada
akhirnya ditolak oleh pengumpul. Penyebab lain rendahnya produksi susu adalah
adanya penyakit mastitis yang mengakibatkan produksi susu turun, kualitas susu
rendah, harga jual turun, susu ditolak karena tidak dapat memenuhi standar
penerimaan susu, dan susu tidak layak konsumsi (Lukman et al. 2009).
Radang ambing yang umum disebut dengan mastitis bukan hal baru lagi
dalam dunia peternakan sapi perah di Indonesia. Mastitis merupakan masalah
utama dalam tata laksana usaha peternakan sapi perah yang sangat merugikan,
baik peternak sapi perah, industri pengolah susu dan konsumen (Sudarwanto
1999).
Bentuk mastitis secara umum dibagi dua yaitu mastitis klinis dan mastitis
subklinis. Mastitis klinis dapat dengan mudah dideteksi karena munculnya gejala
klinis yang dapat diamati secara langsung, seperti perubahan susu yang
dihasilkan, pembengkakan ambing disertai sakit, merah dan panas. Mastitis
subklinis tidak menunjukkan gejala klinis baik pada ambing maupun pada susu
yang dihasilkan (Lukman et al. 2009).
Kejadian mastitis subklinis pada sapi perah di Indonesia sangat tinggi (95-
98%) dan menimbulkan banyak kerugian (Sudarwanto 1999). Streptococcus
agalactiae dan Staphylococcus aureus merupakan dua bakteri utama penyebab
mastitis subklinis (Wahyuni et al. 2005). Bakteri ini secara umum normal ada
dalam ambing, namun dalam jumlah tertentu akan mengiritasi ambing sehingga
2

tidak menghasilkan susu yang baik, bahkan terhentinya produksi. Bakteri yang
umum mencemari ambing biasanya dapat masuk ke dalam ambing melalui dua
cara yaitu: diluar waktu pemerahan dan saat pemerahan.
Kontaminasi dari S. agalactiae dapat diketahui secara langsung dari kondisi
abnormal yang kasat mata (klinis) maupun kondisi abnormal yang tidak kasat
mata (subklinis). Mastitis klinis biasa dapat ditangani dengan baik karena terlihat
gejala peradangan ambing akibat bakteri. Berbeda dengan mastitis subklinis yang
gejalanya menyerupai fenomena gunung es, dimana kondisi yang tampak sangat
minim dibandingkan dengan kejadian kasus sesungguhnya (Lukman et al. 2009).
Kasus mastitis subklinis termasuk penyakit yang sukar disembuhkan dan
sulit ditangani karena selain gejalanya yang sukar terlihat, juga karena
kebanyakan peternak sengaja menutup-nutupi agar susu sapi tidak ditolak oleh
koperasi. Pengobatan dengan antibiotik akan beresiko meninggalkan residu pada
susu. Untuk mengatasi mastitis subklinis diperlukan metode peningkatan respon
imun dari dalam tubuh sapi, yaitu dengan membentuk antibodi dari sapi perah
terhadap serangan mastitis. Pembentukan antibodi ini dapat dipicu dengan
pemberian vaksin.
Vaksin bakteri S. agalactiae dapat dibuat dengan metode dilemahkan
(attenuated) ataupun dimatikan (killed). Metode pelemahan bakteri ini dapat
ditempuh dengan berbagai cara, salah satunya dengan cara diradiasi. Beberapa
mikroorganisme akan mati bila mendapat paparan radiasi dari sinar-sinar tertentu,
termasuk jenis S. agalactiae. BATAN telah mengembangkan teknik baru
pembuatan vaksin dengan menggunakan radiasi sinar gamma 17 Gray. Bakteri
yang telah dilemahkan dengan LD50 (Lethal Dose 50) tersebut diujikan pada
mencit untuk mengetahui efektifitas vaksin dalam menanggulangi mastitis.
Apabila nantinya vaksin ini berhasil dalam membentuk antibodi sapi guna
melawan mastitis, tetap diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui efek
vaksin tersebut terhadap organ lain.
Ginjal dan hati merupakan organ pendeteksi toksisitas dalam tubuh. Seluruh
peredaran darah dalam tubuh akan melalui penyaringan di ginjal dan penetralan
racun di hati (Guyton 2006). Dari kedua organ ini akan diketahui toksisitas dari
suatu bahan asing yang dimasukkan dalam tubuh. Penelitian mengenai toksisitas
3

vaksin ini diperlukan untuk menyakinkan masyarakat keamanan penggunaan


vaksin ini nantinya.

Tujuan penelitian
Menguji efek toksik vaksin S. agalactiae yang diradiasi terhadap perubahan
histopatologi pada organ ginjal dan hati mencit (Mus musculus).

Hipotesis penelitian
H0 : Vaksin S. agalactiae yang diradiasi tidak memberikan efek toksik pada
organ hati dan ginjal mencit.
H1 : Vaksin S. agalactiae yang diradiasi memberikan efek toksik pada organ hati
dan ginjal mencit.

Manfaat penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang efek
toksisitas vaksin S. agalactiae yang diradiasi sehingga penggunaan vaksin secara
luas di masyarakat tidak dipertanyakan lagi keamanannya.
TINJAUAN PUSTAKA

Streptococcus agalactiae
S. agalactiae adalah bakteri Gram positif dengan ukuran koloni yang sangat
kecil dan berwarna kebiruan pada medium Edward (Gambar 1). S. agalactiae
merupakan penyebab terbesar dari kasus mastitis dan dapat dengan mudah
berpindah pada satu sapi ke sapi lainnya saat proses pemerahan. Koloni bakteri ini
biasa berada pada ambing walaupun terkadang berada pada puting dan kulit dari
puting, terutama jika permukaan kulit mengalami perlukaan (Blowey dan
Edmondson 2010).

Gambar 1 S. agalactiae dengan pewarnaan Gram (Anonim 2011).

Klasifikasi berdasarkan Lehmann and Neumann 1896 (Uniprot 2012):


Kingdom : Bacteria
Phylum : Firmicutes
Class : Bacilli
Ordo : Lactobacillales
Family : Streptococcaceae
Genus : Streptococcus
Spesies : Streptococcus agalactiae
Mekanisme infeksi S. agalactiae dimulai dengan perlahan bakteri memasuki
puting dari ambing karena kontaminasi cemaran lingkungan. Kontaminasi ini
dapat dipicu oleh faktor kebersihan selama pemerahan, desinfeksi ambing setelah
pemerahan, terapi pada sapi kering kandang, pemerahan susu yang kurang
optimal, pengobatan kasus kronis dan pemerahan terhadap sapi lain (Blowey dan
Edmondson 2010). Setelah masuk dalam epitel ambing, bakteri menempel pada
sel inang, seperti ditunjukkan Gambar 2. Menurut Wibawan dan Laemmler
5

(1990), kemampuan bakteri untuk menempel pada sel inang diperantarai oleh
komponen adhesin bakteri yang membantu perlekatan pada reseptor spesifik
inang. S. agalactiae dengan hemaglutinin mempunyai kemampuan menempel
pada sel epitel ambing yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak
memiliki hemaglutinin. Melalui kemampuan adhesi inilah S. agalactiae terbebas
dari pengaruh pembasuhan organ-organ sekresi sehingga tidak ikut keluar saat
ambing diperah.

Gambar 2 Struktur ambing dan puting (Blowey dan Edmondson 2010).


S. agalactiae memiliki kapsul yang tersusun dari asam sialat dan senyawa
karbohidrat lainnya yang membentuk struktur oligosakarida. Kapsul ini sebagai
salah satu faktor virulensi dari S. agalactiae yang berperan dalam mencegah
fagositosis, menentukan ketahanan hidup dan mencegah proses pembunuhan
bakteri (Wibawan dan Laemmler 1990).

Mastitis Subklinis
Mastitis adalah istilah bagi peradangan jaringan internal ambing dan
merupakan penyakit yang paling banyak menyerang sapi perah. Mastitis
merupakan penyakit yang kompleks pada sapi perah karena kausa, tingkat
peradangan, lama sakit, dan akibat yang berbeda.
6

Faktor predisposisi mastitis pada puting adalah akibat pemerahan yang


kasar, lantai kasar, lap yang kotor dan sikat yang keras. Penyebab lainnya adalah
sanitasi yang buruk meliputi kandang, ternak, alat yang kotor serta pemerahan
yang tidak bersih. Faktor terakhir adalah gizi buruk dengan kuantitas dan kualitas
pakan yang rendah (Lukman et al. 2009).
Ada dua tipe dasar mastitis yaitu contagious dan environtmental, dan yang
paling banyak dilaporkan adalah contagious mastitis. Hal ini dapat dilihat dengan
perhitungan sel somatik pada susu (Blowey dan Edmondson 2010). Sedangkan
secara umum berdasarkan keadaan ambing dan susu, mastitis dibagi dalam dua
kategori yaitu mastitis klinik dan mastitis subklinik. Mastitis klinis ditandai
dengan gejala klinis perubahan susu yang dihasilkan, pembengkakan pada
ambing, ambing merah, sakit dan panas (reaksi peradangan). Ditemukan pula
adanya bakteri patogen dalam susu dan komposisi susu berubah.
Menurut International Dairy Federation, mastitis subklinis adalah
peradangan ambing yang ditandai dengan peningkatan jumlah sel somatik
(>400.000/ml) dan ditemukan bakteri patogen dalam susu pada masa laktasi
normal (Lukman et al. 2009). Pada kasus mastitis subklinis tidak ditemukan
adanya kelainan pada kondisi susu secara makroskopik namun jumlah produksi
susu mengalami penurunan dibandingkan sapi normal.
Kejadian mastitis subklinis menyerupai fenomena gunung es dimana puncak
es yang terlihat (2-3%) adalah mastitis klinis sedang bagian gunung di bawah
permukaan laut (97-98%) adalah mastitis subklinis. Hampir semua gejala klinis
dari mastitis klinis adalah perkembangan dari mastitis subklinis (Lukman et al.
2009).
Cara terbaik untuk mendiagnosa mastitis sub-klinis adalah dengan
menghitung jumlah sel somatis (JSS) dan memeriksa kuman patogen. Peningkatan
JSS mengindikasikan adanya gangguan terhadap sistem imun tubuh. Menghitung
JSS dapat dilakukan dengan dua cara yakni secara langsung dan tidak langsung.
Teknik secara langsung akan didapatkan nilai JSS/ml yang sebenarnya dengan
contoh metodenya adalah metode Breed, Fossomatik, Coulter counter, Textular
Analysis System (TAS) dan Laser. Sedangkan teknik secara tidak langsung hanya
akan didapatkan perkiraan jumlah sel melalui reaksi kimia. Contoh metode tidak
7

langsung adalah CMT (Californian Mastitis Test), WST (Whiteside Test), AMP
(Aulendorfer Mastitis Probe), WMT (Wisconsin Mastitis Test), Brabanter
Mastitis Test, dan IPB-1 Test (Lukman et al. 2009).

Vaksin yang Diradiasi


Vaksin adalah suatu suspensi mikroorganisme atau substansi
mikroorganisme yang digunakan untuk menginduksi sistem imunitas. Pencegahan
penyakit infeksi dengan cara imunopropilaksis atau imunisasi/vaksinasi
merupakan suatu cara untuk meningkatkan imunitas seseorang terhadap invasi
mikroorganisme patogen atau toksin. Imunisasi dapat terjadi secara alamiah dan
buatan dimana masing-masing dapat diperoleh secara aktif maupun secara pasif.
Imunisasi aktif terdiri dari aktif buatan seperti vaksinasi dan aktif alamiah
yaitu infeksi virus dan bakteri. Adapun imunisasi pasif dibedakan atas dua cara,
yaitu pasif buatan dengan pemberian antitoksin atau antibodi, dan pasif alamiah
yaitu antibodi didapat melalui plasenta dan kolostrum. Berdasarkan cara
pembuatan dan pengembangannya, vaksin dapat digolongkan menjadi beberapa
macam yaitu: vaksin yang dilemahkan, dimatikan, toksoid, rekombinan,
konjugasi, dan vaksin DNA (deoxyribonucleic acid) (Maksum 2010).
Vaksin dengan mikroorganisme dilemahkan mengandung organisme hidup
yang sudah tidak bersifat virulen. Vaksin hidup ini menyerupai mikroorganisme
aslinya pada saat menimbulkan infeksi. Kekurangan dari vaksin yang dilemahkan
adalah kemungkinan untuk bermutasi kembali menjadi virulen, sehingga vaksin
ini tidak dianjurkan pada penderita immunokompromis. Mikroorganisme yang
telah dilemahkan berasal dari mutan virus atau bakteri yang telah dilemahkan
dengan berbagai cara, salah satunya dengan diberi sinar (iradiasi).
Radiasi sinar gamma dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan suatu
imunogen yang potensial untuk vaksin dan memicu pembentukan antibodi yang
optimal dalam menahan serangan infeksi parasit selanjutnya (Mendis 1991; Hook
2003). Pancaran radiasi sinar gamma dapat menimbulkan efek pada agen penyakit
berupa virus, bakteri, protozoa dan cacing. Dalam pembuatan bahan vaksin, jenis
radiasi yang biasanya digunakan adalah sinar gamma yang memiliki daya tembus
tinggi dan panjang gelombang pendek (Hall 1994). Dosis iradiasi yang optimum
akan menghancurkan DNA, sehingga membuat mikroorganisme tidak mampu
8

melakukan replikasi dan tidak menimbulkan infeksi. Hilangnya kemampuan


infektif dari parasit memungkinkan untuk memperoleh bahan yang layak untuk
pembuatan vaksin. Dengan demikian parasit dapat dinonaktifkan dengan
mempertahankan sifat-sifat parasit seperti hemoaglutinasi, antigenisitas dan lain
sebagainya. Berdasarkan hasil-hasil penelitian dan percobaan, keberhasilan
memperoleh bahan tidak aktif ini bergantung pada faktor eksternal seperti dosis
radiasi, kecepatan sinar radiasi yang mengenai target (laju dosis), jenis radiasi,
suhu dan sifat inang dimana parasit berada selama proses, dan juga karakteristik
parasit itu sendiri seperti komposisi DNA inti atau pada sifat struktur molekulnya
(Syaifudin et al. 2008).

