Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
adalah obat atau senyawa yang dipergunakan untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri tanpa
menghilangkan kesadaran. Kesadaran akan perasaan sakit terdiri dari dua proses, yakni
penerimaan rangsangan sakit di bagian otak besar dan reaksi-reaksi emosional dan individu
terhadap perangsang ini. Obat penghalang nyeri (analgetik) mempengaruhi proses pertama
dengan mempertinggi ambang kesadaran akan perasaan sakit, sedangkan narkotik menekan
reaksi-reaksi psychis yang diakibatkan oleh rangsangan sakit (Tan Hoan Tyai, 1991).
Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala, yang fungsinya adalah
melindungi dan memberikan tanda bahaya tentang adanya gangguan-gangguan di dalam
tubuh, seperti peradangan (rematik, encok), infeksi-infeksi kuman atau kejang-kejang otot.
Penyebab rasa nyeri adalah rangsangan-rangsangan mekanis, fisik, atau kimiawi yang dapat
menimbulkan kerusakan-kerusakan pada jaringan dan melepaskan zat-zat tertentu yang
disebut mediator-mediator nyeri yang letaknya pada ujung-ujung saraf bebas di kulit, selaput
lendir, atau jaringan-jaringan (organ-organ) lain. Dari tempat ini rangsangan dialirkan melalui
saraf-saraf sensoris ke Sistem Saraf Pusat (SSP) melalui sumsum tulang belakang ke
thalamus dan kemudian ke pusat nyeri di dalam otak besar, dimana rangsangan dirasakan
sebagai nyeri. Mediator-mediator nyeri yang terpenting adalah histamine, serotonin,
plasmakinin-plasmakinin, dan prostaglandin-prostagladin, serta ion-ion kalium.
Berdasarkan proses terjadinya nyeri, maka rasa nyeri dapat dilawan dengan beberapa cara,
yaitu :
1. Merintangi pembentukan rangsangan dalam reseptor-reseptor nyeri perifer, oleh analgetika
perifer atau anestetika lokal.
2. Merintangi penyaluran rangsangan nyeri dalam saraf-saraf sensoris, misalnya dengan
anestetika lokal
3. Blokade dari pusat nyeri dalam Sistem Saraf Pusat dengan analgetika sentral (narkotika)
atau anestetika umum.
Pada pengobatan rasa nyeri dengan analgetika, faktor-faktor psikis turut berperan, misalnya
kesabaran individu dan daya menerima nyeri dari si pasien. Secara umum analgetika dibagi
dalam dua golongan, yaitu analgeti non-narkotinik atau analgesik non-opioid atau
integumental analgesic (misalnya asetosal dan parasetamol) dan analgetika narkotik atau
analgesik opioid atau visceral analgesic (misalnya morfin).
Analgetika Narkotik
Zat-zat ini memiliki daya menghalangi nyeri yang kuat sekali dengan tingkat kerja yang
terletak di Sistem Saraf Pusat. Umumnya mengurangi kesadaran (sifat meredakan dan
menidurkan) dan menimbulkan perasaan nyaman (euforia). Dapat mengakibatkan toleransi
dan kebiasaan (habituasi) serta ketergantungan psikis dan fisik (ketagihan adiksi) dengan
gejala-gejala abstinensia bila pengobatan dihentikan. Karena bahaya adiksi ini, maka
kebanyakan analgetika sentral seperti narkotika dimasukkan dalam Undang-Undang
Narkotika dan penggunaannya diawasi dengan ketat oleh Dirjen POM.
Secara kimiawi, obat-obat ini dapat dibagi dalam beberapa kelompok sebagai berikut :
1. Alkaloid candu alamiah dan sintesis morfin dan kodein, heroin, hidromorfon, hidrokodon,
dan dionin.
2. Pengganti-pengganti morfin yang terdiri dari :
a. Petidin dan turunannya, fentanil dan sufentanil
b. Metadon dan turunannya:dekstromoramida, bezitramida, piritramida, dan d-ptopoksifen
c. Fenantren dan turunannya levorfenol termasuk pula pentazosin.
Antagonis-antagonis morfin adalah zat-zat yang dapat melawan efek-efek samping dari
analgetik narkotik tanpa mengurangi kerja analgesiknya dan terutama digunakan pada
overdosis atau intoksiaksi dengan obat-obat ini. Zat-zat ini sendiri juga berkhasiat sebagai
analgetik, tetapi tidak dapat digunakan dalam terapi, karena dia sendiri menimbulkan efek-
efek samping yang mirip dengan mrfin, antara lain depresi pernafasan dan reaksi-reaksi
psikotis. Yang sering digunakan adalah nalorfin dan nalokson.
Efek-efek samping dari morfin dan analgetika sentral lainnya pada dosis biasa adalah
gangguan-gangguan lambung, usus (mual, muntah, obstipasi), juga efek-efek pusat lainnya
seperti kegelisahan, sedasi, rasa kantuk, dan perubahan suasana jiwa dengan euforia. Pada
dosis yang lebih tinggi terjadi efek-efek yang lebih berbahaya yaitu depresi pernafasan,
tekanan darah turun, dan sirkulasi darah terganggu. Akhirnya dapat terjadi koma dan
pernafasan terhenti.
Efek morfin terhadap Sistem Saraf Pusat berupa analgesia dan narkosis. Analgesia oleh
morfin dan opioid lain sudah timbul sebelum penderita tidur dan seringkali analgesia terjadi
tanpa disertai tidur. Morfin dosis kecil (15-20 mg) menimbulkan euforia pada penderita yang
sedang menderita nyeri, sedih dan gelisah. Sebaliknya, dosis yang sama pada orang normal
seringkali menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir atau takut disertai dengan mual, dan
muntah. Morfin juga menimbulkan rasa kantuk, tidak dapat berkonsentrasi, sukar berfikir,
apatis, aktivitas motorik berkurang, ketajaman penglihatan berkurang, ektremitas tersa berat,
badan terasa panas, muka gatal dan mulut terasa kering, depresi nafas dan miosis. Rasa lapar
hilang dan dapat muntah yang tidak selalu disertai rasa mual. Dalam lingkungan yang tenang
orang yang diberikan dosis terapi (15-20 mg) morfin akan tertidur cepat dan nyenyak disertai
mimpi, nafas lambat dan miosis.
Antara nyeri dan efek analgetik (juga efek depresi nafas) morfin dan opioid lain terdapat
antagonisme, artinya nyeri merupakan antagonis faalan bagi efek analgetik dan efek depresi
nafas morfin. Bila nyeri sudah dialami beberapa waktu sebelum pemberian morfin, efek
analgetik obat ini tidak begitu besar. Sebaliknya bila stimulus nyeri ditimbulkan setelah efek
analgetik mencapai maksimum, dosis morfin yang diperlukan untuk meniadakan nyeri itu
jauh lebih kecil. Penderita yang sedang mengalami nyeri hebat dan memerlukan mofin
dengan dosis besar untuk menghilangkan rasa nyerinya, dapat tahan terhadap depresi nafas
morfin. Tetapi bila nyeri itu tiba-tiba hilang, maka kemungkinan besar timbul gejala depresi
nafas oleh morfin.
Analgetika-Antipiretik
Analgetik adalah obat yang mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri tanpa menghilangkan
kesadaran. Sedangkan antipiretik adalah obat yang dapat menurunkan suhu tubuh yang tingi.
Jadi, analgetik-antipiretik dalah obat yang mengurangi rasa nyeri dan serentak menurunkan
suhu tubuh yang tinggi.
Sebagai mediator nyeri, antara lain adalah sebagai berikut:
1. Histamin
2. Serotonin
3. Plasmokinin (antara lain Bradikinin)
4. Prostaglandin
5. Ion Kalium
Analgetik diberikan kepada penderita untuk mengurangi rasa nyeri yang dapat ditimbulkan
oleh berbagai rangsang mekanis, kimia, dan fisis yang melampaui suatu nilai ambang tertentu
(nilai ambang nyeri). Rasa nyeri tersebut terjadi akibat terlepasnya mediator-mediator nyeri
(misalnya bradikinin, prostaglandin) dari jaringan yang rusak yang kemudian merangsang
reseptor nyeri di ujung saraf perifer ataupun ditempat lain. Dari tempat-tempat ini selanjutnya
rangsang nyeri diteruskan ke pusat nyeri di korteks serebri oleh saraf sensoris melalui
sumsum tulang belakang dan thalamus.
Nyeri somatik
Menurut tempat terjadinya, nyeri dibagi menjadi nyeri somatic dan nyeri dalaman (viseral).
