Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Solidarity.bloggaul.com
DIRGAHAYU KONVENSI HAK ANAK
Oleh : Milton Napitupulu, Sth
Sesuai dengan prinsip-prinsip yang dinyatakan dalam Piagam PBB, pengakuan atas martabat yang
melekat dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut yang dimiliki oleh seluruh anggota keluarga
manusia merupakan landasan dari kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di seluruh dunia.
( Mukadimah Konvensi Hak Anak ).
PBB dalam Deklarasi Sedunia tentang Hak-hak Azasi Manusia, dan dalam perjanjian-perjanjian
Internasionanl Hak-hak azasi Manusia telah menyatakan dan menyetujui bahwa setiap orang berhak
atas seluruh hak dan kemerdekaan yang dinyatakan di dalamnnya, tampa perbedaan dalam bentuk
apapun seperti perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik dan
pandangan lain, asal usul bahasa dan sosial, harta kekayaan, kelahiran dan status lain.
Manusia sejak dalam kandungan ( Sebelum kelahiran ) sudah mempunyai hak untuk hidup serta
memperolah pemeliharaan dan bantuan khusus. Selanjutnya manusia sesudah kelahirannya ( Masa
kanak-kanaknya ) hendaknya tumbuh kembang dalam suatu lingkungan yang bahagia, penuh kasih
sayang dan pengertian. Keluarga sebagai lingkungan yang alami bagi pertumbuhan anak, hendaknya
diberi perlindungan dan bantuan yang diperlukan sehingga keluarga mampu mengemban tanggung
jawabnya dalam masyarakat.
Mengingat perlunya perluasan pelayanan khususnya bagi anak telah dinyatakan dalam Deklarasi
Jenewa tentang Hak-Hak azasi Anak tahun 1924 dan dalam Deklarasi Hak-Hak Anak yang disetujui
Majelis Umum PBB pada Tahun 1959 dan diakui dalam Deklarasi Hak-Hak azasi Manusia sedunia,
dalam Perjanjian Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik ( Khususnya Pasal 23 dan 24 ), dalam
perjanjian Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi sosial dan Budaya ( khususnya pasal 10 ) dan
dalam ketentuan-ketentuan dan instrumen-instrumen terkait dari badan-badan khusus dan organisasi
internasional yang berkepentingan dengan kesejahteraan anak. artinya, ”anak karena ketidak matangan
jasmani dan mentalnya, memerlukan pengalaman dan pemeliharaan khusus termasuk perlindungan
hukum yang layak, sebelum dan sesudah kelahiran ” ( Mukadimah Konvensi Hak Anak )
20 November tahun 1989 merupakan hari bersejarah bagi anak-anak di seluruh dunia karena pada hari
itulah PBB mengesahkan Convention on The Righst of The Children ( Konvensi Hak Anak ). Indonesia
merupakan salah satu negara peserta, yang ikut meratifikasi Konvensi Hak anak melalui Keputusan
Presiden Tahun 1990 tepatnya tanggal 25 Agustus Tahun 1990. ratifikasi inilah awal komitmen
Indonesia terhadap Konvensi Hak anak. Selanjutnya komitmen diperkuat dengan diterbitkannya UU
N0. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak yang disahkan di Jakarta tanggal 22 Oktober 2002. UU
N0. 23 tahun 2002 merupakan upaya harmonisasi hukum dari konvensi PBB tentang hak anak. ( United
Nation Convention on The Rights of The Child ). Di sebut demikian karena dapat dilihat seluruh
prinsip-prinsip umum ( general principles ) dari konvensi PBB tentang hak anak telah diserap ke
prinsip-prinsip dasar UU N0. 23 tahun 2002. UU N0. 23 tahun 2002 juga mengacu kepada sejumlah
ketentuan hukum nasional yakni UU. N0. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, UU N0. 3 tahun
1997 tentang pengadilan anak, UU N0. 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat, UU N0. 39 tahun 1999
tentang Hak Azasi Manusia. ( Muhammad Joni ).
Disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa pada tanggal 20 Nopember 1989
Mukadimah
www.kontras.org
Mohammad Farid
SAMIN
PO Box 1230, Yogyakarta 55012
Phone/Fax: (0274) 377 691
Email: samin@yogya.wasantara.net.id
Definisi Anak
Sebelum sampai pada pokok bahasan utama, perlu diketengahkan pemahaman yang seksama tentang
apa yang dimaksud dengan anak, guna menghindari kesalah-pahaman perseptual menyangkut definisi
anak.
