Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Disusun Oleh:
Dody Wahyu 0510710045
Rizki 0510710114
Nurul Idayu binti M.Padzil 0510714013
Pembimbing:
dr. Teguh R. Sartono, Sp.P (K)
2
3
BAB 2
TINJUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat
dicegah dan diobati, ditandai dengan hambatan aliran udara yang tidak
sepenuhnya reversibel, bersiffat progresif, dan berhubungan dengan respon
inflamasi paru terhadap partikel atau gas beracun atau berbahaya, disertai efek
ekstra-paru yang berkontribusi terhadap derajat berat penyakit (PDPI, 2009).
Menurut WHO, PPOK merupakan penyakit paru-paru obstruksi kronis
yang ditandai oleh aliran udara paru-paru yang mengganggu pernapasan normal
dan tidak sepenuhnya reversibel. Sedangkan menurut American Thoracic
Society (ATS) tahun 1995, PPOK didefinisikan sebagai keadaan penyakit kronis
yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara akibat bronkitis kronis dan
emphysema. Pada tahun 2009, The Global Initiative for Chronic Obstructive
Lung Disease (GOLD) mendefinisikan PPOK sebagai gangguan aliran udara
yang kronis dengan beberapa perubahan patologis pada baru disertai efek ekstra
pulmonal dan berbagai komorbiditas yang dapat berpengaruh terhadap derajat
beratnya penyakit (GOLD, 2009).
Bronkitis kronik dan emfisema merupakan dua penyakit yang digolongkan
dalam PPOK, namun tidak dimasukkan dalam definisi PPOK karena bronkitis
kronik merupakan diagnosa klinis, sedangkan emfisema merupakan diagnosa
patologis. Selain itu, keduanya tidak selalu mencerminkan gangguan dalam
aliran udara pada saluran napas (PDPI, 2009). Bronkitis kronik merupakan
kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3
bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak
disebabkan penyakit lainnya. Emfisema merupakan suatu kelainan anatomis
paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal,
disertai kerusakan dinding alveoli. Terdapat tiga jenis emfisema berdasarkan
lokasinya, yaitu emfisema sentriasinar (sentrilobular), emfisema panasinar
(panlobular), dan emfisema paraseptal (Robbins dan Kumar,2007).
4
2.2 Prevalensi dan Insiden
Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Pada
Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 bronkitis kronik dan emfisema
menduduki peringkat ke 5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10
penyebab kesakitan utama. SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka
kematian karena bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke 6 dari 10
penyebab tersering kematian di Indonesia. Faktor yang berperan dalam
peningkatan penyakit tersebut (Riyanto, 2006):
• Kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70 %)
• Pertambahan penduduk
• Meningkatnya usia rata-rata penduduk dari 54 tahun pada tahun 1960-an
menjadi 63 tahun pada tahun 1990-an
• Industrialisasi
• Polusi udara terutama di kota besar, di lokasi industri, dan di
pertambangan
Data menurut The Global Initiative for Chronic Obstructive Lung
Disease (GOLD) pada tahun 2004 memperlihatkan PPOK diderita tiga kali lebih
banyak oleh warga dewasa yang usianya lebih dari 40 tahun. Paling tidak 10
persen dari orang dewasa yang usianya lebih dari 40 tahun kemungkinan
menderita PPOK. Data baru itu memperlihatkan bahwa pengidap penyakit paru-
paru lebih dari tiga kali lipat dibandingkan perkiraan umum sebelumnya. Data
yang disiarkan itu merupakan hasil awal dari dua kajian internasional di Brazil,
Chili, China, Meksiko, Turki dan Uruguay (Riyanto, 2006).
Penemuan awal itu memperlihatkan bahwa PPOK menjangkiti antara
10 sampai 15 persen orang dewasa yang berusia di atas 40 tahun di negara-
negara yang diteliti. Statistik sebelumnya yang disusun oleh (WHO)
memperkirakan bahwa kurang dari satu persen masyarakat yang berusia antara
45 sampai 60 tahun dan kurang dari empat persen masyarakat yang berusia 60
tahun menderita PPOK (Riyanto, 2006).
2.3 Etiologi
Peradangan merupakan elemen kunci terhadap patogenesis PPOK.
