Você está na página 1de 12

Pada titrasi iodometri, analit yang dipakai adalah oksidator yang dapat bereaksi dengan I-

(iodide) untuk menghasilkan I2, I2 yang terbentuk secara kuantitatif dapat dititrasi
dengan larutan tiosulfat. Dari pengertian diatas maka titrasi iodometri adalah dapat
dikategorikan sebagai titrasi kembali.

Iodida adalah reduktor lemah dan dengan mudah akan teroksidasi jika direaksikan
dengan oksidator kuat. Iodida tidak dipakai sebagai titrant hal ini disebabkan karena
factor kecepatan reaksi dan kurangnya jenis indicator yang dapat dipakai untuk iodide.
Oleh sebab itu titrasi kembali merubakan proses titrasi yang sangat baik untuk titrasi
yang melibatkan iodide. Senyawaan iodide umumnya KI ditambahkan secara berlebih
pada larutan oksidator sehingga terbentuk I2. I2 yang terbentuk adalah equivalent dengan
jumlah oksidator yang akan ditentukan. Jumlah I2 ditentukan dengan menitrasi I2 dengan
larutan standar tiosulfat (umumnya yang dipakai adalah Na2S2O3) dengan indicator
amilum jadi perubahan warnanya dari biru tua kompleks amilum-I2 sampai warna ini
tepat hilang.

Reaksi yang terjadi pada titrasi iodometri untuk penentuan iodat adalah sebagai berikut:

IO3- + 5 I- + 6H+ -> 3I2 + H2O

I2 + 2 S2O32- -> 2I- + S4O62-

Setiap mmol IO3- akan menghasilkan 3 mmol I2 dan 3 mmol I2 ini akan tepat bereaksi
dengan 6 mmol S2O32- (ingat 1 mmol I2 tepat bereaksi dengan 2 mmol S2O32-)
sehingga mmol IO3- ditentukan atau setara dngan 1/6 mmol S2O32-.

Mengapa kita menitrasi langsung antara tiosulfat dengan analit? Beberapa alasan yang
dapat dijabarkan adalah karena analit yang bersifat sebagai oksidator dapat mengoksidasi
tiosulfat menjadi senyawaan yang bilangan oksidasinya lebih tinggi dari tetrationat dan
umumnya reaksi ini tidak stoikiometri. Alasa kedua adalah tiosulfat dapat membentuk ion
kompleks dengan beberapa ion logam seperti Besi(II).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan titrasi Iodometri adalah sebagai
berikut:

Penambahan amilum sebaiknya dilakukan saat menjelang akhir titrasi, dimana hal ini
ditandai dengan warna larutan menjadi kuning muda (dari oranye sampai coklat akibat
terdapatnya I2 dalam jumlah banyak), alasannya kompleks amilum-I2 terdisosiasi sangat
lambat akibatnya maka banyak I2 yang akan terabsorbsi oleh amilum jika amilum
ditambahkan pada awal titrasi, alasan kedua adalah biasanya iodometri dilakukan pada
media asam kuat sehingga akan menghindari terjadinya hidrolisis amilum

Titrasi harus dilakukan dengan cepat untuk meminimalisasi terjadinya oksidasi iodide
oleh udara bebas. Pengocokan pada saat melakukan titrasi iodometri sangat diwajibkan
untuk menghindari penumpukan tiosulfat pada area tertentu, penumpukkan konsentrasi
tiosulfat dapat menyebabkan terjadinya dekomposisi tiosulfat untuk menghasilkan
belerang. Terbentuknya reaksi ini dapat diamati dengan adanya belerang dan larutan
menjadi bersifat koloid (tampak keruh oleh kehadiran S).

S2O32- + 2H+ -> H2SO3 + S

Pastikan jumlah iodide yang ditambahkan adalah berlebih sehingga semua analit
tereduksi dengan demikian titrasi akan menjadi akurat. Kelebihan iodide tidak akan
mengganggu jalannya titrasi redoks akan tetapi jika titrasi tidak dilakukan dengan segera
maka I- dapat teroksidasi oleh udara menjadi I2.