Untuk tujuan ini, perlu diketengahkan dua perspektif utama yang mempengaruhi pandangan terhadap
anak:
Anak sebagai fenomena biologis (dan psikologis)
Anak sebagai fenomena sosial (dan legal).
Sebagai fenomena biologis (dan psikologis), anak dipersepsikan sebagai manusia yang masih berada
dalam tahap perkembangan yang belum mencapai tingkat yang utuh. Kondisi fisik, organ reproduktif,
kemampuan motorik, kemampuan mental dan psiko-sosialnya dianggap masih belum selesai. Sebagai
fenomena sosial (dan legal), anak, karena tingkat perkembangan mental dan psikososialnya, dianggap
tidak mempunyai kapasitas untuk melakukan tindak sosial (dan legal) tertentu.
Memahami anak dari perspektif biologis (dan psikologis), kategori anak biasa di sub-klasifikasikan
kedalam beberapa tingkat perkembangan seperti masa bayi, balita, kanak-kanak, remaja awal, remaja
akhir, dst. Namun sebagai fenomena sosial (dan legal), sub-klasifikasi seperti itu tidak dikenal. Dalam
perspektif legal, anak merupakan satu fenomena tunggal. Dalam hal ini anak hanya dipertentangkan
dengan orang dewasa yang dianggap sudah sepenuhnya mampu melakukan tindakan (legal) tertentu.
Perbedaan antara anak dan orang dewasa biasanya dipatok dengan batas umur tertentu. Batas umur
tersebut bisa berbeda-beda bergantung pada jenis tindakan yang dilakukan. Misalnya untuk dianggap
mempunyai kapasitas melakukan suatu tindak kejahatan ditetapkan suatu batas umur yang mungkin
berbeda dengan batas umur yang ditetapkan untuk melakukan perkawinan, dst.
Bagi tenaga pendamping anak, baik pendekatan biologis maupun pendekatan yang berdasarkan pada
perspektif sosial (dan legal) kiranya perlu dilakukan secara bersamaan. Namun begitu, perlu diingat
bahwa keduanya harus ditempatkan pada proporsi masing-masing.
Untuk kegiatan pengembangan kapasitas (fisik, mental, sosial, moral dll), merupakan suatu tuntutan
mutlak untuk memperhitungkan tingkat-tingkat perkembangan biologis (dan psikologis) pada tahapan
umur yang berbeda. Perbedaan karakter perkembangan pada tingkat umur tertentu, telah dijelaskan
oleh semua ahli perkembangan (fisik dan psiko-sosial), menuntut respons yang berbeda karena
kebutuhan yang berbeda. Balita umpamanya, mempunyai kebutuhan menu (dan perhatian psikologis)
yang berbeda dari kebutuhan menu (dan psikologis) anak yang berada pada tingkat perkembangan
remaja-awal. Hal ini kiranya tidak perlu dijelaskan lebih jauh.
Namun untuk kegiatan yang berhubungan dengan kebijakan, maka yang diperlukan ialah pendekatan
dengan perspektif sosial (dan legal). Sebagai konsekuensinya, disagregat bahan-bahan yang dibutuhkan
untuk tujuan yang mengarah pada (advokasi) kebijakan tidak perlu dikacaukan dengan disgregasi
berdasarkan sub-klasifikasi yang diperlukan untuk pendekatan biologis (dan psikologis). Misalnya
untuk isyu buruh anak atau eksploitasi seksual terhadap anak, kita hanya perlu melihat anak sebagai
suatu fenomena tunggal: dari batas umur tertentu ke bawah?tanpa perlu memperhitungkan apakah ia
seorang balita atau remaja, dst.
Dalam hal penetapan batas umur ini, Indonesia mempunyai tiga masalah utama:
Pertama, penetapan batas umur dalam sistim legislasi nasional sangat tidak komprehensif. Batas umur
hanya ditetapkan untuk beberapa hal saja. Tidak ada penetapan legal secara eksplisit atas batas umur
untuk, antara lain, konsumsi alkohol, akses pada pelayanan medis tanpa didampingi orangtua/wali,
rekrutmen dalam angkatan bersenjata, kematangan seksual, dst.
