Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PENDAHULUAN
Seiring dengan kemajuan zaman dan teknologi yang semakin pesat, secara
otomatis menuntut adanya penyesuaian-penyesuaian atau pembaharuan (inovasi)
dalam bidang pendidikan. Pendidikan tidak cukup lagi diselenggarakan secara
tradisional, berjalan apa adanya tanpa adanya target yang jelas dan tidak adanya
prosedur pencapaian target yang terbukti efektif dan efesien. Apabila kita tetap
mempertahankan cara-cara tradisional tanpa mengadakan perubahan sama sekali,
maka jelaslah umat Islam dan pendidikan Islam akan semakin jauh teringgal
dalam segala aspek. Untuk itulah perlu adanya inovasi dalam pendidikan Islam
agarterlahir pendidikan Islam yang berkualitas.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
kepada kreativiti wujud. Kreativiti dalam pemikiran adalah dituntut tanpa
menolak faktor syara’. Berfikir reflektif adalah suatu keperluan kerena perubahan
hari ini dan hari depan berasaskan cerminan masa lalu supaya wujud
kesinambungan antara yang lepas dengan hari ini. Apa yang berlaku pada masa
lalu memberikan kita landasan tradisi yang baik. Keupayaan umat Islam
mengimbangi faktor perubahan zaman ialah kebijaksanaan menjembatani faktor
tradisi yang baik dan cemerlang dengan faktor perubahan kini yang tidak lari dari
kerangka fitrah.
3
1. Paradigma Formisme
Di dalam paradigma ini, aspek kehidupan dipandang sangat sederhana, dan
kata kuncinya adalah dekotomi atau diskrit. Segala sesuatu hanya dilihat dari dua
sisi yang berlawanan, seperti laki-laki dan perempuan, ada dan tidak ada, bulat
dan tidak bulat, madrasah dah non madrasah, pendidikan keagamaan dan
nonkeagamaan atau pendidikan agama dan pendidikan umum, demikian
seterusnya.
Padangan yang dikotomis tersebut pada giliran selanjutnya dikembangkan
dalam melihat dan memandang aspek kehidupan dunia dan akhirat, kehidupan
jasmani dan rohani sehingga pendidikan Islam hanya diletakkan pada aspek
kehidupan akhirat saja atau kehidupan rohani saja. Seksi yang mengurusi masalah
keagamaan disebut sebagai seksi kerohanian.
Dengan demikian pendidikan keagamaan dihadapkan dengan pendidikan
nonkeagamaan, pendidikan keislaman dengan pendidikan nonkeislaman,
pendidikan agama dengan pendidikan umum, demikian seterusnya, sehingga
pendidikan Islam (al-Tarbiyah al-Islamiyah) berarti al-tarbiyah al-
diniyah/pendidikan keagamaan, ta’lim al-din/pengajaran agama, al-ta’lim al-
dini/pengajaran keagamaan, atau al-ta’lim al-islami/pengajaran keislaman dalam
rangka tarbiyah al-muslimin (mendidik orang-orang Islam).
Karena itu pengembangan pendidikan Islam hanya berkisar pada aspek
keukhrowian saja yang terpisah dengan kehidupan duniawi, atau aspek kehidupan
rohani yang terpisah dengan kehidupan jasmani. Pendidikan (agama) Islam hanya
mengurusi persoalan ritual dan spiritual, sedangkan kehidupan ekonomi, politik,
seni budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi dan sebagainya dianggap sebagai
urusan duniawi yang menjadi bidang garapan pendidikan umum (nonagama).
Pandangan dikotomis inilah yang menimbulkan dualisme dalam system
pendidikan. Istilah pendidikan agama dan pendidikan umum, atau ilmu agama dan
ilmu umum sebenarnya muncul dari paradigma formisme tersebut.