Bagaimana menstandarisasi larutan tiosulfat?

Tiosulfat yang dipakai dalam titrasi iodometri dapat distandarisasi dengan menggunakan
senyawa oksidator yang memiliki kemurnian tinggi (analytical grade) seperti K2Cr2O7,
KIO3, KBrO3, atau senyawaan tembaga(II).

Bila digunakan Cu(II) maka pH harus dibuffer pada pH 3 dan dipakai tiosianat untuk
masking agent, KSCN ditambahkan pada waktu mendektitik akhir titrasi dengan tujuan
untuk menggantikan I2 yang teradsorbsi oleh CuI. Bila pH yang digunakan tinggi maka
tembaga(II) akan terhidrolisis dan akan terbentuk hidroksidanya. Jika keasaman larutan
sangat tinggi maka cenderung terjadi reaksi I- sebagai akibat adanya Cu(II) dalam larutan
yang megkatalis reaksi tersebut.

Beberapa contoh reaksi iodometri adalah sebagai berikut

2MnO4- + 10 I- + 16 H+ <-> 2Mn2+ + 5 I2 + 8H2O

Cr2O72- + 6I- <-> 14 H+ <-> 2Cr3+ + 3 I2 + 7H2O

2Fe3+ + 2I- <-> 2Fe2+ + I2

2 Ce4+ + 2I- <-> 2Ce3+ + I2

Br2 + 2I- <-> 2Br- + I2


I. TUJUAN PERCOBAAN

Tujuan percobaan praktikum ini adalah untuk menentukan kadar tembaga dalam kristal
CuSO4.5 H2O.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Istilah oksidasi mengacu pada setiap perubahan kimia dimana terjadi kenaikan bilangan
oksidasi, sedangkan reduksi digunakan untuk setiap penurunan bilangan oksidasi.Berarti
proses oksidasi disertai hilangnya elektron sedangkan reduksi memperoleh elektron.
Oksidator adalah senyawa di mana atom yang terkandung mengalami penurunan bilangan
oksidasi. Sebaliknya pada reduktor, atom yang terkandung mengalami kenaikan bilangan
oksidasi. Oksidasi-reduksi harus selalu berlangsung bersama dan saling menkompensasi
satu sama lain. Istilah oksidator reduktor mengacu kepada suatu senyawa, tidak kepada
atomnya saja (Khopkar, 2003).

Oksidator lebih jarang ditentukan dibandingkan reduktor. Namin demikian, oksidator


dapat ditentukan dengan reduktor. Reduktor yang lazim dipakai untuk penentuan
oksidator adalah kalium iodida, ion titanium(III), ion besi(II), dan ion vanadium(II). Cara
titrasi redoks yang menggunakan larutan iodium sebagai pentiter disebut iodimetri,
sedangkan yang menggunakan larutan iodida sebagai pentiter disebut iodometri (Rivai,
1995).

Dalam proses analitik, iodium digunakan sebagai pereaksi oksidasi (iodimetri) dan ion
iodida digunakan sebagai pereaksi reduksi (iodometri). Relatif beberapa zat merupakan
pereaksi reduksi yang cukup kuat untuk dititrasi secara langsung dengan iodium. Maka
jumlah penentuan iodimetrik adalah sedikit. Akan tetapi banyak pereaksi oksidasi cukup
kuat untuk bereaksi sempurna dengan ion iodida, dan ada banyak penggunaan proses
iodometrik. Suatu kelebihan ion iodida ditambahkan kepada pereaksi oksidasi yang
ditentukan, dengan pembebasan iodium, yang kemudian dititrasi dengan larutan natrium
tiosulfat. Reaksi antara iodium dan tiosulfat berlangsung secara sempurna (Underwood,
1986).