Tinjauan tentang Hati Mencit

Anatomi Hati
Secara anatomi, hati memiliki empat lobus yaitu kanan, kiri, caudate, dan
quadrate, dimana lobus kanan memiliki ukuran setengah hingga dua per tiga dari
keseluruhan volume hati. Terdapat pula empat segmen fungsional yang
diklasifikasikan berdasarkan aliran darah dan aliran empedu.
Hati diperantarai oleh beberapa ligamen yang berbeda. Ligamentum
hepatoduodenal menghubungkan antara hati dengan area superior dari duodenum
dan mendukung pembuluh darah serta duktus. Fisura transversa memisahkan
lobus kanan dengan lobus kaudatus. Ligamen lainnya adalah ligamentum
falciforme, ligamentum coronarium, ligamentum triangulare sinistrum dan
ligamentum teres (Kanel dan Korula 1992).
Salah satu fungsi hati adalah sebagai kelenjar sekretori penghasil empedu.
Empedu memiliki fungsi penting dalam mencerna lemak. Saat tidak ada makanan
di dalam duodenum, maka sphincter of oddi antara duktus empedu dan duodenum
tertutup, dan empedu tidak dapat masuk saluran pencernaan melainkan disimpan
dalam kantung empedu. Epitel dari kantung empedu menyerap sodium, chloride
dan bicarbonate dari empedu sementara air diabsorbsi secara pasif. Pada spesies
yang tidak memiliki kantung empedu seperti tikus, mencit dan kuda, sphincter of
oddi tidak berfungsi dan empedu hanya disekresikan ke usus saat dan selama
proses pencernaan (Cunningham 2002).
9

Histologi Hati
Sel utama dari hati adalah hepatosit yang merupakan jaringan hidropis dan
membentuk unit stuktural yang disebut hepatic lobules (lobulus hati). Hati juga
dilindungi oleh jaringan serosa atau peritoneum yang terdiri atas jaringan ikat tipis
yang selanjutnya membagi hati menjadi lobus dan lobulus. Selanjutnya,
berdasarkan struktur anatomi lobulus hati juga disebut dengan classic liver lobule
/lobulus klasik (Samuelson 2007).
Lobulus hati memiliki struktur silindris dengan panjang antara 0,8 - 2 mm.
Lobulus tersebut terdiri atas banyak rangkaian sel-sel hati/hepatosit yang secara
radial mengelilingi vena sentralis seperti jari-jari pada roda (Gambar 3). Lobulus
hati mengelilingi vena sentralis yang kosong. Vena porta menerima darah yang
mengandung zat makanan hasil absorbsi dari usus menuju ke hati. Selanjutnya
darah disalurkan melalui venous sinusoid yang berada di antara hepatic plate. Dari
sini, darah akan masuk ke dalam vena sentralis dan selanjutnya mengalir ke vena
hepatika lalu masuk vena cava. Empedu juga disekresi ke dalam canaliculi
diantara hepatosit yang selanjutnya mengalir menuju saluran empedu (bile duct)
di daerah perifer dimana terletak vena porta dan arteri hepatika. Saluran empedu,
vena porta dan arteri hepatika membentuk struktur yang bernama portal triad
(Gambar 4). Sel hati akan terpapar oleh aliran darah dari vena porta dan dari sisi
lain oleh empedu.
Diantara lempengan sel hati terdapat kapiler-kapiler yang dinamakan
sinusoid, yang merupakan cabang vena porta dan arteri hepatika. Sinusoid vena
terdiri atas dua tipe sel yaitu sel endotel dan sel Kupffer. Sel endotel merupakan
sel pipih memanjang yang berfungsi menyaring molekul pada darah seperti
glikoprotein dan secara langsung berkontak dengan hepatosit. Sel kuppfer
merupakan sistem reticuloendothelial yang memiliki kemampuan untuk
memfagosit mikrobakteria dan material asing dalam darah. Sel ini mempunyai inti
yang besar dan pucat serta sitoplasma yang lebih banyak dengan cabang yang
meluas atau melintang di dalam sinusoid hati (Kanel dan Korula 1992). Garis
endothel memiliki pori yang sangat besar mencapai diameter 1 mikron. Hal ini
menyebabkan adanya pertukaran substansi yang bebas dari plasma dengan cairan
di sekeliling sel hati (Guyton 2006).
10

Gambar 3 Skema Hati (Cummings 2004).

Vena porta

Arteri hepatika

Duktus empedu

Gambar 4 Daerah Porta Hati Tikus dengan Pewarnaan HE, perbesaran 20x
(Anonim 2012).

Fungsi Hati
Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh yang memiliki beberapa
fungsi dasar yaitu: pembentukan empedu, penyimpanan dan pelepasan
karbohidrat, pembentukan urea, pembuatan protein plasma, berhubungan dengan
metabolisme lemak, inaktivasi sejumlah hormon polipeptida, pengurangan dan
konjugasi hormon korteks adrenal dan steroid gonads, sintesis 25-
hidroksikolekalsiferol, detoksikasi banyak obat dan toksin (Ganong 1995).
11

Hati sebagaimana fungsinya sebagai organ detoksikasi, maka berperan


penting dalam menyaring zat toksik maupun benda asing yang masuk melalui
darah (Guyton 2006).

Patologi Sel
Secara garis besar, proses patologi adalah peradangan dan penyembuhan.
Proses peradangan merupakan respon terhadap perlukaan jaringan yang berguna
untuk menghancurkan agen patologis. Karakteristik peradangan sel dapat berupa
akumulasi eksudat purulen (neutrophils) dan granulomatous (monosit dan
makrofag). Proses penyembuhan pada jaringan dapat berupa angiogenesis,
fibrosis, dan regenerasi. Apabila proses ini tidak dapat berlangsung, maka terjadi
nekrosa yaitu kematian jaringan (Cheville 2006).
Kelainan morfologi secara fisiologis maupun patofisiologis dapat ditemukan
sebagai perubahan pada sel. Perubahan tersebut terdiri dari dua tipe, yaitu :
1. Kerusakan sel yang masih dapat pulih kembali (Reversible cellular injury),
yaitu kemampuan dimana sel dapat beradaptasi dan kembali pada fungsi
normalnya (McGavin dan Zachary 2007).
2. Kerusakan sel yang tidak dapat pulih kembali (Irreversible cellular
injury). Tipe ini disebabkan oleh kerusakan membran plasma,
pembengkakan lisosom, kehilangan DNA, kalsium masuk ke dalam sel,
mitokondria bengkak dan bervakuol, serta amorphous densitas dalam
mitokondria (Kemp et al. 2008; McGavin dan Zachary 2007). Pada
keadaan ini, kerusakan tidak dapat dipulihkan. Dua faktor penting yang
berperan pada kerusakan yang ireversibel adalah gangguan membran dan
disfungsi mitokondria.
Terdapat dua jenis kematian sel yang merupakan bentuk kerusakan sel
ireversibel. Kedua jenis tersebut adalah apoptosis dan nekrosis. Apoptosis adalah
kematian terprogram dari sel sebagai respon terhadap kerusakan DNA atau saat
pertumbuhan dan perkembangan. Nekrosis adalah kematian yang tidak terkontrol
akibat respon dari kerusakan sel (Kemp et al. 2008).
Dua tipe utama dari nekrosis adalah nekrosa koagulatif yaitu tipe nekrosa
dimana kerusakan protein lebih banyak daripada kerusakan enzim. Gambaran
mikroskopis yang khas dari tipe ini adalah meningkatnya warna merah
12

(eosinophilia) pada sitoplasma dan menurunnya warna biru (basophilia) pada


nukleus. Tipe ini dapat ditemukan pada organ yang memiliki kandungan lemak
yang tinggi seperti otak dan biasa diikuti dengan nekrosa liquefaktif.
Tipe kedua adalah nekrosa liquefaktif yaitu pada kondisi dimana kerusakan
enzim lebih tinggi daripada kerusakan protein. Sel akan kehilangan bentuknya,
kemudian makrofag akan memakan jaringan yang mati. Tipe ini biasa terjadi pada
organ yang tinggi lemak dan rendah protein seperti otak atau organ dengan kadar
enzim tinggi seperti pankreas. Nekrosa lemak merupakan perubahan dari jaringan
adiposa karena trauma ataupun kekurangan enzim dari organ seperti pankreas.
Kedua sebab ini dapat mengakibatkan rusaknya lemak dan pengeluaran asam
lemak yang dapat dikombinasikan dengan kalsium (chalky deposit) (Kemp et al.
2008)

Patologi Sel Hati


Sebagai organ detoksikasi, hati memiliki peranan penting dalam menjaga
kestabilan metabolisme tubuh. Paparan vaksin dapat berpengaruh pada hati karena
vaksin akan masuk aliran darah dan mengalami proses metabolisme di hati.
Toksik atau tidaknya vaksin, dapat diamati dari penampakan hati, baik secara
anatomi maupun histopatologi.
Perubahan patologi pada sel hati secara histopatologi dapat berupa:
1. Sel radang
Saat mulai adanya peradangan, maka pembuluh kapiler menjadi abnormal
dan endotel melemah. Sel endotel akan mengaktifkan prostaglandin
sebagai vasodilatator, cytokine sebagai media pemanggil leukosit, dan
faktor prokoagulasi. Jaringan perivaskular akan memicu keluarnya
mediator peradangan seperti histamin, heparin, serotonin dan leukotrin.
Selanjutnya aliran darah akan meningkat pada area yang mengalami
peradangan. Dari kondisi inilah sel radang (leukosit) dan cairan masuk ke
dalam jaringan karena endotel yang longgar (Cheville 2006). Sel radang
yang hadir dapat menjadi indikator peradangan pada suatu jaringan.
2. Akumulasi sel
13

a. Macrovesicular steatosis: satu vakuol lemak besar di dalam sel hati.


Hal ini biasa dikaitkan dengan penggunaan alkohol berlebih, obesitas
dan diabetes melitus.
b. Microvesicular steatosis: banyak vakuol kecil di dalam sel hati. Hal
ini ada hubungannya dengan acute fatty liver karena kehamilan, Reye
syndrome (pada anak dengan penyakit viral yang diobati aspirin),
alkohol, dan obat-obatan seperti tetracycline (Kemp et al. 2008).
3. Degenerasi hidropis merupakan bentukan akut dari kebengkakan sel
karena masuknya air ke dalam sitoplasma. Enzim protease mengaktifkan
proses proteolisis yang membuat sitoplasma menjadi jernih (Cheville
2006). Dalam jumlah besar, bentukan ini merupakan salah satu indikator
terpaparnya sel hati oleh zat toksik.
4. Kelainan pada perenkim dapat berupa atropi dan hyperplasia serta kelainan
reversibel lainnya.
a. Atropi hepatik baik lokal maupun tersebar merupakan akibat dari
berkurangnya aliran vena porta atau tekanan pada sinusoid. Dengan
adanya atropi, maka area lainnya akan meluas (regenerative
hyperplasia) dan meningkatkan volume hati.
b. Reversible hepatocellular biasa berkaitan dengan degenerasi hidropis,
glycogen storage dan steatosis atau lipidosis dari sel hati (Dijk et al.
2007).
5. Kematian sel (nekrosa dan apoptosis) (Kemp et al. 2008).

Tinjauan tentang Ginjal

Anatomi Ginjal
Ginjal memiliki banyak bentuk dan ukuran pada hewan. Karnivora dan
ruminansia kecil memiliki bentuk menyerupai kacang dan permukaan yang halus.
Setiap ginjal membentuk hilum, yaitu area dimana ureter meninggalkan ginjal dan
sebagian besar darah dan pembuluh limpa serta nervus dapat keluar masuk. Ginjal
memiliki kapsula tipis serta jaringan ikat yang terdiri dari kolagen, serat elastik,
dan sel otot polos. Letak ginjal yang berada di superior dari retroperitoneum
membuat strukturnya dibatasi oleh smooth serosal mesothelium. Ginjal juga
14

diselubungi jaringan adiposa (lemak perirenal) yang menutup batas ventral dan
berada di regio hilum (Samuelson 2007).

Histologi Ginjal
Ginjal terdiri dari bagian korteks yang berwarna coklat kemerahan gelap dan
area medulla yang lebih terang. Pada semua hewan domestik korteks terletak di
sebelah luar medulla (Samuelson 2007). Setiap ginjal terdiri dari satu hingga dua
juta nephron yang merupakan unit fungsional dari ginjal. Setiap nephron
mencakup glomerulus, tubulus proksimal, tubulus distal, connecting segment dan
duktus kolektifus (Gambar 5) (Lennan dan Cheng 2011).
Cara kerja ginjal dalam membentuk urin adalah sebagai berikut : darah
masuk dalam glomerulus dari nefron melalui afferent arteriole dan selanjutnya
meninggalkan glomerulus melewati efferent arteriole. Glomerulus adalah jaringan
dari 50 kapiler paralel yang dibungkus oleh capsula Bowman’s yang berfungsi
sebagai filter cairan. Setelah darah melewati efferent arteriole dari glomerulus,
kebanyakan dari darah tersebut mengalir melalui peritubular capillary network di
sekitar tubulus nefron dan akhirnya kembali ke vena.
Cairan yang terfiltrasi melalui glomerulus kemudian melewati proximal
tubule, masuk segmen tipis yang disebut lengkung Henle, kemudian masuk distal
tubuli dan terakhir dikumpulkan dalam tubulus kolektifus. Air yang melalui
tubulus sebagian besar diserap kembali oleh peritubular capiller, adapun air dan
materi yang tidak diserap kembali akan diekskresikan sebagai urin (Guyton 2006).

