Você está na página 1de 191

v

ANALISIS PEMANFAATAN TPA SAMPAH PASCA


OPERASI BERBASIS MASYARAKAT
(Studi Kasus TPA Bantar Gebang, Bekasi)

ROYADI

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
TAHUN 2006
ii

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI


SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Analisis


Pemanfaatan TPA Sampah Pascaoperasi Berbasis Masyarakat
(Studi Kasus TPA Bantar Gebang, Bekasi) adalah karya saya
sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar Pustaka
Acuan dibahagian akhir disertasi ini.

Bogor, April 2006

Royadi
Nrp.99522708
iii

ABSTRAK
ROYADI. Analisis Pemanfaatan TPA Sampah Pascaoperasi Berbasis
Masyarakat (Studi Kasus TPA Bantar Gebang, Bekasi). Dibimbing oleh M. Sri Saeni,
Lala M. Kolopaking dan Hartrisari Hardjomidjojo.
TPA Bantar Gebang yang beroperasi sejak tahun 1989 selesai kontrak
pakainya oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tanggal 31 Desember 2003. Untuk
mengatasi permasalahan TPA Sampah Pascaoperasi, perlu dilakukan kajian dan
analisis untuk melihat kemungkinan yang terjadi dimasa depan didasarkan pada
keadaan saat ini seperti sumberdaya dan lingkungan alam, sosial ekonomi, fisik
kimia, mikrobiologi, dan keterlibatan masyarakat dalam pemanfaatan TPA Sampah
Pascaoperasi Berbasis Masyarakat. Tujuan dan manfaat dari penelitian ini antara lain
adalah: 1). Melakukan evaluasi terhadap kualitas air sumur, air sungai, air lindi dan
mikrobiologi; 2). Memilih alternatif yang sesuai untuk pemanfaatan TPA Sampah
Pascaoperasi Berbasis Masyarakat.
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah analisis fisik
kimia, analisis sosial ekonomi dan prospektif analisis serta Analitic Hierarki Proces
(AHP). Kesimpulan dari penelitian ini antara lain adalah: 1). Kualitas fisik kimia dan
biologi air sumur, air sungai dan air lindi masih dibawah ambang batas yang
diperbolehkan, kecuali untuk kekeruhan air sungai, kandungan nitrat, nitrit, BOD5 ,
COD air lindi. 2). Alternatif pemanfaatan adalah sebagai TPA Terpadu, dengan
kegiatan setiap zone sebagai berikut: Zone I dan II sebagai hutan kota/penghijauan,
zone III, IV dan zone V sebagai TPA Sampah. Pema nfaatan sebagai TPA Terpadu
menjadi sinergis antara pengelolaan sampah dengan hutan kota/penghijauan, daur
ulang dan kompos. Faktor yang dominan dalam penentuan strategi bagi pemanfaatan
TPA sampah pascaoperasi berbasis masyarakat antara lain adalah: luas lahan, IPAS,
Peraturan Perundangan, Pendanaan, Keterlibatan Swasta, Teknologi dan donor
agency; 3). Pemanfaatan sebagai TPA Terpadu akan menimbulkan multiplyer effect
baik bagi lingkungan, masyarakat sekitar lokasi TPA dan pemerintah sebagai berikut:
a). Bagi masyarakat sekitar lokasi TPA, terciptanya lapangan kerja mulai dari
perencanaan, kontruksi dan pada saat operasi serta keterlibatan dalam pemilahan
sampah, pembuatan kompos dan pembuatan bahan-bahan bangunan. b). Bagi
lingkungan pupuk kompos yang dihasilkan dapat bermanfaat untuk meningkatkan
tingkat kesuburan lingkungan melalui kegiatan penghijauan, pemulihan atau
memperbaiki ekosistem yang rusak, serta dapat menghemat penggunaan lahan TPA;
c). Bagi peningkatan pertanian, pupuk kompos yang dihasilkan dapat mengurangi
tingkat keasaman tanah lahan pertanian akibat penggunaan pupuk kimia secara terus
menerus, disamping itu pupuk kompos dapat meningkatkan produktivitas lahan; d).
Pengembangan ekonomi lokal, dengan terkonsentrasinya tenaga kerja dalam jumlah
besar dapat membuka peluang usaha baru bagi kegiatan lainnya berupa kegiatan
usaha warungan, usaha- usaha jasa keuangan, jasa cetring untuk makan para perkerja
serta usaha rumah/kost/pengontrakan rumah; dan e). Bagi Pemerintah Daerah,
terserapnya tenaga kerja unskill dalam kegiatan ini dapat mengurangi kerawanan
sosial yang ditimbulkan karena ketiadaan lapangan kerja. Kegiatan hasil produk dari
kegiatan ini dapat menjadi sumber PAD bagi pemerintah dan sumber penerimaan
pajak bagi negara.
iv

ABSTRACT

ROYADI. Analysis Pemanfaatan TPA Sampah Pascaoperasi Berbasis


Masyarakat (Case Study at TPA Bantar Gebang, Bekasi). Under the direction of M.
Sri Saeni, Lala M. Kolopaking dan Hartrisari Hardjomidjojo.
TPA Bantar Gebang operating since 1989 finishing contract wear him by
Local Government of DKI Jakarta on 31 December 2003, was so that needed effort to
see possibility that happened future able to solve problem TPA after operation for
based by situation of natural environment and resources, socio -economic, chemical-
physical, microbiological, so that the exploiting of being based on the society. The
goal of this research area: 1) evaluate to quality well water, river water and
microbiological component; 2) Alternative which exploiting TPA garbage after
operation being based on society.
Analysis which used in this research is chemical-physical analysis, socio -
economic analysis of society, prospective analysis and AHP analysis. Conclusion of
this research is: 1) Physical, chemical, biological quality in the up and down wells
and waters around TPA by BOD5 and of COD, nitrate, nitrit have been exceed of
ESQ (environmental standard quality); 2) Alternatives for re- use of TPA Areais
Interated TPA, base on zonation, such as: a). Zones I and II, for city forest/greenery;
b). Zone III, IV and V, for TPA itself. The exploited of this TPA as an integrated
TPA being sinergy among garbage management with city forest/greenery, re-cyeling
and making artificial fertilize (kompos). Dominant factor in determining strategy for
exploiting of TPA garbage after operation base on society is volume land, IPAS,
regulation, financing, involvement of private sector, technology and donor agency;
3). Exploited TPA as an integrated TPA will drive given multiplyer effect, such as:
a). For community around the TPA, open vacancy for employee since the planning,
construction and operation the TPA. b). For Environment, production of artificial
fertilize (kompos) will be raising (increasing) the land fertilization, revitalization of
envoronment, and effectivewly of TPA land use. c). For Agriculture, kompos can
dropped land zcid from using chemical fertilize, besides increase land productivity;
d). For Development economic locally, increasing of the employee the bussines will
be developt such as shop, home rental, finance, and food services. e). For local
government, dropping social crisis by employing the unskill employee finally will
increasing the PAD.
vi

JUDUL DISERTASI : ANALISIS PEMANFAATAN TPA SAMPAH PASCA OPERASI


BERBASIS MASYARAKAT (Studi Kasus TPA Bantar Gebang
Bekasi)
Nama Mahasiswa : Royadi
Nomor Pokok : 99522708

Disetujui,
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. M. Sri Saeni, MS


Ketua

Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA


Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Pengelolaan


Sumberdaya Alam dan Lingkungan Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. H. Surjono Hadi Sutjahjo, MS Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, MSc
Dekan

Tanggal Ujian: 8 Mei 2006 Tanggal Lulus:


vii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala karunia-Nya, sehingga Disertasi ini dapat diselesaikan. Penelitian yang
dilakukan dengan judul Analisis Pemanfaatan TPA Sampah Pascaoperasi Berbasis
Masyarakat (Studi Kasus TPA Bantar Gebang, Bekasi) dilaksanakan mulai dari
bulan Juli 2004 sampai dengan Nopem ber 2004. Lokasi Penelitian ini adalah pada
TPA sampah Bantar Gebang, Bekasi, Provinsi Jawa Barat.
Dalam melaksanakan penelitian dan penulisan ini penulis telah banyak
mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sehingga pada kesempatan
ini panulis ingin memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Prof. Dr.Ir. M. Sri Saeni, MS, selaku Ketua komisi pembimbing, Dr. Lala M.
Kolopaking, MS dan Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA, selaku anggota komisi
pembimbing atas segala waktunya untuk memberikan bimbingan dan arahan
serta saran yang diberikan kepada penulis.
2. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo,MS., selaku Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor, yang selalu memacu agar cepat selesai dalam studi.
3. Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang selalu mendukung
penulis sebagai mahasiswa di Sekolah Pascasarjana IPB.
4. Pimpinan Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Departemen Dalam
Negeri atas dukungan dan memberikan izin kepada penulis untuk dapat
mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB.
5. Prof.Dr.Ir. Bunasor Sanim, M.Sc dan Prof.Dr. Tjahya Supriatna, SU selaku
penguji luar komisi.
6. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta atas pemberian izin penelitian di TPA Sampah
Bantar Gebang, Bekasi kepada penulis.
7. Semua pihak yang telah membantu penulis tidak dapat disebut satu persatu
namanya, baik secara moral maupun material.
Penulis mengharapkan semoga karya ini dapat bermanfaat bagi Pemerintah
DKI Jakarta dan Pemda Kota Bekasi serta dunia ilmu pengetahuan dan pihak lain
yang membutuhkannya.
Bogor, 8 Mei 2006
ROYADI
viii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 25 Mei 1962 di Jakarta, sebagai putra ke-

empat dari tujuh bersudara dari ayah Mukdi (almarhum) dan Ibu Sareah

(almarhumah). Pada tahun 1976, penulis lulus dari SDN Gempol Pagi I Jakarta,

lulus dari SMP Negeri 79 Jakarta tahun 1980 dan lulus dari SMA YMIK Jakarta

jurusan Ilmu Pasti Alam tahun 1983 kemudian masuk CATAR AKABRI pada tahun

1983 di Ma gelang dan menyelesaikan Sarjana S1 pada Fakultas Hukum Universitas

Muhammadiyah Jakarta pada tahun 1992. Pada tahun 1994 mengikuti pendidikan

Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) di LPEM-UI kemudian tugas belajar di

University of New South Wales, Sdney Australia, dan tahun 1996 mengikuti

pendidikan Pascasarjana pada Program Studi Ilmu Sumberdaya Manusia, Program

Pascasarjana Institut Pengembangan Wiraswasta Indonesai, Jakarta lulus tahun

1998. Pada tahun 2000 penulis melanjutkan studi pada Program Doktor di program

studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Program Pascasarjana

IPB Bogor.

Penulis bekerja di Departemen Dalam Negeri, pernah menjabat sebagai

Kepala Seksi Perencanaan Kabupaten Kota, Direktorat Perencanaan Daerah,

Kepala Seksi Bencana Alam pada Subdit Pengendalian Dampak dan Bencana

Alam, Direktorat Fasilitasi Lingkungan Hidup dan Penataan Ruang dan pada saat ini

menjabat sebagai Kepala Seksi Penataan Wilayah Khusus , Direktorat Fasilitasi

Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup, Direktorat Jenderal Bina Pembangunan

Daerah.
ix

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................... i


DAFTAR TABEL .................................................................................................. ... ii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... iii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ iv
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................. 2
A. Tujuan Penelitian...................................................................................... 2
B. Manfaat Penelitian.................................................................................... 3
1.3. Kerangka Pemikiran ................................................................................... 3
1.4. Perumusan Masalah ................................................................................... 5
1.5. Ruang Lingkup............................................................................................. 5
A. Lingkup Wilayah Penelitian.................................................................... 5
B. Lingkup Materi Penelitian....................................................................... 6
1.6. Hipotesis....................................................................................................... 6
1.7. Novelty (Kebaruan)...................................................................................... 6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pemberdayaan Masyarakat .......................................................................... 7
2.2. Partisipasi Masyarakat................................................................................. 13
2.3. Pencemaran Lingkungan ............................................................................. 24
2.4. Pengertian-pengertian ................................................................................ 26
A. Pengertian Sampah ............................................................................... 26
B. Sumber dan Jenis Sampah..................................................................... 27
C. Pengelolaan Sampah ............................................................................. 29
D. Tempat Pembuangan Akhir (TPA)........................................................ 34
E. Lindi ...................................................................................................... 35
III. METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................... 37
3.2. Metode Pengumpulan Data..................................................................... 37
A. Data Primer ....................................................................................... 37
x

a. Fisik dan Kimia............................................................................. 37


b. Mikrobiologi Lingkungan............................................................. 41
c. Sosial Ekonomi Masyarakat......................................................... 43
B. Data Sekunder.................................................................................. 44
3.3. Tahapan Kegiatan Penelitian .................................................................. 45
3.4. Metode dan Analisis Data....................................................................... 45
A. Data Fisik Kimia................................................................................ 46
a. Analisis Kualitas Air Sumur......................................................... 46
b. Analisis Kualitas Air Sungai....................................................... 47
c. Analisis Kualitas Air Lindi........................................................... 47
B. Data Mikrobiologi.............................................................................. 47
C. Sosial Ekonomi dan Kesehatan Masyarakat...................................... 47
D. Umur Pemanfaatan TPA.................................................................... 48
E. Analitik Hierarki Proses (AHP)......................................................... 48
F. Teknik Prospektif.............................................................................. 50
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Lokasi…………………………………………………... 54
A. Letak Geografi ........................................................................................ 54
a. Letak dan Luas Wilayah.................................................................... 54
b. Iklim................................................................................................... 56
c. Penduduk .......................................................................................... 56
B. Karakteristik Sampah Perkotaan dan TPA.............................................. 58
a. Karakteristik Sampah......................................................................... 58
b. Komposisi Sampah............................................................................ 59
c. Densitas atau Kepadatan Sampah...................................................... 60
C. Umur Teknis TPA Bantar Gebang.......................................................... 61
D. Kualitas Lingkungan............................................................................... 61
E. TPA Liar dan Pemulung......................................................................... 62
a. TPA Liar........................................................................................... 62
b. Pemulung.......................................................................................... 62
F. Dampak Pengelolaan TPA pada Lingkungan......................................... 64
xi

G. Peranserta Masyarakat, Swasta dan Pengelola TPA.............................. 67


a. Peranserta Masyarakat...................................................................... 67
b. Peranserta Swasta............................................................................. 67
c. Pengelola TPA.................................................................................. 68

4.2. Evaluasi Fisik Kimia..................................................................................... 70


A. Perkembangan Kualitas Air Sumur......................................................... 70
a. Kekeruhan........................................................................................ 70
b. Suhu.................................................................................................. 73
c. Kemasaman (pH).............................................................................. 74
d. Total Disolved Solid (TDS).............................................................. 75
e. Chimical Oxigen Demand (COD)..................................................... 76
f. Kesadahan.......................................................................................... 76
g. Nitrat (NO 3?)...................................................................................... 77
h. Besi (Fe)............................................................................................. 79

i. Sulfida (S²¯ )...................................................................................... 79


j. Nitrit (NO2 )......................................................................................... 80
k. Orto Fosfat.......................................................................................... 81
l. Ammonia (N-NH3 )............................................................................. 82
m. Koliform Total (MPN)....................................................................... 83
n. Escherichia Coli.................................................................................. 84
B. Perkembangan Kualitas Air Sungai......... ................................................ 85
C. Perkembangan Kualitas Air Lindi............................................................. 92
4.3. Komponen Mikrobiologi ............................................................................... 97
4.4. Komponen Sosial Ekonomi............................................................................ 99
A. Karakteristik Responden ......................................................................... 99
B. Sosial Ekonomi Respond en...................................................................... 100
C. Tanggapan Responden terhadap TPA Bantar Gebang.............................. 101
D. Kesehatan Masyarakat............................................................................... 103
E. Umur Teknis TPA..................................................................................... 107
F. Kompos dan Daur Ulang.......................................................................... 107
xii

a. Komposting.......................................................................................... 107
b. Daur Ulang........................................................................................... 109
4.5. Hasil Sintesis AHP........................................................................................ 110
A. Hasil Sintesis AHP pada zone I............................................................... 112
B. Hasil Sintesis AHP pada zone II.............................................................. 113
C. Hasil Sintesis AHP pada zone III............................................................ 114
D. Hasil Sintesis AHP pada zone IV............................................................ 115
E. Hasil Sintesis AHP pada zone V............................................................. 116
F. Prioritas Pemanfaatan TPA setiap zone.................................................. 117
4.6. Implikasi Kebijakan Skenario Prospektif Masa Depan................................ 118
A. Existing codition...................................................................................... 119
B. Need Analysis......................................................................................... 120
C. Gabungan antara Existing Condition dan Need Analysis....................... 122
a. Luas Lahan........................................................................................... 123
b. Instalasi Pengelolaan Air Sa mpah (IPAS)........................................... 123
c. Peraturan Perundangan........................................................................ 124
d. Pendanaan............................................................................................ 125
e. Teknologi............................................................................................. 126
f. Keterlibatan Swasta.............................................................................. 127
g. Donor Agency...................................................................................... 128
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan ...................................................................................................... 131
5.2. Saran ............................................................................................................ 133
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 135
LAMPIRAN ........................................................................................................ 142
xiii

DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1: Evaluasi Partisipatif.............................................................................. 20
2: Sumber dan Jenis Sampah………........................................................ 28
3: Hasil Analisis Lindi Sistem Sanitary Landfill (ppm)………… ..…..... 30
4: Kualitas air sumur di TPA Bantar Gebang………………………....... 38
5: Kualitas Air Sungai Ciketing………….…………………………...... 39
6: Kualitas Air Lindi…………………………………………………..... 40
7: Penyakit Bawaan Sampah………………………………………….... 41
8: Beberapa Jenis Penyakit Bawaan Air……………………………....... 42
9: Nilai dan definisi pendapat kualitatif……………………………....... 48
10: Pedoman Penilaian Analisis Prospektif................................................ 52
11: Jumlah dan perkembangan penduduk di tiga Kelurahan……………. 58
12: Jumlah sampah yang dibawa ke TPA Bantar Gebang Tahun 2004..... 60
13: Komposisi bahan organik dan anorganik di TPA Bantar Gebang…... 61
14: Perkiraan Jenis Dampak Penting di TPA Bantar Gebang…………… 65
15: Kualitas Air Sumur di Atas dari TPA 2004......................................... 71
16: Kualitas Air Sumur Bawah dari TPA 2004.......................................... 72
17: Analisis Kualitas Air Sungai Sebelum TPA (inlet) 2004..................... 86
18: Analisis Kualitas Air Sungai Sesudah TPA (outlet) 2004................... 87
19: Distribusi lalat di kawasan TPA Bantar Gebang dan sekitarnya……. 99
20: Jenis pekerjaan responden.................................................................... 101
21: Tingkat pendapatan responden............................................................. 101
22: Wujud gangguan terhadap air tanah..................................................... 102
23: Penyebab gangguan terhadap air tanah…………………………… .... 102
24: Penyebab gangguan bau……………………………………………... 103
25: Jenis penyakit di Kota Bekasi dalam 7 tahun terakhir……………..... 104
26: Persepsi responden terhadap gangguan kesehatan tahun 2001 s/d 2004... 106
27: Umur Teknis TPA Bantar Gebang…………...…………………….... 107
28: Faktor-faktor penentu atau kunci hasil gabungan faktor existing
condition dan need analysis................................................................. 122
29: Analisis tingkat kepentingan antar faktor............................................ 129
xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1: Kerangka Pikir pemanfaatan TPA Pascaoperasi Berbasis Masyarakat.. 4


2: Diagram kerangka dasar pemikiran pengelolaan sampah.……….......... 31
3: Tahapan Kegiatan Penelitian................................................................... 45
4: Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem…....... 51
5: Peta Kota Bekasi……………………………………….…………….... 55
6: Peta TPA Bantar Gebang…………………………………………….... 57
7: Kegiatan pemulung di TPA Bantar Gebang …..............…………........ 63
8: Pengelolaan air lindi di TPA Bantar Gebang.………………………..... 66
9: Struktur Organisasi Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta.………… 69
10: Lokasi Sumur bawah dari TPA............................................................... 70
11: Perkembangan parameter pH air sumur.................................................. 74
12: Sungai C iketing (outlet)……………...……………………………....... 86
13: Perkembangan parameter Nitrat air lindi ………………....................... 92
14: Perkembangan Nitrat di IPAS Periode Oktober-Nopember 2004.......... 94
15: Perkembangan Nitrit di IPAS Periode Oktober-Nopember 2004........... 95
16: Perkembangan BOD5 di IPAS Periode Oktober-Nopember 2004……. 96
17: COD di IPAS Periode Oktober-Nopember 2004.................................... 96
18: pH di IPAS periode Oktober-November 2004........................................ 97
19: Lokasi TPA Bantar Gebang zone IV....................................................... 110
20: Struktur Hirarki ...................................................................................... 111
21: Hasil sintesis AHP untuk penggunaan zone I......................................... 112
22: Hasil sintesis AHP untuk penggunaan zone II........................................ 113
23: Hasil sintesis AHP untuk penggunaan zone III....................................... 114
24: Hasil sintesis AHP untuk penggunaan zone IV...................................... 115
25: Hasil sintesis AHP untuk penggunaan zone V........................................ 116
26: Tingkat Kepentingan faktor- faktor existing condition yang
berpengaruh pada pemanfaatan TPA Terpadu........................................ 120
xv

27: Tingkat kepentingan faktor- faktor need analysis yang berpengaruh


pada sistem pemanfaatan TPA Terpadu.................................................. 121
28: Tingkat kepentingan faktor- faktor gabungan antara existing condition
dan need analysis yang berpengaruh pada sistem pemanfaatan TPA 122
Terpadu....................................................................................................
29: Model Pemanfaatan TPA Sampah Pascaoperasi Berbasis Masyarakat.. 130
xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

Lampiran 1: Pertanyaan Analisis Prospektif.....…….……..........……………….. 141


Lampiran 2: Curah hujan bulanan di Bekasi (mm) tahun 1979-1988 Sta 841-Bekasi..... 145
Lampiran 3: Jumlah curah hujan bulanan, tahun 1979-1988 Sta 841- Bekasi.............. 146
Lampiran 4: Analisis Kualitas Air Lindi sebelum diolah IPAS I (Inlet), 2004..... 147
Lampiran 5: Analisis Kualitas Air Lindi sebelum diolah IPAS 2 (Inlet) 2004..... 148
Lampiran 6: Analisis Kualitas Air Lindi sebelum diolah IPAS 3 (Inlet), 2004.... 149
Lampiran 7: Analisis Kualitas Air Lindi sebelum diolah IPAS 4 (Inlet) 2004..... 150
Lampiran 8: Analisis Kualitas Air Lindi sesudah diolah IPAS I (Outlet), 2004... 151
Lampiran 9: Analisis Kualitas Air Lindi sesudah dio lah IPAS 2 (Outlet) 2004... 152
Lampiran 10: Analisis Kualitas Air Lindi sesudah diolah IPAS 3 (Outlet), 2004.. 153
Lampiran 11: Analisis Kualitas Air Lindi sesudah diolah IPAS 4 (Outlet) 2004... 154
Lampiran 12: Kualitas Air Lindi Titik Inlet dan Outlet Tahun 2003...................... 155
Lamp iran 13: Kualitas Air Lindi Titik Inlet dan Outlet Tahun 2002...................... 156
Lampiran 14: Kualitas Air Lindi Titik Inlet dan Outlet Tahun 2001...................... 157
Lampiran 15: Kualitas Air Lindi Titik Inlet dan Outlet Tahun 2000...................... 158
Lampiran 16: Kualitas Air Sumur di Sekitar TPA Bantar Gebang Ta hun 2003..... 159
Lampiran 17: Kualitas Air Sumur di Sekitar TPA Bantar Gebang Tahun 2002..... 160
Lampiran 18: Kualitas Air Sumur di Sekitar TPA Bantar Gebang Tahun 2001..... 161
Lampiran 19: Kualitas Air Sumur di Sekitar TPA Bantar Gebang Tahun 2000..... 162
Lampiran 20: Kualitas Air Sungai Ciketing pada titik Inlet dan Outlet.................. 163
Lampiran 21: Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) LPA Bantar Gebang.….. 164
Lampiran 22: Analisis Regresi Persepsi.................................................................. 166
Lampiran 23: Daftar pertanyaan masa lah TPA Bantar Gebang …………………. 169
Lampiran 24: Perjanjian Kerjasama No.96 Tahun 1999/168 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Sampah dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
Sampah di Kecamatan Bantar Gebang, Kota Bekasi........................ 178
xvii

Lampiran 25:
Perjanjian Tambahan (ADDENDUM) No. 127 tahun 2000 dan
227/2000 tentang Perjanjian Kerjasama Pengelolaan Sampah dan
Lampiran 26: TPA Sampah di Kecamatan Bantar Gebang, Bekasi........................
186
Perjanjian Tambahan (ADDENDUM) Kedua No.22 Tahun 2002
dan 41 Tahun 2002 tentang Perjanjian Kerjasama Pengelolaan
Sampah dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di
Kecamatan Bantar Gebang, Kota Bekasi..........................................
190
1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Salah satu masalah lingkungan hidup pada saat ini adalah masalah sampah.
Meningkatnya pertumbuhan penduduk dan aktivitasnya, memberi kontribusi signifikan
pada peningkatan sampah. Menurut Widyatmoko (2001), di kota-kota besar Indonesia
setiap orang menghasilkan sampah 2 - 2,5 liter per hari, dengan mengasumsikan bahwa
sampah yang dihasilkan mempunyai kepadatan yang sama dengan kepadatan sampah
dalam truk yaitu 0,3 – 0,35 ton per m³, maka dalam satu tahun setiap orang me nghasilkan
sampah 2,5 liter x 365 = 900 liter = 0,9 m³ atau 0,9 m³ x 0,35 kg/ m³ = 0,315 ton = 315
kg per tahun.
Jakarta dengan luas 655 km², jumlah penduduk 10.000.000 jiwa menghasilkan
sampah 25.000 m³ per hari dengan bobot 25.000 m³ x 0,35 ton = 8,750 ton per hari. Dari
jumlah tersebut, sampah yang tidak terangkut setiap harinya 7.500 m³ atau 365 hari x
7.500 m³ = 2.737.500 m³ per tahun. Sampah ini ditimbulkan dari berbagai lokasi kegiatan
masyarakat yaitu daerah perumahan 58%, pasar 10 %, daerah komersial 15 %, daerah
industri 15 %, serta jalan, taman dan sungai 2 %. Sampah-sampah ini dapat dibagi dalam
dua jenis sampah, yaitu sampah organik 65 % dan sampah non-organik 35 %. Sampah
yang terkumpul dan diangkut kurang lebih 70 % ke TPA Bantar Gebang, 16,5 % ke
lokasi- lokasi informal, dan 13 % tidak terkelola, tercecer di dalam kota, jalan atau
dibuang ke sembarang tempat misalnya ke sungai dan sepanjang pinggir jalan (Dinas
Kebersihan DKI Jakarta, 2002). Persoalan sampah merupakan permasalahan lingkungan
yang menyebar tidak mengenal batas-batas wilayah administratif, namun sistem
pengelolaannya dibatasi oleh wilayah administratif. Oleh karena itu untuk menangani
masalah persampahan dibutuhkan kerjasama antar wilayah administratif, misalnya untuk
lokasi TPA sampah.
TPA Bantar Gebang secara administratif terletak di Kota Bekasi, dengan luas 108
ha dan dapat menampung sampah 14.000 m³ per hari, saat ini meningkat menjadi 20.000
m³ per hari dengan sistem sanitary landfill. Kondisi TPA saat ini tidak mampu lagi
menampung sampah, lahan yang efektif digunakan dan mulai diisi pada setiap zone
berbeda tahunnya. Zone I total lahan 25 ha, dengan lahan efektif yang digunakan 16,8 ha,
2

saat ini ketinggian sampah 8,2 meter, lahan ini mulai diisi sejak 1989 sampai dengan
1991; zone II total lahan 23 ha, dengan lahan efektif yang digunakan 11,3 ha saat ini
ketinggian sampah 6,1 meter, lahan ini mulai diisi sejak 1992 sampai dengan 1994; zone
III total lahan 30,2 ha, dengan lahan efektif yang digunakan 20,2 ha saat ini ketinggian
sampah 8,6 meter, lahan ini mulai diisi sejak 1995 sampai dengan 1998; zone IV total
lahan 14,3 ha, dengan lahan efektif yang digunakan 11,3 ha saat ini ketinggian sampah
4,7 meter, lahan ini mulai diisi sejak 1999 sampai dengan 2001; dan zone V total lahan
15,5 ha, dengan lahan efektif yang digunakan 12,3 ha saat ini ketinggian sampah 6,1,
meter, lahan ini mulai diisi sejak 2002 sampai dengan 2003.
Pada zone yang tidak aktif terjadi proses suksesi vegetasi, timbunan sampah
besar, pembentukan gas metana, proses akumulasi, degradasi, limpasan dan peresapan
serta pembentukan air lindi yang berlangsung dan aliran air lindi ke dalam pengolahan
terus berjalan, pencemaran sumur, sungai, gas dan konflik, perlu pengelolaan yang baik.
Sedangkan pada zone yang aktif, dampak biologi khususnya keberadaan lalat tinggi 36,7
ekor per grill melebihi baku mutu Departemen Kesehatan RI Nomor 281-11/PD.03.04.11
tanggal 30 Oktober 1989 yaitu 30 per grill. Oleh karena itu pengelolaan sampah pada
zone yang masih aktif perlu memperhatikan standar sanitary landfill dengan menimbun
dan menutup sampah dengan tanah agar tidak menimbulkan bau menyengat hasil
pembusukan bahan organik yang akan merangsang keberadaan lalat.
Dengan demikian, untuk mengatasi permasalahaan TPA sampah pascaoperasi,
perlu dilakukan kajian dan analisis untuk melihat kemungkinan yang terjadi di masa
depan didasarkan pada keadaan saat ini seperti sumberdaya dan lingkungan alam, sosial
ekonomi, fisik kimia, mikrobiologi, dan keterlibatan masyarakat, dala m pemanfaatan
TPA sampah pascaoperasi berbasiskan masyarakat.

1.2. Tujuan dan Manfaat Penelitian.

A. Tujuan Penelitian
a. Melakukan evaluasi terhadap TPA saat ini dan melakukan analisis kualitas air
sumur, air sungai, air lindi, komponen mikrobiologi serta sosial ekonomi dan
kesehatan masyarakat;
b. Memilih alternatif yang sesuai untuk pemanfaatan TPA Pascaoperasi berbasis
masyarakat.
3

B. Manfaat Penelitian
a. Memberi masukan kepada Pemda DKI Jakarta maupun Pemda Kota Bekasi
alternatif memanfaatkan TPA pascaoperasi berbasis masyarakat yang sesuai
dengan kondisi lingkungan sekitar.
b. Memberi masukan untuk penanggulangan dan pengendalian pencemaran di TPA
Bantar Gebang, Bekasi Pascaoperasi.
c. Pengembangan model partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan
hidup khususnya pemanfaatan TPA Pascaoperasi.
d. Dapat digunakan kebijakan Pemerintah DKI Jakarta dan Kota Bekasi untuk
pemanfaatan TPA Bantar Gebang Pascaoperasi.
e. Meningkatkan pendalaman di bidang ilmu lingkungan yang berkaitan dengan
peranserta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan khus usnya pemanfaatan
TPA Pascaoperasi.

