Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
yang benar
abahude
Tue, 12 Dec 2006 17:54:05 -0800
Kenapa yang pertama itu diajukan Pengertian Iman Secara Umum ? sebab
istilah iman ini merupakan istilah kunci (strategis) didalam study
Al-Qur'an. Jika istilah iman ini tidak terpecahkan maka tidak akan
memahami semua istilah didalam Al-Qur'an. Dan jika istilah iman itu
diartikan salah maka tidak ada jaminan yang lainnya itu akan benar.
Kita akan membagi pembahasan ini sebagai berikut:
1. Arti Kata Iman.
2. Ruang Lingkup Iman
1
3. Nilai dan Harga Iman
4. Definisi Iman
5. Sejarah Iman.
Yang dimaksud Arti Kata adalah pemecahan bentuk kata menjadi bentuk
kata yang lain atau hubungan satu bentuk kata dengan kata yang lain.
Sehingga Arti Kata Iman adalah pemecahan bentuk kata Iman sebagai
kata dasar menjadi berbagai bentuk kata yang lain. Sehingga kita
akan menemukan di dalam Al-Qur'an kata-kata : aamana , yu minu , ii
maanan, yang merupakan hasil pemecahan dari bentuk kata Iman.
Terjemahan umum dari kata-kata tersebut adalah:
aamana = telah / sudah ber-iman.
yu minu = sedang / akan / lagi ber-iman.
iimanan = Iman
mu minu = yang ber-iman.
Didalam memberikan definisi tentang perkataan Iman ini menurut yang
ada sama dengan Percaya atau menurut Arab sama dengan : 'aqdun bil
qolbi faqath . Sedangkan Iman berdasarkan Al-Qur'an, seperti
dijelaskan oleh hadits:
Al iimaanu 'aqdun bil qolbi wa ikraarun bil lisani wa 'amalu bil
arkan.
Artinya : Iman adalah tanggapan hati (proses menanggapi) kemudian
dinyatakan dalam lisan (proses pernyataan diri/sikap) dan menjelma
kedalam seluruh laku perbuatan (proses pembuktian dalam hidup). Atau
dengan kata lain Iman adalah tambatan hati yang menggema ke dalam
seluruh ucapan dan laku perbuatan.
Dengan arti perkataan Iman berdasarkan hadits tersebut di
atas sebenarnya sudah sekaligus memberikan Ruang Lingkup Iman.
2
3. Nilai dan Harga Iman
3
dan bersikap menurut ajaran Idealisme (Jibti) dan Naturalisme
(Thagut) dan mereka berkata kepada yang bersikap negative terhadap
ajaran Allah ms Rasul (hidup atas pilihan Dzulumat ms Syayatin)
bahwa: dibanding dengan mereka yang hidup berpandangan dan bersikap
dengan ajaran Allah ms Rasul-Nya, mereka memiliki system kehidupan
yang lebih ilmiah adanya".
Ajaran Bathil itu terdiri dari ajaran Jibti (Idealisme) dan Thagut
(Naturalisme).
4. Definisi Iman.
4
Senin, 10 Agustus 2009
ASPEK IMAN
Pengertian Iman
Dari segi bahasa kata ‘Iman’ ( )إيمانitu mempunyai akar kata yang sama dengan ‘Aman’ (
)أمان. Artinya jika seseorang beriman kepada sesuatu (seseorang) maka ia akan berharap
memperoleh rasa aman dari yang diimaninya itu. Seperti ia merasa was-was membawa
atau menyimpan uang di rumah, kemudian ia memutuskan ‘beriman’ (memberikan
kepercayaan) kepada sebuah Bank untuk mengamankannya.
Dalam kehidupan kita, sering kita memberikan sikap percaya kepada pihak lain untuk
menangani masalah yang tidak sanggup kita lakukan. Pada saat kita naik bis, sebenarnya
kita sudah beriman (percaya) kepada supir untuk membawa kita kepada tempat yang kita
tuju. Sedangkan apapun resiko perjalanan, seperti menghindari macet, kondisi mesin,
cuaca, dsb. kita percayakan kepada supir untuk mengaturnya.
Banyak aspek kehidupan yang mengandung wilayah spekulasi, remang-remang,
ketidaktahuan, harapan rugi-untung, telah dilakukan kebanyakan orang. Karena segala
sesuatu itu memiliki resiko untung atau rugi, bisa salah atau benar, dan seterusnya.1
Demikianlah tinjauan pengertian kata iman, dalam konteks yang umum.
Dalam Al-Quran-pun ternyata pengertian iman tidak hanya diorientasikan kepada
keimanan kepada Allah saja, namun ada juga disinggung ‘keimanan kepada berhala’.
Artinya konsep keimanan itu tidak hanya berlaku kepada nilai-nilai yang positif tapi juga
dapat digunakan pada nilai-nilai negatif.
Al-Quran juga banyak menyebutkan bahwa keimanan itu tidak hanya ditujukan kepada
Allah saja, tetapi tetapi juga menyangkut keimanan kepada Utusan-Nya. Hal ini
menunjukkan aspek keimanan dalam pelaksanaannya bukan ditujukan mutlak kepada
Sang Khaliq, tetapi juga kepada ‘Petugas-petugas-Nya’ dalam Birokrasi Ilahiyyah.
Secara kualitatif nilai keimanan itu ada 2 (dua), yakni keimanan yang benar dan salah.
Keimanan yang benar bisa terjadi 2 (dua) kemungkinan pula, jika yang diimani itu benar
atau salah. Sebagai contoh dari birokrasi insaniah, adalah kalau kita iman (percaya) pada
calo tenaga kerja yang tidak mendapatkan letigimasi formal perizinan dari pihak
berwenang, berarti kita mempercayai sesuatu yang salah walaupun kita sungguh-sungguh
mempercayainya.
