Você está na página 1de 31

POLA PENGGUNAAN OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL (OHO)

PADA PASIEN GERIATRI DIABETES MELLITUS TIPE 2


DI INSTALASI RAWAT JALAN RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA PERIODE JANUARI – JULI 2008

SKRIPSI

Oleh :

DINAR PRAMILIH RACHMAWATI


K 100 050 250

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
SURAKARTA
2009
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dan tercatat menduduki

urutan nomor 7 di dunia sebagai negara yang bermasalah dengan penyakit.

Peningkatan kemakmuran di negara berkembang dan perubahan gaya hidup

menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit degeneratif salah satunya diabetes

mellitus (DM) (Suyono, 2006). DM merupakan penyakit yang menjadi masalah

pada kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, DM tercantum dalam urutan keempat

prioritas penelitian nasional untuk penyakit degeneratif setelah penyakit

kardiovaskuler, serebrovaskuler, rheumatik dan katarak (Tjokroprawiro, 2001).

Menurut jurnal American Diabetes Assosiation (ADA) terdapat 20,8 juta

penduduk di Amerika Serikat menderita DM. Berdasarkan jumlah tersebut hanya

14,6 juta pasien yang telah terdiagnosis, sementara sejumlah 6,2 juta pasien tidak

menyadari bahwa mereka menderita DM (Anonimc, 2006). World Health

Organization (WHO) membuat perkiraan jumlah pengidap diabetes di atas umur 20

tahun akan membengkak menjadi 300 juta orang pada tahun 2025 (Suyono, 2006).

Untuk Indonesia, WHO memprediksi kenaikan jumlah pasien dari 8,4 juta pada

tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (Anonima, 2006).

Umur merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam pengaruhnya

terhadap pravelensi diabetes. Pravelensi diabetes naik bersama bertambahnya umur.

Menurut WHO setelah seseorang mencapai umur 30 tahun, maka kadar glukosa

1
2

darah akan naik 1-2 % per tahun dan pada saat puasa akan naik sekitar 5,6-13 mg%

pada 2 jam setelah makan (Rochmah, 2006).

DM yang paling banyak ditemukan di Indonesia adalah diabetes mellitus tipe 2

(DM tipe 2) (Subekti, 2004). Penderita DM tipe 2 mencapai 90-95% dari

keseluruhan populasi penderita diabetes (Anonim, 2005). Berdasarkan jumlah

tersebut, 50% adalah pasien berumur lebih dari 60 tahun. (Rochmah, 2006). DM tipe

2 adalah salah satu kondisi paling kronis pada pasien usia lanjut (Rajeshwari dkk,

2007).

Berdasarkan hasil penelitian Drug Utilisation Study in Geriatric Type 2 Diabetic

Patients pada pasien usia lanjut dengan diagnosa DM tipe 2 mengalami banyak

komplikasi sehingga diperlukan kombinasi obat (Rajeshwari dkk, 2007). Pasien usia

lanjut DM tipe 2 dengan penyakit penyerta (osteoporosis, hipertensi, konstipasi,

glaukoma, dan lain-lain) menerima minimum empat jenis obat, seperti: aspirin,

angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEIs), lipid lowering agent dan

antihyperglycemic agent (Morais dan Mallet, 2007). Banyaknya obat yang

diresepkan untuk pasien usia lanjut akan menimbulkan banyak masalah termasuk

polifarmasi, peresepan yang tidak tepat dan ketidakpatuhan. Setidaknya 25% obat

yang diresepkan untuk pasien usia lanjut tidak efektif (Prest, 2003).

Pola pengobatan pada usia lanjut memerlukan perhatian khusus karena berbagai

masalah dapat terjadi yang disebabkan oleh faktor fisiologis, penurunan daya tahan

tubuh pada usia lanjut, faktor farmakokinetik dan faktor farmakodinamik yang terkait

dengan bertambahnya usia (Prest, 2003). Perubahan fisiologis yang terjadi pada usia

lanjut adalah penurunan massa otot, cairan tubuh, laju filtrasi glomerulus, aliran
3

darah ke hepar serta peningkatan lemak tubuh (Suhardjono dan Soejono, 2001).

Faktor-faktor tersebut jika tidak diperhatikan dapat menyebabkan kegagalan dalam

pengobatan, karena terjadi perubahan efek terapi obat. Kenyataan menunjukkan

faktor-faktor tersebut kurang mendapat perhatian dari para praktisi medik sehingga

pola pengobatan pada usia lanjut seringkali kurang rasional (Mustofa, 1995).

Berdasarkan hal tersebut dilakukan penelitian untuk mengetahui pola

penggunaan Obat Hipoglikemik Oral (OHO) pada geriatri DM Tipe 2 di RSUD Dr.

Moewardi Surakarta. Penelitian dilakukan di rumah sakit tersebut karena merupakan

rumah sakit pendidikan dan rumah sakit rujukan tertinggi untuk daerah Surakarta.

Selain itu DM tipe 2 menduduki peringkat delapan dari sepuluh penyakit terbesar

rawat jalan pada tahun 2008, yaitu sebanyak 3.073 pasien (Anonim, 2009). Adanya

poli geriatri di di RSUD Dr. Moewardi Surakarta juga menjadikan pilihan bagi

pasien geriatri penderita DM untuk menjalani perawatannya di rumah sakit tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pola penggunaan OHO yang meliputi golongan obat, dosis, aturan

pemakaian, kombinasi OHO, penggunaan obat penyerta lain dan interaksi obat

pada pasien geriatri DM tipe 2 di Instalasi Rawat Jalan RSUD Dr. Moewardi

Surakarta?

2. Apakah pemilihan dan aturan pakai OHO sesuai dengan Pedoman Konsensus

Pengelolaan dan Pencegahan DM Tipe 2 di Indonesia yang disusun oleh

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) 2006 dan American

Assosiation of Clinical Endocrinologists (AACE) Medical Guidelines 2007?


4

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini yang dilakukan selama periode bulan Januari sampai dengan Juli

2008 bertujuan untuk:

1. Mengetahui pola penggunaan OHO yang meliputi golongan obat, dosis, aturan

pemakaian, kombinasi OHO, penggunaan obat penyerta lain dan interaksi obat

pada pasien geriatri DM tipe 2 di instalasi rawat jalan RSUD Dr. Moewardi

Surakarta.

2. Mengetahui kesesuaian pemilihan dan aturan pakai OHO dengan PERKENI 2006

dan AACE Medical Guidelines 2007.