Inhalasi asap rokok atau gas berbahaya lainnya mengaktifasi makrofag dan sel
epitel untuk melepaskan faktor kemotaktik yang merekrut lebih banyak makrofag
dan neutrofil. Kemudian, makrofag dan neutrofil ini melepaskan protease yang
5
merusak elemen struktur pada paru-paru. Protease sebenarnya dapat diatasi
dengan antiprotease endogen namun tidak berimbangnya antiprotease terhadap
dominasi aktivitas protease yang pada akhirnya akan menjadi predisposisi
terhadap perkembangan PPOK. Pembentukan spesies oksigen yang sangat
reaktif seperti superoxide, radikal bebas hydroxyl dan hydrogen peroxide telah
diidentifikasi sebagai faktor yang berkontribusi terhadap patogenesis karena
substansi ini dapat meningkatkan penghancuran antiprotease (Fitriani, 2009).
Inflamasi kronis mengakibatkan metaplasia pada dinding epitel bronchial,
hipersekresi mukosa, peningkatan massa otot halus, dan fibrosis. Terdapat pula
disfungsi silier pada epitel, menyebabkan terganggunya klirens produksi mucus
yang berlebihan. Secara klinis, proses inilah yang bermanifestasi sebagai
bronkhitis kronis, ditandai oleh batuk produktif kronis. Pada parenkim paru,
penghancuran elemen struktural yang dimediasi protease menyebabkan
emfisema. Kerusakan sekat alveolar menyebabkan berkurangnya elastisitas
recoil pada paru dan kegagalan dinamika saluran udara akibat rusaknya
sokongan pada saluran udara kecil non-kartilago. Keseluruhan proses ini
mengakibatkan obstruksi paten pada saluran napas dan timbulnya gejala
patofisiologis lainnya yang karakteristik untuk PPOK (Fitriani, 2009).
Obstruksi saluran udara menghasilkan alveoli yang tidak terventilasi atau
kurang terventilasi; perfusi berkelanjutan pada alveoli ini akan menyebabkan
hypoxemia (PaO2 rendah) oleh ketidakcocokan antara ventilasi dan aliran darah
(V/Q tidak sesuai). Ventilasi dari alveoli yang tidak berperfusi atau kurang
berperfusi meningkatkan ruang buntu (Vd), menyebabkan pembuangan CO2 yang
tidak efisien. Hiperventilasi biasanya akan terjadi untuk mengkompensasi
keadaan ini, yang kemudian akan meningkatkan kerja yang dibutuhkan untuk
mengatasi resistensi saluran napas yang telah meningkat, pada akhirnya proses
ini gagal, dan terjadilah retensi CO2 pada beberapa pasien dengan PPOK berat
(Fitriani, 2009).
6
yang menentukan resiko berkembangnya obstruksi saluran napas pada
seseorang. Defisiensi α1-anti-trypsin merupakan satu-satunya faktor resiko
terkait genetik yang diketahui sampai saat ini, namun kecenderungan PPOK
untuk berkembang pada keluarga tertentu mengindikasikan terdapat faktor
herediter lainnya yang belum teridentifikasi. Polusi udara seperti paparan
okupansional terhadap debu dan gas telah terkait dengan perkembangan PPOK.
Polusi udara dapat berasal dari dalam ruangan seperti asap rokok ataupun
kompor, dan dapat berasal dari luar seperti debu dan asap kendaraan bermotor.
Faktor resiko lainnya yang berimplikasi klinis termasuk adanya infeksi saluran
napas berulang, bayi berat lahir rendah, gangguan pertumbuhan paru pada janin,
dan status sosioekonomi rendah (Fitriani, 2009).
2.5 Patofisiologi
Perubahan patologi pada PPOK ditemukan pada saluran napas
proksimal, perifer, parenkim, dan vaskular paru. Asap rokok dan berbagai partikel
gas beracun lainnya menyebabkan proses inflamasi kronis pada paru, ditandai
oleh peningkatan jumlah sel inflamasi berupa neutrofil, makrofag, dan sel T
sitotoksik. Proses inflamasi tersebut mengakibatkan perubahan struktur yang
berbeda pada setiap bagian paru, mengakibatkan cedera dan penyembuhan
yang berulang. Proses inflamasi pada paru ini juga diperberat oleh adanya stres
oksidatif dan peningkatan jumlah protease pada paru. Terjadinya eksaserbasi
dapat memperberat respon inflamasi pada PPOK, yang seringkali dipicu oleh
adanya infeksi bakteri atau virus (GOLD, 2009).