Adanya perubahan dan/atau penyempitan pengertian ulama menjadi
fuqaha, sebagai orang-orang yang hanya mengerti soal-soal keagamaan belaka
sehingga tidak dimasukkan ke dalam barisan intelektual, juga merupakan
implikasi dari pandangan dikotomis tersebut. Menurut Azyumardi Azra (1999,
4
hlm. 159-160) , pemahaman semacam itu muncul ketika umat Islam Indonesia
mengalami masa penjajahan yang sangat penjang, di mana umat Islam mengalami
kelatarbelakangan dan disintergrasi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Pembenturan umat Islam dengan pendidikan dan kemajuan Baratmemunculkan
kaum intelektual baru (cendikiawan sekuler), yang menurut Benda (dalam Sartono
Kartodirjo, ed, 1981) sebagian besar kaum intelektual tersebut adalah hasil
pendidikan Barat yang terlatih berpikir secara Barat. Dalam proses pendidikannya,
mereka mengalami brain washing (cuci otak) dari hal-hal yang berbau Islam,
sehingga mereka menjadi teralienasi (terasing) dari ajaran-ajaran Islam dan
muslim sendiri. Bahkan terjadi gap antara kaum intelektual baru (sekuler) dengan
intelektual lama (ulama), dan ulama dikonotasikan sebagai kaum sarungan yang
hanya mengerti soal-soal keagamaan dan buta masalah keduniaan.
Paradigma formisme mempunyai implikasi terhadap pengembangan
pendidikan Islam yang lebih berorientasi pada keakhiratan, sedangkan masalah
dunia dianggap tidak penting, serta menekankan pada pendalaman al-‘ulum al-
diniyah (ilmu-ilmu keagamaan yang merupakan jalan pintas untuk menuju
kebahagiaan akhirat, sementara sains (ilmu pengetahuan) dianggap terpisah dari
agama. Demikian pula dengan pendekatan yang dipergunakan lebih bersifat
keagamaan yang normative, doktriner dan absolutis. Peserta didik diarahkan
untuk menjadi pelaku (actor) yang loyal (setia), memiliki sikap cumitment
(keperpihakan), dan dedikasi (pengabdian) yang tinggi terhadap agama yang
dipelajari. Sementara itu kajian-kajian keilmuan yang bersifat empiris, rasional,
analitis-kritis, dianggap dapat menggoyahkan iman sehingga perlu ditindih oleh
pendekatan keagamaan yang normative dan doktriner tersebut.
Di dalam Islam padahal tidak pernah membedakan antara ilmu-ilmu
agama dan ilmu umum (keduniaan), dan/atau tidak berpandangan dikotomis
mengenai ilmu pengetahuan. Namun demikian, dalam realitas sejarahnya justru
supremasi lebih diberikan pada ilmu-ilmu agama (al-‘ulum al-diniyah) sebagai
jalan tol untuk menuju Tuhan. Sehingga menyebabkan kemunduran peradaban
Islam serta keterbelakangan sains dan teknologi di dunia Islam. Hal ini terjadi
bukan saja karena faktor dari luar tapi juga banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor
dari diri umat Islam itu sendiri, yang kurang peduli terhadap kebebasan penalaran
5
intelektual dan kurang menghargai kajian-kajian rasional-empiris atau semangat
pengembangan ilmiah dan filosofis. Dengan kata lain, paradigma formisme
dijadikan sebagai titik tolak dalam pengembangan pendidikan Islam.
2. Paradigma Mekanisme
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1988), secara
etimologis, mechanism berarti: hal kerja mesin, cara kerja suatu organisasi, atau
saling bekerja seperti mesin, kalau yang satu bergerak maka yang lain turut
bergerak.
Aspek-aspek atau nilai-nilai kehidupan itu sendiri, terdiri atas nilai agama,
nilai individu, nilai social, nilai politik, nilai ekonomi, nilai rasional, nilai aestik,
nilai beofisik, dan lain-lain. Dengan demikian, aspek atau nilai agama merupakan
salah satu aspek atau nilai kehidupan dari aspek-aspek atau nilai-nilai kehidupan
lainnya. Hubungan antara nilai agama dengan nilai-nilai lainnya dapat bersifat
horizontal-lateral (independent), lateral-sekuensial, atau bahkan vertical linier
(Muhaimin, 1995).
6
4. Pencegahan hal-hal negatif dari lingkungannya atau budaya asing yang
berbhaya.
