Você está na página 1de 38

Analgetik

adalah obat atau senyawa yang dipergunakan untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri tanpa
menghilangkan kesadaran. Kesadaran akan perasaan sakit terdiri dari dua proses, yakni
penerimaan rangsangan sakit di bagian otak besar dan reaksi-reaksi emosional dan individu
terhadap perangsang ini. Obat penghalang nyeri (analgetik) mempengaruhi proses pertama
dengan mempertinggi ambang kesadaran akan perasaan sakit, sedangkan narkotik menekan
reaksi-reaksi psychis yang diakibatkan oleh rangsangan sakit (Tan Hoan Tyai, 1991).
Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala, yang fungsinya adalah
melindungi dan memberikan tanda bahaya tentang adanya gangguan-gangguan di dalam
tubuh, seperti peradangan (rematik, encok), infeksi-infeksi kuman atau kejang-kejang otot.
Penyebab rasa nyeri adalah rangsangan-rangsangan mekanis, fisik, atau kimiawi yang dapat
menimbulkan kerusakan-kerusakan pada jaringan dan melepaskan zat-zat tertentu yang
disebut mediator-mediator nyeri yang letaknya pada ujung-ujung saraf bebas di kulit, selaput
lendir, atau jaringan-jaringan (organ-organ) lain. Dari tempat ini rangsangan dialirkan melalui
saraf-saraf sensoris ke Sistem Saraf Pusat (SSP) melalui sumsum tulang belakang ke
thalamus dan kemudian ke pusat nyeri di dalam otak besar, dimana rangsangan dirasakan
sebagai nyeri. Mediator-mediator nyeri yang terpenting adalah histamine, serotonin,
plasmakinin-plasmakinin, dan prostaglandin-prostagladin, serta ion-ion kalium.
Berdasarkan proses terjadinya nyeri, maka rasa nyeri dapat dilawan dengan beberapa cara,
yaitu :
1. Merintangi pembentukan rangsangan dalam reseptor-reseptor nyeri perifer, oleh analgetika
perifer atau anestetika lokal.
2. Merintangi penyaluran rangsangan nyeri dalam saraf-saraf sensoris, misalnya dengan
anestetika lokal
3. Blokade dari pusat nyeri dalam Sistem Saraf Pusat dengan analgetika sentral (narkotika)
atau anestetika umum.
Pada pengobatan rasa nyeri dengan analgetika, faktor-faktor psikis turut berperan, misalnya
kesabaran individu dan daya menerima nyeri dari si pasien. Secara umum analgetika dibagi
dalam dua golongan, yaitu analgeti non-narkotinik atau analgesik non-opioid atau
integumental analgesic (misalnya asetosal dan parasetamol) dan analgetika narkotik atau
analgesik opioid atau visceral analgesic (misalnya morfin).

Analgetika Narkotik
Zat-zat ini memiliki daya menghalangi nyeri yang kuat sekali dengan tingkat kerja yang
terletak di Sistem Saraf Pusat. Umumnya mengurangi kesadaran (sifat meredakan dan
menidurkan) dan menimbulkan perasaan nyaman (euforia). Dapat mengakibatkan toleransi
dan kebiasaan (habituasi) serta ketergantungan psikis dan fisik (ketagihan adiksi) dengan
gejala-gejala abstinensia bila pengobatan dihentikan. Karena bahaya adiksi ini, maka
kebanyakan analgetika sentral seperti narkotika dimasukkan dalam Undang-Undang
Narkotika dan penggunaannya diawasi dengan ketat oleh Dirjen POM.
Secara kimiawi, obat-obat ini dapat dibagi dalam beberapa kelompok sebagai berikut :
1. Alkaloid candu alamiah dan sintesis morfin dan kodein, heroin, hidromorfon, hidrokodon,
dan dionin.
2. Pengganti-pengganti morfin yang terdiri dari :
a. Petidin dan turunannya, fentanil dan sufentanil
b. Metadon dan turunannya:dekstromoramida, bezitramida, piritramida, dan d-ptopoksifen
c. Fenantren dan turunannya levorfenol termasuk pula pentazosin.
Antagonis-antagonis morfin adalah zat-zat yang dapat melawan efek-efek samping dari
analgetik narkotik tanpa mengurangi kerja analgesiknya dan terutama digunakan pada
overdosis atau intoksiaksi dengan obat-obat ini. Zat-zat ini sendiri juga berkhasiat sebagai
analgetik, tetapi tidak dapat digunakan dalam terapi, karena dia sendiri menimbulkan efek-
efek samping yang mirip dengan mrfin, antara lain depresi pernafasan dan reaksi-reaksi
psikotis. Yang sering digunakan adalah nalorfin dan nalokson.
Efek-efek samping dari morfin dan analgetika sentral lainnya pada dosis biasa adalah
gangguan-gangguan lambung, usus (mual, muntah, obstipasi), juga efek-efek pusat lainnya
seperti kegelisahan, sedasi, rasa kantuk, dan perubahan suasana jiwa dengan euforia. Pada
dosis yang lebih tinggi terjadi efek-efek yang lebih berbahaya yaitu depresi pernafasan,
tekanan darah turun, dan sirkulasi darah terganggu. Akhirnya dapat terjadi koma dan
pernafasan terhenti.
Efek morfin terhadap Sistem Saraf Pusat berupa analgesia dan narkosis. Analgesia oleh
morfin dan opioid lain sudah timbul sebelum penderita tidur dan seringkali analgesia terjadi
tanpa disertai tidur. Morfin dosis kecil (15-20 mg) menimbulkan euforia pada penderita yang
sedang menderita nyeri, sedih dan gelisah. Sebaliknya, dosis yang sama pada orang normal
seringkali menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir atau takut disertai dengan mual, dan
muntah. Morfin juga menimbulkan rasa kantuk, tidak dapat berkonsentrasi, sukar berfikir,
apatis, aktivitas motorik berkurang, ketajaman penglihatan berkurang, ektremitas tersa berat,
badan terasa panas, muka gatal dan mulut terasa kering, depresi nafas dan miosis. Rasa lapar
hilang dan dapat muntah yang tidak selalu disertai rasa mual. Dalam lingkungan yang tenang
orang yang diberikan dosis terapi (15-20 mg) morfin akan tertidur cepat dan nyenyak disertai
mimpi, nafas lambat dan miosis.
Antara nyeri dan efek analgetik (juga efek depresi nafas) morfin dan opioid lain terdapat
antagonisme, artinya nyeri merupakan antagonis faalan bagi efek analgetik dan efek depresi
nafas morfin. Bila nyeri sudah dialami beberapa waktu sebelum pemberian morfin, efek
analgetik obat ini tidak begitu besar. Sebaliknya bila stimulus nyeri ditimbulkan setelah efek
analgetik mencapai maksimum, dosis morfin yang diperlukan untuk meniadakan nyeri itu
jauh lebih kecil. Penderita yang sedang mengalami nyeri hebat dan memerlukan mofin
dengan dosis besar untuk menghilangkan rasa nyerinya, dapat tahan terhadap depresi nafas
morfin. Tetapi bila nyeri itu tiba-tiba hilang, maka kemungkinan besar timbul gejala depresi
nafas oleh morfin.

Analgetika Perifer (non-narkotik)


Obat obat ini dinamakan juga analgetika perifer, karena tidak mempengaruhi Sistem Saraf
Pusat, tidak menurunkan kesadaran atau mengakibatkan ketagihan. Semua analgetika perifer
juga memiliki kerja antipiretik, yaitu menurunkan suhu badan pada keadaan demam, maka
disebut juga analgetik antipiretik. Khasiatnya berdasarkan rangsangannya terhadap pusat
pengatur kalor di hipotalamus, yang mengakibatkan vasodilatasi perifer (di kulit) dengan
bertambahnya pengeluaran kalor dan disertai keluarnya banyak keringat.
Penggolongan analgetika perifer secara kimiawi adalah sebagai berikut:
1. salisilat-salisilat, Na-salisilat, asetosal, salisilamida, dan benirilat
2. Derivat-derivat p-aminofenol:fenasetin dan parasetamol
3. Derivat-derivat pirozolon:antipirin,aminofenazon, dipiron, fenilbutazon danturunan-
turunannya
4. Derivat-derivat antranilat: glafenin, asam mefenamat, dan asam nifluminat.
Efek-efek samping yang biasanya muncul adalah gangguan-gangguan lambung-usus,
kerusakan darah, kerusakan hati, dan ginjal dan juga reaksi-reaksi alergi kulit. Efek-efek
samping ini terutama terjadi pada penggunaan lama atau pada dosis besar, maka sebaiknya
janganlah menggunakan analgetika ini secara terus-menerus.

Analgetika-Antipiretik
Analgetik adalah obat yang mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri tanpa menghilangkan
kesadaran. Sedangkan antipiretik adalah obat yang dapat menurunkan suhu tubuh yang tingi.
Jadi, analgetik-antipiretik dalah obat yang mengurangi rasa nyeri dan serentak menurunkan
suhu tubuh yang tinggi.
Sebagai mediator nyeri, antara lain adalah sebagai berikut:
1. Histamin
2. Serotonin
3. Plasmokinin (antara lain Bradikinin)
4. Prostaglandin
5. Ion Kalium

Analgetik diberikan kepada penderita untuk mengurangi rasa nyeri yang dapat ditimbulkan
oleh berbagai rangsang mekanis, kimia, dan fisis yang melampaui suatu nilai ambang tertentu
(nilai ambang nyeri). Rasa nyeri tersebut terjadi akibat terlepasnya mediator-mediator nyeri
(misalnya bradikinin, prostaglandin) dari jaringan yang rusak yang kemudian merangsang
reseptor nyeri di ujung saraf perifer ataupun ditempat lain. Dari tempat-tempat ini selanjutnya
rangsang nyeri diteruskan ke pusat nyeri di korteks serebri oleh saraf sensoris melalui
sumsum tulang belakang dan thalamus.

Pembagian nyeri dapat digambarkan sebagai berikut:


Nyeri I
Nyeri permukaan kulit
Nyeri I

Nyeri somatik

Nyeri dalaman Otot, tulang, sendi,


jaringan ikat

Nyeri Viseral Perut

Menurut tempat terjadinya, nyeri dibagi menjadi nyeri somatic dan nyeri dalaman (viseral).
1. Nyeri Somatik
Dibagi atas dua kualitas yaitu nyeri permukaan dan nyeri dalam, apabila rasa nyeri berasal
dari kulit, otot, persendian, tulang atau dari jaringan ikat.
a. Nyeri Permukaan
Terjadi apabila tangsang bertempat dalam kulit. Nyeri permukaan yang terbentuk kira-kira
setelah tertusuk oleh jarum pada kulit, mempunyai karakter yang ringan, dapat dilokalisasi
dengan baik dan cepat hilang setelah berakhirnya rangsang. Nyeri ini menyebabkan suatu
reaksimenghindar secara refleks, seperti mearik kaki pada saat menginjak duri dan dengan
demikian melindungi organisme dari kerusakan lebih lanjut.
b. Nyeri dalam
Berasal dari otot, persendian tulang, dan jaringan ikat, dirasakan sebagai tekanan, sukar
dilokalisasi, sering kali diikuti reaksi afektif dan vegetatif (seperti tidak bergairah, mual,
berkeringat, dan penurunan tekanan darah) dan kebanyakan menyebar ke sekitarnya,
contohnya sakit kepala.

2. Nyeri Dalaman (Viseral)


Nyeri ini terjadi antara lain pada tegangan otot perut, kejang otot polos, aliran darah kurang,
dan penyakit yang disertai radang.
Rangsang nyeri diterima oleh reseptor nyeri khusus, yang merupakan ujung saraf bebas juga
dapat menerima rangsang sensasi lain, maka kespesifikan fungsional mungkin berkaitan
dengan diferensiasi pada tahap molekul.
Secara fungsional dibedakan dua jenis reseptor yang dapat menyusun dua system serabut
berbeda :
a. mekanoreseptor, yang meneruskan nyeri permukaan melalui serabut A-delta bermielin
b. termoreseptor, yang meneruskan nyeri kedua melalui serabut-serabut C yang tidak
bermielin.
Potensial aksi yang terbentuk pada reseptor nyeri diteruskan melalui serabut aferen ke dalam
akar dorsal sumsum tulang belakang. Pada tempat awal kontak ini, bertemu tidak hanya saraf
aferen, yang impulsnya tumpang tindih, tetapi disini juga terjadi refleks somatic dan vegetatif
awal (misalnya menarik tangan waktu tangan tersentuh benda panas, terbentuknya eritema
lokal) melalui interneuron. Disamping itu, pada tempat ini juga terjadi pengaruh terhadap
serabut aferen melalui sisitem penghambat nyeri menurun.
Pembentukan impuls nyeri terjadi melalui interneuron pada neuron-neuron selanjutnya yang
menyilang pada sisi yang lain dan menuju ke arah pusat dalam tractus spinothalamicus, yang
terbagi dalam :
a. tractus palaeospinothalamicus yang tua secar filogenetik, yang mengandung terutama
serabut C
b. tractus neospinothalamus yang lebih muda secara filogenik, yang terutama mengandung
serabut A-delta
Serabut-serabut yang dalam daerah formatio reticularis menimbulkan terutama reaksi
vegetatif (misalnya, penurunan tekanan darah, pengeluaran keringat). Tempat kontak lain
yang khusus penting dari serabut nyeri adalah thalamus opticus. Disini diteruskan tidak hanya
perangsangan pada serabut yang menuju ke gyrus postcentrali (celah sentral belakang),
tempat lokalisasi nyeri, melainkan disini juga impuls diteruskan ke sistem limbic, yang
terutama terlibat dalam penilaian emosional nyeri. Oleh otak besar dan otak kecil bersama-
sama dilakukan reaksi perlindungan dan reaksi menghindar yang terkoordinasi. Yang berarti
secara klinik adalah bahwa sistem nospinothalamicus pada tingkat thalamus menekan aferen
paleospinothalamicus. Apabila penekanan ini gagal, maka dapat terjadi keadaan nyeri yang
terberat.