Perubahan fisiologis yang terjadi pada PPOK antara lain hipersekresi dari
mukus, keterbatasan aliran udara paru, air trapping, dan gangguan pertukaran
gas. Terdapat berbagai gangguan sistemik yang dapat berkaitan dengan
bertambah beratnya PPOK, antara lain yaitu anoreksia, muscle wasting,
peningkatan resiko penyakit kardiovaskuler, anemia, osteoporosis, dan depresi
(GOLD, 2009)
2.6 Klasifikasi
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD) 2009, dibagi atas 4 derajat:
7
Derajat I: Gejala batuk kronik dan produksi -VEP1/KVP < 70%
PPOK Ringan sputum ada tapi tidak sering. -VEP1 ≥ 80% prediksi
Derajat II: Gejala sesak mulai dirasakan saat -VEP1/KVP < 70%
PPOK aktivitas dan kadang ditemukan gejala -50 < VEP1 < 80%
Sedang batuk dan produksi sputum. prediksi
Derajat III: Gejala sesak lebih berat, penurunan - VEP1/KVP < 70%
PPOK Berat aktivitas, rasa lelah dan serangan -30 < VEP1 < 50%
eksaserbasi makin sering prediksi
Derajat IV: Gejala di atas ditambah tanda-tanda - VEP1/KVP < 70%
PPOK Sangat gagal napas atau gagal jantung kanan - VEP1<30% prediksi
Berat dan ketergantungan oksigen. atau VEP1 < 50%
disertai gagal napas
kronik.
8
2.8 Diagnosa
Diagnosis untuk PPOK dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan
batuk kronis, produksi sputum, sesak yang memberat dengan aktivitas, dan
riwayat adanya faktor-faktor resiko untuk terjadinya PPOK, seperti usia >40
tahun dan riwayat merokok, atau riwayat terpapar polusi udara dalam waktu lama
(PDPI, 2009). Diagnosa untuk PPOK dapat diperoleh dari anamnesa,
pemeriksaan, dan dibantu dengan pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan
radiologis dan spirometri.
Anamnesa untuk PPOK antara lain diarahkan kepada ada tidaknya
paparan faktor resiko seperti perokok aktif maupun pasif, paparan polusi udara
atau debu. Jenis aktivitas fisik yang dapat dilakukan pasien dan sejauh mana
penurunan kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas sehari-hari juga perlu
ditanyakan, karena pasien PPOK umumnya mengalami penurunan kemampuan
untuk melakukan aktivitas fisik terutama yang membutuhkan kerja lengan dan
gerak bahu secara signifikan. Awalnya pasien PPOK hanya merasakan sesak
ketika melakukan aktivitas berat, dan seiring bertambahnya perjalanan penyakit,
pasien lama-kelamaan akan merasa sesak walaupun hanya melakukan aktivitas
ringan saja (Reilly, et al., 2005).
Adanya riwayat penyakit dahulu seperti gangguan jalan napas sejak kecil
juga perlu ditanyakan, seperti asma, riwayat alergi, sinusitis, polip nasal, infeksi
saluran napas saat anak-anak. Adanya penyakit yang serupa dalam keluarga,
riwayat serangan terdahulu, adanya riwayat penyakit lain seperti penyakit
jantung, riwayat pengobatan sebelumnya, dan riwayat perubahan sosial yang
terjadi terhadap pasien setelah PPOK terjadi juga perlu ditanyakan (GOLD,
2009).
Pada pemeriksaan fisik pada fase awal PPOK, mungkin tidak ditemukan
adanya kelainan sama sekali. Pada perokok dapat ditemukan tanda-tanda
perokok aktif, seperti nafas yang berbau rokok dan nicotine staining pada kuku-
kuku jari (Reilly, et al., 2005).
9
penggunaan otot-otot tambahan pernapasan, antara lain otot
sternocleidomastoideus, scalenus, dan otot-otot intercostalis. Dari palpasi
dinding thoraks dapat ditemukan sela iga yang melebar dan cekung. Perkusi
paru menjadi hipersonor. Terjadi penambahan volume paru, letak diafragma
menjadi lebih rendah dan hepar tertekan ke bawah. Dari auskultasi terdengar
suara ekspirasi yang memanjang, suara napas melemah, dan bunyi jantung yang
menjauh. Pada pasien PPOK dapat terjadi sianosis yang tampak pada bibir dan
kuku jari. Pada pasien emfisema lebih jarang ditemukan sianosis, sedangkan
pada pasien bronkitis kronis, sianosis lebih sering ditemukan (Reilly, et al., 2005).
