Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Kortikosteroid merupakan obat yang mempunyai khasiat dan indikasi klinis yang sangat
luas. Kortikosteroid sering disebut sebagai life saving drug. Manfaat dari preparat ini cukup
besar tetapi karena efek samping yang tidak diharapkan cukup banyak, maka dalam
penggunaannya dibatasi termasuk dalam bidang dermatologi kortikosteroid merupakan
pengobatan yang paling sering diberikan kepada pasien.1,2 Kortikosteroid adalah derivat dari
hormon kortikosteroid yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Hormon ini dapat
mempengaruhi volume dan tekanan darah, kadar gula darah, otot dan resistensi tubuh.3,4
Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan besar yaitu
glukokortikoid dan mineralokortikoid. Berbagai jenis kortikosteroid sintetis telah dibuat
dengan tujuan utama untuk mengurangi aktivitas mineralokortikoidnya dan meningkatkan
aktivitas antiinflamasinya, misalnya deksametason yang mempunyai efek antiinflamasi 30
kali lebih kuat dan efek retensi natrium lebih kecil dibandingkan dengan kortisol. Berdasarkan
cara penggunaannya kortikosteroid dapat dibagi dua yaitu kortikosteroid sistemik dan
kortikosteroid topikal. Kortikosteroid topikal adalah obat yang digunakan di kulit pada tempat
tertentu dan merupakan terapi topikal yang memberi pilihan untuk para ahli kulit dengan
menyediakan banyak pilihan efek pengobatan yang diinginkan, diantaranya termasuk
melembabkan kulit, melicinkan, atau mendinginkan area yang dirawat. 3,4,5
Sebagian besar khasiat yang diharapkan dari pemakaian kortikosteroid adalah sebagai
antiinflamasi, antialergi atau imunosupresif. Karena khasiat inilah kortikosteroid banyak
digunakan dalam bidang dermatologi. Dibidang dermatologi pada umumnya lebih ditekankan
sebagai obat antialergi. Terapi dengan obat ini bukan merupakan terapi kausal melainkan
terapi pengendalian atau paliatif saja, kecuali pada insufisiensi korteks adrenal. Sejak
kortikosteroid digunakan dalam bidang dermatologi, obat tersebut sangat menolong penderita.
Berbagai penyakit yang dahulu lama penyembuhannya dapat dipersingkat, misalnya
dermatitis, penyakit berat yang dahulu dapat menyebabkan kematian, misalnya pemfigus,
angka kematiannya dapat ditekan berkat pengobatan dengan kortikosteroid, demikian pula
sindrom Stevens-Jhonson yang berat dan nekrolisis epidermal toksik.3,6
1. DEFINISI
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian
korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang
dilepaskan oleh kelenjar hipofisis. Hormon ini berperan pada banyak sistem fisiologis pada
tubuh, misalnya tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh, dan pengaturan
inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah
laku.8
Kelenjar adrenal terdiri dari 2 bagian yaitu bagian korteks dan medulla, sedangkan
bagian korteks terbagi lagi menjadi 2 zona yaitu fasikulata dan glomerulosa. Zona fasikulata
mempunyai peran yang lebih besar dibandingkan zona glomerulosa. Zona fasikulata
menghasilkan 2 jenis hormon yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Golongan
glukokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya terhadap penyimpanan glikogen
hepar dan khasiat anti-inflamasinya nyata, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air
dan elektrolit kecil atau tidak berarti. Prototip untuk golongan ini adalah kortisol dan
kortison, yang merupakan glukokortikoid alam. Terdapat juga glukokortikoid sintetik,
misalnya prednisolon, triamsinolon, dan betametason.3,9
Golongan mineralokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya terhadap
keseimbangan air dan elektrolit menimbulkan efek retensi Na dan deplesi K, sedangkan
pengaruhnya terhadap penyimpanan glikogen hepar sangat kecil. Oleh karena itu
mineralokortikoid jarang digunakan dalam terapi. Prototip dari golongan ini adalah
desoksikortikosteron. Umumnya golongan ini tidak mempunyai khasiat anti-inflamasi yang
berarti, kecuali 9 α-fluorokortisol, meskipun demikian sediaan ini tidak pernah digunakan
sebagai obat anti-inflamasi karena efeknya pada keseimbangan air dan elektrolit terlalu besar.