D. Tinjauan Pustaka

1. Diabetes Mellitus

a. Pengertian DM

DM adalah penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi

karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (Anonim, 2006c).

Hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan

hormonal menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan

pembuluh darah, disertai lesi pada membran basalis dalam pemeriksaan dengan

mikroskop elektron (Anonim, 2001).

b. Klasifikasi DM

Klasifikasi etiologis DM menurut American Diabetes Assosiation sesuai anjuran

PERKENI adalah (Anonim, 2006a) :


5

1) DM tipe 1

DM tipe 1 juga disebut IDDM (Insulin Dependent Diabetes Mellitus) (Tjay dan

Rahardja 2007). IDDM atau Diabetes Melitus Tergantung Insulin (DMTI)

merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya, diperkirakan kurang dari

5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes. Gangguan produksi insulin pada

DM tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan sel-sel β pulau Langerhans yang

disebabkan oleh reaksi otoimun (Anonim, 2005). Ini menyebabkan timbulnya

antibodi terhadap sel β yang disebut ICA (Islet Cell Antibody). Reaksi antigen (sel β)

dengan antibodi (ICA) menyebabkan hancurnya sel β (Suyono, 2004). Kerusakan sel

β dihubungkan oleh bermacam-macam virus, diantaranya: virus rubella,

coxsackievirus B, cytomegalovirus, adenovirus, dan mumps (Anonim, 2007).

Destruksi sel β, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut (Soegondo, 2004 ).

Gambaran kliniknya biasa timbul pada masa kanak-kanak dan puncaknya pada masa

akil balig (Suyono, 2004).

2) DM tipe 2

DM tipe 2 juga disebut NIDDM (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus)

(Tjay dan Rahardja, 2007). NIDDM atau Diabetes Tidak Tergantung Insulin

(DMTTI) disebabkan kegagalan relatif sel β dan resistensi insulin (Anonim, 2001).

Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang

pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa

oleh hati. Sel β tidak mampu mengimbangi resistensi ini sepenuhnya, artinya terjadi

defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi

insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan
6

perangsang sekresi insulin lain (Anonim, 2001). Menurut American Assosiation of

Clinical Endocrinology, tanda-tanda klinis resistensi insulin adalah obesitas, kadar

trigliserida tinggi, kadar HDL-C rendah, tekanan darah yang tinggi, kadar gula darah

post prandial, dan kadar gula darah puasa (Anonim, 2007).

Pada awal perkembangan DM tipe 2, sel-sel β menunjukkan gangguan pada

sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi

insulin. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan

terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta

kurang gerak badan (Anonim, 2005).

3) DM gestasional

Gestasional Diabetes Mellitus (GDM) adalah keadaan diabetes atau intoleransi

glukosa yang timbul selama masa kehamilan, dan biasa berlangsung hanya sementara

atau temporer (Anonim, 2005). Ini meliputi 2-5% dari seluruh diabetes (Suyono,

2004). Faktor resiko terjadinya GDM adalah usia tua, etnik, obesitas, riwayat

keluarga, dan riwayat gestasional terdahulu (Schteingart, 2005). Pada umumnya,

kadar gula darah kembali normal setelah melahirkan. Namun, GDM meningkatkan

resiko diabetes tipe 2 pada usia lanjut (Rimbawan dan Siagian, 2006).

4) Diabetes tipe lain

Defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin

pankreas, endokrinopati, karena obat atau zat kimia, infeksi, penyebab imunologi

yang jarang, sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM (Anonim, 2001).
7

c. Komplikasi DM

Komplikasi-komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua kategori:

1. Akut

Komplikasi akut DM terjadi apabila kadar glukosa darah seseorang meningkat

atau menurun tajam dalam waktu singkat. Penderita umumnya mengalami hal-hal

sebagai berikut:

(a) Hipoglikemia adalah suatu keadaan seseorang dengan kadar glukosa darah

dibawah nilai normal.

(b) Ketoasidosis adalah suatu keadaan kekurangan insulin, dan sifatnya mendadak.

(c) Koma hiperosmolar non ketotik adalah dehidrasi berat, hipotensi, dan

menimbulkan syok (Anonim, 2001).

2. Kronik

Komplikasi kronik DM terjadi apabila kadar glukosa darah secara

berkepanjangan tidak terkendali dengan baik sehingga menimbulkan berbagai

komplikasi kronik DM berupa (Anonim, 2006a) :

1. Makroangiopati adalah komplikasi makrovaskular, seperti: penyakit jantung

koroner (Coronary Heart Desease), penyakit pembuluh darah otak, dan penyakit

pembuluh darah perifer (Peripheral Vaskular Disease) (Anonim, 2005).

2. Mikroangiopati adalah komplikasi mikrovaskular yang melibatkan pembuluh-

pembuluh darah kecil dan merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang

kapiler dari arteriola retina (retinopati diabetik), glomerulus ginjal (nefropati

diabetik), dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetik), otot-otot, serta kulit

(Schteingart, 2005).
8

d. Gejala dan penyebab DM

Gejala khas berupa polifagia, poliuria, polidipsia, lemas, dan berat badan turun.

Gejala lain yang mungkin dikeluhkan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur,

dan impotensi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita (Anonim, 2001). Penyebab

DM adalah kekurangan hormon insulin, yang berfungsi untuk memanfaatkan glukosa

sebagai sumber energi dan mensintesa lemak. Akibatnya ialah glukosa bertumpuk di

dalam darah (hiperglikemia) dan akhirnya diekskresikan lewat kemih tanpa

digunakan (glycosuria) (Tjay dan Rahardja, 2007).

e. Diagnosis DM

Jika terdapat keluhan khas (poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat

badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya), disertai dengan satu nilai pemeriksaan

glukosa darah tidak normal (glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl atau glukosa darah

puasa ≥ 126 mg/dl) sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Untuk keluhan

yang tidak lengkap atau terdapat keluhan tidak khas (lemah, kesemutan, gatal, mata

kabur, disfungsi ereksi, pruritus vulva), hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru

satu kali saja abnormal belum cukup kuat menegakkan diagnosis DM. Diperlukan

pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar

glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl pada

hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar

glukosa darah pasca pembebanan (75 g glukosa) ≥ 200 mg/dl (Soegondo, 2004).
9

2. DM pada usia lanjut

a. Pembagian usia lanjut

Pembagian usia lanjut menurut WHO (Hermawan, 1996) :

1) Elderly (60 – 74 tahun)

2) Old (75 – 90 tahun)

3) Very old ( > 90 tahun )

Pembagian usia lanjut menurut Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah (Anonim,