Proses terjadinya nyeri, penghantaran impuls, lokalisasi dan rasa nyeri serta inhibisi nyeri
endogen dalam bagan sederhana adalah sebagai berikut :

Rasa nyeri
Lokalisasi nyeri Penilaian nyeri

Sistem limbic Korteks

Thalamus opticus

Formatio reticularis--------reaksi vegetatif

Sumsum tulang-----------refleks pertahanan

Reseptor nyeri
Pembebasan zat mediator

Rangsang nyeri

Impuls penghantar nyeri meningkat


Inhibisi nyeri
------- Reaksi nyeri

ANTIINFLAMASI

1. Inflamasi
Inflamasi merupakan respon jaringan hidup sebagai reaksi lokal atas keberadaan benda asing,
organisme hidup atau adanya luka pada dirinya. Reaksi ini meliputi berbagai proses yang
kompleks terdiri dari deretan aktivasi enzim, pelepasan mediator, pengeluaran cairan, migrasi
sel, pembongkaran dan perbaikan jaringan. Proses tersebut mengakibatkan perubahan
fisiologis antara lain eritema, udema, asma, dan demam (Vane dan Botting, 1996). Aktivasi
berbagai enzim (gambar 1) menyebabkan terjadinya biosintesis mediator dan release
mediator inflamasi. Pada proses inflamasi, dilepaskan berbagai jenis mediator inflamasi
yaitu:
‡ amina vasoaktif: histamin & 5-hidroksi tritophan (5-HT/serotonin). Keduanya terjadi
melalui inaktivasi epinefrin dan norepinefrin secara bersama-sama
‡ plasma protease: kinin, sistem komplemen & sistem koagulasi fibrinolitik, plasmin,
lisosomalesterase, kinin, dan fraksi komplemen
‡ metabolik asam arakidonat: prostaglandin, leukotrien (LTB4 LTC4, LTD4, LTE4 , 5-HETE
(asam 5-hidroksi-eikosatetraenoat)
‡ produk leukosit ± enzim lisosomal dan limfokin
‡ activating factor dan radikal bebas
Inflamasi berasal dari kata dalam bahasa Latin ³inflammare´ yang berarti ³membakar´.
Empat gejala khas yang muncul pada proses inflamasi yaitu rubor (kemerahan), tumor
(bengkak), calor (panas), dan dolor (nyeri) digambarkan oleh Celsus pada abad I dalam
bukunya De Re Medizina yang dipublikasikan kemudian (Spector dan Willoughby, 1968).
Galen menambahkan satu ciri lagi yaitu functio laesa (hilangnya fungsi) (Hurley, 1972).
Proses-proses di bawah ini terjadi pada proses inflamasi (gambar 2).
A. Eksudasi: fase primer pada inflamasi adalah perubahan sturktural pada dinding vaskuler.
Perubahan ini mengakibatkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang membiarkan
protein kaya cairan menembus dinding vaskuler (udema dan kemerahan).
B. Infiltrasi: leukosit, makrofag, dan limfosit, di bawah pengaruh kemotaksik, memasuki area
inflamasi (fase primer). Beberapa dari sel-sel tersebut mengandung enzim lisosom yang
mampu menelan dan mencerna partikel-partikel asing (fagositosis).
C. Proliferasi: limfosit dan makrofag mengalami transformasi menjadi lapisan pembatas sel
yang antara lain mampu mensistesis antibodi-antibodi (fase sekunder) (Verboom, 1979).
Gambar 1. Berbagai enzim yang teraktifkan pada proses inflamasi.

Obat-obat antiinflamasi digunakan pada umumnya untuk mengurangi gejala-gejala atau


perubahan fisiologis yang dirasakan berlebih pada kondisi inflamasi, misalnya nyeri yang
taktertahankan, rasa gatal yang berlebih, kemerahan dan bengkak yang mengganggu,
walaupun inflamasi bisa merupakan fenomena menguntungkan karena merupakan
mekanisme pertahanan tubuh yang hasilnya adalah netralisasi dan pembuangan agen
penyerang, serta penghancuran jaringan nekrosis. Fungsi inflamasi dengan memobilisasi
pertahanan tubuh dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1) fagositosis pada tempat tersebut. Leukosit, makrofag dan limfosit di bawah pengaruh
kemotaktik memasuki area inflamasi (fase infiltrasi). Beberapa dari sel-sel tersebut
mengandung enzim lisosom yang mampu menelan dan mencerna partikel asing.
2) terbentuknya berbagai macam antibodi pada daerah tersebut. Limfosit dan makrofag
mengalami transformasi menjadi lapisan pembatas sel yang mampu mensintesis antibodi
(fase proliferasi).
3) menetralisir atau mencairkan iritan (dengan edema). Fase primer pada inflamasi adalah
perubahan struktural pada dinding vaskuler. Perubahan ini mengakibatkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah yang membiarkan protein kaya cairan menembus dinding
vaskuler (fase eksudasi) (Verboom, 1979).
4) membatasi perluasan inflamasi dengan pembentukan fibri, fibrosis dan terbentuknya
dinding granulasi.
5) diikuti proses perbaikan jaringan atau penyembuhan.

Gambar 2. Proses inflamasi (Timmerman, 1997).


Sedgwick dan Willoughby (1994) mengklasifikasikan inflamasi menjadi 2 yaitu: inflamasi
imunologis dan inflamasi non-imunologis. Inflamasi non-imunologis dibagi lagi menjadi akut
dan kronis. Pada pemeriksaan histopatologi, lesi inflamasi non-imunologis akut mengandung
polymorphonuclear leucocytes, berbeda dengan inflamasi kronis yang mengandung
mononuclear cells seperti makrofag dan limfosit. Inflamasi imunologis terdiri dari immediate
dan delayed.

A. Inflamasi imunologis
Respon imun mempunyai 3 fungsi utama, yaitu pertahanan, homeostatik, dan
immunesurveillance. Respon imun ini bertujuan untuk melenyapkan benda asing yang
bersifat antigenik dengan cepat, namun demikian tidak jarang terjadi kerusakan jaringan
justru oleh adanya penyimpangan respon imun terhadap konfigurasi asing tertentu yang di
antaranya sebagai alergi atau hipersensitivitas. Salah satu manifestasi alergi adalah terjadinya
reaksi inflamasi yang merupakan respon tubuh secara vaskular terhadap adanya kerusakan
jaringan. Inflamasi yang terjadi akibat reaksi antara antibodi atau sel T spesifik (yang
merupakan respon imun) dengan antigen disebut inflamasi imunologis (Abrams, 1994).
Menurut Terr (1994), reaksi inflamasi yang disebabkan respon imun ada 3 macam, yaitu
inflamasi yang diperantarai antibodi IgE, kompleks imun, dan sel.
1) Inflamasi yang diperantarai antibodi IgE, disebut juga reaksi hipersensitivitas tipe segera
(immediate) karena terjadi sangat cepat, hanya beberapa menit setelah paparan. Mekanisme
timbulnya inflamasi yang diperantarai antibodi IgE melalui 3 fase yaitu fase sensitisasi, fase
aktivasi, dan fase efektor. Mekanisme timbulnya inflamasi yang diperantarai antibodi IgE
terlihat pada gambar 3.
(i) fase sensitisasi.
Tubuh yang terpapar antigen untuk pertama kalinya akan menimbulkan respon pembentukan
IgE. IgE merupakan antibodi yang memiliki afinitas tinggi terhadap sel mast sehingga IgE
yang telah terbentuk akan terikat di permukaan sel mast pada reseptor Fc.
(ii) fase aktivasi.
Terjadinya paparan ulang dengan antigen yang sama akan menyebabkan pembentukan
jembatan antara 2 molekul IgE pada permukaan sel (crosslinking). Crosslinking ini akan
menimbulkan gangguan stereospesifik yang mengaktifkan enzim fosfolipase C sehingga
mengkatalisis hidrolisis polifosfatidilinositol (PI) menjadi 1,2-diasilgliserol (1,2-DAG) dan
inositol trifosfat (IP3). Senyawa 1,2-DAG akan mengaktifkan enzim protein kinase C (PKC),
sedangkan IP3 menyebabkan influks Ca2+. Keberadaan ion Ca2+ dan PKC pada sitoplasma
sel mast ini akan mempermudah fusi membran periglanuler granula sekretorik dengan
membran sel. Serangkaian proses ini akan menyebabkan degranulasi sel mast sehingga
melepaskan mediator inflamasi yang terkandung di dalamnya seperti histamin, serotonin, dan
faktor kemotaktik untuk neutrofil dan eosinofil (Maeyama dan Watanabe, 1992). Proses
degranulasi sel mast dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 3. Mekanisme timbulnya inflamasi yang diperantarai IgE (Terr, 1994).

(iii) fase efektor.


Adalah waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai
bahan-bahan yang dilepaskan oleh sel mast dengan aktivitas farmakologis. Reaksi yang
terjadi dapat berupa vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskuler, penyempitan bronkus,
udema pada mukosa dan hipersekresi mukus.

Gambar 4. Skema proses degranulasi sel mast.

Setelah antigen berikatan dengan IgE di permukaan sel mast, enzim fosfolipase C (PLC-Ȗ1)
mengubah fosfatidil inositol (PI) menjadi inositol trifosfat (IP3) dan 1,2-diasilgliserol (DAG).
IP3 merangsang Ca2+ keluar dari tempat penyimpanannya, sedang DAG mengaktifkan
protein kinase C (PKC). PKC dan kadar Ca2+ yang tinggi dalam sel memudahkan fusi
membran granul dengan membran sel, akibatnya mediator-mediator dalam granul (termasuk
histamin) dilepaskan keluar dari sel mast (Maeyama dkk., 1992).

2) Inflamasi yang diperantarai kompleks imun, terjadi bila kompleks antigen-antibodi


ditemukan dalam jaringan atau dinding pembuluh darah dan mengaktifkan komplemen untuk
merusak sel sasaran. Antibodi yang terlibat pada inflamasi ini biasanya IgG atau IgM,
sedangkan antigen dapat berupa agen infeksi maupun autogen. Komplemen yang telah
diaktifkan kemudian merangsang pelepasan macrophage chemotactic factor (faktor
kemotaktik) yang berupa C3a dan C5a (anafilatoksin) dan vasoaktif amin yang berasal dari
sel mast jaringan dan sel basofil darah. C3a berperan sebagai anafilatoksin yang
menyebabkan pelepasan histamin dari sel mast dan mengakibatkan kenaikan permeabilitas
vaskular. C5a juga merupakan anafilatoksin dan sebagai faktor kemotaktik bagi eosinofil dan
neutofil. Neutrofil selanjutnya akan melepaskan enzim lisosom dan generate toxic oxidant
dalam proses fagosit kompleks imun, serta cara eksositosis untuk menghancurkan deposit
kompleks imun. Karena kompleks imun melekat erat pada jaringan pembuluh darah, maka
enzim lisosom tersebut dapat menyebabkan kerusakan jaringan. Mekanisme timbulnya
inflamasi yang diperantarai kompleks imun terlihat pada gambar 5.

3) Inflamasi yang diperantarai oleh sel, disebut juga hipersensitivitas tipe lambat (delayed
hypersensitivity) yang pada umumnya timbul > 12 jam setelah pemaparan antigen. Reaksi
inflamasi ini tidak melibatkan antibodi tetapi melibatkan sel-sel limfosit T. Reaksi inflamasi
ini terjadi karena kenaikan reaktivitas terhadap antigen spesifik oleh sel T.
Perbedaan inflamasi yang diperantarai oleh antibodi IgE, kompleks imun, dan sel tersaji pada
tabel I.

Tabel I. Penggolongan inflamasi imunologis (Terr, 1994).


Tipe inflamasi Waktu maksimal reaksi Sel-sel inflamasi yang terlibat Mediator utama
Mekanisme imunologis
Inflamasi yang diperantarai IgE (hipersensitivitas tipe segera) 15 menit
(fase cepat) Eosinofil Histamin, leukotrien Antigen berikatan dengan IgE di permukaan
mastosit menyebabkan degranulasi dengan pelepasan preformed mediator
6 jam
(fase lambat) Eosinofil, neutrofil PAF, TNFĮ, PGD2, leukotrien Setelah degranulasi,
mediator dibentuk oleh mastosit
Inflamasi yang diperantarai kompleks imun 8 jam Neutrofil Komplemen factor C5a
Kompleks antigen-antibodi berikatan dengan komplemen dan menginduksi aktivitas neutrofil
Inflamasi yang diperantarai sel (hipersensitivitas tipe lambat) 36 jam Limfosit (sel TDH/sel T
CD4+), makrofag Limfokin Limfokin yang dilepaskan sel TDH teraktivasi menginduksi
makrofag dan respon sel

Gambar 5. Mekanisme timbulnya inflamasi yang diperantarai kompleks imun (Terr, 1994).