Berdasarkan cara penggunaannya kortikosteroid dapat dibagi dua yaitu kortikosteroid
sistemik dan kortikosteroid topikal.1,3,9
10
2. FARMAKOLOGI
Semua hormon steroid sama-sama mempunyai rumus bangun
siklopentanoperhidrofenantren 17-karbon dengan 4 buah cincin yang diberi label A – D
(Gambar 1). Modifikasi dari struktur cincin dan struktur luar akan mengakibatkan perubahan
pada efektivitas dari steroid tersebut. Atom karbon tambahan dapat ditambahkan pada posisi
10 dan 13 atau sebagai rantai samping yang terikat pada C17. Semua steroid termasuk
glukokortikosteroid mempunyai struktur dasar 4 cincin kolestrol dengan 3 cincin heksana dan
1 cincin pentana.2,3,9,11
Hormon steroid adrenal disintesis dari kolestrol yang terutama berasal dari plasma.
Korteks adrenal mengubah asetat menjadi kolestrol, yang kemudian dengan bantuan enzim
diubah lebih lanjut menjadi kortikosteroid dengan 21 atom karbon dan androgen lemah
dengan 19 atom karbon. Sebagian besar kolesterol yang digunakan untuk steroidogenesis ini
berasal dari luar (eksogen), baik pada keadaan basal maupun setelah pemberian ACTH.9
Dalam korteks adrenal kortikosteroid tidak disimpan sehingga harus disintesis terus
menerus. Bila biosintesis berhenti, meskipun hanya untuk beberapa menit saja, jumlah yang
tersedia dalam kelenjar adrenal tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan normal. Oleh
karenanya kecepatan biosintesisnya disesuaikan dengan kecepatan sekresinya. Berikut adalah
tabel yang menunjukkan kecepatan sekresi dan kadar plasma kortikosteroid terpenting pada
manusia.1,9
Pada pemeriksaan sampel dengan tes saliva sebanyak 4 kali dalam satu hari yaitu
sebelum sarapan pagi hari, siang, sore hari dan pada malam hari sebelum tidur. Pada pagi hari
kadar kortisol yang paling tinggi dibandingkan waktu lainnya yang membuat orang menjadi
lebih semangat dalam menjalani aktivitasnya. Orang yang ssehat pengeluaran kortisol
mengikuti kurva dimana dapat dibuat grafik mulai menurunnya kadar kortisol hingga kadar
terendah yaitu pada pukul 11 malam dibuktikan dengan seseorang yang dapat beristirahat
dengan cukup.12
3. MEKANISME KERJA
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul
hormon memasuki jaringan melalui membran plasma secara difusi pasif di jaringan target,
kemudian bereaksi dengan reseptor steroid. Kompleks ini mengalami perubahan bentuk, lalu
bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi
RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini merupakan perantara efek
fisiologis steroid. Pada beberapa jaringan, misalnya hepar, hormon steroid merangsang
transkripsi dan sintesis protein spesifik; pada jaringan lain, misalnya sel limfoid dan fibroblas
hormon steroid merangsang sintesis protein yang sifatnya menghambat atau toksik terhadap
sel-sel limfoid, hal ini menimbulkan efek katabolik.1,3,9,11
Efek katabolik dari kortikosteroid bisa dilihat pada kulit sebagai gambaran dasar dan
sepanjang penyembuhan luka. Konsepnya berguna untuk memisahkan efek ke dalam sel atau
struktur-struktur yang bertanggungjawab pada gambaran klinis ; keratinosik (atropi
epidermal, re-epitalisasi lambat), produksi fibrolas mengurangi kolagen dan bahan dasar
(atropi dermal, striae), efek vaskuler kebanyakan berhubungan dengan jaringan konektif
vaskuler (telangiektasis, purpura), dan kerusakan angiogenesis (pembentukan jaringan
granulasi yang lambat). Khasiat glukokortikoid adalah sebagai anti radang setempat, anti-
proliferatif, dan imunosupresif. Melalui proses penetrasi, glukokortikoid masuk ke dalam inti
sel-sel lesi, berikatan dengan kromatin gen tertentu, sehingga aktivitas sel-sel tersebut
mengalami perubahan. Sel-sel ini dapat menghasilkan protein baru yang dapat membentuk
atau menggantikan sel-sel yang tidak berfungsi, menghambat mitosis (anti-proliferatif),
bergantung pada jenis dan stadium proses radang. Glukokotikoid juga dapat mengadakan
stabilisasi membran lisosom, sehingga enzim-enzim yang dapat merusak jaringan tidak
dikeluarkan.3,11
Glukokortikoid topikal adalah obat yang paling banyak dan tersering dipakai.
