Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
TINJAUAN PUSTAKA
Infeksi Saluran Pernafasan Akut sering disingkat dengan ISPA, istilah ini
diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI).
Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernafasan dan akut, dengan
2.1.2. Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta
organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA
2.1.3. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari.
beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung
Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri
20
Universitas Sumatera Utara
Hemofilus, Bordetella dan Corinebakterium. Virus penyebabnya antara lain golongan
Sumber : http://www.kcom.edu/faculty/chamberlain/website/lectures/intraurt.htm.
Penyakit ISPA adalah penyakit yang sangat menular, hal ini timbul karena
menurunnya sistem kekebalan atau daya tahan tubuh, misalnya karena kelelahan atau
21
Universitas Sumatera Utara
stres. Pada stadium awal, gejalanya berupa rasa panas, kering dan gatal dalam hidung,
yang kemudian diikuti bersin terus menerus, hidung tersumbat dengan ingus encer
serta demam dan nyeri kepala. Permukaan mukosa hidung tampak merah dan
membengkak. Infeksi lebih lanjut membuat sekret menjadi kental dan sumbatan di
hidung bertambah. Bila tidak terdapat komplikasi, gejalanya akan berkurang sesudah
3-5 hari. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah sinusitis, faringitis, infeksi telinga
tengah, infeksi saluran tuba eustachii, hingga bronkhitis dan pneumonia (radang
paru).15
Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang telah tercemar,
bibit penyakit masuk kedalam tubuh melalui pernafasan, oleh karena itu maka
penyakit ISPA ini termasuk golongan Air Borne Disease. Penularan melalui udara
dimaksudkan adalah cara penularan yang terjadi tanpa kontak dengan penderita
maupun dengan benda terkontaminasi. Sebagian besar penularan melalui udara dapat
pula menular melalui kontak langsung, namun tidak jarang penyakit yang sebagian
Diagnosis etiologi pnemonia pada balita sulit untuk ditegakkan karena dahak
22
Universitas Sumatera Utara
penyebab pnemonia, hanya biakan spesimen fungsi atau aspirasi paru serta
Pemeriksaan cara ini sangat efektif untuk mendapatkan dan menentukan jenis
bakteri penyebab pnemonia pada balita, namun disisi lain dianggap prosedur yang
berbahaya dan bertentangan dengan etika (terutama jika semata untuk tujuan
balita di Indonesia mendasarkan pada hasil penelitian asing (melalui publikasi WHO),
Diagnosis pnemonia pada balita didasarkan pada adanya batuk dan atau
kesukaran bernafas disertai peningkatan frekuensi nafas (nafas cepat) sesuai umur.
a. Pada anak usia kurang 2 bulan frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali permenit
atau lebih.
b. Pada anak usia 2 bulan - <1 tahun frekuensi pernafasan sebanyak 50 kali per
c. Pada anak usia 1 tahun - <5 tahun frekuensi pernafasan sebanyak 40 kali per
dengan adanya nafas cepat, yaitu frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali per menit
23
Universitas Sumatera Utara
atau lebih, atau adanya penarikan yang kuat pada dinding dada sebelah bawah ke
dalam. Rujukan penderita pnemonia berat dilakukan dengan gejala batuk atau
kesukaran bernafas yang disertai adanya gejala tidak sadar dan tidak dapat minum.