1995) :

1) Kelompok pertengahan umur (45 – 54 tahun)

2) Kelompok usia lanjut dini(55 – 64 tahun)

3) Kelompok usia lanjut (60 tahun ke atas)

Askandar Tjokroprawiro (1998) berpendapat bahwa golongan lanjut umur

(GLAMUR) orang Indonesia adalah umur 60 tahun ke atas (Sutjahjo, 1990).

b. DM pada usia lanjut

Timbulnya resistensi insulin pada usia lanjut disebabkan oleh 4 faktor yaitu

pertama adanya perubahan komposisi tubuh, komposisi tubuh berubah menjadi air

53%, sel solid 12%, lemak 30%, sedangkan tulang dan mineral menurun 1%

sehingga tinggal 5%. Penurunan jumlah masa otot dari 19% menjadi 12%,

peningkatan jumlah jaringan lemak dari 14% menjadi 30% mengakibatkan

menurunnya jumlah serta sensitivitas reseptor insulin. Faktor yang kedua adalah

turunnya aktivitas fisik yang akan mengakibatkan penurunan jumlah reseptor insulin

yang siap berikatan dengan insulin sehingga kecepatan transkolasi GLUT-4 (glucose

transporter-4) juga menurun. Faktor ketiga adalah perubahan pola makan pada usia
10

lanjut yang disebabkan oleh berkurangnya gigi geligi sehingga prosentase bahan

makanan karbohidrat akan meningkat. Faktor keempat adalah perubahan neuro-

hormonal, khususnya Insulin Like Growth Factor-1 (IGF-1) dan

dehydroepandrosteron (DHtAS) plasma. Penurunan hormon ini akan mengakibatkan

penurunan ambilan glukosa karena menurunnya sensitivas reseptor insulin serta

menurunnya aksi insulin (Rochmah, 2006).

Faktor-faktor resiko timbulnya DM pada usia lanjut yang pertama adalah proses

yang berhubungan dengan umur tua. Dengan bertambahnya umur, maka terjadi

gangguan pada fungsi pankreas dan kerja dari insulin menyebabkan kadar gula darah

meningkat. Faktor yang kedua kegemukan. Orang tua tendensi menjadi gemuk dan

terjadi resistensi insulin yang menyebabkan hiperglikemi. Kadar asam lemak bebas

meningkat yang menghambat kerja insulin. Obesitas pada usia lanjut meningkatkan

angka kejadian DM dua kali lipat. Faktor ketiga adalah aktivitas fisik berkurang

yang menyebabkan resistensi insulin. Obat-obatan merupakan faktor keempat

timbulnya DM pada usia lanjut. Penggunaan obat tertentu, seperti: kortikosteroid,

rifampicin, barbiturat, tiazid, dan fenitoin. Faktor kelima adalah genetik. Orang usia

lanjut yang mempunyai saudara kandung DM lebih mudah timbul DM. Faktor

terakhir adalah adanya penyakit-penyakit lain, misalnya hipertensi dan hiperlipidemi

yang terdapat bersamaan pada usia lanjut akan menyebabkan hiperglikemia (Sumual

dan Pandelaki, 1994).


11

3. Pengobatan DM

Pengelolaan DM memerlukan penanganan secara multidisiplin yang mencakup

terapi non-obat dan terapi obat (Anonim, 2005). Terapi obat pada prinsipnya

diberikan jika penerapan terapi non-obat yang telah dilakukan tidak dapat

mengendalikan kadar glukosa darah sebagaimana yang diharapkan (Subardi dan

Yunir, 2006).

a. Terapi tanpa obat

1) Pengaturan diet

Tujuan pokok pelaksanaan diet penderita diabetes adalah mengurangi

hiperglikemia, mencegah hipoglikemia pada pasien yang mendapatkan pengobatan

dengan insulin, dan mengurangi resiko komplikasi terutama penyakit kardiovaskuler

(Rimbawan dan Siagian, 2004). Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat

mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki respon sel-sel β terhadap stimulus

glukosa (Anonim, 2005).

2) Olah raga

Berolahraga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap

normal. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan meningkatkan aktivitas reseptor

insulin dalam tubuh dan juga meningkatkan penggunaan glukosa (Anonim, 2005).

Dianjurkan olah raga teratur, 3-4 kali tiap minggu selama ± 0,5 jam yang sifatnya

sesuai CRIPE (Continous, Rhythmical, Interval, Progressive, Endurance training)

(Anonim, 2001).
12

b. Terapi obat

Antidiabetika digunakan sebagai pengobatan DM ada dua jenis, yaitu (Anonim,

2000):

1) Insulin

Insulin adalah suatu hormon polipeptida yang dihasilkan oleh sel-β dari pulau

Langerhans dan merupakan kelompok sel yang terdiri dari 1% masa pankreas

(Rimbawan dan Siagian, 2004). Dosis insulin dinyatakan dalam unit (U). Sediaan

homogen human insulin mengandung 25-30 UI/mg. Insulin diberikan secara

subkutan dengan tujuan mempertahankan kadar gula darah dalam batas normal

sepanjang hari yaitu 80-160 mg% setelah makan. Untuk pasien usia di atas 60 tahun

batas ini lebih tinggi yaitu puasa kurang dari 150 mg% dan kurang dari 200 mg%

setelah makan. Insulin dapat segera diberikan dalam keadaan dekompensasi

metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stress berat, berat badan yang menurun

dengan cepat, adanya ketonuria (Anonim, 2006a).

Tabel 1. Sediaan Insulin di Indonesia


Nama Buatan Efek Puncak (Jam) Lama Kerja (Jam)
1. Kerja Cepat
Actrapid Novo Nordisk (U-40 dan U-100) 2-4 6-8
Humulin-R Eli Lily (U-100)
2. Kerja Menengah
Insulatard Novo Nordisk (U-40 dan U-100) 4-12 18-24
Monotard Human Novo Nordisk (U-40 dan U-100)
Humulin-N Eli Lily (U-100)
3. Kerja Campuran
Mixtard 30 Novo Nordisk (U-40 dan U-100) 1-8 14-15
Humulin- 30/70 Eli Lily (U-100)
4. Kerja Panjang
Lantus Aventis Tidak ada 24
Bentuk penfill untuk Novopen 3 adalah Actrapid Human 100, Insulatard Human 100, Mixtard 30
Human 100
Bentuk penfill untuk Humapen Ergo adalah Humulin-R 100, Humulin-N 100, Humulin-30/70
Bentuk penfill untuk Optipen adalah Lantus
(Soegondo, 2004)
13

Insulin dikelompokkan berdasarkan mula dan lama kerjanya yaitu: insulin kerja

singkat (short-acting), insulin kerja sedang (intermediate-acting), insulin kerja

sedang dengan mula kerja singkat, insulin kerja lama (long-acting). Efek samping

insulin yang paling sering terjadi adalah hipoglikemia (Anonim, 2000).

