Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG
SUSUNAN DAN KEDUDUKAN
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT,
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN
PERWAKILAN DAERAH,
DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
CETRO 1
NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 10 MEI 2007
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 mengamanatkan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara yang
berkedaulatan rakyat yang dalam pelaksanaannya menganut prinsip kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, perlu
diwujudkan lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan
lembaga perwakilan daerah yang mampu mencerminkan nilai-nilai demokrasi serta
dapat menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat termasuk kepentingan
daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Sejalan dengan perkembangan kehidupan ketatanegaraan dan politik
bangsa, termasuk perkembangan dalam susunan dan kedudukan lembaga
permusyawaratan dan lembaga perwakilan dengan keberadaan lembaga
perwakilan daerah sebagai komponen baru dalam sistem keparlemenan Indonesia,
telah dibentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dimaksudkan
sebagai upaya penataan susunan dan kedudukan majelis permusyawaratan rakyat,
dewan perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah, dan dewan perwakilan rakyat
daerah dalam rangka mewujudkan lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga
perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah.
Untuk mengembangkan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah, perlu diwujudkan lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang bersama-sama dengan
pemerintah daerah mampu mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Untuk mewujudkan lembaga permusyawaratan/perwakilan yang lebih
mampu mencerminkan nilai-nilai demokratis dan memperjuangkan aspirasi rakyat
dan daerah sesuai perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara perlu
penataan kembali susunan dan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas dipandang perlu untuk
membentuk Undang-undang (UU) tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR,
DPD, dan DPRD, sebagai penyempurnaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003
tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, dalam rangka meningkatkan peran dan tanggung jawab lembaga
permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan
CETRO 2
NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 10 MEI 2007
2. Tujuan
Tujuan pembentukan UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR,
DPD, dan DPRD adalah terbentuknya undang-undang sebagai landasan hukum
yang kuat bagi pemantapan MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagai lembaga
permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, lembaga perwakilan daerah,
dan lembaga perwakilan rakyat daerah, sehingga pelaksanaan kedaulatan rakyat
atas dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan, serta pengembangan demokrasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan negara dan pemerintahan daerah, dapat terwujud.
C. Landasan penyempurnaan
1. Landasan filosofis
Secara filosofis, pembentukan UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR,
DPR, DPD, dan DPRD diperlukan sebagai upaya pengaktualisasian nilai-nilai
demokrasi dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara dan berpemerintahan.
Kehadiran lembaga-lembaga negara dalam bentuk lembaga permusyawaratan
rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah sesungguhnya
adalah cerminan nilai-nilai demokrasi dalam hidup bernegara dan berpemerintahan.
Melalui lembaga-lembaga tersebut, penyerapan dan penyaluran aspirasi rakyat dan
daerah dalam proses dan tata kelola kenegaraan dan kepemerintahan diharapkan
dapat berlangsung dengan baik.
2. Landasan politik
Sejalan dengan pemikiran filosofis di atas, pembentukan UU tentang
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD juga diperlukan dalam
rangka mewujudkan tata kelembagaan negara dan pemerintahan yang
mencerminkan aktualisasi prinsip checks and balances dalam pengelolaan
kekuasaan. Sebagaimana telah ditegaskan dalam UUD Negara Republik Indonesia
CETRO 3
NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 10 MEI 2007
3. Landasan sosiologis
Pembentukan UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan
DPRD pada dasarnya tidak hanya bermakna filosofis dan politik, tetapi juga
memiliki makna sosiologis. Kehadiran lembaga-lembaga permusyawaratan rakyat,
lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah, serta lembaga
perwakilan rakyat daerah, yang memiliki kemampuan dalam memainkan peran
secara maksimal dalam tata pengelolaan negara dan pemerintahan merupakan
sebuah kebutuhan. Realitas sosial mengisyaratkan bahwa berbagai persoalan dan
kebutuhan publik senantiasa mengandaikan pentingnya kehadiran lembaga-
lembaga permusyawaratan dan perwakilan politik dalam penanganannya. Sistem
penyelenggaraan pemerintahan negara dan daerah yang bertumpu pada eksekutif,
secara faktual tidak selalu dapat dijadikan andalan dalam penyelesaian persoalan
dan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Bahkan, secara sosiologis, ketidakadilan
justeru sering terjadi dalam sistem sosial yang dikelola tanpa perwakilan politik.