Iodium hanya sedikit larut dalam air (0,00134 mol per liter pada 25 0C), tetapi agak larut
dalam larutan yang mengandung ion iodida. Larutan iodium standar dapat dibuat dengan
menimbang langsung iodium murni dan pengenceran dalam botol volumetrik. Iodium,
dimurnikan dengan sublimasi dan ditambahkan pada suatu larutan KI pekat, yang
ditimbang dengan teliti sebelum dan sesudah penembahan iodium. Akan tetapi biasanya
larutan distandarisasikan terhadap suatu standar primer, As2O3 yang paling biasa
digunakan. (Underwood, 1986).

Larutan standar yang dipergunakan dalam kebanyakan proses iodometrik adalah natrium
tiosulfat. Garam ini biasanya tersedia sebagai pentahidrat Na2S2O3.5H2O. Larutan tidak
boleh distandarisasi dengan penimbangan secara langsung, tetapi harus distandarisasi
terhadap standar primer. Larutan natrium tiosulfat tidak stabil untuk waktu yang lama.
Sejumlah zat padat digunakan sebagai standar primer untuk larutan natrium tiosulfat.
Iodium murni merupakan standar yang paling nyata, tetapi jarang digunakan karena
kesukaran dalam penanganan dan penimbangan. Lebih sering digunakan pereaksi yang
kuat yang membebaskan iodium dari iodida, suatu proses iodometrik (Underwood, 1986).

Metode titrasi iodometri langsung (kadang-kadang dinamakan iodimetri) mengacu


kepada titrasi dengan suatu larutan iod standar. Metode titrasi iodometri tak langsung
(kadang-kadang dinamakan iodometri), adlaah berkenaan dengan titrasi dari iod yang
dibebaskan dalam reaksi kimia. Potensial reduksi normal dari sistem reversibel:

I2(solid) 2e 2I-

adalah 0,5345 volt. Persamaan di atas mengacu kepada suatu larutan air yang jenuh
dengan adanya iod padat; reaksi sel setengah ini akan terjadi, misalnya, menjelang akhir
titrasi iodida dengan suatu zat pengoksid seperti kalium permanganat, ketika konsentrasi
ion iodida menjadi relatif rendah. Dekat permulaan, atau dalam kebanyakan titrasi
iodometri, bila ion iodida terdapat dengan berlebih, terbentuklah ion tri-iodida:

I2(aq) + I- I3-

Karena iod mudah larut dalam larutan iodida. Reaksi sel setengah itu lebih baik ditulis
sebagai:

I3- + 2e 3I-

Dan potensial reduksi standarnya adalah 0,5355 volt. Maka, iod atau ion tri-iodida
merupakan zat pengoksid yang jauh lebih lemah ketimbang kalium permanganat, kalium
dikromat, dan serium(IV) sulfat (Bassett, J. dkk., 1994).

Dalam kebanyakan titrasi langsung dengan iod (iodimetri), digunakan suatu larutan iod
dalam kalium iodida, dan karena itu spesi reaktifnya adalh ion tri-iodida, I3-. Untuk
tepatnya, semua persamaan yang melibatkan reaksi-reaksi iod seharusnya ditulis dengan
I3- dan bukan dengan I2, misalnya:

I3- + 2S2O32- = 3I- + S4O62-

akan lebih akurat daripada:

I2 + 2S2O32- = 2I- + S4O62-

(Bassett, J. dkk., 1994).

Warna larutan 0,1 N iodium adalah cukup kuat sehingga iodium dapat bekerja sebagai
indikatornya sendiri. Iodium juga memberi warna ungu atau merah lembayung yang kuat
kepada pelarut-pelarut sebagai karbon tetraklorida atau kloroform dan kadang-kadang hal
ini digunakan untuk mengetahui titik akhir titrasi. Akan tetapi lebih umum digunakan
suatu larutan (dispersi koloidal) kanji, karena warna biru tua dari kompleks kanji-iodium
dipakai untuk suatu uji sangat peka terhadap iodium. Kepekaan lebih besar dalam larutan
yang sedikit asam daripada larutan netral dan lebih besar dengan adanya ion iodida
(Underwood, 1986).