Tubulus

Glomerulus

Gambar 5 Glomerulus normal dikelilingi oleh tubulus


(Lennan and Cheng 2011).
15

Fungsi Ginjal
Ginjal pada hewan dan manusia memiliki dua fungsi utama, yang pertama
untuk mengekskresi hasil akhir dari proses metabolisme tubuh, dan yang kedua
mengontrol konsentrasi dari seluruh cairan tubuh. Setiap ginjal terdiri dari
1.000.000 nefron, dengan tiap nefron memiliki kemampuan untuk membentuk
urin (Guyton 2006).
Sebagai organ yang menjaga kestabilan cairan dan asam basa tubuh, maka
ginjal berperan pula sebagai organ yang mendeteksi toksisitas dalam tubuh selain
hati. Zat-zat asing yang masuk dalam peredaran darah, seluruhnya akan difiltrasi
oleh ginjal dalam gomerulus dan direabsorbsi melalui tubulus ginjal. Hal ini
membuat ginjal mudah mengalami gangguan apabila ada zat toksik yang masuk
ke dalam tubuh. Ginjal menjadi salah satu parameter penting untuk mengetahui
berbahaya atau tidaknya suatu zat/ vaksin yang diujikan pada hewan coba.

Tabel 1 Fungsi Tiap Segmen Ginjal (Cunningham 2002)


Struktur Fungsi
Glomerulus Filtrasi darah
Tubulus proksimal Bagian penting dalam mengabsorbsi
cairan yang telah terfiltrasi
Bagian tipis dari lengkung Henle’s Menjaga keseimbangan hipertonisistas
dengan cara pertukaran cuntercurrent
Bagian tebal dari lengkung Henle’s Reabsorbsi Na+, K+, Cl-, divalent
ascendens kation, mengurangi cairan tubulus
Tubulus distal Reabsorbsi NaCl dan kation divalent,
mengurangi cairan tubulus
Duktus kolektifus Kontrol akhir pengeluaran elektrolit,
urea, acid-base, dan air

Patologi Ginjal
Respon terhadap peradangan pada ginjal biasanya dimulai dengan infiltrasi
makrofag, proliferasi fibroblas, deposisi ECM (extra cellular matrix) dan terjadi
dalam tiga tahap. Tahap pertama yaitu fase induksi, dimana sel epitel tubulus
mengeluarkan Chemokine sehingga menyebabkan infiltrasi sel mononuklear
(leukosit) dan mengeluarkan pro-fibrogenetic cytokines untuk mengaktifkan
proliferasi fibroblasts. Tahap kedua adalah Matrix synthesis yang terus-menerus
mengeluarkan dan mendeposisi pro-fibrogenetic cytokines. Tahap ketiga adalah
Post-inflammatory phase yaitu penghentian stimulus inflamatori, memulai
16

proliferasi myofibroblasts dan terjadi transformasi Epithelial-mesenchymal


(Ahsan dan Cheung 2003).
Hadirnya agen asing akan menimbulkan perubahan yang dapat mengarah
pada kematian sel. Perubahan sub letal ini dinamakan degenerasi yang merupakan
akibat dari gangguan metabolisme. Lesio degeneratif pada ginjal meliputi lesio
pada tenunan tubuli (tubulonephrosis) dan glomerulus (glomerulopathy). Kedua
gangguan ini dapat disebabkan oleh kondisi septicemia, intoksikasi (nephrotoxic
tubular necrosis), anoxemia (ischemic necrosis) dan peningkatan deposisi
abnormal seperti concrements, protein, pigmen, atau lemak (Dijk et al. 2007).
Beberapa parameter dapat diamati untuk mengetahui ada atau tidaknya
kerusakan pada ginjal melalui dua aspek bagian ginjal tersebut.
1. Glomerulus
a. Sel radang
Hadirnya sel mononuklear (leukosit) dalam proses inflamasi (Ahsan
dan Cheung 2003). Sel radang dalam jumlah melebihi normal di dalam
glomerulus menunjukkan telah terjadi peradangan yang akut. Bila
ditemukan dalam jumlah besar, dapat diindikasikan bahwa darah yang
disaring ginjal mengandung agen berbahaya yang dapat mengganggu
metabolisme ginjal.
b. Jarak kapsula Bowman-glomerulus
Glomerulus dibungkus oleh lapisan sel epitel yang disebut kapsula
Bowman’s. Area diantara glomerulus kapsula Bowman’s disebut
sebagai Bowman’s space dan merupakan tempat pengumpulan filtrat
glomerulus yang selanjutnya akan disalurkan pada segmen pertama
dari tubulus proksimal (Cunningham 2002). Cairan yang terfiltrasi
oleh glomerulus dan kemudian masuk dalam Capsular space/
Bowmans space disebut glomerular filtrate dan terdiri dari air, garam,
ion, glukosa dan albumin (McGavin dan Zachary 2007). Jarak kapsula
Bowman-glomerulus mengindikasikan adanya asosiasi antara
penurunan kemampuan filtrasi glomerulus dengan perluasan lumen
glomerulus, dimana lumen tubulus juga terisi oleh protein. Hal ini
biasanya berkaitan dengan kasus imun kompleks glomerulonefritis
17

(Dijk et al. 2007). Semakin sempit jarak antara kapsula Bowman-


glomerulus, maka kemampuan filtrasi akan menurun karena darah
hasil fitrasi tidak dapat keluar melalui Bowman’s space, sehingga
terjadi gangguan dalam penyerapan cairan ginjal. Semakin
menyempitnya jarak kapsula Bowman-glomerulus ini bisa disebabkan
dua hal, membesarnya glomerulus, atau menyempitnya kapsula
Bowman dan bisa pula kombinasi keduanya. Vaksin yang
mengandung agen berbahaya dapat menyebabkan peradangan pada
glomerulus sehingga dapat mengganggu proses filtrasi tersebut.
2. Tubulus
Perubahan pada tubulus dapat berupa degenerasi yaitu perubahan
morfologi dan fungsi sel. Beberapa degenerasi spesifik intaseluler
yang dapat terjadi di dalam sel adalah degenerasi hidropis, degenerasi
lemak, degenerasi glikogen, dan badan inklusi. Perubahan yang dapat
terjadi bervariasi, namun biasanya basofilik fragmen dapat disebabkan
karena bakteri, protozoa dan deposit kalsium. Menurut McGavin dan
Zachary 2007, histomorfologi dari nukleus dapat dibagi menjadi :
a. Pyknosis yaitu keadaan dimana nukleus mengecil, gelap, homogen,
dan bulat. Pyknosis bisa merupakan akibat dari gumpalan kromatin
pada awal degenerasi. Kondisi ini biasa terjadi pada tubulus distal
ginjal.
b. Karryorhexis yaitu keadaan dimana pembungkus nukleus ruptur
dan fragmen nukleus keluar ke sitoplasma.
c. Karyolisis dimana nukleus menjadi pucat akibat terputusnya
kromatin pada DNA dan RNA. Kondisi ini biasa terjadi pada sel
epitel dari tubulus proksimal ginjal.
d. Absence of nucleus yaitu tahap lanjutan dari karyolisis dimana
nuleus benar-benar menghilang.
MATERI DAN METODE PENELITIAN

Waktu dan tempat penelitian

Penelitian ini dilaksakan di Bagian Patologi, Departemen Klinik,


Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Perlakuan hewan percobaan dilaksanakan mulai tanggal 27 November 2010
sampai 31 Januari 2011.

Bahan dan materi penelitian

Hewan coba
Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah 12 ekor mencit
betina dalam periode bunting hingga melahirkan dengan berat badan rata-rata 30-
37 gram. Hewan coba dalam keadaan sehat fisik dan tidak pernah digunakan
untuk penelitian lain.

Bahan penelitian
Bahan yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas; vaksin S. agalactiae
yang diradiasi berasal dari BATAN, Albendazole 5% (obat cacing dosis
10mg/kgBB), Clavamox® (antibiotik dosis 250mg/kgBB), Flagyl® (anti protozoa
dosis 50mg/kgBB), pelet, air minum, bahan kaos sebagai alas kandang, xylazin
dosis 8 mg/kgBB, Ketamin dosis 20 mg/kgBB untuk anestesi, Buffer Neutral
Formalin 10% (BNF 10%) untuk fiksasi organ mencit serta bahan-bahan lain
yang digunakan untuk membuat preparat histopatologi ginjal dan hati mencit yaitu
etanol 70%, 80%, 90%, etanol absolut, xylol, zat warna HE (Hematoxylin Eosin),
parafin.

Alat penelitian
Alat yang digunakan yaitu 12 box plastik berbentuk persegi panjang dengan
ukuran panjang 40 cm, lebar 29 cm, tinggi 12 cm dengan tutup yang terbuat dari
anyaman kawat untuk tempat pemeliharaan mencit selama penelitian, botol, sonde
lambung, timbangan, spoit, alat bedah (gunting, skalpel, pinset, pin, alas bedah),
pot plastik, alat-alat untuk membuat preparat histopatologi (alat dehidrasi yaitu
automatic tissue processor, mikrotom, hot plate, inkubator, basket, gelas objek,
19

kaca penutup), digital eye piece camera, seperangkat komputer, software imageJ
yang dapat di download pada Http://rsweb.nih.gov/ij/.

Metode penelitian

Persiapan hewan coba


Setelah diperiksa kesehatannya secara fisik, mencit dimasukkan ke dalam
kandang. Sebelum dikawinkan, seluruh mencit diberi albendazole 5% (obat cacing
dosis 10mg/kgBB), antibiotik (Clavamox®) dosis 250mg/kgBB, dan antiprotozoa
(Flagyl®) dosis 50mg/kgBB dengan waktu pemberian sebagai berikut :

2 hari 5 hari 2 hari 2 hari 5 hari 2 hari

albendazole clavamox albendazole flagyl kawin


Gambar 6 Jadwal pemberian pretreatment.

Perlakuan hewan coba


Setelah dilakukan pretreatment dan dikawinkan, mencit dibagi menjadi
empat kelompok perlakuan, masing-masing kelompok terdiri dari 3 mencit betina.
Keempat kelompok perlakuan tersebut adalah :
Kontrol negatif (K) : mencit diberi pakan dan minuman ad libitum sampai partus.
Kontrol positif (T) : mencit tidak divaksin, dan setelah partus langsung ditantang
dengan bakteri S. agalactiae patogen dosis 108 cfu/ml/ekor
sebanyak 500µl secara topikal (tetes) pada 5 pasang puting
di abdomen.
Vaksin (V) : mencit divaksin dan dibooster dengan vaksin S. agalactiae
LD50 dosis 108 cfu/ml/ekor secara intra peritoneal sebanyak
0,2 ml.
Vaksin tantang (VT): mencit divaksin dan dibooster dengan vaksin S. agalactiae
LD50 dosis 108 cfu/ml/ekor secara intra peritoneal sebanyak
0,2 ml. Setelah partus ditantang dengan S. agalactiae
patogen dosis 108 cfu/ml/ekor sebanyak 500µl secara
topikal (tetes) pada 5 pasang puting di abdomen.
20

3 hari 4 hari 1 mggu 1 mggu 1 mggu 1 mggu 1 hari

kawin vaksin booster I booster II booster III partus tantang nekropsi


Gambar 7 Jadwal booster dan vaksinasi pada kelompok hewan coba.

Setelah dipelihara hingga partus, kemudian ditantang bagi kelompok T dan


VT, satu minggu kemudian mencit betina partus dianestesi untuk dinekropsi.
Mencit dianestesi dengan xylazin dosis 8 mg/kgBB dan Ketamin dosis 20
mg/kgBB. Setelah teranesthesi, mencit diletakkan pada sebuah alas bedah dalam
keadaan terlentang. Selanjutnya dilakukan pembedahan pada bagian abdomennya
untuk melakukan pengambilan organ hati dan ginjal. Patologi anatomi mencit
diamati. Organ dalam mencit kemudian dimasukkan dalam pot plastik berisi BNF
10% dan siap untuk dilakukan proses pembuatan preparat histopatologi.