1.3. Kerangka Pemikiran

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang adalah suatu tempat


penampungan sampah Kota Jakarta yang lokasinya berada di Kota Bekasi. Sehubungan
telah berakhirnya pengelolaan TPA menurut Kesepakatan Kerjasama antara Pemerintah
DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Bekasi tahun 2003, maka pemanfaatan TPA Pasca
operasi berbasis masyarakat perlu mendapat perhatian yang sangat serius.
Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka kerangka pikir dalam penelitian ini
dengan menggunakan berbagai skenario yang optimal dalam memprediksi semua
kemungkinan keadaan yang akan terjadi di masa yang akan datang digunakan analisis
Prospektif (Hartrisari 2002). Permasalahan yang terjadi mulai kondisi TPA saat ini
hingga pada pemanfaatan TPA pascaoperasi dapat dilihat secara menyeluruh (holistik)
dengan melibatkan semua stakeholders yang ada di dalamnya.
Dalam rangka memanfaatkan lahan bekas TPA, maka perlu dirumuskan kebijakan
dan formulasi strategi, maka untuk menentukan alternatif pemanfaatannya digunakan
AHP, dari berbagai alternatif pemanfaatan yang diperoleh dari analisis AHP, kemudian
untuk menentukan skenario yang optimal dalam memprediksi semua kemungkinan
keadaan yang akan terjadi di masa yang akan datang digunakan analisis Prospektif .
Secara skematis kerangka pemikiran dalam merumuskan masalah penelitian ini secara
ringkas dapat dilihat pada Gambar 1.
4

TPA SAMPAH
BANTAR GEBANG

TPA SAAT INI

Luas 108, Kontrol Pembentukan air Pemulung,


5 zone, Pemerintah lindi, gas metan, penyakit menular,
sanitary landfill kurang proses akumulasi, keracunan gas,
degradasi dan mencemari sumur,
limpasan serta sungai, dan konflik.
peresapan

Analisis

FISIK KIMIA MIKROBIOLOGI SOSEKMAS


Kualitas Air Sumur, E. coli, coliform dan Persepsi dan
Sungai dan air lindi populasi lalat partisipasimasyarakat

Pemilihan alternatif
Pemanfaatan

Model Pemanfaatan TPA


Pascaoperasi Berbasis
Masyarakat

Gambar 1: Kerangka Pikir Pemanfaatan TPA Pascaoperasi Berbasis Masyarakat.


5

1.4. Perumusan Masalah

Berdasarkan informasi dari uraian sebelumnya, maka pokok permasalahannya


dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. TPA Bantar Gebang memiliki potensi timbunan sampah cukup besar, lahannya luas,
terdiri 5 zone, dengan ketinggian sampah yang masih dibawah standar sanitary landfill
rekomendasi JAICA, memiliki 4 IPAS yang masih beropersi dengan baik, dapat
dimanfaatkan beberapa alternatif kegiatan;
b. Penumpukan sampah di TPA akan menghasilkan lindi yang dapat merembes ke dalam
air tanah dan sungai, menurunkan kualitas air permukaan, sungai dan sumur
penduduk.
c. TPA menyebabkan tumbuh dan berkembangnya media pembawa penyakit seperti
lalat, kecoa, tikus, nyamuk dan cacing;
d. Bagaimana konsep pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi berbasis masyarakat.
Dalam penelitian ini aspek-aspek yang mempengaruhi pemanfaatan TPA
pascaoperasi diuraikan menjadi aspek lingkungan fisik kimia, biologi, ekonomi, sosial
budaya dan kesehatan. Analisis aspek-aspek tersebut diharapkan menghasilkan
rekomendasi dan menentukan alternatif skenario unggulan yang menjadi masukan untuk
merumuskan kebijakan pemanfaatan TPA Sampah Bantar Gebang pascaoperasi berbasis
masyarakat.
Untuk mengatasi permasalahan ini, perlu dilakukan penelitian mengenai
pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi berbasis masyarakat. Upaya pemecahan masalah
pemanfaatan TPA pascaoperasi dilakukan dengan mengetahui kondisi TPA saat ini
maupun kondisi sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat sekitar TPA kemudian
masukan dan pendapat para pakar yang kemudian dianalisis untuk mengetahui
pemanfaatan kedepan yang sesuai dengan kondisi yang ada.

1.5. Ruang Lingkup.

A. Lingkup Wilayah Penelitian


Lingkup wilayah atau lokasi penelitian adalah Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
Sampah Bantar Gebang adalah suatu tempat penampungan sampah Kota Jakarta yang
lokasinya berada di Kota Bekasi yang meliputi tiga kelurahan pada Kecamatan Bantar
6

Gebang dalam Kota Bekasi, Jawa Barat. Secara administrasi tiga kelurahan tersebut
adalah sebagai berikut: a). Kelurahan Ciketing Udik; b). Kelurahan Cikiwul; dan c).
Kelurahan Sumurbatu.

B. Lingkup Materi Penelitian

Sehubungan telah berakhirnya pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA)


Sampah Bantargebang menurut Kesepakatan Kerjasama antara Pemerintah DKI Jakarta
dan Pemerintah Kota Bekasi tahun 2003, maka ruang lingkup materi penelitian dibatasi
dengan pengembangan model pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi berbasis
masyarakat.

1.6. Hipotesis .

Berdasarkan latarbelakang dan perumusan masalah yang dikemukakan serta


sesuai dengan kerangka pemikiran dan tujuan penelitian, maka hipotesis yang diajukan
dalam penelitian ini adalah sebabagi berikut:
a. Sumur penduduk baik yang diatas maupun di bawah dari TPA dan air Sungai Ciketing
telah tercemar;
b. Alternatif terbaik pemanfaatan TPA Sampah Pascaoperasi adalah digunakan sebagai
TPA Terpadu;
c. Pemanfaatan sebagai TPA Terpadu menimbulkan multiplier effect bagi lingkungan,
masyarakat sekitar TPA dan pemerintah;

1.7. Novelty (Kebaruan)

Berkaitan dengan novelty tersebut, kebaruan penelitian yang dilakukan adalah


penyusunan model pemanfaatan TPA Sampah Pascaoperasi menjadi TPA Terpadu
dengan analisis integratif pada aspek fisik kimia, mikrobiologi serta sosial dan kesehatan
dan pendapat pakar yang berbasis masyarakat.
7

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pemberdayaan Masyarakat

Kemandirian dan keberdayaan masyarakat merupakan prasyarat untuk


menumbuhkan kemampuan masyarakat sebagai pelaku dalam pengelolaan lingkungan
hidup bersama dengan pemerintah dan pelaku pembangunan lainnya (Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1997). Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat
selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan.
Menurut McArdle (1989), pemberdayaan sebagai proses pengambilan keputusan oleh
orang-orang yang secara konsekuen melaksanakan keputusan, orang-orang yang telah
mencapai tujuan kolektif diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan merupakan
keharusan untuk lebih diberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi
pengetahuan, keterampilan serta sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan mereka
tanpa bergantung pada pertolongan dari hubungan eksternal. Namun, bukan hanya untuk
mencapai tujuannya yang penting, akan tetapi lebih pada makna pentingnya proses dalam
pengambilan keputusan. Friedmann (1992), menyatakan bahwa proses pemberdayaan
adalah upaya menjadikan suasana kemanusiaan yang adil dan beradap menjadi semakin
efektif secara struktural baik di dalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara, regional,
internasional maupun bidang politik, ekonomi dan lain- lain. Proses pemberdayaan
mengandung dua kecenderungan:
a. Menekankan pada proses pemberian atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan
atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya;
b. Kemampuan individu untuk mengendalikan lingkungannya, adalah suatu proses
pemahaman situasi yang sedang terjadi sehubungan dengan politik, ekonomi dan
sosial yang tidak dapat dipaksakan dari luar.
Pemberdayaan masyarakat dipengaruhi pula oleh faktor sosial, politik dan
psikologi. Konsep pemberdayaan masyarakat ini mencerminkan paradigma baru
pembangunan. Upaya untuk memberdayakan masyarakat adalah meningkatkan harkat
dan martabat lapisan masyarakat yang kondisinya sekarang tidak mampu untuk
melepaskan diri dari perangkap ketidak mampuan dan keterbelakangan.
8

Menurut Hikmat (2001), pemberdayaan masyarakat merupakan strategi


pembangunan yang berpusat pada kepentingan dan kebutuhan rakyat yang mempunyai
arah pada kemandirian masyarakat. Oleh karena itu dalam pemberdayaan masyarakat
pada dasarnya masyarakat perlu mengembangkan kesadaran atas potensi, masalah dan
kebutuhannya sehingga akan terwujud rasa tanggungjawab dan kesadaran untuk memiliki
dan memelihara program pengembangan masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat adalah pengalaman dan pengetahuan masyarakat
tentang keberdayaannya yang sangat luas dan berguna serta kemauan masyarakat untuk
menjadi lebih baik. Proses ini bertitik tolak untuk memandirikan masyarakat agar dapat
meningkatkan taraf hidupnya, menggunakan dan mengakses sumberdaya setempat sebaik
mungkin, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia. Konsep pemberdayaan
dalam wacana pembangunan masyarakat selalu dihubungkan dengan konsep mandiri,
partisipasi, jaringan kerja dan keadilan Hikmat (2001). Pemberdayaan dan partisipasi
merupakan strategi yang sangat potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi, sosial
dan transformasi budaya, proses ini akan dapat menciptakan pembangunan yang lebih
berpusat pada rakyat.
Melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan dalam
kegiatan pembangunan dan pemberdayaan sangat penting, menurut Uphoff (Sumardjo
dan Saharudin, 2003) ada tiga alasan utama yaitu (1) sebagai langkah awal
mempersiapkan masyarakat untuk berpartisipasi dan merupakan suatu cara untuk
menumbuhkan rasa memiliki dan rasa tanggung jawab masyarakat terhadap program
pembangunan yang dilaksanakan (2) sebagai alat untuk memperoleh informasi mengenai
kebutuhan potensi dan sikap masyarakat setempat (3) masyarakat mempunyai hak untuk
memberikan pemikir annya dalam menentukan program-program yang akan dilaksanakan
di wilayah mereka. Sedangkan menurut Oppenheum (Sumardjo dan Saharudin, 2003) ada
dua hal yang mendukung terjadinya partisipasi masyarakat dalam kegiatan pemberdayaan
dan pembangunan, yaitu: (1) adanya unsur yang mendukung untuk berperilaku tertentu
pada diri seseorang dan (2) iklim dan lingkungan yang memungkinkan terjadinya pelaku
tersebut.
Menurut Syaukani (1999), pemberdayaan tidak hanya terpusat pada individu-
individu masyarakat, tetapi juga pendukungnya misalnya peraturan, nilai- nilai modern,
9

kerja keras, hemat, keterbukaan, rasa tanggung jawab dan lain sebagainya. Pemberdayaan
masyarakat adalah kemampuan setiap individu untuk terlibat dan berperan dalam
pembangunan, dengan demikian masyarakat berhak dan wajib menyumbangkan
potensinya dalam pembangunan, sekecil dan selemah apapun kualitas sumberdaya
seseorang bisa diberdayakan dalam pembangunan di daerahnya.
Menurut Departemen Dalam Negeri (1996), Pembangunan Masyarakat Desa
adalah seluruh kegiatan pembangunan yang dilaksanakan di desa dan kelurahan dan
mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat. Kegiatan ini dilaksanakan secara terpadu
dengan mengembangkan prakarsa dan swadaya gotong royong. Dalam memperdayakan
masyarakat, pemerintah mengarahkan program-program yang diperuntukkan dan
langsung akan dinikmati masyarakat, rencana dan pelaksanaannya dilakukan oleh
masyarakat dan lembaga kemasyarakatan yang pelaksanaannya dilakukan oleh LKMD.
Pemberdayaan masyarakat adalah upaya meningkatkan kemampuan dan kualitas
sumberdaya manusia dan masyarakat agar mampu secara mandiri melaksanakan kegiatan
pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraannya, dengan tujuan dan sasarannya,
meningkatkan kualitas manusia dan masyarakat; pencapaian tujuan pembangunan
masyarakat; semangat membangun pada seluruh masyarakat; dan menempatkan manusia
sebagai subyek pembangunan. Sasarannya adalah pimpinan lembaga kemasyarakatan;
tokoh masyarakat dan warga masyarakat dengan tidak membedakan jenis kelamin.
Pemberdayaan masyarakat adalah suatu kegiatan yang bertujuan membekali
keterampilan dan pengetahuan kepada masyarakat agar mampu memberikan kontribusi
dan dukungan terhadap proses pembangunan yang terjadi di lingkungannya. Masyarakat
akan ikut menangani limbah domestik apabila mereka memiliki "keberdayaan", sehingga
pemberdayaan masyarakat menjadi penting dan mendesak (Ditjen Bina Bangda, 2002).
Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, menempatkan otonomi daerah secara utuh
pada daerah Kabupaten dan Daerah Kota dengan tujuan untuk memberdayakan
masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peranserta
masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD). Atas dasar ini, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mempunyai kewenangan
dan keleluasaan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan
aspirasi masyarakat (Elfian, 2001).
10

Prinsip dasar otonomi daerah adalah memberdayakan daerah dan pemberdayaan


masyarakat. Agar Pemerintah Daerah mampu mengelola sumberdaya secara optimal,
keputusan publik harus mampu menjawab permasalahan dengan memanfaatkan
sumberdaya secara optimal di bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.
Pemberdayaan masyarakat mempunyai makna sejauh mana masyarakat terlibat dalam
pengambilan keputusan, melaksanakannya dan mengawasi keputusan tersebut, termasuk
peningkatan kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan menuju kemandirian, sehingga
berperan sebagai penjinak bencana bukan menjadi korban bencana (Jurnal Otonomi
Daerah, 2001).
Selanjutnya menurut Bangd a (2002), strategi pemberdayaan masyarakat antara
lain adalah:
a. Keterbukaan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan limbah domestik, yang segala
sesuatunya dibicarakan dengan masyarakat, sehingga masyarakat menjadi faham dan
mengerti.
b. Responsif dan aspiratif, menampung dan menindaklanjuti keinginan masyarakat dan
tidak membiarkan masalah menjadi berlarut-larut.
c. Jemput bola, tidak menunggu timbul masalah baru bekerja, tetapi aktif untuk
membantu masyarakat dalam keadaan apapun.
d. Dengan membentuk kelompok (1 kelompok = 10 orang) untuk mengelola dan
menangani limbah domestik, kelompok ini menjadi ujung tombaknya.
e. Mengembangkan semangat “perang terhadap limbah domestik” dalam diri
masyarakat melalui media elektronik, cetak, spanduk dan brosur.
f. Mengembangkan budaya bersih dan sehat dalam lingkungan RT, RW dan Desa atau
Kelurahan.
Pelaksanaannya dapat berbentuk peningkatan pengetahuan dan keterampilan
masyarakat antara lain: kursus, pelatihan, orientasi, lokakarya, seminar, studi banding,
diseminasi dan sosialisasi. Setelah masyarakat memiliki pengetahuan dan keterampilan
diharapkan mampu dan ikut serta dalam pengelolaan limbah domestik. Menurut Stewart
(1994) pemberdayaan merupakan pelimpahan proses pengambilan keputusan dan
tanggung jawab secara penuh. Pemberdayaan bukan berarti melepaskan pengendalian,
tapi menyerahkan pengendalian. Dengan demikian pemberdayaan bukanlah masalah
11

hilangnya pengendalian atau hilangnya hal- hal lain, yang paling penting pemberdayaan
memungkinkan pemanfaatan kecakapan dan pengetahuan masyarakat seoptimal mungkin
untuk kepentingan masyarakat itu sendiri.
Pemberdayaan menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat
yang belum berkembang sebagai pihak yang harus diberdayakan, dan pihak yang
menaruh kepedulian sebagai pihak memberdayakan, Sumodiningrat (1997). Dalam kaitan
dengan upaya memberdayakan masyarakat guna mencapai kehidupan yang lebih baik.
Payne (1997) suatu proses pemberdayaan bertujuan membantu masyarakat memperoleh
daya untuk mengambil kep utusan dan menentukan tindakan yang dilakukan melalui
peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang dimiliki
masyarakat, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya. MAcArdle (1989)
mengemukakan bahwa hal terpenting dalam pemberdayaan adalah partisipasi aktif dalam
setiap proses pengambilan keputusan.
Menurut Hikmat (2001), proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan;
Pertama, proses pemberdayaan dengan kecenderungan primer menekankan pada proses
memberikan keleluasaa n, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu
yang bersangkutan menjadi lebih berdaya. Proses ini dapat dilengkapi dengan upaya
membangun aset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui
organisasi. Kedua, proses pemberdayaan dengan kecenderungan sekunder menekankan
atau memotivasi agar individu mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk
menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Seringkali
kecendrungan primer terwujud melalui kecenderungan sekunder terlebih dahulu.
Selanjutnya disebutkan bahwa proses pemecahan masalah berbasiskan pemberdayaan
masyarakat yang berdasarkan prinsif bekerja bersama masyarakat mempunyai hak- hak
yang harus dihargai, sehingga masyarakat lebih mampu mengenali kebutuhannya dan
dilatih untuk dapat merumuskan rencana serta melaksanakan pembangunan secara
memadai dan swadaya. Dalam hal ini, praktisi pembangunan berperan dalam
memfasilitasi proses dialog, diskusi, curah pendapat dan mensosialisasikan temuan
masyarakat.
Menurut Moebyarto (1995), pemberdayaan masyarakat mengacu kepada
kemampuan masyarakat untuk mendapatkan dan memanfaatkan akses dan kontrol atas
12

sumber hidup yang penting. Proses pemberdayaan merupakan wujud perubahan sosial
yang menyangkut relasi antara lapisan sosial sehingga kemampuan individu "senasib"
untuk saling berkumpul dalam suatu kelompok cenderung dinilai sebagai bentuk
pemberdayaan yang paling efektif. Dalam rangka mewujudkan kesamaan derajat yang
lebih besar antara perempuan dan laki- laki, pemberdayaan pere mpuan merupakan proses
kesadaran pembentukan kapasitas terhadap partisipasi perempuan yang lebih besar dan
tindakaan transformasi. Dalam rangka peningkatan partisipasi aktif laki- laki dan
perempuan, maka perempuan harus terlibat secara proporsional, sehingga dapat
menciptakan kemitraan yang adil, IRC, UNICEF dan Yayasan Dian Desa (1999).
Strategi pemberdayaan perempuan sebagai mitra sejajar laki- laki menggunakan
pendekatan dua arah, yaitu saling menghormati, saling mendengar dan menghargai
keinginan serta pendapat orang lain. Dalam proses pemberdayaan ini, terjadi pembagian
kekuasaan secara demokratis atas dasar kebersamaan, keutamaan dan tenggang rasa.
Pemberdayaan perempuan sebagai mitra sejajar laki- laki adalah kondisi dimana laki- laki
dan perempuan memiliki kesamaan hak dan kewajiban yang terwujud dalam kesempatan,
kedudukan, peranan yang dilandasi sikap dan perilaku yang saling membantu dan
mengisi disemua bidang kehidupan (Priyono , 1996).
Praktek proyek pembangunan menunjukkan bahwa pendekatan partisipatif tidak
secara otomatis diterapkan dengan cara yang sensitif gender. Bila tidak ada kaitan
tertentu yang dilakukan untuk melibatkan semua segmen dalam komunitas dalam aksi
partisipatif dari proyek, yang biasanya terjadi adalah laki-laki yang berpendidikan dan elit
yang terlibat seperti yang ada dalam struktur kekuasaan dimana suara perempuan anggota
masyarakat yang tidak beruntung dan miskin tidak didengar, Hemelrijk, et al (2001).
Partisipasi merupakan komponen penting dalam pembangkitan kemandirian dan proses
pemberdayaan (Craig dan Mayo, 1995). Partisipasi aktif dalam setiap proses pengambilan
keputusan merupakan hal penting dalam pemberdayaan. Faktor- faktor determinin yang
mempengaruhi proses pemberdayaan, antara lain, perubahan sistem sosial yang
diperlukan sebelum pembangunan yang sebenarnya dimungkinkan terjadi. Karena itu
perubahan struktur sosial masyarakat dalam sistem sosial menjadi faktor terpenting dalam
melaksanakan pemberdayaan masyarakat, termasuk di dalamnya sistem ekonomi dan
politik (Rojek, 1986).
13

Di dalam kerangka pemberdayaan dan kemandirian masyarakat, maka haruslah


terjadi pergeseran fungsi birokrasi sebagai fasilitator. Selayaknya birokrasi harus kembali
ke hakikat fungsi yang sebenarnya ialah sebaga i pelayan masyarakat, bukan
mencampuradukan dengan pembangunan maupun pemberdayaan. Rakyat memegang hak
dan wewenang yang tinggi untuk menentukan kebutuhan pembangunan, ikut terlibat
secara aktif dalam pembangunan dan mengontrolnya serta memperoleh fasilitas dari
pemerintah (Santoso, 2002).
Jadi pemberdayaan masyarakat adalah memberi daya atau kekuatan dan
kemampuan serta meningkatkan harkat dan martabat untuk dapat berdiri sendiri diatas
kakinya sendiri melalui penyuluhan dan pendampingan pada suatu kegiatan yang
bertujuan membekali keterampilan dan pengetahuan kepada masyarakat agar mampu
memberikan kontribusi dan dukungan terhadap pembangunan di lingkungannya.

2.2. Partisipasi Masyarakat

Partisipasi berasal dari bahasa Inggris "participation" yang berarti ambil bagian
atau melakukan kegiatan bersama-sama dengan orang lain. Sedangkan dalam kamus
Webster, arti partisipasi "mengambil bagian atau ikut menanggung bersama orang lain"
Natsir (1986). Apabila dihubungkan dengan masalah sosial, maka arti partisipasi adalah
suatu keadaan dimana seseorang ikut merasakan sesuatu bersama -sama dengan orang lain
sebagai akibat adanya interaksi sosial, Fairchild (1977). Secara harfiah, partisipasi berarti
"turut berperanserta dalam suatu kegiatan", "keikutsertaan atau peran serta dalam suatu
kegiatan", "peran serta aktif atau proaktif dalam suatu kegiatan". Partisipasi dapat
didefinisikan secara luas sebagai "bentuk keterlibatan dan keikutsertaan masyarakat
secara aktif dan sukarela, baik karena alasan-alasan dari da lam dirinya maupun dari luar
dirinya dalam keseluruhan proses kegiatan yang bersangkutan" (Moeliono, 2004).
Dari sudut terminologi partisipasi masyarakat dapat diartikan sebagai suatu cara
melakukan interaksi antara dua kelompok, yaitu kelompok yang selama ini tidak
diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan dan kelompok yang melakukan
pengambilan keputusan. Partisipasi masyarakat merupakan insentif moral untuk
mempengaruhi lingkup- makro yang lebih tinggi, tempat dibuatnya suatu keputusan-
keputusan yang sangat menentukan kesejahteraan mereka.
14

Tjokroamidjojo (1990), menyatakan bahwa partisipasi masyarakat adalah


keterlibatan masyarakat dalam menentukan arah, strategi dalam kebijaksanaan kegiatan,
memikul beban dan pelaksanaan kegiatan, memetik hasil dan manfaat kegiatan secara
adil. Partisipasi berarti memberi sumbangan dan turut serta menentukan arah atau tujuan
pembangunan, yang ditekankan adalah hak dan kewajiban setiap orang. Koentjaraningrat
(1974) berpendapat bahwa partisipasi berarti memberi sumbangan dan turut menentukan
arah atau tujuan pembangunan, dimana ditekankan bahwa partisipasi itu adalah hak dan
kewajiban bagi setiap masyarakat.
Jadi partisipasi dapat diartikan sebagai sesuatu keterlibatan seseorang atau
masyarakat untuk berperanserta secara aktif dalam suatu kegiatan, dalam hal ini kegiatan
pembangunan untuk menciptakan, melaksanakan serta memelihara lingkungan yang
bersih dan sehat. Peranserta masyarakat berarti masyarakat ikut serta, yaitu mengikuti dan
menyertai pemerintah dalam memberikan bantuan guna meningkatkan, memperlancar,
mempercepat dan menjamin keberhasilan usaha pembangunan Santoso dan Iskandar
(1974). Masyarakat diharapkan ikut serta, karena hasil pembangunan yang dilaksanakan
pemerintah bersama-sama dengan masyarakat adalah untuk kesejahteraan masyarakat
sendiri, dalam hal ini pemerintah memberi bantuan dan masyarakat mempunyai
tanggapan untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses pembangunan tersebut. Agar
masyarakat dapat berpartisipasi dalam pembangunan diperlukan tiga syarat sebagai
berikut: 1). adanya kesempatan untuk membangun; 2). adanya kemauan untuk
memanfaatkan kesempatan; dan 3). adanya kemauan untuk berpartisipasi dalam
pembangunan.
Secara teoritis, partisipasi merupakan alat dan sekaligus tujuan pembangunan
masyarakat. Sebagai alat pembangunan, partisipasi berperan sebagai penggerak dan
pengarah proses perubahan sosial yang dikehendaki, demokratisasi kehidupan sosial
ekonomi serta yang berasaskan kepada pemerataan dan keadilan sosial, pemerataan hasil
pembangunan yang bertumpu pada kepercayaan kemampuan masyarakat sendiri,
selanjutnya sebagai tujuan pembangunan, partisipasi merupakan bentuk nyata kehidupan
masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur, Cary (1970). untuk menjamin
kesinambungan pembangunan, maka partisipasi masyarakat harus tetap diperhatikan dan
dikembangkan. Menurut Cary (1970), agar partisipasi dalam pembangunan dapat terus
15

berkembang perlu diperhatikan prasyarat sebagai berikut: 1). aspek partisipasi yang
mendasar adalah luasnya pengetahuan dan latar belakang kemampuan untuk
mengidentifikasi dan menentukan prioritas pemecahan masalah; 2). adanya kemampuan
untuk belajar terhadap berbagai masalah sosial dan cara mengambil keputusan
pemecahannya; dan 3). kemampuan untuk mengambil tindakan secara cepat dan tepat.
Menurut Cressey (1987), partisipasi menjadi fokus utama dalam usaha
peningkatan tarap hidup masyarakat, dan tidak dapat dilepaskan dari pertanyaan-
pertanyaan tentang kewenangan, otoritas, legitimasi serta pengendalian dan tampak
terkait dengan aspek-aspek politik. Dalam prakteknya, partisipasi tidak dapat
didefinisikan secara terbatas, tergantung pada aktor yang terlibat. Terdapat beberapa
model partisipasi pada saat ini yang didasarkan pada pemikiran dan pendekatan terhadap
persoalan, beberapa tipe partisipasi itu ialah:
a. Partisipasi dilihat sebagai kesatuan organik dari kepentingan perusahaan (organic
unity of interest) partisipasi mengambil tempat melalui kerja kelompok dan struktur
untuk mengusahakan aspek-aspek peningkatan dan pengembangan sesuai dengan
sasaran dan tujuan perusahaan.
b. Partisipasi berdasarkan lembaga yang ada (statutory), biasanya dijumpai pada
masyarakat yang memiliki konsensus politik yang stabil, umumnya bersifat formal,
biasanya dimulai dari legalitas, berkembang ke lembaga-lembaga seperti perwakilan
atau pengaturan tripartit.
c. Partisipasi sukarela (voluntary), tidak diprogram, muncul berdasarkan kebutuhan
kelompok dan kebutuhan perusahaan dan bersifat positif kadang-kadang kepada
pengambil keputusan bersama perusahaan.
d. Partisipasi manajeman sendiri (self management) yang mengembangkan demokrasi
dan formalitas kontitusi seperti diskusi investasi dan pengembangan.
Menurut Hassan (1973), partisipasi dalam pembangunan berarti masyarakat ikut
ambil bagian dalam suatu kegiatan, ikut ambil bagian dalam suatu kegiatan hanya dapat
diharapkan bila yang bersangkutan merasa dirinya berkepentingan dan diberi kesempatan
untuk ambil bagian. Dengan kata lain, partisipasi tidak mungkin optimal jika diharapkan
dari mereka yang merasa tidak berkepentingan terhadap suatu kegiatan, dan juga tidak
optimal jika mereka yang berkepentingan tidak diberi keleluasaan untuk ambil bagian.
16

Sedangkan Poerwadarminta (1986), berpendapat bahwa masyarakat adalah pergaulan


hidup manusia (sehimpunan orang yang hidup bersama disuatu tempat dengan ikatan-
ikatan aturan yang tertentu). Selanjutnya Soekanto (1986) berpendapat bahwa masyarakat
adalah kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja secara cukup lama sehingga
mereka dapat mengatur diri sendiri dan menganggap diri mereka suatu kesatuan sosial
dengan batas-batas yang telah dirumuskan dengan jelas. Masyarakat adalah sekelompok
orang yang mempunyai identitas sendiri, yang membedakan dengan kelompok lain dan
hidup diam dalam wilayah atau daerah tertentu secara tersendiri. Kelompok ini, baik
sempit maupun luas mempunyai peranan akan adanya persatuan di antara anggota
kelompok dan menganggap dirinya berbeda dengan kelompok lain. Mereka memiliki
norma-norma, ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan yang dipatuhi bersama
sebagai suatu ikatan. Perangkat dan pranata tersebut dijadikan pedoman untuk memenuhi
kebutuhan kelompok dalam arti seluas- luasnya (Widjaja, 1986).
Jenssen (1992) berpendapat, berbagai kelompok pada hakekatnya terlibat dalam
pembangunan di daerah seperti administratur pembangunan, politisi, spesialis, teknisi,
kelompok tani, pedagang, pelaku bisnis, manajer perorangan, guru, anggota lembaga
keuangan dan organisasi-organisasi lainnya. Untuk itu, kontribusi mereka dalam
mempersiapkan perencanaan yang direfleksikan dalam kepentingan gagasan, usulan dan
harapan merupakan hal yang sangat diperlukan. Selanjutnya Departemen Dalam Negeri
(1982), menyatakan bahwa partisipasi dilakukan dalam berbagai refleksi di antaranya
dalam pengambilan keputusan, baik secara individu maupun secara institusional misalnya
melalui kegiatan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) dan Lembaga
Masyarakat Desa (LMD). Upaya meningkatkan peranserta masyarakat dibutuhkan dalam
pembangunan agar dapat memberikan hasil yang optimal. Partisipasi masyarakat dalam
perencanaan secara teknis berlangsung berdasarkan pertimbangan sasaran dan tujuan.
Sasaran yang dimaksud meliputi pembenahan administratif dan kepentingan umum.
Selanjutnya Cressey (1987), menyatakan bahwa partisipasi dipengaruhi oleh konteks
sosial ekonomi atau pemasaran, teknologi dan produktivitas, serta organisasi sosial dan
kelembagaan. Selanjutnya menurut Cressey (1987) dan FAO (1991), bahwa komponen
penting dalam partisipasi meliputi: waktu dan tahapan, isi kegiatan dan konstruksi proses
termasuk didalamnya aktor yang terlibat.
17