2) Obat Hipoglikemik Oral (OHO)

OHO terutama ditujukan untuk membantu penanganan pasien DM tipe 2,

diantaranya (Anonim, 2005):

(a) Golongan sulfonilurea

OHO golongan sulfonilurea merupakan obat pilihan untuk penderita diabetes

dewasa baru dengan berat badan normal dan kurang serta tidak pernah mengalami

ketoasidosis sebelumnya (Anonim, 2005). Sulfonilurea bekerja dengan cara:

menstimulasi penglepasan insulin yang tersimpan, menurunkan ambang sekresi

insulin, dan meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa

(Anonim, 2001). Contoh obat sulfonilurea generasi pertama adalah asetoheksamida,

klorpropamida, tolazamida, dan tolbutamida, sedangkan generasi kedua antara lain

gliburida (glibenklamida), glipizida, glikasida, glimepirida, dan glikuidon (Anonim,

2005). Obat golongan ini semuanya mempunyai cara kerja yang serupa, berbeda

dalam hal masa kerja, degradasi, dan aktivitas metabolitnya. Pada pemakaian

sulfonilurea, umumnya selalu dimulai dengan dosis rendah untuk menghindari

kemungkinan hipoglikemia (Waspadji, 2004). Untuk menghindari resiko

hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaan seperti orang tua, gangguan

faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan

penggunaan sulfonilurea kerja panjang (Anonim, 2006a). Efek samping sulfonilurea


14

umumnya ringan dan frekuensinya rendah, antara lain gangguan saluran cerna dan

gangguan susunan saraf pusat (Anonim, 2005). Klorpropamid kurang dianjurkan

pada keadaan insufisiensi renal dan orang tua karena risiko hipoglikemia yang

berkepanjangan, demikian juga glibenkamid. Untuk orang tua dianjurkan preparat

dengan waktu kerja pendek. Glikuidon juga diberikan pada pasien DM dengan

gangguan fungsi ginjal atau hati ringan (Anonim, 2001).

(b) Short-acting insulin secretagogues

Short-Acting Insulin Secretagogues terdiri dari nateglinide dan repaglinide

bekerja seperti sulfonilurea dengan menstimulasi sekresi insulin dari sel β-pankreas.

Efek samping akibat penggunaan short-acting insulin secretagogues adalah efek

hipoglikemi dan peningkatan berat badan. Namun resiko hipoglikemi yang muncul

lebih rendah daripada akibat penggunaan sulfonilurea (gliburid dan glipizid) (Triplitt

dkk, 2005). Penggunaan nateglinid dikontraindikasikan bagi pasien DM tipe 1,

pasien yang mengalami ketoasidosis dan hipersensitif terhadap obat ini (Evoy, 2002).

Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara

cepat melalui hati (Anonim, 2006a).

(c) Golongan biguanid

Biguanid meningkatkan kepekaan reseptor insulin, sehingga absorbsi glukosa di

jaringan perifer meningkat dan menghambat glukoneogenesis dalam hati dan

meningkatan penyerapan glukosa di jaringan perifer (Tjay dan Rahardja, 2007).

Preparat yang ada dan aman adalah metformin. Metformin tidak meningkatkan berat

badan seperti insulin sehingga biasa digunakan, khususnya pada pasien dengan

obesitas (Schteingart, 2005). Metformin juga dapat menurunkan kadar trigliserida


15

hingga 16%, LDL kolesterol hingga 8% dan total kolesterol hingga 5%, dan juga

dapat meningkatkan HDL kolesterol hingga 2% (Soegondo, 2004). Pada pemakaian

tunggal, metformin dapat menurunkan kadar glukosa darah sampai 20% (Waspadji,

2004). Pada pasien dengan berat lebih, dapat dikombinasi dengan obat golongan

sulfonilurea (Anonim, 2001). Kombinasi sulfonilurea dan metformin merupakan

kombinasi yang rasional karena cara kerja berbeda yang saling aditif (Waspadji,

2004). Efek samping yang sering terjadi adalah nausea, muntah, kadang-kadang diare

dan dapat menyebabkan asidosis laktat (Anonim, 2005).

Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal

(kreatinin serum > 1,5) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan

hipoksemia, misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, syok, gagal jantung

(Anonim, 2006a).

(d) Thiazolidindione

Thiazolidindione bekerja dengan mengikat pada peroxisome proliferator

activator receptor-γ (PPAR-γ), yang terutama ada pada sel lemak dan sel vaskular.

Thiazolidindione secara tidak langsung meningkatkan sensitivitas insulin pada otot,

liver, dan jaringan lemak (Triplitt dkk, 2005). Thiazolidindione adalah obat golongan

baru yang mempunyai efek meningkatkan sensitivitas insulin, sehingga bisa

mengatasi masalah resistensi insulin dan berbagai masalah akibat resistensi insulin

tanpa menyebabkan hipoglikemi. Kegiatan farmakologisnya luas dan berupa

penurunan kadar glukosa dan insulin dengan jalan meningkatkan kepekaan bagi

insulin dari otot, jaringan lemak dan hati. Sebagai efeknya penyerapan glukosa ke

dalam jaringan lemak dan otot meningkat. Kegiatan farmakologi lainnya antara lain
16

dapat menurunkan kadar trigliserida atau asam lemak bebas dan mengurangi

glukoneogenesis dalam hati. Zat ini tidak mendorong pankreas untuk meningkatkan

pelepasan insulin seperti sulfonilurea (Tjay dan Raharja, 2007). Dua anggota dari

golongan tersebut tersedia secara komersial adalah rosiglitazon dan pioglitazon

(Katzung, 2002). Efek samping yang utama dari thiazolidindione adalah udem,

terutama pada pasien hipertensi dan congestive cardiac failure (Walker dan Edward,

2003).

Thiazolidindione dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-

IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati.

Pasien yang menggunakan obat ini perlu dilakukan pemantauan faal hati secara

berkala. Thiazolidindione tidak digunakan sebagai obat tunggal (Anonim, 2006a).