Pada klasifikasi bukan pneumonia maka diagnosisnya adalah batuk pilek biasa
a.1. Pneumonia berat: bila disertai dengan tanda-tanda klinis seperti berhenti
menyusu (jika sebelumnya menyusu dengan baik), kejang, rasa kantuk yang
tidak wajar atau sulit bangun, stridor pada anak yang tenang, mengi, demam
(38ºC atau lebih) atau suhu tubuh yang rendah (di bawah 35,5 ºC), pernafasan
cepat 60 kali atau lebih per menit, penarikan dinding dada berat, sianosis sentral
a.2. Bukan pneumonia: jika anak bernafas dengan frekuensi kurang dari 60 kali per
b.1. Pneumonia sangat berat: batuk atau kesulitan bernafas yang disertai dengan
sianosis sentral, tidak dapat minum, adanya penarikan dinding dada, anak
b.2. Pneumonia berat: batuk atau kesulitan bernafas dan penarikan dinding dada,
24
Universitas Sumatera Utara
b.3. Pneumonia: batuk (atau kesulitan bernafas) dan pernafasan cepat tanpa
b.4. Bukan pneumonia (batuk pilek biasa): batuk (atau kesulitan bernafas) tanpa
b.5. Pneumonia persisten: anak dengan diagnosis pneumonia tetap sakit walaupun
telah diobati selama 10-14 hari dengan dosis antibiotik yang adekuat dan
Infeksi yang menyerang hidung sampai bagian faring, seperti pilek, otitis
media, faringitis.
Infeksi yang menyerang mulai dari bagian epiglotis atau laring sampai
dengan alveoli, dinamakan sesuai dengan organ saluran nafas, seperti epiglotitis,
Penyakit ISPA lebih sering diderita oleh anak-anak. Daya tahan tubuh anak
sangat berbeda dengan orang dewasa karena sistim pertahanan tubuhnya belum kuat.
Kalau di dalam satu rumah seluruh anggota keluarga terkena pilek, anak-anak akan
25
Universitas Sumatera Utara
lebih mudah tertular. Dengan kondisi tubuh anak yang masih lemah, proses
penyebaran penyakit pun menjadi lebih cepat. Dalam setahun seorang anak rata-rata
ISPA berdasarkan umur balita adalah untuk usia <6 bulan (4,5%), 6-11 bulan
(11,5%), 12-23 bulan (11,8%), 24-35 bulan (9,9%), 36-47 bulan (9,2%), 48-59 bulan
(8,0%).6
mendapatkan bahwa kejadian ISPA atas tidak ada bedanya antara laki-laki dan
perempuan, sedangkan ISPA bawah pada umur < 6 tahun lebih sering pada anak laki-
laki.18 Sesuai dengan penelitian Djaja, dkk (2001) prevalensi ISPA pada anak laki-
ISPA, diare dan kurang gizi merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas pada anak di negara maju dan berkembang. ISPA merupakan penyebab
relatif lebih kecil tetapi mortalitasnya lebih tinggi terutama disebabkan oleh ISPA
26
Universitas Sumatera Utara
c. Distribusi Penyakit ISPA Berdasarkan Waktu
akibat pneumonia balita sampai 33% pada tahun 1994-1999. Sedangkan di Indonesia
sendiri oleh Dirjen PPM & PL menargetkan bahwa angka kematian balita akibat
penyakit ISPA 5 per 1000 pada tahun 2000 akan diturunkan menjadi 3 per 1000 pada
pneumonia penderita dan pengobatan dari target (perkiraan penderita) masih relatif
rendah, tahun 2000 ada 30,1%; tahun 2001 ada 25%; tahun 2002 ada 22,1%; tahun
2003 ada 30%; tahun 2004 ada 36%; tahun 2005 ada 27,7%. Hasil pantauan yang
dilakukan ini belum menggambarkan kondisi yang sebenarnya oleh karena masih ada
Penelitian Septri Anti (2007), dari catatan bulanan program P2 ISPA Kota
Medan tahun 2002-2006 didapatkan bahwa berdasarkan hasil uji regresi linier
terdapat nilai signifikan sebesar 0,552 (>0,05), tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara waktu dengan jumlah penderita ISPA pada balita, hal ini berarti
penderita penyakit ISPA pada tahun 2002 berjumlah 8.836 orang dan pada tahun
27
Universitas Sumatera Utara
2.7.2. Faktor Yang Mempengaruhi Penyakit ISPA
a. Agent
Infeksi dapat berupa flu biasa hingga radang paru-paru. Kejadiannya bisa
secara akut atau kronis, yang paling sering adalah rinitis simpleks, faringitis,
tonsilitis, dan sinusitis. Rinitis simpleks atau yang lebih dikenal sebagai
terjadi pada manusia. Penyebabnya adalah virus Myxovirus, Coxsackie, dan Echo.15
4 juta balita setiap tahun di negara berkembang. Isbagio ini mengutip penelitian
WHO dan UNICEF tahun 1996, di Pakistan didapatkan bahwa 95% S.pneumococcus
kehilangan sensitivitas paling sedikit pada satu antibiotika, hampir 50% dari bakteri
mengobati infeksi pernafasan akut. Demikian pula di Arab Saudi dan Spanyol 60%
101 penderita infeksi saluran pernafasan bagian bawah di BP4 Medan didapatkan
bahwa semua penderita terlihat hasil biakan positif, pada dua penderita dijumpai
tumbuh dua galur bakteri sedangkan yang lainnya hanya tumbuh satu galur. Bakteri
gram positif dijumpai sebanyak 54 galur (52,4%) dan bakteri gram negatif 49 galur
(47,6%).