B. Inflamasi non-imunologis
Inflamasi non-imunologis terjadi bila rangsangan non-imunologis (berupa cidera fisik,
benturan, sinar UV, radiasi ion, panas atau dingin yang berlebihan) langsung memicu
aktivitas sel-sel inflamasi atau menyebabkan kerusakan jaringan (luka) sehingga sel-sel
inflamasi melepaskan mediator-mediator yang terkandung di dalamnya (Terr, 1991).
Ilustrasi terjadinya inflamasi baik inflamasi imunologis maupun inflamasi respon non-imun
adalah sebagai berikut:

2. Antiinflamasi Non-steroid (AINS)

AINS menghalangi proses inflamasi karena memiliki kemampuan menghambat biosintesis


prostaglandin, salah satu mediator inflamasi, melalui penghambatan enzim siklooksigenase
(COX). Penghambatan COX dapat mengganggu metabolime asam arakidonat jalur COX
(gambar 6) dalam pembentukan prostaglandin G2 (PGG2) dari asam arakidonat dan
pembentukan prostaglandin H2 (PGH2) dari PGG2. Dari PGH2 dibentuk PGD2, PGI2, ,
PGF2 yang(, 6-keto-PGF1(PGE2, tromboksan A2 (TXA2), tromboksan B2 (TXB2)
merupakan mediator inflamasi, dan juga asam lemak hidroksi (HHT) dan malondialdehid
(MDA) oleh enzim GST kelas µ yang mengkatalisis dari pembentukan PGD2, PGE2,
PGF2(PGH2.
Pada tahun 1971 telah didemonstrasikan bahwa aspirin dan indometasin sebagai obat
antiinflamasi non-steroid menginhibisi enzim COX dari berbagai jaringan mamalia secara in
vivo (Vane dan Botting, 1996). Mekanisme inhibisi oleh aspirin adalah melalui suatu reaksi
asetilasi (gambar 7) yang takterbalikkan pada komponen COX yaitu prostaglandin
endoperoksidase sehingga enzim tersebut kehilangan aktivitas peroksidase (Van der Ouderaa
dkk, 1980 sit Vane dan Botting, 1996).
Aspirin menghambat sintesis prostaglandin dengan mengasetilasi serin 530 pada active site
COX-1 (Vane dan Botting, 1996), dan pada dosis tinggi mampu mengasetilasi serin 516 pada
active site COX-2 (gambar 8) (Wennogle dkk, 1995 sit Vane dan Botting, 1996). Pada
perkembangan selanjutnya, diketahui bahwa aspirin juga menghambat transkripsi faktor NF-
țB yang berperan penting dalam transkripsi gen mediator inflamasi (Rang dkk, 2003).

Gambar 6. Metabolisme asam arakidonat jalur COX (Vane dan Botting, 1996).

Gambar 7. Asetilasi aspirin pada enzim COX.

Gambar 8. Asetilasi aspirin pada enzim COX-2.


Mekanisme inhibisi obat-obat AINS lainnya, seperti indometasin dan ibuprofen, menginhibisi
COX dengan berkompetisi dengan asam arakidonat (substrat dari COX) pada active site
enzim COX (Vane dan Botting, 1996). Radikal oksigen reaktif sebagai produk dari neutrofil
dan makrofag yang terlibat pada rusaknya jaringan (inflamasi), dapat dinetralkan AINS yang
memiliki efek sebagai oxygen-radical-scavenging kuat (seperti sulindak) sehingga dapat
mengurangi kerusakan jaringan seperti halnya aktivitas COX-inhibitory (Rang dkk, 2003).
Salah satu mekanisme penghambatan COX ialah melalui inhibisi non-kompetitif oleh
antioksidan. Antioksidan merupakan agen antiinflamasi yang bekerja melalui penangkapan
radikal bebas oksigen dan dapat menghambat segala tipe oksigenasi (siklooksigenase dan
lipooksigenase). Senyawa antioksidan ataupun penangkap radikal berpotensi sebagai
antiinflamasi, asal memiliki kemampuan (gambar 10):
1. menangkap secara langsung oksidan reaktif (‡OH atau HOCl),
2. mengikat ion besi dalam bentuk tak aktif, sehingga kemampuannya membangkitkan ‡OH
menjadi jelek,
3. menghambat produksi oksidan oleh sel-sel fagosit (Halliwel, dkk., 1988).

Suatu senyawa fenolik merupakan inhibitor terhadap biosintesis prostaglandin jika reaksi
siklooksigenase berlangsung pada kondisi normal. Studi yang dilakukan oleh Dewhirst
(1980) telah menghasilkan kesimpulan bahwa penghambatan enzim COX yang paling efektif
terletak pada adanya dua cincin aromatik yang dihubungkan secara langsung oleh suatu rantai
pendek. Menurut Dewhirst (1980), kemampuan inhibisi senyawa fenolik terhadap enzim
COX meningkat apabila: (1) memiliki gugus hidroksi fenolik bebas, (2) tidak memiliki
halangan sterik yang besar terhadap gugus hidroksi fenolik, dan (3) adanya gugus donasi
elektron.
Mekanisme antiinflamasi kurkumin diduga antara lain karena kurkumin memiliki aktivitas
antioksidan. Hal ini diungkapkan oleh penelitian yang melaporkan bahwa kurkumin
merupakan senyawa yang efektif menghambat pembentukan lipid peroksida secara in vivo
(Sharma dkk, 1972) dan in vitro (Sharma, 1976).
Kurkumin memiliki aktivitas antiinflamasi karena kurkumin mampu menghambat kerja
enzim COX dan lipooksigenase (LOX). Kedua enzim tersebut berperan dalam metabolisme
asam arakhidonat untuk menghasilkan mediator-mediator kimia yang menyebabkan
terjadinya tanda-tanda peradangan. Di samping itu, kurkumin mampu menangkap radikal
oksigen yang terbentuk selama peradangan (Kunchandy dan Rao, 1990).
Struktur kurkumin (gambar 9) terdiri dari gugus OH-fenolik dan gugus -diketon
demikian,vyang berfungsi sebagai penangkap radikal bebas. Meskipun mekanisme
antiinflamasi kurkumin yang paling dominan belum diketahui pasti (Supardjan, 1999), karena
selain sebagai antioksidan, kurkumin mampu menghambat enzim COX (Supardjan, 1999)
dan Glutation (Sudibyo, S-transferase (GST) kelas 2000).

Gambar 9. Struktur kurkumin


Neutrofil-aktif

Meiloperoksidase
O2 H2O + Cl= OCl= + H2O
Radikal superoksid

Fe3+
2H+

H2O2 + O2 Kompleks antara pH fisiologi

Fe2+ Fe2+ + O2
(dalam sel)
HOCl
Kompleks antara Oksidasi reaktif hipoklorit

‡OH + OH- + Fe3+


Radikal (hidroksil 1-a-tipoproteinase

Peroksidasi lipid Keaktifan ± serina proteinase

Gambar 10. Mekanisme pembangkitan radikal oksigen pada tempat peradangan (Halliwel
dan Gutteridge, 1988, sit Donatus, 1994).

Obat AINS dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu golongan asam karboksilat dan asam
enolat; dimana kedua golongan tersebut memiliki berbagai macam derivat, seperti yang
terlihat pada gambar 11 dan tabel X.

Gambar 11. Penggolongan obat AINS.

3. Siklooksigenase

Siklooksigenase (COX) merupakan enzim yang bertanggungjawab mengubah asam


arakidonat menjadi prostaglandin yang memiliki berbagai efek biologis (gambar 1 dan
gambar 6). Penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan bahwa COX terdiri dari dua isoform,
yang diberi nama COX-1 dan COX-2. COX-2 tidak ditemukan pada jaringan sehat, namun
kadarnya meningkat secara dramatis pada proses inflamasi, nyeri, dan demam (gambar 12).
COX-1 esensial ditemukan pada mamalia dan dapat dikatakan sebagai enzim ³house
keeping´, berbeda dengan COX-2 yang diaktivasi oleh kerusakan jaringan. Kedua isoform
COX menunjukkan tidak lebih dari 60% homologi yang memungkinkan pengembangan
penghambat yang selektif, baik terhadap COX-1 maupun COX-2. Senyawa yang mampu
menghambat COX-2 secara selektif diharapkan mampu menjadi senyawa antiinflamasi
dengan resiko efek samping pada saluran pencernaan yang rendah (Vane dan Botting, 1996).

Gambar 12. Berbagai fungsi fisiologis COX-1 dan perbedaan isoform COX.

Perbedaan COX-1 dan COX-2 yang mempengaruhi aksi obat AINS apakah itu selektif
terhadap COX-1 ataukah COX-2 adalah kanal enzim COX dan sekuen asam aminonya;
dimana keduanya mempengaruhi konformasi enzim-substrat dan enzim-inhibitor.
Kanal COX-1 lebih sempit daripada kanal COX-2. Senyawa-senyawa dengan gugus yang
bulky tidak bisa masuk ke dalam kanal COX-1, akan tetapi dimungkinkan dapat masuk ke
dalam kanal COX-2. Hal ini terjadi pada indometasin dan obat-obat golongan coxib. Berbeda
dengan asam arakidonat sebagai substrat COX yang dapat dengan mudah memasuki kanal
COX baik COX-1 maupun COX-2 secara selektif dengan konformasi tertentu (Rang dkk.,
2003) (gambar 13). Pernyataan ini sesuai dengan teori Dewhirst (1980), mengenai
kemampuan inhibisi suatu senyawa terhadap aktivitas enzim COX akan meningkat apabila
tidak memiliki halangan sterik yang besar.
Selain itu, COX-1 dan COX-2 juga berbeda pada sekuen asam amino penyusunnya yaitu
pada sekuen asam amino nomor 523. Pada COX-1 adalah isoleusin dan pada COX-2 adalah
valin (gambar 15). Perbedaan ini berperan penting dalam spesifitas pengikatan obat-obat
golongan coxib dan konformasi enzim COX yang terbentuk setelah terjadinya ikatan obat-
enzim (Pinheiro dan Calixto, 2002).
Adanya valin-523 memberikan konformasi pocket pada sisi aktif COX-2 (gambar 16)
sehingga akses obat golongan coxib mudah dan ikatan obat golongan coxib komplemen
dengan COX-2 tetapi tidak dengan COX-1, sehingga ikatan coxib spesifik pada COX-2 dan
mengeblok masuknya substrat (asam arakidonat) ke dalam sisi aktif COX-2 (gambar 14) dan
asam arakidonat tidak dapat dimetabolisme oleh COX-2, akan tetapi masih dimetabolisme
COX-1. Oleh karena itu, penghambatan COX-2 tidak menghentikan biosintesis prostaglandin
(oleh COX-1) yang berperan dalam proteksi saluran gastrointestinal terhadap asam lambung.
Contoh obat-obat golongan coxib (generik dan brand name):

Celecoxib (CelebrexŒ)
Pfizer
1st generation Rofecoxib (VioxxŒ)
Merck
1st generation
Valdecoxib (BextraŒ)
Pfizer
2nd generation Parecoxib (DynastatŒ)
Pfizer
2nd generation
Prodrug of Bextra
IV injection
Etoricoxib (ArcoxiaŒ)
Merck
2nd generation
IV injection Lumiracoxib (PrexigeŒ)
Novartis
2nd generation
Phase III trials

Gambar 13. Ilustrasi perbedaan COX-1 dan COX-2.

Selain COX, target aksi obat-obat antiinflamasi adalah enzim fosfolipase dan LOX. Enzim
fosfolipase dihambat oleh obat antiinflamasi steroid (hidrokortison, deksametason,
betametason, prednison, fluosinolon-asetonide, fluprednidine, metil-prednisolon, dll),
sedangkan enzim LOX khususnya 5-LOX dihambat oleh sulfasalazin sehingga pembentukan
leukotrien C4 dari leukotrien A4 terhambat. Kurkumin diduga menghambat inflamasi melalui
penghambatan enzim glutation S-transferase (GST) kelas µ yang(dari mengkatalisis
pembentukan PGD2, PGE2, PGF2 PGH2, berbagai mediator inflamasi. Penghambatan
biosintesis PG parasetamol terjadi pada lingkungan yang rendah kadar peroksidanya, seperti
di hipotalamus. Padahal, lokasi inflamasi biasanya mengandung banyak peroksida. Ini
menjelaskan mengapa parasetamol memiliki efek antipiretik, sedangkan efek
antiinflamasinya praktis tidak ada. Target aksi obat-obat antiinflamasi dan jenis mediator
yang dihambat digambarkan pada skema berikut ini:

Gambar 14. Pengeblokan masuknya asam arakidonat pada sisi aktif COX-2 oleh obat-obat
golongan coxib.

Gambar 15. Sekuen asam amino COX-1 dan COX-2.

Gambar 16. Konformasi pocket obat-obat golongan coxib pada COX-2.

Metode farmakologi guna mengukur aktivitas penghambatan COX telah banyak


dikembangkan. Penghambatan COX-1 dapat ditentukan pada sel-sel isolasi, misal: isolasi
dari endotelium aorta, sedangkan COX-2 dapat ditentukan menggunakan kultur makrofag
dan perlakuan dengan endotoksin. Aktivitas COX dapat ditentukan dengan mengukur salah
satu dari metabolit, setelah penambahan asam arakidonat, menggunakan metode radio-
imunoassay (Timmerman, 1997).
Pembentukan malondialdehida (MDA), salah satu dari produk metabolit stabil setelah proses
siklooksigenasi asam arakidonat (gambar 6) dapat dijadikan indikator aktivitas COX.
Penentuan konsentrasi MDA dilakukan dengan menggunakan metode spektrofluorometri.
MDA bereaksi dengan asam tiobarbiturat (ATB) pada pH rendah dengan pemanasan
membentuk produk berwarna merah-ungu fluoresen yang dapat diukur secara
spektrofluorometri pada Ȝ emisi 553 nm dan Ȝ 510 nm (Kappus, 1985). Reaksi yang terjadi
tersaji pada gambar 17.
Gambar 17. Reaksi antara MDA dengan ATB (Shahidi dan Hong, 1991; Sardjiman, 2000).