(e) Golongan α-glukosidase-inhibitors

Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim α-glukosidase di

dalam saluran cerna (Anonim, 2001). Sehingga reaksi penguraian di-/polisakarida

menjadi monosakarida dihambat. Dengan demikian glukosa dilepaskan lebih lambat

dan absorpsinya ke dalam darah juga kurang cepat, lebih rendah dan merata,

sehingga memuncaknya kadar glukosa darah dihindarkan (Tjay dan Rahardja, 2007).

Obat ini bekerja di lumen usus, tidak menyebabkan hipoglikemia dan tidak

berpengaruh pada kadar insulin (Waspadji, 2004). Obat ini umumnya diberikan

dengan dosis awal 50 mg dan dinaikan secara bertahap sampai 150-600 mg/hari.

Efek sampingnya adalah perut kurang enak, lebih banyak flatus dan kadang-kadang

diare (Anonim, 2005).


17

Tabel 2. Obat Hipoglikemik Oral di Indonesia


Nama Generik Nama Dagang Dosis Dosis Awal Dosis Lama Frekuensi
harian untuk Maximal Kerja pemberian
(mg) Elderly (mg/day) (jam)
(mg/day)
1. Sulfonilurea
Khlorpropamid Diabinese 100-500 100 500 24-36 1
(100-250 mg)
Tolbutamid Rastinon 500-2000 500-1000 3000 6-12 2-3
(500 mg)
Glibenklamid Daonil 2,5-5 - - 12-24 1-2
(2,5 mg- 5 mg) Euglucon
Renabetic
Prodiabet
Glipizid Minidiab 5-20 2,5-5 40 10-16 1-2
(5 mg-10 mg) Glucotrol XL
Glikasid Diamicron MR 30-120 - - 10-20 1-3
(80 mg) (30 mg)
Pedab 80-240
Glikamel
Glicab
Glucodex
Glikuidon (30 mg) Glurenorrn 30-120 - - - 1-3
Glimepirid Amaryl 6 0,5-1 8 24 1
(1 mg, 2 mg, 3 mg, 4 Amadiab
mg) Gluvas
Metrix
2. Short-Acting Insulin Secretagogues (Glinid)
Nateglinid Starlix 360 120 dengan 120 mg 4 3
(120 mg) makanan 3X/hari
Repaglinid Novonorm 6 0,5-1 dengan 16 4 1-3
(0,5 mg, 1 mg, 2 mg) makanan
3. Biguanid
Metformin Glucopaghe 250-3000 Dinilai 2550 6-8 1-3
(500-850mg) Diabex fungsi
Neodipar ginjalnya
4. Thiazolindione/ Glitazon
Pioglitazon Actos 15-30 15 45 24 1
(15 mg- 30 mg)
5. Penghambat α-glukosidase
Acarbose Glucobay 50-300 25mg 1-3 25-100mg 1-3 1-3
(50-100 mg) /hari 3X/ hari
6. Kombinasi
Metformin dengan Glucovance 250/1,25 1,25/250 2 20 mg 6-24 1-4
Glibenklamid - X/ hari; gliburide,
(250/1,25 mg, 1000/5 dinilai fungsi 2000 mg
500/2,5 mg) ginjalnya metformin
(Soegondo, 2004 dan Triplitt dkk, 2005)

Indikasi pengobatan diabetes dianjurkan dosis obat yang diberikan dimulai

dengan dosis rendah dan kenaikannya dilakukan secara lambat baik mengenai dosis

maupun waktu mengingat farmakokinetik dan farmakodinamik obat pada usia lanjut
18

mengalami perubahan, serta terjadinya perubahan komposisi tubuh. Obat yang telah

dipakai dan cocok dapat dilanjutkan, dosis mungkin diturunkan mengingat protein

binding drug pada usia lanjut sangat menurun, agar tidak terjadi hipoglikemia

(Rochmah, 2006).

4. Penatalaksanaan DM Tipe 2

a. Penatalaksanaan DM Tipe 2 Menurut Pedoman PERKENI 2006

1) Edukasi

Keberhasilan pengelolaan diabetes mandiri membutuhkan partisipasi aktif pasien,

keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju

perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan

edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi (Anonim, 2006a).

2) Terapi gizi medis

Prinsip pengaturan makan pada diabetisi yaitu makanan yang seimbang dan

sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Komposisi

makanan yang dianjurkan terdiri dari:

(a) Karbohidrat 45-65% total asupan energi.

(b) Lemak 20-25% kebutuhan kalori.

(c) Protein 15-20% total asupan energi.

(d) Garam tidak lebih dari 3000 mg. Pembatasan natrium sampai 2400 mg terutama

pada mereka yang hipertensi.

(e) Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 mg/hari (Anonim, 2006a).


19

3) Latihan jasmani.

Latihan jasmani teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit).

Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani.

Latihan jasmani yang dianjurkan yang bersifat aerobik, seperti: jalan kaki, bersepeda

santai, joging, dan berenang (Anonim, 2006a).

4) Intervensi farmakologis.

Intervensi farmakologis dilakukan apabila dengan terapi gizi medis dan latihan

jasmani selama 2-4 minggu kadar gula darah belum mencapai sasaran (Anonim,

2006a).

(a) Obat Hipoglikemik Oral (OHO)

Berdasarkan cara kerjanya dibagi menjadi 4 golongan:

(1) Pemicu sekresi insulin

a) Sulfonilurea

b) Glinid

(2) Penambah sensitivitas terhadap insulin

(3) Penghambat glukoneogenesis

(4) Penghambat glukosidase alfa (Anonim, 2006a).

(b) Insulin

Indikasi penggunaan insulin pada DM Tipe 2, yaitu:

(1) DM dengan berat badan menurun cepat

(2) Ketoasidosis dan koma hiperosmolar

(3) DM dengan komplikasi akut


20

(4) DM dengan kehamilan/ DM gestasional yang tidak terkendali dengan diet

(perencaan makan)

(5) DM yang tidak berhasil dikelola dengan OHO dosis maksimal (Anonim,

2006a).