Hamidjojo (1993) mengemukakan bahwa partisipasi masyarakat yang berintikan


gotong-royong yang diangkat dari tradisi khas bangsa Indonesia dengan diberi
persyaratan atau kualifikasi baru, yaitu rasionalitas, otoaktivitas (swadaya, individualitas
atau kepribadian yang otonom, masyarakat yang dewasa dan harus bisa menolong diri
sendiri. Keberhasilan partisipasi masyarakat haruslah didasari kewajaran, kesukarelaan,
sikap, dan prilaku aktif yang langgeng. Dalam partisipasi masyarakat terkandung dua
makna dwitunggal, yaitu bahwa swadaya dan gotong-royong, dan merupakan suatu
prinsif kerjasama dan bentuk kerja yang spontan, di antara warga desa dan antara warga
desa dan Kepala Desa beserta Pamong Desa, yang mengandung unsur: kekuatan atau
prakarsa sendiri, berupa pengarahan kemampuan pikiran, tenaga, sosial dan hartabenda
(daya), melaksanakan pekerjaan bagi kepentingan lingkungan tetangga, masyarakat dan
pemerintah (rumah tangga) desa, dengan menjunjung tinggi semangat kebersamaan dan
rasa keterikatan timbal balik dalam meraih dan menikmati hasil karya.
Partisipasi diartikan mengambil bagian atau ikut serta menanggung bersama orang
lain. Jika dihubungkan dengan masalah sosial, maka arti pe rtisipasi adalah suatu keadaan
yang seseorang ikut merasakan sesuatu bersama -sama dengan orang lain sebagai akibat
adanya interaksi sosial (Fairchild, 1977). Hasil studi Uphoff dalam Cernea (1988)
terhadap tiga proyek pembangunan pedesaan di Gana, Meksiko, dan Nepal
menyimpulkan bahwa kegagalan suatu proyek disebabkan oleh ketergantungan yang luar
biasa pada perencanaan yang tersentralisasi, tidak mendorong partisipasi. Bahkan
sekalipun perencanaan mulai memperhatikan partisipasi, analisis lebih lanjut
menunjukkan bahwa organisasi sosial dalam partisipasi tergolong lemah atau malahan
tidak ada. Selanjutnya Uphoff (1988) lebih lanjut mendefinisikan lima cara untuk
menjamin partisipasi pemanfaat dalam rancangan proyek dan pelaksanaan. Pertama, taraf
partisipas i yang dikehendaki meski diperjelas sejak semula dan dengan cara yang dapat
diterima untuk semua pihak. Kedua, harus ada tujuan yang realistis untuk partisipasi dan
kelonggaran meski diberikan untuk kenyataan bahwa beberapa tahap perencanaan relatif
berlarut, sedangkan fase lainnya akan lebih singkat. Ketiga, dikebanyakan bagian dunia
perlengkapan khusus untuk memperkenalkan dan mendukung partisipasi memang
diperlukan. Keempat, meski ada komitmen rencana untuk bersama-sama memikul
tanggung jawab di semua tahap siklus proyek. Pada akhirnya disimpulkan bahwa tidak
18

semata dalam pembuatan keputusan proyek, tetapi juga menggali pengetahuan penduduk,
mencatat bidang keahlian lokal yang dapat memberikan kontribusi sesungguhnya bagi
rancangan proyek: mengumpulkan data sosial ekonomi, memantau dan mengevaluasi
proyek yang dikumpulkan oleh orang luar; memberikan pemahaman teknis; dan
memberikan kontribusi informasi ruang dan sejarah tentang proyek terdahulu yang
mungkin sejenis dan penyebab keberhasilan dan kegagalan.
Menurut Davis dalam Sastropoetro (1988), ada beberapa syarat agar terdapat
pertisipasi yang efektif, diantaranya adalah kemampuan. Seseorang dengan kemampuan
ekonomi yang tinggi mampu berpartisipasi dalam berbagai bentuk, misalnya tenaga,
uang, ide atau pemikiran dan sebagainya. Hal ini berarti bahwa tingkat partisipasinya
juga lebih tinggi dibanding seseorang yang kemampuan ekonominya lebih rendah. Di
samping itu partisipasinya juga lebih bersifat "murni" tanpa pamrih, tanpa motif ekonomi.
Sebaliknya, seseorang yang kemampuan ekonominya rendah akan berpartisipasi atas
dasar pamrih, yakni untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Kebutuhan ini bisa
terpenuhi dengan berpartisipasi sebagai tenaga kerja, untuk memperoleh upah. Sedangkan
menurut Arianta (1995) dalam penelitiannya mengenai partisipasi anggota lembaga
perkeriditan desa menemukan bahwa faktor ekonomi merupakan salah satu faktor
penyebab utama partisipasi dari anggota lembaga tersebut. Anggota masyarakat
terdorong untuk berpartisipasi terhadap lembaga tersebut karena faktor ekonomi berupa
keinginan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak.
Menurut GTZ (1997), pendekatan partisipatif diperlukan untuk melibatkan semua
pihak sejak langkah awal, mulai tahapan analisis masalah, penetapan rencana kerja
sampai pelaksanaan dan evaluasinya. Kegiatan partisipatif dapat dikelompokkan pada
dua kelompok sasaran yaitu: partisipasi para pengambil keputusan, dan partisipasi
kelompok setempat yang terkait dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Dengan adanya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup,
apabila berjalan sesuai dengan peraturan yang ada dan setiap masyarakat menjalankannya
secara obyektif tidak hanya mengutamakan kepentingan dirinya atau kelompoknya saja,
maka kerugian yang akan timbul tidak akan berarti dibandingkan manfaatnya (Suratmo,
1977). Selanjutnya menurut Suratmo (1999), manfaat partisipasi adalah:
19

a. Masyarakat dapat mengetahui rencana pembangunan di daerahnya, dan mengetahui


dampak yang akan terjadi, serta dapat menanggulangi.
b. Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai masalah lingkungan.
c. Masyarakat dapat menyampaikan informasi dan pendapatnya atau persepsinya kepada
pemerintah.
d. Pemerintah mendapatkan informasi dari masyarakat yang tidak ada dalam Amdal.
e. Dapat dihindarinya kesalah pahaman dan terjadinya konflik.
f. Masyarakat akan dapat menyiapkan diri untuk menerima manfaat proyek.
g. Meningkatnya perhatian dari pemerintah dan pemrakarsa proyek pada masyarakat.
Kerugian partisipasi masyarakat yang sering terjadi berdasarkan pengalaman di Amerika
Serikat menurut Canter (1977), adalah:
a. Informasi yang masuk dari masyarakat bermacam- macam bentuknya, mempersulit
untuk mengambil keputusan.
b. Informasi dan pendapat dari masyarakat yang tidak banyak tahu atau tidak memahami
mengenai proyek pembangunan, dampak dan pengelolaan lingkungan.
c. Masyarakat terkadang tidak berminat lagi dalam dengar pendapat, karena penjelasan
yang diberikan pada masyarakat sering terlalu teknis.
d. Penyimpulan pendapat masyarakat tidak selalu berpegang pada pendapat terbanyak
(mayoritas), tetapi berdasarkan pendapat-pendapat dan informasi yang logis dan dapat
diterima secara ilmiah oleh pemerintah.
e. Kalau ada perbedaan pendapat diantara kelompok masyarakat, maka rumusan atau
keputusan yang akan diambil menyebabkan selalu ada kelompok yang tidak puas.
f. Dimanipulasikan untuk kepentingan pribadi atau suatu kelompok yang tidak baik.

Partisipasi ini dikatagorikan sebagai partisipasi langsung. Sebaliknya ada


partisipasi tidak langsung, yaitu apabila warga dikerahkan karena adanya gagasan dari
atas dimana warga dimobilisasi, dikerahkan secara paksa untuk aktif dalam kegiatan
lingkungan (Huntington and Nilson (1977). Menurut Adimihardja (2001), proses
partisipasi sesungguhnya adalah keterlibatan masyarakat secara menyeluruh mulai dari
tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi, antara lain adalah:
a. Tahap perencanaan, dilakukan jika praktek pembangunan tidak berjalan sebagai
perencana untuk masyarakat, tetapi sebagai pendapat dalam proses perencanaan yang
20

dilakukan oleh masyarakat, dengan melakukan diskusi kelompok terarah untuk


membahas persoalan-persoalan yang terjadi diantara kelompok-kelompok atas
organisasi sosial masyarakat dan mempraktekan analisa pola keputuasan yang
dilakukan masyarakat dalam proses perencanaan.
b. Tahap pelaksanaan perencanaan partisipatif merupakan konsekwensi logis dari
implementasi pemberdayaan masyarakat, masyarakat mempunyai peran utama,
sebagai pengelola perencanaan mulai identifikasi potensi dan pendayagunaan sumber-
sumber lokal sehingga penyusunan usulan rencana serta evaluasi mekanisme
perencanaan. Tahap pengawasan dan evaluasi kegiatan pengawasan dan evaluasi
partisipatif, teknik dan prosedur, instrumentasi, pengumpulan, pengelolaan dan
analisis data, serta pelaporan harus diberikan kewenangan kepada masyarakat untuk
melakukan kegiatan pengawasan dan evaluasi internal, seperti Tabel 1.
Tabel 1. Evaluasi Partisipatif
Aspek Evaluasi Partisipatif
Siapa Anggota masyarakat, staf proyek, fasilitator masyarakat mengidentifikasi
sendiri indikator keberhasilan termasuk hasil produk yang akan dicapai.
Apa Evaluasi sendiri, produk sederhana yang diadaptasi dengan budaya lokal,
ada diskusi hasil dengan melibatkan partisipan dalam proses evaluasi.
Bagaimana Evaluasi sendiri, metode sederhana yang diadaptasi dengan budaya lokal,
ada diskusi hasil yang melibatkan persyaratan dalam proses evaluasi.
Kapan Tergantung atas proses perkembangan masyarakat dan intensitas relatif
sering.
Mengapa Pemberdayaan masyarakat lokal untuk intensitas, mengontrol, melakukan
tindakan koreksi.
Sumber: Narayama (1993).
Sedangkan Angell dalam Murray and Lappin (1967), menyatakan bahwa faktor-
faktor yang mempengaruhi partisipasi seseorang dalam mengikuti kegiatan di
lingkungannya, antara lain: umur, pekerjaan, penghasilan, pendidikan dan lama tinggal.
Individu yang berusia menengah keatas cendrung untuk aktif berpartisipasi dalam
kegiatan yang ada dilingkungannya. Individu yang mempunyai pekerjaan tetap cend erung
untuk berpartisipasi. Begitupula dengan penghasilan, makin tinggi penghasilan makin
banyak partisipasi yang dib erikan, sebab jika seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan
dirinya dan keluarganya cend erung untuk tidak berpartisipasi.
21

Inkeles (1969) menyatakan bahwa faktor- faktor yang mempengaruhi partisipasi


seseorang dalam mengikuti kegiatan di lingkungannya, antara lain: umur, penghasilan,
pekerjaan, pendidikan dan lama tinggal. Individu yang mempunyai tingkat pendidikan
dan penghasilan yang tinggi cenderung untuk aktif berpartisipasi dalam kegiatan yang
ada di lingkungannya. Ia juga mengemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan
individu, semakin luas pengetahuannya dan kesadarannya terhadap lingkungan yang
akhirnya akan diikuti dengan keterlibatannya pada masalah-masalah kemasyarakatan.
Faktor lama tinggal juga merupakan salah satu faktor yang tidak kecil perannya dalam
mempengaruhi partisipasi seseorang dalam kegiatan yang ada di lingkungannya. Semakin
lama tinggal di suatu tempat, semakin besar rasa memiliki dan perasaan dirinya sebagai
bagian dari lingkungannya, sehingga timbul keinginan untuk selalu menjaga dan
memelihara lingkungan dimana dia menetap. Partisipasi dapat bersifat individual atau
kolektif, terorganisasi atau tidak terorganisasi yaitu secara spontan dan sukarela.
Pada hakekatnya, strategi dan pendekatan pembangunan manusia adalah
menumbuhkan otonomi perilaku pribadi dan sosial yang terintegrasi. Interaksi tersebut
merupakan kristalisasi dan faktor- faktor situasional dan beserta kognisi, keinginan, sikap,
motivasi dan responnya. Latar belakang sosial kultural, status sosial dan tingkat
kehidupan menentukan kesempatan dan kemampuan untuk turut berproses dalam
pembangunan. Faktor internal manusia dan lingkungan sosial, terutama lembaga sosial
untuk menumbuhkan self sustain capacity masyarakat, bekerjasama dengan lembaga
pemerintahan mempunyai makna penting dalam pembangunan sumberdaya manusia yang
berkelanjutan (Supriatna, 1997). Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan akan
terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila terpenuhi faktor-faktor yang
mendukungnya, yaitu: (1) adanya kesempatan, yaitu adanya suasana atau kondisi
lingkungan yang disadari oleh orang tersebut bahwa dia berpeluang untuk berpartisipasi,
(2) adanya kemauan; adanya sesuatu yang mendorong/menumbuhkan minat dan sikap
mereka untuk termotivasi, misalnya berupa manfaat yang dapat dirasakan atas
partisipasinya tersebut, (3) adanya kemauan, yaitu adanya kesadaran atau keyakinan pada
dirinya bahwa dia mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi, baik pikiran, tenaga,
waktu atau sarana dan material lainnya (Slamet, 1994).
22

Ketiga faktor tersebut akan dipengaruhi oleh berbagai faktor di seputar kehidupan,
manusia yang paling berinteraksi atau dengan lainnya, seperti psikologis individu (needs,
harapan, motif, reward) pendidikan, adanya informasi, keterampilan, teknologi,
kelembagaan yang mendukung, struktur dan stratifikasi sosial, budaya lokal serta
peraturan dan pelayanan pemerintah. Sedangkan menurut Oppenheim (1973) dalam
Sumardjo dan Saharudin (2003), ada unsur yang mendukung untuk berperilaku tertentu
pada diri seseorang dan terdapat iklim atau lingkungan yang memungkinkan terjadinya
perilaku tertentu.
Menurut Sahidu (1998) faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemauan
masyarakat untuk berpartisipasi adalah motif harapan, dan penguatan informasi. Faktor
yang memberikan kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi adalah pengaturan dan
pelayanan, kelembagaan, struktur dan stratifikasi sosial, budaya lokal, kepemimpinan,
sarana dan prasarana. Faktor yang mendorong adalah pendidikan, modal dan pengalaman
yang dimiliki. Terdapat tiga prinsip dasar dalam menumbuhkan partisipasi masyarakat
desa agar ikut serta dalam pembangunan, yaitu: (1) Learning process (learning by doing) :
Proses kegiatan dengan melakukan aktivitas kegiatan pelaksanaan program dan sekaligus
mengamati, menganalisa kebutuhan dan keinginan masyarakat; (2). Institusional
development. Melakukan kegiatan melalui pengembangan pranata sosial yang sudah ada
dalam masyarakat. Karena institusi atau pranata sosial masyarakat merupakan daya
tampung dan daya dukung sosial; (3) Participatory. merupakan suatu pendekatan yang
umum dilakukan untuk dapat menggali need yang ada dalam masyarakat (Marzali, 2003).
Menurut Hikmat (2001), pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang
sangat potensial dalam rangka peningkatan ekonomi, sosial dan transformasi budaya,
proses ini pada akhirnya dapat menciptakan pembangunan yang lebih berpusat pada
rakyat. Secara sederhana partisipasi mengandung makna peran serta seseorang untuk
sekelompok orang atau sesuatu pihak dalam suatu kegiatan atau upaya mencapai sesuatu
secara sadar diinginkan oleh pihak yang berperan serta tersebut. Bila menyangkut
partisipasi dalam pembangunan masyarakat, maka menyangkut keterlibatan secara aktif
dalam pengambilan keputusan, pelaksanaan, evaluasi dan menikmati hasilnya atas suatu
usaha perubahan masyarakat yang direncanakan untuk mencapai tujuan-tujuan
masyarakat (Sumardjo dan Saharudin (2003). Sedangkan menurut Bumberger dan Shams
23

(1989), terdapat dua pendekatan mengenai partisipasi masyarakat. Pertama, partisipasi


merupakan proses sadar tentang pengembangan kelembagaan dan pemberdayaan dari
masyarakat yang kurang beruntung berdasarkan sumberdaya dan kapasitas yang
dimilikinya. Dalam proses ini tidak ada campur tangan dan prakarsa pemerintah. Kedua,
partisipasi harus mempertimbangkan adanya investasi dari pemerintah dan LSM, di
samping peran serta masyarakat. Hal ini sangat penting untuk implementasi proyek yang
lebih efisien, mengingat kualitas sumber daya dan kapasitas masyarakat tidak memadai,
jadi, masyarakat miskin tidak leluasa sebebas-bebasnya bergerak sendiri berpartisipasi
dalam pengembangan kelembagaan dan pemberdayaan.
Partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan berdasarkan sifatnya
dapat dibedakan menjadi yang bersifat konsultatif dan bersifat kemitraan. Dalam
partisipasi masyarakat dengan pola hubungan konsultatif antara pihak pejabat pengambil
keputusan dengan kelompok masyarakat yang berkepentingan, anggota-anggota
masyarakatnya mempunyai hak untuk didengar pendapatnya dan untuk diberi tahu,
dimana keputusan terakhir tetap berada ditangan pejabat pembuat keputusan tersebut.
Dalam konteks partisipasi masyarakat yang bersifat kemitraan, pejabat pembuat
keputusan dan anggota-anggota masyarakat merupakan mitra yang relatif sejajar
kedudukkannya. Mereka bersama-sama membahas masalah, mencari alternatif
pemecahan masalah dan membahas keputusan. Kenyataan menunjukan bahwa masih
banyak yang memandang partisipasi masyarakat semata- mata hanya sebagai
penyampaian informasi, penyuluhan bahkan sekedar alat public relation agar proyek
tersebut dapat berjalan tanpa hambatan. Karena nya partisipasi masyarakat tidak saja
digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan, tetapi juga digunakan sebagai tujuan.
Partisipasi dalam pemanfaatan TPA berarti masyarakat ikut ambil bagian dalam
suatu kegiatan, hanya dapat dirasakan bila masyarakat berkepentingan dan diberi
kesempatan untuk ambil bagian. Partisipasi tidak mungkin optimal jika masyarakat yang
berkepentingan tidak diberi keleluasaan untuk ambil bagian. Pendekatan partisipatif
diperlukan untuk melibatkan semua pihak sejak langkah awal, mulai analisis masalah,
penetapan rencana kerja sampai pelaksanaan dan evaluasinya. Lebih lanjut disebutkan
bahwa seseorang akan berpartisipasi apabila terpenuhi prasyarat untuk berpartisipasi,
yaitu adanya: 1). kesempatan, suasana atau kondisi lingkungan yang disadari oleh orang
24

tersebut bahwa dia berpeluang untuk berpartisipasi, 2). kemauan, sesuatu yang
mendorong atau menumbuhkan minat dan resiko, mereka untuk termotivasi
berpartisipasi, misalnya berupa manfaat yang dapat dirasakan atas partisipasinya tersebut,
dan 3). kemampuan, adanya kesadaran atau keyakinan pada dirinya bahwa dia
mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi, bisa berupa pikiran, tenaga, waktu atau
sarana dan material lainnya.
Dengan demikian partisipasi masyarakat adalah keterlibatan dan keikutsertaan
seseorang atau masyarakat untuk berperanserta melakukan kegiatan bersama -sama
dengan orang lain secara aktif dan sukarela dalam menentukan arah, strategi dan tujuan
pembangunan.

2.3. Pencemaran Lingkungan

Menurut Saeni (1989), pencemaran adalah peristiwa adanya penambahan


bermacam- macam bahan sebagai hasil dari aktivitas manusia ke dalam lingkungan yang
biasanya memberikan pengaruh berbahaya terhadap lingkungan itu. Zat pencemar adalah
zat yang mempunyai pengaruh menurunkan kualitas lingkungan, atau menurunkan nilai
lingkungan itu. Kontaminan adalah zat yang menyebabkan perubahan dari susunan
normal dari suatu lingkungan. Kontaminan tidak digolongkan sebagi zat pencemar bila
tidak menimbulkan penurunan kualitas lingkungan. Selanjutnya menurut Saeni (1997),
salah satu jenis bahan pencemar yang dapat membahayakan kesehatan manusia adalah
logam berat. Zat yang bersifat racun dan yang sering mencemari lingkungan misalnya
merkuri (Hg), timbal (Pb), kadmium (Cd), dan tembaga (Cu). Perusakan lingkungan
hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung
terhadap sifat fisik dan hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi
lagi dalam menunjang pemba ngunan berkelanjutan (UU No.23 Tahun 1997).
Menurut pasal 1 ayat 11 UU No. 23 Tahun 1997, baku mutu lingkungan hidup
adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi atau komponen yang ada atau
harus ada zat pencemar yang ditanggung keberadaannya dalam suatu sumber daya
tertentu. Pasal 14 ayat 1 menyatakan bahwa setiap usaha kegiatan dilarang melanggar
baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
Pencemaran lingkungan merupakan bermacam- macam mahluk hidup, bahan, zat-
zat pada suatu lingk ungan, yang menyebabkan timbulnya pengaruh yang berbahaya
25

terhadap lingkungan, karena adanya perubahan yang bersifat fisik, kimiawi, maupun
biologis (Supardi, 1994). Pencemaran lingkungan mempunyai derajat pencemaran atau
tahap pencemaran yang berbeda, didasarkan pada konsentrasi zat pencemar, waktu
tercemarnya, lamanya kontak antara bahan pencemaran dengan lingkungan.

Menurut Tchobanoglous, et.al (1977), perolehan gas nitrogen (N2), karbon

dioksida (CO2) dan metana (CH4), pada landfill tergantung banyaknya komponen
organik pada landfill, hara yang tersedia, kadar air pada sampah, tingkat kepadatan
sampah pada kondisi awal, waktu penimbunan dan lain- lain. Secara umum perolehan gas

N2, CO2, CH4 pada landfill dapat dihitung dengan melakukan perkalian antara volume
sampah pada landfill dengan nilai persen masing-masing gas, menurut jangka waktu
penimbunan sampah.
Sampah merupakan sumber beberapa jenis penyakit menular, keracunan dan lain-
lain (Slamet, 1994). Bahan beracun, bakteri, virus, jamur dan lain- lain yang ada dalam
timbunan sampah, dapat berpindah tempat ke tempat lain melalui proses lindi. Apabila
cairan dari sampah yang mengandung bibit penyakit masuk kedalam air permukaan,
maka air permukaan tersebut akan berperan sebagai penyebar mikroba patogen atau
penyakit menular di dalam air.
Ada empat hal penyebab pencemaran air tanah yaitu:
a. Bila jarak antara sumur dan jamban kurang dari 10 m untuk tanah biasa dan paling
dekat 15 m untuk tanah porus atau gembur.
b. Lokasi sumur tersebut sebelumnya merupakan lokasi sumber limbah rumahtangga
atau dekat industri atau bekas lokasi sampah (TPA).
c. Merembesnya air permukaan yang telah tercemar, WC dan air cucian ke dalam sumur.
d. Masuknya debu yang sudah tercemar ke dalam sumur terbuka.
Dari keempat sumber pencemaran air tanah yang berasal dari TPA merupakan
rembesan dari timbunan limbah di TPA sampah, dan merupakan sumber kontaminan
potensial bagi air permukaan, air tanah dangkal maupun air tanah dalam. Selanjutnya
Eugene (1987) mengemukakan bahwa lindi akan mencemari tanah, air tanah dan sungai.
Jadi tingkat pencemaran air yang disebabkan oleh lindi tergantung dari sifat lindi, jarak
aliran dengan air tanah dan sifat-sifat tanah yang dilaluinya. Oleh sebab itu untuk
26

menghindari pencemaran oleh lindi, sumber air sumur dangkal yang umumnya masih
digunakan oleh penduduk sebagai air minum harus terletak jauh dari sanitary landfill.
Pencemaran air dapat mengganggu tujuan penggunaan air dan akan menyebabkan
bahaya bagi manus ia melalui keracunan atau sumber dan penyebab penyakit. Daerah
perkotaan dengan tingkat aktivitas masyarakat dan industri yang demikian tinggi secara
bersamaan akan menghasilkan sampah sehingga membutuhkan tempat pembungan akhir
sampah kota yang perlu dikelola dengan baik agar dampak pencemarannya tidak
mempengaruhi masyarakat sekitarnya. Nitrat dalam hal ini merupakan pencemar utama
yang dapat mencapai air tanah dangkal maupun air tanah dalam yang diakibatkan oleh
aktivitas manusia termasuk dari penempatan sampah, Vasu at.al. (1998). Di samping itu
pergerakan air sangat mudah dipengaruhi oleh pengambilan air atau pemompaan air tanah
dangkal melalui sumur-sumur bor yang umumnya disiapkan oleh masyarakat untuk
memenuhi kebutuhannya.
Secara umum sumber pencemaran air tanah berasal dari tempat-tempat
pembuangan sampah, mudah meresap ke dalam tanah, sehingga sampah organik
merupakan sumber primer pencemaran bakteriologik (Bitton, 1984 dalam Wuryadi,
1990). Menurut Bouwer (1987) menambahkan, jarak aman dari bidang resapan adalah
30 meter untuk daerah di atas muka air tanah, dan 60 meter di bawah muka air tanah.
Bakteri patogen yang biasanya disebarkan melalui air adalah bakteri amuba
disentri, kolera dan tipus. Jumlah bakteri patogen dalam air umumnya sedikit
dibandingkan dengan bakteri coli (coliform), sehingga bakteri ini dipakai sebagai bakteri
indikator terhadap kualitas perairan karena jumlahnya banyak dan mudah diukur (Diana,
1992). Jenis bakteri coliform sebagai indikator adalah Escherichia coli dan Aerobacter
coli. Dari kedua jenis tersebut, yang lebih umum dan lebih banyak terdapat di perairan
atau tanah adalah jenis E. coli, yaitu sebagai indikator pencemar fecal (tinja), dihitung
berdasarkan MPN (most probabel number) (Saeni, 1991).
2.4. Pengertian-pengertian
A. Pengertian Sampah
Pengertian sampah dapat lebih jelas diketahui dengan mempelajari beberapa
pengertian. Sampah adalah istilah umum yang sering digunakan untuk menyatakan
limbah padat. Sedangkan limbah itu sendiri pada dasarnya adalah suatu bahan yang
27

terbuang atau dibuang dari suatu hasil aktivitas manusia, maupun proses-proses alam dan
tidak atau belum mempunyai nilai ekonomi, bahkan dapat mempunyai nilai ekonomi
yang negatif. Sampah mempunyai nilai negatif karena penanganan untuk membuang atau
membersihkannya memerlukan biaya yang cukup besar, disamping juga dapat mencemari
lingkungan (Sa’id, 1998).
Sampah (solid waste) adalah semua jenis bahan padat yang dibuang sebagai bahan
buangan, tidak bermanfaat atau barang-barang yang dibuang karena kelebihan
(Tchobanoglous et al., 1977). Pavoni menyatakan bahwa, sampah adalah semua bahan
buangan yang umumnya dalam bentuk padat, berasal dari manusia dan binatang yang
dibuang sebagai barang yang tidak berguna atau tidak dibutuhkan lagi. Sampah
merupakan segala bentuk buangan padat yang sebagian besar berasal dari aktivitas
manusia (domestik). menurut Hadiwijoto (1983), sampah domestik lebih banyak
didominasi oleh bahan organik, meskipun tipe dan komponennya berpartisipasi dari satu
kota ke kota lainnya, bahkan dari hari-kehari.

B. Sumber dan Jenis Sa mpah


Menurut Sa’id (1987) penggolongan atau pembagian sampah dapat dilakukan
berbagai cara, tergantung kebijakan negara setempat, dua cara pembagian yang sering
digunakan, berdasarkan teknis dan berdasarkan sumbernya sebagai berikut:
a. Berdasarkan teknis, sampah dibagi atas:
1). Sampah bersifat semi basah, golongan bahan organik, misalnya sampah dapur,
sampah restoran berupa sisa buangan sayuran dan buah-buahan, mudah terurai,
karena mempunyai rantai ikatan kimiawi yang rendah.
2). Sampah anorganik sukar terurai karena mempunyai rantai ikatan kimiawi yang
panjang, misalnya kaca, plastik dan selulosa.
3). Sampah berupa abu hasil pembakaran, secara kuantitatif sampah jenis ini sedikit,
tetapi pengaruhnya bagi kesehatan cukup besar.
4). Sampah berupa jasad hewan mati, misalnya bangkai tikus, anjing, ayam, ikan dan
burung.
5). Sampah jalanan, semua sampah yang dikumpulkan di jalan-jalan, misalnya daun-
daunan, kantong plastik, kertas dan lain- lain.
28

6). Sampah industri, dari kegiatan produksi, secara kuantitatif limbah ini banyak,
tetapi ragamnya tergantung jenis industri tersebut.
b. Berdasarkan sumbernya, sampah digolongkan dalam:
1). Sampah domestik (domestic waste).
Berasal dari lingkungan perumaha n, baik di perkotaan maupun pedesaan, ragam
sampah perkotaan lebih banyak, serta jenis sampah organiknya secara kuantitatif
dan kualitatif lebih kompleks. Sampah di pedesaan umumnya bahan-bahan organik
sisa produk pertanian, sedangkan sampah anorganiknya lebih sedikit.
2). Sampah komersial (commercial waste)
Tidak berarti sampah tersebut mempunyai nilai ekonomi, tetapi lebih merujuk
kepada jenis kegiatan yang menghasilkannya. Sampah komersial dari kegiatan
perdagangan, seperti toko, warung, restoran dan pasar atau toko swalayan.
Tabel 2: Sumber dan Jenis Sampah
Sumber Jenis, Fasilitas, Aktivitas, Lokasi Jenis Sampah
Timbulnya Sampah
Perumahan Rumah tinggal, apartemen atau Sisa makan, rubbish, abu,
rumah susun. sampah khusus.
Komersial Toko, restoran, pasar, bangunan Sisa makan, rubbish, abu, sisa
kantor, hotel, percetakan, toko bangunan, sampah khusus.
onderdil, perusahaan.
Fasilitas kesehatan Rumah sakit, puskesmas, Sisa makan, rubbish, sampah
poliklinik, apotik. khusus.
Perkotaan Rumah sakit, puskesmas, Sisa makan, rubbish, sampah
poliklenik, apotik. khusus.
Industri Bangunan, pabrik, penyulingan, Sisa makanan, rubbish , sisa atau
instalasi, kimia, pertambangan, bekas buangan, sampah khusus,
pembangkit tenaga. sampah berbahaya.
Lapangan terbuka Jalan, taman, tanah kosong, lapangan Sampah khusus rubbish.
bermain, pantai, jalan tol, tempat
rekriasi.
Industri pengolahan PDAM, IPAL, proses pengolahan Sampah dan instalasi lumpur
industri. residu.
Pertanian Hasil semua atau ladang, kebun, Sisa makanan membusuk,
peternakan. sampah perkotaan, rubbish,
sampah berbahaya.
Sumber: Tehobauoglous (1997).