ANALGETIK

Prostaglandin (PG)
KPG ð pirogen endogen
PG menyebabkan sensitisasi reseptor Knyeri
KPG menimbulkan kondisi hiperalgesia pd jaringan yg meradang
Analgetik opioid
KGol.obat yg memiliki sifat spt opium/morfin
Menimbulkan Kadiksi:
KHabituasi
KKetergantungan fisik
Usaha utk Kmendptkan analgesik ideal:
Potensi analgesik yg sama kuat dgn K morfin
KTanpa bahaya adiksi
KObat yg berasal dr opium-morfin
KSeny. semisintetik morfin
KSeny. sintetik yg berefek spt morfin
KAnalgesik opioid bekerja pd reseptor opioid (di sel otak)
Reseptor Kopioid: ȝ, ț, ı, į, İ.
Atas dasar kerjanya pd reseptor opioid, Kanalgetik opioid dibagi mjd:
Agonis opioid menyerupai morfin (pd Kreseptor ȝ, ț)
KMorfin, fentanil
KAntagonis opioid
KNalokson
Menurunkan ambang nyeri pd pasien yg ambang nyerinya Ktinggi
KOpioid dgn kerja campur
Nalorfin, pentazosin, Kbuprenorfin, malbufin, butorfanol
KPentazosin
Antagonis lemah Kpd reseptor ȝ ttp mrpkn agonis kuat pd reseptor ț.
Efek analgesia Kyg timbul agaknya krn efeknya pd reseptor ț.
KButorfanol
KDihipotesiskan bekerja pd reseptor ț.
Efek analgesia yg timbul Kagaknya krn efeknya pd reseptor ț.
Efek analgetik morfin timbul Kberdsr mekanisme:
KMorfin meningkatkan ambang rangsang nyeri
KMorfin memudahkan tidur & pada waktu tidur ambang rangsang nyeri meningkat
KEfek analgetik meperidin & derivat fenilpiperidin
KSerupa dgn efek analgetik morfin tp masa kerja lbh pendek
Petidin, Kpiminodin, ketobemidon, fenoperidin, fentanil

KEMOTERAPI PARASIT
A. Antibiotik
Perbedaan antimikroba dengan antibiotik terletak pada sumber senyawa tersebut disintesis.
Antimikroba pada umumnya merupakan hasil sintesis, sedangkan antibiotik merupakan hasil
metabolisme (metabolit) koloni mikroba/bakteri tertentu. Antimikroba memiliki toksisitas
selektif, dalam arti membunuh bakteri-bakteri patogen dan tidak berefek terhadap flora
normal hospes. Berdasar toksisitasnya terhadap bakteri patogen, antimikroba/antibiotik dibagi
menjadi bakterisida (membunuh bakteri, dengan parameter kadar bunuh minimun/KBM) dan
bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri dengan parameter kadar hambat
minimun/KHM). Berdasar spektrum kerjanya, antimikroba/antibiotik dibagi menjadi
antibiotik spektrum sempit, misal: golongan penisilin (benzil penisilin, penisilin V, nafsilin,
metisilin, kloksasilin, oksasilin), streptomisin, dan antibiotik spektrum luas, misal: tetrasiklin,
golongan sulfa (sulfonamid, kotrimoksazol, para amino-salisilat (PAS)), sulfon (dapson),
golongan penisilin (aminopenisilin, tikarsilin, karbenisilin) dan kloramfenikol.
Mekanisme antibiotik dalam membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri adalah:
menghambat metabolisme sel mikroba, mengganggu permeabilitas membran sel mikroba,
menghambat sistesis protein sel mikroba, menghambat sintesis asam nukleat, menghambat
pembelahan sel mikroba, dan menghambat sintesis dinding sel mikroba.

1. Menghambat sintesis dinding sel bakteri


Penisilin merupakan golongan antibiotik yang penting, walaupun setelah penisilin disintesis,
muncul berbagai agen antimikroba. Penisilin banyak digunakan, merupakan major
antibiotics, dan berbagai turunannya telah banyak diproduksi. Penisilin termasuk drugs of
choice untuk berbagai jenis penyakit infeksi.
Penisilin adalah antibiotik pertama yang ditemukan sebagai produk/metabolit dari jamur
Penicillium. Pada 1928, Alexander Fleming, profesor bakteriologi dari rumah sakit St. Mary's
London, menumbuhkan koloni Staphylococcus aureus. Dia menemukan zona penghambatan
di sekitar koloni dan adanya spora yang tumbuh. Jamur yang tumbuh tersebut dinamakan
Penicillium rubrum dan diketahui mensekresi senyawa yang mampu menghambat bakteri
gram positif.
1928 ± Alexander Fleming
Menumbuhkan koloni Penicillium notatum
1939 ± Florey, Chain, and Associates
Mengisolasi dan sintesis penisilin
1944 ± Penisilin digunakan untuk  pengobatan infeksi
Akhir 1940¶s ± digunakan secara luas di  Amerika

Golongan penisilin dan golongan sefalosporin disebut sebagai antibiotik golongan beta-
laktam; dicirikan dengan tiga struktur (gambar 1) yaitu: cincin beta-laktam (biru dan merah),
gugus asam karboksilat bebas (merah), dan satu atau lebih rantai asam amino tersubstitusi
(hitam).

Gambar 1. Struktur beta-laktam (penisilin)

Struktur beta-laktam terdiri dari asam amino sistein (biru) dan valin (merah) yang terikat
secara kovalen. Cincin ini diperlukan untuk aktivitas biologi; perubahan cincin ini karena
metabolisme atau senyawa kimia menyebabkan hilangnya aktivitas antibakteri secara
signifikan. Antibiotik beta-laktam yang digunakan dalam klinik adalah penisilin,
sefalosporin, monobaktam, dan karbapenem.
Klasifikasi
Penisilin (penisilin G, p.o) ± aktif melawan gram-cocci, non-beta-lactamase-producing
anaerobes,bakteri gram+, rusak oleh asam lambung, diberikan secara parenteral (i.m), dibuat
turunannya yaitu penicillin V (K+ salt PEN-VEE K, V-CILLIN K, p.o).
 Antistaphylococcal penisilin (nafsilin) ± resisten terhadap staphylococcal beta-lactamases,
aktif terhadap staphylococci dan streptococci.
Extended-spectrum penisilin (ampisilin) ± spektrum terhadap gram±, rusak oleh aktivitas
beta-laktamase sepertiluas, aktif gambar di bawah ini:

Mekanisme aksi obat melalui penghambatan enzim


Semua obat turunan penisilin memiliki efek bakteriosida melalui penghambatan sintesis
dinding sel bakteri yaitu dengan mencegah cross-linking rantai peptida-mucosaccharide. Jika
dinding sel tidak disintesis dengan benar, maka air mudah masuk ke dalam sel bakteri yang
menyebabkan sel menggembung dan akhirnya meledak/hancur.

Sintesis dinding sel bakteri


Dinding sel bakteri esensial untuk pertumbuhan bakteri. Peptidoglikan merupakan komponen
dinding sel bakteri yang heteropolymeric yang menjaga rigiditas dan stabilitas melalui cross-
linked struktur rantai. Peptidoglikan terdiri dari rantai peptida cross-linked dengan rantai
glikan yang linier dengan dua gugus amino gula (N-acetylglucosamine dan N-acetylmuramic
acid, NAG-NAM). Pada bakteri gram+, dinding sel terdiri dari 50-100 molekul
peptidoglikan, tapi pada gram± hanya 1-2 molekul (gambar 2).

Gambar 2. Perbandingan struktur dan komposisi dinding sel bakteri gram+ dan gram±

Biosintesis peptidoglikan melibatkan 30 jenis enzim dalam bakteri dan terjadi melalui 3
tahap:
pertama, pembentukan prekursor, terjadi di sitoplasma, menghasilkan produk uridine
diphosphate (UDP)-acetylmuramyl-pentapeptide, disebut sebagai "Park nucleotide". Produk
ini terakumulasi dalam sel ketika tahap ini dihambat. "Park nucleotide" selanjutnya
digandeng dengan suatu dipeptida D-alanil-D-alanin. (Sintesis dipeptida ini sebelumnya
melibatkan proses rasemisasi L-alanin dan kondensasi yang dikatalis oleh D-alanil-D-alanin
sintetase.)
kedua, terbentuk ikatan antara UDP-acetylglucosamine (dengan UDP-acetylmuramyl-
pentapeptide dan melepaskan nukleotida uridin) untuk membentuk polimer yang panjang.
 ketiga, tahap penyelesaian cross-link. Tahap ini disempurnakan oleh reaksi transpeptidasi,
dikatalis enzim transpeptidase, terjadi pada membran sel bagian luar. Residu glisin terminal
pada jembatan pentaglycine diikatkan pada residu keempat (D-alanin) dari pentapeptida
"Park nucleotide", melepaskan residu D-alanin yang kelima.
Tahap akhir inilah yang dihambat oleh antibiotik beta-laktam yaitu dengan menghambat
aktivitas enzim transpeptidase (penisilin mengikat residu serin enzim transpeptidase) secara
irreversible (gambar 3) hingga terjadi hambatan proses transpeptidasi antar rantai
peptidoglikan, gangguan pada pertumbuhan dan sintesis dinding sel bakteri terhambat.
Sekumpulan protein sebagai tempat terikatnya penisilin dan sefalosporin pada dinding sel
bakteri disebut penicillin-binding proteins (PBPs).

Gambar 3. Reaksi transpeptidase pada Staphylococcus aureus yang dihambat oleh antibiotik
beta-laktam
2. Menghambat metabolisme sel mikroba

Mikroba memerlukan PABA (p-aminobenzoic acid) untuk membentuk asam folat yang
digunakan untuk sintesis purin dan asam-asam nukleat (gambar 4). PABA direduksi menjadi
asam dihidrofolat dan asam tetrahidrofolat masing-masing dikatalis oleh enzim dihidropteroat
sintetase dan dihidrofolat reduktase. Aktivitas kedua enzim tersebut dihambat oleh
sulfonamid (berkompetisi dengan PABA) dan trimetoprim. Kombinasi trimetoprim-
sulfametoksazol (kotrimoksazol) memberikan efek sinergistik kuat karena mampu
menghambat aktivitas dua enzim tersebut. Tetrahidrofolat penting karena diperlukan untuk
reaksi transfer 1 atom C pada pembentukan basa purin, asam amino metionin dan glisin.
Sulfonamid merupakan penghambat bersaing PABA. Sel mikroba mampu mensintesis asam
folat sendiri, sedangkan manusia tidak dapat mensintesis asam folat (intake asam folat
diperoleh dari luar). Oleh karena itu, sel-sel mamalia tidak dipengaruhi oleh sulfonamid
karena menggunakan folat jadi yang terdapat dalam makanan (tidak mensintesis sendiri
senyawa tersebut). Dalam proses sintesis asam folat, bila PABA digantikan oleh sulfonamid,
maka akan terbentuk analog asam folat yang tidak fungsional. Contoh lain obat yang
menghambat metabolisme sel mikroba adalah PAS, etambutol, dan sulfon (dapson).

Gambar 4. Reaksi sintesis purin dan asam nukleat

3. Mengganggu permeabilitas membran sel mikroba

a. Golongan polimiksin mengganggu permeabilitas membran sel mikroba dengan berikatan


dengan gugus fosfat pada fosfolipid membran sel mikroba ð mengganggu fungsi pengaturan
osmosis.
b. Tidak efektif untuk kuman gram positif.
c. Golongan polien (nistatin) berikatan dengan struktur sterol (ergosterol) membran sel fungi
sehingga golongan ini tidak sensitif untuk bakteri, virus, dan ricketsia, tapi spesifik untuk
infeksi fungi.
4. Menghambat sistesis protein sel mikroba
=Contoh: golongan aminoglikosida (paramomisin, gentamisin, kanamisin, neomisin,
tobramisin, netilmisin, amikasin), golongan makrolida (eritromisin, streptomisin, spiramisin,
roksitromisin, klaritromisin), linkomisin, klindamisin, tetrasiklin, dan kloramfenikol.
Golongan pada=aminoglikosida dan tetrasiklin mengikat komponen ribosom 30S bakteri,
sedangkan golongan makrolida, linkomisin, dan klindamisin mengikat komponen ribosom
50S.
Kloramfenikol dan tiamfenikol sehingga tidak terbentuk ikatan= menghambat enzim peptidil
transferase transpeptidase ð tidak terbentuk protein.

5. Menghambat sintesis asam nukleat


Misal: rifampisin dan golongan kuinolon (asam siprofloksasin, ofloksasin, norfloksasin,
pefloksasin,=nalidiksat, enoksasin).
Rifampisin berikatan dengan enzim RNA-polymerase ð RNA dan DNA.= menghambat
sintesis
Inti RNA-polymerase dari berbagai rifampisin sehingga sintesis asam nukleat=sel eukariotik
tidak mengikat mamalia (hospes) tidak terpengaruh.
Golongan kuinolon mengikat (tidak membentuk spiral) ð= enzim DNA girase ð kromosom
tidak tertata sintesis DNA tidak sempurna.

6. Menghambat pembelahan sel mikroba


Isoniazid dan pirazinamid ð menghambat biosintesis asam mikolat.