Dari hasil biakan terlihat bahwa yang terbanyak adalah bakteri Streptococcus
28
Universitas Sumatera Utara
sebesar 18,45%, Pseudomonas aureginosa 16 galur sebesar 15,53%, Klebsiella sp 14
b. Manusia
b.1. Umur
tahun mempunyai risiko mendapat ISPA 1,4 kali lebih besar dibandingkan dengan
anak yang lebih tua. Keadaan ini terjadi karena anak di bawah usia 2 tahun
bahwa proporsi balita penderita pneumonia yang rawat inap dari tahun 1998 sampai
tahun 2002 terbesar pada kelompok umur 2 bulan - <5 tahun adalah 91,1%,22
demikian juga penelitian Maafdi di RS Advent Medan tahun 2006, didapatkan bahwa
proporsi balita penderita pneumonia terbesar pada kelompok umur 2 bulan - <5 tahun
lebih sering didapatkan pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, terutama
anak usia muda, dibawah 6 tahun. Menurut Glenzen dan Deeny, anak laki-laki lebih
rentan terhadap ISPA yang lebih berat, dibandingkan dengan anak perempuan.11
29
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan hasil penelitian Dewi, dkk di Kabupaten Klaten (1996),
didapatkan bahwa sebagian besar kasus terjadi pada anak laki-laki sebesar 58,97%,
utama kematian terutama pada anak dibawah usia 5 tahun. Akan tetapi anak-anak
yang meninggal karena penyakit infeksi itu biasanya didahului oleh keadaan gizi
yang kurang memuaskan. Rendahnya daya tahan tubuh akibat gizi buruk sangat
Hasil penelitian Dewi, dkk (1996) di Kabupaten Klaten, dengan desain cross
sectional didapatkan bahwa anak yang berstatus gizi kurang/buruk mempunyai risiko
pneumonia 2,5 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang berstatus gizi
baik/normal.24
Hasil penelitian Mustafa di Kota Banda Aceh (2006), dengan desai cross
sectional, berdasarkan hasil analisis bivariat antara penyakit ISPA dengan status gizi
anak balita menunjukkan bahwa anak balita yang menderita penyakit ISPA
didapatkan 2,19 kali mempunyai status gizi tidak baik dibandingkan dengan anak
Status Gizi (PSG) anak balita dengan mengukur berat badan terhadap umur. Status
30
Universitas Sumatera Utara
2) Gizi Baik : bila Z_Skor terletak diantara ≥ -2 SD s/d +2 SD
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) ditetapkan sebagai suatu berat lahir
<2.500 gram. Menurut Tuminah (1999), bayi dengan BBLR mempunyai angka
kematian lebih tinggi dari pada bayi dengan berat ≥2500 gram saat lahir selama tahun
bahwa proporsi anak balita yang menderita pneumonia dengan berat badan lahir
<2.500 gram sebesar 62,2%. Hasil uji statistik diperoleh bahwa terdapat hubungan
yang bermakna antara kejadian pneumonia dengan balita BBLR (p <0,05). Nilai OR
2,2 (CI 95%; 1,481-4,751), artinya anak balita yang menderita pneumonia risikonya
Air Susu Ibu (ASI) dibutuhkan dalam proses tumbuh kembang bayi kaya akan
faktor antibodi untuk melawan infeksi-infeksi bakteri dan virus, terutama selama
minggu pertama (4-6 hari) payudara akan menghasilkan kolostrum, yaitu ASI awal
sel-sel leukosit) yang sangat penting untuk melindungi bayi dari infeksi.