III. ALAT DAN BAHAN


A. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah neraca analitik, pipet volum, labu
ukur 100 mL, erlenmeyer 250 mL, buret, dan beaker gelas., pipet tetes, dan botol
semprot.

1. B. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah KIO3, H2SO4 2 N, larutan KI
10%, larutan Na2S2O3, larutan amilum 1%, garam (pembuatan larutan sampel), larutan
KCNS atau NH4CNS 10% dan akuades.

1. IV. PROSEDUR KERJA


1. A. Pembakuan larutan Na2S2O3 dengan larutan baku KIO3
2. Dengan teliti ditimbang 0,35 gram KIO3 dilarutkan dalam akuades kemudian
memasukan secara kuantitatif ke dalam labu ukur 100 ml
3. Sampai batas diencerkan, dipipet 25 ml larutan baku KIO3 dan dimasukan dalam
Erlenmeyer
4. 2 ml H2SO4 2 N dan 10 ml KI 10 %, ditambahkan kemudian dikocok. Larutan ini
dititrasi dengan larutan baku Na2S2O3 sampai larutan berwarna kuning muda.
5. Dengan akuades 25 ml diencerkan dan ditambahkan dengan 4 ml larutan amilum 10 %,
titrasi dilanjutkan sampai warna biru hilang.

B. Penentuan Kadar Cu dengan Larutan Baku Na2S2O3

1. Dengan teliti ditimbang ± 1,0 gram garam CuSO4, dilarutkan dalam akuades,
dimasukkan secara kuantitatif ke dalam labu ukur 100 mL,
2. Sampai tanda batas diencerkan, dan mengocok secara sempurna. Diambil 5 mL larutan
ke dalam labu ukur 100 mL, mengencerkan dengan akuades sampai tanda batas, dan
dikocok sempurna.
3. 10 mL larutan sampel dipipet, dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 mL,
menambahkan 2 mL KI 10%, kemudian dikocok.
4. I2 yang dihasilkan dititrasi dengan larutan baku thio sampai larutan berwarna kuning
muda, kemudian menambahkan 2 mL larutan amilum 1% dan dilanjutkan titrasi sampai
warna biru hampir hilang.
5. 2 mL larutan KCNS 10%, ditambahkan warna biru akan timbul lagi, cepat-cepat
dilanjutkan titrasi sampai warna biru tepat hilang. Dilakukan duplo

V. DATA HASIL PENGAMATAN

1. A. Hasil dan Perhitungan


1. 1. Hasil

No Langkah percobaan Hasil pengamatan


1. Pembakuan larutan Na2S2O3 dengan KIO3

-Menimbang 0,35 gr KIO3 + akuades dalam 100 ml labu ukur, Mengencerkan

- 25 ml KIO3 + 3 ml H2SO4 2N+ KI 10%,

mentitrasi dengan Na2S2O3 sampai warna kuning muda

+ 2 tetes amilum 1% menitrasi sampai warna biru tepat hilang

Larutan kuning

V titrasi 1 = 0,3 ml

V titrasi 2 = 0,1 ml

V total = 0,4 ml
2. Penentuan Kadar Cu dengan Na2S2O3

a. – Menimbang 1 gr garam

- Melarutkan dalam akuades dan mengencerkan

- 10 ml larutan sampel + 2 ml KI 10% dan mengocok

- Menitrasi sampai warna kuning muda

- + 2 ml amilum 1% dan titrasi

- + 2 tetes KCNS 10%

b. – Menimbang 1 gr garam

- Melarutkan dalam akuades dan mengencerkan

- 10 ml larutan sampel + 2 ml KI 10% dan mengocok

- Menitrasi sampai warna kuning muda

- + 2 ml amilum 1% dan titrasi

- + 2 tetes KCNS 10%


kuning tua menjadi kuning muda

V = 0-3,6 ml

V = 3,6 – 7,7 ml

V = 7,7 – 8,2 ml

Tidak timbul warna biru lagi

V = 0-3,2 ml

V = 3,2 – 7,3 ml

V = 7,3 – 7,9 ml

V total titrasi 1 dan titrasi 2 = 1,1 ml

V rata-rata = 0,55 ml

2. Perhitungan

- Pembuatan Larutan Baku KIO3 0,1N

Massa KIO3 = 0,36 gr

BM KIO3 = 214,0064 gr/mol

V pengenceran = 0,1 L

N KIO3 = ………..?