1. Nyeri Somatik
Dibagi atas dua kualitas yaitu nyeri permukaan dan nyeri dalam, apabila rasa nyeri berasal
dari kulit, otot, persendian, tulang atau dari jaringan ikat.
a. Nyeri Permukaan
Terjadi apabila tangsang bertempat dalam kulit. Nyeri permukaan yang terbentuk kira-kira
setelah tertusuk oleh jarum pada kulit, mempunyai karakter yang ringan, dapat dilokalisasi
dengan baik dan cepat hilang setelah berakhirnya rangsang. Nyeri ini menyebabkan suatu
reaksimenghindar secara refleks, seperti mearik kaki pada saat menginjak duri dan dengan
demikian melindungi organisme dari kerusakan lebih lanjut.
b. Nyeri dalam
Berasal dari otot, persendian tulang, dan jaringan ikat, dirasakan sebagai tekanan, sukar
dilokalisasi, sering kali diikuti reaksi afektif dan vegetatif (seperti tidak bergairah, mual,
berkeringat, dan penurunan tekanan darah) dan kebanyakan menyebar ke sekitarnya,
contohnya sakit kepala.
Proses terjadinya nyeri, penghantaran impuls, lokalisasi dan rasa nyeri serta inhibisi nyeri
endogen dalam bagan sederhana adalah sebagai berikut :
Rasa nyeri
Lokalisasi nyeri Penilaian nyeri
Thalamus opticus
Reseptor nyeri
Pembebasan zat mediator
Rangsang nyeri
ANTIINFLAMASI
1. Inflamasi
Inflamasi merupakan respon jaringan hidup sebagai reaksi lokal atas keberadaan benda asing,
organisme hidup atau adanya luka pada dirinya. Reaksi ini meliputi berbagai proses yang
kompleks terdiri dari deretan aktivasi enzim, pelepasan mediator, pengeluaran cairan, migrasi
sel, pembongkaran dan perbaikan jaringan. Proses tersebut mengakibatkan perubahan
fisiologis antara lain eritema, udema, asma, dan demam (Vane dan Botting, 1996). Aktivasi
berbagai enzim (gambar 1) menyebabkan terjadinya biosintesis mediator dan release
mediator inflamasi. Pada proses inflamasi, dilepaskan berbagai jenis mediator inflamasi
yaitu:
amina vasoaktif: histamin & 5-hidroksi tritophan (5-HT/serotonin). Keduanya terjadi
melalui inaktivasi epinefrin dan norepinefrin secara bersama-sama
plasma protease: kinin, sistem komplemen & sistem koagulasi fibrinolitik, plasmin,
lisosomalesterase, kinin, dan fraksi komplemen
metabolik asam arakidonat: prostaglandin, leukotrien (LTB4 LTC4, LTD4, LTE4 , 5-HETE
(asam 5-hidroksi-eikosatetraenoat)
produk leukosit ± enzim lisosomal dan limfokin
activating factor dan radikal bebas
Inflamasi berasal dari kata dalam bahasa Latin ³inflammare´ yang berarti ³membakar´.
Empat gejala khas yang muncul pada proses inflamasi yaitu rubor (kemerahan), tumor
(bengkak), calor (panas), dan dolor (nyeri) digambarkan oleh Celsus pada abad I dalam
bukunya De Re Medizina yang dipublikasikan kemudian (Spector dan Willoughby, 1968).
Galen menambahkan satu ciri lagi yaitu functio laesa (hilangnya fungsi) (Hurley, 1972).
Proses-proses di bawah ini terjadi pada proses inflamasi (gambar 2).
A. Eksudasi: fase primer pada inflamasi adalah perubahan sturktural pada dinding vaskuler.
Perubahan ini mengakibatkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang membiarkan
protein kaya cairan menembus dinding vaskuler (udema dan kemerahan).
B. Infiltrasi: leukosit, makrofag, dan limfosit, di bawah pengaruh kemotaksik, memasuki area
inflamasi (fase primer). Beberapa dari sel-sel tersebut mengandung enzim lisosom yang
mampu menelan dan mencerna partikel-partikel asing (fagositosis).
C. Proliferasi: limfosit dan makrofag mengalami transformasi menjadi lapisan pembatas sel
yang antara lain mampu mensistesis antibodi-antibodi (fase sekunder) (Verboom, 1979).
Gambar 1. Berbagai enzim yang teraktifkan pada proses inflamasi.
A. Inflamasi imunologis
Respon imun mempunyai 3 fungsi utama, yaitu pertahanan, homeostatik, dan
immunesurveillance. Respon imun ini bertujuan untuk melenyapkan benda asing yang
bersifat antigenik dengan cepat, namun demikian tidak jarang terjadi kerusakan jaringan
justru oleh adanya penyimpangan respon imun terhadap konfigurasi asing tertentu yang di
antaranya sebagai alergi atau hipersensitivitas. Salah satu manifestasi alergi adalah terjadinya
reaksi inflamasi yang merupakan respon tubuh secara vaskular terhadap adanya kerusakan
jaringan. Inflamasi yang terjadi akibat reaksi antara antibodi atau sel T spesifik (yang
merupakan respon imun) dengan antigen disebut inflamasi imunologis (Abrams, 1994).
Menurut Terr (1994), reaksi inflamasi yang disebabkan respon imun ada 3 macam, yaitu
inflamasi yang diperantarai antibodi IgE, kompleks imun, dan sel.
1) Inflamasi yang diperantarai antibodi IgE, disebut juga reaksi hipersensitivitas tipe segera
(immediate) karena terjadi sangat cepat, hanya beberapa menit setelah paparan. Mekanisme
timbulnya inflamasi yang diperantarai antibodi IgE melalui 3 fase yaitu fase sensitisasi, fase
aktivasi, dan fase efektor. Mekanisme timbulnya inflamasi yang diperantarai antibodi IgE
terlihat pada gambar 3.
(i) fase sensitisasi.
Tubuh yang terpapar antigen untuk pertama kalinya akan menimbulkan respon pembentukan
IgE. IgE merupakan antibodi yang memiliki afinitas tinggi terhadap sel mast sehingga IgE
yang telah terbentuk akan terikat di permukaan sel mast pada reseptor Fc.
(ii) fase aktivasi.
Terjadinya paparan ulang dengan antigen yang sama akan menyebabkan pembentukan
jembatan antara 2 molekul IgE pada permukaan sel (crosslinking). Crosslinking ini akan
menimbulkan gangguan stereospesifik yang mengaktifkan enzim fosfolipase C sehingga
mengkatalisis hidrolisis polifosfatidilinositol (PI) menjadi 1,2-diasilgliserol (1,2-DAG) dan
inositol trifosfat (IP3). Senyawa 1,2-DAG akan mengaktifkan enzim protein kinase C (PKC),
sedangkan IP3 menyebabkan influks Ca2+. Keberadaan ion Ca2+ dan PKC pada sitoplasma
sel mast ini akan mempermudah fusi membran periglanuler granula sekretorik dengan
membran sel. Serangkaian proses ini akan menyebabkan degranulasi sel mast sehingga
melepaskan mediator inflamasi yang terkandung di dalamnya seperti histamin, serotonin, dan
faktor kemotaktik untuk neutrofil dan eosinofil (Maeyama dan Watanabe, 1992). Proses
degranulasi sel mast dapat dilihat pada gambar 4.
Setelah antigen berikatan dengan IgE di permukaan sel mast, enzim fosfolipase C (PLC-Ȗ1)
mengubah fosfatidil inositol (PI) menjadi inositol trifosfat (IP3) dan 1,2-diasilgliserol (DAG).
IP3 merangsang Ca2+ keluar dari tempat penyimpanannya, sedang DAG mengaktifkan
protein kinase C (PKC). PKC dan kadar Ca2+ yang tinggi dalam sel memudahkan fusi
membran granul dengan membran sel, akibatnya mediator-mediator dalam granul (termasuk
histamin) dilepaskan keluar dari sel mast (Maeyama dkk., 1992).
3) Inflamasi yang diperantarai oleh sel, disebut juga hipersensitivitas tipe lambat (delayed
hypersensitivity) yang pada umumnya timbul > 12 jam setelah pemaparan antigen. Reaksi
inflamasi ini tidak melibatkan antibodi tetapi melibatkan sel-sel limfosit T. Reaksi inflamasi
ini terjadi karena kenaikan reaktivitas terhadap antigen spesifik oleh sel T.
Perbedaan inflamasi yang diperantarai oleh antibodi IgE, kompleks imun, dan sel tersaji pada
tabel I.
Gambar 5. Mekanisme timbulnya inflamasi yang diperantarai kompleks imun (Terr, 1994).