4. Landasan hukum
Pembentukan UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan
DPRD didasarkan pada mandat konstitusi sebagai hukum dasar, baik sebagai
hukum dasar dalam kaitan dengan kewenangan pembentukan undang-undang
maupun sebagai hukum dasar dalam kaitan dengan materi muatan undang-
undang. Khusus yang terkait dengan materi muatan undang-undang, pembentukan
UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD didasarkan
pada pasal-pasal dalam UUD 1945 (Hasil Amandemen), khususnya Pasal 2 ayat
(1) yang mengatur tentang MPR, Pasal 18 ayat (3) yang mengatur tentang DPRD
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah, Pasal 19 ayat (2) yang
mengatur tentang susunan DPR, Pasal 22C ayat (4) yang mengatur tentang
susunan dan kedudukan DPD, dan Pasal 22E yang menegaskan tentang pemilihan
umum sebagai proses pengisian keanggotaan DPR, DPD, dan DPRD.
Sementara itu, UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 dan Peraturan
Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional Tahun 2005-2009 menggariskan bahwa salah satu misi pembangunan
nasional jangka panjang adalah mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan
hukum, yang akan diwujudkan melalui pencapaian sasaran pokok berupa
”pemantapan pelembagaan demokrasi yang kokoh”. Pemantapan kelembagaan
CETRO 4
NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 10 MEI 2007
D. Metode
Pembentukan UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan
DPRD dilakukan dengan metode kerja sebagai berikut:
a. Evaluasi atas pelaksanaan UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD;
b. Pengkajian terhadap pasal-pasal dalam UU Nomor 22 Tahun 2003 yang dinilai
mengandung kelemahan dan/atau bermasalah;
c. Pengkajian terhadap konsep teoritis tentang sistem perwakilan yang ideal;
d. Penyesuaian dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
dan
e. Analisis komprehensif dan penyusunan konsep pengaturan yang baru.
E. Sistematika penulisan
Naskah Akademik ini ditulis dengan sistematika sebagai berikut:
Bab I PENDAHULUAN, berisi uraian tentang latar belakang, maksud dan tujuan,
landasan penyempurnaan, metode, dan sistematika penulisan;
Bab II ARAH DAN TUJUAN SERTA CAKUPAN PENYEMPURNAAN UU
NOMOR 22 TAHUN 2003 TENTANG SUSUNAN DAN KEDUDUKAN
MPR, DPR, DPD, DAN DPRD, yang berisi uraian tentang arah dan tujuan
serta cakupan penyempurnaan UU Nomor 22 Tahun 2003;
Bab III PROBLEMATIKA UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2003
TENTANG SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MPR, DPR, DPD, DAN DPRD,
berisi uraian tentang kondisi objektif lembaga permusyawaratan dan
CETRO 5
NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 10 MEI 2007
CETRO 6
NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 10 MEI 2007
BAB II
ARAH DAN TUJUAN SERTA CAKUPAN PENYEMPURNAAN UNDANG-
UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2003 TENTANG SUSUNAN DAN KEDUDUKAN
MPR, DPR, DPD, DAN DPRD
CETRO 7
NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 10 MEI 2007
1
Scott Mainwaring, “Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination,”
Comparative Political Studies, 26 (1993), 198-222.
CETRO 8
NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 10 MEI 2007
memungkinkan untuk membuat kerjasama dan sinergitas antara DPR dan DPD.
Bentuknya dapat berupa penguatan fungsi MPR.
2
Arend Lijphart, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
1995, hal. 47.
CETRO 9
NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 10 MEI 2007
sinergis diperlukan bukan saja dalam rangka efektifitas fungsi setiap lembaga
parlemen (DPR dan DPD), melainkan juga untuk meningkatkan kualitas
akuntabilitas di satu pihak dan produktifitas di pihak lain.