Pengertian sampah dalam ilmu kesehatan lingkungan adalah benda yang


dipandang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi atau harus dibuang, sehingga
tidak mengganggu kelangsungan hidup (Azwar, 1983). Sampah digolongkan dalam ilmu
kesehatan lingkungan adalah:
29

a. Garbage, sisa pengolahan makanan yang mudah membusuk, misalnya koto ran dapur
rumah tangga, restoran, hotel dan lain- lain.
b. Rubbish, bahan atau sisa pengelolaan yang tidak mudah membusuk (mudah terbakar:
kayu, kertas, dan yang tidak mudah terbakar: kaleng dan kaca).
c. Ashes, ialah segala jenis abu hasil pembakaran kayu, batubara.
d. Segala jenis bangkai yang besar seperti kuda, sapi, kucing, tikus.
Street sweeping, ialah segala benda padat sisa sampah hasil industri, misal industri
kaleng dengan potongan-potongan sisa kaleng.
Menurut Sumirat (1994), jenis sampah dibagi atas dasar sifat-sifat biologi dan
kimianya, yaitu:
a. Sampah yang membusuk (garbage), yang mudah membusuk karena aktivitas
mikroorganisme.
b. Sampah yang tidak membusuk (refure), jenis ini terdiri dari kertas-kertas, logam,
karet, plastik dan lainnya yang tidak dapat membusuk.
c. Sampah yang berbentuk debu atau abu hasil dari pembakaran, baik pembakaran bahan
bakar, sampah jenis ini tidak membusuk, tetapi dapat dimanfaatkan untuk
mendapatkan tanah atau penimbunan.
d. Sampah berbahaya, adalah sampah karena jumlah, konsentrasi atau sifat kimiawi,
fisika dan mikrobiologinya dapat menimbulkan bahaya.
Jadi pada dasarnya sumber sampah dapat diklarifikasi beberapa kategori yang
berhubungan dengan tata guna tanah: permukiman penduduk, tempat-tempat umum,
tempat pardagangan, sarana pelayanan masyarakat milik pemerintah maupun swasta,
daerah industri, pertanian dan rumah sakit.
C. Pengelolaan Sampah
Pengelolaan sampah bertujuan mengubah sampah menjadi bentuk yang tidak
mengganggu dan menekan volume, sehingga mudah diatur. Cara pengelolaan sampah
yang dianggap terbaik saat ini adalah penimbunan dan pemadatan secara berlapis- lapis
(sanitary landfills), sampah tidak terbuka selama 24 jam karena apabila air hujan yang
terserap ke lapisan tanah dan melalui lapisan sampah akan membentuk cairan lindi, yang
mengandung padatan terlarut dan zat- zat lain hasil perombakan bahan organik oleh
mikroba. Lindi tersebut dapat mengalir bersama air hujan atau air permukaan dan
30

meresap kedalam lapisan- lapisan tanah dan masuk ke dalam air tanah (Clark, 1977).
Hasil analisis lindi oleh Department of Public Health, USA (1972) terdapat pada Tabel 3.
Pada Tabel 3 dijelaskan semakin lama umur lindi, konsentrasi zat pencemar
semakin berkurang, karena zat-zat tersebut telah mengalami penguraian oleh tanah. Ion
klorida (Cl¯) sebagai ion anorganik sulit teruraikan, baik melalui pertukaran ion, adsorbsi,
filtrasi, dan biodegradasi. Dalam hal ini ion Cl¯ dapat dipakai sebagai indikator terhadap
aliran lindi, secara tidak langsung dapat menimbulkan pencemaran terhadap air tanah,
khususnya air sumur gali (Slamet, 1994).
Tabel 3. Hasil Analisis Lindi Sistem Sanitary Landfill (ppm)
Umur Lindi
Parameter Satuan
2 Tahun 6 Tahun 17 Tahun
BOD5 mg/l 39 68.0 8 000.0 40.0
COD mg/l 54 610.0 14 080.0 225.0
Jumlah Padatan mg/l 9 144.0 6 795.0 1 198.0
Klorida (C1¯) mg/l 1 697.0 1 330.0 135.0
mg/l 900.0 810.0 74.0
Natrium (Na?) mg/l 5 500.0 6.3 0.6
Besi (Fe) mg/l 680.0 2.0 2.0
Sulfat (SO4²¯) mg/l 7830.0 2 200.0 540.0
Kesadahan mg/l 15.8 1.5 5.4
Logam-logam berat mg/l

Sumber: Department of Public Health USA (1972).


Tinggi rendahnya curah hujan, jarak aliran dengan air tanah, dan sifat-sifat tanah
yang dilalui akan mempengaruhi sifat lindi, dan sifat lindi akan mempengaruhi tingkat
pencemaran yang ditimbulkannya, sedangkan komposisi lindi dipengaruhi oleh asal dan
umurnya. Dengan demikian, untuk menghindari kontaminasi terhadap lingkungan, lindi
yang terjadi harus aman dari pencemaran sebelum disalurkan ke saluran pembuangan.
Menurut Suratmo (2002), pengelolaan sampah di TPA terdiri dari open dumping,
landfill, insinerator, pembuatan kompos dan teknologi baru (reduce, recycle dan reuse).
Sedangkan partisipasi masyarakat dalam hal pengelolaan sampah harus diperhatikan
ketersediaan tempat sampah di rumah, ketersediaan TPS, ketaatan membayar iuran dan
ketaatan membuang sampah di tempat yang telah ditentukan.
31

UU &
Disiplin
PERDA Penghasil Sampah Kesadaran
(masyarakat)
Pengetahuan
Penyuluhan
Pengumpul Prilaku atau
Sampah Kebiasaan
Dinas Kebersihan Membuang Sampah
(Petugas Kebersihan)

Sarana & Prasarana Sampah Sampah Lingkungan Bersih


Angkutan Terkumpul Terangkut Sehat dan Nyaman
Gambar 2: Diagram Kerangka Dasar Pemikiran Pengelolaan Sampah

Menurut Sa’id (1988), pengelolaan sampah adalah perlakuan atau tindakan yang
dilakukan terhadap sampah yang meliputi pengumpulan, pengangkutan, penyimpanan
dan pengolahan serta pemusnahan. Sedangkan menurut Soewedo (1983), pengelolaan
sampah adalah perlakuan terhadap sampah guna menghilangkan masalah yang berkaitan
dengan lingkungan.
Pengelolaan sampah didefinisikan sebagai suatu bidang yang berhubungan
dengan pengaturan terhadap penimbunan, penyimpanan, pengumpulan, pemindahan dan
pengangkutan, pemrosesan dan pembuangan sampah dengan cara yang sesuai dengan
prinsip -prinsip terbaik dari kesehatan masyarakat, ekonomi, teknik, perlindungan alam,
keindahan dan pertimbangan lingkungan lainnya dan juga mempertimbangkan sikap
masyarakat. Pengelolaan sampah adalah suatu proses mulai dari sumber sampai dengan
di buang ke tempat pembuangan akhir (TPA) dengan tidak menimbulkan kerusakan
lingkungan, mengganggu kelestarian dan sumberdaya alam.
Secara umum syarat pokok pengelolaan sampah, yaitu: penyimpanan atau
pewadahan, pengumpulan, pengangkutan dan pengolahan dan pembuangan akhir. Dari
beberapa syarat pokok tersebut, yang perlu mendapat perhatian adalah pengelolaan dan
pembuangan akhir sampah. Pengolahan sampah merupakan proses antara sebelum
dilakukan pembuangan sampah di TPA yang bersifat optimal. Teknik dan cara
pengolahan sampah dapat dilakukan dengan metode daur ulang, biologis (pembuatan
kompos), pemadatan dan insinerator.
32

Azwar (1983) menyatakan bahwa dalam pengelolaan sampah terdapat tiga


aktivitas meliputi:
a. Penyimpanan atau pengumpulan
Cara ini dimaksudkan untuk menjaga agar hasil pengumpulan sampah tidak terjadi
perubahan yang dikehendaki, seperti pembusukan, atau kadar air yang meningkat.
Penyimpanan ini dilakukan pada tempat pengumpulan sementara sebelum sampah
diangkut, dibuang, dimanfaatkan serta dimusnahkan. Tempat-tempat ini sering
dijumpai di toko-toko, warung, hotel, restoran, kantor dan rumah.
b. Pengangkutan
Pengangkutan sampah dari pemukiman penduduk yang terletak di pinggir jalan raya
diangkut dengan gerobak. Dari hasil pengumpulan dari rumah ke rumah dipindahkan
ke tempat pembuangan sementara (TPS), selanjutnya diangkut dengan truk ke tempat
pembuangan akhir (TPA) sampah.

c. Pemusnahan.
Menurut Partoatmodjo (1993), menyatakan pemusnahan dan pemanfaatan tersebut
sebagai berikut:
1) Sanitary landfill, membuang dalam lembah dan ditutup dengan selapis tanah,
yang dilakukan lapis demi lapis, sehingga sampah tidak berada di alam secara
terbuka.
2) Landfill, sampah dibuang dalam lembah tanpa ditimbun oleh lapisan tanah.
3) Open Dumping, membuang sampah di atas permukaan tanah.
4) Dumping in water, membuang sampah di perairan misalnya di sungai atau di laut.
5) Insiner asi, pembakaran sampah secara besar-besaran dan tertutup dengan
menggunakan insenerator.
6) Individual insenerator, pembakaran sampah dengan insenerator yang dilakukan
oleh perorangan dalam rumahtangga.
7) Hog feeding, sampah sayuran dijadikan untuk pakan babi.
8) Composting, pengelolaan sampah organik menjadi pupuk, yang bermanfaat
untuk menyuburkan tanah.
9) Discharge to sewers, sampah dihaluskan kemudian dibuang ke dalam saluran
air.
33

10) Pendaur ulangan sampah dengan cara memanfaatkan kembali barang- barang
yang masih bisa dipakai.
11) Reduksi, menghancurkan sampah menjadi bagian kecil-kecil dan hasilnya
dimanfaatkan.

Pembuangan akhir sampah adalah upaya untuk memusnahkan sampah di tempat


tertentu yang disebut tempat pembuangan akhir sampah (TPA), dan dalam pembuangan
akhir ada beberapa metode yaitu:
a. Open Dumping
Metode open dumping adalah cara pembuangan akhir dengan hanya menumpuk
sampah begitu saja tanpa ada perlakuan khusus, sehingga dapat menimbulkan
gangguan terhadap lingkungan.
b. Controlled Landfill
Adalah sistem open dumping yang diperbaiki atau ditingkatkan, merupakan peralihan
antara teknik open dumping dan sanitary landfill. Pada cara ini penutupan sampah
dengan lapisan tanah dilakukan setelah TPA penuh dengan timbunan sampah yang
dipadatkan setelah mencapai tahap tertentu.
c. Sanitary Landfill
Pada sistem ini sampah ditimbun dalam tanah yang luas kemudian dipadatkan dan
ditutup dengan tanah penutup harian pada setiap hari dan akhir operasi (Suryanto,
1988).
Menurut Sumitro et al., (1991) dalam usaha penanggulangan masalah sampah
melalui pemanfaatan sampah tersebut, perlu diperhatikan kandungan zat kimia, seperti
keberadaan karbon dan kobalt yang dapat menimbulkan gangguan pada tanaman. Hal ini
dapat berkembang menjadi masalah yang serius, karena selain dapat merusak hasil
tanaman, misalnya meracuni tanaman tomat, unsur-unsur tersebut juga berbahaya bagi
manusia yang mengkonsumsi produk pertanian tersebut. Resiko yang tidak dapat
dihindarkan dari pembuangan sampah di landfill adalah terbentuknya gas dan lindi yang
dipengaruhi oleh dekomposisi dari mikroba dan iklim, sifat dari sampah dan iklim
pengoperasian sampah di landfill. Perpindahan gas dan lindi dari lendfill ke lingkungan
sekitarnya menyebabkan dampak yang serius pada lingkungan, selain berdampak buruk
terhadap kesehatan juga menyebabkan kebakaran dan peledakan, kerusakan pada
34

tanaman, bau yang tidak sedap, masalah setelah penutupan landfill, pencemaran air tanah,
udara dan pencemaran global, El-fadil (1997).
Menurut El- fadil et al., (1997), dan Samom et al., (2002) hendaknya TPA
dioperasikan dengan sistem sanitary landfill yang dilengkapi dengan pemasangan
instalasi recovery gas, sistem pengolahan dan pengumpulan gas yang mencegah
pemindahan gas dari TPA atau emisi gas melalui permukaan landfill, penghalang hid rolik
seperti ekstraksi dan sumur pantauan, sumur relief dan parit perlindungan dan sistim
pengumpulan untuk masalah pengontrolan lindi. Selain itu untuk meminimisasi dampak
lingkungan jika mungkin diusulkan kepada pemerintah untuk mengadopsi sistem
pengubahan sampah menjadi energi karena tidak mungkin hanya dengan sanitary landfill
dapat menghilangkan semua pengaruh negatif sampah dan lingkungan.
D. Tempat Pembuangan Akhir (TPA)

Pada era saat ini tempat pembuangan sampah akhir yang umum dipergunakan di
beberapa negara adalah dengan tanah urugan atau dikenal dengan landfill yang berfungsi
sebagai tempat pembuangan akhir (TPA). Menurut Tchobanoglous 1999, TPA adalah
suatu fasilitas fisik yang digunakan untuk pembuangan sisa limbah padat atau sampah
diatas permukaan tanah dari bumi. Akan tetapi saat ini istilah TPA mengacu pada
rekayasa fasilitas untuk pemusnahan limbah padat kota yang dirancang dan dioperasikan
untuk meminimumkan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan.
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang dikenal dengan sanitary landfill adalah
sistem pembuangan sampah dengan cara dipadatkan dan ditutupi serta dilapisi tanah
setiap hari. Di dalam sistem TPA akan terjadi proses dekomposisi sampah secara kimia,
biologi, dan fisik yang menghasilkan gas-gas dan bahan organik lainnya. Air hujan yang
jatuh pada lokasi TPA akan berinfiltrasi ke dalam sistem sampah dan melarutkan hasil
dekomposisi ini berupa cairan yang disebut air lindi, komposisi air lindi bervariasi antara
satu lokasi dengan lokasi lainnya, Widyatmoko dan Sintorini (2002).
Menurut Novotny dan Olem (1994) saat ini Tempat Pembuangan Akhir termasuk
sumber pencemaran air tanah utama di dunia setelah tanki septik dengan perhitungan saat
itu di Amerika Serikat hanya 6 % dari seluruh sanitary landfill yang tidak menyebabkan
masalah lingkungan dan beroperasi secara baik. Hal ini didukung oleh Freeze and Cherry
(1979) yang menyatakan bahwa kontaminasi air tanah oleh bahan organik yang dapat
35

bergerak akan menjadi masalah yang sangat serius. TPA Bantar Gebang, pada prinsipnya
merupakana suatu landfill yang dirancang dan dikonstruksikan secara modern,
pengumpulan lindi dan pengolahannya pada 4 kolam aerasi.

E. Lindi

Masalah yang timbul dalam pengurugan atau penimbunan sampah ke dalam tanah
adalah kemungkinan pencemaran sumber air oleh lindi. Tchobanoglous (1977)
menyatakan lindi merupakan limbah cair atau cairan yang melalui timbunan sampah yang
mengekstrak bahan yang terlarut atau tersuspensi di dalamnya. Cairan tersebut berasal
dari dekomposisi sampah dan dapat juga berasal dari sumber luar, seperti aliran air
permukaan, air hujan, air tanah dan air yang berasal dari mata air bawah tanah.
Pengertian lain lindi adalah limbah cair yang timbul akibat masuknya air eksternal ke
dalam timbunan sampah, melarutkan dan membilas zat-zat terlarut, termasuk juga zat
organik hasil proses dekomposisi biologis (Damanhuri, 1995). Jadi dapat disimpulkan
bahwa lindi adalah cairan yang timbul akibat masuknya air eksternal ke dalam timbunan
sampah, melarutkan dan membilas zat- zat terlarut. Cairan tersebut mengandung bahan
organik yang tinggi sebagai hasil dekomposisi sampah dan juga berasal dari proses
infiltrasi dari air limpasan.
Air lindi merupakan bahan cair yang timbul pada bagian bawah sanitary landfill,
yang jumlahnya tergantung pada berbagai faktor seperti: curah hujan, kemiringan dan
jenis lapisan tanah penutup, kepadatan sampah, kelembaban sampah dan kondisi
lingkungan sanitary landfill. Debit air lindi berhubungan positif dengan besarnya curah
hujan, air lindi yang akan timbul diperkirakan sebesar 50 persen, pada proses
penimbunan dan 20 persen setelah penimbunan. Fasilitas air lindi diharapkan dapat
menampung jumlah air lindi pada bulan-bulan basah, yakni bulan Januari dan Februari
(Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2002). Menurut Chen (1975), komposisi lindi bervariasi
karena proses pembentukan lindi dipengaruhi oleh macam buangan (zat organik atau
anorganik), mudah tidaknya peruraian (larut atau tidak larut), kondisi landfill (suhu, pH,
potensial redoks, kelembaban, umur); karakteristik sumber air (kuantitas dan kualitas);
komposisi tanah penutup.
36

Pengaruh sanitary landfill adalah pencemaran air tanah dan air permukaan, terjadi
bila sanitary landfill berdampingan dengan badan air, jika air hujan jatuh di atas
permukaan landfill, meresap dan turun melalui lapisan kedap air ke badan air yang lebih
rendah. Pembentukan lindi akibat air hujan tidak dapat dihindari pada awal pengisian
sampah. Setelah lindi melalui tanah pada kedalaman beberapa meter kontaminasi
bakteriologis tidak ditemui lagi. Suspensi yang terdapat di dalam lindi dapat terbawa
sampai ke dalam tanah yang lebih jauh, sehingga menyebabkan pencemaran air tanah
(Thank, 1985).
Air lindi akibat proses degradasi sampah dari TPA merupakan sumber utama yang
mempengaruhi perubahan sifat fisik air, suhu air, rasa, bau dan kekeruhan. Suhu limbah
yang berasal dari lindi umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan air penerima. Hal ini
dapat mempercepat reaksi kimia dalam air, mengurangi kelarutan gas dalam air,
mempercepat pengaruh rasa dan bau (Husin dan Kustaman, 1992). Sedangkan Menurut
Schmeider (1970), untuk menghindari pencemaran oleh lindi, maka tempat pembuangan
akhir sampah, harus terletak jauh dari kantong air dan memiliki lapisan kedap air,
sekurang-kurangnya 3 meter di atas permukaan air tanah tertinggi. Selanjutnya
Environmental Protection Agency (1977), menyarankan lokasi pengelolaan sampah harus
menjauhi jaringan drainase, terletak di garis pantai terluar (batas pasang 10 tahun) dan
jauh dari badan air, minimal 300 meter dari air permukaan.
Permasalahan TPA yang memerlukan penanganan khusus dari operasi sistem
TPA ini adalah mengusahakan agar air lindi tidak meresap ke dalam sistem air tanah
dangkal supaya tidak mencemari lingkungan. Pada prinsipnya pada TPA telah disiapkan
unit pengolah air lindi yang dikumpulkan sebelum dibuang ke sistem air permukaan.
Pada kondisi normal air lindi ditemukan pada dasar TPA dan bergerak melewati lapisan
dasar yang juga tergantung pada sifat-sifat bahan sekitarnya. Pengelolaan lindi dapat
dilakukan dalam beberapa metode secara umum yaitu: pengurangan secara alami oleh
tanah, menghambat pembentukan lindi, pengumpulan dan pengolahan, perlakuan
pendahuluan untuk mengurangi volume dan kelarutan, dan detoksifikasi limbah
berbahaya sebelum dibuang ke saluran.
37

III. METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian.

Penelitian dilaksanakan di lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah,


Kecamatan Bantar Gebang, Bekasi, Provinsi Jawa Barat. Luas lahan TPA 108 ha, terdiri
dari lima zone, terletak di tiga Kelurahan yaitu: sebelah Selatan; Kelurahan Ciketing
Udik; sebelah Utara dan Barat: Kelurahan Cikiwul; sebelah Utara dan Timur: Kelurahan
Sumur Batu. Lokasi TPA terletak + 13 km sebelah selatan Kota Bekasi, + 2 km dari jalan
Raya Bekasi-Bogor. Penelitian laboratorium dilakukan di Laboratorium Kimia Fisik dan
Lingkungan, FMIPA, Institut Pertanian Bogor. Persiapan penelitian dan gambaran umum
obyek yang diteliti dilaksanakan dalam bulan Pebruari sampai dengan Nopember 2004.

3.2. Metode Pengumpulan Data

Dalam pene litian ini dikumpulkan data primer dan data sekunder. Data primer
melalui survai dan wawancara langsung di lokasi TPA dengan responden di Kelurahan
Sumur Batu, Ciketing Udik, Cikiwul, Aparat Kecamatan Bantar Gebang, para pakar dan
stakeholder yang terkait dengan TPA. Dalam satu kelurahan dilakukan kegiatan lapangan
meliputi: kegiatan wawancara pada aspek karakteristik responden, sosial ekonomi dan
tanggapan responden terhadap keberadaan TPA. Pertanyaan prospektif di peruntukkan
sebagai kemungkinan pemanfaatan TPA di masa mendatang, faktor dan kreteria yang
mempengaruhi dan variabel skor dari pertanyaan tersebut, sedangkan data sekunder
dikumpulkan melalui penelusuran berbagai pustaka yang ada.

A. Data Primer
a. Fisik dan Kimia

Pengambilan sampel air dilakukan di Kelurahan Cikiwul, Ciketing Udik dan


Sumur Batu yaitu pada sumur gali penduduk yang bermukim di sekitar TPA. Cara
pengambilan sampel air dilakukan dengan menggunakan botol plastik berukuran 1,5 liter,
sampel tersebut dimasukkan ke dalam cooler box untuk diawetkan. Contoh air dan lindi
dianalisis di laboratorium FMIFA, Institut Pertanian Bogor. Data sekunder berupa
38

gambaran umum serta data pelengkap lain, diperoleh melalui Dinas Kebersihan DKI
Jakarta dan Pemda Kota Bekasi.
Alat yang digunakan pH meter, turbidimeter, untuk pengukuran parameter kimia
digunakan alat spektrofotometer kecuali zat organik (KMnO4 ) menggunakan metode
titrasi.
1). Air sumur
Untuk mengetahui kualitas air sumur penduduk, maka pengelolaan dan
pengukuran sampel dilakukan pada saat musim hujan dan musim kemarau, parameter
sesuai Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 416/Menkes/Per/IX/1990 seperti
Tabel 4.
Tabel 4. Kualitas Air Sumur di TPA Bantar Gebang
Parameter Satuan Peralatan Metode Analisis
Fisika :
Suhu ºC Termometer Pemuaian air raksa
Bau - -
Rasa -
Kekeruhan FTU Turbidimeter Turbidimetrik

Kimia:
Zat padat terlarut mg/l Timbangan analitik Gravimetrik
pH - pH-Meter Potensiometrik
DO mg/l DO-Meter Potensiometrik
BOD5 mg/l Buret Titrimetrik
mg/l Buret Titrimetrik
COD
mg/l Spektrofotometer Spektrofotometrik
Amonia N-NH3 mg/l Spektrofotometer Spektrofotometrik
Nitrat-N
mg/l Spektrofotometer Spektrofotometrik
Nitrit-N
mg/l Buret Titrimetrik
Kesadahan (CaCO3 )
Klorida mg/l Buret Titrimetrik
mg/l Buret Titrimetrik
Sulfida
Fosfat mg/l Spektrofotometer Spektrofotometrik
mg/l Spektrofotometer Spektrofotometrik
Besi (Fe)
mg/l Spektrofotometer Spektrofotometrik
Timbal (Pb)
Mikrobiologi:
Coliform MPN/100ml Tabel MPN MPN
E. coli MPN/100ml Tabel MPN MPN
Sumber: Permenkes RI No.416/Menkes/Per/IX/1990
Keterangan: ( - ): Tidak ada satuan
39

Titik pengambilan sampel berdasarkan aliran air tanah, diambil dari pompa
atau sumur-sumur penduduk di Kelurahan Cikiwul, Ciketing Udik dan Sumur Batu,
radius 200 m dari lokasi TPA, pada empat penjuru lokasi yaitu timur, barat, utara dan
selatan dari TPA. Untuk masing-masing lokasi sampel diambil satu titik sehingga
akan didapatkan empat sampel air sumur.
2). Air Permukaan (sungai)
Untuk mengetahui kualitas air sungai, maka sungai yang dijadikan sampel
adalah sungai Ciketing, lebar sekitar 2 m, debit air 0.409 m³ /detik. Pengambilan
sampel didasarkan pada sistem aliran air dari hulu sungai menuju hilir sungai atau
dari tempat yang tinggi menuju ke tempat yang rendah. Sampel diambil pada aliran
sungai sebelum memasuki wilayah TPA dianggap sebagai hulu sungai dan aliran
sungai sesudah melewati wilayah TPA dianggap sebagai hilir sungai, sehingga akan
didapatkan dua sampel air sungai.
Parameter kualitas air sesuai dengan Baku Mutu Keputusan Gubernur Jawa
Barat No.8 tanggal 12 Juni 1991 (Tabel 5).
Tabel 5. Kualitas Air Sungai Ciketing
Parameter Satuan Metode Analisis
Fisika
Padatan terlarut mg/l Gravimetrik
Warna PtCo
Kekeruhan FTU Turbidimetrik
Kimia
pH - pH meter
Besi (Fe) mg/l Potensiometrik
Mangan terlarut (Mn) mg/l SNI-M-63-1990-03
Tembaga (Cu) mg/l SNI-M-73-1990-03
Seng (Zn) mg/l SNI-M-73-1990-03
Krom heksava len mg/l AAS
Kadmium (Cd) mg/l SNI-M-35-1990-03
Air Raksa (Hg) mg/l AAS
Nikel (Ni) mg/l SNI-M-86-1990-03
Timbal (Pb) mg/l Spektrofotometrik
Sulfida mg/l Titrimetrik
Nitrat-N mg/l Spektrofotometrik
Nitrit-N mg/l Spektrofotometrik
BOD5 mg/l Titrimetrik
mg/l Titrimetrik
COD
Baku Mutu: Keputusan Gubernur Jawa Barat No.38 tgl 12 Juni tahun 1991.
40

3). Air Lindi


Untuk mengetahui kualitas air lindi dan infiltrasi air hujan yang masuk ke
dalam timbunan sampah dan terkontaminasi (bercampur dengan senyawa-senyawa di
dalam sampah) membentuk lindi, untuk itu perlu dilakukan pengujian kualitas air
lindi. Sampel diambil dari setiap zone karena pemanfaatannya berbeda waktu dan dari
kolam-kolam (bak) pada unit IPAS , meliputi sampel pada inlet dan outlet , satu titik
diambil satu samp el, sehingga didapatkan delapan sampel air lindi. Titik inlet adalah
air lindi yang masuk ke dalam IPAS dari landfill, sedangkan outlet air lindi yang telah
mengalami pengolahan dari IPAS. Parameternya sesuai dengan Peraturan Pemerintah
RI No.20 tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Baku Mutu golongan B untuk
Bahan Baku Air Minum, Baku Mutu golongan C Penggunaan air untuk Perikanan dan
Pertanian (Tabel 6). Air lindi disetarakan denga n air limbah cair yang baku mutunya
diatur oleh Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. Kep-
51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi kegiatan Industri.
Tabel 6. Kualitas Air Lindi
Parameter Satuan Metode Analisis
Fisika
Padatan terlarut mg/l Gravimetrik
Warna PtCo
Kekeruhan FTU Turbidimetrik
Kimia
pH - pH meter
Besi (Fe) mg/l Potensiometrik
Mangan terlarut (Mn) mg/l SNI-M-63-1990-03
Tembaga (Cu) mg/l SNI-M-73-1990-03
Seng (Zn) mg/l SNI-M-73-1990-03
Krom heksavalen (Cr6+) mg/l AAS
Kadmium (Cd) mg/l SNI-M-35-1990-03
Air Raksa (Hg) mg/l AAS
Timbal (Pb) mg/l Spektrofotometrik
Sulfida mg/l Titrimetrik
Nitrat-N mg/l Spektrofotometrik
Nitrit-N mg/l Spektrofotometrik
BOD5 mg/l Titrimetrik
mg/l Titrimetrik
COD
Baku Mutu: PP RI No. 20 tahun 1990.Pengendalian Pencemaran Baku Mutu gol.
B untuk Bahan Baku Air Minum, gol. C Penggunaan Air untuk Perikanan dan
Pertanian.
41

b. Mikrobiologi Lingkungan

Jenis mikroorga nisme yang terdapat dalam lingkungan adalah: bakteri, virus,
protozoa, jamur, fungi, ganggang, cacing dan lain- lain. Jenis-jenis mikroorganisme yang
dapat berkembang baik dengan cepat dalam sampah adalah: bakteri, jamur, cacing.
Sampah merupakan sumber beberapa jenis penyakit menular, keracunan, dan lain- lain.
Beberapa jenis penyakit bawaan sampah dapat diperlihatkan pada Tabel 7.
Bahan beracun, bahan kimia, bakteri, virus, jamur dan lain- lain yang ada dalam
timbunan sampah, dapat berpindah tempat ke tempat lain melalui proses lindi. Apabila
cairan dari sampah yang mengandung bibit penyakit masuk ke dalam air permukaan,
maka air permukaan tersebut akan berperan sebagai penyebar mikroba patogen atau
penyakit menular di dalam air.
Tabel 7. Penyakit Bawaan Sampah
Nama Penyakit Penyebab
1. Penyakit bawaaan lalat: Shigella shigae
Dysentriae basilaris (disentri) Entamoeba histolytica
Dysentriae amoebica (disentri) Salmonella thypii
Thypus abdominalis (tifus) Vibrio cholerae
Kolera Ascariasis lumbricoides
Ascariasis (cacingan) Ascariasis duodenale
Ancylostomiasis (cacingan)
2. Penyakit bawaan tikus:
Pest Pasteurella pestis
Leptospirosis icterohaemonhagica Leptospira icterohaemonhagica
Rat bite fever Stretobacillus monilliformis

3. Keracunan:
Metana
Carbon monoxide, Dioxida
Hidrogen sulfide
Logam berat
Sumber: Juli (1994).
Penyakit menular yang disebabkan oleh air sering disebut penyakit bawaan air
Tabel 8. Jenis mikroba yang dapat menyebar lewat air antara lain adalah: bakteri, virus,
protozoa, dan lain- lain.
42

Data biologi khususnya penyebaran lalat diambil dari data primer, keberadaan
dan banyaknya lalat dapat dianggap sebagai cerminan keadaan sanitasi lingkungan.
Semakin banyak lalat, semakin menurun kondisi sanitasi lingkungannya, begitu juga
sebaliknya. Dengan kondisi ini, lalat dianggap sebagai indikator penyebaran vektor
beberapa penyakit yang berbahaya. Lalat diambil dengan metode grill net per satuan
waktu umpan lokasi ke arah Kelurahan Taman Sari 5 titik, Kelurahan Ciketing Udik 3
titik, Kelurahan Sumur Batu 5 titik dan Kelurahan Cikiwul 6 titik. Jarak pengambilan
sampel adalah 100 m sampai dengan jarak 600 m dari TPA, masing- masing diukur dalam
waktu 30 detik di lokasi yang berbeda di Kelurahan sekitar TPA, daerah permukiman,
pemulung yang sekaligus juga dipergunakan untuk tempat mencuci plastik bekas.
Tabel 8. Beberapa Jenis Penyakit Bawaan Air

Nama Penyakit Penyebab

Virus:
Diare pada anak Rotavirus
Hepatitis A V. Hepatitis A
Polio (myelitis anterior acuta) V. poliomyelitis
Bakteri:
Cholera Vibrio cholerae
Diare atau dysentrie Escherichia coli enteropatogenik
Typhus abdo minalis Salmonella typhi
Paratyphus Salmonella paratyphi
Dysenterie Shigella dysenteriae
Protozoa:
Dysenterie amoeba Entamoeba histolytica
Baiantidiasis Balantida coli
Giardiasis Giardia lamblia
Metazoa:
Ascariasis Ascaris lumbricoides
Clonorchiasis Clonorchis sinensis
Diphylobothriasis Diphyllobothrium latum
Taeniasis Taenia saginata
Schistosomiasis Schistosoma
Sumber: Juli (1994).
43

Pengukuran dan pengamatan distribusi lalat dilakukan pada jam 09.30 – 15.00
WIB, dengan asumsi pada jam tersebut lalat melakukan aktivitasnya. Keberadaan lalat
dipengaruhi oleh kondisi iklim, seperti musim dan curah hujan. Menurut Yulianto (2000),
aktivitas lalat akan tinggi pada waktu pukul 08.00 – 10.00 pagi sebagai kegiatan mencari
makan setelah beristirahat cukup lama pada malam hari. Menurut Keputusan Dirjen
P2MPLP Departemen Kesehatan RI Nomor 281-II/PD.03.04.LP tanggal 30 Oktober 1989
baku mutu jumlah keberadaan lalat adalah 30 ekor per grill.
c. Sosial Ekonomi Masyarakat
Keadaan sosial ekonomi, adalah pengaruh dari kegiatan pengelolaan sampah pada
warga atau masyarakat maupun pemerintah, di sekitar lokasi pengelolaan sampah seperti
Kelurahan Cikiwul, Ciketing Udik dan Sumur Batu. Pada umumnya keberadaan
pengelolaan sampah, menimbulkan dampak positif dan negatif secara langsung maupun
tidak langsung. Dampak positif secara langsung, ada tenaga kerja yang dapat tertampung,
dampak negatif secara langsung keberadaan pengelolaan sampah timbul masalah sosial.
Keberadaan pengelolaan sampah juga menimbulkan perubahan tingkat
perekonomian bagi pengelola, pemerintah, maupun warga di sekitar TPA. Perubahan
tingkat perekonomian karena adanya kegiatan pembangunan, pemeliharaan unit
pengelolaan sampah, yang memerlukan tenaga kerja atau sumber daya manusia yang
tersedia di sekitar TPA. Selain itu, bila penambangan TPA untuk pembuatan kompos dan
gas metana, maka pendapatan asli daerah (PAD) melalui retribusi dan pajak akan dapat
ditingkatkan.
Responden yang dipilih dilakukan secara acak sebanyak 50 orang, dilakukan pada
kelompok masyarakat sekitar TPA (non pemulung, pemulung), Aparat Kecamatan,
Lurah, tokoh masyarakat (formal dan informal) untuk mengetahui permasalahan terhadap
keberadaan dan pengelolaan TPA dan yang terkait di lapangan.
Variabel yang akan ditanyakan karakteristik, sosial ekonomi dan tanggapan
responden terhadap keberadaan TPA seperti:
1). Karakteristik responden
Pemilihan responden dengan melakukan kegiatan wawancara dengan
menggunakan daftar kuisioner yang dilakukan terhadap 50 orang responden, terdiri
44

dari 30 responden masyarakat yang terlibat dalam pemanfaatan di TPA dan 20


responden lembaga pemerintah, tokoh masyarakat di Kelurahan Cikiwul, Ciketing
Udik dan Sumur Batu, Kecamatan Bantar Gebang.
Masyarakat yang dijadikan responden adalah masyarakat yang tinggal di
sekitar TPA yang jaraknya antara 0 – 1 km dan 1 – 10 km dari TPA, dengan
mengetahui tingkat pendidikan responden, status dan tanggungan, usia, alamat, profil
tempat tinggal, jarak rumah dengan TPA, jumlah penghuni, lama tinggal atau
menetap, status kependudukan (untuk kelompok pemulung).
2). Sosial ekonomi responden
Data sosial ekonomi akan dikumpulkan melalui pengumpulan data sekunder
dan data primer berupa pekerjaan responden dan jenis pekerjaannya, pendapatan dan
pengeluaran kebutuhan hidup sehari-hari, biaya pendidikan, keadaan kesejahteraan
masyarakat dan kesehatannya.
Populasi dalam penelitian sosial ekonomi adalah kelompok masyarakat,
pemulung, pengelola dan masyarakat yang berada di Kelurahan sekitar TPA Bantar
Gebang meliputi Kelurahan Ciketing Udik, Cikiwul dan Sumur Batu, Kecamatan
Bantar Gebang. Data primer diambil melalui metode wawancara dengan responden,
sedangkan data sekunder dari data potensi Kelurahan, Kecamatan dan instansi
terkait.
3). Tanggapan responden terhadap TPA
Diantaranya adalah persepsi responden tentang kesehatan dan keberadaan
TPA serta keuntungan dan kerugian terhadap keberadaan TPA di sekitar tempat
tinggal responden.
B. Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi pustaka yang dapat
melengkapi penelitian antara lain: jumlah sampah kumulatif, luas lahan TPA yang
terpakai, lama waktu atau umur TPA, dan dari berbagai sumber seperti laporan, dokumen
dan hasil penelitian dari berbagai instansi yang berhubungan penelitian antara lain dari
Dinas Kebersihan DKI Jakarta. Data iklim rata-rata bulanan selama 10 tahun terakhir
(suhu, curah hujan, kelembaban nisbi, kecepatan angin, lama penyinaran matahari) dari
45

Badan Meteorologi dan Geofisika Jakarta. Data sosial ekonomi penduduk dicatat dari
Biro Statistik, Kota Bekasi, Jawa Barat, sedangkan data kesehatan masyarakat dari
Puskesmas di Kecamatan Bantar Gebang, Bekasi.
3.3. Tahapan Kegiatan Penelitian

Tahapan pelaksanaan kegiatan penelitian dan metode analisis untuk menjawab


tujuan selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3.