Efektifitas kortikosteroid topikal bergantung pada jenis kortikosteroid dan penetrasi. Potensi
kortikosteroid ditentukan berdasarkan kemampuan menyebabkan vasokontriksi pada kulit
hewan percobaan dan pada manusia. Jelas ada hubungan dengan struktur kimiawi. Kortison,
misalnya, tidak berkhasiat secara topikal, karena kortison di dalam tubuh mengalami
transformasi menjadi dihidrokortison, sedangkan di kulit tidak menjadi proses itu.
Hidrokortison efektif secara topikal mulai konsentrasi 1%. Sejak tahun 1958, molekul
hidrokortison banyak mengalami perubahan. Pada umumnya molekul hidrokortison yang
mengandung fluor digolongkan kortikosteroid poten. Penetrasi perkutan lebih baik apabila
yang dipakai adalah vehikulum yang bersifat tertutup. Di antara jenis kemasan yang tersedia
yaitu krem, gel, lotion, salep, fatty ointment (paling baik penetrasinya). Kortikosteroid hanya
sedikit diabsorpsi setelah pemberian pada kulit normal, misalnya, kira-kira 1% dari dosis
larutan hidrokortison yang diberikan pada lengan bawah ventral diabsorpsi. Dibandingkan
absorpsi di daerah lengan bawah, hidrokortison diabsorpsi 0,14 kali yang melalui daerah
telapak kaki, 0,83 kali yang melalui daerah telapak tangan, 3,5 kali yang melalui tengkorak
kepala, 6 kali yang melalui dahi, 9 kali melalui vulva, dan 42 kali melalui kulit scrotum.
Penetrasi ditingkatkan beberapa kali pada daerah kulit yang terinfeksi dermatitis atopik ; dan
pada penyakit eksfoliatif berat, seperti psoriasis eritodermik, tampaknya sedikit sawar untuk
penetrasi.2,3,11
Efektivitas kortisteroid bisa akibat dari sifat immunosupresifnya. Mekanisme yang
terlibat dalam efek ini kurang diketahui. Beberapa studi menunjukkan bahwa kortikosteroid
bisa menyebabkan pengurangan sel mast pada kulit. Hal ini bisa menjelaskan penggunaan
kortikosteroid topikal pada terapi urtikaria pigmentosa.
Mekanisme sebenarnya dari efek anti-inflamasi sangat kompleks dan kurang dimengerti.
Dipercayai bahwa kortikosteroid menggunakan efek anti-inflamasinya dengan menginhibisi
pembentukan prostaglandin dan derivat lain pada jalur asam arakidonik. Mekanisme lain yang
turut memberikan efek anti-inflamasi kortikosteroid adalah menghibisi proses fagositosis dan
menstabilisasi membran lisosom dari sel-sel fagosit. 2,3,11
4. KLASIFIKASI
Meskipun kortikosteroid mempunyai berbagai macam aktivitas biologik, umumnya
potensi sediaan alamiah maupun yang sintetik ditentukan oleh besarnya efek retensi natrium
dan penyimpanan glikogen di hepar atau besarnya khasiat anti-inflamasinya. Sediaan
kortikosteroid sistemik dapat dibedakan menjadi tiga golongan berdasarkan masa kerjanya,
potensi glukokortikoid, dosis ekuivalen dan potensi mineralokortikoid. 1,2,5,6,9
Tabel perbandingan potensi relatif dan dosis ekuivalen beberapa sediaan
kortikosteroid15
Potensi Dosis
Lama
Kortikosteroid ekuivalen
Mineralkortikoid Glukokortikoid kerja
(mg)*
Glukokortikoid
Kortisol 1 1 S 20
(hidrokortison)
Kortison 0,8 0,8 S 25
6-α-metilprednisolon 0,5 5 I 4
Prednisone 0,8 4 I 5
Prednisolon 0,8 4 I 5
Triamsinolon 0 5 I 4
Parametason 0 10 L 2
Betametason 0 25 L 0,75
Deksametason 0 25 L 0,75
Mineralokortikoid
Aldosteron 300 0.3 S -
Fluorokortison 150 15.0 I 2.0
Desoksikortikosteron 20 0.0 - -
asetat
Keterangan:
* hanya berlaku untuk pemberian oral atau IV.