Tabel 3. Penggunaan Obat Hipoglikemik Oral Menurut Pedoman PERKENI 2006


Golongan Generik Nama Dagang mg/tab Dosis Lama Frek/ Waktu
harian kerja hari
Sulfonilurea Klorpropamid Diabenese 100-250 100-500 24-36 1
Glibenklamid Daonil* 2,5-5 2,5-15 12-24 1-2
Glipizid Minidiab 5-10 5-20 10-16 1-2
Glukotrol-XL 5-10 5-20 12- 1
16***
Glikazid Diamicron 80 80-320 10-20 1-2
Diamikron-MR 30 30-120 24 1
Glikuidon Glurenorm 30 30-120 6-8 2-3 Sebelum
Glimepirid Amaryl* 1,2,3,4 0,5-6 24 1 makan
Gluvas 1,2,3,4 1-6 24 1
Amadiab 1,2,3,4 1-6 24 1
Metrix 1,2,3,4 1-6 24 1
Glinid Repaglinid NovoNorm 0,5 ,1,2 1,5-6 - 3
Nateglinid Starlix 120 360 - 3
Thiazolidindione Rosiglitazon Avandia 4 4-8 24 1 Tidak
Pioglitazon Actos* 15,30 15-45 24 1 tergantung
Deculin 15,30 15-45 24 1 jadwal
makan
Penghambat Acarbose Glucobay 50-100 100-300 3 Bersama
Glukosidase α suapan
pertama
Biguanid Metformin Glucophage* 500-850 250-3000 6-8 1-3 Bersama
Glumin 500 500-3000 6-8 2-3 atau sesudah
Metformin XR Glucophage-XR* 500-750 makan
Glumin-XR 500 500-2000 24 1
Obat Kombinasi Metformin+ Glucovance* 250/1,25 Total 12-24 1-2
Tetap Glibenklamid 500/2,5 glibenklami
500/5 d 20mg/
Hari
Rosiglitazone+ Avandament 2mg/ 8mg/ 12 2
Metformin 500mg 2000mg Bersama/
4mg/ (dosis max) sesudah
500mg makan
Glimepirid+ Amaryl-M** 1mg/ 2mg/ - 2
Metformin 250mg 500mg
2mg/ 4mg/
500mg 1000mg
Rosiglitazone+ Avandaryl** 4mg/1mg 8mg/ 24 1 Bersama/
Glimepirid 4mg/2mg 4mg sesudah
4mg/4mg (dosis max) makan pagi
Keterangan: * :Produk orisinal
** : Belum beredar di Indonesia
*** : Kadar plasma efektif terpelihara selama 24 jam
21

(c) Terapi kombinasi

Pemberian OHO dan insulin dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian

dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah. Terapi dengan

OHO kombinasi, harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai

mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat

pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi

OHO dengan insulin. Pada pasien dengan alasan klinik dimana insulin tidak

memungkinkan untuk dipakai, dipilih terapi dengan kombinasi tiga OHO. Bila kadar

glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali dapat, maka OHO dihentikan

dan diberikan insulin saja (Anonim, 2006a).

b. Penatalaksanaan DM Tipe 2 Menurut AACE Medical Guidelines 2007

1) Dilaksanakan perawatan yang meliputi :

(a) Edukasi

(b) Terapi gizi medis

(c) Aktivitas fisik

(d) Terapi farmakologi:

(1) Sulfonilurea

Menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan sekresi insulin

dari sel β pankreas. Peringatan bagi pasien dengan gangguan hati dan ginjal

karena sulfonilurea dimetabolisme di hati dan diekskresi melalui ginjal.

Sulfonilurea digunakan sebagai terapi tunggal dan terapi kombinasi. Tidak

diperbolehkan kombinasi dengan glinid. Glipizid dan glimepirid merupakan

pilihan untuk usia lanjut. Efek samping dari sulfonilurea adalah hipoglikemi
22

dan penambahan berat badan. Dimonitor kadar glukosa darah puasa setiap 2

minggu dan HbA1C setiap 3 bulan (Anonim, 2007).

(2) Glinid

Mekanisme kerjanya sama seperti sulfonilurea, namun memiliki waktu

paruh yang lebih pendek sehingga insulin lebih cepat dilepaskan dari sel-β

dalam waktu 1-2 jam. Obat yang termasuk golongan glinid adalah nateglinid

dan repaglinid. Dimonitor kadar glukosa darah puasa setiap 2 minggu dan

HbA1C setiap 3 bulan, dan kadar glukosa darah post prandial pada awal

penggunaan obat ini (Anonim, 2007).

(3) Biguanid

Metformin bekerja dengan mengurangi produksi glukosa hati. Terapi

tunggal dengan metformin dihubungkan dengan penurunan berat badan dan

efek hipoglikemi yang lebih rendah daripada sulfonilurea dan

thiazolidindione, serta dapat menurunkan kadar low-density lipoprotein

cholesterol (LDL-C), kadar trigliserid. Efek sampingnya adalah

gastrointestinal seperti: nyeri lambung, mual dan diare. Metformin

seharusnya tidak digunakan pada pasien gangguan ginjal karena dapat

meningkatkan resiko asidosis laktat. Metformin digunakan sebagai terapi

tunggal dan terapi kombinasi dengan sulfonilurea, glinid, thiazolidindione,

dan insulin. Dimonitor serum kreatinin pada awal penggunaan, kadar

glukosa darah puasa setiap 2 minggu dan HbA1C setiap 3 bulan. Dosis

efektif maksimum 2g/hari. Metformin dikontraindikasikan pada laki-laki

dengan serum kreatinin > 1,5 mg/dl dan wanita dengan serum kreatinin >
23

1,4 mg/dl, pasien gangguan hati, congestive heart failure (CHF), asidosis

metabolik, dehidrasi dan pengguna alkohol berlebih (Anonim, 2007).

(4) Thiazolidindione

Mekanisme kerjanya dengan meningkatkan sensitivitas insulin. Obat

yang termasuk golongan ini adalah rosiglitazon dan pioglitazon. Kedua

golongan ini dapat meningkatkan kadar high density lipoprotein cholesterol

(HDL-C), menurunkan kadar trigliserid. Efek samping thiazolidindione

adalah penambahan berat badan, edema, anemia, dan congestive heart

failure (CHF). Dimonitor tanda-tanda cairan tubuh yang berlebih, AST dan

ALT. Dikontraindikasikan pada pasien dengan ALT > 2,5 kali di atas nilai

normal, penyakit hati, pengguna alkohol berlebih, penyakit jantung kelas III

atau IV (Anonim, 2007).

(5) Penghambat α-glukosidase

Mekanisme kerjanya dengan menunda absorbsi karbohidrat pada sistem

gastrointestinal sehingga menurunkan hiperglikemi post prandial. Efek

samping dari penghambat α-glukosidase adalah flatulence, diare, dan rasa

tidak nyaman pada lambung. Dimonitor kadar glukosa darah post prandial

pada awal penggunaan obat ini, dan HbA1C setiap 3 bulan. Glukosa

digunakan jika terjadi hipoglikemia (Anonim, 2007).

2) Dimonitor terapi farmakologi sampai target kadar glukosa darah:

(a) Pertama pasien dinilai HbA1C, profil kadar glukosa darah puasa, kadar

glukosa darah 2 jam post prandial.