KONDISI SAAT INI ANALISIS HASIL TUJUAN


PEMANFAATAN

1. Luas lahan 108 ha


KIMIA AHP Prospektif
2. Volume sampah
3. Tinggitumpukan sampah 1.Kualitas air lindi
4. IPAS 2.Kualitas air sungai
5. Kualitas air lindi 3.Kualitas air sumur
6. Kualitas air sungai MIKROBIOLOGI Hutan Kota/
7. Kualitas air sumur 4. E. coli Penghijauan
8. Gas metana 5. Coliform
9. Kualitas udara 6. Lalat
10. Kebisingan Pariwisata
SOSIAL EKONOMI
11. Lalat
7.Persepsi masyarakat
12. E. coli
13. Coliform TPA Terpadu
14. Tingkat pendidikan
15. Pendapatan masyarakat
16. Persepsi masyarakat TPA Terpadu
Lapangan golf
17. Pemulung
18. Pengelola
19. Kesehatan Ppenambangan
Gas, listrik
Kondisi
Lingkungan Lahan budidaya
Biofisik

Perumahan
Potensi 5 zone
TPA Bantar Gebang
Industri

Kondisi
SosialEkonomi

Gambar 3: Tahapan Kegiatan Penelitian.

3.4. Metode dan Analisis Data


Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) analisis fisik
kimia, (2) mikrobiologi lingkungan (distribusi lala t), (3) sosial ekonomi, (4) pengaruh
46

TPA terhadap kualitas air dan masyarakat, (5) umur pemanfaatan TPA. Teknik Prospektif
untuk mengidentifikasi faktor- faktor yang mempengaruhi, menetapkan faktor dominan
dan merancang skenario yang mungkin terjadi di masa datang, sedangkan Proses Hierarki
Analitik (AHP) digunakan untuk pengambil keputusan.
A. Data Fisik Kimia
Analisis fisik -kimia dilaksanakan pada musim hujan dan musim kemarau, dengan
melakukan kegiatan analisis kualitas air sumur, air sungai dan air lindi. Pengujian yang
dipakai ialah pengukuran Biochemical Oxygen Demand (BOD) contoh dalam keadaan
aerobik pada suhu 20° C selama lima hari. Pengujian lain untuk melihat kandungan zat
organik dapat melalui Chemical Oxygen Demand (COD), jumlah karbon organik dan
oksigen terlarut (D.O). Parameter anorganik di dalam air dapat digambarkan dalam
bentuk salinitas, kesadahan, pH, keasaman, alkalinitas dan kandungan besi (Fe), mangan

(Mn), klorida (Cl?), sulfat (SO4²? ), sulfida ( S²¯ ), logam berat ( Hg, Pb, Cr, Cu, Zn ),

organik ammonia (N-NH3), nitrit (N-NO2), nitrat (N-NO3) dan orto fosfat (Suratmo,
1991):
a. Analisis Kualitas Air sumur
Data yang terkait dan diukur adalah suhu, pH air sumur, nitrat, nitrit, kadmium
(Cd), mangan (Mn), besi (Fe), bahan organik total dan kekeruhan (turbiditas).
Pengukuran suhu, pH dan turbiditas dilakukan di lapangan (in situ). Pada penelitian ini
metode yang dipakai disesuaikan dengan parameter yang diteliti. Data tersebut digunakan
untuk melakukan kajian potensi pencemaran air yang diakibatkan oleh keberadaan TPA
sampah.
Untuk menetapkan kelayakan air sumur sebagai bahan baku air minum,
ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup
Nomor Kep-02/MENKLH/I/1988, tentang Baku Mutu Air golongan B, dan Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 416/MENKES/IX/1990, tentang
persyaratan kualitas air minum.
47

b. Analisis Kualitas Air sungai


Data yang terkait dengan pengaruh TPA terhadap kualitas air sungai diperoleh
dari pengujian laboratorium seperti pengukuran suhu, pH, kekeruhan (turbiditas),
Konduktivitas (DHL), BOD, COD, ammonia, nitrit dan nitrat, padatan tersuspensi (TSS)
dan kecepatan arus. Pengukuran suhu, pH, DHL, turbiditas dan kecepatan arus dilakukan
di lapangan (in situ). Data tersebut untuk melakukan kajian potensi pencemaran air
sungai yang diakibatkan oleh kegiatan TPA sampah.
c. Analisis Kualitas air lindi
Data yang terkait dengan kualitas air lindi diperoleh dari pengujian laboratorium
seperti nitrat, nitrit, pH, BOD dan COD, sulfida, klorida, seng dan besi. Gambaran
kualitas air lindi terbagi dalam dua kategori, yaitu air lindi pada titik inlet IPAS dan outlet
IPAS. Titik inlet adalah air lindi yang masuk ke dalam IPAS dari landfill, sedangkan
outlet adalah air lindi yang telah mengalami pengolahan di IPAS. Air lindi yang
dianalisis antara lain dari zone I sampai dengan zone V untuk mengetahui perbedaan
kondisi fisik kimia, oleh karena setiap zone digunakan untuk penimbunan sampah dengan
waktu yang berbeda. Data tersebut selanjutnya digunakan untuk melakukan kajian
potensi pencemaran air yang diakibatkan oleh pencemaran air lindi.
B. Data Mikrobiologi
Analisis data mikrobiologi, khususnya E. coli, coliform dan penyebaran lalat
diambil dari data primer, metode grill net persatu waktu umpan, parameter Departemen
Kesehatan RI Nomor 281-II/PD.03.04.LP tanggal 30 Oktober 1989, jumlah keberadaan
lalat 30 per grill.
C. Sosial Ekonomi dan Kesehatan Masyarakat
Analisis sosial ekonomi masyarakat didasarkan atas kuisioner, data dikumpulkan
dan disederhanakan pencatatannya baik dengan coding maupun tabulasi, maka data
tersebut dianalisis. Analisis data yang digunakan adalah statistik deskriptif meliputi
analisis persentase dan tabulasi silang. Analisis persentase adalah frekuensi distribusi
relatif, data dibagi dalam beberapa kelompok dan dinyatakan dalam persentase, tabulasi
silang untuk melihat hubungan antara beberapa variabel. Data sosial ekonomi yang
diamati merupakan data kualitatif, sehingga dinilai berdasarkan scoring. Data yang
48

discoring tersebut merupakan data yang diskontinyu (1,2,3 …n), karena itu metode
analisis yang digunakan analisis statistik non-parametrik.
Tujuan analisis adalah untuk mengetahui tingkat keeratan hubungan antar peubah
sosial ekonomi, maka digunakan model analisis korelasi, dengan pertimbangan hubungan
peubah sosial ekonomi tersebut bukanlah hubungan sebab akibat, melainkan hubungan
setaraf. Oleh karena itu dipilih metode Korelasi Rank Spearman (Siegel, 1990).
D. Umur Pemanfaatan TPA
Untuk menentukan umur TPA, dilakukan studi literatur tinggi tumpukan sampah,
luas pada seluruh zone serta laju penyusutan sampah. Data yang terkait dengan tinggi
tumpukan sampah dilakukan melalui studi literatur pada komponen luas dan ketinggian
sampah pada seluruh zone yang kemudia n dibandingkan antara ketinggian rencana
dengan ketinggian aktual. Sedangkan penyusutan sampah dan untuk mempridiksi
penurunan ketinggian sampah sesuai dengan dimensi umurnya serta untuk menghitung
umur pemanfaatan TPA digunakan studi literature .
E. Analitik Hierarki Proses (AHP)
Dengan AHP, proses keputusan kompleks dapat diurai menjadi keputusan lebih
kecil yang dapat ditangani dengan mudah antara lain: a). Penyusunan hierarki yaitu,
persoalan yang akan diselesaikan diuraikan menjadi kreteria dan alternatif, kemudian
disusun menjadi struktur hirarki; b). Penilaian kriteria dan alternatif dinilai melalui
perbandingan berpasangan. Menurut Saaty (1983) dalam Marimin 2004, untuk berbagai
persoalan, skala 1 sampai 9 adalah skala terbaik dalam mengespresikan pendapat. Nilai
dan definisi pendapat kualitatif dari skala seperti Tabel 9.
Tabel 9: Nilai dan Definisi Pendapat Kualitatif
Nilai Keterangan
1. Kriteria atau alternatif A sama penting dengan kriteria atau
alternatif B.
3. A sedikit penting dari B
5. A jelas lebih penting dari B
7. A sangat jelas lebih penting dari B
9. Mutlak lebih penting dari B
2,4,6,8 Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan
49

Nilai perbandingan A dengan B adalah 1 dibagi dengan nilai perbandingan B dengan A.


c). Penentuan prioritas, untuk setiap kriteria dan alternatif perlu dilakukan perbandingan
berpasangan. Nilai- nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan
peringkat relatif dari seluruh alternatif. Kriteria kualitatif maupun kuantitatif dapat
dibandingkan sesuai dengan judgement yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot
dan prioritas, bobot atau prioritas dihitung dengan manipulasi matriks atau melalui
penyelesaian persamaan matematik. d). Konsistensi logis, semua bagian dikelompokkan
secara logis dan diperingkatkan sesuai dengan suatu kriteria yang logis.
Untuk melihat prinsip kerja AHP perlu dilakukan antara lain:
a. Perumusan masalah, untuk menyelesaikan masalah tersebut, maka perlu dilakukan tiga
langkah berikut: 1). Penentuan sasaran yang ingin dicapai, 2). Penentuan kriteria
pemilihan, dan 3). Penentuan alternatif pilihan. Informasi mengenai sasaran, kriteria
dan alternatif tersebut kemudian disusun dalam bentuk diagram, pembobotan kriteria,
penyelesaian dengan menipulasi matriks, yang disusun dalam bentuk diagram.
b. Pembobotan kriteria, dari ketiga kriteria perlu ditentukan tingkat kepentingannya,
dengan cara: 1). Menentukan bobot secara sembarang, 2). Membuat skala interval
untuk menentukan ranking setiap kriteria, dan 3). Menggunakan prinsip kerja AHP,
yaitu perbandingan berpasangan, tingkat kepentingan suatu kriteria relatif terhadap
kriteria lain dapat dinyatakan dengan jelas.
c. Penyelesaian dengan manipulasi matriks, matrik diolah untuk menentukan bobot dari
kriteria dengan menentukan nilai eigen (eigenvector), untuk mendapatkan nilai eigen
adalah: 1). Kuadratkan matriks tersebut, 2). Hitung jumlah nilai dari setiap baris
kemudian lakukan normalisasi, 3). Hentikan proses ini, bila perbedaan antara jumlah
dari dua perhitungan berturut-turut lebih kecil dari nilai batas tertentu. Penyelesaian
misalnya dengan syarat 4 angka di belakang koma.
d. Pembobotan alternatif, susunlah matriks berpasangan untuk alternatif-alternatif bagi
setiap kriteria.
50

F. Teknik Prospektif
Setelah diketahui kondisi lingkungan di sekitar TPA berdasarkan pengujian
laboratorium untuk kualitas air sumur, sungai, lindi, biologi dan sosial ekonomi serta
kesehatan, maka untuk menentukan skenario pemanfaatan TPA masa mendatang
dilakukan modeling, dengan metode analisis prospektif yang akan menentukan partisipasi
masyarakat serta kelembagaannya dan kemungkinan pemanfaatan TPA masa depan.
Analisis prospektif dalam penelitian ini akan digunakan untuk mengidentifikasi faktor-
faktor yang mempengaruhi sistem, serta menetapkan faktor dominan dan skenario dalam
pemanfaatan TPA pascaoperasi berbasis masyarakat.
Menurut Hardjomidjojo (2002), Analisis Prospektif merupakan suatu jenis
analisis yang digunakan untuk melihat kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di waktu
yang akan datang. Analisis ini digunakan dengan tujuan (1) mempersiapkan tindakan
strategis, (2) melihat apakah perubahan dibutuhkan di masa depan. Di dalam melakukan
analisis berdasarkan jawaban responden, dengan langkah-langkah berupa:
a. Mengidentifikasi faktor penentu di masa depan, dengan cara:
1) Mencatat seluruh elemen penting;
2) Mengidentifikasi keterkaitan;
3) Membuat tabel untuk menggambarkan keterkaitan;
4) Memilih elemen kunci untuk masa depan.
b. Menentukan tujuan strategis dan kepentingan pelaku utama;
c. Mendefinisikan dan menggambarkan evolusi kemungkinan masa depan, dengan
tahapan sebagai berikut:
1) Mengidentifikasi bagaimana elemen kunci dapat berubah dengan menentukan
keadaan pada setiap faktor;
2) Memeriksa perubahan mana yang dapat terjadi bersamaan;
3) Menggambarkan skenario dengan memasangkan perubahan yang akan terjadi
dengan cara mendiskusikan skenario dan implikasinya.
Untuk melihat pengaruh langsung antar faktor dalam sistem, yang dilakukan pada
tahap pertama analisis prospektif digunakan matriks seperti pada Lampiran 1. Sedangkan
menentukan faktor dominan digunakan softwer analisis prospektif yang memperlihatkan
51

tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor di dalam sistem, dengan tampilan
seperti Gambar 4.

P
e Faktor Penentu Faktor Penghubung
n INPUT STAKES
g
a
r
u
Faktor Bebas Faktor Terikat
h UNUSED OUTPUT
Ketergantungan

Gambar 4: Tingkat pengaruh dan Ketergantungan antar faktor dalam sistem.

Analisis prospektif merupakan eksplorasi tentang kemungkinan di masa yang


akan datang. Analisis ini digunakan sebagai salah satu alat (tool) dalam penelitian. Dari
analisis prospektif didapatkan informasi mengenai faktor kunci dan tujuan strategis apa
saja yang berperan dalam peruntukan ruang sebagai kebutuhan para pelaku (stakeholders)
yang terlibat di dalam pemanfaatan masa depan. Selanjutnya faktor kunci dan tujuan
strategis (kebutuhan) tersebut akan digunakan untuk mendefinisikan dan
mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan bagi pemanfaatan TPA. Penentuan
faktor kunci dan tujuan strategis tersebut adalah sangat penting, dan sepenuhnya
merupakan pendapat dari pihak yang berkompeten sebagai pelaku dan ahli mengenai
pemanfaatan di masa mendatang. Pendapat para pelaku tersebut didapatkan melalui
bantuan kuesioner.
Oleh karena analisis prospektif dapat digunakan untuk mempersiapkan tindakan
strategis, melihat apakah perubahan dibutuhkan di masa depan, maka tahap yang
dilakukan adalah:
a. Berdasarkan tujuan studi, responden dimohon untuk memberikan faktor, kreteria dan
variabel yang mempengeruhi pencapaian tujuan studi.
b. Dari hasil indentifikasi kriteria, diperoleh beberapa faktor yang akan dilihat
hubungannya secara timbal balik (mutual), berdasar tabel matriks analisis pengaruh
antar faktor yang akan diisikan dengan skor antara 0-3. Pedoman penilaian dapat
dilihat pada Tabel 10.
52

Tabel 10. Pedoman Penilaian Analisis Prospektif


Skor Keterangan
0 Tidak ada pengaruh
1 Berpengaruh kecil
2 Berpengaruh sedang
3 Berpengaruh sangat kuat
c. Jika faktor yang diberikan oleh responden lebih dari 1, sebanyak N; dilakukan
analisis matriks gabungan dengan cara:
1) Apabila pengaruh antar satu faktor dengan faktor lainnya (sel) mempunyai nilai
0 dengan jumlah >½ N, maka nilai sel tersebut 0. Jika nilai 1,2 dan 3 bersama-
sama berjumlah >½ N, maka nilai sel tersebut ditentukan berdasarkan yang
paling banyak dipilih antara nilai 1,2,3.
2) Jika jumlah faktor (N) adalah genap dan diperoleh dalam satu sel jumlah nilai 0
sama banyak dengan jumlah nilai 1,2 dan 3, maka dilakukan diskusi lebih lanjut
kepada stakeholder, untuk menentukan nilai sel tersebut.
d. Nilai-nilai sel yang telah disepakati oleh responden dimasukkan kembali dalam
program seleksi faktor dalam bentuk: 1). Pengaruh langsung global; 2).
Ketergantungan global 3). Kekuatan global 4). Kekuatan global tertimbang 5).
Gambar hubungan antar faktor berdasarkan total pengaruh dan ketergantungan.
e. Seleksi 5 sampai 7 merupakan fakktor untuk diskusi tahap selanjutnya membangun
skenario berdasarkan keadaan kriteria (tahap 3). Seleksi dilakukan berdasarkan
kekuatan global ter timbang dan posisi faktor dalam gambar hubungan antar faktor,
yaitu pada kuadran kiri atas.
f. Nilai-nilai sel telah disepakati oleh para responden, dimasukan dalam program
seleksi faktor yang telah tersedia. Selanjutnya hasil analisis tersebut dalam bentuk
pengaruh langsung, tidak langsung dan total antar faktor dalam bentuk:
1) Pengaruh langsung global
2) Ketergantungan global
3) Kekuatan global
4) Kekuatan global tertimbang
5) Gambar hubungan antar faktor berdasarkan total pengaruh dan ketergantungan.
53

g. Seleksi 6 sampai 7 adalah faktor untuk diskusi selanjutnya membangun skenario


berdasarkan keadaan, kriteria (tahap 3), seleksi dilakukan berdasarkan kekuataan
global tertimbang dan posisi faktor dalam gambar hubungan antar faktor, yaitu pada
kuadran kiri atas.
h. Selanjutnya membuat keadaan suatu faktor berdasarkan pemanfaatan yang telah
menjadi prioritas di TPA. Untuk setiap faktor dapat dibuat satu atau lebih keadaan
dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Keadaan harus memiliki peluang sangat besar untuk terjadi (bukan hayalan)
dalam satu waktu di masa yang akan datang.
2) Keadaan bukan merupakan tingkatan atau ukuran suatu faktor (seperti besar,
sedang, kecil atau baik, buruk, tetapi merupakan deskripsi tentang situasi dari
sebuah faktor.
i. Keadaan yang ada diidentifikasi dari keadaan yang paling optimis sampai paling
pesimis.
j. Dari keadaan yang ada, dari kombinasi beberapa faktor dibuat skenario-skenario
yang mungkin terjadi di masa yang akan datang dan dipilih skenario yang mungkin
terjadi berdasarkan hasil identifikasi dari responden.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi

A. Letak Geografi

a. Letak dan luas wilayah


Letak Kota Bekasi relatif strategis, wilayahnya berbatasan dengan Provinsi DKI
Jakarta dan Provinsi Jawa Barat. Secara geografis, Kota Bekasi berada pada posis i 106°
55’ Bujur Timur dan 6° 7’– 6° 15’ Lintang Selatan, dengan ketinggian 19 m di atas
permukaan laut dan luas wilayah 21.049 ha.
Kota Bekasi terbagi menjadi 10 wilayah kecamatan yang masing- masing terdiri
beberapa kelurahan. Masing- masing wilayah Kecamatan tersebut adalah Bekasi Utara,
Bekasi Selatan, Bekasi Timur, Bekasi Barat, Medan Satria, Rawa Lumbu, Bantar
Gebang, Jati Asih, Jati Sempurna dan Pondok Gede (Gambar 5).
Kecamatan Bantar Gebang meliputi delapan kelurahan yaitu: Kelurahan Bantar
Gebang, Kelurahan Cikiwul, Kelurahan Padurenan, Kelurahan Cimuning, Kelurahan
Sumur Batu, Kelurahan Ciketing Udik, Kelurahan Mustika Jaya dan Kelurahan Mustika
Sari. Luas dari ketiga kelurahan yang merupakan lokasi TPA adalah Kelurahan
Ciketing Udik 343,34 ha (di selatan dari TPA), Kelurahan Cikiwul 434,70 ha (di barat
dan utara TPA) dan Kelurahan Sumur Batu 568,95 ha (di timur dan utara TPA).
Batas Kecamatan Bantar Gebang dengan daerah sekitarnya adalah sebagai
berikut:
Sebelah Utara : Bekasi Timur dan Bekasi Barat
Sebelah Selatan : Kabupaten Bogor
Sebelah Barat : DKI Jakarta
Sebelah Timur : Setu Kabupaten Bekasi
Lokasi TPA dibatasi tiga kelurahan yaitu Kelurahan Ciketing Udik, Kelurahan
Cikiwul dan Kelurahan Sumur Batu, Kecamatan Bantar Gebang, Kota Bekasi, Provinsi
Jawa Barat. Luas lahan TPA Bantar Gebang seluruhnya adalah 108 ha yang terdiri dari
lima wilayah atau zone. Luas efektif TPA yaitu luas yang digunakan untuk
menimbun sampah adalah 80 % dari seluruh luas lahan, 20 % digunakan untuk
prasarana TPA seperti pintu masuk, jalan, kantor dan instansi pengolahan lindi.
55

SKALA 1:50.000
U
9

DKI

10

6
1

2
Kabupaten Bogor

Lokasi TPA

• Kec. Pondok Gede 6. Kec. Rawa Lumbu


• Kec. Jati Sampurna 7. Kec. Bekasi Selatan
• Kec. Jati Asih 8. Kec. Bekasi Barat
• Kec. Bantar Gebang 9. Kec. Medan Satria
• Kec. Bekasi Timur 10. Kec. Bekasi Utara

GAMBAR 5: Peta Kota Bekasi


56

TPA Bantar Gebang dimiliki oleh Pemda DKI Jakarta yang ditujukan untuk
penyelenggaraan sistem pengolahan sampah dengan memperhatikan segi lingkungan,
dioperasikan tahun 1989 direncanakan mampu menampung sampah dari Jakarta dan
Kota Bekasi hingga tahun 2005 (Gambar 6).
b. Iklim

Keadaan iklim Kota Bekasi panas, tahun 2001 jumlah curah hujan yang relatif
tinggi hanya terjadi pada bulan Januari, Februari dan Maret yaitu masing- masing
tercatat 1.539 mm³, 1.094 mm³ dan 1.049 mm³. Jumlah curah hujan tertinggi tercatat di
Kecamatan Bekasi Utara pada bulan Januari yaitu 608 mm³ dengan jumlah hari hujan
selama 19 hari. Sedangkan jumlah curah hujan pada bulan lainnya di musim hujan rata-
rata kurang dari 400 mm³.

Kecamatan Bantar Gebang terletak di daerah tropis yang mengalami musim


hujan dan kemarau, dengan jumlah curah hujan bervariasi setiap tahunnya. Curah hujan
rata-rata tergolong tinggi yaitu sebesar 2.230 mm³ pertahun, dengan variasi hujan antara
79 – 300 mm. Suhu udara rata-rata berkisar 24 – 33° C sepanjang tahun. Kelembaban
udara bervariasi antara 60 – 99 persen, kecepatan angin berkisar antara 0,5 – 1,5 m per
detik.

c. Penduduk

Jumlah penduduk Kota Bekasi 1.700.678 jiwa dengan luas wilayah 21.049 ha,
memiliki laju pertumbuhan penduduk alami 1,50 persen per tahun dengan laju
pertumbuhan penduduk migran 3,69 persen (Statistik Kota Bekasi dalam Angka, 1999).
Jumlah penduduk di Kecamatan Bantar Gebang berjumlah 99.766 jiwa yang terdiri dari
66.454 jiwa laki- laki dan 33.312 jiwa perempuan dalam 6.704 kepala keluarga,
kepadatan penduduk sebesar 22,36 jiwa per km². Jumlah dan perkembangan
penduduk di Kelurahan Sumur Batu, Cikiwul dan Ciketing Udik pada tahun 2001 setiap
bulannya bertambah, disebabkan banyaknya penduduk yang datang dari luar Bekasi,
seperti: dari Jakarta, Cirebon, Madura dan lain- lain (Tabel 11).
57

Gambar : 6 Peta TPA Bantar Gebang


58

Tabel 11. Jumlah dan Perkembangan Penduduk di tiga Kelurahan.


Kelurahan
No Bulan Sumur Batu (Jiwa) Ciketing Udik (Jiwa) Cikiwul (Jiwa)
1. Januari 7.227 6.308 7.121
2. Pebruari 7.246 10.126 16.813
3. Maret 7.248 10.146 16.813
4. April 7.274 10.168 16.815
5. Mei 7.286 10.189 16.816
6. Juni 7.292 10.193 16.824
7. Juli 7.309 10.229 16.839
8. Agustus 7.324 10.244 16.855
9. September 7.474 10.270 16.903
10. Oktober 7.474 10.282 16.909
11. Nopember 7.477 10.289 16.952
12. Desember 7.469 10.303 16.954
Jumlah 88.100 109.504 192.614
Sumber: Kantor Kecamatan Bantar Gebang, Bekasi 2001.

B. Karakteristik Sampah Perkotaan dan TPA

a. Karakteristik sampah

Sampah mempunyai karakteristik yang berbeda antara satu kota dengan kota
lainnya, tergantung dari sumber, tingkat sosial ekonomi penduduk dan iklim (Suryanto,
1988). Karakteristik untuk berbagai jenis sampah seperti nilai kalor dan kadar air
sampah dan kadar abu (Laboratorium Balai Pelatihan Air Bersih dan Penyehatan
Lingkungan, Departemen Kimpraswil, 2005), nilai kadar air sampah permukiman
45,93 %, pasar modern 36,59 %, sekolahan 31,31 %, dan industri 23,73 %. Nilai
kadar air tertinggi berasal dari sumber sampah pasar tradisional 56,58 %, hal ini
disebabkan adanya banyak komponen sampah yang memiliki kandungan air yang
cukup tinggi seperti kulit buah, sisa sayuran, dan buah yang sudah membusuk,
sedangkan kadar air terendah didapatkan dari sumber sampah yang bersumber dari
perkantoran 23,17 %, jenis sampah yang banyak ditemui umumnya kandungan air yang
rendah seperti karet, plastik, kertas dan logam.
59

Sedangkan kadar abu sampah dipengaruhi oleh banyak sedikitnya kandungan


bahan yang mudah terbakar yang terdapat di dalam sampah, kadar abu yang terdapat
dari sumber sampah pasar modern 17,13 %, permukiman 16,24 %, sekolahan 13,92 %
dan industri 11,93 %. Kadar abu tertinggi adalah sampah yang berasal dari sampah
perkantoran 17,60 %, sedangkan kadar abu terendah berasal dari sampah pasar
tradisional 10,26 % .