Pembuatan preparat histopatologi


Organ hati dan ginjal yang telah difiksasi kurang lebih dua hari kemudian
dipotong tipis. Potongan hati dan ginjal dengan ketebalan kurang lebih 3mm
dimasukkan ke dalam tissue cassette dan di dehidrasi dengan merendam sediaan
secara berturut-turut pada alkohol 70%, 80%, 90%, alkohol absolut I, alkohol
absolut II, lalu dijernihkan dalam xilol I, xilol II, dan diinfiltrasi pada parafin
parafin I, dan parafin II. Masing-masing proses perendaman dilakukan selama 2
jam dalam mesin automatic tissue processor, Sakura (Japan).
Jaringan dimasukkan ke dalam pencetak berisi parafin cair dengan bentuk
blok dan disusun di tengah parafin. Setelah mulai membeku, parafin ditambah
kembali hingga alat pencetak penuh dan dibiarkan hingga parafin mengeras.
Selanjutnya, parafin yang berisi jaringan, dipotong menggunakan mikrotom
dengan ketebalan 5 mikron. Hasil pemotongan yang berbentuk pita diletakkan
diatas permukaan air hangat bersuhu 450celcius dengan tujuan menghilangkan
lipatan-lipatan. Sediaan diangkat dari permukaan air dengan gelas obyek yang
telah diolesi larutan albumin yang berguna untuk merekatkan sediaan. Setelah itu,
preparat dikeringkan dalam inkubator bersuhu 600celcius semalam.
Sediaan yang telah kering dimasukkan ke dalam xilol dua kali selama 2
menit. Kemudian sediaan direhidrasi yang dimulai dari alkohol absolut sampai
21

alkohol 80% dengan waktu masing-masing 2 menit. Selanjutnya sediaan dicuci


pada air mengalir dan dikeringkan.
Sediaan yang telah siap, diwarnai dengan pewarnaan Mayer’s Hematoksilin
selama 8 menit, kemudian dibilas dengan air mengalir dan dicuci dengan lithium
karbonat selama 15-30 detik, dibilas dengan air lagi, dan akhirnya diwarnai
dengan pewarna Eosin selama 2 menit. Untuk menghilangkan warna Eosin yang
berlebihan, sediaan dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan. Kemudian
sediaan dicelup ke dalam alkohol 90% sebanyak 10 kali celupan, alkohol absolut I
10 kali celupan, alkohol absolut II selama 2 menit, xilol I selama 1 menit, dan
xylol II selama 2 menit.
Sediaan dikeringkan dahulu, lalu ditetesi dengan perekat Permount dan
kemudian ditutup dengan cover glass dan dibiarkan selama beberapa menit hingga
melekat sempurna. Setelah itu, preparat siap untuk diamati dan diambil gambar
menggunakan kamera mikroskop. Identifikasi dan pengambilan gambar preparat
dilakukan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi,
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Pemeriksaan preparat histopatologis


Pengamatan secara mikroskopik preparat histopatologis hati dan ginjal
mencit betina menggunakan kamera mikroskop dengan perbesaran 40x10.
Perubahan histopatologis yang diamati adalah adanya berbagai tipe degenerasi sel
dan jumlah sel radang. Perhitungan dilakukan menggunakan program software
imageJ.
Pengamatan pada hati dilakukan dengan menghitung jumlah sel radang,
jumlah sel degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan nekrosa pada vena porta dan
vena sentralis. Pengamatan dilakukan pada lima lapang pandang vena centalis dan
lima lapang pandang vena porta dengan luas lapang pandang 15,106,6 um2.
Sedangkan pengamatan pada ginjal dilakukan dengan memperhatikan aspek
glomerulus dan tubulus ginjal. Pada glomerulus ginjal diamati jarak kapsula-
glomerulus, jumlah sel radang dan jumlah glomerulus pada lima lapang pandang.
Sementara pada tubulus ginjal diamati jumlah tubulus degenerasi, jumlah tubulus
normal dan jumlah total tubulus pada lima lapang pandang mikroskop.
Selanjutnya perhitungan berulang pada mencit yang berbeda.
22

Analisis data

Data histopatologis yang didapatkan akan dianalisis secara deskriptif


dengan menghitung persentase sel yang mengalami degenerasi dan kematian sel
yang kemudian dilanjutkan dengan uji ANOVA.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Histopatologi Organ Hati Mencit

Area Vena Sentralis


Vaksin S. Agalactiae yang diradiasi harus aman bagi tubuh, dan tidak
merusak organ. Keamanan vaksin ini dapat diamati dari preparat histopatologi
organ hati karena hati merupakan organ pendeteksi toksisitas dalam tubuh.
Seluruh peredaran darah dalam tubuh akan melalui penetralan racun di hati
(Guyton 2006).
Hasil pengamatan histopatologi menunjukkan adanya perubahan hepatosit
di daerah vena sentralis. Perubahan yang ditemukan meliputi adanya sel radang,
hepatosit mengalami degenerasi lemak dan hepatosit yang mengalami degenerasi
hidropis, sedangkan nekrosa tidak ditemukan. Hasil analisis statistik persentase
kelainan hepatosit dan perubahan yang terjadi pada area vena sentralis disajikan
pada Tabel 2.

Tabel 2 Hasil perhitungan kelainan daerah vena sentralis hati setelah dilakukan
vaksinasi dan uji tantang S. agalactiae
Jumlah hepatosit (persentase %)
Kelompok Normal Sel radang Degenerasi Degenerasi Nekrosa
hidropis lemak
b a a
K 78,9±6,3 15,9±4,5 4,8±2,7 0,3±0,2a 0,0a
T 73,1±7,8b 23,8±8,2ab 3,0±0,9a 0,0a 0,0a
b ab a a
V 73,7±6,1 23,3±7,4 2,5±1,4 0,3±0,3 0,0a
VT 60,6±3,2a 33,2±1,3b 5,4±1,7a 0,7±1,2a 0,0a
Keterangan : Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
(p<0,05). K= kontrol negatif; T= kontrol positif; V= vaksin; VT = vaksin tantang.

Berdasarkan analisis dari Tabel 2 diketahui bahwa jumlah hepatosit


normal pada kelompok K, T, dan V menunjukkan nilai yang tinggi dan tidak
berbeda nyata. Sementara kelompok VT menunjukkan nilai yang rendah. Hal ini
dapat disebabkan mencit terpapar dua kali perlakuan yaitu di vaksin dan kemudian
ditantang. Penggunaan vaksin tidak selalu bebas risiko. Residual virulen dan
toksisitas, respon alergi, penyakit imunodefisiensi dari host, komplikasi
neurologikal dan efek berbahaya pada fetus adalah beberapa faktor resiko yang
berhubungan dengan penggunaan vaksin (Tizard 2004). Jumlah sel normal
berkurang pada kelompok VT ini karena banyak sel hati yang mengalami
24

degenerasi. Vaksin S. agalactiae telah mengalami radiasi hingga mencapai LD50


sehingga antigen masih dihasilkan oleh bakteri dalam jumlah yang rendah,
meliputi antigen protein serotype c, R, X, polisakarida, protein hidrofobik dan
hemaglutinin (Wibawan et al. 1995). Antigen tersebut meskipun sangat sedikit
namun masih memungkinkan terjadinya degenerasi. Uji tantang yang diberikan
akan menambah jumlah sel degenerasi kelompok ini karena antigen bakteri
tantang masih murni.
Jumlah hepatosit normal kelompok V tidak menunjukkan perbedaan yang
nyata dengan kelompok lain. Vaksin diberikan tiga hari setelah mencit
dikawinkan, dan di booster tiga kali pada hari ke 7, 14, dan 21. Jika antibodi
masih rendah, maka perlu dilakukan vaksinasi ulang untuk mendapatkan efek
booster karena titer antibodi (IgG) akan meningkat dengan adanya efek booster.
Booster akan memberikan respon kronis terhadap hati. Respon ini tergantung pada
toksisitas antigen yang terkandung di dalam vaksin, bila semakin tinggi tingkat
toksin antigen, maka degenerasi yang terakumulasi akan semakin besar (Mori et
al. 2009). Berbeda dengan vaksin S. agalactiae yang diradiasi, tidak menimbulkan
kerusakan atau degenerasi yang parah pada hati. Hal ini dapat menunjukkan
bahwa vaksin yang diberikan tidak berpengaruh terhadap jumlah hepatosit normal
hati.
Vaksin yang dicobakan pada mencit adalah berupa bakteri S. agalactiae 17
Gy dari kasus mastitis subklinis yang telah dilemahkan melalui radiasi dengan
60
sinar gamma dari Co(kobalt 60), dan merupakan dosis paling tepat yang dapat
melemahkan bakteri tersebut hingga mencapai LD50. Telah dilakukan berbagai
penelitian bahwa protective immunity dalam melawan bakteri intracelluler tidak
dapat diinduksi oleh vaksin killed bakteri. Hanya vaksin yang dibentuk dari
bakteri yang dilemahkan yang dapat memberikan efek protektif. Hal inilah yang
membedakan stimulasi sel T helper oleh bakteri hidup atau bakteri mati (Tizard
2004). Secara teknis iradiasi merupakan proses sederhana yang mampu
mempertahankan sifat struktural mikroorganisme patogen tanpa menghancurkan
antigen alamiah atau suatu adjuvant intrinsik. Iradiasi dapat mengubah agen
penyakit patogen menjadi non patogen yang mampu menstimulasi sistem
kekebalan dalam tubuh (Syaifudin et al. 2008). Vaksin bakteri dilarutkan dalam
25

pelarut NaCl fisiologis. Suatu materi hidup seperti sel, bila terkena sinar gamma
akan mengalami kerusakan secara langsung atau tidak langsung. Efek langsung
adalah terjadinya pemutusan ikatan senyawa-senyawa penyusun sel. Efek tidak
langsung terjadi karena materi sel terbanyak adalah air yang apabila terkena sinar
gamma akan mengalami hidrolisis dan menghasilkan radikal bebas. Radikal bebas
yang akan menyebabkan kerusakan materi sel (Tetriana dan Sugoro 2007). Vaksin
yang diuji dalam penelitian ini memakai pelarut isotonis yang tidak mengandung
radikal bebas karena molekul air yang terpisah akibat radiasi bersifat reversible.
Adapun bakteri penantang yang digunakan adalah isolat murni S. agalactiae
patogen yang diisolasi dari kasus mastitis subklinis.
Bakteri bahan vaksin yang diberikan juga akan menimbulkan respon buluh
darah begitu diinjeksikan di intraperitoneal dan kemudian beredar secara sistemik.
Zat yang diberikan secara injeksi intraperitoneal pada hewan percobaan akan
masuk ke dalam vena sentralis melalui sel darah merah yang beredar secara
sistemik (Pratheeshkumar dan Kuttan 2010). Injeksi intraperitoneal bahan yang
mengandung produk bakteri seperti interleukin (IL)-1b, radikal bebas, nitrogen
species, dan kalsium seluler akan mengaktifkan cytokines. Adanya sitokin atau
bacterial Lipopolysaccaride (LPS) akan mengaktifkan Nitric oxide yang berperan
dalam vasodilatasi, neurotransmisi koagulasi darah dan regulasi sistem imun yang
akan memperparah respon inflamasi (Choi et al. 2009). Vasodilatasi ini
menyebabkan zat yang diinjeksi secara intraperitoneal akan beredar sistemik
melalui pembuluh darah.
Aktifitas inflamasi oleh mediator peradangan dimulai dengan dilatasi
pembuluh darah (arteriol, kapiler sampai vena) di sekitar penyebab radang atau
jaringan yang rusak. Saat dilatasi, darah yang mengalir di daerah radang menjadi
banyak dan memicu kontraksi dan retraksi sel endotel dinding kapiler yang
menimbulkan celah antar endotel (Spector dan Spector 1988). Dari celah inilah
banyak sel radang yang dapat masuk dalam jaringan sekitar radang.
Parameter selanjutnya yang diamati adalah hadirnya sel radang pada
daerah vena. Sel radang secara normal dapat ditemukan di area vena hati karena
terbawa dalam sistem sirkulasi. Namun dalam jumlah tertentu, banyaknya sel
radang akan memberikan efek negatif terhadap fungsi hati. Ditemukannya sel
26

radang selalu terkait dengan peradangan dimana sel endotel akan mengaktifkan
prostaglandin sebagai vasodilatator, cytokine sebagai media pemanggil leukosit,
dan faktor prokoagulasi (Cheville 2006). Interferon gamma (IFNγ) adalah
mediator peradangan yang penting pada kerusakan hati sebagai bagian dari
jaringan kompleks cytokine (McCullough 2006). Jenis sel radang yang ditemukan
adalah limfosit dan makrofag. Pada vaksinasi, respon awal yang terjadi adalah
munculnya antigen spesifik limfosit (Nonnecke et al. 2012). Dari hasil
perhitungan, didapatkan bahwa antara keempat kelompok memiliki perbedaan
angka jumlah sel radang yang cukup bevariasi secara statistik. Pada area vena
sentralis (tabel 2) terdapat perbedaan nyata antara jumlah sel radang kelompok K
dengan kelompok VT (p<0,05). Kelompok VT (Gambar 8) menunjukkan nilai
peradangan yang paling tinggi diperkirakan karena pada kelompok ini sudah ada
induksi vaksinasi sistemik yang menyebabkan hadirnya sitokin yang dapat
mengaktifkan sel radang. Hal ini diperkuat oleh uji tantang yang meskipun
bersifat lokal di kelenjar mamae, tetapi sitokin yang dimasukkan bersama suspensi
bakteri dapat terbawa secara sitemik sehingga merangsang hadirnya sel radang.
Vaksinasi menyebabkan sel radang menjadi sensitif, sehingga uji tantang
berpengaruh terhadap kondisi sistemik.
S. agalactiae memiliki kapsul yang tersusun dari asam sialat dan senyawa
karbohidrat lainnya yang membentuk struktur oligosakarida. Kapsul ini sebagai
salah satu faktor virulen dari S. agalactiae yang berperan dalam mencegah
fagositosis, menentukan ketahanan hidup dan mencegah proses pembunuhan
bakteri (Poeloengan 2009). Uji tantang diberikan sehari sebelum nekropsi
dilakukan, sehingga diduga masih masih ada respon akut dari jaringan yang
memicu terjadinya degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan munculnya sel
radang pada hati. Kelompok T tidak menunjukkan peningkatan jumlah sel radang
pada hati, hal ini disebabkan uji tantang yang diberikan bersifat lokal dengan cara
diteteskan pada orificum externa puting mencit dengan bakteri isolat murni S.
agalactiae. Bakteri akan dihadang oleh pertahanan lokal ambing yang terdiri dari
organ lymphoid, sistem sel T, cytotoxic spesifik limfosit T, level IgG spesifik dan
respon proliferasi dari sel mononuklear darah perifer (Tizard 2004; Prelog dan
Zimmerhackl 2010). Selain itu pada kelompok T, sel radang tidak mengalami
27