24

(b) Setelah itu dimulai terapi farmakologi berdasarkan profil pemeriksaan

pasien, terapi dimonitor pada 2-3 bulan berikutnya sampai target kadar

glukosa darah tercapai.

(c) Jika target kadar glukosa darah tidak tercapai pada 2-3 bulan terapi, dimulai

dengan regimen yang lebih intensif dan dimonitor secara terus menerus dan

titrasi terapi 2-3 bulan berikutnya sampai target kadar glukosa darah

tercapai.

(d) Pada monoterapi atau kombinasi terapi yang tidak tercapai kadar glukosa

darahnya diperlukan peningkatan dosis pada pengobatan tersebut atau

ditambahkan obat kedua atau ketiga.

(e) Terapi insulin dipertimbangkan pada pasien dengan HbA1C lebih dari 8%

dan gejala hiperglikemia dan pada pasien dengan kenaikan kadar glukosa

darah puasa atau kadar glukosa post prandial, nilai HbA1C.

(f) Terapi insulin dimulai untuk mengontrol hiperglikemia dan toksisitas

glukosa ketika HbA1C lebih dari 10%

(g) Dipertimbangkan penggunaan insulin subkutan pada pasien yang

menggunakan insulin.

(h) Dimonitor kadar glukosa darah 3 X sehari pada pasien yang menggunakan

multiple daily injection atau insulin pump.

(i) Dianjurkan kepada pasien dengan kadar glukosa darah tercapai dengan agen

oral, agen oral plus insulin 1 X sehari, atau dengan insulin 1 X sehari untuk

memonitor kadar glukosa darahnya 2 X sehari.


25

(j) Dianjurkan pada pasien yang kadar glukosa tercapai untuk memonitor kadar

glukosa darahnya sedikitnya 1 X sehari.

(k) Dianjurkan pada pasien yang mengalami sering hipoglikemia untuk

memonitor kadar glukosa darah lebih sering (Anonim, 2007).

Tabel 4. Penggunaan Obat Hipoglikemik Oral Menurut AACE Guidelines 2007

Nama Obat, Generik Dosis awal Dosis Komentar


(Brand) Maximum
Thiazolidindione
Pioglitazon (Actos) 15 atau 30 mg 1 X sehari 45 mg 1 X Diberikan dengan atau
sehari tanpa makanan
Pioglitazon+Metformin a) Jika terapi - Diindikasikan untuk
(ActoPlusMet) tunggal dengan pasien:
metformin tidak cukup (a) Dengan DM tipe 2
terkontrol salah dengan dg terapi
dosis 15 mg/ 500 mg kombinasi
atau 15 mg/ 850 mg 1 X pioglitazon +
sehari/ 2 X sehari metformin,
b) Jika dosis awal (b) Dengan glikemia
memberikan respon tidak mampu
pada terapi tunggal dikontrol
pioglitazon atau diganti metformin sendiri,
kombinasi terapi (c) Pada awal
pioglitazon + pioglitazon
metformin: 15 mg/ 500 memberi respon
mg 2 X sehari atau 15 sendiri tetapi
mg/ 850 mg 1 X sehari / dibutuhkan
2 X sehari kontrol glikemik
- Penjadwalan dosis
berdasarkan dosis
dari masing-masing
komponen
- Mempertimbangkan
pemberian dosis
harian terbagi dg
makanan untuk
mengurangi efek
samping
gastrointestinal jika
digunakan dengan
metformin
Rosiglitazon (Avandia) 4 mg 1 X sehari atau 8mg 1 X Diberikan dengan atau
2 mg 2 X sehari sehari / 4 mg 2 tanpa makanan
X sehari
Rosiglitzon+Metformin 2 mg/ 500 mg 2 X sehari 4 mg/ 1000 mg Penjadwalan dosis
(Avandamet) 2 X sehari berdasarkan dosis dr
masing-masing
komponen
Diberikan dg makanan
26

Lanjutan Tabel 4
Nama Obat, Generik Dosis awal Dosis Komentar
(Brand) Maximum
Rosiglitazon+ Glimepirid 4 mg/ 1 mg atau 4 mg/ 2 8 mg Diberikan dengan
(Avandaryl) mg 1 X sehari rosiglitazon makanan pertama
dan 4 mg
glimepirid
Biguanides
Metformin (Glucophage) 500 mg 2 X sehari atau 2550 mg Diberikan dengan
850 mg 1 X sehari pada terbagi 3 dosis makanan. Dosis efektif
pagi hari maximum 2000 mg/hari
Metformin extended 500 mg 1 X sehari di 2000 mg 1 X Peningkatan dosis 500
release (Glucophage malam hari sehari mg/ hari setiap minggu
XR) Jika kontrol glikemik
tidak ketat,diganti
regimen 2 X sehari
Kemungkinan toleransi
gastrointestinal lebih
baik daripada
immediate-release
metformin
Gliburid+Metformin 1,25 mg/ 250 mg 1 X 20 mg/ 2000 Dosis awal seharusnya
(Glucovance) sehari atau 2 X sehari mg terbagi tidak melebihi dosis
sehari harian gliburide atau
metformin;
Peningkatan dosis
dapat dibuat interval 2
minggu
Sulfonilurea Generasi Kedua
Gliburid (DiaBeta) 1,25-5 mg 1 X sehari 20 mg terbagi Dosis diberikan 1 X
(Micronase) 1-2 dosis 1 X sehari pada saat
sehari atau 2 X sarapan atau pada saat
sehari pertama makan
Dosis > 10 mg/ hari
sebaiknya dibagi dan
diberikan 2 X sehari
Glipizid (Glucotrol) 5mg 1 X sehari; 2,5 mg 1 40 mg terbagi Dosis diberikan 1 X
X sehari pada pasien usia 2 dosis sehari pada 30 menit
lanjut sebelum sarapan atau
setelah saat pertama
makan
Dosis >15 mg/ hari
sebaiknya dibagi dan
diberikan 2 X sehari
Glimepirid (Amaryl) 1-2 mg 1 X sehari 8 mg 1 X Diberikan pada saat
sehari sarapan atau pertama
kali makan
Glinides (Short-acting Secretagogues)
Repaglinid (Prandin) c) Pasien usia lanjut dan 16 mg/ hari Diberikan 15-30 menit
pasien yg sebelumnya sebelum setiap makan
belum melakukan
terapi OHO atau
pasien dengan HbA1c
< 8%: diberi 0,5 mg 3
X sehari
27