B. Inflamasi non-imunologis
Inflamasi non-imunologis terjadi bila rangsangan non-imunologis (berupa cidera fisik,
benturan, sinar UV, radiasi ion, panas atau dingin yang berlebihan) langsung memicu
aktivitas sel-sel inflamasi atau menyebabkan kerusakan jaringan (luka) sehingga sel-sel
inflamasi melepaskan mediator-mediator yang terkandung di dalamnya (Terr, 1991).
Ilustrasi terjadinya inflamasi baik inflamasi imunologis maupun inflamasi respon non-imun
adalah sebagai berikut:
Gambar 6. Metabolisme asam arakidonat jalur COX (Vane dan Botting, 1996).
Suatu senyawa fenolik merupakan inhibitor terhadap biosintesis prostaglandin jika reaksi
siklooksigenase berlangsung pada kondisi normal. Studi yang dilakukan oleh Dewhirst
(1980) telah menghasilkan kesimpulan bahwa penghambatan enzim COX yang paling efektif
terletak pada adanya dua cincin aromatik yang dihubungkan secara langsung oleh suatu rantai
pendek. Menurut Dewhirst (1980), kemampuan inhibisi senyawa fenolik terhadap enzim
COX meningkat apabila: (1) memiliki gugus hidroksi fenolik bebas, (2) tidak memiliki
halangan sterik yang besar terhadap gugus hidroksi fenolik, dan (3) adanya gugus donasi
elektron.
Mekanisme antiinflamasi kurkumin diduga antara lain karena kurkumin memiliki aktivitas
antioksidan. Hal ini diungkapkan oleh penelitian yang melaporkan bahwa kurkumin
merupakan senyawa yang efektif menghambat pembentukan lipid peroksida secara in vivo
(Sharma dkk, 1972) dan in vitro (Sharma, 1976).
Kurkumin memiliki aktivitas antiinflamasi karena kurkumin mampu menghambat kerja
enzim COX dan lipooksigenase (LOX). Kedua enzim tersebut berperan dalam metabolisme
asam arakhidonat untuk menghasilkan mediator-mediator kimia yang menyebabkan
terjadinya tanda-tanda peradangan. Di samping itu, kurkumin mampu menangkap radikal
oksigen yang terbentuk selama peradangan (Kunchandy dan Rao, 1990).
Struktur kurkumin (gambar 9) terdiri dari gugus OH-fenolik dan gugus -diketon
demikian,vyang berfungsi sebagai penangkap radikal bebas. Meskipun mekanisme
antiinflamasi kurkumin yang paling dominan belum diketahui pasti (Supardjan, 1999), karena
selain sebagai antioksidan, kurkumin mampu menghambat enzim COX (Supardjan, 1999)
dan Glutation (Sudibyo, S-transferase (GST) kelas 2000).
Meiloperoksidase
O2 H2O + Cl= OCl= + H2O
Radikal superoksid
Fe3+
2H+
Fe2+ Fe2+ + O2
(dalam sel)
HOCl
Kompleks antara Oksidasi reaktif hipoklorit
Gambar 10. Mekanisme pembangkitan radikal oksigen pada tempat peradangan (Halliwel
dan Gutteridge, 1988, sit Donatus, 1994).
Obat AINS dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu golongan asam karboksilat dan asam
enolat; dimana kedua golongan tersebut memiliki berbagai macam derivat, seperti yang
terlihat pada gambar 11 dan tabel X.
3. Siklooksigenase
Gambar 12. Berbagai fungsi fisiologis COX-1 dan perbedaan isoform COX.
Perbedaan COX-1 dan COX-2 yang mempengaruhi aksi obat AINS apakah itu selektif
terhadap COX-1 ataukah COX-2 adalah kanal enzim COX dan sekuen asam aminonya;
dimana keduanya mempengaruhi konformasi enzim-substrat dan enzim-inhibitor.
Kanal COX-1 lebih sempit daripada kanal COX-2. Senyawa-senyawa dengan gugus yang
bulky tidak bisa masuk ke dalam kanal COX-1, akan tetapi dimungkinkan dapat masuk ke
dalam kanal COX-2. Hal ini terjadi pada indometasin dan obat-obat golongan coxib. Berbeda
dengan asam arakidonat sebagai substrat COX yang dapat dengan mudah memasuki kanal
COX baik COX-1 maupun COX-2 secara selektif dengan konformasi tertentu (Rang dkk.,
2003) (gambar 13). Pernyataan ini sesuai dengan teori Dewhirst (1980), mengenai
kemampuan inhibisi suatu senyawa terhadap aktivitas enzim COX akan meningkat apabila
tidak memiliki halangan sterik yang besar.
Selain itu, COX-1 dan COX-2 juga berbeda pada sekuen asam amino penyusunnya yaitu
pada sekuen asam amino nomor 523. Pada COX-1 adalah isoleusin dan pada COX-2 adalah
valin (gambar 15). Perbedaan ini berperan penting dalam spesifitas pengikatan obat-obat
golongan coxib dan konformasi enzim COX yang terbentuk setelah terjadinya ikatan obat-
enzim (Pinheiro dan Calixto, 2002).
Adanya valin-523 memberikan konformasi pocket pada sisi aktif COX-2 (gambar 16)
sehingga akses obat golongan coxib mudah dan ikatan obat golongan coxib komplemen
dengan COX-2 tetapi tidak dengan COX-1, sehingga ikatan coxib spesifik pada COX-2 dan
mengeblok masuknya substrat (asam arakidonat) ke dalam sisi aktif COX-2 (gambar 14) dan
asam arakidonat tidak dapat dimetabolisme oleh COX-2, akan tetapi masih dimetabolisme
COX-1. Oleh karena itu, penghambatan COX-2 tidak menghentikan biosintesis prostaglandin
(oleh COX-1) yang berperan dalam proteksi saluran gastrointestinal terhadap asam lambung.
Contoh obat-obat golongan coxib (generik dan brand name):
Celecoxib (Celebrex)
Pfizer
1st generation Rofecoxib (Vioxx)
Merck
1st generation
Valdecoxib (Bextra)
Pfizer
2nd generation Parecoxib (Dynastat)
Pfizer
2nd generation
Prodrug of Bextra
IV injection
Etoricoxib (Arcoxia)
Merck
2nd generation
IV injection Lumiracoxib (Prexige)
Novartis
2nd generation
Phase III trials
Selain COX, target aksi obat-obat antiinflamasi adalah enzim fosfolipase dan LOX. Enzim
fosfolipase dihambat oleh obat antiinflamasi steroid (hidrokortison, deksametason,
betametason, prednison, fluosinolon-asetonide, fluprednidine, metil-prednisolon, dll),
sedangkan enzim LOX khususnya 5-LOX dihambat oleh sulfasalazin sehingga pembentukan
leukotrien C4 dari leukotrien A4 terhambat. Kurkumin diduga menghambat inflamasi melalui
penghambatan enzim glutation S-transferase (GST) kelas µ yang(dari mengkatalisis
pembentukan PGD2, PGE2, PGF2 PGH2, berbagai mediator inflamasi. Penghambatan
biosintesis PG parasetamol terjadi pada lingkungan yang rendah kadar peroksidanya, seperti
di hipotalamus. Padahal, lokasi inflamasi biasanya mengandung banyak peroksida. Ini
menjelaskan mengapa parasetamol memiliki efek antipiretik, sedangkan efek
antiinflamasinya praktis tidak ada. Target aksi obat-obat antiinflamasi dan jenis mediator
yang dihambat digambarkan pada skema berikut ini:
Gambar 14. Pengeblokan masuknya asam arakidonat pada sisi aktif COX-2 oleh obat-obat
golongan coxib.
ANALGETIK
Prostaglandin (PG)
KPG ð pirogen endogen
PG menyebabkan sensitisasi reseptor Knyeri
KPG menimbulkan kondisi hiperalgesia pd jaringan yg meradang
Analgetik opioid
KGol.obat yg memiliki sifat spt opium/morfin
Menimbulkan Kadiksi:
KHabituasi
KKetergantungan fisik
Usaha utk Kmendptkan analgesik ideal:
Potensi analgesik yg sama kuat dgn K morfin
KTanpa bahaya adiksi
KObat yg berasal dr opium-morfin
KSeny. semisintetik morfin
KSeny. sintetik yg berefek spt morfin
KAnalgesik opioid bekerja pd reseptor opioid (di sel otak)
Reseptor Kopioid: ȝ, ț, ı, į, İ.