Akuntabilitas adalah konsep yang tak terpisahkan dari keberadaan setiap
lembaga perwakilan. DPR sebagai parlemen yang mewakili rakyat, DPD yang
mewakili wilayah (propinsi), dan para anggotanya yang memperoleh mandat
tersebut dapat dikatakan akuntabel apabila dalam melaksanakan fungsi,
kewenangan, dan hak-haknya berorientasi kepada kepentingan rakyat selaku
pemberi mandat melalui melalui pemilihan umum. Sedangkan produktifitas
berhubungan dengan tingkat pencapaian kinerja keparlemenan dalam hitungan
produk kebijakan yang dihasilkan selama masa kerja parlemen.
Dewasa ini sinergitas parlemen belum terbangun karena DPR dan DPD
cenderung bekerja sendiri-sendiri. Konstitusi memang membatasi kewenangan
DPD, namun peran dan kontribusi DPD sebenarnya dapat dioptimalkan melalui
mekanisme relasi dan kerjasama yang lebih baik antara DPR dan DPD. Efektifitas
DPR dan DPD sebagai bagian dari lembaga parlemen nasional relatif belum
optimal karena struktur alat kelengkapan kedua Dewan belum mendukung
efektifitas kerja keparlemenan.
Berkaitan dengan kebutuhan penyempurnaan sistem perwakilan, maka
dalam jangka pendek paling kurang ada empat arah sekaligus tujuan yang hendak
dicapai untuk memperkuat sistem perwakilan yang masih bersifat “semi-bikameral”
yang berlaku dewasa ini, yaitu: (1) peningkatan efektifitas keparlemenan DPR; (2)
penguatan akuntabilitas lembaga dan anggota parlemen; (3) penataan hubungan
kerja DPR dan DPD; dan (4) peningkatan efektifitas fungsi MPR.
Dalam konteks substansi hasil amandemen, di satu pihak hendak dibangun
sistem pemerintahan presidensiil yang kuat, stabil, dan efektif, namun di sisi lain
obsesi besar tersebut tidak didukung oleh struktur perwakilan bicameral yang kuat
pula. Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang semestinya merupakan
salah satu “kamar” dari sistem perwakilan dua-kamar, bahkan tak jelas karena
kekuasaan dan hak-haknya yang sangat terbatas. Tidak mengherankan jika para
anggota DPD dewasa ini mempertanyakan relevansi keberadaan mereka dalam
sistem yang berlaku jika tidak ada komitmen politik untuk mengubahnya secara
mendasar (DPD RI, 2006). Sebaliknya, para politisi di Panitia Ad-Hoc I MPR selaku
penyusun konstitusi justru makin memperkuat posisi, kedudukan, kekuasaan, dan
hak-hak DPR melebihi yang seharusnya dimiliki oleh DPR dalam konteks sistem
presidensial.
Selain itu, UUD 1945 hasil amandemen tidak melembagakan berlakunya
mekanisme checks and balances di antara cabang-cabang kekuasaan
pemerintahan utama, yakni lembaga eksekutif-legislatif pada khususnya dan
eksekutif-legislatif-yudikatif pada umumnya. Di satu pihak, suatu UU dapat tetap
berlaku apabila dalam waktu 30 hari tidak disahkan oleh Presiden, namun di pihak
lain Presiden tidak memiliki semacam hak veto untuk menolak UU yang telah
disetujui DPR. Padahal tegaknya prinsip checks and balances bersifat mutlak
karena menjadi salah satu fondasi utama bagi stabilitas dan efektifitas sistem
pemerintahan presidensial. Urgensi prinsip saling mengawasi secara seimbang itu
diabaikan pula oleh konstitusi hasil amandemen dalam hal relasi DPR sebagai
representasi rakyat dan DPD sebagai representasi wilayah.
CETRO 10
NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 10 MEI 2007
BAB III
PROBLEMATIKA UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2003 TENTANG
SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MPR, DPR, DPD, DAN DPRD
3
Arend Lijphart, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
1995, hal. 47.