S = kerja singkat (t1/2 biologik 8-12 jam)
I = intermediate, kerja sedang (t1/2 biologik 12-36 jam)
L = kerja lama (t1/2 biologik 36-72 jam)
Pada tabel diatas terlihat bahwa triamsinolon, parametason, betametason, dan
deksametason tidak mempunyai efek mineralokortikoid. Hampir semua golongan
kortikosteroid mempunyai efek glukokortikoid. Pada tabel ini obat disusun menurut kekuatan
(potensi) dari yang paling lemah sampai yang paling kuat. Parametason, betametason, dan
deksametason mempunyai potensi paling kuat dengan waktu paruh 36-72 jam. Sedangkan
kortison dan hidrokortison mempunyai waktu paruh paling singkat yaitu kurang dari 12 jam.
Harus diingat semakin kuat potensinya semakin besar efek samping yang terjadi.5
Efektifitas kortiksteroid berhubungan dengan 4 hal yaitu vasokonstriksi,
antiproliferatif, immunosupresif dan antiinflamasi. Steroid topikal menyebabkan
vasokontriksi pembuluh darah di bagian superfisial dermis, yang akan mengurangi eritema.
Kemampuan untuk menyebabkan vasokontriksi ini biasanya berhubungan dengan potensi
anti-inflamasi, dan biasanya vasokontriksi ini digunakan sebagai suatu tanda untuk
mengetahui aktivitas klinik dari suatu agen. Kombinasi ini digunakan untuk membagi
kortikosteroid topikal mejadi 7 golongan besar, diantaranya Golongan I yang paling kuat daya
anti-inflamasi dan antimitotiknya (super poten). Sebaliknya golongan VII yang terlemah
(potensi lemah).2
Berikut tabel penggolongan kortikosteroid topikal berdasarkan potensi klinis :2,3,6,11
Penggunaan glukokortikoid jangka panjang yaitu lebih dari 3 sampai 4 minggu perlu
dilakukan penurunan dosis secara perlahan-lahan untuk mencari dosis pemeliharaan dan
menghindari terjadi supresi adrenal. Cara penurunan yang baik dengan menukar dari dosis
tunggal menjadi dosis selang sehari diikuti dengan penurunan jumlah dosis obat. Untuk
mencegah terjadinya supresi korteks kelenjar adrenal kortikosteroid dapat diberikan selang
sehari sebagai dosis tunggal pada pagi hari (jam8), karena kadar kortisol tertinggi dalam
darah pada pagi hari. Keburukan pemberian dosis selang sehari ialah pada hari bebas obat
penyakit dapat kambuh. Untuk mencegahnya, pada hari yang seharusnya bebas obat masih
diberikan kortikosteroid dengan dosis yang lebih rendah daripada dosis pada hari pemberian
obat. Kemudian perlahan-lahan dosisnya diturunkan. Bila dosis telah mencapi 7,5 mg
prednison, selanjutnya pada hari yang seharusnya bebas obat tidak diberikan kortikosteroid
lagi. Alasannya ialah bila diturunkan berarti hanya 5 mg dan dosis ini merupakan dosis
fisiologik. Seterusnya dapat diberikan selang sehari.6
Berikut berbagai penyakit yang dapat diobati dengan kortikosteroid beserta dosisnya:1,6
Dosis yang tertulis ialah dosis patokan untuk orang dewasa menurut pengalaman,
tidak bersifat mutlak karena bergantung pada respons penderita. Dosis untuk anak disesuaikan
dengan berat badan / umur. Jika setelah beberapa hari belum tampak perbaikan, dosis
ditingkatkan sampai ada perbaikan.6
7. MONITOR
Dasar evaluasi yang digunakan sebelum dilakukan pengobatan kortikosteroid untuk
mengurangi potensi terjadinya efek samping adalah riwayat personal dan keluarga dengan
perhatian khusus kepada penderita yang memiliki predisposisi diabetes, hipertensi,
hiperlipidemia, glaukoma dan penyakit yang terpengaruh dengan pengobatan steroid.