Atas dasar kerjanya pd reseptor opioid, Kanalgetik opioid dibagi mjd:
Agonis opioid menyerupai morfin (pd Kreseptor ȝ, ț)
KMorfin, fentanil
KAntagonis opioid
KNalokson
Menurunkan ambang nyeri pd pasien yg ambang nyerinya Ktinggi
KOpioid dgn kerja campur
Nalorfin, pentazosin, Kbuprenorfin, malbufin, butorfanol
KPentazosin
Antagonis lemah Kpd reseptor ȝ ttp mrpkn agonis kuat pd reseptor ț.
Efek analgesia Kyg timbul agaknya krn efeknya pd reseptor ț.
KButorfanol
KDihipotesiskan bekerja pd reseptor ț.
Efek analgesia yg timbul Kagaknya krn efeknya pd reseptor ț.
Efek analgetik morfin timbul Kberdsr mekanisme:
KMorfin meningkatkan ambang rangsang nyeri
KMorfin memudahkan tidur & pada waktu tidur ambang rangsang nyeri meningkat
KEfek analgetik meperidin & derivat fenilpiperidin
KSerupa dgn efek analgetik morfin tp masa kerja lbh pendek
Petidin, Kpiminodin, ketobemidon, fenoperidin, fentanil
KEMOTERAPI PARASIT
A. Antibiotik
Perbedaan antimikroba dengan antibiotik terletak pada sumber senyawa tersebut disintesis.
Antimikroba pada umumnya merupakan hasil sintesis, sedangkan antibiotik merupakan hasil
metabolisme (metabolit) koloni mikroba/bakteri tertentu. Antimikroba memiliki toksisitas
selektif, dalam arti membunuh bakteri-bakteri patogen dan tidak berefek terhadap flora
normal hospes. Berdasar toksisitasnya terhadap bakteri patogen, antimikroba/antibiotik dibagi
menjadi bakterisida (membunuh bakteri, dengan parameter kadar bunuh minimun/KBM) dan
bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri dengan parameter kadar hambat
minimun/KHM). Berdasar spektrum kerjanya, antimikroba/antibiotik dibagi menjadi
antibiotik spektrum sempit, misal: golongan penisilin (benzil penisilin, penisilin V, nafsilin,
metisilin, kloksasilin, oksasilin), streptomisin, dan antibiotik spektrum luas, misal: tetrasiklin,
golongan sulfa (sulfonamid, kotrimoksazol, para amino-salisilat (PAS)), sulfon (dapson),
golongan penisilin (aminopenisilin, tikarsilin, karbenisilin) dan kloramfenikol.
Mekanisme antibiotik dalam membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri adalah:
menghambat metabolisme sel mikroba, mengganggu permeabilitas membran sel mikroba,
menghambat sistesis protein sel mikroba, menghambat sintesis asam nukleat, menghambat
pembelahan sel mikroba, dan menghambat sintesis dinding sel mikroba.
Golongan penisilin dan golongan sefalosporin disebut sebagai antibiotik golongan beta-
laktam; dicirikan dengan tiga struktur (gambar 1) yaitu: cincin beta-laktam (biru dan merah),
gugus asam karboksilat bebas (merah), dan satu atau lebih rantai asam amino tersubstitusi
(hitam).
Struktur beta-laktam terdiri dari asam amino sistein (biru) dan valin (merah) yang terikat
secara kovalen. Cincin ini diperlukan untuk aktivitas biologi; perubahan cincin ini karena
metabolisme atau senyawa kimia menyebabkan hilangnya aktivitas antibakteri secara
signifikan. Antibiotik beta-laktam yang digunakan dalam klinik adalah penisilin,
sefalosporin, monobaktam, dan karbapenem.
Klasifikasi
Penisilin (penisilin G, p.o) ± aktif melawan gram-cocci, non-beta-lactamase-producing
anaerobes,bakteri gram+, rusak oleh asam lambung, diberikan secara parenteral (i.m), dibuat
turunannya yaitu penicillin V (K+ salt PEN-VEE K, V-CILLIN K, p.o).
Antistaphylococcal penisilin (nafsilin) ± resisten terhadap staphylococcal beta-lactamases,
aktif terhadap staphylococci dan streptococci.
Extended-spectrum penisilin (ampisilin) ± spektrum terhadap gram±, rusak oleh aktivitas
beta-laktamase sepertiluas, aktif gambar di bawah ini:
Gambar 2. Perbandingan struktur dan komposisi dinding sel bakteri gram+ dan gram±
Biosintesis peptidoglikan melibatkan 30 jenis enzim dalam bakteri dan terjadi melalui 3
tahap:
pertama, pembentukan prekursor, terjadi di sitoplasma, menghasilkan produk uridine
diphosphate (UDP)-acetylmuramyl-pentapeptide, disebut sebagai "Park nucleotide". Produk
ini terakumulasi dalam sel ketika tahap ini dihambat. "Park nucleotide" selanjutnya
digandeng dengan suatu dipeptida D-alanil-D-alanin. (Sintesis dipeptida ini sebelumnya
melibatkan proses rasemisasi L-alanin dan kondensasi yang dikatalis oleh D-alanil-D-alanin
sintetase.)
kedua, terbentuk ikatan antara UDP-acetylglucosamine (dengan UDP-acetylmuramyl-
pentapeptide dan melepaskan nukleotida uridin) untuk membentuk polimer yang panjang.
ketiga, tahap penyelesaian cross-link. Tahap ini disempurnakan oleh reaksi transpeptidasi,
dikatalis enzim transpeptidase, terjadi pada membran sel bagian luar. Residu glisin terminal
pada jembatan pentaglycine diikatkan pada residu keempat (D-alanin) dari pentapeptida
"Park nucleotide", melepaskan residu D-alanin yang kelima.
Tahap akhir inilah yang dihambat oleh antibiotik beta-laktam yaitu dengan menghambat
aktivitas enzim transpeptidase (penisilin mengikat residu serin enzim transpeptidase) secara
irreversible (gambar 3) hingga terjadi hambatan proses transpeptidasi antar rantai
peptidoglikan, gangguan pada pertumbuhan dan sintesis dinding sel bakteri terhambat.
Sekumpulan protein sebagai tempat terikatnya penisilin dan sefalosporin pada dinding sel
bakteri disebut penicillin-binding proteins (PBPs).
Gambar 3. Reaksi transpeptidase pada Staphylococcus aureus yang dihambat oleh antibiotik
beta-laktam
2. Menghambat metabolisme sel mikroba
Mikroba memerlukan PABA (p-aminobenzoic acid) untuk membentuk asam folat yang
digunakan untuk sintesis purin dan asam-asam nukleat (gambar 4). PABA direduksi menjadi
asam dihidrofolat dan asam tetrahidrofolat masing-masing dikatalis oleh enzim dihidropteroat
sintetase dan dihidrofolat reduktase. Aktivitas kedua enzim tersebut dihambat oleh
sulfonamid (berkompetisi dengan PABA) dan trimetoprim. Kombinasi trimetoprim-
sulfametoksazol (kotrimoksazol) memberikan efek sinergistik kuat karena mampu
menghambat aktivitas dua enzim tersebut. Tetrahidrofolat penting karena diperlukan untuk
reaksi transfer 1 atom C pada pembentukan basa purin, asam amino metionin dan glisin.
Sulfonamid merupakan penghambat bersaing PABA. Sel mikroba mampu mensintesis asam
folat sendiri, sedangkan manusia tidak dapat mensintesis asam folat (intake asam folat
diperoleh dari luar). Oleh karena itu, sel-sel mamalia tidak dipengaruhi oleh sulfonamid
karena menggunakan folat jadi yang terdapat dalam makanan (tidak mensintesis sendiri
senyawa tersebut). Dalam proses sintesis asam folat, bila PABA digantikan oleh sulfonamid,
maka akan terbentuk analog asam folat yang tidak fungsional. Contoh lain obat yang
menghambat metabolisme sel mikroba adalah PAS, etambutol, dan sulfon (dapson).