CETRO 11
NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 10 MEI 2007
Dewasa ini, sinergitas parlemen belum terbangun karena DPR dan DPD
cenderung bekerja sendiri-sendiri. Konstitusi memang membatasi kewenangan
DPD, namun peran dan kontribusi DPD sebenarnya dapat dioptimalkan melalui
mekanisme relasi dan kerjasama yang lebih baik antara DPR dan DPD. Efektifitas
DPR dan DPD sebagai bagian dari lembaga parlemen nasional relatif belum
optimal karena struktur alat kelengkapan kedua Dewan belum mendukung
efektifitas kerja keparlemenan.
Sementara itu, peranan DPRD provinsi sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah provinsi dan DPRD kabupaten kota sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan kabupaten/kota juga dirasakan masih memerlukan
peningkatan. Rumusan ketentuan yang menyangkut kedua lembaga perwakilan
rakyat daerah tersebut, baik yang terkait dengan kelembagaan maupun yang terkait
dengan keanggotaan masih perlu disempurnakan.
Dari sisi kebutuhan penyempurnaan sistem
permusyawaratan/perwakilan, maka dalam jangka pendek, khususnya dalam
rangka penyempurnaan UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, terdapat paling sedikit enam arah
sekaligus tujuan yang hendak dicapai untuk memperkuat sistem perwakilan yang
berlaku dewasa ini, yaitu:
1. peningkatan efektifitas persidangan MPR;
2. peningkatan efektifitas pelaksanaan tugas, wewenang, dan kewajiban DPR;
3. penguatan fungsi dan hak, serta efektifitas pelaksanaan tugas, wewenang, dan
kewajiban DPD;
4. penataan hubungan kerja DPR dan DPD;
5. peningkatan akuntabilitas dan kinerja anggota DPR dan DPD;
6. pemantapan kedudukan dan fungsi DPRD sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah; dan
7. peningkatan akuntabilitas dan kinerja anggota DPRD.
Sesuai dengan Pasal 2 UUD 1945, MPR sebagai institusi negara yang
terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD memiliki tugas dan wewenang
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 dan Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD
1945. Dari sudut kelembagaan, MPR mempunyai kedudukan dan kewenangan
tersendiri, yang berbeda sama sekali dengan kedudukan dan kewenangan DPR
dan DPD. MPR bukan hanya merupakan persidangan gabungan anggota DPR dan
anggota DPD, tetapi juga adalah lembaga sendiri.
Oleh karena itu, keberadaan MPR sebagai lembaga negara yang oleh
konstitutisi diberi tugas dan wewenang kenegaraan yang secara tegas berbeda
dengan tugas dan wewenang DPD dan DPD tetap perlu ditingkatkan efektititasnya,
terutama efektifitas persidangan MPR.
Efektifitas lembaga perwakilan menunjuk pada kapasitas lembaga
tersebut dalam mengoptimalkan peranan fraksi, komisi dan alat kelengkapan
lainnya dalam mendukung kinerja parlemen sebagai lembaga perwakilan
rakyat/daerah dan mitra eksekutif. Dalam konteks sistem pemerintahan presidensiil,
prinsip checks and balances tidak akan tegak apabila kinerja keparlemenan tidak
efektif.
CETRO 12
NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 10 MEI 2007
4
Akibat beban kerja yang berat setiap tahun DPR hanya bisa menyelesaikan sekitar 30-40 persen RUU dari
Proglegnas tahun yang berjalan sehingga semakin bertumpuk pada persidangan tahun berikutnya. Selain itu,
sebagian anggota Dewan harus merangkap menjadi anggota panitia khusus untuk pembahasan 3-4 RUU
sekaligus.
CETRO 13
NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 10 MEI 2007
BAB IV
MATERI RANCANGAN UNDANG-UNDANG
A. Materi Penyempurnaan
1. Persidangan dan pengambilan keputusan MPR
Seiring dengan perkembangan dan dinamika politik bangsa dan negara
dewasa ini, maka patut diperkirakan bahwa persidangan dan pengambilan
keputusan di MPR tidak selalu akan berlangsung dengan mulus. Kemungkinan
terjadinya kebuntuan (deadlock) dalam pengambilan keputusan sangatlah besar.