Tekanan darah dan berat badan harus tetap di ukur. Jika dilakukan pengobatan jangka lama
perlu dilakukan pemeriksaan mata, test PPD, pengukuran densitas tulang spinal dengan
menggunakan computed tomography (CT), dual-photon absorptiometry, atau dual-energy x
ray absorptiometry (DEXA).2
Sedangkan selama penggunan kortikosteroid tetap perlu dilakukan evaluasi
diantaranya menanyakan kepada pasien terjadinya poliuri, polidipsi, nyeri abdomen, demam,
gangguan tidur dan efek psikologi. Penggunaan glukokortikoid dosis besar mempunyai
kemungkinan terjadinya efek yang serius terhadap afek bahkan psikosis. Berat badan dan
tekanan darah tetap selalu di monitor. Elektrolit serum, kadar gula darah puasa, kolesterol,
dan trigliserida tetap diukur dengan regular. Pemeriksaan tinja perlu dilakukan pada kasus
darah yang menggumpal. Selain itu, pemeriksaan lanjut pada mata karena ditakutkan
terjadinya katarak dan glaukoma.2
12. Sistem immunitas Retensi Na/air, kehilangan kalium (astenia, paralisis, tetani, aritmia kor)
Menurun, rentan terhadap infeksi, reaktivasi Tb dan herpes simplek,
keganasan dapat timbul.
Efek samping pada tulang terjadi umumnya pada manula dan wanita saat
menopause. Efek samping lain adalah sindrom Cushing yang terdiri atas muka
bulan, buffalo hump, penebalan lemak supraklavikula, obesitas sentral, striae
atrofise, purpura, dermatosis akneformis dan hirsustisme. Selain itu juga
gangguan menstruasi, nyeri kepala, psedudotumor serebri, impotensi,
hiperhidrosis, flushing, vertigo, hepatomegali dan keadaan aterosklerosis
dipercepat. Pada anak memperlambat pertumbuhan.6
• Gangguan tidur
• Meningkatkan nafsu makan
• Meningkatkan berat badan
• Efek psikologis, termasuk peningkatan atau penurunan energi
Jarang tetapi lebih mencemaskan dari efek samping penggunaan singkat dari
kortikosteroids termasuk: mania, kejiwaan, jantung, ulkus peptik, diabetes dan nekrosis
aseptik yang pinggul.
• Pengurangan produksi cortisol sendiri. Selama dan setelah pengobatan steroid, maka
kelenjar adrenal memproduksi sendiri sedikit cortisol, yang dihasilkan dari kelenjar di
bawah otak-hypopituitary-adrenal (HPA) penindasan axis. Untuk sampai dua belas
bulan setelah steroids dihentikan, kurangnya respon terhadap steroid terhadap stres
seperti infeksi atau trauma dapat mengakibatkan sakit parah.
• Osteoporosis terutama perokok, perempuan postmenopausal, orang tua, orang-orang
yang kurang berat atau yg tak bergerak, dan pasien dengan diabetes atau masalah
paru-paru. Osteoporosis dapat menyebabkan patah tulang belakang, ribs atau pinggul
bersama dengan sedikit trauma. Ini terjadi setelah tahun pertama dalam 10-20% dari
pasien dirawat dengan lebih dari 7.5mg Prednisone per hari. Hal ini diperkirakan
hingga 50% dari pasien dengan kortikosteroid oral akan mengalami patah tulang.
• Penurunan pertumbuhan pada anak-anak, yang tidak dapat mengejar ketinggalan jika
steroids akan dihentikan (tetapi biasanya tidak).
• Otot lemah, terutama di bahu dan otot paha.
• Jarang, nekrosis avascular pada caput tulang paha (pemusnahan sendi pinggul).
• Meningkatkan diabetes mellitus (gula darah tinggi).
• Kenaikan lemak darah (trigliserida).
• Redistribusi lemak tubuh: wajah bulan, punuk kerbau dan truncal obesity.
• Retensi garam: kaki bengkak, menaikkan tekanan darah, meningkatkan berat badan
dan gagal jantung.
• Kegoyahan dan tremor.
• Penyakit mata, khususnya glaukoma (peningkatan tekanan intraocular) dan katarak
subcapsular posterior.
• Efek psikologis termasuk insomnia, perubahan mood, peningkatan energi,
kegembiraan, delirium atau depresi.
• Sakit kepala dan menaikkan tekanan intrakranial.
• Peningkatan resiko infeksi internal, terutama ketika dosis tinggi diresepkan (misalnya
tuberkulosis).
• Ulkus peptikum, terutama pada pengobatan yang menggunakan anti-inflamasi.