B. Antijamur
= Amfoterisin B, ketokonazol, itrakonazol, flukonazol
± Fungistatik & fungisida
± Berikatan dgn ergosterol (komponen membran sel fungi) ð membran sel bocor ð kehilangan
bhn2 intrasel ð irreversibel
=Flusitosin
± Mekanisme: bergabung dgn RNA setelah mengalami deaminasi mjd 5-fluorourasil ð
sintesis DNA ð sintesis protein
± Keadaan ini tdk tjd pd sel mamalia (flusitosin tdk diubah mjd 5-fluorourasil ð aman bagi
hospes)
= Griseofulvin
± Menghambat mitosis jamur dgn mengikat protein mikrotubuler dlm sel jamur
± Fungisida
Mikonazol, klotrimazol, ekonazol, isokonazol, tiokonazol, =bifonazol
=Mekanisme:
± Berikatan dengan ergosterol (komponen membran sel fungi) ð membran sel bocor ð
kehilangan bahan-bahan intrasel ð irreversibel
± Mengganggu sintesis asam nuklet
± Menimbun peroksida dlm sel jamur ð kerusakan sel jamur
= Antijamur Topikal:
± Kandisidin, asam benzoat-asam salisilat, asam undesilenat, haloprogin, natamisin,
siklopiroksolamin
C. Antimalaria
Malaria, dikelompokkan berdasar penyebabnya:
Tropika ð Plasmodium falcifarum
Tertiana ð Plasmodium vivax
Kuartana ð Plasmodium malariae
Manusia ð hospes antara
Nyamuk anopheles ð
a. Vektor
b. Hospes definitif
KLASIFIKASI
Skizontosid jaringan dan darah
± Bekerja thdp merozoit (fase eritrosit)
± Tdk terbentuk skizon baru ð tdk tjd penghancuran eritrosit ð mengendalikan serangan klinik
± Klorokuin, kuinin, meflokuin
± Bekerja jg pd skizon yg br memasuki jar hati ð Tahap infeksi eritrosit dpt dicegah ð terapi
kausal
=Pirimetamin, primakuin
± Skizontosid kerja cepat: Halofantrin
Gametosid
± Membunuh gametosid dlm eritrosit
± Klorokuin, kuinin, meflokuin ð P. vivax, P. malariae
± Primakuin ð P. falcifarum
3. Sporontosid
± Menghambat perkembangan gametosit
± Rantai penularan terputus
± Primakuin, kloroguanid
Mekanisme
=Menghambat DNA-polimerase & RNA-polimerase
± Berikatan dgn guanin rantai DNA
± Obat terakumulasi pd eritrosit nyamuk anopheles
± Klorokuin, primakuin, kuinin, meflokuin
Menghambat enzim pertumbuhan= dihidrofolat reduktase plasmodia ð pembelahan inti pd
skizon di hati terhambat (Mis. Pirimetamin)
Menghancurkan tissue =stage form plasmodia (Mis. Primakuin)
Mengikat folat dlm tubuh =nyamuk (Mis. Proguanil, kloroguanid)
Menghambat sintesis protein =dlm tubuh nyamuk: artemisinin
SITOSTATIKA (antikanker)
Kanker
penyakit yang ditandai dengan pembelahan sel yang tidak serta kemampuan dari sel-sel
tersebut untuk menyerang terkendali, jaringan biologis lainnya, baik dengan pertumbuhan
langsung di jaringan yang bersebelahan (invasi) atau dengan migrasi sel ke tempat yang jauh
(metastasis).
Penyebaran kanker:
jaringan tetangga: paru-paru dan hati
jaringan lain
Factor penyebab:
Virus
Hormon
Penyinaran yang berlebih
Senyawa kimia
Makanan tertentu
Kelemahan genetis pada sel-sel tubuh
Activation of c-src in human cancer e.g. causal roles in colorectal cancer etc.
FASE KARSINOGENESIS
Inisiasi
Tahap awal karsinogenesis
Tjd perubahan genetik dlm sel yg (krn mutasi gen/sel, kesalahan selama proses mitosis, zat
karsinogenik) menyebabkan abnormalitas proliferasi sel tunggal tp blm menimbulkan kanker
Promosi
Sel tumbuh sangat cepat membtk sebuah formasi kecil (tumor, benigna)
Tjd peningkatan kecepatan proliferasi yg dpt menyebabkan kerusakan sel (ekspresi COX-2
tinggi)
Progresi
Sel tumbuh mjd sebuah kumpulan sel yg besar dgn tingkat kecepatan proliferatif yg tinggi
Tjd peningkatan mobilitas
Terbentuk angiogenesis
Metastasis
Masuknya sel kanker ke sirkulasi darah, jaringan limfatik, dan tjd perlekatan sel kanker pd
permukaan jaringan baru dlm tubuh
Menyebar ke jaringan tetangga dan tumbuh di sana
JENIS KANKER
Karsinoma
Kanker yg tumbuh dr jar.epitel yg meliputi membran mukosa dan kelenjar
Kanker payudara, paru2, ovarium
Sarkoma
Kanker yg tumbuh dr jar.mesodermal yg meliputi dr jar.ikat, tulang, sel otot
Blastoma
Kanker yg tumbuh dr sel hemopoetik dan jar.darah yg meliputi jar.limfoid, sel erithroid
Leukimia
Kanker yg tumbuh dr leukosit
PENGOBATAN KANKER
tujuannya :
Menghilangkan semua sel kanker di tubuh, bahkan saat telah menyebar
Memperpanjang harapan penyebaran kanker hidup dengan membatasi pertumbuhan dan
Menyembuhkan gejala dan meningkatkan kualitas hidup
JENIS SITOSTATIKA
ANTIANGIOGENESIS
INDUKSI APOPTOSIS
Sitostatika yang mempengaruhi siklus sel (spesifik) digunakan pada tumor dengan
pertumbuhan dan proliferasi sel yang cepat
Sitostatika yang mempengaruhi siklus sel (non-spesifik) mengikat DNA dan merusaknya.
Digunakan pada pertumbuhan fraksi tumor padat yang lambat menjadi fraksi tumor yang
tumbuh secara cepat
Sitostatika yang mempengaruhi siklus sel (spesifik) hanya membunuh/menghambat
terjadinya siklus sell, sedangkan sitostatika yang mempengaruhi siklus sel (non-spesifik)
membunuh sel yang terlibat dalam siklus sel juga sel-sel di luar siklus sel (G0 /quiescent)
Sel yang terlibat dalam siklus sel lebih sensitif
Alkylating Agents
Mechanism of Action
FOLAT
Folic acid analogues
An essential factor, from which THF cofactors single carbon groups for the synthesis ofare
formed which provide precursors of DNA and RNA
Folate is involved with methylations such converts uracil to thymine. as the one above that
The chemotherapy into an active form drug methotrexate blocks the processing of folate
(DHF ð THF). The net effect is the same as with flurouracil
VINCA ALKALOIDS
Inhibit microtubules (spindle), causing metaphase cell arrest in M phase.
Resulting : in mitotic arrest at metaphase, dissolution of the mitotic spindle,
chromosome segregation.
Antibiotic
Daunorubicin Anthracyclines- Doxorubicin
Dactinomycin
Plicamycin
Mitomycin
Bleomycin
Tamoxifen
Selective estrogen receptor modulator (SERM),
Binds to the estrogen receptors (ER) and induces conformational changes in receptor
Has antiestrogenic effects on breast tissue.
Subsequent to tamoxifen ER binding, the expression of estrogen dependent genes is blocked
or altered
Resulting in decreased estrogen response.
Aromatase Inhibitors
Aminogluthethimide
Anastrozole
Resistensi sitostatika
Peningkatan ekspresi gen MDR-1 pada permukaan sel P-glikoproteinglikoprotein,
Gen MDR-1 terlibat dengan efflux obat
Obat yang mengalami reverse multidrug resistance termasuk verapamil, kuinidin, dan
siklosporin
MDR meningkatkan resistensi sitostatika di antaranya antrasiklin, alkaloidalami (dari
tanaman obat alam) vinca, dan epipodofilotoksin
ANTIVIRUS
VIRUS
Parasit intrasel yang mampu mereplikasi diri dalam hospes
Terdiri olehdari: inti genome dalam suatu kapsul protein yang dikelilingi lipoprotein.