Oleh karena itu, pengaturan tentang persidangan dan pengambilan keputusan
MPR disempurnakan dengan memberi kemungkinan dilakukannya pengambilan
keputusan dengan pemungutan suara ulang.
Apabila karena sifat masalah yang dihadapi tidak mungkin dicapai
keputusan dengan mempergunakan pemungutan suara sekali jalan, dilakukan
pemungutan suara ulang. Apabila dalam pemungutan suara ulang diperoleh hasil
sama dengan hasil pemungutan suara sebelumnya, maka pengambilan keputusan
ditangguhkan sampai rapat berikutnya, atau usul yang bersangkutan ditolak.
2. Susunan DPR
Sesuai dengan sistem pemilihan yang akan digunakan dalam pemilihan
umum anggota DPR dan DPRD, yaitu sistem proporsional dengan daftar terbuka
penuh dengan penetapan calon terpilih berdasarkan perolehan suara terbanyak,
maka berbeda dengan rumusan UU 22/2003 yang menyatakan bahwa “DPR terdiri
atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih berdasarkan hasil
pemilihan umum”, RUU ini menegaskan bahwa “DPR terdiri atas anggota partai
politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum”.
3. Fungsi DPR
Dalam rangka pemantapan sistem penyelenggaraan pemerintahan
negara berdasarkan UUD 1945, khususnya dalam relasi kenegaraan antara DPR
dan Presiden, perlu penegasan makna fungsi DPR dalam kerangka kebersamaan
penyelenggaraan pemerintahan negara dengan Presiden. Sehingga, dalam RUU
ini dirumuskan pengaturan tentang fungsi DPR sebagai berikut:
a. fungsi legislasi dilaksanakan dalam pembentukan undang-undang dengan
persetujuan bersama Presiden;
b. fungsi anggaran dilaksanakan dalam bentuk pemberian persetujuan atau tidak
memberikan persetujuan atas undang-undang tentang anggaran pendapatan
dan belanja negara dengan persetujuan bersama Presiden;
c. fungsi pengawasan dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan
undang-undang dan anggaran pendapatan dan belanja negara.
CETRO 14
NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 10 MEI 2007
5. Hak DPR
DPR sebagai lembaga perwakilan yang berkedudukan sebagai lembaga
negara memiliki hak konstitusional berupa hak interpelasi, angket, dan menyatakan
pendapat. Penggunaan hak tersebut penting diatur dalam undang-undang dengan
pertimbangan perlunya dasar legitimasi yang kuat bagi DPR dalam menggunakan
haknya, sehingga di dalam RUU dirumuskan sebagai berikut:
a. Penggunaan hak interpelasi:
1) Hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada
Presiden mengenai kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis serta
berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
2) Hak interpelasi diajukan oleh paling sedikit 15 (lima belas) orang anggota
DPR kepada pimpinan DPR dan mendapatkan persetujuan dari rapat
paripurna DPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari
jumlah anggota DPR dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-
kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPR yang hadir.
b. Penggunaan hak angket:
1) Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap
kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas
pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan.
CETRO 15
NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 10 MEI 2007
2) Hak angket diajukan oleh paling sedikit 15 (lima belas) orang anggota DPR
kepada pimpinan DPR dan mendapatkan persetujuan dari rapat paripurna
DPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah
anggota DPR dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-
kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPR yang hadir.
3) Dalam menggunakan hak angket dibentuk panitia angket yang terdiri atas
semua unsur fraksi DPR dengan keputusan DPR.
4) Panitia angket melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna
DPR paling lama 60 (enam puluh) hari sejak dibentuknya panitia angket.