B. Antijamur
= Amfoterisin B, ketokonazol, itrakonazol, flukonazol
± Fungistatik & fungisida
± Berikatan dgn ergosterol (komponen membran sel fungi) ð membran sel bocor ð kehilangan
bhn2 intrasel ð irreversibel
=Flusitosin
± Mekanisme: bergabung dgn RNA setelah mengalami deaminasi mjd 5-fluorourasil ð
sintesis DNA ð sintesis protein
± Keadaan ini tdk tjd pd sel mamalia (flusitosin tdk diubah mjd 5-fluorourasil ð aman bagi
hospes)

= Griseofulvin
± Menghambat mitosis jamur dgn mengikat protein mikrotubuler dlm sel jamur
± Fungisida
Mikonazol, klotrimazol, ekonazol, isokonazol, tiokonazol, =bifonazol
=Mekanisme:
± Berikatan dengan ergosterol (komponen membran sel fungi) ð membran sel bocor ð
kehilangan bahan-bahan intrasel ð irreversibel
± Mengganggu sintesis asam nuklet
± Menimbun peroksida dlm sel jamur ð kerusakan sel jamur
= Antijamur Topikal:
± Kandisidin, asam benzoat-asam salisilat, asam undesilenat, haloprogin, natamisin,
siklopiroksolamin

C. Antimalaria
Malaria, dikelompokkan berdasar penyebabnya:
Tropika ð Plasmodium falcifarum
Tertiana ð Plasmodium vivax
Kuartana ð Plasmodium malariae
Manusia ð hospes antara
Nyamuk anopheles ð
a. Vektor
b. Hospes definitif
KLASIFIKASI
Skizontosid jaringan dan darah
± Bekerja thdp merozoit (fase eritrosit)
± Tdk terbentuk skizon baru ð tdk tjd penghancuran eritrosit ð mengendalikan serangan klinik
± Klorokuin, kuinin, meflokuin
± Bekerja jg pd skizon yg br memasuki jar hati ð Tahap infeksi eritrosit dpt dicegah ð terapi
kausal
=Pirimetamin, primakuin
± Skizontosid kerja cepat: Halofantrin
Gametosid
± Membunuh gametosid dlm eritrosit
± Klorokuin, kuinin, meflokuin ð P. vivax, P. malariae
± Primakuin ð P. falcifarum

3. Sporontosid
± Menghambat perkembangan gametosit
± Rantai penularan terputus
± Primakuin, kloroguanid
Mekanisme
=Menghambat DNA-polimerase & RNA-polimerase
± Berikatan dgn guanin rantai DNA
± Obat terakumulasi pd eritrosit nyamuk anopheles
± Klorokuin, primakuin, kuinin, meflokuin
Menghambat enzim pertumbuhan= dihidrofolat reduktase plasmodia ð pembelahan inti pd
skizon di hati terhambat (Mis. Pirimetamin)
Menghancurkan tissue =stage form plasmodia (Mis. Primakuin)
Mengikat folat dlm tubuh =nyamuk (Mis. Proguanil, kloroguanid)
Menghambat sintesis protein =dlm tubuh nyamuk: artemisinin

SITOSTATIKA (antikanker)

Kanker
penyakit yang ditandai dengan pembelahan sel yang tidak serta kemampuan dari sel-sel
tersebut untuk menyerang terkendali, jaringan biologis lainnya, baik dengan pertumbuhan
langsung di jaringan yang bersebelahan (invasi) atau dengan migrasi sel ke tempat yang jauh
(metastasis).
Penyebaran kanker:
‡ jaringan tetangga: paru-paru dan hati
‡ jaringan lain
Factor penyebab:
 Virus
 Hormon
Penyinaran yang berlebih
Senyawa kimia
Makanan tertentu
 Kelemahan genetis pada sel-sel tubuh

Mutasi DNA,  sel, gen apoptosis (p53), tumor supresor gen


Menurunnya ekspresi thdp sinyal antidan fungsi tumor supresor gen shg sel tdk sensitif
pertumbuhan
 Kesalahan dlm mitosis
Tdk ada kontrol pertumbuhan terbatas) (memiliki kemampuan replikasi tdk
Pertumbuhan sel kanker dibuatbersifat keseimbangan positif (jumlah sel yg > jumlah sel yg
mati, kecepatan proliferasi sel > mekanisme apoptosis)
Meningkatkan ekspresi dan fungsi onkogen
 What is ³oncogene´?
 Originally, identified as:
Genes responsible for establishing tumor cell lines

Activation of c-src in human cancer e.g. causal roles in colorectal cancer etc.

Mempunyai mekanisme angiogenesis (indikator adanya potensi metastasis)


mampu melakukan metastasis & invasi

FASE KARSINOGENESIS
Inisiasi
‡ Tahap awal karsinogenesis
‡ Tjd perubahan genetik dlm sel yg (krn mutasi gen/sel, kesalahan selama proses mitosis, zat
karsinogenik) menyebabkan abnormalitas proliferasi sel tunggal tp blm menimbulkan kanker
Promosi
‡ Sel tumbuh sangat cepat membtk sebuah formasi kecil (tumor, benigna)
‡ Tjd peningkatan kecepatan proliferasi yg dpt menyebabkan kerusakan sel (ekspresi COX-2
tinggi)
Progresi
‡ Sel tumbuh mjd sebuah kumpulan sel yg besar dgn tingkat kecepatan proliferatif yg tinggi
‡ Tjd peningkatan mobilitas
‡ Terbentuk angiogenesis
Metastasis
‡ Masuknya sel kanker ke sirkulasi darah, jaringan limfatik, dan tjd perlekatan sel kanker pd
permukaan jaringan baru dlm tubuh
‡ Menyebar ke jaringan tetangga dan tumbuh di sana

JENIS KANKER
 Karsinoma
‡ Kanker yg tumbuh dr jar.epitel yg meliputi membran mukosa dan kelenjar
‡ Kanker payudara, paru2, ovarium
Sarkoma
‡ Kanker yg tumbuh dr jar.mesodermal yg meliputi dr jar.ikat, tulang, sel otot
 Blastoma
‡ Kanker yg tumbuh dr sel hemopoetik dan jar.darah yg meliputi jar.limfoid, sel erithroid
Leukimia
‡ Kanker yg tumbuh dr leukosit

PENGOBATAN KANKER

Kemoterapi (sitostatika), pembedahan (operasi), penyinaran (radioterapi), imunoterapi


(meningkatkan daya tahan tubuh), pengobatan dgn hormon

tujuannya :
Menghilangkan semua sel  kanker di tubuh, bahkan saat telah menyebar
Memperpanjang harapan penyebaran kanker hidup dengan membatasi pertumbuhan dan
Menyembuhkan gejala dan meningkatkan kualitas hidup

JENIS SITOSTATIKA

Tumbuh ĺ sintesis DNA, sintesis protein


ð anti pertumbuhan (anti EGFR)
 mekanisme kematian sel kanker = apoptosis
ð induksi apoptosis
Proliferasi sel ð antiproliferatif (doxorubucin, estrogen shg tdk terikat dgn
reseptornya,tamoxifen (mengeblok flavopiridol, genistein)
Perkembangan pembuluh darah (angiogenesis)
‡ pensuplay oksigen dan nutrisi ke dalam sel melalui pembuluh darah à sel kanker dengan
cepat mengalami pertumbuhan, perkembangan, serta pembelahan
ð antiangiogenesis (inhibitor angiogenesis)

Chemoprevention ð antioksidan (vit.C, vit.E, resveratrol, genistein, epigallocathecin-3-


gallate (EGCG), gingerol, kurkuminoid, betakaroten, flavonoid)
COX-2 inhibitor (coxib drugs, meloksikam, tenoksikam)
 Analgetik opioid
 Bekerja pada cell cycle ???

ANTIANGIOGENESIS

 obat yang bekerja dengan mengeblok angiogenesis, dalam perkembangan pembentukan


pembuluh darah pada tumor
Anti-VEGF, avastin, talidomid, combretastatin, angiostatin, suramin vitaxin, zoledronate,
endostatin,
Resveratrol, genistein, EGCG, silymarin, apigenin

INDUKSI APOPTOSIS

Mis.: Imexon, gemcitabin.


P53 in response to genetic damage stops the cell cycle, in case of severe damage it induces
apoptosis

Sitostatika yang mempengaruhi siklus sel (spesifik)


‡ Antimetabolit
‡ Bleomisin
‡ Alkaloid Podofilin
‡ Alkaloid Tanaman
Sitostatika yang mempengaruhi siklus sel (non-spesifik)
‡ Senyawa pengalkil (Alkylating Agents)
‡ Antibiotik
‡ Sisplatin
‡ Nitrosourea

‡ Sitostatika yang mempengaruhi siklus sel (spesifik) digunakan pada tumor dengan
pertumbuhan dan proliferasi sel yang cepat
‡ Sitostatika yang mempengaruhi siklus sel (non-spesifik) mengikat DNA dan merusaknya.
Digunakan pada pertumbuhan fraksi tumor padat yang lambat menjadi fraksi tumor yang
tumbuh secara cepat
‡ Sitostatika yang mempengaruhi siklus sel (spesifik) hanya membunuh/menghambat
terjadinya siklus sell, sedangkan sitostatika yang mempengaruhi siklus sel (non-spesifik)
membunuh sel yang terlibat dalam siklus sel juga sel-sel di luar siklus sel (G0 /quiescent)
‡ Sel yang terlibat dalam siklus sel lebih sensitif
Alkylating Agents
Mechanism of Action

 Alkylate within DNA at the N7 position of guanine


Resulting in in depurination miscoding through abnormal base-pairing with thymine or by
excision of guanine residues, leading to strand breakage
Cross-linking of DNA and ring cleavage may also occur

FOLAT
Folic acid analogues

An essential factor, from which THF cofactors single carbon groups for the synthesis ofare
formed which provide precursors of DNA and RNA
Folate is involved with methylations such converts uracil to thymine. as the one above that
The chemotherapy into an active form drug methotrexate blocks the processing of folate
(DHF ð THF). The net effect is the same as with flurouracil

VINCA ALKALOIDS
Inhibit microtubules (spindle), causing metaphase cell arrest in M phase.
Resulting : in mitotic arrest at metaphase, dissolution of the mitotic spindle,
chromosome segregation.

Antibiotic
Daunorubicin Anthracyclines- Doxorubicin
 Dactinomycin
Plicamycin
Mitomycin
 Bleomycin

Anthracyclines, Mechanism of Action

High-affinity binding to DNA, resulting in synthesisblockade of DNA and RNA


DNA strand scission via effects on Top II
 Binding to membranes altering fluidity
Generation of the semiquinone free radical and oxygen radicals

Anthracyclines, Therapeutic Uses


Doxorubicin- carcinomas of the breast, thyroid, and lung, Ewing¶s sarcoma,
and endometrium, ovary, testicle, osteosarcoma
 Daunorubicin- acute leukemia

Dactinomycin, Mechanism of Action


Binds to double stranded DNA through intercalation between adjace guanine-cytosine base
pairsnt
Inhibits all forms of DNA-dependent RNA synthesis
Anti-estrogens
Tamoxifen (SERMs)
Raloxifene (SERMs)
Faslodex

Tamoxifen
Selective estrogen receptor modulator (SERM),
Binds to the estrogen receptors (ER) and induces conformational changes in receptor
 Has antiestrogenic effects on breast tissue.
Subsequent to tamoxifen ER binding, the expression of estrogen dependent genes is blocked
or altered
Resulting in decreased  estrogen response.

Tamoxifen, Therapeutic Uses


Tamoxifen in both mencan be used as primary therapy for metastatic breast cancer and
postmenopausal women
Patients with estrogen-receptor (ER) to respond to tamoxifen therapypositive tumors are
more likely

Aromatase Inhibitors
 Aminogluthethimide
 Anastrozole

Aminogluthethimide, Mechanism of Action


Inhibitor of adrenal steroid synthesis at the of cholesterol of pregnenolone first step,
conversion
Inhibits the  extra-adrenal synthesis of estrone and estradiol
Inhibits the  enzyme aromatase that converts androstenedione to estrone

Resistensi sitostatika
Peningkatan ekspresi gen MDR-1 pada permukaan sel P-glikoproteinglikoprotein,
 Gen MDR-1 terlibat dengan efflux obat
 Obat yang mengalami reverse multidrug resistance termasuk verapamil, kuinidin, dan
siklosporin
MDR meningkatkan resistensi sitostatika di antaranya antrasiklin, alkaloidalami (dari
tanaman obat alam) vinca, dan epipodofilotoksin

ANTIVIRUS
VIRUS
Parasit intrasel yang mampu mereplikasi diri dalam hospes
Terdiri olehdari: inti genome dalam suatu kapsul protein yang dikelilingi lipoprotein.
Tanpa dinding sel dan membrane sel
Tidak ada proses metabolisme (carry out)
Replikasi diri tergantung pada  mesin¶ hospes
Tahap replikasi virus
1) adsorpsi dan penetrasi ke dalam sel hospes
2) uncoating asam nukleat virus
3) sintesis protein pengatur
4) sintesis RNA atau DNA
5) sintesis protein struktur
6) penyusunan partikel virus
7) release dari sel hospes

TARGET AKSI ANTIVIRUS

ANTIVIRUS
Mengeblok masuknya virus ke sel hospes atau bekerja di dalam sel hospes (jika virus telah
masuk ke sel hospes)
Pada umumnya  merupakan analog nukleotida pirimidin atau purin
ANTIHERPES
 Acyclovir - sebagai prototype
 Valacyclovir
Famciclovir
Penciclovir
Trifluridine
 Vidarabine
Mekanisme aksi Acyclovir
Suatu turunan guanosin asiklik
Terfosforilasi oleh enzim timidin kinase virus
Mengalami di-dan tri-fosforilasi oleh  enzim selular sel hospes
Menghambat sintesis DNA virus dengan:
1) berkompetisi dengan dGTP (untuk DNA polymerase virus)
2) terminasi rantai DNA