5. Sumber nilai atau pedoman hidup untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat.
6. Pengajaran atau penyampaian pengetahuan keagamaan (Muhaimin, 1996).
Jadi, pendidikan agama lebih menonjolkan fungsi moral dan spiritual atau
dimensi afektif daripada kognitif dan psikomotor, dalam arti dimensi kognitif dan
psikomotor diarahkan untuk pembinaan afektif (moral dan spiritual), yang
berbeda dengan mata pelajaran lainnya.
3. Paradigma Organisme
Istilah “organism” dapat berarti: benda hidup (plants, animals and
bacteria are organism), dan dapat berarti kesatuan yang terdiri atas bagian-bagian
yang rumit (salim, P, 1996). Dalam pengertian kedua tersebut, paradigma
organism bertolak dari pandangan bahwa Pendidikan Islam adalah kesatuan atau
sebagai sitem (yang terdiri atas komponen yang rumit) yang berusaha
mengembangkan pandangan/semangat hidup (weltanschauung) Islam, yang
dimanifestasikan dalam sikap hidup dan keterampilan hidup Islami.
7
Dalam konteks pandangan semacam itu, al-tarbiyah al-islamiyah
(pendidikan Islami) berarti al-tarbiyah fi al-Islam (pendidikan dalam Islam) dan
al-tarbiyah ‘inda al-muslimin (pendidikan dikalangan orang-orang Islam).
Pengertian ini menggaris bawahi pentingnya kerangka pemikiran yang dibangun
dari fundamental doctrins dan fundamental values yang tertuang dan terkandung
dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah shahihah sebagai sumber pokok, kemudian mau
menerima kontribusi dari para ahli serta mempertimbangkan konteks historisnya.
Karena itu, nilai Ilahi/agama/wahyu didudukkan sebagai sumber konsultasi yang
bijak, sementara aspek-aspek kehidupan lainnya didudukkan sebagai nilai insane
yang mempunyai relasi horizontal-lateral atau lateral-sekuensial, tetapi harus
berhubungan vertical-linier dengan nilai ilahi/agama.
Melalui upaya semacam itu maka sistem pendidikan Islam diharapkan
dapat mengintegrasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, nilai-nilai agama dan etik,
serta mampu melahirkan manusia-manusia yang menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi, memiliki kematangan professional, dan sekaligus hidup di dalam nilai-
nilai agama.
Prof. Dr. Taha Jabir , seorang tokoh ilmuan Islam menyebutkan umat
Islam berada di tiga persimpangan. Pertama terus menggunakan ilmu-ilmu yang
sifatnya traditional dengan metodologinya sekali. Pendekatan ini disebut sebagai
pendekatan authentic atau kekal seaslinya. Kedua, umat Islam berhadapan dengan
faktor perubahan zaman yang dikatakan moden yaitu berlakunya dinamika ilmu
dikembangkan dengan menggunakan kekuatan metodologi terkini. Pendekatan ini
disebut sebagai pendekatan modernistik. Ketiga , umat Islam perlu menyaring
asas tradisi, memilih asas-asas prinsipnya dan mengolahnya semula menggunakan
pendekatan terkini supaya faktor perubahan berlaku tanpa menghilangkan maksud
keaslian dan tradisinya. Ini disebut sebagai pendekatan eklektik. Pendekatan
eklektik belum begitu berkembang dan sering menerima kritik. Pengkritik yang
cenderung kepada asas epistemologi atau asas-usul ilmu sering tidak setuju
sementara yang lain merasakan suatu kewajaran kerena meskipun metodologinya
dinamik, prinsip dan ruh ilmu dan pendidikan tetap tidak berubah.
8
Hal ini senada dengan salah satu prinsip pendidikan Islam yang
dikemukakan oleh Muhammad Munir Mursi dalam bukunya Al-Tarbiyah al-
Islamiyah Ushuluha wa Tathawuruha fi al-Bilad al-Arabiyah, “Pendidikan Islam
adalah pendidikan yang terbuka”. Hal ini dipahami bahwa Islam merupakan
agama Samawi, yang memiliki nilai-nilai absolute dan universal, namun masih
mengakui keberadaan nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat. Islam
berpandangan, tidak semua nilai yang telah melembagakan dalam satu tata
kehidupan masyarakat, diterima atau ditolak. Sikap Islam dalam menghadapi tata
nilai masyarakat, di dasarkan pada lima macam klasifikasi yaitu:
1) Memilihara unsure-unsur nilai dan norma yang sudah mapan dan positif
2) Menghilangkan unsure-unsur nilai dan norma yang sudahmapan tetapi negatif.