Pemeriksaan analisis gas darah (BGA) tidak sensitif untuk PPOK. BGA
hanya memberi informasi tambahan tentang ventilasi alveolar dan status asam
basa darah. Meskipun begitu, pemeriksaan BGA penting bagi pasien yang
mengalami eksaserbasi pada PPOK (Reilly, et al., 2005).
10
pendataran, vascular yang menipis, gambaran jantung yang menggantung, serta
dapat ditemukan adanya bulla, sedangkan pada bronkitis kronis gambaran
radiologis lebih dominan adalah bertambahnya corakan bronkovaskuler pada
paru, penebalan bronkiolus, dan peningkatan liner marking pada paru.
Pemeriksaan CT scan lebih sensitif untuk menegakkan diagnose emfisema pada
pasien PPOK daripada foto thorax konvensional (Gunderman, 2006).
Gambaran Radiologis Emfisema: gambaran hiperlusen pada paru, area yang avaskuler,
arteri pulmonalis yang prominen dan pendataran dari diafragma (Shakeel, 2008).
Gambaran Radiologis Bronkitis Kronis:Corakan yang ramai dibagian basal paru (Shakeel, 2008).
11
spirometri tidak tersedia diagnosa PPOK dapat ditegakkan secara klinis (PDPI,
2009).
2.10 Komplikasi
Komplikasi PPOK dapat bermacam-macam, diantaranya:
1. Gagal nafas
Akibat obstruksi jalan nafas maka terjadilah ketidakmampuan
paru-paru untuk menghirup oksigen yang cukup dan mengeluarkan
karbondioksida dari tubuh. Akibatnya dapat mengganggu keseimbangan
12
asam dan basa (Leader, 2008). Gagal nafas juga dapat terjadi selama
eksaserbasi akut (Swierzewski, 2007).
2. Polisitemia Sekunder
Polisitemia pada penderita PPOK terjadi karena tubuh berusaha
untuk menyesuaikan terhadap penurunan jumlah oksigen di darah yaitu
dengan meningkatkan produksi sel darah merah, yang mana sel darah
merah berfungsi untuk mengangkut oksigen. Hal ini mungkin dapat
membantu untuk sementara waktu, namun produksi berlebihan bisa
menyebabkan darah menjadi kental, pada akhirnya bisa menyumbat
pembuluh darah kecil. Tanda dan gejala polisitemia sekunder adalah
kelemahan, sakit kepala, kelelahan, napas pendek, gangguan
penglihatan, wajah kemerahan, kebingungan, tinnitus, dan rasa terbakar
di tangan dan kaki (Swierzewski, 2007).
4. Pneumothoraks
Pneumothoraks terjadi karena adanya lubang yang berkembang di
paru-paru, menyebabkan udara keluar menuju rongga antara paru dan
dinding dada dan menyebabkan paru-paru kolaps. Pada penderita PPOK
terjadi peningkatan risiko untuk terjadinya perkembangan lubang secara
spontan karena lemahnya struktur paru (Swierzewski, 2007). Tanda dan
gejala pneumothoraks antara lain nyeri dada yang mendadak dan tajam,
13
tambah parah apabila batuk atau bernafas dalam, dispneu, sesak.
takikardi, dan sianosis (Leader, 2008).
5. Hipertensi Pulmonal
Normalnya, darah yang mengalir melalui pembuluh darah paru
mempunyai tahanan yang kecil, dan secara normal melebar untuk
mengalirkan darah dari jantung ke paru untuk mengambil oksigen dan
mengalirkannya ke seluruh tubuh. Pada hipertensi pulmonal, pembuluh
darahnya konstriksi manjadi sempit dan tebal. Hal tersebut menyebabkan
sedikit darah yang mengalir di pembuluh darah, tekanan dalam pembuluh
darah menjadi meningkat dan otot jantung bekerja keras untuk memompa
darah. Tanda dan gejala hipertensi pulmonal antara lain nafas pendek
keika pertama kali beraktivitas dan bahkan waktu istirahat, nyeri dada,
kelemahan, kelelahan, pingsan, bengkak pada kaki (Leader, 2008).