Lanjutan Tabel 4
Nama Obat, Generik Dosis awal Dosis Komentar
(Brand) Maximum
d) Pasien yang
sebelumnya terapi dg
OHO atau dengan
HbA1c > 8%: diberi 1-
2 mg 3 X sehari
Nateglinid (Starlix) 120 mg 3 X sehari; 60 mg 120 mg 3 X Diberikan 15-30 menit
3 X sehari pada pasien usia sehari sebelum setiap makan
lanjut

α-Glucosidase Inhibitors
Acarbose (Precose) 25 mg 3 X sehari 100 mg 3 X Diberikan dengan
sehari suapan pertama setiap
makan
Dosis seharusnya
ditingkatkan secara
gradual selama
toleransi lebih dari
beberapa minggu
Miglitol (Glyset) 25 mg 3 X sehari 100 mg 3 X Diberikan dengan
sehari suapan pertama setiap
makan
Dosis boleh
ditingkatkan secara
gradual selama
toleransi lebih dari
beberapa minggu
28

5. Algoritma terapi
Intervensi awal2-4

Pendidikan/Makanan/Latihan

Target terpenuhi Target GDP/GDPP tidak terpenuhi setelah 1 bulan


A1c setiap 3-6 bulan Dipertimbangkan awal terapi
tunggal (atau terapi ganda6)
sulfonilurea &/ metformin1,7

Target terpenuhi Target tidak terpenuhi Awal terapi tunggal:


setelah tiga bulan pioglitazon/rosiglitazon
Terapi dilanjutkan Kombinasi nateglinid
A1c setiap 3-6 bulan sulfonilurea-metformin repaglinie
acarbose/miglitol
insulin/ insulin analog2

Kombinasi lain:
metformin atau sulfonilurea plus
pioglitazon/rosiglitazon
atau acarbose/miglitol
metformin plus
nateglinid atau repaglinid; atau
insulin atau insulin analog (sebagai
terapi tunggal-kombinasi)2

Terapi kombinasi dilanjutkan A1c Tambahkan intermediate-acting insulin waktu tidur atau
setiap 3-6 bulan glargine 1X 1hari; sebelum supper intermediate-regular
insulin atau campuran lispro/aspart; tambahkan 3 oral
agent; atau diganti dosis terpisah insulin atau terapi
insulin analog 2; dipertimbangkan endocrinologinya

Keterangan:

1. Hanya metformin yang diakui oleh FDA sebagai agen diabetik oral untuk anak-anak (≥ umur 10);
agen oral lainnya boleh digunakan dengan kebijakan klinik.
2. Dilihat algoritma insulin untuk DM Tipe 2 pada anak-anak dan dewasa.
3. Jika pemberian awal dengan GDP ≥ 260 mg/dL yang merupakan gejala pada pasien,
dipertimbangkan intervensi awal insulin atau insulin analog.
4. Jika awal GDP ≥ 210 mg/dL atau A1c ≥ 9.0%, dipertimbangkan terapi kombinasi agen oral
(metformin-sulfonilurea atau pilihan lainnya) pada pemberian.
5. Dilihat algoritma nutrisi secara medis, kehilangan berat dan latihan fisik.
6. Jika awal terapi kombinasi dimulai, ditentukan pilihan terapi tambahan sampai 3–6 bulan jika
target glikemik tidak terpenuhi.
7. Lebih dipilih pada pasien kelebihan berat badan/obese atau pasien dislipidemia.

Gambar 1. Algoritma kontrol glikemi pada pasien diabetes mellitus tipe 2 anak-anak
dan dewasa (sumber : Triplitt dkk, 2005)
29

6. Rekam medis

Rekam medik diartikan sebagai keterangan baik yang tertulis maupun yang

terekam tentang identitas, anamnese, penentuan fisik laboratorium, diagnosa segala

pelayanan dan tindakan medis yang diberikan kepada pasien, dan pengobatan baik

yang dirawat inap, rawat jalan maupun yang mendapatkan pelayanan gawat darurat.

Tujuan rekam medis adalah menunjang tercapainya tertib administrasi dalam rangka

upaya peningkatan pelayanan kesehatan di rumah sakit (Anonim, 1997). Rekam

medik dapat menjadi sumber data sekunder yang memadai apabila data yang terekam

cukup lengkap, informasi jelas, dan akurat (Gitawati, 1996).

7. Penelitian lain

Hasil penelitian pola pengobatan DM tipe 2 pasien geriatri di instalasi rawat jalan

RSUD Adiarsa tahun 2002 sesuai dengan standart pelayanan medis RSUD Adiarsa

dan pengelolaan DM tipe 2 tahun 1998. Golongan dan jenis obat antidiabetika oral

yang diberikan adalah golongan sulfonilurea (glibenklamid, glikuidon,

klorpropramid), golongan biguanid (metformin), golongan inhibitor glukosidase alfa

(acarbose) dan dosis maksimal obat-obat tersebut tidak melebihi dosis maksimal

standar pelayanan medis RSUD Adiarsa Karawang (Hastarita, 2002).

Hasil penelitian pola pengobatan DM tipe 2 pasien geriatri di instalasi rawat jalan

RSUD Banjarnegara tahun 2003 sesuai dengan standart pelayanan medis di rumah

sakit tersebut. Golongan dan jenis obat antidiabetika oral yang diberikan adalah

golongan sulfonilurea (glibenklamid, glikazid, glikuidon), golongan biguanid

(metformin), dan dan dosis maksimal obat-obat tersebut tidak melebihi dosis
30

maksimal standar pelayanan medis RSUD Banjarnegara. Penyakit penyerta yang

diderita adalah hipertensi (Helmi, 2003).

Berdasarkan hasil penelitian Drug Utilisation Study in Geriatric Type 2 Diabetic

Patients secara retrospektif selama 6 bulan (Juli 2004 - Januari 2005) di Rumah Sakit

Mangalore, Karnataka, India dapat diambil kesimpulan bahwa pada pasien usia

lanjut dengan diagnosa DM tipe 2 mengalami banyak komplikasi sehingga

diperlukan kombinasi obat, misalnya: pada pasien DM tipe 2 dengan hipertensi

diresepkan enalapril dan ramipril (golongan ACEIs), atenolol dan metaprolol (beta

blockers). Pada pasien DM tipe 2 dengan Coronary Heart Disease (CHD) diresepkan

nitrat dan aspirin sedangkan pasien diabetic neuropathy diresepkan tricyclic

antidepressants (amitriptyline) dan phenytoin (Rajeshwari dkk, 2007).

Você também pode gostar