Tanpa batas umur legal untuk mengkonsumsi alkohol, secara teknis semua warung penjual minuman
keras boleh melayani pembeli bahkan jika umurnya masih 5 atau 6 tahun. Tanpa batas umur legal untuk
akses pelayanan kesehatan tanpa didampingi orangtua/wali, secara teknis seorang anak bisa memberi
persetujuan atau ketidak-setujuan sendiri atas tawaran treatment medis dari seorang dokter, walaupun
umurnya masih 10 atau 11 tahun, dst. Tanpa batas umur legal bagi rekrutmen kedalam angkatan
bersenjata, secara teknis seorang anak walaupun umurnya baru 12 tahun boleh direkrut kedalam dinas
militer dan disuruh berperang. Tanpa batas umur legal kedewasaan seksual, seorang anak bahkan jika
umurnya masih 3.5 atau 7 tahun, dianggap bisa melakukan perzinahan atas dasar suka-sama-suka.
Dengan kata lain, kita tidak bisa memberikan perlindungan legal secara definitif dan oleh karena itu
sebenarnya kita cukup biadab.
Kedua, kekacauan standar batas umur. Batas umur kematangan seksual misalnya. Tanpa ketentuan
eksplisit menyangkut batas umur ini, beberapa ketentuan yang paling relevan yang ada sangat
bervariasi. Dalam KUHP, batas umur yang relevan ditetapkan secara ganda antara 12 dan 15 tahun
(yang efektif adalah 12 tahun), sementara dalam UU Perkawinan, batas yang relevan menunjuk pada
umur 16 tahun (pr.) dan 19 tahun (lk). Dalam variasi seperti ini, jikapun kelak ditetapkan satu batas
eksplisit menyangkut kematangan seksual, potensi terjadinya kekacauan konseptual masih akan
berlanjut. Kekacauan terang-terangan terdapat pada batas umur legal untuk terlibat dalam pekerjaan.
Stbl. 1925 mematok batas umur 12 tahun, UU Perburuhan (1951) mematok umur 14 tahun, Permenaker
(Jaman Menaker Sudomo) melegalisir buruh anak, dan UU Ketenagakerjaan (1997) mematok umur 15
tahun. Sementara ketiga peraturan terdahulu masih sama-sama berlaku, kekacauan baru diciptakan lagi
dalam UU 1997 ? dimana ketentuan batas umur 15 tahun (pasal 95) secara efektif dianulir oleh
ketentuan berikutnya (pasal 96).
Ketiga, diskrepansi yang terlalu besar antara batas umur untuk berbagai tindakan yang berbeda. Sejauh
pengetahuan penulis, batas terendah ditetapkan untuk tanggugjawab kriminal, yakni 8 tahun. Batas
umur kematangan seksual (implisit) menurut KUHP 12 tahun, batas umur legal untuk bekerja (UU
1951) 14 tahun, batas umur untuk memilih dalam pemilu 17 tahun, batas umur untuk bertindak perdata
(BW) 21 tahun. Jadi, batas umur yang disebut ?anak? dalam sistim hukum di Indonesia bervariasi
antara 8 hingga 21 tahun. Jarak definisi ini terlalu lebar dan karenanya membingungkan.
Karena kekacauan definisi dalam penetapan batas umur, maka penulis cenderung menggunakan batas
umur sebagaimana ditetapkan oleh KHA?kecuali untuk masalah tertentu dimana batas umur anak telah
ditetapkan dalam perundangan nasional?yakni mereka yang umurnya di bawah 18 tahun
Anak Jalanan
Sebelum masa krisis, diperkirakan ada sekitar 50.000 anak jalanan di Indonesia. Tapi figur ini
mengandung masalah karena secara resmi, istilah ?anak jalanan? di Indonesia tidak dikenal. Hingga
sebelum dilikuidasi, Depsos masih menggunakan istilah resmi ?anak terlantar?. Selain itu, figur
tersebut tidak merinci secara tegas anak jalanan kategori yang mana yang termasuk dalam perkiraan.