5) Dalam menggunakan hak angketnya, DPR dapat memanggil pejabat
negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat yang
dianggap mengetahui atau patut mengetahui masalah yang diselidiki untuk
memberikan keterangan serta untuk meminta menunjukkan surat atau
dokumen yang berkaitan dengan hal yang sedang diselidiki.
6) Pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat
yang dipanggil wajib memenuhi panggilan DPR kecuali ada alasan yang
sah menurut peraturan perundang-undangan.
7) Dalam hal telah dipanggil dengan patut secara berturut-turut tidak
memenuhi panggilan, DPR dapat memanggil secara paksa dengan
bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
c. Penggunaan hak menyatakan pendapat:
1) Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat
terhadap kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis atau mengenai
kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau situasi dunia internasional
disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut
pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket.
2) Hak menyatakan pendapat diajukan oleh paling sedikit 15 (lima belas)
orang anggota DPR kepada pimpinan DPR dan mendapatkan persetujuan
dari rapat paripurna DPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga
perempat) dari jumlah anggota DPR dan putusan diambil dengan
persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota
DPR yang hadir.
CETRO 16
NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 10 MEI 2007
7. Pimpinan DPR
Sejalan dengan penerapan sistem pemilihan proporsional yang telah
dikemukakan sebelumnya, RUU ini juga menganut prinsip perlunya memberikan
reward secara politik bagi partai politik yang berhasil memperoleh hasil pemilihan
umum yang lebih baik dari partai politik lainnya. Sehingga, berbeda dengan
ketentuan dalam UU Nomor 22 Tahun 2003, di dalam RUU ini dirumuskan
ketentuan bahwa:
a. Pimpinan DPR terdiri atas seorang Ketua dan tiga orang wakil ketua yang
berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPR;
b. Dalam hal terdapat lebih dari satu partai politik yang memperoleh kursi sama,
Ketua dan wakil ketua ditentukan berdasarkan urutan hasil perolehan suara
terbanyak dalam pemilu;
c. Dalam hal terdapat lebih dari satu partai politik yang memperoleh suara sama,
Ketua dan wakil ketua ditentukan berdasarkan persebaran perolehan suara.
Sementara itu, pengaturan tentang pemberhentian Pimpinan DPR juga
dipandang perlu disempurnakan, khususnya dalam kaitan dengan akuntabilitas dan
kinerjanya, serta dengan mempertimbangkan keberadaan mereka sebagai kader
partai politik. Oleh karena itu, pengaturan tentang pemberhentian Pimpinan DPR
dirumuskan sebagai berikut:
a. Pimpinan DPR berhenti dari jabatannya karena:
1) meninggal dunia;
2) mengundurkan diri; atau
3) diberhentikan.
b. Alasan pemberhentian Pimpinan DPR, selain karena alasan sebagaimana telah
dirtentukan dalam UU Nomor 22 Tahun 2003, juga apabila:
1) tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan
tetap sebagai pimpinan DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut;
2) melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR berdasarkan hasil
pemeriksaan Badan Kehormatan DPR;
3) diusulkan oleh partai politiknya sesuai ketentuan undang-undang; atau
4) diberhentikan sebagai anggota partai politik;
c. Dalam hal salah satu pimpinan DPR diberhentikan dari jabatannya,
penggantinya berasal dari fraksi yang sama dengan fraksi pimpinan yang
diberhentikan.
CETRO 17
NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 10 MEI 2007
CETRO 18
NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 10 MEI 2007
CETRO 19
NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 10 MEI 2007
CETRO 20
NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 10 MEI 2007
CETRO 21
NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 10 MEI 2007
2) Hak angket diajukan oleh paling sedikit 10 (sepuluh) orang anggota DPRD
provinsi kepada pimpinan DPRD provinsi dan mendapatkan persetujuan
dari rapat paripurna DPRD provinsi yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4
(tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD provinsi dan putusan diambil
dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah
anggota DPRD provinsi yang hadir.
3) Dalam menggunakan hak angket dibentuk panitia angket yang terdiri atas
semua unsur fraksi DPRD provinsi dengan keputusan DPRD provinsi.