Pada dasarnya dalam kehidupan ini manusia membangun iman dalam berbagai aspek
kehidupan. Berbagai iklan-iklan, informasi, bahkan pengetahuan dari berbagai urusan
produk barang, politik, budaya dan ideologi, menunjukkan bahwa setiap manusia ingin
membangun keimanan dan kepercayaan masyarakat luas pada dirinya.
Ada keimanan atas kehidupan dunia, dan keimanan atas kehidupan akhirat. Namun
keimanan yang realistis benar adalah dengan Yang Ghaib, yu’minuuna bil ghoib, bukan
bersifat lahir. Keimanan yang tidak benarlah yang sangat sulit menerima keberadaan
Birokrasi Ilahiyyah, seolah-olah mereka mampu membebaskan diri dari Birokrasi
Ilahiyyah. Mereka merasa merdeka, padahal hanya khayalan belaka. Kemerdekaan
mereka dibelit oleh kebodohan dan rasa puas, serta manipulasi psikologis lainnya.2
5
Al-Qur’an banyak mengungkapkan ayat-ayat yang menyebutkan masalah keimanan di
antaranya Yaa ayyuhal ladziina aamanuu... (wahai orang-orang yang beriman!) Seolah-
olah Allah mengajak manusia untuk menaruh kepercayaannya kepada Sang Khaliq.
Walau Zat Allah Yang Sempurna tidak membutuhkan siapapun dari makhluk ciptaan-
Nya itu.
Demikian kuat dominasi istilah keimanan dalam kehidupan beragama mengakibatkan
orang-orang menyepakati ini sebagai masalah kebenaran. Padahal keimanan itu ada dua
yaitu keimanan yang benar dan salah.
Masalah keimanan ini bukan saja masalah ubudiyah tapi juga masalah duniawi. Semua
orang yang bekerja harus mempunyai keimanan bahwa dari pekerjaannya itu akan
menghasilkan keuntungan. Jika orang tidak mempunyai keimanan bahwa pekerjaannya
akan menghasilkan keuntungan, maka orang tidak akan mengerjakan pekerjaannya.
Orang yang akan bertanding yang peluangnya 50%-50% maka mereka harus beriman
akan kemenangan, karena jika tidak maka tidak ada pertandingan. Kalau mereka tidak
beriman pada keimanan maka tidak ada pertandingan, dan salah satu pihak akan
menyerah sebelum bertanding. Maka dengan demikian keimanan itu berada pada semua
aspek dan urusan kehidupan.
Iman itu bersifat relatif, bisa benar dan salah. Maka keuntungan akan diperoleh pada
iman yang benar, dan kerugian akan diperoleh pada keimanan yang salah. Dalam urusan
ukhrawi dan ubudiyah akan mendapatkan jalan yang lurus jika keimanannya benar,
sedangkan jika keimanannya salah maka akan menempuh jalan yang sesat. Dalam
masalah keimanan menjalankan ibadah orang boleh saja khusyu’ dan menangis. Tapi
tangisan itu bukan hanya klaim orang-orang yang menangis di masjid, tapi juga terjadi
pada orang-orang yang beribadah di gereja, kuil, bahkan orang-orang Yahudi harus
menangis di tembok ratapan. Bukan juga urusan peribadahan agama, tapi juga dalam
urusan duniawi. Suporter sepakbola dapat menangis karena terlalu merasakan
kegembiraan dan kekhusyu-an pada tim kesayangannya jika tim kesayangannya itu
menang dalam pertandingan. Begitu pula dalam kekalahan timnya, mereka dapat
menangis karena merasa kalah dan meratapi kekalahan tim kesayangannya itu. Jadi
masalah keimanan dan kekhusyuan itu adalah masalah keyakinan yang relatif.
Di sinilah kita memerlukan kebenaran dalam agama, konsep dan kepemimpinannya
untuk melimpahkan rasa keimanan dengan hakiki. Allah berfirman dalam Surat An-
Nisaa’ ayat 125:
-124 :ل النسآء
ً خِلْي
َ خَذ ال ِإْبَراِهْيَم
َ حِنْيًفاقلى َواّت
َ ن َواّتَبَع ِمّلَة ِإْبَراِهْيَم
ٌسِح
ْ جَهه ل َوُهَو ُم
ْ سَلَم َو
ْ ن َأ
ْ ن ِدْيًنا ّمّم
ُس
َحْ ن َأ
ْ َوَم
125
Waman ahsanu diinam mimman aslama wajhahuu lillaahi wahuwa muhsinuw wattaba’a
millata ibroohiima haniifaa, wattakhodzalloohu ibroohiima kholiilaa
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang menyerahkan dirinya
kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim
yang lurus. Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.”
Siapa yang lebih baik agamanya, sistemnya, metodenya, tharikatnya, caranya, dari orang-
orang yang menyerahkan diri kepada Allah?
Jika sudah sampai kepada pemahaman Birokrasi Ilahiyyah dan masuk di dalamnya, maka
hal yang penting adalah ketundukan dan penyerahan diri dalam menghadap kepada Allah.
Maqam ini lebih tinggi dari keimanan atau amal. Keimanan dan amal masih bersifat
relatif, kedua hal itu bisa berorientasi pada keduniawian dan dirinya. Keimanan dan amal
6
masih bisa menolak kewajiban dan larangan dari Allah SWT, sedangkan ketundukan dan
penyerahan diri tidak mengenal kata relatif. Ketundukan tidak menolak kewajiban dan
larangan dari Allah SWT. Dalam ketundukan dan penyerahan diri tersimpulkan ibadah
total kepada Allah SWT.