sensitisasi akibat vaksinasi, sehingga tidak terjadi respon cepat sel radang. Bakteri
S. agalactiae memiliki hemaglutinin yang merupakan faktor dalam proses adhesi,
sebagai langkah awal kolonisasi bakteri pada permukaan sel epitel ambing. Pada
penyakit yang bersifat subklinik, kemampuan menempel bakteri tampaknya lebih
penting dari pada kemampuan invasi bakteri ke dalam jaringan dalam mekanisme
infeksi, sehingga tidak dijumpai perubahan yang berarti pada jaringan ambing
maupun gejala klinis yang muncul (Wahyuni et al. 2005). Hal ini menyebabkan
jumlah sel radang kelompok T rendah karena bakteri tidak memasuki sistem
sirkulasi umum yang sampai ke hati.
Parameter toksisitas pada hati yang ketiga adalah terjadinya degenerasi
hidropis yang merupakan manifestasi akut dari kebengkakan sel karena masuknya
air ke dalam sitoplasma (Cheville 2006). Kebengkakan ini disebabkan oleh
kerusakan membran plasma yang menyebabkan kebocoran membran plasma.
Selanjutnya K+ dan enzim keluar sel, sementara Ca+, Na+, plasma protein, dan air
masuk sel (McGavin dan Zachary 2007). Kelompok VT menunjukkan jumlah sel
yang mengalami degenerasi hidropis paling tinggi meskipun tidak berbeda nyata
dengan kelompok lainnya. Hal ini dapat terjadi karena mencit kelompok VT
mendapat perlakuan dua kali. Kebengkakan dari sitoplasma sel hati
mengindikasikan terjadinya kerusakan hati secara akut maupun sub-akut.
Degenerasi pada hati dapat disebabkan oleh adanya perubahan kromosom yang
dapat diinduksi oleh toksisitas suatu agen, waktu paparan, dan interaksi agen
asing dengan protein serta enzim yang bertentangan dengan mekanisme
pertahanan sehingga dapat menyebabkan atropi dan nekrosis sel hati (Abdelhalim
dan Jarrar 2011). Kerusakan pada hati biasanya berhubungan dengan oxidative
stress dan reactive oxygen species (Moreno et al. 2008). Ketidakseimbangan
reactive oxygen species dalam proses detoksifikasi akan memicu munculnya stres
oksidatif sehingga menimbulkan degenerasi sel. Ada beberapa mekanisme seperti
efek keracunan sel secara langsung oleh hippuric atau glyoxylic acid metabolites
yang dapat merangsang terjadinya kerusakan sel (Ozcan 2007), pemicu lainnya
adalah radiasi, zat kimia berbahaya dan obat-obatan. Vaksin dan tantang yang
diberikan pada kelompok VT berpotensi mengandung agen toksisitas yang dapat
memicu ketidak seimbangan reactive oxygen species, sehingga terjadi degenerasi
28

sel hati. Degenerasi hidropis merupakan respon awal terhadap bahan-bahan yang
bersifat toksik dan merupakan kerusakan sel karena adanya toksin yang masuk
melalui membran sel sehingga mengakibatkan menurunnya produksi ATP dan
terganggunya pengaturan ion sodium-potasium (Cheville, 2006), namun
perubahan ini bersifat reversible.
Parameter terakhir yang diamati adalah degenerasi lemak dari hepatosit.
Akumulasi lemak atau trigliserida dalam sitoplasma dari hepatosit dikenal sebagai
fatty liver, fatty change, atau hepatic lipidosis. Kelainan ini adalah lesio umum
yang sering ditemukan pada hati. Kehadiran lemak tidak selalu mengindikasikan
terjadinya proses patologi. Dalam jumlah kecil lemak dapat ditemukan pada
hewan normal (Jones et al. 2006). Hepatosit sering diamati sehubungan dengan
peningkatan trigliserida pada awal injury karena banyak fungsi hati yang
berhubungan dengan metabolisme lemak. Akumulasi lemak berlebih akan
menyebabkan lipidosis dan steatosis yang merupakan dampak dari masuknya
trigliserida intraselluler di atas normal ke dalam sel. Hepatic steatosis (lipidosis
hepatik, fatty liver, degenerasi lemak) dapat ditemukan dalam banyak kondisi
fisiologi seperti adaptasi atau disfungsi patologi (Dunlop dan Malbert 2004) yang
bisa dipicu oleh pemberian vaksin dan tantang.
Penghitungan hepatosit yang mengalami degenerasi lemak pada keempat
kelompok menunjukkan hasil yang hampir seragam dan tidak berbeda nyata
(p>0,05). Degenerasi ini merupakan perubahan yang reversible dan dalam
persentase rendah sehingga tidak berbahaya pada hati atau dapat kembali normal
(McGavin dan Zachary 2007).
Berikut disajikan perbedaan gambaran histopatologis area vena sentralis
hati yang disajikan dalam Gambar 8.
29

K T a
c
c
a
20 µm 20 µm

V VT a
c
c
b
a
20 µm
20 µm
Gambar 8 Perbandingan gambaran histopatologi vena sentralis setelah dilakukan
vaksinasi dan ditantang S. agalactiae. K = kontrol ; T = tantang ; V =
vaksin ; VT = vaksin tantang, a = sel degenerasi hidropis; b = sel degenerasi
vakuol; c = sel radang. Pewarnaan HE.

Area Vena Porta


Sistem porta memiliki struktur yang unik dalam sirkulasi darah dimana
sistem pembuluh darah membawa darah dari kapiler usus menuju kapiler hati.
Vena porta membawa darah dari forestomach, glandular stomach, usus, limpa,
dan pankreas. Sistem vaskular spesial ini penting sehubungan dengan fungsi hati
sebagai organ detoksifikasi dan microbial clearance (Dunlop dan Malbert 2004).
Nutrisi seperti glukosa, asam amino, vitamin dan mineral diserap dari usus halus
dan disimpan atau dimetabolisme di hati selanjutnya dialirkan ke vena sentralis
(Colville 2002; Kanel dan Korula 1992). Apabila terdapat zat berbahaya dalam
makanan, maka area porta akan terpapar terlebih dahulu daripada area sentralis
sehingga memungkinkan degenerasi yang terjadi lebih banyak. Berbeda halnya
dengan pemberian vaksin yang masuk dalam sirkulasi darah. Pengamatan
histopatologis mengenai perubahan sel hati pada area vena porta perlu dilakukan
30

untuk membandingkan paparan vaksin berpengaruh pada area porta juga atau
hanya pada area vena sentralis saja.
Hasil pengamatan histopatologi menunjukkan adanya perubahan hepatosit
di daerah vena porta. Perubahan yang ditemukan meliputi adanya sel radang,
hepatosit mengalami degenerasi lemak dan hepatosit yang mengalami degenerasi
hidropis, sementara nekrosa tidak ditemukan. Hasil analisis statistik persentase
kelainan hepatosit dan perubahan yang terjadi pada area vena porta disajikan pada
Tabel 3.

Tabel 3 Hasil perhitungan kelainan daerah vena porta hati setelah dilakukan
vaksinasi dan uji tantang S. agalactiae
Jumlah hepatosit (persentase %)
Kelompok Normal Sel radang Degenerasi Degenerasi Nekrosa
hidropis lemak
ab a a
K 73,4±11,3 21,7±9,9 4,6±2,1 0,1±0,2a 0,0a
b a a a
T 76,4±9,8 20,1±10,8 3,0±1,3 0,4±0,8 0,0a
V 72,6±6,1ab 24,4±6,7a 6,8±2,0a 0,0a 0,0a
a a a a
VT 58,5±5,1 37,1±7,4 3,3±3,0 0,9±1,6 0,0a
Keterangan : Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
(p<0,05). K= kontrol negatif; T= kontrol positif; V= vaksin; VT= vaksin tantang.

Jumlah sel hepatosit normal hati pada area vena porta (Tabel 3)
menunjukkan perbedaan antara keempat kelompok mencit. Kelompok VT
menunjukkan jumlah sel normal yang rendah karena perlakuan yang diberikan
memicu terjadinya degenerasi, sehingga jumlah sel normal berkurang.
Jumlah sel radang pada area vena porta keempat kelompok mencit tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata akan hadirnya sel radang sehingga
berdasarkan Cheville (2006), vaksin tersebut tidak menimbulkan peradangan.
Namun tetap ada kecenderungan kelompok VT yang lebih banyak jumlah sel
radangnya akibat terkena dua kali paparan zat asing yaitu divaksin dan ditantang.
Vaksin diberikan melalui rute intraperitoneal pada mencit, proses ini mirip dengan
injeksi subkutan. Mencit dengan injeksi subkutan di dorsal midline antara skapula
akan menjadi bakterimia yang beredar di seluruh pembuluh darah post inokulasi
(Colton et al. 2011). Banyaknya sel radang yang hadir di area vena porta pada
kelompok VT karena adanya peradangan akibat dua kali perlakuan akan
mengaktifkan mediator peradangan sitokin sebagai media pemanggil leukosit
sehingga hadir sel radang di area vena hati.
31

Parameter selanjutnya yang dihitung adalah jumlah sel hati yang


mengalami degenerasi hidropis. Keempat kelompok tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata, namun cenderung tinggi pada kelompok V. Hal ini karena
metabolit vaksin yang telah dilemahkan masih sedikit bersirkulasi sistemik dan
menyebabkan lesio hati yang masih bersifat reversible.
Perubahan sel hati mengalami degenerasi lemak pada area vena porta tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata antar keempat kelompok mencit. Degenerasi
yang ditemukan juga dalam jumlah rendah serta bersifat reversible. Secara
keseluruhan, lesio pada area vena porta lebih rendah dari area vena sentralis. Hal
ini disebabkan vaksin yang diberikan berjalan melalui peredaran darah melalui
arteri hepatika. Sesaat sebelum masuk vena sentralis, darah dari arteri hepatika
akan bercampur dengan darah dari pencernaan yang melalui vena porta, kedua
darah ini bertemu di area vena sentralis. Struktur histologi vena dan arteri
berbeda. Arteri memiliki tunika media yang tebal dan membran elastis internal
serta tunika adventisia yang terdiri dari kolagen dan serat elastis, sedangkan vena
memiliki lebih sedikit otot polos dan serat elastis pada tunika media serta tunika
adventisia yang lebih tebal (Bacha dan Bacha 2000). Hal ini menyebabkan darah
dari arteri hepatika hanya menimbulkan lesio di area vena sentralis meskipun
pembuluh darah ini berjalan bersama dengan vena porta.
Berikut disajikan perbedaan gambaran histopatologis area vena porta hati
antara keempat kelompok yang disajikan dalam Gambar 9.
32

K c T c

b
a
a
20 µm 20 µm

V a
c VT
b

c
20 µm 20 µm
a
Gambar 9 Perbandingan gambaran histopatologi vena porta setelah dilakukan
vaksinasi dan ditantang S. Agalactiae. K = kontrol ; T = tantang ; V =
vaksin ; VT = vaksin tantang, a = sel degenerasi hidropis; b = sel
degenerasi vakuol; c = sel radang. Pewarnaan HE.

Secara keseluruhan, sel normal, sel radang, sel degenerasi vakuol dan sel
degenerasi hidropis yang terjadi pada sel hepatosit tidak spesifik berubah akibat
vaksin maupun tantang (perlakuan). Hal ini dapat membuktikan bahwa vaksin
iradiasi yang diberikan pada hewan coba mencit, tidak menyebabkan kelainan
hati.
Gambaran Histopatologi Organ Ginjal Mencit

Tubulus ginjal
Untuk melihat toksisistas pengaruh pemberian vaksin S. agalactiae yang
diradiasi selain pada hati juga melalui pengamatan pada ginjal. Seluruh peredaran
darah dalam tubuh akan melalui penyaringan di ginjal (Guyton 2006). Parameter
yang dapat dilihat dari patologi ginjal adalah tubulus dan glomerulus ginjal.
Semakin berbahaya suatu zat asing, maka lesio ginjal akan meningkat. Namun
lesio ginjal merupakan lanjutan dari hati karena darah akan dinetralisasi dahulu di
hati baru difiltrasi di ginjal. Apabila ginjal rusak akibat toksin yang bersirkulasi
33

melalui darah, maka hati akan mengalami kerusakan yang lebih parah. Hati
menjadi organ yang sangat potensial menderita keracunan lebih dahulu sebelum
organ lain (Santoso dan Nurliani 2006).
Hasil pengamatan menunjukkan perubahan pada sel epitel tubulus ginjal
setelah diberikan perlakuan. Terdapat perubahan sel epitel tubulus berupa
degenerasi hidropis, degenerasi lemak, degenerasi hyalin dan nekrosa. Hasil
analisis statistik persentase sel tubulus ginjal yang mengalami perubahan dapat
dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil perhitungan kelainan tubulus ginjal setelah dilakukan vaksinasi dan
ditantang S. agalactiae
Jumlah tubulus (persentase %)
Kelompok Normal Degenerasi Degenerasi Degenerasi Nekrosa
hidropis lemak hyalin
a ab a
K 92,8±2,9 2,3±2,1 0,4±0,7 0,9±1,6 a 3,3±0,0a
a b a a
T 92,6±3,0 5,0±1,5 0,0 0,0 2,3±1,7a
V 93,7±2,0a 0,9±0,6a 0,0a 1,4±2,1 a 3,8±1,1a
a b a a
VT 89,0±5,0 4,5±1,8 0,7±1.0 0,9±1 4,6±3,0a
Keterangan : Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
(p<0,05). K= kontrol negatif; T= kontrol positif; V= vaksin; VT= vaksin tantang.