Tanpa dinding sel dan membrane sel
Tidak ada proses metabolisme (carry out)
Replikasi diri tergantung pada mesin¶ hospes
Tahap replikasi virus
1) adsorpsi dan penetrasi ke dalam sel hospes
2) uncoating asam nukleat virus
3) sintesis protein pengatur
4) sintesis RNA atau DNA
5) sintesis protein struktur
6) penyusunan partikel virus
7) release dari sel hospes
ANTIVIRUS
Mengeblok masuknya virus ke sel hospes atau bekerja di dalam sel hospes (jika virus telah
masuk ke sel hospes)
Pada umumnya merupakan analog nukleotida pirimidin atau purin
ANTIHERPES
Acyclovir - sebagai prototype
Valacyclovir
Famciclovir
Penciclovir
Trifluridine
Vidarabine
Mekanisme aksi Acyclovir
Suatu turunan guanosin asiklik
Terfosforilasi oleh enzim timidin kinase virus
Mengalami di-dan tri-fosforilasi oleh enzim selular sel hospes
Menghambat sintesis DNA virus dengan:
1) berkompetisi dengan dGTP (untuk DNA polymerase virus)
2) terminasi rantai DNA
Antiretrovirus
1) Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTIs)
2) Nonnucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTIs)
3)Protease inhibitors
Reverse Transcriptase Inhibitors
Zidovudine (AZT)
Didanosine- causes pancreatitis*
Lamivudine- causes pancreatitis
Zalcitabine- causes peripheral neuropathy*
Stavudine- causes peripheral neuropathy*
Abacavir
Mechanism of Action Zidovudine (AZT)
A deoxythymidine analog
enters the cell via passive diffusion
must be converted to the triphosphate form by mammalian thymidine kinase
competitively inhibits deoxythymidine triphosphate for the transcriptase enzymereverse
causes chain termination
Mechanism of Resistance Zidovudine
Due to mutations in the reverse transcriptase gene
Anti-Hepatitis Agents
Lamivudine -Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI)
Adefovir -Nucleotide Inhibitor
Interferon Alfa
Pegylated Interferon Alfa
Ribavirin
Interferon
Interferon Alfa
Endogenous proteins
induce host cell enzymes that degradation of viral mRNA andinhibit viral RNA translation
and cause tRNA
Bind to membrane receptors on cell surface
May also translation,inhibit viral penetration, uncoating, mRNA synthesis, and and virion
assembly and release
Pegylated interferon Alfa
A linear or branced polyethylene gylcol (PEG) moiety is attached to covalently to interferon
Increased half-life and steady drug concentrations
Less frequent dosing
Tx chronic hepatitis C in combination with ribavirin
Ribavirin
A guanosine analog
phosphorylated intracellularly by host enzymes
inhibits capping of viral messenger RNA
inhibits the viral RNA-dependent RNA polymerase
inhibits replication of DNA and RNA viruses
Antiinfluenza
Amantadine
antadine Rim
Zanamivir
Amantadine dan Rimantadine
Suatu amin siklik
Menghambat uncoating RNA virus sehingga menghambat replikasi virus
resistance due to mutations in structural M2 proteinthe RNA sequence coding for the
untuk pencegahan dan pengobatan Influenza A
Zanamivir dan Oseltamivir
menghambat enzim neuraminidase
menghambat replikasi virus influenza A dan Influenza B
untuk infeksi influenza yang uncomplicated
intranasal
ANTIHISTAMIN
³histamine mediates the allergic symptoms by binding to some receptor of histamine on the
cell´
Allergic symptoms including: sneezing, runny nose, itching, watery eyes.
HISTAMINE RECEPTORS: 1, 2, 3, «
H1: brain, smooth muscle from airways, gastrointestinal (GI) tract, genitourinary system, the
cardiovascular system, adrenal medulla, and endothelial cells, and lymphocytes.
H2: mediate the histamine induced gastric acid secretion. Antihistaminic agents that target
H2 receptor such as cemetidine and tagamet are used to treat some gastrointestinal diseases
such as peptic ulcers.
H3: ³neural autoreceptor (presynaptic) serving to modulate histamine synthesis and release in
the CNS´; one step up in the chain of histamine action
H4: found primarily in intestinal tissue, spleen, thymus, and immune active cells (such as T
cells, neutrophils, and eosinophils), ³which suggests an important role for H4 receptors in the
regulation of immune function´.
First antihistamines
³the primary objective of antihistamine research over the past 10-15 years has centered on
developing new drugs with higher selectivity for H1 receptors and lacking undesirable CNS
actions´
Goal : designing antihistamines with ³reduced ability to penetrate the CNS and decreased
affinity for central histamine receptors´
AntiDiabetes
Diabetes mellitus (DM) disebut juga kencing manis atau penyakit gula. Istilah ini berasal dari
bahasa yunani, diabetes: penerusan; mellitus: manis. Istilah ini menunjukkan tentang keadaan
tubuh penderita, yaitu adanya cairan manis yang mengalir terus. Diabetes mellitus merupakan
sekumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang ditandai dengan kadar gula darah yang
melebihi normal (hiperglikemia) akibat tubuh kekurangan insulin. Gejala yang sering
dikeluhkan pasien antara lain rasa haus, banyak kencing, rasa lapar tetapi berat badan turun,
badan terasa lemas, kesemutan, mata kabur, dan mudah terkena infeksi (Dalimartha, 1996).
Diabetes mellitus adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh adanya gangguan menahun
terutama pada sistem metabolisme karbohidrat, lemak dan juga protein dalam tubuh.
Gangguan metabolisme tersebut disebabkan kurangnya produksi hormon insulin yang
diperlukan dalam proses pengubahan gula menjadi tenaga serta sintesis lemak. Kondisi yang
demikian itu mengakibatkan terjadinya hiperglikemia, yaitu meningkatnya kadar gula dalam
darah atau terdapatnya kandungan gula dalam air kencing dan zat-zat keton serta asam (keto-
asidosis) yang berlebihan. Keberadaan zat-zat keton dan asam yang berlebihan ini
menyebabkan rasa haus yang terus menerus, banyak kencing, penurunan berat badan
meskipun selera makan tetap baik, penurunan daya tahan tubuh atau tubuh lemah dan mudah
sakit (Dalimartha, 1996; Price dan Wilson, 1995). Penderita kencing manis tidak jarang yang
harus meninggal pada usia muda. Perubahan cukup besar terjadi pada tahun 1921, yaitu
setelah Dr. Frederick Banting dan Prof. Charles Best (keduanya dari Inggris), berhasil
menemukan suatu zat yang disebut insulin. Dengan bantuan penambahan insulin buatan, para
penderita kencing manis dapat hidup dengan lebih baik dan dapat mencapai usia relatif
normal (Price dan Wilson, 1995).
Klasifikasi Diabetes Mellitus
1. Diabetes mellitus
a. Tipe I : Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)
b. Tipe II : Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)
2. Gangguan toleransi glukosa
3. Diabetes karena malnutrisi
4. Diabetes saat kehamilan (Price dan Wilson, 1995).
a. Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)
Penyakit ini umumnya diderita oleh orang muda berusia 30 tahunan atau bahkan sejak anak-
anak sehingga dinamakan juvenil onset diabetes. Penyakit diabetes tipe ini disebabkan oleh
adanya defisiensi insulin. Hal itu terjadi karena ada dari selvkerusakan -pankreas yang
merupakan sel penghasil insulin. Kerusakan tersebut akibat peradangan yang timbul karena
faktor lingkungan, bisa berupa virus yang menyerang atau zat kimia toksik. Diabetes tipe ini
sangat tergantung pada keberadaan insulin eksogen yang biasa diberikan melalui injeksi
insulin (Adam dan Adam, 2002; Chang, 2002; Price dan Wilson,1995).
b. Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)
Penyakit ini umumnya diderita orang dewasa yang sehingga disebut adultvberusia 40 tahun
keatas -pankreas penderita masih onset diabetes. Sel berfungsi tapi tidak efektif,
kemampuannya dalam mensekresi insulin menurun. Pengobatan biasanya bertujuan untuk
memelihara konsentrasi darah dalam batas normal dan mencegah komplikasi lebih lanjut.
Pengurangan berat badan (diet) dan olah raga merupakan terapi primer sedangkan terapi
sekunder dengan pemberian obat-obat antidiabetika oral (Adam dan Adam, 2002; Chang,
2002; Price dan Wilson, 1995).
Faktor-faktor yang memicu timbulnya diabetes, diantaranya adalah :
a. keturunan, 15-20% penderita Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)
mempunyai riwayat keluarga diabetes mellitus, sedangkan pada Insulin Dependent Diabetes
Mellitus (IDDM) sebanyak 60% berasal dari keluarga diabetes mellitus
b. virus, akibat penyakit parotis (infeksi virus yang menyerang sel ȕ-pankreas) dapat
meningkatkan Diabetes Mellitus (DM) pada anak-anak
c. kegemukan, pada orang gemuk aktifitas insulin di jaringan lemak dan otot menurun
d. usia, pada orang-orang yang telah berumur aktifitas sel ȕ-pankreas untuk menghasilkan
insulin menurun, selain itu sensitivitas sel-sel jaringan berkurang sehingga tidak menerima
insulin
e. diet, pola makan tinggi karbohidrat
f. hormon, beberapa hormon seperti glukagon, hormon pertumbuhan, tiroksin, epinefrin, dan
kortison mempunyai aktivitas antagonis terhadap insulin
g. obat, jenis obat-obatan seperti diuretika, adrenalin, kortikosteroid, kontrasepsi oral dapat
meningkatkan kadar glukosa darah (Chang, 2002).
c. Gangguan toleransi glukosa
Pengaturan kadar glukosa yang stabil dalam darah adalah mekanisme homeostatik yang
merupakan kesatuan proses ikut berperannya hati, jaringan ekstra hepatik, dan beberapa
hormon. Pada kondisi kadar glukosa darah normal (80-100 mg/dl), hati ternyata merupakan
satu-satunya penghasil glukosa. Pada kondisi puasa, kadarnya menurun menjadi sekitar 60-70
mg/dl. Dalam keadaan normal kadar glukosa darah terkontrol dalam batas-batas tersebut.