4) Panitia angket melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna
DPRD provinsi paling lama 60 (enam puluh) hari sejak dibentuknya panitia
angket.
5) Dalam menggunakan hak angketnya, DPRD provinsi dapat memanggil
pejabat negara tingkat provinsi, pejabat pemerintah provinsi, badan hukum,
atau warga masyarakat di provinsi yang dianggap mengetahui atau patut
mengetahui masalah yang diselidiki untuk memberikan keterangan serta
untuk meminta menunjukkan surat atau dokumen yang berkaitan dengan
hal yang sedang diselidiki.
6) Pejabat negara tingkat provinsi, pejabat pemerintah provinsi, badan hukum,
atau warga masyarakat di provinsi yang wajib memenuhi panggilan DPRD
provinsi kecuali ada alasan yang sah menurut peraturan perundang-
undangan.
7) Dalam hal telah dipanggil dengan patut secara berturut-turut tidak
memenuhi panggilan, DPRD provinsi dapat memanggil secara paksa
dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
c. Penggunaan hak menyatakan pendapat:
1) Hak menyatakan pendapat adalah hak DPRD provinsi untuk menyatakan
pendapat terhadap kebijakan gubernur yang penting dan strategis atau
mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di daerah disertai dengan
rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak
interpelasi dan hak angket.
2) Hak menyatakan pendapat diajukan oleh paling sedikit 10 (sepuluh) orang
anggota DPRD provinsi kepada pimpinan DPRD provinsi dan mendapatkan
persetujuan dari rapat paripurna DPRD provinsi yang dihadiri sekurang-
kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD provinsi dan
putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga)
dari jumlah anggota DPRD provinsi yang hadir.
CETRO 22
NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 10 MEI 2007
CETRO 23
NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 10 MEI 2007
CETRO 24
NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 10 MEI 2007
CETRO 25
NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 10 MEI 2007
CETRO 26
NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 10 MEI 2007
CETRO 27
NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 10 MEI 2007
a. Pimpinan DPRD provinsi terdiri atas seorang Ketua dan paling banyak 2 (dua)
orang wakil ketua yang berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan
kursi terbanyak di DPRD kabupaten/kota;
b. Dalam hal terdapat lebih dari satu partai politik yang memperoleh kursi sama,
ketua dan wakil ketua DPRD kabupaten/kota ditentukan berdasarkan urutan
hasil perolehan suara terbanyak dalam pemilu;
c. Dalam hal terdapat lebih dari satu partai politik yang memperoleh suara sama,
ketua dan wakil ketua DPRD kabupaten/kota ditentukan berdasarkan
persebaran perolehan suara.
Sementara itu, pengaturan tentang pemberhentian pimpinan DPRD
kabupaten/kota juga dipandang perlu disempurnakan, khususnya dalam kaitan
dengan akuntabilitas dan kinerjanya, serta dengan mempertimbangkan keberadaan
mereka sebagai kader partai politik. Oleh karena itu, pengaturan tentang
pemberhentian pimpinan DPRD kabupaten/kota dirumuskan sebagai berikut:
a. Pimpinan DPRD kabupaten/kota berhenti dari jabatannya karena:
1) meninggal dunia;
2) mengundurkan diri; atau
3) diberhentikan.
b. Alasan pemberhentian Pimpinan DPRD kabupaten/kota, selain karena alasan
sebagaimana telah ditentukan dalam UU Nomor 22 Tahun 2003, juga apabila:
1) tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan
tetap sebagai pimpinan DPRD kabupaten/kota selama 3 (tiga) bulan
berturut-turut;
2) melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPRD kabupaten/kota
berdasarkan hasil pemeriksaan badan kehormatan DPRD kabupaten/kota;
3) diusulkan oleh partai politiknya sesuai ketentuan undang-undang; atau
4) diberhentikan sebagai anggota partai politik.
c. Dalam hal salah satu pimpinan DPRD kabupaten/kota diberhentikan dari
jabatannya, penggantinya berasal dari fraksi yang sama dengan fraksi pimpinan
yang diberhentikan.