Sistem tubuler ginjal meliputi tubulus kontortus proksimal, lengkung


Henle, tubulus kontortus distal yang semuanya nanti akan berakhir di duktus
kolektivus (McGavin dan Zachary 2007). Pengamatan preparat histopatologis
yang dilakukan adalah menghitung area tubulus ginjal terutama bagian tubulus
proksimal dan tubulus distal yang normal, mengalami degenerasi hidropis,
degenerasi lemak, degenerasi hyalin dan nekrosa. Pada mamalia, darah dari arteri
renalis dikirim ke afferent arteriole lalu masuk percabangan kapiler glomerulus.
Kapiler ini selanjutnya bersatu menuju efferent arteriole yang membawa darah
keluar dari glomerulus untuk kembali ke sirkulasi melalui vena renalis. Darah
yang terfiltrasi di glomerulus kemudian masuk tubulus proksimal  cabang tipis
dari lengkung Henle’s  thick ascending limb  aparatus juxtaglomerulus 
tubulus kontortus distal  connecting segment  duktus kolektivus
(Cunningham 2002). Vaksin yang diberikan secara injeksi intraperitoneal akan
masuk ke ginjal melalui siklus tersebut. Dari hasil perhitungan, diketahui bahwa
jumlah sel tubulus normal pada keempat kelompok menunjukkan nilai yang tidak
berbeda nyata (p<0,05), namun cenderung lebih rendah pada kelompok VT. Nilai
34

tubulus normal kelompok VT yang rendah disebabkan mencit terpapar dua kali
perlakuan yaitu di vaksin dan ditantang. Jumlah tubulus normal yang tinggi pada
kelompok V menunjukkan bahwa vaksin yang diberikan tidak memberikan efek
toksik sehingga tidak menyebabkan lesio pada sel tubulus normal ginjal. Hal ini
disebabkan vaksin yang berasal dari mikroba dilemahkan (attenuated) telah
berkurang faktor virulennya sehingga tidak lagi menyebabkan penyakit (Tizard
2004).
Jumlah sel degenerasi hidropis pada tubulus ginjal menunjukkan
peningkatan pada kelompok T dan VT, serta berbeda nyata (p<0,05) dengan
kelompok V. Keadaan ini menjelaskan bahwa vaksin (kelompok V) yang
digunakan tidak berpotensi menyebabkan lesio degenerasi hidropis pada sel tubuli
ginjal seperti yang terjadi pada kelompok K. Adapun tingginya nilai degenerasi
hidropis pada VT dan T dapat disebabkan karena mencit terdepres imunitasnya
akibat tantang yang diberikan. Bakteri penantang yang telah dimetabolisme di hati
akan mengalami filtrasi di ginjal sehingga mempengaruhi terjadinya degenerasi
pada tubulus ginjal kedua kelompok ini.
Degenerasi hidropis merupakan perubahan umum yang sering terjadi
akibat adanya luka. Hal ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan ukuran dan
volume sel oleh air karena kegagalan sel dalam mempertahankan homeostasis dan
meregulasi pengeluaran cairan. Mekanisme pembengkakan sel pada kondisi akut
biasanya akan menyebabkan kerusakan membran sel, kegagalan memproduksi
energi, atau kerusakan enzim yang meregulasi ion channels dari membran.
Kebengkakan sel merupakan respon terhadap gangguan homeostasis sel sebagai
efek sekunder akibat respon mekanik, hypoxic, toxic, radikal bebas, viral,
bacterial, dan kerusakan imun (McGavin dan Zachary 2007). Degenerasi hidropis
tubuler tadi jika terus berlanjut akan diikuti vasokonstriksi arteriol glomerulus,
lalu menyebabkan iskemik, diikuti dengan nekrosis tubulus (Prakoso 2008).
Kondisi degenerasi hidropis ini merupakan perubahan yang reversible apalagi
dalam persentase yang cukup kecil, sehingga tidak terlalu berbahaya bagi ginjal.
Beberapa bakteri yang digunakan dalam vaksin memiliki kemampuan
untuk melindungi diri dari enzim lysososom maupun makrofag. Mekanisme yang
dapat terjadi pada sel antara lain bakteri dapat masuk dalam sitoplasma , bakteri
35

dapat mencegah terjadinya fusi antara lysosom dan phagosome, serta bakteri
resisten terhadap enzim lysosomal. Beberapa hal tersebut dapat menyebabkan
terjadinya kerusakan intraseluler (Tizard 2004). Kerusakan yang mungkin terjadi
adalah degenerasi vakuol sel tubulus ginjal. Akumulasi lemak atau trigliserida
dalam sitoplasma dari sel dikenal degenerasi lemak (Jones et al. 2006).
Degenerasi vakuol pada tubulus tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada
keempat kelompok mencit, namun terlihat peningkatan yang lebih tinggi pada
kelompok VT. Hal ini wajar terjadi karena mencit mengalami dua kali perlakuan.
Seperti halnya degenerasi hidropis, degenerasi vakuol dalam jumlah yang relatif
rendah merupakan perubahan sel yang reversible sehingga tidak memberikan efek
negatif terhadap ginjal.
Degenerasi hyalin pada tubulus biasanya menunjukkan adanya material
protein dalam sel yang diserap dari filtrat glomerulus yang melewati tubulus. Hal
ini dapat mengindikasikan terjadinya kelainan ekskresi protein yang diserap oleh
tubulus. Secara mikroskopik, sel epitel tubulus akan tampak seperti granul
eosinophilik yang terang. Di dalam lumen, materi albumin ini akan nampak
seperti presipitat terang yang berwarna merah muda (Smith et al.1975). Penyakit
pada glomerulus akan merusak filtration barrier dan menurunkan kemampuan
permeabilitas selektif terhadap protein. Glomerulus menjadi meningkat
permeabilitasnya terhadap protein plasma yang lebih besar. Protein ini akan
melewati filtration barrier dan tidak secara penuh diserap oleh tubulus sehingga
diekskresikan dalam urin (proteinuria). Tubular proteinuria biasanya berhubungan
dengan penyakit ginjal akut (keracunan dan hipoksia) namun dapat juga bersifat
kongenital (Stockham dan Scott 2008). Keempat kelompok mencit menunjukkan
nilai degenerasi hyalin yang tidak berbeda nyata, dengan standard deviasi yang
tinggi. Hal ini disebakan tingginya variasi individu. Faktor penyebab antara lain
adalah defisiensi oksigen, agen fisik, agen infeksius, ketidakseimbangan nutrisi,
kelainan genetik, beban kerja yang berlebihan, disfungsi imunologi, bahan kimia,
obat-obatan dan toksin (McGavin dan Zachary 2007). Faktor-faktor tersebut akan
mempengaruhi kondisi mencit selama penelitian karena mencit yang digunakan
bukanlah mencit SPF (Spesific Pathogen Free), sehingga mencit mungkin telah
terpapar infeksi sebelum diadaptasi.
36

Sel nekrosa yang dihitung adalah berdasarkan terjadinya piknosis pada inti
sel tubulus ginjal. Piknosis yaitu keadaan dimana nukleus mengecil, gelap,
homogen, dan bulat. Piknosis merupakan lanjutan dari penggumpalan kromatin
pada awal degenerasi dan biasanya terjadi pada nekrosa tubulus distal ginjal
(McGavin dan Zachary 2007). Kelompok VT memperlihatkan angka sel piknosis
yang lebih tinggi. Hal ini wajar terjadi, karena secara fisiologis sel memang
memang mengalami pergantian atau kematian. Saat sel normal yang mengalami
signal stres, radiasi, kerusakan DNA, dan deplesi oksigen, sel dapat beristirahat
atau mengalami program cell death (apoptosis) atau keduanya. Protein PS3 yang
merupakan tumor supressor sering muncul bila ada variasi eksogen/endogen
signal kerusakan DNA akibat radiasi sinar γ, radiasi sinar Ultra Violet, bahan
kimia dan stress oksidasi (Cunningham 2002). Secara keseluruhan nekrosa yang
terjadi tidak berbeda nyata pada keempat kelompok mencit. Gambaran tubulus
ginjal disajikan dalam Gambar 10.

K d T b

a a
20 µm 20 µm

V b VT a
a T b

c
20 µm 20 µm

Gambar 10 Perbandingan gambaran histopatologi tubulus.K = kontrol ; T =


tantang ; V = vaksin ; VT = vaksin tantang, a = sel degenerasi
hidropis; b = sel piknosis; c = sel degenerasi vakuol; d = sel
degenerasi hyalin. Pewarnaan HE.
37

Glomerulus ginjal
Hasil percobaan menunjukkan adanya perubahan pada daerah glomerulus
ginjal berupa hadirnya sel radang dan perubahan ukuran kapsula dan glomerulus.
Hasil analisis statistik persentase lesio disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Hasil perhitungan kelainan glomerulus ginjal setelah dilakukan vaksinasi


dan ditantang S. agalactiae
Kelompok Jarak kapsula- Jumlah sel radang Luas glomerulus
glomerulus
K 2,7±0,2a 3,2±1,2b 518,9±98,3a
T 2,5±0,4a 3,5±0,6b 580,8±274,8a
a ab
V 2,6±0,5 2,3±0,6 468,8±70,1a
VT 2,6±0,4a 1,7±0,2a 875,8±223,3a
Keterangan : Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
(p<0,05). K= kontrol negatif; T= kontrol positif; V= vaksin; VT= vaksin tantang.

Area diantara glomerulus dan kapsula Bowman’s disebut sebagai


Bowman’s space dan merupakan tempat pengumpulan filtrat glomerulus yang
selanjutnya akan disalurkan pada segmen pertama dari tubulus proksimal ginjal
(Cunningham 2002). Semakin meluasnya Bowman’s space, maka semakin banyak
filtrat yang masuk dalam tubulus proksimal. Namun hal ini dapat pula
mengindikasikan terjadinya atropi glomerulus yang dapat membahayakan tubuh.
Hasil perhitungan menunjukkan tidak adanya perubahan yang signifikan secara
statistik pada Bowman’s space kelompok K, T, V, dan VT. Hal ini menunjukkan
bahwa vaksin tidak bersifat toksik terhadap ginjal.
Struktur kapiler glomerulus berfungsi dalam filtrasi glomerulus. Dinding
dari Glomerular filtration barrier ini terdiri dari capillary endotelial cell,
glomerular basement membran, dan glomerular epitelial sel (podosit) (Bacha dan
Bacha 2000; Cunningham 2002). Banyaknya pembuluh darah yang mengisi
glomerulus memungkinkan banyak ditemukan sel radang dalam glomerulus baik
yang bersifat normal sebagai pertahanan lokal, maupun karena disfungsi patologi.
Jumlah sel radang yang dapat dihitung pada area glomerulus ginjal menunjukkan
perbedaan yang nyata antara VT dengan K. Kelompok VT memperlihatkan
jumlah sel radang yang lebih sedikit daripada ketiga kelompok lainnya, sedang K
tidak berbeda nyata dengan kelompok V dan T. Paparan faktor eksternal sangat
mungkin menyebabkan variasi ini. Apabila dalam penelitian digunakan mencit
SPF maka kemungkinan bias akan semakin kecil. Perubahan yang terjadi secara
38

morfologi pada glomerulus ginjal adalah nekrosis, proliferasi dari sel glomerulus
dan kapsula Bowman’s, infiltrasi leukosit dan penurunan fungsi vaskular
perfusion atau peningkatan vaskular permeability (McGavin dan Zachary 2007)
yang secara histopatologi dapat dilihat dari peningkatan luasan Bowman’s space.
Kelompok VT menunjukkan nilai luas glomerulus yang paling tinggi. Hal
ini dapat disebabkan dilatasi pembuluh darah yang aktif akibat peningkatan
aktifitas tubuh. Namun tidak ada perbedaan yang nyata antara keempat kelompok.
Glomerular capillary tuft atau glomerular rete adalah jaringan dari cabang dan
anastomose kapiler (Eurell dan Frappier 2006). Jaringan ini disuport oleh
mesangial matrix yang disekresikan oleh sel mesangial. Sel mesangial
mengekskresikan prostaglandin, cytokin, inflamasi mediator, sintesis colagen dan
mesangial matrix serta memiliki fungsi fagositik (McGavin dan Zachary 2007).
Semakin banyak agen yang beredar dalam darah, maka kinerja ginjal akan
semakin berat. Endotelial sel akan mengalami hipertropi sehingga glomerulus
ginjal tampak meluas. Hal inilah yang menyebabkan kelompok VT memiliki area
glomerulus yang paling luas karena mencit kelompok ini terpapar dua agen yaitu
vaksin S. agalactiae yang diradiasi dan tantang S. agalactiae patogen. Kerusakan
primer glomerulus biasa muncul sebagai akibat dari deposisi imun kompleks,
terjadinya thromboemboli dan bakteri emboli, virus, atau infeksi bakteri pada
komponen glomerulus(McGavin dan Zachary 2007).
Berikut disajikan perbedaan gambaran histopatologis area glomerulus
ginjal. Gambaran area glomerulus disajikan dalam Gambar 11.
39

K T
a

a
b
20 µm 20 µm

V VT
a
a

20 µm 20 µm

Gambar 11 Perbandingan gambaran histopatologi glomerulus. K = kontrol ; T =


tantang ; V = vaksin ; VT = vaksin tantang, a = sel radang, b = jarak
kapsula-glomerulus. Pewarnaan HE.

Secara keseluruhan, vaksin yang diberikan tidak berdampak buruk pada


organ ginjal yang dapat diamati secara histopatologis dari area tubulus dan
glomerulus ginjal. Kelompok V tidak menunjukkan perbadaan yang nyata dalam
jumlah sel degenerasi, sel nekrosa nekrosa, sel radang dan perluasan glomerulus
ginjal dengan kelompok K. Hal ini membuktikan bahwa vaksin iradiasi S.
agalactiae yang digunakan dalam penelitian tidak bersifat toksik pada ginjal
mencit.
PENUTUP

Simpulan

Vaksin S. agalactiae yang diradiasi tidak menyebabkan perubahan


patologi permanen organ hati dan ginjal, sehingga aman digunakan. Efek vaksin
S. agalactiae yang diradiasi menyebabkan perubahan patologis sel hati dan ginjal
berupa degenerasi hidropis dan degenerasi lemak yang reversible.