3) Menumbuhkan unsur-unsur nilai dan norma baru yang belum ada dan
dianggap positif
4) Bersikap menerima (receptive), memilih (selective), mencerna (digestive),
menggabung-gabungkan dalam satu system (assimilative), dan
menyampaikan pada orang lain (transmissive) terhadap nilai pada umumnya.
Jadi pendidikan Islam pada dasarnya bersifat terbuka, demokrasi dan
universal. Tetapi keterbukaan pendidikan Islam bukan berarti tidak disertai
dengan fleksibelitas untuk mengadopsi (menyerap) unsur-unsur positif dari luar,
sesuai perkembangan dan kepentingan masyarakatnya, dengan tetap menjaga
dasar-dasarnya yang orginal (shahih) yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-
Hadits. Hal ini ditulis dalam sebuah postulat yang popular ،المحافظة على القديم الصالح
لحPPد األصPPذ بالجديPPواألخ. “Melestarikan nilai-nilai lama yang positif dan mengambil
nilai-nilai yang baru yang lebih positif”. Keterbukaan seperti inilah yang
memungkinkan pembharuan (inovasi) dalam pendidikan Islam, bukan saja karena
tuntutan zaman, tetapi bersamaan dengan itu pembaharuan diperlukan karena
hajat untuk memperbaiki kemaslahatan kaum muslimin sendiri.
Berdesarkan fenomena di atas maka perlu adanya gagasan
baru/pembaharuan (inovasi) pendidikan Islam di Indonesia dalam masa yang akan
datang antara lain: perlu mengubah dan mengembangkan paradigma lama menjadi
paradigma baru. Jadi kita harus mau meninggalkan yang sudah idak sesuai
(relevan) dengan tuntutan era informasi dan demokrasi. Perlu mengembangkan
9
nilai-nilai lama yang sekiranya masih dapat dimanfaatkan dan ciptakan pandangan
baru yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Untuk itu perlu adanya tawaran
gagasan-gagasan untuk menata ulang pemikiran sistem pendidikan nasional.
Meskipun pendidikan mempunyai banyak nama dan wajah, seperti pendidikan
keluarga, sekolah, masyarakat, pondok pesantren, program deploma, dan lainnya,
namun pada hakekatnya pendidikan adalah mengembangkan semua potensi daya
manusia menuju kedewasaan sehingga mampu hidup mandiri dan mampu pula
mengembangkan tata kehidupan bersama yang lebih baik sesuai dengan tantangan
atau kebutuhan zamannya. Dengan kata lain bahwa hakekat pendidikan adalah
mengembangkan human dignity yaitu harkat dan martabat manusia atau
humanizing human, yaitu memanusiakan manusia sehingga benar-benar mampu
menjadi khalifah di muka bumi. Oleh kerena itu berikan ruang lebih banyak bagi
sekolah (khususnya swasta) dan madrasah untuk mengembangkan jati diri dan
menempuh cita-citanya.
10
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Islam bukan agama yang bek dalam pemikiran dan statistic dalam amalan.
Pendidikan agama Islam bukan sekedar pendidikan yang berkutat pada urusan
Ukhrawi saja, tanpa mengindahkan urusan-urusan dunia. Hal ini senada dengan
apa yang disabdakan Rasulullah SAW. Yang maksudnya “Barangsiapa
menghendaki dunia maka hendaklah ia berilmu, dan barangsiapa menginginkan
akhirat maka hendaklah juga ia berilmu dan siapa yang menghendaki keduanya
(dunia dan akhirat) maka dengan ilmu juga.” Dari sini jelaslah islam tidak
membedakan antara ilmu dunia dengan ilmu umum. Keduanya sama-sama
penting bagi manusia di dunia ini untuk menyempurnakannya sebagai khalifah fil
ardh.
11
DAFTAR PUSTAKA
http://cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=490_0_3_0_M16
12