Bayi (0-12 bulan) memerlukan jenis makanan ASI, susu formula, dan
makanan padat. Pada enam bulan pertama, bayi lebih baik hanya mendapatkan ASI
31
Universitas Sumatera Utara
saja (ASI Eksklusif) tanpa diberikan susu formula. Usia lebih dari enam bulan baru
diberikan makanan pendamping ASI atau susu formula, kecuali pada beberapa kasus
tertentu ketika anak tidak bisa mendapatkan ASI, seperti ibu dengan komplikasi
postnatal.29
bahwa proporsi balita yang tidak mendapat ASI eksklusif menderita pneumonia
sebesar 56,2%, sedang yang tidak menderita pneumonia 38,8%. Hasil uji statistik
diperoleh bahwa anak balita yang menderita pneumonia risikonya 2 kali lebih besar
menular tertentu agar kebal dan terhindar dari penyakit infeksi tertentu. Pentingnya
POLIO (lumpuh layu), TBC (batuk berdarah), difteri, liver (hati), tetanus, pertusis.
tersebut. Jadwal pemberian imunisasi sesuai dengan yang ada dalam Kartu Menuju
Sehat (KMS) yaitu BCG : 0-11 bulan, DPT 3x : 2-11 bulan, Polio 4x : 0-11 bulan,
bahwa ada hubungan yang bermakna antara kejadian pneumonia pada balita dengan
32
Universitas Sumatera Utara
status imunisasi. Hasil uji statistik diperoleh nilai OR = 2,5 (CI 95%; 2.929 – 4.413),
artinya anak balita yang menderita pneumonia risikonya 2,5 kali lebih besar pada
anak yang status imunisasinya tidak lengkap.28 Berbeda dengan hasil penelitian
Afrida di Medan (2007), hasil uji chi square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
yang bermakna antara status imunisasi bayi dengan kejadian penyakit ISPA
(p>0,05).11
c. Lingkungan
perumahan menetapkan bahwa kelembaban yang sesuai untuk rumah sehat adalah 40-
terjadinya ISPA pada balita. Berdasarkan hasil uji regresi, diperoleh bahwa faktor
kelembaban ruangan mempunyai exp (B) 28,097, yang artinya kelembaban ruangan
yang tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi faktor risiko terjadinya ISPA pada
Salah satu syarat fisiologis rumah sehat adalah memiliki suhu optimum 18-
300C. Hal ini berarti, jika suhu ruangan rumah dibawah 180C atau diatas 300C
keadaan rumah tersebut tidak memenuhi syarat. Suhu ruangan yang tidak memenuhi
syarat kesehatan menjadi faktor risiko terjadinya ISPA pada balita sebesar 4 kali.10
33
Universitas Sumatera Utara
c.3. Ventilasi
agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan
O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi
akan menyebabkan kurangnya O2 di dalam rumah yang berarti kadar CO2 yang
bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat.30 Sirkulasi udara dalam rumah
akan baik dan mendapatkan suhu yang optimum harus mempunyai ventilasi minimal
ISPA pada bayi yang memiliki ventilasi kamar tidur yang tidak memenuhi syarat
kesehatan sebesar 69,9%, sedangkan untuk yang memenuhi syarat kesehatan sebesar
30,1%. Hasil uji statistik diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna antara
padat jika luas lantai rumah ≤3,9 m2/orang, dan tidak padat jika luas lantai rumah ≥4
m2/orang.31
proses kejadian pneumonia pada anak balita lebih besar pada anak yang tinggal di
rumah yang padat dibandingkan dengan anak yang tinggal di rumah yang tidak
padat.32 Berdasarkan hasil penelitian Chahaya tahun 2004, kepadatan hunian rumah
34
Universitas Sumatera Utara
c.5. Penggunaan Anti Nyamuk
dapat menyebabkan gangguan saluran pernafasan karena menghasilkan asap dan bau