• Ada juga efek samping dari mengurangi dosis; termasuk kelelahan, sakit kepala, nyeri
otot dan sendi dan depresi.
Pada pengobatan jangka panjang harus waspada terhdap efek samping, hendaknya
diperiksa tekanan darah dan berat badan (seminggu sekali) terutama pada usia diatas 40 tahun
dan pemeriksaan laboratorium Hb, jumlah leukosit, hitung jenis, L.E.D, urin lengkap kadar
Na dan K dalam darah, gula darah (seminggu sekali), foto toraks, apakah ada tuberkulosis
paru (3bulan sekali).6
Pada penggunan kortikosteroid topikal efek samping dapat terjadi apabila :3,11
Efek samping yang tidak diinginkan adalah berhubungan dengan sifat potensiasinya,
tetapi belum dibuktikan kemungkinan efek samping yang terpisah dari potensi, kecuali
mungkin merujuk kepada supresi dari adrenokortikal sistemik. Dengan ini efek samping
hanya bisa dielakkan sama ada dengan bergantung pada steroid yang lebih lemah atau
mengetahui dengan pasti tentang cara penggunaan, kapan, dan dimana harus digunakan jika
menggunakan yang lebih paten. Secara umum efek samping dari kortikosteroid topikal
termasuk atrofi, striae atrofise, telangiektasis, purpura, dermatosis akneformis, hipertrikosis
setempat, hipopigmentasi, dermatitis peroral.3,11
Beberapa penulis membagi efek samping kortikosteroid kepada beberapa tingkat
3,11
yaitu
Efek Epidermal
Ini termasuk :
1. Penipisan epidermal yang disertai dengan peningkatan aktivitas kinetik dermal, suatu
penurunan ketebalan rata-rata lapisan keratosit, dengan pendataran dari konvulsi
dermo-epidermal. Efek ini bisa dicegah dengan penggunaan tretinoin topikal secara
konkomitan.
2. Inhibisi dari melanosit, suatu keadaan seperti vitiligo, telah ditemukan. Komplikasi
ini muncul pada keadaan oklusi steroid atau injeksi steroid intrakutan.
Efek Dermal
Terjadi penurunan sintesis kolagen dan pengurangan pada substansi dasar. Ini
menyebabkan terbentuknya striae dan keadaan vaskulator dermal yang lemah akan
menyebabkan mudah ruptur jika terjadi trauma atau terpotong. Pendarahan intradermal yang
terjadi akan menyebar dengan cepat untuk menghasilkan suatu blot hemorrhage. Ini nantinya
akan terserap dan membentuk jaringan parut stelata, yang terlihat seperti usia kulit prematur.
Efek Vaskular
Efek ini termasuk :
Terjadi efek samping bergantung pada dosis, lama pengobatan macam kortikosteroid.
Pada pendek (beberapa hari/minggu) umumnya tidak terjadi efek samping yang gawat.
Sebaliknya pada pengobatan jangka panjang (beberapa bulan/tahun) harus diadakan tindakan
untuk mencegah terjadi efek tersebut, yaitu :6
• Diet tinggi protein dan rendah garam
• Pemberian KCl 3 x 500 mg sehari untuk orang dewasa, jika terjadi defisiensi K
• Obat anabolik
• ACTH diberikan 4 minggu sekali, yang biasanya kami berikan ialah ACTH sintetik yaitu
synacthen depot sebanyak 1 mg (qoo IU). Pada pemberian kortikosteroid dosis tinggi dapat
diberikan seminggu sekali
• Antibiotik perlu diberikan jika dosis prednison melebihi 40 mg sehari
• Antasida
Kontraindikasi pada kortikosteroid terdiri dari kontraindikasi mutlak dan relatif. Pada
kontraindikasi absolut, kortikosteroid tidak boleh diberikan pada keadaan infeksi jamur yang
sistemik, herpes simpleks keratitis, hipersensitivitas biasanya kortikotropin dan preparat
intravena. Sedangkan kontraindikasi relatif kortikosteroid dapat diberikan dengan alasan
sebagai life saving drugs. Kortikosteroid diberikan disertai dengan monitor yang ketat pada
keadaan hipertensi, tuberculosis aktif, gagal jantung, riwayat adanya gangguan jiwa, positive
purified derivative, glaucoma, depresi berat, diabetes, ulkus peptic, katarak, osteoporosis,
kehamilan.18
BAB III
RINGKASAN
DAFTAR PUSTAKA