Saran

Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang toksisitas vaksin iradiasi S.


agalactiae menggunakan mencit SPF (Spesific Pathogen Free).
41

DAFTAR PUSTAKA
Abdelhalim MAK, Jarrar BM. 2011. Gold nanoparticles induced cloudy swelling
to hydropic degeneration, cytoplasmic hyaline vacuolation, polymorphism,
binucleation, karyopyknosis, karyolysis, karyorrhexis and necrosis in the
liver. Lipids in Health and Disease 10:166.
Ahsan N, Cheung JY. 2003. Pathogenesis and molecular mechanisms of chronic
allograft nephropathy. Renal Fibrosis 139:187–204.
Anonim. 2012. Liver rat-hystology slide. [terhubung berkala]. http:www.histology
world.com. (20 April 2012).
Anonim. 2011. Bakteri Gram (+) Dan Bakteri Gram (-). [terhubung berkala].
http://www.dephicamunis.com. (17 Januari 2012).
Bacha WJ, Bacha LM. 2000. Color Atlas of Veterinary Histology. Ed Ke-2. USA:
Lippincott William and Wilkins. hlm 115.
Blowey RW and Edmondson P. 2010. Mastitis Control in Dairy Herds. Ed Ke-2.
UK : CABI. hlm 6;35.
Cheville NF. 2006. Introduction to Veterinary Pathology. Ed Ke-3. USA:
Blackwell Publishing. hlm 1;23.
Choi SE et al. 2009. Effect of topical application and intraperitoneal injection of
oregonin on atopic dermatitis in nc ⁄nga mice. Experimental Dermatology,
19, e37–e43.
Colville T, Bassert JM. 2002. Clinical Anatomy and Physiology for Veterinery
Technician. USA : Mosby Inc. hlm 252.
Colton L, Zeidner N, Kosoy MY. 2011. Experimental infection of swiss webster
mice with four rat bartonella strains: host specificity, bacteremia kinetics,
dose dependent response, and histopathology. Comparative Immunology,
Microbiology and Infectious Diseases 34: 465– 473.
Cummings B. 2004. Liver Hystology. [terhubung berkala]. http://www.as.miami.
edu. [20 April 2012].
Cunningham. 2002. Texbook of Veterinary Physiology. Ed Ke-3. USA: WB
Saunders Company. hlm 31; 298; 431-432 ; 513.
Dijk JE, Gruys E, Mouwen JMVM. 2007. Color Atlas for Veterinary Pathology.
Second edition. Philadelphia: WB Saunders Company. hlm 44; 59-61.
42

Dunlop RH; Malbert CH. 2004. Veterinary Pathophysiology. Ed Ke-1. USA:


Blackwell Publishing. hlm 371.
Eurell JA, Frappier BL. 2006. Textbook of Veterinary Histology. Ed Ke-2. USA:
Balcwell publishing. hlm 200.
Fox SI. 2004. Human Physiology. Ed Ke-8. New york: McGraw-hill. hlm 575.
Ganong WF. 1995. Buku Ajar Fisisologi Kedokteran. Ed ke-2 . Petrus Andrianto,
penerjemah . Jakarta: EGC. hlm 50.
Guyton AC. 2006. Textbook of Medical Physiology. Ed ke-8. Philadelphia and
London: WB Saunders Company. hlmn 769;903.
Hall EJ. 1994. Radiobiology for Radiobiologist. Philadelphia: Lippincott Williams
and Walkin. hlm 73.
Hook, R.H., Green, T.J. and Stuart, M.K. 2003. Rheumatoid factor-like igm in
Plasmodium berghei (Apicomplexa haemosporida) infections of Balb /C
mice. Folia parasitologica 50: 176-182.
Jones TC, Hunt RD, King NW. 2006. Veterinary Pathology. Ed Ke-6. USA:
Blackwell Publishing. hlm 1092.
Kanel GC, Korula. 1992. Atlas of Liver Pathology. Philadelphia: WB Saunders.
hlm 3-5.
Kemp WL, Burns DK, Grown TG. 2008. The Big Picture Pathology. USA: The
McGraw-Hill Companies, Inc. hlm 16-17;274.
Kompas. 2009. HKTI: Harusnya Bea Masuk Impor Susu 50 Persen. [terhubung
berkala]. http://www.Kompas.com (16 Juni 2009).
Lukman DW, Sudarwanto M, Sanjaya AW, Purnawarman T, Latif H, Soejono
RR. 2009. Higiene Pangan. Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner,
Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet, Fakultas kedokteran
Hewan IPB. hlm 37-47.
Lennan GT, Cheng. 2011. Atlas of Genitourinary Pathology. London: Springer.
hlm 30.
Maksum R. 2010. Imunologi dan Virologi. Jakarta: PT ISFI Penerbitan. hlm 57-
58.
43

McCullough CT,Tura BJ,Harrison DJ. 2006. Growth factor attenuation of IFNγ-


mediated hepatocyte apoptosis requires p21waf1. International Journal
Experimental Pathology 87: 275–281.
McGavin MD, Zachary JF. 2007. Pathology Basis of Veterinary Disease. Fourth
edition. Missouri: Mosby Elsevier. hlm 10-20; 10-20; 614; 359.
Mendis KN. 1991. Malaria Vaccines Research. In Malaria: waiting for the
vaccine, Ed. Targett GAT. England: John Wiley& Sons. hlm 13.
Moreno MG, Rivera AR, Gordillo KR et al. 2008. Trolox down-regulates
transforming growth factor-β and prevents experimental cirrhosis. Basic and
Clinical Pharmacology and Toxicology 103: 476–481.
Mori K, Kawamura K, Honda M, Sasaki N. 2009. Responses in children to
measles vaccination associated with perirenal transplantation. Pediatrics
International 51: 617–620.
Nonnecke BJ, Waters WR,Goff JP, Foote MR. 2012. Adaptive immunity in the
colostrum-deprived calf: response to early vaccination with mycobacterium
bovis strain bacille calmette guerin and ovalbumin. Journal of Dairy Science
95 :221–239.
Ozcan K, Ozen H, Karaman M. 2007. Nitrosative tissue damage and apoptotic
cell death in kidneys and livers of naturally ethylene glycol (antifreeze)-
poisoned geese. Avian Pathology 36(4): 325-329.
Poeloengan M. 2009. Aktivitas Air Perasan Dan Ekstrak Etanol Daun Encok
Terhadap Bakteri Yang Diisolasi Dari Sapi Mastitis Subklinis. Seminar
nasional teknologi peternakan dan veteriner. hlm 300.
Prakoso RB. 2008. Pengaruh pemberian ekstrak kunyit (Curcuma domestica )
terhadap gambaran mikroskopis ginjal mencit balb/c yang diberi
parasetamol [skripsi]. Semarang : Universitas Diponegoro.
Pratheeshkumar P, Kuttan G. 2010. Protective role of vernonia cinerea l. Against
gamma radiation_induced immunosupression and oxidative stress in mice.
Human and Experimental Toxicology 30(8): 1022–1038.
Prelog M, Zimmerhackl LB. 2010. Varicella vaccination in pediatric kidney and
liver transplantation. Pediatric Transplantation 14: 41–47.
44

Riantama RI. 2008. Kajian patologi uji khasiat buah merah (pandanus conoideus)
sebagai hepatoprotektor. [Skripsi] Bogor : IPB.
Samuelson Don A. 2007. Textbook of Veterinary Histology. Missouri: Saunders
Elsevier. hlm 230.
Santoso HB, Nurliani A. 2006. Efek doksisiklin selama masa organogenesis pada
struktur histologi organ hati dan ginjal fetus mencit. Bioscientiae 3(1): 15-
27.
Smith HA, Jones TC, Hunt RD. 1975. Veterinary Pathology. Ed ke-4.
Philadelphia: Lea & Febringer. hlm 44.
Sudarwanto, M. 1999. Usaha Peningkatan Produksi Susu Melalui Program
Pengendalian Mastitis Subklinis. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu
Kesehatan Masyarakat Veteriner; Bogor 22 Mei 1999.
Stockham SL, Scott MA. 2008. Fundamentals of Veterinary Clinical Pathology.
Ed ke-2. USA: Blackwell Publishing. hlm: 458.
Syaifudin M, Nurhayati S, Tetriana D. 2008. Pengembangan vaksin malaria
dengan radiasi pengion. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II
2008; Universitas Lampung, 17-18 November 2008. hlm 98-112.
Tetriana D, Sugoro I. 2007. Aplikasi teknik nuklir dalam bidang vaksin. Buletin
Alara: Volume 9 Nomor 1&2, 1 – 4.
Tizard IR. 2004. Veterinary Imunology an Introduction. Ed Ke-7. USA: Elsevier.
hlm 265; 236-242; 274.
Uniprot 2012. Species Streptococcus agalactiae. [terhubung berkala].
http://www.uniprot.org/taxonomy/1311. (23 Mei 2012)
Wahyuni AETH, Wibawan TIW, Wibowo MH. 2005. Karakterisasi hemaglutinin
streptococcus agalactiae dan staphylococcus aureus penyebab mastitis
subklinis pada sapi perah. Journal Sains Veteriner 23 : 2.
Wibawan IT, Laemmler CH. 1990. Properties of Group B Streptococci with
protein surface Antigen X and R. Journal Clinical Microbiology 28:2834-
2836.
45

LAMPIRAN
46

Lampiran Pengolahan data

1 Vena sentralis
Descriptives
95% Confidence
Interval for Mean
Std. Lower Upper Minim Maxi
N Mean Deviation Std. Error Bound Bound um mum
selnormal Control 3 78.9000 6.31744 3.64737 63.2066 94.5934 73.90 86.00
Tantang 3 73.1333 7.30776 4.21914 54.9799 91.2868 68.00 81.50
Vaksin 3 73.7667 6.18897 3.57320 58.3924 89.1409 68.80 80.70
vaksin
3 60.6333 3.28075 1.89414 52.4835 68.7832 58.40 64.40
tantang
Total 12 71.6083 8.66849 2.50238 66.1006 77.1160 58.40 86.00
selradang Control 3 15.7000 4.07308 2.35160 5.5819 25.8181 11.90 20.00
Tantang 3 23.8333 8.28573 4.78377 3.2504 44.4162 14.30 29.30
Vaksin 3 23.3333 7.44468 4.29819 4.8397 41.8270 14.80 28.50
vaksin
3 33.2333 1.35031 .77960 29.8790 36.5877 31.90 34.60
tantang
Total 12 24.0250 8.25074 2.38178 18.7827 29.2673 11.90 34.60
Degenerasihi Control 3 4.8667 2.75015 1.58780 -1.9651 11.6984 2.10 7.60
dropis Tantang 3 3.0000 .98489 .56862 .5534 5.4466 2.20 4.10
Vaksin 3 2.5667 1.43643 .82932 -1.0016 6.1350 1.50 4.20
vaksin
3 5.4667 1.70392 .98376 1.2339 9.6994 3.70 7.10
tantang
Total 12 3.9750 2.01951 .58298 2.6919 5.2581 1.50 7.60
Degenerasile Control 3 .3000 .26458 .15275 -.3572 .9572 .00 .50
mak tantang 3 .0000 .00000 .00000 .0000 .0000 .00 .00
vaksin 3 .3333 .35119 .20276 -.5391 1.2057 .00 .70
vaksin
3 .7333 1.27017 .73333 -2.4219 3.8886 .00 2.20
tantang
Total 12 .3417 .63455 .18318 -.0615 .7448 .00 2.20

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.


selnormal Between Groups 541.809 3 180.603 5.074 .029
Within Groups 284.760 8 35.595
Total 826.569 11
selradang Between Groups 463.842 3 154.614 4.340 .043
Within Groups 284.980 8 35.622
Total 748.822 11
degenerasihidropis Between Groups 17.862 3 5.954 1.764 .232
Within Groups 27.000 8 3.375
Total 44.862 11
degenerasilemak Between Groups .816 3 .272 .602 .632
Within Groups 3.613 8 .452
47

Descriptives
95% Confidence
Interval for Mean
Std. Lower Upper Minim Maxi
N Mean Deviation Std. Error Bound Bound um mum
selnormal Control 3 78.9000 6.31744 3.64737 63.2066 94.5934 73.90 86.00
Tantang 3 73.1333 7.30776 4.21914 54.9799 91.2868 68.00 81.50
Vaksin 3 73.7667 6.18897 3.57320 58.3924 89.1409 68.80 80.70
vaksin
3 60.6333 3.28075 1.89414 52.4835 68.7832 58.40 64.40
tantang
Total 12 71.6083 8.66849 2.50238 66.1006 77.1160 58.40 86.00
selradang Control 3 15.7000 4.07308 2.35160 5.5819 25.8181 11.90 20.00
Tantang 3 23.8333 8.28573 4.78377 3.2504 44.4162 14.30 29.30
Vaksin 3 23.3333 7.44468 4.29819 4.8397 41.8270 14.80 28.50
vaksin
3 33.2333 1.35031 .77960 29.8790 36.5877 31.90 34.60
tantang
Total 12 24.0250 8.25074 2.38178 18.7827 29.2673 11.90 34.60
Degenerasihi Control 3 4.8667 2.75015 1.58780 -1.9651 11.6984 2.10 7.60
dropis Tantang 3 3.0000 .98489 .56862 .5534 5.4466 2.20 4.10
Vaksin 3 2.5667 1.43643 .82932 -1.0016 6.1350 1.50 4.20
vaksin
3 5.4667 1.70392 .98376 1.2339 9.6994 3.70 7.10
tantang
Total 12 3.9750 2.01951 .58298 2.6919 5.2581 1.50 7.60
Degenerasile Control 3 .3000 .26458 .15275 -.3572 .9572 .00 .50
mak tantang 3 .0000 .00000 .00000 .0000 .0000 .00 .00
vaksin 3 .3333 .35119 .20276 -.5391 1.2057 .00 .70
vaksin
3 .7333 1.27017 .73333 -2.4219 3.8886 .00 2.20
tantang
Total 4.429 11
Selnormal
Duncan
Subset for alpha = 0.05
Kelompok N 1 2
vaksin tantang 3 60.6333
tantang 3 73.1333
vaksin 3 73.7667
kontrol 3 78.9000
Sig. 1.000 .289
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Selradang
Duncan
Subset for alpha = 0.05
Kelompok N 1 2
Control 3 15.7000
Vaksin 3 23.3333 23.3333
Tantang 3 23.8333 23.8333
48

vaksin tantang 3 33.2333


Sig. .148 .087
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Degenerasihidropis
Duncan
Subset for alpha = 0.05
Kelompok N 1
Vaksin 3 2.5667
Tantang 3 3.0000
Control 3 4.8667
vaksin tantang 3 5.4667
Sig. .107
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Degenerasilemak
Duncan
Subset for alpha = 0.05
Kelompok N 1
Tantang 3 .0000
Control 3 .3000
Vaksin 3 .3333
vaksin tantang 3 .7333
Sig. .244
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