Setelah masa krisis, jumlah anak jalanan ditengarai meningkat, tapi tak seorangpun pernah
mengemukakan dugaan tentang besarannya. Yang jelas, fenomena anak jalanan setelah masa krisis
sangat nyata bisa dilihat di kota-kota besar maupun kota-kota kecil. Daerah-daerah di perkotaan yang
semula ?bersih? dari anak jalanan, setelah krisis tiba-tiba dipenuhi oleh anak jalanan: peminta-minta,
jual koran, ngamen, lap-mobil, dagang asongan, dst. Peningkatan ini, tanpa perlu penjelasan, diyakini
berhubungan dengan krisis ekonomi.
Seiring dengan meningkatnya jumlah anak jalanan selama masa krisis, respons terhadap masalah anak
jalanan juga meningkat. Depsos dan badan-badan moneter internasional ikut terlibat dalam penanganan
anak jalanan (walaupun sebelumnya Depsos tidak pernah secara resmi menggunakan istilah ?anak
jalanan?). Corak respons begini mengandung kelemahan mendasar. Banyak indikasi yang mengarah
pada kesimpulan bahwa respons bersifat emergency, tidak programatis, miskin data dan tidak
didasarkan pada penghormatan terhadap profesionalisme. Banyak keluhan menyangkut proyek-proyek
yang diselenggarakan dibawah kewenangan Depsos, termasuk indikasi kroniisme dalam perolehan sub-
kontrak.
Berbagai NGO yang sudah sejak lama bekerja dengan isyu anak jalanan (dan isyu anak lainnya),
terlepas dari segala kekurangan dan kelemahan masing-masing, tidak pernah diajak terlibat dalam
perencanaan maupun implementasi program. Pengetahuan NGO sama sekali diabaikan dalam program
berskala besar ini.
Sifat respons demikian, selain mencerminkan ketiadaan kebijakan yang programatis, juga mengabaikan
prinsip-prinsip KHA dan sebagai konsekuensinya, menimbulkan pertanyaan dasar: apakah ia
merespons secara sungguh-sungguh kebutuhan dan kepentingan terbaik anak? Apakah ia melibatkan
partisipasi anak?
Konvensi Hak Anak, sebagai instrumen yuridis, secara umum mengklasifikasikan anak sebagai suatu
fenomena legal (sosial) dan karenanya pendefisian anak dalam KHA tidak mengenal sub-klasifikasi
seperti disinggung di bagian awal tulisan ini. Namun begitu, perlu dicatat bahwa dalam beberapa aspek
tertentu, KHA selalu memberikan rujukan proporsional pada perspektif biologis (dan psikologis)
dengan kalimat seperti ?sesuai umur dan tingkat perkembangan anak?.
Dalam KHA, anak jalanan tidak disebut secara eksplisit. Namun masalah anak jalanan bisa di-address
dengan berbagai ketentuan yang ada dalam KHA. Lebih dari itu, KHA bisa digunakan untuk meng-
address berbagai isyu kebijakan yang berkaitan baik langsung maupun tidak langsung dengan masalah
anak jalanan.
Untuk bisa menggunakan KHA baik demi merespons langsung kebutuhan mereka maupun untuk
advokasi kebijakan yang berkaitan dengan isyu anak jalanan, perlu diketahui kerangka KHA secara
umum, sebagai berikut:
Mengapa KHA?
Karena kita terikat (secara yuridis & politis) dengan ketentuan-ketentuan KHA, sebab Indonesia telah
meratifikasi KHA (melalui Keppres 36/1990). Dengan begitu maka kita (c/q Negara) berkewajiban
memenuhi semua ketentuan yang ada dalam KHA.
Namun begitu, perlu dicatat adanya dua hambatan besar dalam realisasi KHA (dan upaya advokasi) di
Indonesia: Pertama, karena ?deklarasi? yang dibuat oleh pemerintah RI pada waktu meratifikasi
sebenarnya bersifat ?reservasi?. Dan lebih celaka lagi, alinea ke dua dari ?deklarasi? tersebut
merupakan suatu ?sweeping reservation? yang dapat memblokir semua upaya kearah pemenuhan hak
anak sesuai ketentuan Konvensi. Kedua, ratifikasi dilakukan dengan Keputusan Presiden yang dalam
hirarkhi perundang-undangan yang ada, berada 4 level dibawah Undang-Undang.
Sehubungan dengan dua hambatan besar tersebut, perlu dilakukan tekanan publik agar pemerintah
meningkatkan status instrumen ratifikasi dari Keppres menjadi UU, dan menuntut agar ?reservasi?
yang terkandung dalam ?deklarasi? supaya dicabut.