Mekanisme resistensi Acyclovir


perubahan/mutasi enzim timidin kinase virus
perubahan/mutasi enzim  DNA polymerase virus
Cross-resistance dengan valacyclovir, famciclovir, dan ganciclovir
Penggunaan klinik Acyclovir
oral, I.V., dan topikal
diekskresi oleh filtrasi glomerular dan sekresi tubular
 Untuk:
(HSV)Herpes Simplex Virus 1 dan 2
 Varicella-zoster virus (VZV)
Efek samping: mual, diare, sakit  kepala, tremor, dan delirium
Penggunaan klinik Valacyclovir
Merupakan bentuk ester (L-valyl ester) dari acyclovir
Diubah  menjadi acyclovir when ingested
M.O.A.: same as acyclovir
 Uses:
1) recurrent genital herpes
2) herpes zoster infections
Side Effects: nausea, diarrhea, and headache
Penggunaan klinik Famcyclovir
Prodrug dari penciclovir (suatu analog guanosin)
M.O.A.: same as acyclovir
does not cause chain termination
 Uses: HSV-1, HSV-2, VZV, EBV, and hepatitis B
Side Effects: nausea, diarrhea, and headache
Penggunaan klinik Trifluridine
Trifluridine-fluorinated pyrimidine
inhibits viral DNA synthesis same as acyclovir
incorporates into viral and  cellular DNA
 Uses: HSV-1 and HSV-2 (topically)
Penggunaan klinik Vidarabine
Suatu analog adenosin
Menghambat enzim DNA polymerase virus
incorporated into viral and cellular DNA
 metabolized to hypoxanthine arabinoside
Side Effects: GI  intolerance and myelosuppression
Anti-Cytomegalovirus (Anti-CMV)
 Gancyclovir
 Valgancyclovir
Cidofovir
Foscarnet
Fomivirsen
Gancyclovir
 An acyclic guanosine analog
requires triphosphorylation for activation
monophosphorylation is catalyzed thymidine kinase in HSV cells  by a phosphotransferase in
CMV and by
M.O.A.: same as acyclovir
 Uses: CMV*, HSV, VZV,and EBV
Side Effect: myelosuppression
Valgancyclovir
Monovalyl ester prodrug  of gancyclovir
Metabolized by intestinal and hepatic esterases orallywhen administered

M.O.A.: same as gancyclovir


Uses: CMV*
Side Effect: myelosuppression
Cidofovir
A cytosine analog
phosphorylation not dependent on viral enzymes
Uses: CMV*, HSV-1, HSV-2, VZV, EBV, HHV-6, adenovirus, and human papillomavirus
Side Effects: nephrotoxicity (prevented by admin. of probenecid)
Resistance: mutation in DNA polymerase gene
Foscarnet
 An inorganic pyrophosphate
inhibits viral DNA polymerase, RNA transcriptase polymerase, and HIV reverse
does not have to be phosphorylated
 Uses: HSV, VZV, CMV, EBV, HHV-6, HBV, and HIV
Resistance due to mutations in DNA polymerase gene
Side Effects:  hypo- or hypercalcemia and phosphotemia
Fomivirsen
An  oligonucleotide
M.O.A.: binds to mRNA and inhibits protein replication synthesis and viral
 Uses: CMV retinitis
Side  effects: iritis and increased intraocular pressure

Antiretrovirus
1) Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTIs)
2) Nonnucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTIs)
3)Protease inhibitors
Reverse Transcriptase Inhibitors
Zidovudine (AZT)
Didanosine- causes pancreatitis*
Lamivudine- causes pancreatitis
Zalcitabine-  causes peripheral neuropathy*
Stavudine- causes peripheral  neuropathy*
 Abacavir
Mechanism of Action Zidovudine (AZT)
A deoxythymidine analog
 enters the cell via passive diffusion
 must be converted to the triphosphate form by mammalian thymidine kinase
competitively inhibits deoxythymidine triphosphate for the transcriptase enzymereverse
 causes chain termination
Mechanism of Resistance Zidovudine
Due to mutations in the reverse transcriptase gene

more frequent after prolong therapy and in persons with HIV


Clinical Uses Zidovudine
Available in IV and  oral formulations
activity against HIV-1, HIV-2, and human T cell  lymphotropic viruses
mainly used for treatment of HIV, decreases prolongs survivalrate of progression and
prevents mother to  newborn transmission of HIV
Side Effects Zidovudine
Myelosuppression, including anemia and neutropenia
GI intolerance, headaches, and insomnia
Other NRTIs
Didanosine- synthetic deoxy-adenosine analog; causes pancreatitis*
Lamivudine- cytosine analog
Zalcitabine- cytosine analog; causes peripheral neuropathy*
Stavudine- thymidine analog;causes peripheral neuropathy*
fatal Abacavir- guanosine analog; more effective than the other agents; hypersensitivity
reactions can occur
Nucleotide Inhibitors
Tenofovir
 Adefovir
Tenofir
An acyclic nucleoside  phosphonate analog of adenosine
M.O.A.- competively inhibits HIV chain termination after incorporationreverse
transcriptase and causes into DNA
Uses ± in combination with other antiretrovirals for HIV-1 suppression
Adefovir
 An analog of adenosine monophosphate
Phosphorylated by cellular kinases
M.O.A. - Competitively inhibits chain termination after HBV DNA polymerase and results
in incorporation into viral DNA
 Uses - Hepatitis B
Side effects ±  nephrotoxicity

Nonnucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTIs)


Nevirapine- prevents transmission of HIV from mother to given at onset of labor and to the
neonate at delivery newborn when
 Delavirdine- teratogenic, therefore can not be given during pregnancy
Efavirenz- teratogenic, therefore can not be given during pregnancy
Mekanisme aksi NNRTIs
Bind to site on viral reverse transcriptase, different from NRTIs
results in blockade of RNA and DNA dependent DNA  polymerase activity
 do not compete with nucleoside triphosphates
 do not require phosphorylation
these drugs can not be given alone
substrates and inhibitors of CYP3A4
Protease inhibitors
Indinavir
Ritonavir
Saquinavir
 Nelfinavir
 Amprenavir
Protease inhibitors
The protease enzyme cleaves infectious virions precursor molecules to produce mature,
these agents inhibit protease and prevent the spread of infection
These insulinagents cause a syndrome of altered body fat distribution, resistance, and
hyperlipidemia
Indinavir and Ritonavir
M.O.A.: Specific inhibitors of the HIV-1 protease enzyme
M.O.R.: mediated acid by expression of multiple and variable protease amino substitutions
Side Effects:hyperbilirubinemia
Contraindications:inhibitor/substrate for CPY3A4, do not give with antifungal azoles
Saquinavir
A synthetic peptide-like substrate analog
inhibits HIV-1 protease
prevents cleavage of viral polyproteins
Nelfinavir and Amprenavir
M.O.A.: Specific  inhibitors of the HIV-1 protease enzyme
M.O.R.: mediated by acid substitutions expression of multiple and variable protease amino
Less cross-resistance with Amprenavir
Side Effects: diarrhea and flatulence
 Amprenavir can cause Stevens-Johnson syndrome
Contraindications:inhibitor/substrate for CPY3A4
Fusion Inhibitors
Enfuvirtide (T-20)- binds to the gp41 subunit of the viral envelope glycoprotein, preventing
the conformational changes required for fusion of the viral and cellular membranes
By blocking fusion (entry into infecting CD4 cells cell), FUZEON prevents HIV from

Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI), non-nucleoside reverse transcriptase


inhibitor (NNRTI) and protease inhibitor (PI) classes prevent the replication of HIV by
working inside CD4 cells after they have been infected with HIV. The drugs in these three
classes then target specific steps in the replication process to prevent the creation of new HIV
particles.
Fusion inhibitors differ from these drugs because they work on the outside of the cell to
prevent HIV from fusing with, and infecting the CD4 cells in the first place.

Anti-Hepatitis Agents
Lamivudine -Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor  (NRTI)
 Adefovir -Nucleotide Inhibitor
Interferon Alfa
Pegylated Interferon Alfa
Ribavirin
Interferon
Interferon Alfa
Endogenous proteins
induce host cell enzymes that degradation of viral mRNA andinhibit viral RNA translation
and cause tRNA
 Bind to membrane receptors on cell surface
May also translation,inhibit viral penetration, uncoating, mRNA synthesis, and and virion
assembly and release
Pegylated interferon Alfa
A linear or branced polyethylene gylcol (PEG) moiety is attached to covalently to interferon
Increased half-life and steady drug  concentrations
Less frequent dosing
Tx chronic hepatitis C in  combination with ribavirin
Ribavirin
 A guanosine analog
phosphorylated intracellularly by host enzymes
inhibits capping of  viral messenger RNA
inhibits the viral RNA-dependent RNA polymerase
inhibits replication of DNA and RNA viruses

Antiinfluenza
 Amantadine
antadine Rim
Zanamivir
Amantadine dan Rimantadine
Suatu amin siklik
Menghambat uncoating RNA virus sehingga menghambat replikasi virus
resistance due to mutations in structural M2 proteinthe RNA sequence coding for the
untuk pencegahan dan pengobatan Influenza A
Zanamivir dan Oseltamivir
 menghambat enzim neuraminidase
menghambat replikasi virus influenza A dan Influenza B
untuk infeksi influenza yang uncomplicated
intranasal

ANTIHISTAMIN

‡ Histamine is a biogenic amine formed by the enzymatic decarboxylation of histidine.


‡ In a human organism, histamine is stored in its inactive form in mast cell and basophil
granules.
‡ The physiological secretion of histamine can be initiated by a number of factors, all of
which involve binding of IgE, cross-linked by antigen, to the mast cell or basophil¶s Fc
receptors causing degranulation of these cells.
‡ Once released, histamine binds to a number of different target cell receptors causing the
symptomatic effects of allergies.

‡ Mast cells and basophils derive from haematopoietic stem cell.


‡ They are both have high affinity IgE receptors on their surface.
‡ However, they are known to be morphologically distinct, have different staining
characteristics and that human basophils and mast cells differ in many functional aspects such
as the response to stimuli, and the mediators they produce.

‡ Biological activities of histamine in humans are dependent on plasma levels.


Histamine(ng/ml) Biological activities
0-1 None
1-2 Enhanced gastric acid secretion
3-5 Tachycardia, skin reaction
6-8 Decreased arterial pressure
7-12 Broncho-spasms
Approx. 100 Cardiac arrest
‡ Amine yg scr biologis aktif (histamin yg terikat tdk aktif)
‡ Kandungan histamin pd berbagai jar scr langsung berkaitan dgn kandungan sel mastnya
‡ Histamin yg tdk berasal dr sel mast
± Ditemukan di jar otak

‡ Fs. fisiologi histamin


± Sbg neurotransmiter
± Kontrol neuroendokrin
± Regulasi kardiovaskuler
± Pengaturan suhu
± Pembangkitan gairah (arousal)
± Berperan pd sekresi as. Lambung

³histamine mediates the allergic symptoms by binding to some receptor of histamine on the
cell´
Allergic symptoms including: sneezing, runny nose, itching, watery eyes.

HISTAMINE RECEPTORS: 1, 2, 3, «
H1: brain, smooth muscle from airways, gastrointestinal (GI) tract, genitourinary system, the
cardiovascular system, adrenal medulla, and endothelial cells, and lymphocytes.
H2: mediate the histamine induced gastric acid secretion. Antihistaminic agents that target
H2 receptor such as cemetidine and tagamet are used to treat some gastrointestinal diseases
such as peptic ulcers.
H3: ³neural autoreceptor (presynaptic) serving to modulate histamine synthesis and release in
the CNS´; one step up in the chain of histamine action
H4: found primarily in intestinal tissue, spleen, thymus, and immune active cells (such as T
cells, neutrophils, and eosinophils), ³which suggests an important role for H4 receptors in the
regulation of immune function´.

‡ Subtipe-subtipe reseptor (R) histamin

Subtipe R Distribusi Mekanisme pascareseptor Antagonis

H1 O. polos bronkus, Ĺ IP3, Ĺ DAG mepyramine


GI, endotelium, otak tripolidine

H2 Mukosa lambung Ĺ cAMP ranitidine


o. jtg, sel mast, otak tiotidine

H3 Prasinaps otak, sel- Coupled thioperamide


sel syaraf lain G-protein clobenpropit
iodophenpropit

First antihistamines

Toxic The first compound that was


used to treat human clinically.
FIRST GENERATION (Classical Antihistamines)
³compete against the receptors¶ natural substrate, histamine, in binding to the receptors ³

Side Effects: fatigue, dizziness, and sedation.


Due to: Structure fits relatively well to serve as an anticholinergic agent (specifically at the
muscarinic receptor) and has the ability to penetrate the blood brain barrier due to their
relative lipophilicity.

SECOND GENERATION (Non-sedative Antihistamines)

³the primary objective of antihistamine research over the past 10-15 years has centered on
developing new drugs with higher selectivity for H1 receptors and lacking undesirable CNS
actions´
Goal : designing antihistamines with ³reduced ability to penetrate the CNS and decreased
affinity for central histamine receptors´

Eliminated anticholinergic and antiadrenergic effects via bulky groups.


Researches also show that fexofenadine cannot cross the blood-brain barrier (note the polar
COOH and OH).