Gangguan toleransi gula terjadi karena adanya peningkatan kadar glukosa diatas normal.
Orang yang mengidap gangguan toleransi gula mempunyai resiko untuk menjadi penderita
diabetes mellitus tipe II (Dalimartha, 1996).
Kemampuan tubuh dalam memanfaatkan glukosa dapat ditentukan dengan mengukur
toleransi glukosa yang ditunjukkan dengan sifat kurva glukosa darah setelah pemberian
glukosa. Diabetes mellitus ditandai dengan berkurangnya toleransi tubuh terhadap glukosa
yang disebabkan berkurangnya sekresi insulin. Hal ini dimanifestasikan dengan kadar
glukosa darah yang makin meningkat (hiperglikemik) disertai glikosuria dan perubahan pada
metabolisme lemak (Suharmiati, 2003).
d. Diabetes mellitus karena malnutrisi
Terjadinya defisiensi gizi (malnutrisi), defisiensi enzim atau sekresi hormon yang abnormal
dapat menyebabkan penyakit diabetes mellitus (Robert dan Murray, 1995).
e. Diabetes mellitus saat kehamilan
Diabetes mellitus saat kehamilan adalah penyakit diabetes mellitus yang timbul selama
penderita hamil. Hal ini terjadi karena peningkatan sekresi berbagai hormon. Oleh karena itu
kehamilan merupakan keadaan diabetogenik. Umumnya setelah melahirkan, kadar glukosa
darah tersebut kembali normal (Dalimartha, 1996; Price dan Wilson, 1995).
Metabolisme karbohidrat
Metabolisme karbohidrat diawali dengan proses katabolisme karbohidrat, yaitu perubahan
atau pemecahan molekul karbohidrat menjadi glukosa. Glukosa dimetabolisme menjadi
piruvat dan laktat dalam semua sel mamalia dalam lintasan glikolisis. Glikolisis dapat terjadi
dalam keadaan anaerob untuk menghasilkan laktat dan aerob untuk memetabolisme asam
piruvat menjadi asetil ko-A yang dapat memasuki siklus asam sitrat untuk menjalani proses
oksidasi lengkap menjadi CO2 dan H2O dengan pelepasan energi bebas sebagai ATP. Oleh
karena itu glukosa dikatakan bahan bakar utama jaringan tubuh. Selain itu glukosa juga
berperan dalam proses: (1) konversi menjadi polimer simpanan, glikogen, khususnya dalam
otot rangka dan hepar, (2) lintasan pentosa fosfat yang terbentuk dari senyawa antara pada
proses glikolisis, senyawa- senyawa antara ini berfungsi dalam proses biosintesis misalnya
asam-asam lemak dan menjadi sumber ribosa yang penting bagi pembuatan nukleotida serta
pembentukan asam nukleat, (3) triosa fosfat menghasilkan bagian gliserol pada senyawa asil
gliserol (lemak) dan (4) piruvat dan senyawa antara pada siklus asam sitrat memberikan
kerangka karbon untuk sintesis asam-asam amino, asetil ko-A merupakan unsur pembentuk
asam-asam lemak rantai panjang serta kolesterol, yaitu prekursor semua steroid yang
disintesis di dalam tubuh. Glukoneogenesis merupakan proses produksi glukosa dari
prekursor bukan karbohidrat, misalnya laktat, asam amino, dan gliserol. Sedangkan
glukogenesis merupakan proses produksi glukosa dari prekursor karbohidrat (Robert dan
Murray, 1995). Metabolisme karbohidrat yang memperlihatkan lintasan utama dan produk
akhir yang penting dapat dilihat pada Gambar 1.
Uji Kadar Glukosa Darah
Uji toleransi gula merupakan suatu metode untuk mengetahui kelainan dalam metabolisme
glukosa. Keadaan diabetes dapat diinduksi dengan cara pankreatektomi dan secara kimia.
Zat-zat sebagai induktor (diabetogen) dapat digunakan zat-zat kimia seperti glukosa, aloksan,
streptozotosin, diasoksida, adrenalin, dan EDTA. Zat-zat tersebut mampu menginduksi
diabetes, dimana semuanya terjadi gejala hiperglikemia.
Hewan percobaan yang digunakan meliputi mencit, tikus, kelinci, atau anjing. Penentuan
kadar gula dapat dilakukan secara kualitatif terhadap glukosa urin dan secara kuantitatif pada
glukosa darah. Penentuan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara kolorimetri atau
spektrofotometri dengan Vitalab. Pereaksi kimia yang lazim digunakan untuk pembentukan
warna adalah glukosa oksidase (GOD-PAP) (Anonim, 1991).
Makanan
Glikogen
Glukosa
Glukosa fosfat 3CO2
Asam Siklus
amino asam sitrat
2CO2 + H2O
Gambar 1. Metabolisme karbohidrat yang memperlihatkan lintasan utama dan produk akhir
yang penting (Robert dan Murray, 1995)
Obat ini hanya aktif pada diabetes mellitus tipe II yang pankreasnya tidak rusak tetapi tidak
berfungsi sebagaimana dalam kondisi normal. Obat yang termasuk golongan ini antara lain
tolbutamid, tolazamid, klorpropamid dan glibenklamid (Ganiswara, 1995).
2. Golongan biguanid
Biguanid berbeda dengan golongan sulfonilurea karena tidak merangsang sekresi insulin.
Contoh obat golongan ini adalah metformin yang dapat digunakan sendiri maupun kombinasi
dengan sulfonilurea. Metformin terutama bekerja dengan jalan mengurangi pengeluaran
glukosa hati dengan cara menghambat glukoneogenesis (Harvey dkk., 2001).
Mekanisme kerja golongan biguanid meliputi :
a) Stimulasi glikolisis secara langsung dalam jaringan dengan peningkatan eliminasi glukosa
dari darah,
b) Penurunan glukoneogenesis hati,
c) Peningkatan perubahan glukosa menjadi laktat oleh enterosit,
d) Penurunan kadar glukagon plasma, dan
e) Meningkatkan pengikatan insulin pada reseptor (Karam, 1997).
3. Golongan akarbose
Obat-obat ini termasuk kelompok obat baru, yang berdasarkan persaingan inhibisi enzim alfa-
glukosidase dimukosa duodenum sehingga reaksi penguraian di-/polisakarida menjadi
monosakarida dihambat. Dengan demikian glukosa dilepaskan lebih lambat dan absorpsinya
kedalam darah juga kurang cepat, lebih rendah dan merata sehingga memuncaknya kadar
glukosa dapat dihindarkan. Kerja ini mirip dengan efek dari makanan yang kaya akan serat
gizi. Tidak ada kemungkinan hipoglikemia dan terutama berguna pada penderita kegemukan.
Kombinasi dengan obat-obat lain akan memperkuat efeknya (Tjay dan Rahardja, 2002).
4. Insulin sensitizing agent
Tiazolidinadion adalah kelompok obat baru yang pada tahun 1996 dipasarkan di AS dan
Inggris. Efek farmakologisnya luas berupa penurunan kadar glukosa dan insulin dengan jalan
meningkatkan kepekaan bagi insulin dari otot, jaringan lemak dan hati. Sebagai efeknya
penyerapan glukosa dalam jaringan lemak dan otot meningkat. Begitu pula menurunkan
trigliserida atau asam lemak bebas dan mengurangi glukoneogenesis dalam hati. Zat ini tidak
mendorong pankreas untuk meningkatkan pelepasan insulin seperti sulfonilurea (Tjay dan
Rahardja, 2002).
Tolbutamid
Tolbutamid merupakan serbuk hablur, putih dan praktis putih, mempunyai rasa agak pahit
dan praktis tidak berbau. Tolbutamid tidak larut dalam air, larut dalam 10 bagian alkohol dan
dalam kloroform (Anonimb, 1995).
Gambar 4. Struktur insulin manusia (Dewitt et al, 2003; Katzung dan Bertram, 1998)
Insulin adalah sebuah hormon, yang secara kimia ditransportkan kedalam darah yang
mengontrol dan meregulasi aktivitas tertentu sel atau organ didalam tubuh. Saat kadar
glukosa darah meningkat dengan adanya makanan, pankreas akan menstimulasi pelepasan
insulin kedalam aliran darah dan memerintahkan kepada jaringan untuk mengabsorbsi
glukosa dari darah, yang diawali dengan berikatannya insulin dengan jaringan. Metabolisme
glukosa penting untuk pertumbuhan sel dan energi dalam hubungannya dengan fungsi sel.