N KIO3 =

= 0,1009 N

- Pembakuan Larutan Baku Na2S2O3 dengan Larutan Baku KIO3 0,1N

N KIO3 = 0,1009 N

V KIO3 = 25 mL
V Na2S2O3 = 0,4 mL

N Na2S2O3 = ……..?

N Na2S2O3 =

= 6,25N

- Penentuan Kadar Cu2+ dalam CuSO4.5H2O

V Na2S2O3 = 0,55 mL

N Na2S2O3 = 6,25 N

Massa sampel = 1 gr

% Cu2+ dalam sampel = ……?

2 S2O32- + I2 S4O62- + 2I-

2 mgrek S2O32- = mgrek I2

2 (V x N) S2O32- = mol I2 x e I2

mol I2 = 2

=2

= 0,0034375 mol

Reaksi :

2 Cu2+ + 4 I- 2 CuI- + I2

mol Cu2+ = 2 mol I2

= 2 x 3,4375 x 10-3 mol

= 6,8 x 10-3 mol

massa Cu2+ = mol Cu2+ x BA Cu2+

= 6,8 x 10-3 mol x 63,546 mol


= 0,4321 gr

% Cu dalam sampel =

= 43,21 %

B. Pembahasan

Garam KIO3 mampu mengoksidasi iodida menjadi iod secara kuantitatif dalam larutan
asam. Oleh karena itu digunakan sebagai larutan standar dalam proses titrasi Iodometri
ini. Selain itu juga karena sifat Iod itu sendiri yang mudah teroksidasi oleh oksigen dalam
lingkungan sehingga iodida mudah terlepas. Reaksi ini sangat kuat dan hanya
membutuhkan sedikit sekali kelebihan ion hidrogen untuk melengkapi reaksinya. Namun
kekurangan utama dari garam ini sebagai standar primer adalah bahwa bobot ekivalennya
yang rendah. Larutan standar ini sangat stabil dan menghasilkan iod bila diolah dengan
asam :

IO3- + 5I- + 6H+ 3 I2 + 3H2O

Larutan KIO3 memiliki dua kegunaan penting, pertama, adalah sebagai sumber dari
sejumlah iod yang diketahui dalam titrasi, ia harus ditambahkan kepada larutan yang
mengandung asam kuat, ia tak dapat digunakan dalam medium yang netral atau memiliki
keasaman rendah. Yang kedua, dalam penetapan kandungan asam dari larutan secara
iodometri, atau dalam standarisasi larutan asam keras. Larutan baku KIO3 0,1 N dibuat
dengan melarutkan beberapa gram massa kristal KIO3 yang berwarna putih dengan
menggunakan aquades dan mengencerkannya.

1. 1. Pembakuan Larutan Na2S2O3 dengan Larutan Baku KIO3

Percobaan ini menggunakan metode titrasi iodometri yaitu titrasi tidak langsung dimana
mula-mula iodium direaksikan dengan iodida berlebih, kemudian iodium yang terjadi
dititrasi dengan natrium thiosulfat. Larutan baku yang digunakan untuk standarisasi
thiosulfat sendiri adalah KIO3 dan terjadi reaksi:

Oksidator + KI I2

I2 + 2Na2S2O3 2NaI + Na2S4O6

Natrium tiosulfat dapat dengan mudah diperoleh dalam keadaan kemurnian yang tinggi,
namun selalu ada saja sedikit ketidakpastian dari kandungan air yang tepat, karena sifat
flouresen atau melapuk-lekang dari garam itu dan karena alasan-alasan lainnya. Karena
itu, zat ini tidak memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai larutan baku standar primer.
Natrium tiosulfat merupakan suatu zat pereduksi, dengan persamaan reaksi sebagai
berikut :
2S2O32- S4O62- + 2e-

Pembakuan larutan natrium tiosulfat dapat dapat dilakukan dengan menggunakan kalium
iodat, kalium kromat, tembaga dan iod sebagai larutan standar primer, atau dengan
kalium permanganat atau serium (IV) sulfat sebagai larutan standar sekundernya. Namun
pada percobaan ini senyawa yang digunakan dalam proses pembakuan natrium tiosulfat
adalah kalium iodat standar.