6. Malnutrisi
Malnutrisi menjadi komplikasi PPOK yang dapat disebabkan
karena dispneu, yang merupakan gejala utama PPOK membuat penderita
sangat sulit untuk menyelesaikan makannya, dan penderita menjadi
kehilangan nafsu makan. Tanda dan gejala bisa bermacam-macam mulai
dari yang ringan sampai sangat berat. Gejala umum berupa kelelahan,
pusing, penurunan berat badan, dan kelemahan sistem imun (Leader,
2008).
2.11 Penatalaksaan
Penatalaksaan yang tepat pada PPOK meliputi beberapa program, yaitu
(1) evaluasi dan monitoring penyakit, (2) mengurangi faktor resiko, (3)
tatalaksana PPOK yang stabil, dan (4) tatalaksana PPOK dengan
14
eksaserbasi. Manajemen utama untuk PPOK derajat I dan II antara lain
dengan menghindari faktor resiko, mencegah progresivitas PPOK, dan
penggunaan obat-obatan untuk mengontrol gejala dari PPOK, sedangkan
untuk PPOK derajat III dan IV memerlukan manajemen terapi yang lebih
terpadu dengan berbagai pendekatan untuk membantu pasien dalam
melewati perjalanan penyakitnya. Selain pendekatan farmakologis, edukasi
dan nasihat pada pasien, diperlukan juga konseling untuk penghentian rokok,
olahraga, kebutuhan nutrisi, dan perawatan untuk pasien.
Setelah pasien didiagnosa PPOK, ada beberapa tujuan terapi yang ingin
dicapai, antara lain (PDPI, 2009):
1. Mengurangi gejala penyakit
2. Mencegah progresivitas penyakit
3. Meningkatkan toleransi aktivitas
4. Meningkatkan kualitas hidup penderita
5. Mencegah dan mengobati komplikasi
6. Mencegah dan mengobati eksaserbasi ulang
7. Menurunkan angka kematian
15
4. Evaluasi ada tidaknya tanda-tanda gagal jantung kanan atau cor-
pulmonal
5. Pemeriksaan hematokrit untuk mengetahui adanya tanda-tanda
polisitemia
6. Pemeriksaan fungsi otot-otot pernapasan
7. Pemeriksaan kualitas tidur
8. Pemeriksaan ketahanan fisik dalam latihan
16
gejala dan dapat pula mencegah eksaserbasi. Beberapa pilihan bronkodilator
yang dapat digunakan antara lain golongan β2 agonis, antikolinergik, dan xantin,
yang dapat digunakan tunggal atau dikombinasikan (GOLD, 2009). Pengobatan
diini dengan bronkodilator anti kolinergik kerja lama pada PPOK derajat II/sedang
dapat memperlambat laju penurunan fungsi paru Penggunaan bronkodilator long
acting (LABA) terbukti lebih efektif untuk PPOK dibandingkan yang short acting
(SABA). Kombinasi antara LABA dan glukokortikosteroid lebih efektif
menurunkan eksaserbasi dan memperbaiki fungsi paru serta kualitas hidup
(PDPI, 2009). Penggunaan kortikosteroid sistemik jangka panjang harus dihindari
karena buruknya efek samping yang dapat ditimbulkan (GOLD, 2009).
Pemberian vaksinasi influenza dan pneumonia dapat dipertimbangkan
pada pasien dengan usia diatas 60 tahun dan pasien PPOK derajat sedang,
berat, dan sangat berat. Pemberian mukolitik pada eksaserbasi dapat member
perbaikan, dan pemberian antioksidan dapat mengurangi frekuensi eksaserbasi.
Terapi oksigen jangka panjang pada pasien gagal napas dapat meningkatkan
harapan hidup. Rehabilitasi medis juga disarankan untuk dilakukan mulai PPOK
derajat II, dengan tujuan mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup
pasien (PDPI, 2009).
Berikut dibawah ini merupakan algoritmen manajemen pada PPOK stabil (PDPI,
2009) :
-kombinasi
SABA+antikolinergik
17
Berikut adalah tabel karakteristik dan rekomendasi pengobatan berdasarkan
derajat PPOK (PDPI, 2009) :
18
2.11.4 Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi
19
memerlukan ventilasi mekanis (invasif atau non invasif), memerlukan
penggunaan ventilasi mekanis invasif, dan terjadi ketidakstabilan hemodinamik.