Ketika insulin berikatan dengan reseptor dimembran sel, protein pembawa glukosa
dilepaskan dari sel kepermukaan membran sel. Dari permukaan luar sel inilah protein
pembawa dapat membawa glukosa kedalam jaringan dimana ia akan dimetabolisme. Tanpa
insulin, sel tidak dapat mengabsorbsi glukosa yang ada didalam darah (Dewitt et al, 2003;
Katzung dan Bertram, 1998).
Pada diabetes tipe I, pankreas tidak dapat menghasilkan insulin sehingga harus diberikan
insulin pengganti. Pemberian insulin hanya dapat diberikan melalui injeksi, karena insulin
merupakan protein yang terurai oleh pepsin lambung. Insulin diinjeksikan dibawah kulit
kedalam lapisan lemak (sub kutan) setengah jam sebelum makan, biasanya dilengan, paha
atau dinding perut dan digunakan jarum yang sangat kecil untuk mengurangi nyeri yang
ditimbulkan. Plasma t1/2-nya hanya beberapa menit pada orang sehat. Pada penderita
diabetes bisa diperpanjang sampai 123 jam, mungkin akibat pengikatan pada antibodi.
Kerjanya singkat, lebih kurang 40 menit. Bentuk sediaan insulin yang baru sedang dalam
penelitian, yaitu sediaan inhalasi. Namun bentuk sediaan tersebut belum dapat bekerja
dengan baik karena laju penyerapannya yang berbeda menimbulkan masalah dalam
penentuan dosisnya (Tjay dan Rahardja, 2002).
Lama kerjanya sediaan insulin tergantung dari tempat injeksi, dosis, aktivitas fisik dan faktor
individual lainnya. Juga dari bentuk sediaan insulin yang digunakan, apakah insulin kerja
cepat, sedang atau insulin kerja lambat (Tjay dan Rahardja, 2002).
1. Insulin kerja cepat
Contohnya adalah insulin regular, yang bekerja paling cepat dan paling singkat. Insulin ini
sering kali mulai menurunkan kadar glukosa dalam waktu 20 menit. Mencapai puncaknya
dalam waktu 2-4 jam dan bekerja selama 6-8 jam. Insulin kerja cepat seringkali digunakan
oleh penderita yang mengalami beberapa kali suntikan setiap harinya dan disuntikkan 15-20
menit sebelum makan.
2. Insulin kerja sedang
Contohnya adalah insulin suspensi seng atau suspensi insulin isofan. Mulai bekerja dalam
waktu 1-3 jam, mencapai puncak maksimum dalam waktu 6-10 jam dan bekerja selama 18-
26 jam. Insulin ini bisa disuntikkan pada pagi hari untuk memenuhi kebutuhan selama sehari
dan dapat disuntikkan pada malam hari untuk memenuhi kebutuhan sepanjang malam.
3. Insulin kerja lama
Contohnya adalah insulin suspensi seng yang telah dikembangkan. Efeknya baru timbul
setelah 6 jam dan bekerja selama 28-36 jam (Tjay dan Rahardja, 2002).
Streptozotosin
Streptozotosin merupakan metabolit dari Streptomyces achromogenes, dan digunakan
sebagai diabetogenik secara luas dalam berbagai eksperimental diabetes. Rakieten et al.
(1963) melaporkan aktivitas diabetogenik dari streptozotosin yang spesifik citotoksik pada sel
ȕ Langerhans pankreas. Streptozotosin merupakan turunan nitrosuria glukosamin yang
merupakan antibiotik, anti tumor dan anti kanker. Streptozotosin secara langsung toksik pada
sel ȕ Langerhans pankreas melalui kerusakan membran plasma, penurunan level NAD dan
produksi radikal bebas yang pada akhirnya menyebabkan kematian sel (Feillet-Coudray et al.,
1999).
Seperti sudah disebutkan di atas, streptozotosin dapat digunakan untuk hewan uji DM tipe I
dan tipe II. Pemberian streptozotosin berbagai dosis secara intra peritoneal pada hewan uji
dewasa dapat membuat DM tipe I dengan berbagai tingkat keparahan. Dosis streptozotosin
50 dan 75 mg/kg BB pada hewan uji tikus berturut-turut membentuk DM tipe I tingkat
sedang dan berat. Pemberian streptozotosin pada dosis tersebut dapat merusak sel-sel ȕ
sehingga produksi insulin akan menurun secara drastis, bahkan akan berhenti pada kondisi
kronis (Peredo et al., 1999). Untuk menginduksi hewan uji dengan DM tipe II dapat
dilakukan dengan pemberian streptozotosin dosis 90 mg/kgBB secara intra peritoneal pada
tikus neonatal dan kondisi DM tipe II ini terdeteksi setelah tikus tersebut berumur 6 minggu
(Shafrir dan Mosthaf, 1999).
Pada pemberian streptozotosin pada hewan uji dewasa, tidak terjadi regenerasi sel ȕ
Langerhans pankreas dan terjadi hiperplasia secara irreversibel karena terjadi kerusakan
kronis pada sel ȕ Langerhans pankreas sehingga insulin tidak dapat diproduksi oleh organ
tersebut. Patofisiologi tersebut identik pada DM tipe I (Portha dan Kergoat, 1985).
ANTIHIPERLIPIDEMIK
Ditujukan utk menurunkan resiko penyakit aterosklerosis
Obat utk menurunkan fosfolipid, dan asam? kadar lipid plasma (kolesterol, trigliserida,
lemak bebas) tdk larut dlm plasma
Lipoprotein mengangkut lipid dr penggunaannya ?tempat sintesis menuju tempat
Penggolongan lipoprotein:
? VLDL
± Mgd 60% trigliserid endogen dan 10-15% kolesterol
± Dibentuk dr asam lemak bebas di hati
?LDL
± Lipoprotein pengangkut kolesterol terbesar (menuju jaringan perifer) utk sintesis membran
plasma dan hormon steroid
± Mgd trigliserida 10% dan kolesterol 50%
± Mrpkn metabolit dr VLDL
?IDL
± Mgd 30% trigliserid, 20% kolesterol, apoprotein
± Katabolisme VLDL ð IDL ð LDL
?HDL
± Mgd 13% kolesterol, < 5% trigliserid, 50% protein
± HDL1 (induksi aterosklerosis), HDL2, HDL3
± Mengangkut kolesterol dr jaringan perifer ke hati ð penimbunan kolesterol di perifer Ļ
ANTIHIPERLIPIDEMIA
Asam fibrat: klofibrat, bezafibrat?gemfibrozil, fenofibrat, siprofibrat,
Resin: ?kolestiramin, kolestipol
Penghambat HMGCoA reduktase: simvastatin, pravastatin? mevastatin, lovastatin,
? Asam nikotinat ð asipimoks
?Probukol
Lain-lain: Neomisin sulfat, Beta-sitosterol, ?Dekstrotiroksin
ASAM FIBRAT
- utk hipertrigliserida
- menurunkan trigliserida dgn meningkatkan aktivitas lipoprotein lipase shg katabolisme
lipoprotein kaya-trigliserida (VLDL & IDL) meningkat.
RESIN
ſgaram klorida dr basic anion exchange resin
ſutk hiperkolesterolemia dgn cara menurunkan LDL
ſmekanisme: mengikat asam empedu dlm saluran cerna
ſtjd penurunan kadar asam empedu ð menyebabkan meningkatnya produksi asam empedu
yg berasal dr kolesterol ð kolesterol dlm plasma turun
ASAM NIKOTINAT
?Niasin
Salah satu ?komponen vit. B komplek
Utk hipertrigliserida dgn menurunkan VDL juga turun? produksi VLDL shg kadar IDL dan
Mekanisme: (hasil? menghambat lipolisis pd jaringan lemak shg asam lemak bebas lipolisis)
yg diperlukan utk sintesis VLDL di hati menurun ð sintesis VLDL turun
PROBUKOL
Menurunkan kadar kolesterol serum dgn ? menurunkan LDL
Diduga: efek antiaterogeniknya terlepas dr efek ?hipolipidemiknya
LAIN-LAIN
1. Beta-sitosterol adalah gabungan sterol tnmn yg tdk diabsorpsi GI
Mekanisme: menghambat absorpsi kolesterol endogen
2. Dekstrotiroksin
Utk hiperkolesterolemia dgn ? cara menurunkan LDL
?Isomer optik hormon tiroid
Menurunkan ? kadar lipid darah krn efek tiromimetik
(tiroksin meningkatkan metabolisme LDL) ð kadar LDL plasma turun