Larutan thiosulfat sebelum digunakan sebagai larutan standar dalam proses iodometri ini
harus distandarkan terlebih dahulu oleh kalium iodat yang merupakan standar primer.
Larutan kalium iodat ini ditambahkan dengan asam sulfat pekat, warna larutan menjadi
bening. Dan setelah ditambahkan dengan kalium iodida, larutan berubah menjadi coklat
kehitaman. Fungsi penambahan asam sulfat pekat dalam larutan tersebut adalah
memberikan suasana asam, sebab larutan yang terdiri dari kalium iodat dan klium iodida
berada dalam kondisi netral atau memiliki keasaman rendah. Reaksinya adalah sebagai
berikut :

IO3- + 5I- + 6H+ → 3I2 + 3H2O

Indikator yang digunakan dalam proses standarisasi ini adalah indikator amilum 1%.
Penambahan amilum yang dilakukan saat mendekati titik akhir titrasi dimaksudkan agar
amilum tidak membungkus iod karena akan menyebabkan amilum sukar dititrasi untuk
kembali ke senyawa semula. Proses titrasi harus dilakukan sesegera mungkin, hal ini
disebabkan sifat I2 yang mudah menuap. Pada titik akhir titrasi iod yang terikat juga
hilang bereaksi dengan titran sehingga warna biru mendadak hilang dan perubahannya
sangat jelas. Penggunaan indikator ini untuk memperjelas perubahan warna larutan yang
terjadi pada saat titik akhir titrasi. Sensitivitas warnanya tergantung pada pelarut yang
digunakan. Kompleks iodium-amilum memiliki kelarutan yang kecil dalam air, sehingga
umumnya ditambahkan pada titik akhir titrasi. Jika larutan iodium dalam KI pada suasana
netral dititrasi dengan natrium thiosulfat, maka :

I3- + 2S2O32- 3I- + S4O62-

S2O32- + I3- S2O3I- + 2I-

2S2O3I- + I- S4O62- + I3-

S2O3I- + S2O32- S4O62- + I-

Dari hasil perhitungan diketahui besarnya konsentrasi natrium thiosulfat yang digunakan
sebagai larutan baku standar sebesar 6,25 N.

1. 2. Penentuan Kadar Cu2+ dengan Larutan Baku Na2S2O3

Pada penentuan kadar Cu dengan larutan baku Na2S2O3 akan terjadi beberapa perubahan
warna larutan sebelum titik akhir titrasi. Tembaga murni dapat digunakan sebagai standar
primer untuk natrium thiosulfat dan direkomendasikan jika thiosulfat harus digunakan
untuk menetapkan tembaga. Potensial standar pasangan Cu(II) – Cu(I) adalah +0,15 V
dan karena itu iod merupakan pengoksidasi yang lebih baik dari pada ion Cu(II). Tetapi
bila ion iodida ditambahkan ke dalam larutan Cu(II) akan terbentuk endapan Cu(I).