Tujuan perawatan ICU adalah sebagai pengawasan dan terapi intensif, hindari
inturbasi, bila diperlukan intubasi gunakan pola ventilasi mekanik yang tepat dan
mencegah kematian.
Algoritme Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi Akut di Rumah dan
Pelayanan Kesehatan Primer/Puskesmas
1. Terapi oksigen
2. Bronkoditor
3. Antibiotik
- Agonis β2
20
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), merupakan penyakit kronik
yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara didalam saluran napas yang
tidak sepenuhnya reversible. Akhir-akhir ini penyakit ini semakin menarik
untuk dibicarakan oleh karena prevalensi dan angka mortalitasnya yang terus
meningkat. Penting bagi dokter umum untuk memahami penegakan
diagnosis PPOK, yang diperoleh dari anamnesa, pemeriksaan fisik, serta
didukung oleh pemeriksaan penunjang yang tepat.
Penatalaksaan yang tepat pada PPOK meliputi beberapa program,
yaitu (1) evaluasi dan monitoring penyakit, (2) mengurangi faktor resiko, (3)
tatalaksana PPOK yang stabil, dan (4) tatalaksana PPOK dengan
eksaserbasi. Manajemen utama untuk PPOK derajat I dan II antara lain
dengan menghindari faktor resiko, mencegah progresivitas PPOK, dan
penggunaan obat-obatan untuk mengontrol gejala dari PPOK, sedangkan
untuk PPOK derajat III dan IV memerlukan manajemen terapi yang lebih
terpadu dengan berbagai pendekatan untuk membantu pasien dalam
melewati perjalanan penyakitnya.
Penggunaan bronkodilator adalah pilihan utama untuk menanggulangi
gejala yang timbul pada PPOK, dimana bronkodilator dapat berfungsi untuk
meredakan gejala dan dapat pula mencegah eksaserbasi. Beberapa pilihan
bronkodilator yang dapat digunakan antara lain golongan β2 agonis,
antikolinergik, dan xantin, yang dapat digunakan tunggal atau
dikombinasikan. Selain itu berbagai terapi lain juga dapat diberikan pada
penderita PPOK, seperti kortikosteroid inhalasi ataupun sistemik, mukolitik,
anti oksidan, dan terapi oksigen, tergantung pada derajat berat penyakitnya.
Selain pendekatan farmakologis, edukasi dan nasihat pada pasien,
diperlukan juga konseling untuk penghentian rokok, olahraga, kebutuhan
nutrisi, dan perawatan untuk pasien. Manajemen yang tepat dapat
menurunkan morbiditas dan mortalitas pada pasien PPOK, serta sangat
berperan dalam meningkatkan kualitas hidup pasien.
21
DAFTAR PUSTAKA
Danusantoso, Halim. 2000. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Hipokrates. Jakarta,
hal 178-179.
Fitriani, Feni dkk. 2009. Penyakit Paru Obstruktif Kronik Sebagai Penyakit
Sistemik. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Perspirasi FKUI.
Jakarta.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Global Strategy
for The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease. National Institutes of Health. National Heart, Lung and
Blood Institute, Update 2009.
Gunderman, RB. 2006. Essential Radiology, Second Edition. New York: Thieme
Medical Publisher
22
Leader, Deborah. 2009. What is Malnutrition?
http://PPOK.about.com/od/PPOKglossarylo/g/malnutrition.htm. Diakses 22
Juli 2010.
Reilly JJ, Silverman EK, Shapiro SD. 2005. Harrison’s Principles of Internal
Medicine 16th Edition: Chronic Obstructive Pulmonary Disease. New York:
McGraw Hill Professional.
Riyanto BS, 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4. Obstruksi Saluran
Pernafasan Akut. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI, 2006. p.
984-5.
Robbins dan Kumar. 2007. Buku Ajar Patologi Edisi 7. Jakarta : EGC
Shakeel Amanullah, MD, Lancaster General Hospital. 2008.
Pneumothorax. /http://emedicine.medscape.com/article/360090-imaging.
Diakses 24 Juli 2010
Shakeel Amanullah, MD, Lancaster General Hospital. 2008. Pneumonia.
http://emedicine.medscape.com/article/360090-imaging. Diakses 24 Juli
2010.
23