pernafasan.10
hubungan yang bermakna antara penggunaan anti nyamuk dengan kejadian penyakit
ISPA (p <0,05).11
kualitas udara menjadi rusak. Kualitas udara di 74% wilayah pedesaan di China tidak
memenuhi standar nasional pada tahun 2002, hal ini menimbulkan terjadinya
peningkatan penyakit paru dan penyakit paru ini telah menyebabkan 1,3 juta
kematian.33
Berdasarkan hasil penelitian Afrida (2007), prevalens rate ISPA pada bayi
yang dirumahnya menggunakan bahan bakar untuk memasak adalah minyak tanah
sebesar 76,6%, sedangkan gas elpiji sebesar 33,3%. Hasil uji chi square
menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara penggunaan bahan bakar
35
Universitas Sumatera Utara
c.7. Keberadaan Perokok
Rokok bukan hanya masalah perokok aktif tetapi juga perokok pasif. Asap
rokok terdiri dari 4.000 bahan kimia, 200 diantaranya merupakan racun antara lain
prevalensi perokok pasif pada semua umur di Indonesia adalah sebesar 48,9% atau
Sedangkan prevalensi perokok aktif pada laki-laki umur 10 tahun ke atas adalah
Prevalensi perokok pasif pada balita sebesar 69,5%, pada kelompok umur 5-9
tahun sebesar 70,6% dan kelompok umur muda 10-14 tahun sebesar 70,5%.
Tingginya prevalensi perokok pasif pada balita dan umur muda disebabkan karena
mereka masih tinggal serumah dengan orang tua ataupun saudaranya yang merokok
dalam rumah.34
Berdasarkan hasil penelitian Syahril (2006), dari hasil uji statistik diperoleh
nilai OR = 2,7 (CI 95%; 1.481 – 4.751) artinya anak balita yang menderita
pneumonia risikonya 2,7 kali lebih besar pada anak balita yang terpapar asap rokok
Persepsi masyarakat mengenai keadaan sehat dan sakit berbeda dari satu
individu dengan individu lainnya. Bagi seseorang yang sakit, persepsi terhadap
penyakitnya merupakan hal yang penting dalam menangani penyakit tersebut. Untuk
36
Universitas Sumatera Utara
bayi dan anak balita persepsi ibu sangat menentukan tindakan pengobatan yang akan
Berdasarkan hasil penelitian Djaja, dkk (2001), didapatkan bahwa bila rasio
jumlah ibu yang membawa anaknya berobat ke dukun ketika sakit lebih banyak.
Bedasarkan hasil uji statistik didapatkan bahwa ibu dengan status ekonomi tinggi 1,8
kali lebih banyak pergi berobat ke pelayanan kesehatan dibandingkan dengan ibu
Ibu dengan pendidikan lebih tinggi, akan lebih banyak membawa anak
berobat ke fasilitas kesehatan, sedangkan ibu dengan pendidikan rendah lebih banyak
mengobati sendiri ketika anak sakit ataupun berobat ke dukun. Ibu yang
berpendidikan minimal tamat SLTP 2,2 kali lebih banyak membawa anaknya ke
pelayanan kesehatan ketika sakit dibandingkan dengan ibu yang tidak bersekolah, hal
ini disebabkan karena ibu yang tamat SLTP ke atas lebih mengenal gejala penyakit
pengobatan penderita sedini mungkin dengan melibatkan peran serta aktif masyarakat
terutama kader, dengan dukungan pelayanan kesehatan dan rujukan secara terpadu di
37
Universitas Sumatera Utara
2.8.1. Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)
ialah :
dapat mengubah sikap dan perilaku masyarakat terhadap hal-hal yang dapat
meningkatkan faktor resiko penyakit ISPA. Kegiatan penyuluhan ini dapat berupa
penyuluhan gizi seimbang pada ibu dan anak, penyuluhan kesehatan lingkungan
d. Program KIA yang menangani kesehatan ibu dan bayi berat badan lahir rendah.