2Cu2+ + 4I- 2CuI(s) + I2

Penentuan kadar Cu2+ dalam larutan dengan bantuan larutan natrium tiosulfat yang
dilakukan mengencerkan 5 mL sampel garam hingga 100 mL dan mengambil 10 mL
hasil pengenceran tersebut untuk ditambahkan dengan larutan KI 10% dan menitrasi
dengan larutan baku natrium tiosulfat hingga larutan yang semula berwarna coklat tua
menjadi larutan yang berwarna kuning muda. Kemudian larutan tersebut ditambahkan
dengan 4 mL larutan amilum 1 % menghasilkan larutan yang semula berwarna kuning
muda menjadi biru tua, Penambahan indikator amilum 1% ini dimaksudkan agar
memperjelas perubahan warna yang terjadi pada larutan tersebut. kemudian larutan
tersebut dititrasi kembali dengan larutan natrium tiosulfat hingga warna biru pada larutan
tepat hilang. Untuk lebih memperjelas terjadinya reaksi tersebut, ke dalam larutan
ditambahkan amilum. Bertemunya I2 dengan amilum ini akan menyebabakan larutan
berwarna biru kehitaman. Selanjutnya titrasi dilanjutkan kembali hingga warna biru
hilang dan menjadi putih keruh.

I2 + amilum I2-amilum

I2-amilum + 2S2O32- 2I- + amilum + S4O6-

Hal yang perlu diperhatikan setelah penambahan amilum adalah adanya sifat adsorpsi
pada permukaan endapan tembaga(I) iodida. Sifat ini menyebabkan terjadinya
penyerapan iodium dan apabila iodium ini dihilangkan dengan cara titrasi, maka titik
akhir titrasi akan tercapai terlalu cepat. Oleh karena itu, sebelum titik akhir titrasi
tercapai, yaitu pada saat warna larutan yang dititrasi dengan Na2S2O3 akan berubah dari
biru menjadi bening, dilakukan penambahan kalium tiosianat KCNS.

Penambahan KCNS menyebabkan larutan kembali berwarna biru. Reaksi yang terjadi
adalah sebagai berikut:

2Cu2+ + 2I- + 2SCN- → 2CuSCN ↓ + I2

Endapan tembaga(I) tiosianat yang terbentuk mempunyai kelarutan yang lebih rendah
daripada tembaga(I) iodida sehingga dapat memaksa reaksi berjalan sempurna. Selain itu,
tembaga(I) tiosianat mungkin terbentuk pada permukaan tembaga(I) iodida yang telah
mengendap. Reaksinya sebagai berikut:

CuI ↓ + SCN- → CuSCN ↓ + I-

Penambahan larutan KCNS ini bertujuan sebagai larutan yang mengembalikan reaksi
penambahan indikator amilum dalam larutan sehingga larutan menjadi kembali biru.
Reaksi yang berlangsung adalah

2Cu2+ + 4 I- 2CuI + I2

2S2O32- + I2 S4O62-+ 2I-

dari hasil pengamatan dan perhitungan, didapatkan jumlah volume titrasi larutan natrium
tiosulfat yang dibutuhkan untuk merubah larutan dari warna coklat tua menjadi kuning
muda setelah penambahan amilum maka larutan menjadi bening dan setelah penambahan
KCNS maka larutan menjadi jernih kembali. Dari hasil perhitungan diperoleh massa
tembaga pada larutan sampel sebesar 0,4321 gram dan kadar tembaga (%Cu2+) dalam
larutan sample tersebut adalah sebesar 43,21 %.

VI. KESIMPULAN

Berdasarkan tujuan, perhitungan dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya,


maka dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut :

1. Ada dua cara analisis menggunakan senyawa iodium yaitu titrasi iodimetri atau dengan
iodometri dimana iodium terlebih dahulu dioksidasi oleh oksidator misalnya KI.
2. Kadar tembaga dalam garam CuSO4.5H2O dapat ditentukan dengan cara iodometri.
3. Indikator yang dipakai adalah amilum karena amilum sangat peka terhadap iodium dan
terbentuk kompleks amilum berwarna biru cerah, saat ekivalen amilum terlepas kembali.
4. Massa tembaga pada larutan diketahui sebesar 0,4321 gram dan kadar tembaga dalam
larutan sebesar 43,21 %.

DAFTAR PUSTAKA

Basset. J etc. 1994. Buku Ajar Vogel, Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Khopkar, S. M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Rivai, Harrizul. 1995. Asas Pemeriksaan Kimia. Penerbit UI. Jakarta.

Você também pode gostar