Contoh lain: Loratadine, Siproheptadine, Mebhidroline naphadisilat, Terfenadine

AntiDiabetes
Diabetes mellitus (DM) disebut juga kencing manis atau penyakit gula. Istilah ini berasal dari
bahasa yunani, diabetes: penerusan; mellitus: manis. Istilah ini menunjukkan tentang keadaan
tubuh penderita, yaitu adanya cairan manis yang mengalir terus. Diabetes mellitus merupakan
sekumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang ditandai dengan kadar gula darah yang
melebihi normal (hiperglikemia) akibat tubuh kekurangan insulin. Gejala yang sering
dikeluhkan pasien antara lain rasa haus, banyak kencing, rasa lapar tetapi berat badan turun,
badan terasa lemas, kesemutan, mata kabur, dan mudah terkena infeksi (Dalimartha, 1996).
Diabetes mellitus adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh adanya gangguan menahun
terutama pada sistem metabolisme karbohidrat, lemak dan juga protein dalam tubuh.
Gangguan metabolisme tersebut disebabkan kurangnya produksi hormon insulin yang
diperlukan dalam proses pengubahan gula menjadi tenaga serta sintesis lemak. Kondisi yang
demikian itu mengakibatkan terjadinya hiperglikemia, yaitu meningkatnya kadar gula dalam
darah atau terdapatnya kandungan gula dalam air kencing dan zat-zat keton serta asam (keto-
asidosis) yang berlebihan. Keberadaan zat-zat keton dan asam yang berlebihan ini
menyebabkan rasa haus yang terus menerus, banyak kencing, penurunan berat badan
meskipun selera makan tetap baik, penurunan daya tahan tubuh atau tubuh lemah dan mudah
sakit (Dalimartha, 1996; Price dan Wilson, 1995). Penderita kencing manis tidak jarang yang
harus meninggal pada usia muda. Perubahan cukup besar terjadi pada tahun 1921, yaitu
setelah Dr. Frederick Banting dan Prof. Charles Best (keduanya dari Inggris), berhasil
menemukan suatu zat yang disebut insulin. Dengan bantuan penambahan insulin buatan, para
penderita kencing manis dapat hidup dengan lebih baik dan dapat mencapai usia relatif
normal (Price dan Wilson, 1995).
Klasifikasi Diabetes Mellitus
1. Diabetes mellitus
a. Tipe I : Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)
b. Tipe II : Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)
2. Gangguan toleransi glukosa
3. Diabetes karena malnutrisi
4. Diabetes saat kehamilan (Price dan Wilson, 1995).
a. Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)
Penyakit ini umumnya diderita oleh orang muda berusia 30 tahunan atau bahkan sejak anak-
anak sehingga dinamakan juvenil onset diabetes. Penyakit diabetes tipe ini disebabkan oleh
adanya defisiensi insulin. Hal itu terjadi karena ada dari selvkerusakan -pankreas yang
merupakan sel penghasil insulin. Kerusakan tersebut akibat peradangan yang timbul karena
faktor lingkungan, bisa berupa virus yang menyerang atau zat kimia toksik. Diabetes tipe ini
sangat tergantung pada keberadaan insulin eksogen yang biasa diberikan melalui injeksi
insulin (Adam dan Adam, 2002; Chang, 2002; Price dan Wilson,1995).
b. Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)
Penyakit ini umumnya diderita orang dewasa yang sehingga disebut adultvberusia 40 tahun
keatas -pankreas penderita masih onset diabetes. Sel berfungsi tapi tidak efektif,
kemampuannya dalam mensekresi insulin menurun. Pengobatan biasanya bertujuan untuk
memelihara konsentrasi darah dalam batas normal dan mencegah komplikasi lebih lanjut.
Pengurangan berat badan (diet) dan olah raga merupakan terapi primer sedangkan terapi
sekunder dengan pemberian obat-obat antidiabetika oral (Adam dan Adam, 2002; Chang,
2002; Price dan Wilson, 1995).
Faktor-faktor yang memicu timbulnya diabetes, diantaranya adalah :
a. keturunan, 15-20% penderita Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)
mempunyai riwayat keluarga diabetes mellitus, sedangkan pada Insulin Dependent Diabetes
Mellitus (IDDM) sebanyak 60% berasal dari keluarga diabetes mellitus
b. virus, akibat penyakit parotis (infeksi virus yang menyerang sel ȕ-pankreas) dapat
meningkatkan Diabetes Mellitus (DM) pada anak-anak
c. kegemukan, pada orang gemuk aktifitas insulin di jaringan lemak dan otot menurun
d. usia, pada orang-orang yang telah berumur aktifitas sel ȕ-pankreas untuk menghasilkan
insulin menurun, selain itu sensitivitas sel-sel jaringan berkurang sehingga tidak menerima
insulin
e. diet, pola makan tinggi karbohidrat
f. hormon, beberapa hormon seperti glukagon, hormon pertumbuhan, tiroksin, epinefrin, dan
kortison mempunyai aktivitas antagonis terhadap insulin
g. obat, jenis obat-obatan seperti diuretika, adrenalin, kortikosteroid, kontrasepsi oral dapat
meningkatkan kadar glukosa darah (Chang, 2002).
c. Gangguan toleransi glukosa
Pengaturan kadar glukosa yang stabil dalam darah adalah mekanisme homeostatik yang
merupakan kesatuan proses ikut berperannya hati, jaringan ekstra hepatik, dan beberapa
hormon. Pada kondisi kadar glukosa darah normal (80-100 mg/dl), hati ternyata merupakan
satu-satunya penghasil glukosa. Pada kondisi puasa, kadarnya menurun menjadi sekitar 60-70
mg/dl. Dalam keadaan normal kadar glukosa darah terkontrol dalam batas-batas tersebut.
Gangguan toleransi gula terjadi karena adanya peningkatan kadar glukosa diatas normal.
Orang yang mengidap gangguan toleransi gula mempunyai resiko untuk menjadi penderita
diabetes mellitus tipe II (Dalimartha, 1996).
Kemampuan tubuh dalam memanfaatkan glukosa dapat ditentukan dengan mengukur
toleransi glukosa yang ditunjukkan dengan sifat kurva glukosa darah setelah pemberian
glukosa. Diabetes mellitus ditandai dengan berkurangnya toleransi tubuh terhadap glukosa
yang disebabkan berkurangnya sekresi insulin. Hal ini dimanifestasikan dengan kadar
glukosa darah yang makin meningkat (hiperglikemik) disertai glikosuria dan perubahan pada
metabolisme lemak (Suharmiati, 2003).
d. Diabetes mellitus karena malnutrisi
Terjadinya defisiensi gizi (malnutrisi), defisiensi enzim atau sekresi hormon yang abnormal
dapat menyebabkan penyakit diabetes mellitus (Robert dan Murray, 1995).
e. Diabetes mellitus saat kehamilan
Diabetes mellitus saat kehamilan adalah penyakit diabetes mellitus yang timbul selama
penderita hamil. Hal ini terjadi karena peningkatan sekresi berbagai hormon. Oleh karena itu
kehamilan merupakan keadaan diabetogenik. Umumnya setelah melahirkan, kadar glukosa
darah tersebut kembali normal (Dalimartha, 1996; Price dan Wilson, 1995).

Metabolisme karbohidrat
Metabolisme karbohidrat diawali dengan proses katabolisme karbohidrat, yaitu perubahan
atau pemecahan molekul karbohidrat menjadi glukosa. Glukosa dimetabolisme menjadi
piruvat dan laktat dalam semua sel mamalia dalam lintasan glikolisis. Glikolisis dapat terjadi
dalam keadaan anaerob untuk menghasilkan laktat dan aerob untuk memetabolisme asam
piruvat menjadi asetil ko-A yang dapat memasuki siklus asam sitrat untuk menjalani proses
oksidasi lengkap menjadi CO2 dan H2O dengan pelepasan energi bebas sebagai ATP. Oleh
karena itu glukosa dikatakan bahan bakar utama jaringan tubuh. Selain itu glukosa juga
berperan dalam proses: (1) konversi menjadi polimer simpanan, glikogen, khususnya dalam
otot rangka dan hepar, (2) lintasan pentosa fosfat yang terbentuk dari senyawa antara pada
proses glikolisis, senyawa- senyawa antara ini berfungsi dalam proses biosintesis misalnya
asam-asam lemak dan menjadi sumber ribosa yang penting bagi pembuatan nukleotida serta
pembentukan asam nukleat, (3) triosa fosfat menghasilkan bagian gliserol pada senyawa asil
gliserol (lemak) dan (4) piruvat dan senyawa antara pada siklus asam sitrat memberikan
kerangka karbon untuk sintesis asam-asam amino, asetil ko-A merupakan unsur pembentuk
asam-asam lemak rantai panjang serta kolesterol, yaitu prekursor semua steroid yang
disintesis di dalam tubuh. Glukoneogenesis merupakan proses produksi glukosa dari
prekursor bukan karbohidrat, misalnya laktat, asam amino, dan gliserol. Sedangkan
glukogenesis merupakan proses produksi glukosa dari prekursor karbohidrat (Robert dan
Murray, 1995). Metabolisme karbohidrat yang memperlihatkan lintasan utama dan produk
akhir yang penting dapat dilihat pada Gambar 1.
Uji Kadar Glukosa Darah
Uji toleransi gula merupakan suatu metode untuk mengetahui kelainan dalam metabolisme
glukosa. Keadaan diabetes dapat diinduksi dengan cara pankreatektomi dan secara kimia.
Zat-zat sebagai induktor (diabetogen) dapat digunakan zat-zat kimia seperti glukosa, aloksan,
streptozotosin, diasoksida, adrenalin, dan EDTA. Zat-zat tersebut mampu menginduksi
diabetes, dimana semuanya terjadi gejala hiperglikemia.
Hewan percobaan yang digunakan meliputi mencit, tikus, kelinci, atau anjing. Penentuan
kadar gula dapat dilakukan secara kualitatif terhadap glukosa urin dan secara kuantitatif pada
glukosa darah. Penentuan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara kolorimetri atau
spektrofotometri dengan Vitalab. Pereaksi kimia yang lazim digunakan untuk pembentukan
warna adalah glukosa oksidase (GOD-PAP) (Anonim, 1991).
Makanan

Glikogen
Glukosa
Glukosa fosfat 3CO2

Lintasan pentosa fosfat


Triosa fosfat Ribosa fosfat
Asil gliserol
Piruvat Laktat
Asam CO2
amino
Asetil Ko-A Asam lemak
Kolesterol
Protein

Asam Siklus
amino asam sitrat

2CO2 + H2O
Gambar 1. Metabolisme karbohidrat yang memperlihatkan lintasan utama dan produk akhir
yang penting (Robert dan Murray, 1995)

Terapi Diabetes Mellitus


Terapi diabetes mellitus pada prinsipnya bertujuan sebagai berikut:
a. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan dan gejala diabetes mellitus
b. Tujuan jangka panjang: mencegah atau memperlambat timbulnya komplikasi yang dapat
menyerang pembuluh darah, ginjal, mata, saraf, kulit, dan kaki.
c. Tindakan atau kegiatan yang dilakukan: memberikan terapi diabetes mellitus, yakni terapi
primer, yang terdiri atas diet diabetes mellitus, latihan fisik atau olahraga dan penyuluhan
kesehatan; dan terapi sekunder, yang terdiri atas obat antidiabetika oral (glibenklamid,
tolbutamid, klorpropamid, metformin) dan cangkok pankreas (Asdie, 1988; Dalimartha,
1996; Price dan Wilson, 1995).
Obat Antidiabetika
Obat untuk menurunkan kadar glukosa dalam darah lebih dikenal dengan istilah obat anti
hiperglikemik. Obat anti hiperglikemik ada dua macam, yaitu berupa suntikan dan tablet.
Obat berupa tablet lebih dikenal dengan nama anti diabetik oral atau ADO (Dalimartha,
1996).
ADO dibagi menjadi empat golongan yaitu golongan sulfonilurea, golongan biguanid,
golongan akarbose dan insulin sensitizing agent.
1. Golongan sulfonilurea
Mekanisme golongan sulfonilurea dalam menurunkan kadar glukosa darah adalah dengan
meningkatkan sekresi insulin dengan cara mempermudah metabolisme nutrisi sel ȕ,
meningkatkan AMP siklik sel ȕ, dan merubah ionic fluxes didalam sel ȕ. Golongan
sulfonilurea juga memiliki mekanisme lain seperti meningkatkan sensitivitas sel ȕ terhadap
rangsangan glukosa, menekan sekresi glukagon dan meningkatkan afinitas insulin sehingga
sensitivitas insulin meningkat (Tjokroprawiro, 1996).