Nilai kalor merupakan salah satu karakteristik sampah yang dapat


mempengaruhi proses incenerator, nilai kalor dari sumber sampah sekolahan 3248
kal/kg, perkantoran 2434 kal/kg, pasar modern 2102 kal/kg dan permukiman 2072
kal/kg. Nilai kalor sampah tertinggi berasal dari sampah indus tri nilai kalor 3553 kal/kg
sedangkan terendah didapatkan yang berasal dari sampah pasar tradisional nilai kalor
1778 kal/kg. Sampah yang berasal dari industri mempunyai nilai yang relatif tinggi,
karena adanya komponen tertentu yang dapat menghasilkan nilai kalor yang tinggi dan
dilihat dari jenis komponen yang ada maka prosentase yang tertinggi pada jenis
komponen tekstil atau kain, kertas dan plastik, sedangkan sampah yang berasal dari
pasar merupakan sampah yang menghasilkan nilai kalor yang terendah karena dilihat
dari komposisinya maka keadaannya berlawanan dengan sampah yang berasal dari
sampah industri, dimana komposisi sampah pasar terbesar adalah organik.

b. Komposisi sampah

1). Komposisi fisik sampah DKI Jakarta adalah besarnya komponen pembentukan
sampah yang dihasilkan rata-rata terdiri dari sampah organik 65,05 %, kertas 10,11
%, kayu 3,12 %, kain dan tekstil 2,45 %, karet, kulit dan yang sejenis 0,55 %,
logam 1,90 %, kaca, gelas 1,63 %, baterai 0,28 %, plastik 11,08 %, tulang, kulit
telur 1,09 % dan lain- lain 2,74 % ( Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 1999). Data
Dinas Kebersihan 2004, jumlah sampah yang terangkut ke TPA Bantargebang
sebanyak 6.446.886 m³ Tabel 12.
60

Tabel 12. Jumlah sampah yang dibawa ke TPA Bantar Gebang Tahun 2004
No Sumber sampah Sampah per tahun (m³)

1 Dinas Kebersihan 79.524


2 Sudin Jakarta Pusat 154.448
3 Sudin Jakarta Utara 101.915
4 Sudin Jakarta Barat 82.510
5 Sudin Jakarta Selatan 441.319
6 Sudin Jakarat Timur 313.285
7 SPA Sunter 1.032.328
8 SPA Cakung 935.486
9 PD Pasar Jaya 275.801
10 Swastanisasi Kebersihan 1.989.910
11 Swasta Umum 13.536
12 Kendaraan sewa 1.026.824
Jumlah 6.446.886

Sumber: Dinas Kebersihan DKI Jakarta (2005).

2). Komposisi kimia, adalah besarnya kandungan zat kimia yang terdapat dalam
sampah. Komposisi kimia berhubungan dengan alterna tif pemrosesan atau
pengolahan dan pilihan pemulihan (Suryanto, 1988).
Pada sistem sanitary landfill dan open dumping, komposisi kimia dapat
dimanfaatkan untuk mengetahui tingkat pencemaran yang ditimbulkan oleh lindi
terhadap air tanah. Umumnya komposisi kimia sampah terdiri dari zat karbon,
hidrogen, oksigen, nitrogen, sulfur dan fospor (C,H,O,N,S,P), serta unsur lainnya
yang terdapat dalam protein, karbohidrat dan lemak (Suryanto, 1988).

c. Densitas atau Kepadatan Sampah

Kepadatan sampah menyatakan bobot sampah per satuan volume. Pada sistem
sanitary landfill, kepadatan sampah diperlukan untuk menentukan ketebalan lapisan
sampah yang akan dibuang pada sistem tersebut.

Tempat Pemusnahan Akhir (TPA) Bantar Gebang, menampung sampah dari


DKI Jakarta dan Kota Bekasi. Menurut Butler (2002), sampah yang berasal dari Kota
Jakarta dengan volume 19.500 sampai dengan 23.000 m³ perhari atau, sekitar 6.000 ton
61

perhari, komposisi bahan organiknya serupa dengan kota-kota lain di Indonesia, antara
80 hingga 90 % dari total sampah organik dan anorganik (Tabel 13).

Tabel 13. Komposisi bahan organik dan anorganik di TPA Bantar Gebang
No Material Presentase
1. Kayu 5,70
2. Kertas 10,71
3. Tekstil 4,05
4. Organik (yang dapat membusuk) 65,96
Total Zat Organik 86,4
5. Plastik 8,24
6. Kaca 2,14
7. Logam 1,49
8. Lainnya 1,71
Sumber: Butler (2002).

C. Umur Teknis TPA Bantar Gebang

Umur pemanfaatan TPA menyangkut faktor teknis dan sosial. Faktor teknis
dipengaruhi oleh dinamika faktor- faktor teknis, yakni luas zone, tinggi sampah, laju
penyusutan dan laju penimbunan sampah. Sedangkan faktor sosial menyangkut
toleransi masyarakat di sekitar TPA dengan kualitas lingkungan terutama dampak
lingkungan.

D. Kualitas Lingkungan
Kualitas lingkungan adalah keadaan lingkungan yang diindikasikan oleh tinggi
rendahnya batas kadar parameter pencemaran lingkungan, sehingga zat pencemar
berada dalam batas-batas toleransi dalam lingkungan.
Tinggi rendahnya batas kadar zat pencemar lindi dipengaruhi oleh tinggi
rendahnya atau fluktuasi debit air sungai sebagai media penerimanya. Fluktuasi debit
air sungai yang relatif stabil lebih diharapkan terjadi dan lebih baik dibandingkan
dengan debit yang sangat fluktuatif. Fluktuasi debit air ekstrim terjadi pada musim
hujan dan debit air sungai minimal musim kemarau. Fluktuasi debit air sungai yang
tajam tidak diharapkan, karena menimbulkan risiko banjir dan mempengaruhi
amplitudo konsentrasi zat pencemar dalam badan air sungai (Dinas Kebersihan DKI
2002).
62

Zat pencemar yang dianalisis adalah zat pencemar yang berada dalam perairan,
karena air merupakan komponen lingkungan yang sangat esensial untuk kehidupan.
Status zat pencemar relatif dapat menggambarkan karakteristik kegiatan manusia dalam
pengelolaan sumberdaya alam, khususnya di TPA dan wilayah yang diteliti, disamping
itu juga dapat menggambarkan keadaan alamiah dari lingkungan tersebut (Dinas
Kebersihan DKI, 2002). Standar yang digunakan untuk memahami karakteristik bahan
organik terhadap media air adalah BOD, COD, logam berat, dan mikroba.

E. TPA Liar dan Pemulung


a. TPA Liar.
TPA liar dibuat oleh masyarakat secara ilegal di sekitar TPA utama, dengan
sistem open dumping. TPA liar ditujukan untuk menguasai sampah secara pribadi untuk
diambil bahan yang laku di pasar, antara lain potongan besi, botol plastik, kayu, botol
kaleng, karton, dan sebagainya. Sisa sampah umumnya dimusnahkan dengan cara
dibakar. Sistem open dumping menimbulkan dampak yang cukup besar terutama air
lindi masuk ke dalam air tanah, asap, lalat dan bau.
TPA liar dipengaruhi oleh faktor yang kompleks, antara lain kerjasama
pemulung dan supir truk sampah, kebutuhan pasar, tuntutan pemulung dan sebagainya.
Untuk itu pengendalian TPA liar tidak semata- mata menyangkut faktor teknis, juga
menyangkut aspek sosial ekonomi.
b. Pemulung

Kegiatan pemulung, merupakan refleksi dari ketimpangan sosial ekonomi pada


masyarakat secara luas (Gambar 7). Dipandang dari sudut sosial ekonomi, pengentasan

dan pemberdayaan pemulung di kawasan TPA merupakan “bagian yang tidak


terpisahkan” dari perbaikan lingkungan hidup, peningkatan kinerja pengelolaan sampah
perkotaan, dan pemanfaatan sampah perkotaan secara komersial dalam skala besar.

Pengabaian dalam mengusahakan kehidupan yang lebih baik dari pemulung, akan
menimbulkan dampak ke arah hulu maupun hilir dalam konteks sosial ekonomi secara
luas ( Ken, 2002). Keberadaan pemulung di TPA Bantar Gebang yang setiap hari
bekerja mengambil sebagian sampah yang masih bernilai ekonomi untuk didaur ulang
atau digunakan kembali seperti plastik, kertas, kayu, botol dan sebaginya. Keberadaan
63

pemulung tersebut sangat mengganggu kelancaran pengoperasian alat-alat berat dan


dapat menimbulkan kecelakaan bagi para pemulung.

Gambar 7. Kegiatan pemulung di TPA Bantar Gebang

Menurut Samom et al., (2002) cara terbaik untuk pemisahan sampah pada
sumbernya yaitu dengan diberikan insentif keuangan, peraturan dan penciptaan
kesadaran lingkungan. Di Bangkok 90 % dari sampah padat dibuang dengan sistem
buangan terbuka, di sekitar TPA ada sejumlah toko-toko kecil (SSR) yang menjual
barang-barang bekas dari tempat sampah, barang-barang ini dikumpulkan dan dijual
oleh pegawai pengumpul dan pemulung. Jumlah barang yang diantarkan ke setiap SSR
ini sekitar 1-6 ton/hari. Total ton harian dari barang-barang yang dikumpulkan oleh para
pemulung diperkirakan sekitar 5 % dari jumlah sampah kota.

Secara informal pemulung mengambil barang (sampah) yang mempunyai


potensi untuk didaur ulang (kertas, karton, logam dan lain- lain) sehingga bernilai
ekonomis. Pemisahan ini dilakukan secara manual karena pemisahan barang-barang
yang dapat didaur ulang secara otomatis sukar dilakukan, Ridlo (1998). Masyarakat
banyak berpandangan tentang rendahnya pekerjaan pemulung, tetapi tidak disadari
manfaat yang dapat dikerjakan oleh pemulung sampah. Pekerja itu bukanlah menjadi
hambatan bagi mereka yang melihatnya dari aspek pemanfaatan dan dapat dipahami
sebagai mata pencaharian atau dipandang sebagai aspek ekonomi yang dapat
menunjang kehidupan keluarga. Jalur ekonomi itu mempunyai landasan dalam sistem
pemulungan, kondisi ini diakibatkan oleh kehendak atau kebutuhan hidup yang
ditunjang adanya permintaan terhadap berbagai jenis barang yang dikumpulkan dari
sampah tersebut.
64

Keterlibatan pemulung dalam pengelolaan sampah, dapat berperan ganda, secara


langsung dapat mensejahterakan pemulung melalui penjualan sampah yang dipungut
dari TPA. Secara tidak langsung mereka telah melakukan daur ulang terhadap sampah
anorganik yang sulit diuraikan oleh mikroba, misalnya plastik, logam, besi, alumunium,
kaleng dan lain sebagainya Garna et al., (1982). Pengumpulan sampah oleh pemulung
akan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, yaitu menimbulkan efek
estetika, dan sering menimbulkan konflik sosial dengan masyarakat sekitar lokasi TPA
sampah.

F. Dampak Pengelolaan TPA pada Lingkungan

Menurut Usman (2003), dalam kajian dampak sosial paling tidak ada tiga alasan
mengapa aspek sosial diperlukan bagi para pengambil kebijakan. Pertama, keberadaan
suatu usaha atau kegiatan mempunyai dampak positif sekaligus negatif terhadap
kehidupan masyarakat di sekitarnya. Kedua, penilaian atau respon masyarakat terhadap
keberadaan suatu usaha atau kegiatan berubah-ubah. Sesuatu yang dianggap bermanfaat
oleh lapisan atau sekelompok lainnya, dan sesuatu yang dianggap baik pada kurun
waktu tertentu tidak dianggap baik pada kurun waktu tertentu tidak selamanya dianggap
baik pada kurun waktu selanjutnya. Ketiga, dalam kurun waktu yang sama, kehidupan
masyarakat boleh jadi bersentuhan dengan beberapa usaha atau kegiatan sekaligus.
Hasil yang diharapkan dari aspek sosial dalam kegiatan dampak lingkungan
adalah pengetahuan komprehensif tentang dampak suatu usaha atau kegiatan terhadap
kehidupan masyarakat di sekitarnya, dimanfaatkan untuk: (1). proses pengambilan
keputusan (khususnya dalam memperhitungkan resiko yang dihadapi. sedangkan (2).
memperbaiki kebijaksanaan (terutama menghilangkan hal- hal yang sudah terbukti
merugikan. Paling tidak terdapat 4 variabel kunci yang perlu dikaji sehubungan dengan
introduksi suatu usaha atau kegiatan, yaitu: keresahan sosial, konflik sosial (benturan)
dan integrasi sosial dari kelestarian nilai- nilai sosial. Keresahan sosial antara lain
ditandai oleh protes yang dilakukan oleh penduduk lokal (baik tertulis maupun lisan),
demonstrasi dan gerakan-gerakan politik lain yang dilandasi oleh ketidak puasan.
Apabila komentarnya itu terjadi, itu berarti dampaknya adalah negatif.
65

Konflik (benturan) sosial dalam kontek kajian dampak lingkungan meliputi


hubungan diantara penduduk lokal antara lokal dan pendatang serta antara pendatang.
Apabila kontek ini sering terjadi, dampak suatu usaha atau kegiatan adalah negatif.
Sebaliknya, apabila jarang terjadi (bahkan hampir tidak pernah terjadi) dampaknya
adalah nol, sedangkan kele starian nilai- nilai kultural antara lain dapat diidentifikasi dari
keberadaan upacara keagamaan, upacara adat dan upacara siklus kehidupan (kelahiran,
perkawinan dan kematian). Apabila upacara-upacara semacam ini terganggu atau
semakin terabaikan, dampaknya adalah negatif dan sebaliknya.
Kegiatan TPA menurut dokumen AMDAL diperkirakan akan menimbulkan
dampak lingkungan tergolong penting meliputi komponen fisik-kimia, biologi, sosial
ekonomi, dan kesehatan masyarakat (Tabel 14). Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat
bahwa kehadiran TPA di satu sisi menimbulkan dampak negatif dan pada sisi lain
menimbulkan dampak positif, berupa peluang usaha dan kesempatan kerja. Prakiraan
dampak penting tersebut menjadi dasar dalam Rencana Pengelolaan dan Rencana
Pemantauan Lingkungan, yang mengikat secara hukum. Rencana Pengelolaan
Lingkungan merupakan wujud nyata dalam meminimkan dampak lingkungan dari TPA
(Dinas Kebersihan DKI 1997).
Tabel 14. Perkiraan Jenis Dampak Penting di TPA Bantar Gebang

No Jenis Dampak Penting

1. Penurunan kualitas udara


2. Peningkatan kebisingan
3. Penurunan kualitas air permukaan (sungai Ciketing dan sungai sumur batu)
4. Penurunan kualitas air tanah
5. Komponen biologi. Meliputi jumlah taka, jumlah individu, serta
keanekaragaman plankton.
6. Peluang usaha dan kesempatan kerja
7. Penurunan kesehatan masyarakat di sekitar lokasi TPA
8. Peningkatan kepadatan lalu lintas dan kemacetan, pengangkutan sampah ke
TPA
9. Timbulnya keresahan dan konflik sosial terutama masyarakat dengan
pemulung
10. Peningkatan peluang terjadinya kecelakaan kerja akibat aktivitas pemulung
di TPA.
11. Berkurangnya nilai estetika akibat adanya aktivitas pemulung sampah yang
membangun gubuk- gubuk dan menumpuk sampah di sekitar tempat
pemukiman mereka dan di sepanjang jalan masuk ke TPA
Sumber: Rencana Pengelolaan Lingkungan LPA Bantar Gebang ( 1997).
66

Sampah perkotaan dapat mengandung bakteri patogen, virus, protozoa dan


parasitic helminthes yang berpotensi menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia,
hewan, maupun tumbuhan. Menurut Ken, (2002), bakteri yang membahayakan adalah
bakteri yang dapat membentuk spora, yang dikenal mengakibatkan penyakit Anthrax,
Botulisme, gangrene, dan sebagainya. Kandungan logam berat, juga potensial dalam
sampah perkotaan. Sebagian logam berat ini ada yang secara alamiah dibutuhkan oleh
tumbuhan dalam jumlah tertentu. Sebagian lagi tidak diperlukan secara esensial oleh
tanaman, tetapi karena keterkaitannya dengan mata rantai makanan yang potensial bisa
membahayakan bagi kesehatan manusia dan hewan, bila dikonsumsi dalam jangka
waktu yang panjang. Air lindi juga dihasilkan oleh sistem sanitary landfill, apabila
tidak dikelola dengan baik merupakan ancaman bagi penyedia air bersih, baik air
permukaan maupun air tanah. Air lindi yang dikelola dengan baik dibutuhkan sebagai
komponen penting bagi kompos, guna menghasilkan pupuk organik berkualitas
(Gambar 8).

Gambar 8: Pengelolaan air lindi di TPA Bantar Gebang

Berdasarkan surat perjanjian antara Pemerintah DKI Jakarta dan Pemerintah


Kota Bekasi Nomor 96 Tahun 1999/168 tentang Pengelolaan Sampah dan Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) Sampah di Kecamatan Bantar Gebang, Kota Bekasi,
pengelolaannya merupakan tanggung jawab bersama dan memiliki tujuan antara lain:

a. Mengembangkan dan meningkatkan pengelolaan sampah dan pengelolaan TPA


berdasarkan azas manfaat dan kebersamaan serta saling menguntungkan.
67

b. Untuk memadu-serasikan pengelolaan sampah dan pengelolaan TPA, sehingga


aman dan memenuhi persyaratan kesehatan masyarakat serta tidak menimbulkan
pencemaran lingkungan.
Pengelolaan sampah di TPA merupakan suatu proyek yang akan berpengaruh
terhadap aspek sosial lainnya baik secara langsung maupun tak langsung, setidaknya
ada tiga dampak positif yang akan timbul sebagai akibat kesejahteraan penduduk, yaitu:
1). semakin terbukanya informasi daerah sekitar TPA terhadap daerah lainnya, 2).
terjadinya peningkatan interaksi sosial masyarakat di sekitar TPA dengan masyarakat
lainnya. dan 3). terjadinya peningkatan perbedaan status sosial, sejalan dengan
kesenjangan pendapatan di kalangan masyarakat, Tonny (1990).

G. Peranserta Masyarakat, Swasta dan Pengelola TPA


Peranserta masyarakat, swasta dan pengelola sampah pada saat ini menurut
Dinas Kebersihan DKI Jakarta 2005, telah melakukan antara lain adalah:

a. Peranserta masyarakat
Pada saat ini peranserta masyarakat dalam pengumpulan sampah di
koordinasikan oleh RT/RW, dengan pengadaan petugas gerobak sampah swadaya
masyarakat dan merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan oleh sistem
pengumpulan serta pengangkutan sampah yang diselenggarakan oleh Dinas Kebersihan.
Proses pengumpulan sampah sudah cukup besar, namun masih perlu ditingkatkan
terutama untuk proses pemilihan sampah organik dan anorganik, serta upaya
pengumpulan sampah di sumbernya.

b. Peranserta Swasta
Pada saat ini sektor swasta telah ikut berperan dalam pengelolaan sampah baik
dalam proses pengangkutan sampah, pengoperasian SPA dan TPA Bantar Gebang
berdasarkan sistem kontrak kerja. Peran sektor swasta ini masih perlu ditingkatkan
kearah investasi untuk pembangunan fasilitas pengelolaan sampah (SPA, TPA,
incinerator) termasuk pengoperasiannya agar mengurangi beban biaya pemerintah.
Peran swasta dalam pengembangan sistem pengelolaan sampah secara bertahap akan
diterapkan peran Dinas Kebersihan sebagai Regulator dimana secara bertahap pula
diharapkan peran swasta dan masyarakat setempat menjalankan operasionalisasi peran
operator per bidang yang diminati.
68

Peranserta sektor swasta yang selama ini telah berjalan dalam kegiataan-
kegiatan penyapuan jalan, pengangkutan sampah, pengoperasian SPA Cakung dan
pengoperasian TPA Bantar Gebang perlu terus ditingkatkan dan dikembangkan dalam
rangka pembinaan sektor swasta sebagai operator. Langkah selanjutnya adalah
mendorong sektor swasta untuk investasi dalam pembangunan dan pengoperasian
fasilitas pengolahan sampah termasuk prasarana dan sarana penunjangnya seperti ITF
(Intermediate Treatment Facility) suatu teknologi yang merubah bentuk, komposisi dan
atau mereduksi jumlah sampah atau residu yang harus dibuang ke TPA, Stasiun
Peralihan Antara (SPA) dan truk sampah (truk compector, truk Kapsul dan dump
truck). Akan tetapi, peningkatan peran sektor swasta ini jangan bersifat monopolistik
dan kapitalistik, namun harus partisipatif dan bersifat pemerataan (memberi peran
berarti pada perusahaan kecil dan menengah termasuk para pemulung).
c. Pengelola TPA
Berdasarkan SK. Gubernur Nomor 15 tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Dinas Kebersihan Propinsi DKI Jakarta, Struktur Organisasi Dinas Kebersihan
saat ini seperti pada Gambar 9, dengan kegiatan sebagai berikut:
a. Dinas Kebersihan terdiri dari 6 Sub Dinas, 1 Bagian, 18 Seksi, 5 Sub-Bagian, dan 1
Unit Pelaksana Teknis;
b. Sub Dinas Kebersihan masing- masing terdiri dari 6 Seksi dan 1 Sub-Bagian;
c. Ditiap Kecamatan terdapat 1 Seksi, dan tiap Kelurahan terdapat 1 Sub-Seksi;
d. Jumlah petugas Dinas Kebersihan terdiri dari 3.633 orang pegawai dan 2950 orang
pegawai harian lepas. Terdapat 6.656 orang petugas gerobak swadaya masyarakat
(Dinas Kebersihan Propinsi DKI Jakarta, 2005).
Sedangkan TPA Bantar Gebang telah melaksanakan hal penting dalam
pengelolaan lingkungan antara lain:
a. Pelapisan tumpukan sampah oleh tanah merah (soil cover) telah dilakukan hampir di
seluruh zone, kecuali pada zone yang aktif (adanya kegiatan pengumpulan sampah).
b. IPAS konstruksinya telah direhabilitasi, namun proses pengolahannya sedang dalam
penyempurnaan. Proses pengolahan sudah terlihat adanya keterpaduan antara
perlakuan fisik, kimia, dan biologi.
c. Penertiban TPA liar dan diupayakan bekas TPA tersebut dilapisi oleh tanah merah.
69

Gambar 9: Struktur Organisasi Dinas Kebersihan Propinsi DKI Jakarta


70

4.2. Evaluasi Fisik-Kimia

A. Perkembangan Kualitas Air Sumur

a. Kekeruhan
Kekeruhan dapat menggambarkan tingkat penetrasi cahaya ke dalam perairan,
Pescod (1973). Tingkat kekeruhan dipengaruhi oleh padatan tersuspensi dan koloid
yang terkandung di dalam perairan. Secara tidak langsung kekeruhan dapat
mempengaruhi produktivitas perairan. Nilai kekeruhan yang tinggi akan mengurangi
penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan, sehingga proses fotosintesis akan
berlangsung pada lapisan air yang lebih tipis, dengan demikian produktivitas perairan
akan semakin menurun. Kekeruhan juga dapat mempengaruhi kehidupan ikan dan
organisme air lainnya, derajat kekeruhan yang tinggi akan mengganggu organ-organ
pernapasan atau alat penyaring makanan dari organisme air, sehingga dapat
mengakibatkan kematian.
Menurut Saeni 1988, kekeruhan terjadi karena adanya bahan tersuspensi yang
bervariasi dari ukuran koloidal sampai dengan dispensi kasar, tergantung pada derajat
turbilansinya. Bahan tersuspensi tersebut terdiri dari bahan organik dan anorganik yang
berasal dari limbah domestik, limbah industri dan juga dari erosi. Pengukuran
kekeruhan biasa dipakai JTU (Jeckson Turbidity Unit) dan NTU (Nephelometric
Turbidity Unit) Gambar 10.

Gambar 10. Lokasi Sumur bawah dari TPA

Kekeruhan merupakan suatu ukuran banyaknya bahan-bahan tersuspensi yang


terdapat di dalam air, seperti senyawa organik. Air yang keruh akan memberi
71

perlindungan pada kuman. Pada air yang mengandung zat organik dan anorganik,
mikroorganisme dapat berkembang dan hidup baik. Oleh karena itu bakteri terdapat
pada semua sistem air yang dapat merugikan atau tidaknya tergantung pada kondisi
optimum yang menunjang pertumbuhannya. Penyimpangan terhadap standar kualitas
yang telah ditetapkan yaitu 25 NTU (Nephelometric Turbidity Units) akan
menyebabkan gangguan estetika dan mengurangi efektivitas desinfeksi air. Temuan
hasil penelitian terhadap kualitas air sumur penduduk yang berada di Kelurahan
Ciketing Udik yang terletak di atas dari TPA dengan parameter kimia- fisika dan biologi
dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15 . Kualitas Air Sumur Atas dari TPA 2004


Air Sumur Atas TPA Rata-
Parameter Satuan Standard Kisaran
2 Okt 04 23 Okt 04 27 Nop 04 rata
Suhu ºC 27,7 26,8 23,8 23,8-27,7 26,1
Kekeruhan NTU 5 1 2 2 1–2 1,7
pH 6.9-8.5 6,73 6,81 6,69 6,69-6,81 6,74
TDS mg/l 1.300 288 279 189 189-288 252
BOD5 mg/l 6 2,70 3,06 3,44 2,70-3,44 3,06
COD mg/l 10 5,44 6,45 11,6 5,44-11,6 7,83
Ammonia(N-NH3 ) ppm 0 0,376 0,404 0,299 0,299-0,404 0,359
Kesadahan mg/l 500 66,4 70,3 598,3 66,4-598,3 245
Nitrat (N-NO3 ) mg/l 10 2,804 2,245 2,780 2,245-2,804 2,609
Nitrit (N-NO2 ) mg/l 1 0,017 0,015 0,022 0,015-0,022 0,018
Klorida mg/l 600 102,5 90,5 98,3 90,5-102,5 97,1
DO mg/l 3,08 3,11 3,11 3,08-3,11 3,1
Besi (Fe) mg/l 1.0 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05
Timbal (Pb) mg/l 0.05 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06
Sulfida mg/l 0.05 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05
Ortho-Phosfat mg/l 0.5 2,76 2,34 2,89 2,34-2,89 2,66
Seng (Zn) mg/l 15 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001
Coliform MPN/100ml 50 6,3x10¯¹ 8,0x10¯¹ 7,0x10¯¹ 63-80 71
E. coli MPN/100ml 3 6,3x10¯¹ 5,2x10¯¹ 5,2x10¯¹ 52-63 55,66
Sumber: Laboratorium Kimia Fisik dan Lingkungan, IPB 2004
Permenkes RI No.416/Menkes/Per/IX/1990
Keterangan Lokasi : Sumur pantek milik penduduk di Kelurahan Ciketing Udik.

Kekeruhan yang terjadi di sumur atas dan sumur bawah berfluktuasi cukup tajam,
kekeruhan air sumur bawah dari TPA dan yang di atas wilayah TPA pada tanggal 2
Oktober 2004 masing- masing adalah 1 NTU dan 15 NTU (Tabel 15 dan 16). Air sumur
yang dibawah dari TPA jauh lebih keruh daripada air sumur yang di atas wilayah TPA.
Bila dihubungkan dengan DO, maka kekeruhan ini konsisten dengan konsentrasi DO
72

yaitu air sumur yang di bawah dari wilayah TPA mempunyai DO lebih kecil dari pada
air sumur yang di atas dari wilayah TPA.
Kekeruhan air sumur pada tanggal 23 Oktober 2004 menunj ukkan peningkatan
tingkat kekeruhan baik air sumur yang dibawah TPA maupun yang di atas dari wilayah
TPA, yaitu masing- masing 18 NTU dan 2 NTU. Hal ini menunjukkan bahwa
penyinaran sumur di bawah lebih banyak terpencar daripada sumur diatas pada tanggal
23 Oktober 2004, Tingkat kekeruhannya di atas BMAPSA – KEPMENLH yang
diperbolehkan, tetapi untuk sumur yang di atas dari wilayah TPA, dibawah yang
dianjurkan. Tingkat kekeruhan air sumur bawah pada tanggal 27 Nopember 2004
mengalami penurunan dibandingkan dengan kekeruhan pada tanggal 23 Oktober 2004,
yaitu masing- masing adalah 14 NTU dan 18 NTU (Tabel 16).

Tabel 16. Kualitas Air Sumur Bawah dari TPA 2004


Air Sumur Bawah TPA Rata-
Parameter Satuan Standard Kisaran
2 Okt 04 23 Okt 04 27 Nop 04 rata
Suhu ºC 26,6 27,0 22,8 22,8-27,0 25,46
Kekeruhan NTU 5 15 18 14 14-18 15,66
pH 6.9-8.5 6,70 6,88 6,55 6,55-6,88 6,71
TDS mg/l 1.300 135 156 176 135-176 155,66
BOD5 mg/l 6 3,56 3,80 4,09 3,56-4,09 3,81
COD mg/l 10 8,99 9,12 11,05 8,99-11,05 9,72
Ammonia (N-NH3 ) ppm 0 0,557 0,486 0,442 0,442-0,557 1,485
Kesadahan mg/l 500 38,7 45,6 44,3 38,7-45,6 42,6
Nitrat (N-NO3 ) mg/l 10 1,879 1,690 1,663 1,663-1,879 1,744
Nitrit (N-NO2 ) mg/l 1 0,052 0,047 0,044 0,044-0,052 0,047
Klorida mg/l 600 65,0 59,8 59,9 59,8-65,0 61,56
DO mg/l 3,04 3,02 3,11 3,02-3,11 3,05
Besi (Fe) mg/l 1.0 0,414 0,504 0,288 0,288-0,504 0,402
Timbal (Pb) mg/l 0.05 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06
Sulfida mg/l 0.05 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05
Orto-Phosfat mg/l 0.5 4,80 3,56 3,87 3,56-4,80 4,07
Seng (Zn) mg/l 15 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001
Coliform MPN/100ml 50 0,01x10¯² 0,03x10¯¹ 0,03x10¹ 0,3 -1,0 0,53
E. coli MPN/100ml 3 0,01x10¹ 0,2x10¯² 0,5x10¯² 0,1-50 23,36
Sumber: Laboratorium Kimia Fisik dan Lingkungan, IPB 2004
Permenkes RI No.416/Menkes/Per/IX/1990
Keterangan Lokasi : Sumur pantek milik penduduk di Kelurahan Sumur Batu.

Kisaran kekeruhan air sumur di atas wilayah TPA secara keseluruhan selama
priode tanggal 2 Oktober 2004 sampai dengan 27 Nopember 2004 minimum adalah 1
NTU dan maksimum 2 NTU dan rata-ratanya adalah 1,7 NTU. Hal ini masih dibawah
BMPSA yang dianjurkan. Sedangkan kisaran kekeruhan air sumur yang dibawah dari
73

wilayah TPA pada periode yang sama adalah 14 – 18 NTU dengan rata-rata 15,66 NTU
yang berarti diatas BMPSA yang dianjurkan.

b. Suhu
Suhu air merupakan salah satu faktor ekologis yang berperan di lingkungan
perairan. Sifat-sifat kimia seperti kelarutan oksigen (DO) dan gas- gas lainnya,
kecepatan reaksi kimia dan daya racun bahan pencemar dipenga ruhi oleh suhu air.
Selain itu suhu air dapat mempengaruhi proses-proses fisiologis, susunan jenis dan
penyebaran organisme perairan. Berbagai faktor lingkungan dapat mempengaruhi suhu
air. Komposisi substrat, kecerahan, kekeruhan, pertukaran panas air dengan panas udara
akibat respirasi, musim, cuaca, kedalaman perairan, kegiatan manusia di sekitar
perairan maupun kegiatan dalam badan perairan itu sendiri dapat mempengaruhi suhu
perairan.
Ikan dan organisme air lainnya mempunyai daya adaptasi yang berbeda-beda
terhadap suhu air. NTAC (1968) mengemukakan bahwa ikan yang hidup di perairan
yang suhu airnya tidak pernah lebih dari 21,1 ºC dan langsung dipindahkan ke dalam
perairan bersuhu 32,2 ºC akan mengalami tekanan fisiologis yang dapat menyebabkan
kematian, jenis-jenis makanan ikan pada suhu tersebut merupakan titik mati karena
dalam tubuhnya yang mengatur metabolisme terdiri dari enzim yang rusak pada suhu
tinggi. Sedangkan menurut Pescod (1973) untuk menjamin kehidupan ikan dan
organisme air lainnya denga n baik, maka dianjurkan agar perubahan suhu air pada
perairan mengalir yang disebabkan oleh limbah bersuhu tinggi tidak lebih dari 2,8 ºC,
sedangkan untuk perairan tergenang tidak lebih dari 1,7 ºC.
Suhu merupakan parameter kualitas air yang berpengaruh dalam reaksi kimia dan
kelarut an gas dalam air. Suhu dipengaruhi oleh lingkungan, tanah dan udara serta
komponen-komponen fisik dalam air. Suhu merupakan parameter yang terpenting,
karena erat hubungannya dengan kehidupan dalam air. Suhu berpengaruh terhadap
kelarutan oksigen, kekeruhan, kecepatan reaksi kimia dan kehidupan organisme di
dalamnya. Hasil pengukuran suhu air sumur di atas dan bawah dari TPA seperti pada
Tabel 15 dan 16, menunjukan bahwa berada di atas kadar maksimum yang
diperbolehkan, yaitu + 3° C menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 416
Tahun 1990 tentang syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air.
74

Kisaran air sumur atas dari wilayah TPA periode tanggal 2 Oktober sampai dengan
tanggal 27 Nopember 2004 minimum adalah 23,8 °C dan maksimum 27,7 °C dan rata-
ratanya adalah 26,1 °C, diatas baku mutu yang dianjurkan. Sedangkan kisaran suhu air
sumur yang berada dibawah dari TPA pada periode yang sama adalah 22,8 – 27,0 °C
dengan rata-rata 25,46 °C yang berarti masih diatas baku mutu.

c. Kemasaman (pH)

Kualitas air sumur juga ditentukan oleh kemasaman (pH), nilai pH dapat
mempengaruhi pertumbuhan mikroba dalam air, oleh sebab itu menjadi penting untuk
mengetahui parameter pH air sumur di lokasi penelitian, khususnya perkembangan
dalam 5 tahun terakhir, seperti pada Gambar 11.