CETRO 28
NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 10 MEI 2007
29. Penggantian Antarwaktu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota
Sejalan dengan upaya peningkatan akuntabilitas dan kinerja lembaga
dan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, maka
pengaturan tentang penggantian antarwaktu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota juga perlu disempurnakan.
a. Penggantian antarwaktu anggota DPR:
Anggota DPR berhenti antarwaktu karena:
1) meninggal dunia;
2) mengundurkan diri; atau
3) diberhentikan.
Dalam RUU dirumuskan bahwa anggota DPR diberhentikan antarwaktu, selain
karena alasan yang telah ditetapkan di dalam UU Nomor 22 Tahun 2003, juga
apabila:
1) tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan
tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut;
2) tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan yang
menjadi tugas dan kewajibannya selama 6 (enam) kali berturut-turut tanpa
alasan yang sah;
3) diberhentikan sebagai anggota partai politik.
Pemberhentian anggota DPR yang berkedudukan sebagai pimpinan DPR yang
telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud di atas disampaikan oleh
pimpinan partai politik kepada pimpinan DPR untuk selanjutnya disampaikan
oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk diresmikan. Usulan pemberhentian
oleh pimpinan partai politik tersebut dikirim tembusannya kepada Presiden.
CETRO 29
NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 10 MEI 2007
CETRO 30
NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 10 MEI 2007
CETRO 31
NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 10 MEI 2007
30. Calon Pengganti Antar Waktu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan
DPRD Kabupaten/Kota
Dalam rangka penggantian antarwaktu anggota DPR, dirumuskan
ketentuan bahwa calon pengganti adalah:
a. calon anggota DPR yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya
dalam daftar peringkat perolehan suara dari partai politik yang sama pada
daerah pemilihan yang sama;
b. apabila calon pengganti sebagaimana dimaksud pada huruf a mengundurkan
diri, meninggal dunia, atau diberhentikan, diajukan calon anggota DPR yang
memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dari partai politik yang sama
pada daerah pemilihan yang sama.
CETRO 32
NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 10 MEI 2007
31. Pemberhentian Sementara Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota
Untuk mengantisipasi kemungkinan selama masa jabatannya anggota
DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota tersangkut masalah hukum,
khususnya sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum berupa perkara tindak
pidana umum dan perkara tindak pidana khusus, maka dipandang perlu adanya
pengaturan tentang pemberhentian sementara anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota.
Anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota
diberhentikan sementara karena:
a. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam dengan
pidana penjara lima tahun atau lebih;
b. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus.
Beberapa rumusan ketentuan yang menyangkut pemberhentian
sementara anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah:
a. Dalam hal anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota
dinyatakan terbukti bersalah karena melakukan tindak pidana sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan/atau huruf b di atas berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota yang
bersangkutan diberhentikan sebagai anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan
DPRD kabupaten/kota;
b. Dalam hal anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota
dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
huruf a dan/atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota yang bersangkutan diaktifkan
kembali sampai dengan berakhirnya masa jabatan anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi dan DPRD kabupaten/kota;
c. Dalam hal anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota
diberhentikan sementara, hak keuangannya tidak dibayarkan kecuali uang
representasi;
d. Dalam hal anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota
diberhentikan, pemberhentiannya berlaku terhitung mulai tanggal putusan
pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
CETRO 33
NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 10 MEI 2007
CETRO 34
NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 10 MEI 2007
Jenderal DPD sebagai Kepala Satuan Kerja Sekretariat Jenderal MPR, DPR, dan
DPD adalah Pengguna Anggaran. Sesuai dengan rumusan dalam RUU ini, maka
Pimpinan MPR, Pimpinan DPR, dan Pimpinan DPD mempunyai tugas menetapkan
arah dan kebijakan umum anggaran MPR, DPR, dan DPD.
CETRO 35
NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 10 MEI 2007
CETRO 36
NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 10 MEI 2007
BAB V
PENUTUP
CETRO 37
NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 10 MEI 2007
DAFTAR PUSTAKA
CETRO 38