mungkin. Upaya pengobatan yang dilakukan dibedakan atas klasifikasi ISPA yaitu :
a.1. Pneumonia Berat: rawat dirumah sakit, beri oksigen (jika anak mengalami
sianosi sentral, tidak dapat minum, terdapat penarikan dinding dada yang
38
Universitas Sumatera Utara
hebat), terapi antibiotik dengan memberikan benzilpenisilin dan gentamisin atau
kanamisin.
a.2 Bukan Pneumonia: terapi antibiotik sebaiknya tidak diberikan, nasihati ibu
untuk menjaga agar bayi tetap hangat, memberi ASI secara sering, dan
bersihkan sumbatan pada hidung jika sumbatan itu menggangu saat memberi
makan.
b.1 Pneumonia Sangat Berat: rawat di rumah sakit, berikan oksigen, terapi
Apabila pada anak terjadi perbaikan (biasanya setelah 3-5 hari), pemberiannya
suportif, hati-hati dengan pemberian terapi cairan, nilai ulang dua kali sehari.
b.2 Pneumonia Berat: rawat di rumah sakit, berikan oksigen, terapi antibiotik
sedikit selama 3 hari, obati demam, obati mengi, perawatan suportif, hati-hati
b.4. Bukan Pneumonia (batuk atau pilek): obati di rumah, terapi antibiotik sebaiknya
tidak diberikan, terapi spesifik lain (untuk batuk dan pilek), obati demam,
39
Universitas Sumatera Utara
b.5. Pneumonia Persisten: rawat (tetap opname), terapi antibiotik dengan
Tingkat pencegahan ini ditujukan kepada balita penderita ISPA agar tidak
a. Pneumonia Sangat Berat: jika anak semakin memburuk setelah pemberian kloram
fenikol selama 48 jam, periksa adanya komplikasi dan ganti dengan kloksasilin
kemudian periksa adanya komplikasi dan ganti dengan kloramfenikol. Jika anak
c. Pneumonia: Coba untuk melihat kembali anak setelah 2 hari dan periksa adanya
membaik. Nilai kembali dan kemudian putuskan jika anak dapat minum, terdapat
penarikan dinding dada atau tanda penyakit sangat berat maka lakukan kegiatan
ini yaitu rawat, obati sebagai pneumonia berat atau pneumonia sangat berat. Jika
anak tidak membaik sama sekali tetapi tidak terdapat tanda pneumonia berat atau
tanda lain penyakit sangat berat, maka ganti antibiotik dan pantau secara ketat.3
40
Universitas Sumatera Utara
2.9. Penanganan Penyakit ISPA
Hampir seluruh kematian karena ISPA pada anak kecil disebabkan oleh
ISPbA, paling sering adalah pneumonia. Bayi baru lahir dan bayi berusia satu bulan
atau disebut ’bayi muda’ yang menderita pneumonia dapat tidak mengalami batuk
dan frekuensi pernfasannya secara normal sering melebihi 50 kali permenit. Infeksi
bakteri pada kelompok usia ini dapat hanya menampakkan tanda klinis yang spesifik,
sehingga sulit untuk membedakan pneumonia dari sepsis dan meningitis. Infeksi ini
dapat cepat fatal pada bayi muda yang telah diobati dengan sebaik-baiknya di rumah
Cara yang paling efektif untuk mengurangi angka kematian karena pneumonia
antibiotik yang tepat secara teratur melalui fasilitas perawatan tingkat pertama dokter
pneumonia dapat dicapai dengan menyediakan perawatan rujukan untuk anak yang
mengalami ISPbA berat memerlukan oksigen, antibiotik lini II, serta keahlian klinis
41
Universitas Sumatera Utara