12

10

Sumur Bawah
pH

6
Sumur Atas

0
2000 2001 2002 2003 2004
Tahun

Gambar 11. Perkembangan Parameter pH Air Sumur

Kemasaman (pH) suatu perairan mencirikan keseimbangan antara kandungan asam


dan basa dalam air serta merupakan pengukuran konsentrasi ion hidrogen dalam
larutan. Kemasaman dapat mempengaruhi jenis dan susunan zat dalam lingkungan
perairan, mempengaruhi tersedianya hara serta toksisitas dari unsur renik. Derajat
kemasaman (pH) berperan penting dalam menentukan nilai guna perairan untuk
kehidupan organisme, keperluan rumahtangga dan keperluan lainnya. Berubahnya nilai
pH dapat menimbulkan perubahan terhadap keseimbangan kandungan karbon dioksida,
bikarbonat dan karbonat di dalam air. Menurut Pescod (1973), batas toleransi
organisme perairan terhadap pH bervariasi, tergantung pada suhu, oksigen terlarut,
adanya berbagai anion dan kation. Ikan dan organisme akuatik lainnya masih dapat
75

mentolerir lingkungan perairan yang mempunyai kisaran pH antara 4,0 - 11,0, namun
suatu perairan yang produktif dan ideal bagi kehidupan akuatik adalah perairan yang pH
airnya berkisar antara 6,5 -8,5 NTAC (1968).
Perkembangan pH air sumur di lokasi penelitian tidak terlalu berbeda jauh dari
tahun 2001-2004, kecuali air sumur bawah pada tahun 2001 yang mengalami
peningkatan pH menjadi 10 setelah sebelumnya bernilai 6,60 (Gambar 11). pH air
sumur bawah ini mendekati sangat basa, dan tidak aman untuk dikonsumsi sebagai air
minum oleh masyarakat. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.
416/Menkes/Per/X/1990, tanggal 3 September 1990, pH air sumur bawah dan atas di
tahun 2002-2004 masih berada di bawah ambang batas yang diperbolehkan 6-9.
Secara keseluruhan kisaran pH sumur dalam periode tanggal 2 Oktober sampai
dengan tanggal 27 Nopember 2004 untuk sumur di atas TPA adalah 6,69 – 6,81 dengan
rata-rata 6,74, sedangkan sumur di bawah TPA adalah 6,55-6,88 dengan rata-rata 6,71.
Secara keseluruhan pH sumur di atas maupun di bawah TPA masih dalam batas-batas
normal BMAPS-MENKLH.

d. Total Disolved Solid (TDS)


Padatan Terlarut Total merupakan bahan yang masih tetap tinggal dalam air,
sebagai sisa dari lapukan selama penguapan dan pemanasan. Sanropie et al., (1989)
mengemukakan apabila dalam air terdapat zat Padat Terlarut Total dalam jumlah besar
melebihi kader maksimum (1.500 mg/l), maka akan menimbulkan antara lain: a).
memberi rasa yang tidak enak; b). rasa mual terutama apabila zat padat terlarut tersebut
berasal dari senyawa natrium sulfat dan magnesium sulfat, dan c). terjadinya cardiae
disease serta toxemia pada wanita hamil. Hasil pengukuran Padatan Terlarut Total pada
air sumur di atas dan bawah dari TPA seperti pada Tabel 15 dan 16.
Nilai pengukuran TDS (Total Disolved Solid) pada sumur di atas dan bawah dari
TPA masih berada dibawah ambang batas yang diperbolehkan (baku mutu air bersih
1.300 mg/l berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 416 Tahun 1990
tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air.
Kisaran TDS air sumur atas dari wilayah TPA periode tanggal 2 Oktober sampai
dengan 27 Nopember 2004 adalah 189-288 mg/l dengan rata-rata 252 mg/l, sedangkan
sumur di bawah wilayah dari TPA adalah 135-176 mg/l dengan rata-rata 155,66 mg/l.
76

Secara keseluruhan TDS sumur atas maupun di bawah dari TPA masih berada dibawah
ambang batas yang di perbolehkan.
e. Chemical Oxigen Demand (COD)
COD (Chemical Oxigen Demand) jumlah oksigen dibutuhkan untuk mengoksidasi
bahan-bahan kimia di dalam sistem air. Untuk mengetahui jumlah kandungan bahan
organik di dalam air dapat dilakukan dengan uji yang berdasarkan reaksi kimia dari
suatu bahan oksidan, yaitu merupakan uji yang dapat menentukan jumlah oksigen yang
dibutuhkan oleh bahan oksidan, misalnya kalium dikromat untuk mengosidasi bahan-
bahan organik yang terdapat di dalam air. Jika nilai COD melebihi kadar batas
maksimum yang diperbolehkan (10 mg/l) maka akan mengakibatkan sakit perut. COD
adalah kebutuhan oksigen yang ekivalen untuk mengoksidasi senyawa-senyawa kimia
yang dapat dibiodegradabel, Radojevic dan Bashkin, (1999). Nilai COD dapat
digunakan memperkirakan jumlah berbagai senyawa ano rganik dalam limbah cair. Juga
dapat digunakan menentukan nilai BOD pada proses karbonatasi, yaitu dapat
mengoksidasi berbagai senyawa anorganik dengan menggunakan senyawa permenganat
atau dikromat atau dikromat sebagai oksidator. Hasil pengukuran COD pada air sumur
di bawah dan atas dari TPA seperti pada Tabel 15 dan 16.
Kisaran COD air sumur atas dari wilayah TPA periode tanggal 2 Oktober sampai
dengan 27 Nopember 2004 adalah 5,44-11,6 mg/l dengan rata-rata 7,83 mg/l,
sedangkan sumur di bawah wilayah dari TPA adalah 8,99-11,05 mg/l dengan rata-rata
9,72 mg/l. Secara keseluruhan COD rata-rata sumur atas maupun sumur bawah dari
TPA masih berada dibawah ambang batas yang di perbolehkan.
Berdasarkan Tabel 15 dan 16, maka nilai kandungan COD di sumur atas dan
bawah dari TPA berada masih di bawah ambang batas yang diperbolehkan (10 mg/l,
menurut Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor
Kep.02/MENKLH/I/1998 tentang Baku Mutu Air pada Sumber Air menurut Golongan
Air).

f. Kesadahan
Kesadahan air disebabkan oleh adanya mineral dari kation logam bervalensi dua
dalam jumlah yang berlebihan. Biasanya yang menimbulkan kesadahan adalah kation
Ca dan Mg. Air yang mempunyai kesadahan tinggi melebihi kadar maksimum yang
diperbolehkan yaitu 500 mg/l menimbulkan efek: a). mengurangi efektivitas sabun; b).
77

menyebabkan lapisan karak pada alat-alat dapur yang terbuat dari logam; c). merupakan
masalah pada ketel pemanas yang akan menyebabkan karat sehingga menyumbat pipa
dan berdampak mengurangi efesiensi pemanasan; d). kemungkinan terjadinya ledakan
pada boiler; dan e). sayuran menjadi keras apabila dicuci dengan air yang sadah. Dari
hasil pengukuran kesadahan air sumur di bawah dan atas dari TPA seperti pada Tabel
15 dan 16.
Kesadahan air sumur di bawah wilayah TPA pada tanggal 2 Oktober 2004 adalah
38,7 mg/l dan yang diatas dari wilayah TPA adalah 66,4 mg/l atau lebih tinggi 27,7
mg/l. Perbedaaan konsentrasi kesadahan ini diduga karena perbedaan dari konsentrasi

ion Ca²? pada sumur-sumur tersebut. Konsentrasi ion Ca²? dan ion Mg²? pada sumur
yang diatas dari wilayah TPA lebih tinggi daripada sumur yang dibawah dari TPA.
Kesadahan air sumur pada tanggal 23 Oktober 2004 masing- masing untuk sumur
dibawah wilayah TPA dan yang diatas wilayah TPA adalah 45,6 mg/l dan 70,3 mg/l.
Kesadahan air sumur di bawah dari TPA dan atas dari TPA masing- masing pada
tanggal 27 Nopember 2004 adalah 44,3 mg/l dan 598,3 mg/l jauh lebih tinggi daripada
kesadahan tanggal 23 Oktober 2004. Kesadahan pada tanggal 27 Nopember 2004 ini
merupakan yang tertinggi untuk sumur yang di atas TPA (Tabel 15 dan 16). Secara
keseluruhan kisaran kesadahan sumur yang di bawah TPA adalah 38,7 mg/l dan 45,6
mg/l dengan rata-rata adalah 42,6 mg/l. Kisaran kesadahan sumur yang di atas TPA
adalah 66,4 mg/l dan 598,3 mg/l dengan rata-rata 245 mg/l. Kualitas air sumur juga
ditentukan oleh nitrat, oleh sebab itu menjadi penting untuk mengetahui parameter
nitrat air sumur di lokasi penelitian.

g. Nitrat (NO3¯ )
Nitrat (NO3¯ ) merupakan salah satu senyawa nitrogen yang paling stabil
dibandingkan dengan nitrit dan ammonia. Sanropie at.al. (1989) mengemukakan bahwa
kandungan nitrat dalam jumlah besar di dalam usus cendrung untuk berubah menjadi
nitrit yang dapat bereaksi langsung dengan haemoglobine dalam darah sehingga dapat
menghalangi perjalanan oksigen di dalam tubuh. Nitrogen merupakan komponen utama
protein yang penting bagi pertumbuhan organisme. Di perairan nitrogen terdapat dalam

bentuk gas (N2), nitrit, nitrat, ammonia dan ammonium. Nitrogen dalam bentuk

senyawa nitrat mudah diserap oleh organisme nabati. Senyawaan ini terdapat dalam
78

perairan alami sebagai garam- garam yang terlarut, tersuspensi atau dalam bentuk
endapan, Saeni (1989). Setiap organisme (alga dan fitoplangton) membutuhkan kadar
nitrat yang berbeda. Namun nilai nitrat optimum yang dibutuhkan bagi pertumbuhan
alga dan fitoplangton umumnya berkisar antara 0,3-1,7 ppm, sedangkan nilai nitrat
yang dapat memberikan faktor pembatas bagi pertumbuhan alagae dan fitoplangton
berkisar antara 0,1 ppm sampai kurang libih 45 ppm.
Perkembangan nitrat air sumur di lokasi penelitian mengalami penurunan tajam
pada tahun 2001 dan 2003 (Lampiran 16 dan 18). Setelah terjadi peningkatan kadar
nitrat pada air sumur bawah dari sebelumnya 6,34 mg/l tahun 2000 menjadi 9,48 mg/l
tahun 2001, dan penurunan kadar nitrat dari 9,20 mg/l menjadi 7,64 mg/l, maka secara
drastis terjadi penurunan kadar nitrat di tahun 2003 menjadi 1,68 mg/l untuk sumur
bawah dan 2,42 mg/l untuk sumur atas. Kadar nitrat mengalami sedikit peningkatan
pada tahun 2004, namun masih di bawah ambang batas yang diperbolehkan
berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 416/Menkes/Per/X/1990, tanggal 3
September 1990.
Nitrat sumur bawah TPA konsentrasi pada tangga l 2 Oktober sampai dengan
tanggal 27 Nopember 2004 kisaran 1,663 – 1,879 mg/l, nilai rata-rata 1,744 mg/l,
sedangkan sumur di atas TPA kisaran 2,245-2,804 mg/l dengan nilai rata-ratanya 2,609
mg/l, ini berarti pada sumur tersebut yang diatas maupun di bawah TPA sudah tercemar

NH3?. Keberadaan nitrat dalam air sumur baik di atas dan dibawah dari TPA terjadi
akibat proses nitrifikasi yaitu pemberian oksigen pada ammonia menjadi nitrat dan nitrit

oleh bakteri dalam suasana aerob (Sugiarto, 1987). Untuk air minum N-NH3
konsentrasinya harus 0. Untuk itu air sumur disekitar TPA sebaiknya tidak untuk
dikonsumsi.

h. Besi (Fe)
Besi (Fe) dalam jumlah kecil dibutuhkan oleh tubuh untuk pembentukan sel-sel
darah merah. Saeni (1989) mengemukakan bahwa melebihi 0,31 mg/l dapat
79

menimbulkan bekas karat, merusak keindahan pakaian, menimbulkan rasa yang tidak
enak pada air minum, pengendapan pada pipa dan kekeruhan.
Temuan hasil penelitian terhadap kualitas air sumur penduduk yang berada di
Kelurahan Ciketing Udik yang terletak di atas dari TPA dapat dilihat pada Tabel 15.
Besi (Fe) yang terjadi di sumur atas dan sumur bawah berada dibawah ambang batas
yang diperbolehkan, besi air sumur bawah dari TPA dan yang di atas wilayah TPA pada
tanggal 2 Oktober 2004 masing- masing adalah 0,414 mg/l dan sumur atas lebih kecil
dari 0,05 mg/l (Tabel 15 dan 16). Besi (Fe) air sumur pada tanggal 23 Oktober 2004
menunjukkan peningkatan pada air sumur yang dibawah TPA menjadi 0,504 mg/l dan
yang di atas dari wilayah TPA tetap tidak mengalami peningkatan maupun penurunan,
yaitu masing- masing sumur atas 0,504 mg/l dan sumur bawah lebih kecil dari 0,05
mg/l. Tingkat besi di bawah ambang batas yang diperbolehkan (1,0 mg/l). Tingkat besi
air sumur bawah pada tanggal 27 Nopember 2004 menga lami penurunan dibandingkan
dengan besi pada tanggal 2 Oktober 2004, yaitu masing- masing adalah 0,414 mg/l dan
0,288 mg/l (Tabel 16).
Kisaran besi air sumur di atas wilayah TPA secara keseluruhan selama priode
tanggal 2 Oktober 2004 sampai dengan 27 Nopember 2004 minimum adalah lebih kecil
dari 0,05 mg/l dan maksimum lebih kecil dari 0,05 mg/l dan rata-ratanya adalah lebih
kecil dari 0,05 mg/l. Hal ini masih dibawah ambang batas yang diperbolehkan.
Sedangkan kisaran besi air sumur yang dibawah dari wilayah TPA pada periode yang
sama adalah 0,288 – 0,504 mg/l dengan rata-rata 0,402 mg/l yang berarti masih
dibawah ambang batas yang dianjurkan.
i. Sulfida (S²¯)
Senyawa sulfida sangat beracun dan berbau busuk, oleh karena itu zat ini tidak
boleh terdapat pada air minum. Dalam jumlah besar yaitu melebihi 0,1 mg/l dapat
menimbulkan kemasaman air, sehingga menyebabkan korosifitas pada pipa-pipa logam
dan iritasi. Keracunan akibat kandungan sulfida jarang terjadi, akan tetapi bila sulfida
ini berbentuk gas, zat ini cepat menjalar sehingga orang tidak sempat melarikan diri,
akhirnya terjadi keracunan akut yang mematikan dalam waktu singkat. Jika kandungan
sulfida dalam air lebih besar dari kadar maksimum yang diperbolehkan (0,1 mg/l) maka
akan menimbulkan: a). Rasa bau yang tidak enak; b). Merubah air menjadi berwarna
80

dan bersifat korosif; dan c). menimbulkan rasa. Untuk mengurangi kelebihan kadar
sulfida dengan cara pengudaraan, pemberian chlor dan penyaringan.
Temuan hasil penelitian terhadap kualitas air sumur pend uduk yang berada di
Kelurahan Ciketing Udik, Cikiwul dan Sumur Batu yang terletak di atas dan bawah dari
TPA dapat dilihat pada Tabel 15 dan 16. Sulfida yang terjadi di sumur atas dan sumur
di bawah dari TPA berada dibawah kadar maksimum yang diperbolehkan yaitu 0,05
mg/l untuk baku mutu air bersih menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 416
Tahun 1990 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air. Kisaran Sulfida air
sumur di atas dan sumur bawah wilayah TPA secara keseluruhan selama priode tangga l
2 Oktober 2004 sampai dengan 27 Nopember 2004 menunjukan angka yang sama yaitu
minimum adalah lebih kecil dari 0,05 mg/l dan maksimum lebih kecil dari 0,05 mg/l
dan rata-ratanya adalah lebih kecil dari 0,05 mg/l, hal ini dibawah ambang batas yang
diperbolehkan.

j. Nitrit (NO2¯ )

Nitrit (NO2¯ ) merupakan salah satu ion nitrogen anorganik dalam air. Ion ini dapat
terjadi dari adanya reduksi nitrat ataupun oksidasi ammonia. Ion nitrit lebih berbahaya
daripada ion nitrat (Sanropie et al. 1989), karena dapat merusak kehidupan akuatik.
Pada tanah-tanah yang padat dan kurang gembur, nitrit dapat merembes kedalam
sumur.
Kandungan nitrit dalam air sebesar 1,0 mg/l dapat menyebabkan terbentuknya
methemoglobin yang dapat menghambat perjalanan oksigen dalam tubuh terutama pada
bayi (blue babies) dan menyebabkan diare. Selain itu nitrit adalah zat yang bersifat
racun, sehingga standar persyaratan baku mutu kualitas air bersih tidak membolehkan
kehadiran bahan nitrit lebih dari 1 mg/l.

Nitrit (NO2¯ ) di sumur bawah dari TPA relatif rendah yang berkisar mulai dari
0,044 mg/l sampai dengan yang tertinggi 0,052 mg/l yang terjadi pada tanggal 2
Oktober 2004 (Tabel 16). Rata-rata konsentrasi nitrit pada periode tanggal 2 Oktober
sampai dengan tanggal 27 Nopember 2004 adalah 0,047 mg/l. Secara keseluruhan nitrit
di sumur bawah TPA masih dalam batas baku mutu air golongan A berdasarkan SK
KEP.02/MENKLH/1988 dan SK Gub. KDH-DKI No.1608/1988. Nitrit sumur atas TPA
berkisar 0,015 sampai dengan yang tertinggi yaitu 0,022 mg/l yang terjadi pada tanggal
81

27 Nopember 2004. Rata-rata keseluruhan nitrit di sumur atas dari TPA adalah 0,018
mg/l, masih dalam batas baku mutu air golongan A.

k. Orto fosfat
Djabu et al. (1991) mengemukakan jika kandungan fosfat rata-rata dalam waktu 24
jam lebih besar dari 2 mg/l akan menyebabkan gangguan pada tulang. Sumber fosfat
akibat dari pencemaran industri, limbah domistik, hanyutan pupuk, dan bahan mineral
fosfat. Kadar fosfat berbahaya terhadap kesehatan. Jika kandungan fosfat me lebihi batas
kadar maksimum (0,5 mg/l) dapat mengganggu pencernaan.
Temuan hasil penelitian terhadap kualitas air sumur penduduk yang berada di
Kelurahan Ciketing Udik yang terletak di atas dari TPA dengan parameter kimia- fisika
dan biologi dapat dilihat pada Tabel 15.
Fosfat yang terjadi di sumur atas dan sumur bawah berfluktuasi cukup tajam,
fosfat air sumur bawah dari TPA dan yang di atas wilayah TPA pada tanggal 2 Oktober
2004 masing- masing adalah 2.76 mg/l dan 4,80 mg/l (Tabel 15 dan 16). Fosfat air
sumur pada tanggal 23 Oktober 2004 menunjukkan penurunan tingkat fosfat baik air
sumur yang dibawah TPA maupun yang di atas dari wilayah TPA, yaitu masing- masing
2,34 mg/l dan 3,56 mg/l. Tingkat fosfat di atas ambang batas yang diperbolehkan (0,5
mg/l) untuk baku mutu air bersih berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala
Daerah DKI Jakarta Nomor 1608 tentang Baku Mutu Air Sungai di DKI Jakarta dan
Baku Mutu Air Golongan A: Air Baku Air Minum. Tingkat fosfat air sumur bawah
pada tanggal 27 Nopember 2004 menga lami penurunan dibandingkan dengan fosfat
pada tanggal 2 Oktober 2004, yaitu ma sing- masing adalah 4,80 mg/l dan 3,87 mg/l
(Tabel 16).
Kisaran fosfat air sumur di atas wilayah TPA secara keseluruhan selama priode
tanggal 2 Oktober 2004 sampai dengan 27 Nopember 2004 minimum adalah 2,34 mg/l
dan maksimum 2,89 mg/l dan rata-ratanya adalah 2,66 mg/l. Hal ini diatas ambang
batas yang diperbolehkan. Sedangkan kisaran fosfat air sumur yang dibawah dari
wilayah TPA pada periode yang sama adalah 3,56 – 4,80 mg/l dengan rata-rata 4,07
mg/l yang berarti diatas yang dianjurkan.

l. Ammonia (N-NH3)
82

Ammonia (N-NH3) air sumur atas berfluktuasi mulai dari 0,2999 sampai dengan
0,404. Nilai tertinggi pada tanggal 23 Oktober 2004. Berdasarkan BMPAS Menteri
Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup KEP.02/MENKLH-1988 maksimum
yang dianjurkan dan yang diperbolehkan untuk air minum harus nihil atau 0 ppm dan
untuk air golongan B maksimum yang dianjurkan 0,01 ppm dan maksimum yang

diperbolehkan 0,5 ppm. Mengacu pada peraturan ini, maka konsentrasi N-NH3 untuk
baku mutu air golongan B konsentrasi pada tanggal 2 Oktober 2004 di sumur bawah
menunjukkan nilai yang semakin besar daripada di atas. Selama periode tanggal 2
Oktober sampai dengan 27 Nopember 2004 adalah nilai sumur bawah 0,442–0,557 ppm
dengan rata-ratanya 1,485 ppm. Nilai konsentrasi N-NH3 tertinggi di sumur bawah
adalah 0,557 ppm dengan rata-ratanya 1,485 ppm. Nilai ini diatas BMPAS air
golongan B.

Namun, tahun 2004 kandungan N-NH3 air sumur bawah berada diatas ambang

batas yang diperbolehkan, Rata-rata N-NH3 selama periode 2 Oktober sampai dengan

27 Nopember 2004 adalah 1,485 mg/l. Sedangkan kandungan N-NH3 pada air sumur
atas pada tanggal 2 Oktober 2004 sebesar 0,376 mg/l diatas baku mutu yang

diperbolehkan, tanggal 23 Oktober 2004 sebesar 0,404 mg/l. Rata-rata N-NH3 selama
periode 2 Oktober sampai dengan 27 Nopember 2004 ini adalah 0,359 mg/l.
Menurut Alaert et al, 1983, Ammonia merupakan senyawa nitrogen yang

menjadi NH4? pada pH rendah yang disebut ammonium. Ammonia dalam air
permukaan berasal dari air seni dan tinja serta dari oksidasi zat organik secara
mikrobiologi yang berasal dari industri dan penduduk. Ammonia berada dimana- mana
dalam jumlah yang kecil beberapa mg per liter sampai dengan 30 mg/l pada air
buangan. Kadar ammonia yang tinggi pada air sungai menunjukkan adanya
pencemaran. Pada air minum kadar ammonia harus nol dan pada air sungai harus
dibawah 0,5 mg/l. Menurut Morne dan Goldman (1994) dalam (http://.
Ag.iastate.edu/centers/wrg/Lavene/webpages/NH A.htm, 2002) Ammonia berada dalam

sistem perairan terutama sebagai disosiasi ion NH4? yang cepat diambil oleh
fitoplankton dan tanaman perairan lainnya untuk pertumbuhan, apabila ammonia
83

kontak dengan air, ammonia terpisah menjadi ion NH4? dan ion CH¯ (ammonium
hidroksida). Pada pH netral dengan nilai 7 ammonia tidak mempunyai masalah, tetapi
apabila pH lebih besar dari 7, maka ammonia hidroksida akan menjadi toksik baik bagi
tumbuh-tumbuhan ataupun hewan.

m. Koliform Total (MPN)


Koliform Total (MPN) merupakan parameter yang ditekankan terhadap
keberadaan bermacam- macam bakteri di dalam perairan. Fardiaz (1992)
mengemukakan bahwa air dapat menjadi medium pembawa mikroorganisme petogenik
yang berbahaya bagi kesehatan. Organisme patogen yang sering ditemukan dalam air
adalah bakteri-bakteri penyebab infeksi saluran pencernaan seperti vibrio cholera, yang
menyebabkan penyakit kolera.
Temuan hasil penelitian terhadap kualitas air sumur penduduk yang berada di
Kelurahan Ciketing Udik yang terletak di atas dari TPA dapat dilihat pada Tabel 15.
Koliform yang terjadi di sumur atas berada diatas kadar maksimum yang diperbolehkan
dan sumur yang dibawah dari TPA berada masih dibawah yang diperbolehkan (50 sel
dalam 100 ml menurut baku mutu air bersih Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
416 Tahun 1990 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air) Peningkatan hasil
jumlah perkiraan terbesar (Most Probability Number) pada sumur di atas lokasi TPA
tersebut, disebabkan antara lain: a). Lokasi tanki septic jarak dari sumber air bersih
kurang dari syarat minimal; b). Struktur tanah yang dominan pasir; c). Perilaku
masyarakat yang kurang memperhatikan kebersihan lingkungan. Sugiarto (1987)
mengemukakan bahwa jarak penyebaran pencemaran bakteri dari tempat penampungan
tinja harus sesuai dengan arah aliran air tanah yaitu mencapai 9 m, sedangkan
penyebaran vertikal pada lapisan tanah yang jauh dari muka air tanah adalah 3 m
dengan lebar sekitar 1 m, untuk itu syarat jarak lokasi tanki septic dari sumber air bersih
minimal 10 m.
Kisaran Koliform air sumur di atas wilayah TPA secara keseluruhan selama
priode tanggal 2 Oktober 2004 sampai dengan 27 Nopember 2004 minimum adalah 63
MPN/100 ml dan maksimum 80 MPN/100 ml dan rata-ratanya adalah 71 MPN/100 ml.
Hal ini diatas ambang batas yang diperbolehkan. Sedangkan kisaran Koliform air sumur
yang dibawah dari wilayah TPA pada periode yang sama adalah 0,3 – 1,0 MPN/100 ml
84

dengan rata-rata 0,53 MPN/100 ml yang berarti masih dibawah ambang batas yang
dianjurkan.

n. Escherichia coli
Bakteri ini disebut Escherichia coli sesuai dengan sumber keberadaannya yang
berasal dari tinja manusia. Air yang mengandung Escherichia coli berarti disimpulkan
air tersebut telah tercemar tinja. Tinja potensial dalam menularkan penyakit yang
berhubungan dengan air. Dalam keadaan normal bateri ini tidak menimbulkan penyakit,
tetapi bila jumlahnya berlebih yaitu 3 sel dalam 100 ml dapat bersifat patogen. Karena
keterkaitannya yang kuat dengan tinja manusia atau hewan, bakteri ini diangkat sebagai
indikator pencemar lingkungan oleh tinja. Keadaan ini memberikan indikasi bahwa air
sumur diatas dan di bawah dari TPA telah terkontaminasi oleh tinja dengan resiko
adanya patogen yang dapat menimbulkan penyakit seperti muntaber dan penyakit
disentri.
Hasil pengukuran Escherichia coli pada air sumur di atas dan bawah dari TPA
dapat dilihat pada Tabel 15 dan 16. Temuan hasil penelitian terhadap kualitas air sumur
penduduk yang berada di Kelurahan Ciketing Udik yang terletak di atas dari TPA dapat
dilihat pada Tabel 15. Escherichia coli yang terjadi di sumur atas dan sumur di bawah
dari TPA berada diatas kadar maksimum yang diperbolehkan yaitu 3 sel dalam 100 ml
untuk baku mutu air bersih menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 416 Tahun
1990 tentang Syarat-syarat dan Pengewasan Kualitas Air. Peningkatan jumlah sel pada
sumur-sumur tersebut, disebabkan antara lain: a). Sumur-sumur tersebut jaraknya dari
tanki septic kurang 10 m; b). Tingkat kemiringan tanah; c). struktur tanah berpasir; dan
d).Perilaku masyarakat yang sering meletakan tali timba di lantai.
Kisaran Escherichia coli air sumur di atas wilayah TPA secara keseluruhan
selama priode tanggal 2 Oktober 2004 sampai dengan 27 Nopember 2004 minimum
adalah 52 MPN/100 ml dan maksimum 63 MPN/100 ml dan rata-ratanya adalah 55,66
MPN/100 ml. Hal ini diatas ambang batas yang diperbolehkan. Sedangkan kisaran
Escherichia coli air sumur yang dibawah dari wilayah TPA pada periode yang sama
adalah 0,1 – 50 MPN/100 ml dengan rata-rata 23,36 MPN/100 ml yang berarti diatas
ambang batas yang dianjurkan.
Berdasarkan hasil pengukuran yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan
sebagai berikut: air sumur di atas dan sumur bawah dari TPA di Kelurahan Ciketing
85

Udik, Cikiwul dan Sumurbatu telah mela mpaui ambang baku mutu untuk air bersih
untuk parameter kekeruhan, fosfat, COD, koliform total dan Escherichia coli. Untuk
sumur atas dari TPA parameter yang telah melampaui ambang baku mutu untuk air
bersih yaitu: COD, koliform total dan Escherichia coli. Untuk sumur atas dari TPA
parameter yang telah melampaui ambang baku mutu untuk air bersih yaitu: COD,
koliform total dan Escherichia coli. Air sumur di atas dan bawah dari TPA yang berada
di Kelurahan Ciketing Udik, Cikiwul dan Sumurbatu tidak layak sebagai sumber air
minum berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 416 Tahun 1990 tentang
Syarat-syarat dan pengawasan Kualitas Air. Keputusan Menteri Negara Kependudukan
dan Lingkungan Hidup Nomor 02 Tahun 1988 tentang Baku Mutu Air pada Sumber Air
Menurut Golongan A). Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Nomor 1608 Tahun 1988 tanggal 26 September 1988 tentang Baku Mutu Air Sungai di
DKI Jakarta dan Baku Mutu Air Golongan A; Air Baku Air Minum.