Gambar Mekanisme aksi sulfonilurea terhadap sel ȕ Langerhans pankreas


(Tjokroprawiro, 1996)

Obat ini hanya aktif pada diabetes mellitus tipe II yang pankreasnya tidak rusak tetapi tidak
berfungsi sebagaimana dalam kondisi normal. Obat yang termasuk golongan ini antara lain
tolbutamid, tolazamid, klorpropamid dan glibenklamid (Ganiswara, 1995).
2. Golongan biguanid
Biguanid berbeda dengan golongan sulfonilurea karena tidak merangsang sekresi insulin.
Contoh obat golongan ini adalah metformin yang dapat digunakan sendiri maupun kombinasi
dengan sulfonilurea. Metformin terutama bekerja dengan jalan mengurangi pengeluaran
glukosa hati dengan cara menghambat glukoneogenesis (Harvey dkk., 2001).
Mekanisme kerja golongan biguanid meliputi :
a) Stimulasi glikolisis secara langsung dalam jaringan dengan peningkatan eliminasi glukosa
dari darah,
b) Penurunan glukoneogenesis hati,
c) Peningkatan perubahan glukosa menjadi laktat oleh enterosit,
d) Penurunan kadar glukagon plasma, dan
e) Meningkatkan pengikatan insulin pada reseptor (Karam, 1997).
3. Golongan akarbose
Obat-obat ini termasuk kelompok obat baru, yang berdasarkan persaingan inhibisi enzim alfa-
glukosidase dimukosa duodenum sehingga reaksi penguraian di-/polisakarida menjadi
monosakarida dihambat. Dengan demikian glukosa dilepaskan lebih lambat dan absorpsinya
kedalam darah juga kurang cepat, lebih rendah dan merata sehingga memuncaknya kadar
glukosa dapat dihindarkan. Kerja ini mirip dengan efek dari makanan yang kaya akan serat
gizi. Tidak ada kemungkinan hipoglikemia dan terutama berguna pada penderita kegemukan.
Kombinasi dengan obat-obat lain akan memperkuat efeknya (Tjay dan Rahardja, 2002).
4. Insulin sensitizing agent
Tiazolidinadion adalah kelompok obat baru yang pada tahun 1996 dipasarkan di AS dan
Inggris. Efek farmakologisnya luas berupa penurunan kadar glukosa dan insulin dengan jalan
meningkatkan kepekaan bagi insulin dari otot, jaringan lemak dan hati. Sebagai efeknya
penyerapan glukosa dalam jaringan lemak dan otot meningkat. Begitu pula menurunkan
trigliserida atau asam lemak bebas dan mengurangi glukoneogenesis dalam hati. Zat ini tidak
mendorong pankreas untuk meningkatkan pelepasan insulin seperti sulfonilurea (Tjay dan
Rahardja, 2002).
Tolbutamid
Tolbutamid merupakan serbuk hablur, putih dan praktis putih, mempunyai rasa agak pahit
dan praktis tidak berbau. Tolbutamid tidak larut dalam air, larut dalam 10 bagian alkohol dan
dalam kloroform (Anonimb, 1995).

Gambar Struktur kimia tolbutamid

Gambar Struktur glibenklamid (Mutschler, 1999)


Obat ini memiliki struktur sulfonamida dimana gugus amino pada posisi para diganti dengan
metil. Daya hipoglikemisnya relatif rendah, maka jarang mengakibatkan hipoglikemia dan
banyak digunakan untuk diabetes mellitus tipe II (Tjay dan Rahardja, 2002).
Resorpsinya dari usus praktis lengkap, plasma t1/2-nya 4-5 jam, kerjanya bertahan 6-12 jam.
Dalam prakteknya, ternyata dosis tunggal pagi hari dari 500 mg cukup efektif untuk
mengendalikan kadar glukosa selama 24 jam. Dalam hati, zat ini dioksidasi menjadi
metabolit inaktif yang dieksresikan 80% lewat kemih (Tjay dan Rahardja, 2002).
Tolbutamid dapat memiliki antaraksi dengan beberapa obat seperti dikumarol, salisilat,
sulfonamid, fenilbutazon dan klofibrat yang menghasilkan peningkatan efek
hipoglikemiknya. Antaraktan tersebut mampu mendesak tolbutamid yang terikat protein
plasma sehingga kadar bentuk bebasnya meningkat. Senyawa ȕ-bloker dapat meningkatkan
efek hipoglikemik tolbutamid dengan memblok respon adrenergik terhadap hipoglikemik.
Dilain pihak, efek hipoglikemik tolbutamid diturunkan oleh pemberian hormon
counterregulatory misalnya kortisol, adrenalin dan hormon pertumbuhan, atau pemberian
obat diuresis misalnya thiazid (Nugroho, 2001).
Insulin
Insulin (bahasa Latin insula, ´pulau´, karena diproduksi di Pulau-pulau Langerhans di
pankreas) adalah sebuah hormon polipeptida yang mengatur metabolisme karbohidrat. Selain
merupakan ´efektor´ utama dalam homeostasis karbohidrat, hormon ini juga ambil bagian
dalam metabolisme lemak (trigliserida) dan protein. Insulin adalah peptida kecil (protein)
yang mengandung 51 asam amino sintesis. Protein tersebut terdiri dari dua rantai, rantai A
dan B yang dihubungkan oleh jembatan disulfida (sulfur-sulfur) diantara residu sistein
(Dewitt et al, 2003; Katzung dan Bertram, 1998)..

Gambar 4. Struktur insulin manusia (Dewitt et al, 2003; Katzung dan Bertram, 1998)

Insulin adalah sebuah hormon, yang secara kimia ditransportkan kedalam darah yang
mengontrol dan meregulasi aktivitas tertentu sel atau organ didalam tubuh. Saat kadar
glukosa darah meningkat dengan adanya makanan, pankreas akan menstimulasi pelepasan
insulin kedalam aliran darah dan memerintahkan kepada jaringan untuk mengabsorbsi
glukosa dari darah, yang diawali dengan berikatannya insulin dengan jaringan. Metabolisme
glukosa penting untuk pertumbuhan sel dan energi dalam hubungannya dengan fungsi sel.
Ketika insulin berikatan dengan reseptor dimembran sel, protein pembawa glukosa
dilepaskan dari sel kepermukaan membran sel. Dari permukaan luar sel inilah protein
pembawa dapat membawa glukosa kedalam jaringan dimana ia akan dimetabolisme. Tanpa
insulin, sel tidak dapat mengabsorbsi glukosa yang ada didalam darah (Dewitt et al, 2003;
Katzung dan Bertram, 1998).
Pada diabetes tipe I, pankreas tidak dapat menghasilkan insulin sehingga harus diberikan
insulin pengganti. Pemberian insulin hanya dapat diberikan melalui injeksi, karena insulin
merupakan protein yang terurai oleh pepsin lambung. Insulin diinjeksikan dibawah kulit
kedalam lapisan lemak (sub kutan) setengah jam sebelum makan, biasanya dilengan, paha
atau dinding perut dan digunakan jarum yang sangat kecil untuk mengurangi nyeri yang
ditimbulkan. Plasma t1/2-nya hanya beberapa menit pada orang sehat. Pada penderita
diabetes bisa diperpanjang sampai 123 jam, mungkin akibat pengikatan pada antibodi.
Kerjanya singkat, lebih kurang 40 menit. Bentuk sediaan insulin yang baru sedang dalam
penelitian, yaitu sediaan inhalasi. Namun bentuk sediaan tersebut belum dapat bekerja
dengan baik karena laju penyerapannya yang berbeda menimbulkan masalah dalam
penentuan dosisnya (Tjay dan Rahardja, 2002).
Lama kerjanya sediaan insulin tergantung dari tempat injeksi, dosis, aktivitas fisik dan faktor
individual lainnya. Juga dari bentuk sediaan insulin yang digunakan, apakah insulin kerja
cepat, sedang atau insulin kerja lambat (Tjay dan Rahardja, 2002).
1. Insulin kerja cepat
Contohnya adalah insulin regular, yang bekerja paling cepat dan paling singkat. Insulin ini
sering kali mulai menurunkan kadar glukosa dalam waktu 20 menit. Mencapai puncaknya
dalam waktu 2-4 jam dan bekerja selama 6-8 jam. Insulin kerja cepat seringkali digunakan
oleh penderita yang mengalami beberapa kali suntikan setiap harinya dan disuntikkan 15-20
menit sebelum makan.
2. Insulin kerja sedang
Contohnya adalah insulin suspensi seng atau suspensi insulin isofan. Mulai bekerja dalam
waktu 1-3 jam, mencapai puncak maksimum dalam waktu 6-10 jam dan bekerja selama 18-
26 jam. Insulin ini bisa disuntikkan pada pagi hari untuk memenuhi kebutuhan selama sehari
dan dapat disuntikkan pada malam hari untuk memenuhi kebutuhan sepanjang malam.
3. Insulin kerja lama
Contohnya adalah insulin suspensi seng yang telah dikembangkan. Efeknya baru timbul
setelah 6 jam dan bekerja selama 28-36 jam (Tjay dan Rahardja, 2002).
Streptozotosin
Streptozotosin merupakan metabolit dari Streptomyces achromogenes, dan digunakan
sebagai diabetogenik secara luas dalam berbagai eksperimental diabetes. Rakieten et al.
(1963) melaporkan aktivitas diabetogenik dari streptozotosin yang spesifik citotoksik pada sel
ȕ Langerhans pankreas. Streptozotosin merupakan turunan nitrosuria glukosamin yang
merupakan antibiotik, anti tumor dan anti kanker. Streptozotosin secara langsung toksik pada
sel ȕ Langerhans pankreas melalui kerusakan membran plasma, penurunan level NAD dan
produksi radikal bebas yang pada akhirnya menyebabkan kematian sel (Feillet-Coudray et al.,
1999).
Seperti sudah disebutkan di atas, streptozotosin dapat digunakan untuk hewan uji DM tipe I
dan tipe II. Pemberian streptozotosin berbagai dosis secara intra peritoneal pada hewan uji
dewasa dapat membuat DM tipe I dengan berbagai tingkat keparahan. Dosis streptozotosin
50 dan 75 mg/kg BB pada hewan uji tikus berturut-turut membentuk DM tipe I tingkat
sedang dan berat. Pemberian streptozotosin pada dosis tersebut dapat merusak sel-sel ȕ
sehingga produksi insulin akan menurun secara drastis, bahkan akan berhenti pada kondisi
kronis (Peredo et al., 1999). Untuk menginduksi hewan uji dengan DM tipe II dapat
dilakukan dengan pemberian streptozotosin dosis 90 mg/kgBB secara intra peritoneal pada
tikus neonatal dan kondisi DM tipe II ini terdeteksi setelah tikus tersebut berumur 6 minggu
(Shafrir dan Mosthaf, 1999).
Pada pemberian streptozotosin pada hewan uji dewasa, tidak terjadi regenerasi sel ȕ
Langerhans pankreas dan terjadi hiperplasia secara irreversibel karena terjadi kerusakan
kronis pada sel ȕ Langerhans pankreas sehingga insulin tidak dapat diproduksi oleh organ
tersebut. Patofisiologi tersebut identik pada DM tipe I (Portha dan Kergoat, 1985).
ANTIHIPERLIPIDEMIK
Ditujukan utk menurunkan resiko penyakit aterosklerosis
Obat utk menurunkan fosfolipid, dan asam? kadar lipid plasma (kolesterol, trigliserida,
lemak bebas) tdk larut dlm plasma
Lipoprotein mengangkut lipid dr penggunaannya ?tempat sintesis menuju tempat
Penggolongan lipoprotein:
? VLDL
± Mgd 60% trigliserid endogen dan 10-15% kolesterol
± Dibentuk dr asam lemak bebas di hati
?LDL
± Lipoprotein pengangkut kolesterol terbesar (menuju jaringan perifer) utk sintesis membran
plasma dan hormon steroid
± Mgd trigliserida 10% dan kolesterol 50%
± Mrpkn metabolit dr VLDL
?IDL
± Mgd 30% trigliserid, 20% kolesterol, apoprotein
± Katabolisme VLDL ð IDL ð LDL
?HDL
± Mgd 13% kolesterol, < 5% trigliserid, 50% protein
± HDL1 (induksi aterosklerosis), HDL2, HDL3
± Mengangkut kolesterol dr jaringan perifer ke hati ð penimbunan kolesterol di perifer Ļ

Gambar Metabolisme Lemak

ANTIHIPERLIPIDEMIA
Asam fibrat: klofibrat, bezafibrat?gemfibrozil, fenofibrat, siprofibrat,
Resin: ?kolestiramin, kolestipol
Penghambat HMGCoA reduktase: simvastatin, pravastatin? mevastatin, lovastatin,
? Asam nikotinat ð asipimoks
?Probukol
Lain-lain: Neomisin sulfat, Beta-sitosterol, ?Dekstrotiroksin

ASAM FIBRAT
- utk hipertrigliserida
- menurunkan trigliserida dgn meningkatkan aktivitas lipoprotein lipase shg katabolisme
lipoprotein kaya-trigliserida (VLDL & IDL) meningkat.

RESIN
ſgaram klorida dr basic anion exchange resin
ſutk hiperkolesterolemia dgn cara menurunkan LDL
ſmekanisme: mengikat asam empedu dlm saluran cerna
ſtjd penurunan kadar asam empedu ð menyebabkan meningkatnya produksi asam empedu
yg berasal dr kolesterol ð kolesterol dlm plasma turun

INHIBITOR HMG-Coa Reduktase


utk ?hiperkolesterolemia dgn cara menurunkan LDL
Menghambat scr biosintesis?kompetitif enzim HMGCoA reduktase (enzim yg mengontrol
kolesterol)
Inhibitor HMGCoA reduktase ð menghambat sintesis menurunkan kolesterol (LDL)
plasma?kolesterol di hati ð

Gambar Biosintesis Kolesterol

ASAM NIKOTINAT
?Niasin
Salah satu ?komponen vit. B komplek
Utk hipertrigliserida dgn menurunkan VDL juga turun? produksi VLDL shg kadar IDL dan
Mekanisme: (hasil? menghambat lipolisis pd jaringan lemak shg asam lemak bebas lipolisis)
yg diperlukan utk sintesis VLDL di hati menurun ð sintesis VLDL turun

PROBUKOL
Menurunkan kadar kolesterol serum dgn ? menurunkan LDL
Diduga: efek antiaterogeniknya terlepas dr efek ?hipolipidemiknya

LAIN-LAIN
1. Beta-sitosterol adalah gabungan sterol tnmn yg tdk diabsorpsi GI
Mekanisme: menghambat absorpsi kolesterol endogen
2. Dekstrotiroksin
Utk hiperkolesterolemia dgn ? cara menurunkan LDL
?Isomer optik hormon tiroid
Menurunkan ? kadar lipid darah krn efek tiromimetik
(tiroksin meningkatkan metabolisme LDL) ð kadar LDL plasma turun

Você também pode gostar