2 Vena Porta
Descriptives
95% Confidence
Interval for Mean
Std. Lower Upper Mini Maxi
N Mean Deviation Std. Error Bound Bound mum mum
selnormal kontrol 3 73.4333 11.37776 6.56895 45.1694 101.6972 62.90 85.50
tantang 3 76.4000 9.87877 5.70351 51.8598 100.9402 65.10 83.40
Vaksin 3 72.6667 6.12318 3.53522 57.4558 87.8775 65.60 76.40
vaksin
3 58.5667 5.10327 2.94637 45.8894 71.2439 52.90 62.80
tantang
Total 12 70.2667 10.23384 2.95426 63.7644 76.7689 52.90 85.50
selradang kontrol 3 21.7667 9.95707 5.74872 -2.9681 46.5014 10.70 30.00
tantang 3 20.1333 10.81311 6.24295 -6.7279 46.9946 13.30 32.60
Vaksin 3 24.4667 6.76782 3.90740 7.6545 41.2789 19.20 32.10
vaksin
3 37.1000 7.47262 4.31432 18.5370 55.6630 30.30 45.10
tantang
Total 12 25.8667 10.30845 2.97579 19.3170 32.4163 10.70 45.10
degenerasi kontrol 3 4.6667 2.13620 1.23333 -.6399 9.9733 3.10 7.10
hidropis tantang 3 3.0000 1.38924 .80208 -.4511 6.4511 2.10 4.60
Vaksin 3 2.8667 1.72143 .99387 -1.4096 7.1429 1.50 4.80
vaksin
3 3.3333 3.02875 1.74865 -4.1905 10.8572 1.20 6.80
tantang
49

Total 12 3.4667 1.98555 .57318 2.2051 4.7282 1.20 7.10


degenerasi kontrol 3 .1333 .23094 .13333 -.4404 .7070 .00 .40
lemak tantang 3 .4667 .80829 .46667 -1.5412 2.4746 .00 1.40
Vaksin 3 .0000 .00000 .00000 .0000 .0000 .00 .00
vaksin
3 .9667 1.67432 .96667 -3.1926 5.1259 .00 2.90
tantang
Total 12 .3917 .88878 .25657 -.1730 .9564 .00 2.90
ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.


Selnormal Between Groups 570.887 3 190.296 2.620 .123
Within Groups 581.160 8 72.645
Total 1152.047 11
Selradang Between Groups 533.487 3 177.829 2.239 .161
Within Groups 635.420 8 79.428
Total 1168.907 11
Degenerasihidropis Between Groups 6.107 3 2.036 .437 .733
Within Groups 37.260 8 4.658
Total 43.367 11
Degenerasilemak Between Groups 1.669 3 .556 .634 .614
Within Groups 7.020 8 .878
Total 8.689 11
Selnormal
Duncan
Subset for alpha = 0.05
Kelompok N 1 2
vaksin tantang 3 58.5667
vaksin 3 72.6667 72.6667
kontrol 3 73.4333 73.4333
tantang 3 76.4000
Sig. .075 .621
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Selradang
Duncan
Subset for alpha = 0.05
Kelompok N 1
Tantang 3 20.1333
Control 3 21.7667
Vaksin 3 24.4667
vaksin tantang 3 37.1000
Sig. .060
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Degenerasihidropis
Duncan
50

Subset for alpha = 0.05


Kelompok N 1
Vaksin 3 2.8667
Tantang 3 3.0000
vaksin tantang 3 3.3333
Control 3 4.6667
Sig. .364
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Degenerasilemak
Duncan
Subset for alpha = 0.05
Kelompok N 1
Vaksin 3 .0000
Control 3 .1333
Tantang 3 .4667
vaksin tantang 3 .9667
Sig. .268
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

3 Tubulus
Descriptives
95% Confidence
Interval for Mean
Std. Std. Lower Upper
N Mean Deviation Error Bound Bound Minimum Maximum
selnekrosa kontrol 3 3.3700 .07550 .04359 3.1825 3.5575 3.29 3.44
tantang 3 2.3433 1.76874 1.02118 -2.0505 6.7371 .91 4.32
vaksin 3 3.5400 1.50622 .86962 -.2017 7.2817 2.00 5.01
vaksin 12.291
3 4.6200 3.08832 1.78304 -3.0518 1.85 7.95
tantang 8
Total 12 3.4683 1.85132 .53443 2.2921 4.6446 .91 7.95
degenerasilemak kontrol 3 .4167 .72169 .41667 -1.3761 2.2094 .00 1.25
tantang 3 .0000 .00000 .00000 .0000 .0000 .00 .00
vaksin 3 .0000 .00000 .00000 .0000 .0000 .00 .00
vaksin
3 .7767 1.00371 .57949 -1.7167 3.2700 .00 1.91
tantang
Total 12 .2983 .62660 .18089 -.0998 .6965 .00 1.91
degenerasihidro kontrol 3 2.3600 2.09716 1.21080 -2.8496 7.5696 .00 4.01
pis tantang 3 5.0100 1.54165 .89007 1.1803 8.8397 3.23 5.92
vaksin 3 .9467 .69429 .40085 -.7780 2.6714 .45 1.74
vaksin
3 4.5333 1.82692 1.05477 -.0050 9.0717 2.66 6.31
tantang
Total 12 3.2125 2.20944 .63781 1.8087 4.6163 .00 6.31
degenerasihyalin kontrol 3 .9633 1.66854 .96333 -3.1816 5.1082 .00 2.89
tantang 3 .0000 .00000 .00000 .0000 .0000 .00 .00
vaksin 3 .0000 .00000 .00000 .0000 .0000 .00 .00
51

vaksin
3 1.4533 2.13940 1.23518 -3.8612 6.7679 .00 3.91
tantang
Total 12 .6042 1.33016 .38398 -.2410 1.4493 .00 3.91
selnormal kontrol 92.890 100.25
3 2.96560 1.71219 85.5230 89.65 95.47
0 70
tantang 92.650 100.24
3 3.05838 1.76576 85.0526 89.77 95.86
0 74
vaksin 93.790 98.812
3 2.02191 1.16735 88.7673 91.55 95.48
0 7
vaksin 89.080 101.65
3 5.06166 2.92235 76.5061 83.60 93.58
tantang 0 39
Total 92.102 94.323
12 3.49575 1.00914 89.8814 83.60 95.86
5 6
ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.


selnekrosa Between Groups 7.820 3 2.607 .698 .579
Within Groups 29.881 8 3.735
Total 37.701 11
degenerasilemak Between Groups 1.262 3 .421 1.101 .403
Within Groups 3.057 8 .382
Total 4.319 11
degenerasihidropis Between Groups 32.509 3 10.836 4.091 .049
Within Groups 21.189 8 2.649
Total 53.698 11
degenerasihyalin Between Groups 4.740 3 1.580 .859 .501
Within Groups 14.722 8 1.840
Total 19.462 11
selnormal Between Groups 38.709 3 12.903 1.078 .411
Within Groups 95.714 8 11.964
Total 134.423 11
Selnekrosa
Duncan
Subset for alpha = 0.05
Kelompok N 1
tantang 3 2.3433
kontrol 3 3.3700
vaksin 3 3.5400
vaksin tantang 3 4.6200
Sig. .212
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Degenerasilemak
Duncan
Subset for alpha = 0.05
Kelompok N 1
Tantang 3 .0000
52

Vaksin 3 .0000
Control 3 .4167
vaksin tantang 3 .7767
Sig. .186
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Degenerasihidropis
Duncan
Subset for alpha = 0.05
Kelompok N 1 2
vaksin 3 .9467
kontrol 3 2.3600 2.3600
vaksin tantang 3 4.5333
Tantang 3 5.0100
Sig. .319 .092
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Degenerasihyalin
Duncan
Subset for alpha = 0.05
Kelompok N 1
Tantang 3 .0000
Vaksin 3 .0000
Control 3 .9633
vaksin tantang 3 1.4533
Sig. .252
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

4 Glomerulus
Descriptives
95% Confidence
Interval for Mean
Std. Std. Lower Upper Minimu Maximu
N Mean Deviation Error Bound Bound m m
jarak Control 2.7520 .16502
3 .285832 2.04195 3.46205 2.432 2.982
KG 0 5
Vaksin 2.6013 .31193
3 .540286 1.25919 3.94348 2.092 3.168
3 4
vaksin 2.6553 .24877
3 .430894 1.58493 3.72573 2.166 2.978
tantang 3 7
tantang tidak 2.5886 .26331
3 .456072 1.45572 3.72161 2.086 2.976
vaksin 7 3
Total 2.6493 .10955
12 .379502 2.40821 2.89046 2.086 3.168
3 3
selrad Control 6.4666 1.6825
3 2.914332 -.77294 13.70627 3.200 8.800
ang 7 91
Vaksin 4.5333 .43716
3 .757188 2.65237 6.41429 4.000 5.400
3 3
53

vaksin 2.5333 .43716


3 .757188 .65237 4.41429 2.000 3.400
tantang 3 3
tantang tidak 6.6666 .56960
3 .986577 4.21587 9.11746 6.000 7.800
vaksin 7 0
Total 5.0500 .64485
12 2.233831 3.63069 6.46931 2.000 8.800
0 1
selrad Control 3.2543 .69494
3 1.203684 .26422 6.24445 2.000 4.400
angG 3 8
Vaksin 2.3030 .34948
3 .605332 .79927 3.80673 1.909 3.000
0 9
vaksin 1.7163 .14503
3 .251214 1.09228 2.34038 1.428 1.888
tantang 3 8
tantang tidak 3.5450 .37252
3 .645233 1.94215 5.14785 3.100 4.285
vaksin 0 5
Total 2.7046 .28905
12 1.001305 2.06847 3.34087 1.428 4.400
7 2
luasG Control 9.8458 84.32639 4.8685 775.1016 1194.0583
3 908.036 1074.974
0E2 5 87E1 2 8
Vaksin 9.4124 203.9036 1.1772 434.7172 1447.7667
3 788.036 1172.676
2E2 47 38E2 6 4
vaksin 1.2506 181.9491 1.0504 798.6378 1702.6115
3 1040.602 1360.470
tantang 2E3 91 84E2 2 1
tantang tidak 1.0327 190.2983 1.0986 560.0547 1505.5092
3 888.588 1248.474
vaksin 8E3 35 88E2 3 7
Total 1.0523 192.0969 5.5453 930.2545 1174.3597
12 788.036 1360.470
1E3 72 62E1 7 6
jmlG Control 1.9333 .17638
3 .305505 1.17442 2.69225 1.600 2.200
3 3
Vaksin 2.0000 .11547
3 .200000 1.50317 2.49683 1.800 2.200
0 0
vaksin 1.4666 .17638
3 .305505 .70775 2.22558 1.200 1.800
tantang 7 3
tantang tidak 1.9333 .29059
3 .503322 .68301 3.18366 1.400 2.400
vaksin 3 3
Total 1.8333 .10683
12 .370094 1.59819 2.06848 1.200 2.400
3 7
ANOVA
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
jarakKG Between Groups .050 3 .017 .086 .966
Within Groups 1.535 8 .192
Total 1.584 11
Selradang Between Groups 33.663 3 11.221 4.229 .046
Within Groups 21.227 8 2.653
Total 54.890 11
selradangG Between Groups 6.439 3 2.146 3.742 .060
Within Groups 4.589 8 .574
Total 11.029 11
54

luasG Between Groups 169900.510 3 56633.503 1.920 .205


Within Groups 236013.205 8 29501.651
Total 405913.715 11
jmlG Between Groups .547 3 .182 1.519 .283
Within Groups .960 8 .120
Total 1.507 11
jarakKG
Duncan
Subset for alpha
= 0.05
Kelompok N 1
tantang tidak vaksin 3 2.58867
Vaksin 3 2.60133
vaksin tantang 3 2.65533
Control 3 2.75200
Sig. .677
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Selradang
Duncan
Subset for alpha = 0.05
Kelompok N 1 2
vaksin tantang 3 2.53333
Vaksin 3 4.53333 4.53333
Control 3 6.46667
tantang tidak vaksin 3 6.66667
Sig. .171 .162
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
selradangG
Duncan
Subset for alpha = 0.05
Kelompok N 1 2
vaksin tantang 3 1.71633
Vaksin 3 2.30300 2.30300
Control 3 3.25433
tantang tidak vaksin 3 3.54500
Sig. .371 .090
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
luasG
Duncan
Subset for alpha
= 0.05
Kelompok N 1
Vaksin 3 941.24200
Control 3 984.58000
55

tantang tidak vaksin 3 1032.78200


vaksin tantang 3 1250.62467
Sig. .072
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
jmlG
Duncan
Subset for alpha
= 0.05
Kelompok N 1
vaksin tantang 3 1.46667
Control 3 1.93333
tantang tidak vaksin 3 1.93333
Vaksin 3 2.00000
Sig. .114
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Você também pode gostar