Untuk bisa menggunakan KHA sebagai kerangka kerja dalam kita merespons masalah anak jalanan,
baik respons pelayanan langsung maupun yang berupa advokasi kebijakan, perlu dikenal secara garis
besar mengenai mekanisme dan isi KHA.
Untuk tujuan memberikan pelayanan langsung kepada anak-anak jalanan, sebagaimana kepada anak-
anak lainnya, perlu dilihat Ketentuan substantif yang berisi hak-hak anak, sebagai berikut;
Hal pertama yang perlu dipertimbangkan adalah menyangkut definisi anak. Sebagaimana telah
disampaikan di awal tulisan, definisi anak dalam KHA ialah mereka yang umurnya kurang dari 18
tahun. Namun dalam kaitan dengan kegiatan tertentu (anak jalanan sebagai fenomena buruh anak, atau
dalam aktifitas seksualnya, perlu dilihat juga definisi yang ada dalam perundangan nasional kita.
Hal kedua ialah Prinsip-prinsip Umum, yang meliputi (1) Non-diskriminasi, (2) Yang terbaik bagi anak,
(3) Hak anak atas kelangsungan hidup dan perkembangan, (4) partisipasi anak.
Pertanyaannya jika kita berkiprah dalam program pelayanan anak jalanan jika dikaitkan dengan
keempat prinsip KHA ialah:
Apakah program kita (sengaja atau tidak, misal karena disain atau karena pengalokasian anggaran,
meng-exclude kelompok anak tertentu?
Apakah program kita dirancang untuk kepentingan terbaik anak atau untuk kepentingan lain?
Apakah program kita dilandasi dengan semangat demi kelangsungan hidup dan perkembangan anak?
Apakah program kita melibatkan anak baik di tingkat perencanaan, implementasi maupun evaluasi?
Tentang bagaimana mengaplikasikan isi KHA dalam strategi pelayanan, akan menjadi tugas kita
bersama selama workshop.
Selanjutnya untuk kebutuhan advokasi, kita perlu memahami mekanisme KHA, sebagai berikut.
Mekanisme KHA:
Jika suatu negara meratifikasi KHA, maka negara bersangkutan wajib mengimplementasikan
ketentuan-ketentuan dalam KHA (kecuali ketentuan yang direservasi). Dengan demikian kita bisa
menuntut, dengan lobby atau tekanan publik atau kombinasi diantaranya, kepada pemerintah agar ia
melakukan semua kewajiban yang telah disepakatinya sendiri.
Jika upaya di tingkat nasional tersebut kurang membawa hasil yang efektif, kita bisa melakukan
advokasi melalui tingkat internasional. Dalam mekanisme KHA, negara yang telah meratifikasi KHA
wajib membuat laporan tertulis kepada (SekJen) PBB, dan laporan tersebut akan dievaluasi oleh
Komite Hak Anak PBB. (Laporan akan mengikuti alur pengelompokan seperti di bawah nanti). Hingga
saat ini, KHA merupakan satu-satunya instrumen internasional di bidang hak asasi yang memberikan
pengakuan eksplisit terhadap kompetensi badan-badan internasional seperti ILO, UNICEF, WHO,
UNESCO, dan NGO (LSM) tingkat lokal maupun nasional untuk memberikan masukan kepada
Komite.
Dengan mekanisme ini, ada banyak informasi menyangkut status implementasi KHA yang bisa
disalurkan kepada PBB agar menjadi perhatian bagi Komite Hak Anak untuk dievaluasi. Tentu saja
informasi yang dikomunikasikan harus memenuhi standar PBB. Dengan mekanisme ini, keengganan
pemerintah untuk memenuhi kewajibannya akan bisa diekspose ke tingkat internasional guna
mendapatkan bobot tekanan yang lebih besar. Namun perlu diingat bahwa bekerja dengan mekanisme
PBB hendaknya jangan sampai membuat kita menjadi ?mabuk? dan menyibukkan diri dengan
prosesnya. Tujuan akhir dari setiap advokasi harus tetap mengarah kepada perubahan kebijakan agar
tercapai kondisi yang lebih baik (bagi anak jalanan khususnya maupun anak-anak pada umumnya).
Yogyakarta, 12/11/99
www.mitrawacanawrc.com