B. Perkembangan Kualitas Air Sungai


Suhu air Sungai Ciketing pada inlet kecendrungan naik pada musim kemarau,
tanggal 2 Oktober 2004 sebesar 31,6 ºC dan tanggal 23 Oktober 2004 sebesar 31,8 ºC,
selanjutnya suhu mengalami penurunan pada awal musim hujan pada tanggal 27
Nopember 2004 menjadi 28,5 ºC, secara keseluruhan suhu air Sungai Ciketing pada
inlet berkisar 28,5–31,8 ºC dan nilai rata-ratanya 30,6 ºC. (Tabel 17).
Suhu ini sudah melampaui Baku Mutu air sungai di DKI Jakarta. Menurut
Fardiaz 1992, kenaikkan suhu diatas normal akan mengakibatkan antara lain sebagai
berikut: 1). Jumlah oksigen terlarut akan menurun; 2). Kecepatan reaksi kimia akan
meningkat; 3). Kehidupan ikan dan hewan lainnya akan terganggu; dan 4). Jika batas
suhu yang mematikan terlampaui, maka ikan dan hewan kekurangan oksigen.
86

Tabel 17. Analisis Kualitas Air Sungai sebelum TPA (Inlet), 2004.
Air Sungai Sebelum TPA Rata-
Parameter Satuan BM Kisaran
2 Okt 04 23 Okt 04 27 Nop 04 rata
Suhu ºC 31,6 31,8 28,5 28,5-31,8 30,6
Kekeruhan NTU 69 77 76 69-77 74
pH 6.5–9 8,93 8,7 8,00 8,00-8,93 8,54
Warna PtCo 271 306 244 244-306 273,66
TDS mg/l 936 944 879 879-944 919,22

BOD5 mg/l 24,5 30,1 31,9 24,5-31,9 28,83

COD mg/l 83 91,2 92,3 83-92,3 88,83


Nitrat (N-NO3¯ ) mg/l 10 8,34 7,56 7,54 7,54-8,34 7,8
Nitrit (N-NO2¯ ) mg/l 1 5,40 3,87 5,54 3,87-5,40 4,96
Besi (Fe) mg/l 1 12,48 11,66 10,33 10,33-12,48 11,49
Mangan (Mn) mg/l 0.5 1,465 1,399 1,338 1,338-1,465 1,400
Kadmium (Cd) mg/l 0.01 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03
Air raksa (Hg) mg/l 0.001 0,0024 0,0019 0,0060 0,0019-0,0024 0,0034
Timbal (Pb) mg/l <0,06 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06
Tembaga (Cu) mg/l 1 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05
Nikel (Ni) mg/l <0,04 <0,04 <0,04 <0,04 <0,04
Seng (Zn) mg/l 15 0,238 0,197 0,187 0,187-0,238 0,207
Krom Val.6 mg/l 0.05 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07
Sulfida mg/l 0.1 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01
Sumber: Laboratorium Kimia Fisik dan Lingkungan, IPB 2004
Permenkes RI No.416/Menkes/Per/IX/1990

Suhu Sungai Ciketing pada outlet tanggal 2 Oktober sampai dengan 27 Nopember 2004
mempunyai kecenderungan yang tinggi, dan ada sedikit penurunan yaitu pada saat
memasuki musim hujan (Tabel 18). Secara keseluruhan suhu air Sungai Ciketing pada
outlet berkisar antara 29,3 – 32,8 ºC dan nilai rata-ratanya 31,56 ºC.

Gambar 12. Sungai Ciketing (outlet)


87

Kenaikan suhu air Sungai Ciketing ini terjadi, karena pada musim kemarau
airnya dangkal dan alirannya lambat, sehingga penetrasi sinar matahari sangat mudah
mencapai dasar sungai yang mengakibatkan suhunya naik cukup tinggi.

Tabel 18. Analisis Kualitas Air Sungai sesudah TPA (Outlet), 2004.
Air Sumur sesudah TPA Rata-
Parameter Satuan BM Kisaran
2 Okt 04 23 Okt 04 27 Nop 04 rata
Suhu ºC 32,8 32,6 29,3 29,3-32,8 31,56
Kekeruhan NTU 840 905 738 738-905 827,6
PH 6.5–9 8,42 8,33 8,05 8,05-8,42 8,26
Warna PtCo 3225 3178 3165 3165-3225 3169
TDS mg/l 5460 5540 4999 4999-5540 5333

BOD5 mg/l 445 513 456 445-456 471

COD mg/l 1344 1515 1188 1188-1515 1349


Nitrat (N-NO3¯ ) mg/l 10 2,55 2,66 2,97 2,55-2,97 2,72
Nitrit (N-NO2¯ ) mg/l 1 1,15 1,42 1,05 1,05-1,42 1,21
Besi (Fe) mg/l 1 3,17 4,30 4,02 3,17-4,30 3,83
Mangan (Mn) mg/l 0.5 0,433 0,320 0,276 0,276-04,33 0,343
Kadmium (Cd) mg/l 0.01 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03
Air raksa (Hg) mg/l 0.001 0,0008 0,0008 0,0008 0,0008 0,0008
Timbal (Pb) mg/l <0,06 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06
Tembaga (Cu) mg/l 1 <0,05 <0,05 <0,04 <0,04-<0,05 <0,046
Nikel (Ni) mg/l 0,213 0,325 0,167 0,167-0,325 0,235
Seng (Zn) mg/l 15 0,114 0,203 0,220 0,114-0,220 0,179
Krom Val.6 mg/l 0.05 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07
Sulfida mg/l 0.1 <0,01 0,395 0,265 <0,01-0,395 0,253
Sumber: Laboratorium Kimia Fisik dan Lingkungan, IPB 2004

Kekeruhan air Sungai Ciketing pada tanggal 2 Oktober di inlet adalah 69 NTU.
Angka ini masih dibawah yang diperbolehkan (150 NTU) berdasarkan surat Keputusan
Gubernur KDH Ibukota Jakarta No. 1608 tahun 1988. Tingkat kekeruhan air Sungai
Ciketing semakin besar setelah keluar dari wilayah TPA (outlet) yaitu menjadi 840
NTU. Angka ini sudah diatas BMAS di DKI yang diperbolehkan. Ini berarti tingkat
kekeruhan air Sungai Ciketing setelah keluar dari wilayah TPA ada peningkatan 771
NTU. Konsentasi yang semakin tinggi ini akan mengurangi penetrasi sinar yang masuk
88

kedalam air dan hal ini akan mempengaruhi proses fotosintesis dalam air oleh
fitoplangton dan tumbuhan lainnya, sehingga akan mengurangi konsentrasi oksigen
terlarut.
Pada tanggal 23 Oktober 2004 Sungai Ciketing di inlet kekeruhannya sebesar 77
NTU dan setelah masuk dalam wilayah TPA (otlet) kekeruhannya naik menjadi 905
NTU. Kondisi ini menunjukkan bahwa pencemaran semakin meningkat, karena air
sungai setelah keluar wilayah TPA telah bercampur dengan lindi. Tingkat kekeruhan ini
di atas BMAS-DKI yang tidak diperbolehkan. Sedangkan pada tanggal 27 Nopember
2004 kekeruhan air Sungai Ciketing di inlet adalah 76 NTU atau menurun 1 NTU
dibandingkan pada kondisi tanggal 23 Oktober 2004. Setelah keluar dari wilayah TPA
(outlet) kekeruhannya semakin meningkat menjadi 738 NTU, karena sudah bercampur
dengan buangan lindi. Namun demikian kekeruhan pada tanggal 27 Nopember 2004
masih diatas BMAS-DKI.
Secara keseluruhan kisaran konsentrasi air Sungai Ciketing pada inlet periode
tanggal 2 Oktober sampai dengan 27 Nopember 2004 adalah minimum 69 NTU dan
maksimum 77 NTU dengan nilai rata-rata 74 NTU. Nilai rata-rata ini menunjukkan
masih dibawah BMAS. Sedangkan kisaran kekeruhan air Sungai Ciketing pada outlet
periode yang sama, kisaran kekeruhan minimum 738 NTU dan maksimum 905 NTU,
dengan nilai rata-rata 827,6 NTU. Fluktuasi air Sungai Ciketing selama periode tanggal
2 Oktober sampai dengan 27 Nopember 2004 di outlet diatas BMAS-DKI.
Menurut Saeni, 1986, nilai pH suatu perairan mencerminkan keseimbangan antara
asam dan basa yang diidentifikasikan melalui pengukuran konsentrasi ion hydrogen
dalam suatu larutan. Nilai pH air normal adalah netral yaitu antara pH 6–8. Apabila pH
air diatas atau dibawah angka kisaran tersebut, tergolong tidak normal. Perairan bersifat
asam apabila pH nya lebih kecil dari 7 dan bersifat basa apabila pHnya lebih besar atau
sama dengan 7. Pada industri makanan pada umumnya pHnya rendah, karena banyak
mengandung asam-asam organik. Namun pada air buangan industri pH nya juga
rendah, karena mengandung asam mineral yang tinggi. Namun adanya karbonat,
hidroksida dan bikarbonat menaikkan kebasaan air. Hal ini dapat terjadi di TPA
sampah, karena sampah yang dibuang banyak mengandung padatan terlarut dan
tersuspensi dan disamping mineral- mineral bebas.
89

Perkembangan pH air Sungai Ciketing di lokasi penelitian tidak terlalu berbeda


jauh dari tahun 2000-2004. Namun, pada tahun 2003 pH air sungai di inlet sedikit di
atas pH air sungai di outlet, sedangkan pada tahun sebelumnya, pH air sungai di inlet di
bawah dari outlet. Dari tahun 2000-2002, terjadi peningkatan aktivitas manusia untuk
beragam keperluan seperti membuang air buangan hasil pencucian peralatan dapur di
tengah aliran Sungai Ciketing, sehingga terjadi peningkatan pH. Sedangkan
peningkatan pH air Sungai Ciketing di inlet pada tahun 2003 lebih disebabkan adanya
peningkatan aktivitas di daerah inlet.
Secara keseluruhan kisaran pH Sungai Ciketing di inlet berada pada 8,00 – 8,93
dengan rata-rata 8,54. Nilai ini menunjukkan bahwa fluktuasi pH air Sungai Ciketing
selama periode tanggal 2 Oktober 2004 sampai dengan 27 Nopember 2004 masih
normal. Sedangkan kisaran pH di outlet adalah 8,05 – 8,42 dengan rata-ratanya adalah
8,26. Dari ke dua kisaran pH dan rata-rata kisaran pH Sungai Ciketing bersifat basa
kisaran pH 8,00-8,54 masih sesuai BMAS Baku Mutu Air Sungai Golongan A dan
Golongan B Keputusan Gubernur DKI Jakarta No.1608 tahun 1988 dan Keputusan
Menteri Negara Kependudukkan dan Lingkungan Hidup No. 02/MENKLH/1988.
Tingkat warna air Sungai Ciketing pada tanggal 2 Oktober 2004 di inlet adalah
271 unit PtCo dan di outlet adalah 3225 unit PtCo. Angka ini sudah jauh diatas BML air
sungai di wilayah DKI yaitu 100 unit PtCo (yang diperbolehkan). Dengan adanya
kenaikkan dari 271 unit PtCo ke 3225 unit PtCo menunjukkan adanya peningkatan
pencemaran di wilayah TPA yang merupakan kemungkinan besar kontribusi dari
kebocoran di TPA tersebut. Disamping itu peningkatan pencemaran rembesan dari sisi
zone TPA pada waktu hujan.
Pada tanggal 23 Oktober 2004 air Sungai Ciketing di inlet adalah 306 unit PtCo,
dan di outlet pada tanggal yang sama adalah 3178 unit PtCo, lebih tinggi daripada di
inlet. Tanggal 27 Nopember 2004 warna air Sungai Ciketing pada inlet 244 unit PtCo
dan di outlet menjadi 3165 unit PtCo, berarti ada peningkatan pencemaran. Hal ini
dapat dimaklumi, karena telah bercampur dengan buangan lindi, sehingga
pencemarannya semakin meningkat. Tingkat warna air sungai tersebut semuanya diatas
BMAPSA (Baku Mutu Air pada Sumber Air) berdasarkan Keputusan Menteri
Kependudukan dan Lingkungan Hidup No.02/MENKLH/1988 dan BMAS (Baku Mutu
Air Sungai) DKI Surat Keputusan Gubernur KDH Jakarta No. 1608 tahun 1988.
90

Secara keseluruhan kisaran warna sebagai salah satu indikator kualitas air Sungai
Ciketing di inlet adalah antara 244 unit – 306 unit PtCo dengan rata-rata dari tanggal 2
Oktober 2004 sampai dengan tanggal 27 Nopember 2004 adalah 273,66 unit PtCo.
Kisaran warna kualitas air Sungai Ciketing di outlet adalah 3165 – 3225 unit PtCo dan
nilai warna rata-ratanya adalah 3169 unit PtCo. Nilai ini lebih tinggi daripada nilai
warna rata-rata di inlet.
Salah satu parameter untuk mengetahui kualitas air sungai adalah BOD5 . Oksigen
terlarut merupakan senyawa yang sangat penting dalam kehidupan perairan pada tingkat
konsentrasi tertentu dan berguna untuk penghancuran bahan organik atau zat pencemar
dalam air (Saeni, 1988). Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD) adalah pengukuran jumlah
oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme selama penghancuran bahan organik
dalam waktu tertentu dan suhu 20 ºC (Saeni, 1988; Wardhana, 1995; Fardiaz, 1993;
Jenie, 1992; Alaert et al., 1984). Selama jangka waktu 5 tahun terakhir, nilai BOD
tertinggi terjadi pada tahun 2000 dengan titik outlet memberikan sumbangan BOD
sebesar 228,50 mg/l dan titik inlet sebesar 43,50 mg/l. Nilai BOD ini terus mengalami
penurunan, sehingga pada tahun 2004 di titik inlet hanya sebesar 31,90 mg/l dan di titik
outlet sebesar 45,60 mg/l.
Secara keseluruhan kisaran BOD sebagai salah satu indikator kualitas air Sungai
Ciketing di inlet adalah antara 24,5 – 31,9 mg/l dengan rata-rata dari tanggal 2 Oktober
2004 sampai dengan tanggal 27 Nopember 2004 adalah 28,83 mg/l. Kisaran BOD air
Sungai Ciketing di outlet adalah 445 – 456 mg/l dan nilai rata-ratanya adalah 471 mg/1.
Nilai ini lebih tinggi daripada nilai warna rata-rata di inlet. Selain BOD, parameter lain
yang harus diperhatikan dalam melihat kualitas air Sungai Ciketing adalah COD.
Adapun perkembangan COD dalam 5 tahun terakhir dapat dilihat pada (Lampiran 20).
Nilai COD di inlet dan outlet Sungai Ciketing memiliki perkembangan seperti nilai
BOD. Nilai COD yang ditemukan di Sungai Ciketing tahun 2000 sangat tinggi,
terutama di outlet yang mencapai nilai sebesar 2864,08 mg/l. Nilai COD ini terus
mengalami penurunan sehingga pada tahun 2004, kandungannya hanya sekitar 118,80
mg/l, namun nilai COD di inlet nilainya mengalami fluktuasi setelah mengalami
peningkatan di tahun 2002 dan 2003, pada tahun 2004 nilainya mengalami penurunan.
Secara keseluruhan kisaran COD sebagai salah satu indikator kualitas air Sungai
Ciketing di inlet 83-92,3 mg/l, kecendrungan ada kenaikan nilai COD, dan dengan nilai
91

rata-rata dari tanggal 2 Oktober 2004 sampai dengan tanggal 27 Nopember 2004 adalah
88,83 mg/l. Kisaran COD air Sungai Ciketing di outlet adalah 1188-1515 mg/l dan nilai
rata-ratanya adalah 1349 mg/l. Nilai ini lebih tinggi daripada nilai rata-rata di inlet.
Selain BOD dan COD, kandungan nitrat dan nitrit juga harus diperhatikan dalam
pengamatan kualitas air sungai. Nitrat juga terdapat di dalam tanah dan air dengan cara
biologis melalui bantuan mikroorganisme. Akar tumbuhan polongan atau kacang-
kacangan terdapat bakteri yang mempunyai kemamp uan mengikat nitrogen di udara dan
selanjutnya melalui proses kimiawi dengan katalis bakteri akan terbentuk nitrat. Di
dalam air nitrogen diikat oleh bakteri dan ganggang (Saeni, 1988; Sastrawijaya, 1991).
Nitrat Sungai Ciketing di inlet berfluktuasi (Tabel 17) mulai dari 8,34 sampai
dengan 7,54 mg/l. Nilai tertinggi pada tanggal 2 Oktober 2004. Berdasarkan BMPAS
Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup KEP.02/MENKLH-1988
maksimum yang dianjurkan dan yang diperbolehkan untuk air minum harus nihil atau 0
mg/l dan untuk air golongan B maksimum yang dianjurkan 0,01 mg/l dan maksimum

yang diperbolehkan 0,5 mg/l. Mengacu pada peraturan ini, maka konsentrasi N-NO3
untuk baku mutu air golongan B konsentrasi pada tanggal 2 Oktober sampai dengan 27
Nopember 2004 baik di inlet dan di outlet menunjukkan nilai yang semakin besar

daripada di inlet. Secara keseluruhan kisaran N-NO3¯, di inlet Sungai Ciketing selama
periode tanggal 2 Oktober sampai dengan 27 Nopember 2004 adalah 7,54 – 8,34 mg/l

dengan rata-ratanya 7,8 mg/l. Nilai konsentrasi N-NO3 tertinggi di outle adalah 2,55
– 2,97 mg/l dengan rata-ratanya 2,72 mg/l. Nilai ini sudah diatas BMPAS air golongan
B. Berarti pencemaran air Sungai Ciketing di outlet semakin bertambah.

Nitrit (NO2¯) di inlet Sungai Ciketing (Tabel 17) secara keseluruhan menunjukkan
konsentrasi yang tinggi berkisar antara 3,87 – 5,40 mg/l. Konsentrasi tertinggi terjadi
pada tanggal 27 Nopember 2004 yaitu 5,54 mg/l. Konsentrasi nitrit tertinggi dicapai
pada tanggal 27 Nopember 2004. Rata-rata konsentrasi nitrit selama periode tanggal 2
Oktober sampai dengan 27 Nopember 2004 adalah 4,96 mg/l. Nilai ini sudah diatas
BMAPS air golongan A berdasarkan S.K. MENEG KLH No. KEP.02/MENKLH.

Nitrit di outlet Sungai Ciketing secara keseluruhan selama periode tanggal 2


Oktober sampai dengan tanggal 27 Nopember 2004 dilihat dari rata-rata lebih besar
92

(Tabel 18). Konsentrasi nitrit terendah dicapai pada tanggal 27 Nopember 2004 yaitu
1,05 mg/l dan nitrit tertinggi dicapai pada tanggal 23 Oktober 2004 yaitu 1,42 mg/l.
Nilai rata-rata keseluruhannya adalah 1,21 mg/l. Secara keseluruhan nilai nitrit rata-rata
di atas baku mutu air golongan B berdasarkan S.K. MENEG KLH No.
KEP.02/MENKLH dan baku mutu air golongan A berdasarkan S.K. Gub. KDH DKI
No. 1608/1988.

Nitrit NO2¯ adalah nitrogen yang teroksidasi dengan tingkat oksidasi +3 dan
merupakan keadaan sementara proses oksidasi antara ammonia dan nitrat yang dapat
terjadi pada pengolahan air buangan, dalam air sungai dan sistem drainase dan
merupakan pencemar berbahaya dalam konsentrasi yang tinggi (Alaert et al., 1983).
Nitrit dalam tubuh manusia sangat membahayakan, karena dapat bereaksi dengan
hemoglobin dalam darah, sehingga darah tidak dapat mengangkut oksigen. Keadaan ini
akan mengakibatkan keracunan pada bayi yang disebut blue baby (Manahan, 1977.
Saeni, 1988). Disamping itu nitrit juga dapat menimbulkan nitrosamin pada air buangan
tertentu yang dapat menyebabkan kanker (Alaert et al., 1983).

C. Perkembangan Kualitas Air Lindi


Untuk mengetahui kualitas air lindi, maka perlu diperhatikan kualitas IPAS dengan

menilai parameter nitrat, nitrit, BOD5, COD dan pH. Nilai nitrat tertinggi, baik pada

inlet maupun outlet terjadi pada tahun 2000 dan 2001, terutama pada IPAS 2. Sampai
tahun 2003, kandungan nitrat yang ditemukan pada IPAS 1 dan IPAS 2 Gambar 13
masih di atas ambang batas yang diperbolehkan berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan No. 416/Menkes/Per/X/1990, tanggal 3 September 1990 untuk nitrat yaitu
sebesar 20 mg/l.

300

250

200
inlet
mg/l

150
outlet

100

50

0
IPAS 1 IPAS 2 IPAS 1 IPAS 2 IPAS 1 IPAS 2 IPAS 1 IPAS 2 IPAS 1 IPAS 2

2000 2001 2002 2003 2004


Tahun
Gambar 13. Perkembangan Parameter Nitrat Air Lindi
93

Namun, untuk tahun 2004 kandungan nitrat air lindi pada IPAS 1 (Inlet) sudah
berada dibawah ambang batas yang diperbolehkan, kecuali pada tanggal 27 Nopember

2004 yang merupakan N-NO3 terendah dalam perode 2 Oktober sampai dengan tanggal

27 Nopember 2004, N-NO3 pada tanggal 27 Nopember 2004 ini adalah 3,23 mg/l, N-

NO3 yang tertinggi terjadi pada tanggal 23 Oktober 2004 dengan konsentrasi sebesar

4,09 mg/l. Rata-rata N-NO3 selama periode 2 Oktober sampai dengan tanggal 27
Nopember 2004 ini adalah 3,71 mg/l (Lampiran 4). Sedangkan kandungan nitrat
tertinggi di IPAS 1 (outlet) pada tanggal 2 Oktober 2004 sebesar 20,95 mg/l diatas
baku mutu yang diperbolehkan, kecuali pada tanggal 23 Oktober 2004 sebesar 3,03.

Rata-rata N-NO3 selama periode 2 Oktober sampai dengan tanggal 27 Nopember 2004
ini adalah 14,65 mg/l.

N-NO3 pada IPAS 2 (inlet) periode tanggal 2 Oktober sampai dengan tanggal
27 Nopember 2004 berada dibawah ambang batas yang diperbolehkan, dengan kisaran
2,99 –3,89 mg/l, dan raa-rata sebesar 3,43 mg/l (Lampiran 5). Sedangkan kandungan
nitrat di IPAS 2 (outlet) periode tanggal 2 Oktober sampai dengan tanggal 27
Nopember 2004 sebesar kisaran 7,08 – 8,01 mg/l dibawah baku mutu yang

diperbolehkan, dengan rata-rata N-NO3 selama periode 2 Oktober sampai dengan


tanggal 27 Nopember 2004 ini adalah 7,39 mg/l.

Periode tanggal 2 Oktober sampai dengan tanggal 27 Nopember 2004 N-NO3


pada IPAS 3 (inlet) dengan kisaran 2,02 – 2,69 mg/l, dan rata-rata sebesar 2,35 mg/l
(Lampiran 6), dan pada IPAS 4 (inlet) kisaran 4,98 – 6,46 mg/l, dan rata-rata sebesar
5,77 mg/l (Lampiran 7) berada dibawah ambang batas yang diperbolehkan, Sedangkan
nitrat di IPAS 3 (outlet) periode tanggal 2 Oktober sampai dengan tanggal 27
Nopember 2004 sebesar kisaran 3,55 – 3,92 mg/l, dengan rata-rata 3,78 mg/l,
sedangkan pada IPAS 4 kisaran 3,44 – 3,88 mg/l, dengan rata-rata 3,69 mg/l
(Lampiran 11) dibawah baku mutu yang diperbolehkan.
Nilai nitrat yang tinggi lebih banyak dijumpai pada outlet, kecuali pada IPAS 1
bulan Oktober, dan IPAS 4 pada bulan Oktober dan November. Konsentrasi nitrat
94

tertinggi terjadi pada IPAS 1 di bulan November di outlet dengan nilai mencapai 19,97
mg/l dan terendah pada IPAS 3 di bulan Oktober di inlet yang mencapai nilai 2,02 mg/l.
Untuk lebih jelasnya mengenai perkembangan nilai nitrat di IPAS periode Oktober-
November 2004 dapat dilihat pada Gambar 14.
Nilai nitrit air lindi di IPAS 1 (inlet) berkisar mulai dari 28,6 yang terendah
sampai dengan 43,1 yang tertinggi. Angka terendah dicapai pada tanggal 27 Nopember
2004 dan tertinggi dicapai pada tanggal 23 Oktober 2004. Nilai rata-rata selama
periode 2 Oktober sampai dengan tanggal 27 Nopember 2004 adalah 36,2 mg/l. Secara
keseluruhan nitrit rata-rata menunjukkan sudah jauh diatas baku mutu air limbah
golongan II, dan IPAS 2, khususnya pada outlet berada di atas baku mutu yang

25

20

15
mg/l

inlet
outlet
10

0
Okt Nov. Okt Nov. Okt Nov. Okt Nov.

1 2 3 4
IPAS

Gambar 14. Perkembangan Nitrat di IPAS Periode


Oktober- November 2004

diperbolehkan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor


416/Menkes/Per/X/1990 tanggal 3 September 1990 karena memiliki nilai di atas 1 mg/l,
kecuali pada tahun 2001. Sedangkan kandungan nitrit air lindi pada inlet masih berada
di bawah baku mutu yang diperbolehkan, kecuali pada tahun 2000 dan di IPAS 1 pada
tahun 2004. Sedangakan pada IPAS 2 dan 3 (Inlet) berada dibawah baku mutu, hanya
pada IPAS 2 tanggal 27 Nopember 2004 dengan nilai 1,044 mg/l. Pada IPAS 4 (inlet)
nilai nitrit menunjukkan angka yang sangat tinggi, periode tanggal 2 Oktober sampai
dengan tanggal 27 Nopember 2004 kisaran 116,7 – 1552,5 dengan rata-rata 1037
(Lampiran 7), melebihi baku mutu yang diperbolehkan.
Nilai nitrit yang tinggi lebih banyak dijumpai pada titik outlet, kecuali pada
IPAS 4. Konsentrasi nitrit tertinggi terjadi pada IPAS 4 di bulan Oktober di inlet
dengan nilai mencapai 1444 mg/l dan terendah pada IPAS 2 di bulan Oktober. Untuk
95

lebih jelasnya mengenai perkembangan konsentrasi nitrit di IPAS periode Oktober-


November 2004 dapat dilihat pada Gambar 15.

1600
1400
1200
1000
inlet
mg/l

800
outlet
600
400
200
0
Okt Nov. Okt Nov. Okt Nov. Okt Nov.

1 2 3 4
IPAS

Gambar 15. Perkembangan Nitrit di IPAS Periode


Oktober-November 2004

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 416/Menkes/Per/X/1990 tanggal

3 September 1990 yang menetapkan bahwa batas BOD5 yang diperbolehkan adalah 50

mg/l, maka keberadaan BOD air lindi telah sangat mengkhawatirkan. Nilai BOD5, baik
di IPAS 1 maupun IPAS 2 sangat tinggi dan hanya ketika tahun 2002 di IPAS 1,
nilainya berada di bawah baku mutu yang diperbolehkan. Bahkan pada tahun 2004,

nilai BOD5 di IPAS 2 pada inlet mencapai 1008 mg/l.


Nilai BOD lebih banyak ditemukan pada inlet, kecuali pada IPAS 2 di tahun
2000 dan 2001 (Lampiran 15 dan 16). Hal ini disebabkan sesudah inlet air lindi
terkontaminasi oleh beragam zat atau unsur lain, sehingga kandungan BOD sedikit

berkurang. Nilai BOD5 tertinggi terjadi pada IPAS 4 di bulan Oktober 2004 di inlet
dengan nilai mencapai 1267 mg/l dan terendah pada IPAS 2 di bulan Oktober 2004 di
outlet yang mencapai nilai 144 mg/l. Secara umum, nilai BOD di inlet lebih tinggi
daripada di outlet. Untuk lebih jelasnya mengenai perkembangan nilai BOD di IPAS
periode Oktober-November 2004 dapat dilihat pada Gambar 16.
96

1400

1200

1000

800
mg/l inlet
600 outlet

400

200

0
Okt Nov. Okt Nov. Okt Nov. Okt Nov.

1 2 3 4
IPAS

Gambar 16. Perkembangan BOD5 di IPAS Periode


Oktober-November 2004

Nilai COD lebih banyak ditemukan pada titik inlet, kecuali pada IPAS 2 di
tahun 2001 dan IPAS 4 tahun 2000. Nilai COD yang tinggi ditemukan pada IPAS 3
tahun 2001 (Lampiran 14 dan 15). Untuk nilai COD air lindi yang ditemukan, nilainya
juga berada di atas baku mutu yang diperbolehkan berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan No. 416/Menkes/Per/X/1990 tanggal 3 September 1990 yang menetapkan
bahwa batas COD yang diperbolehkan adalah 100 mg/l. Bahkan pada tahun 2004,
kandungan COD di IPAS 2 pada titik inlet mencapai 3188 mg/l.
Nilai COD dengan BOD tidak terlalu berbeda perkembangannya. Nilai COD
tertinggi terjadi pada IPAS 4 di bulan Oktober di titik inlet dengan nilai 3455 mg/l dan
terendah pada IPAS 2 di bulan Nopember di titik outlet mencapai nilai 380 mg/l.
Secara umum, nilai COD di titik inlet lebih tinggi daripada di titik outlet. Untuk lebih
jelasnya mengenai perkembangan nilai COD di IPAS periode Oktober-November 2004
dapat dilihat pada Gambar 17.

4000
3500
3000
2500
inlet
mg/l

2000
outlet
1500
1000

500
0
Okt Nov. Okt Nov. Okt Nov. Okt Nov.

1 2 3 4

IPAS

Gambar 17. COD di IPAS Periode Oktober-November 2004


97

Nilai pH air lindi di IPAS menentukan keseimbangan antara asam dan basa
yang diidentifikasikan melalui pengukuran konsentrasi ion hidrogen dalam suatu
larutan. Nilai pH air yang normal adalah sekitar netral yaitu kisaran pH 6-8. Apabila pH
air diatas atau dibawah angka kisaran tersebut tergolong tidak normal. Air bersifat asam
apabila pH nya lebih kecil dari 7 dan bersifat basa apabila pH nya lebih besar atau sama
dengan 7.
Untuk nilai pH air lindi yang ditemukan, nilainya masih berada dalam baku
mutu yang diperbolehkan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.
416/Menkes/Per/X/1990 tanggal 3 September 1990 yang menetapkan bahwa pH yang
diperbolehkan adalah 6-9.
Pada Gambar 18 terlihat bahwa pH di IPAS yang tinggi lebih banyak dijumpai
pada bulan Oktober dengan nilai tertinggi berada pada IPAS 3. Nilai pH juga lebih
tinggi pada inlet, kecuali pada IPAS 1 di bulan November dan IPAS 4 bulan Oktober,
Secara keseluruhan pH air lindi pada IPAS periode bulan Oktober sampai dengan bulan
Nopember 2004 berada lebih besar atau sama dengan 7 bersifat basa .

8.6
8.4
8.2
8
7.8
pH 7.6
7.4 inlet
7.2
outlet
7
6.8
6.6
Okt Nov. Okt Nov. Okt Nov. Okt Nov.

1 2 3 4
IPAS

Gambar 18. pH di IPAS Periode Oktober-November 2004

4.3. Komponen Mikrobiologi


Kualitas air secara biologis, khususnya secara mikrobiologis, ditentukan oleh
banyak parameter. Parameter tersebut adalah E. coli dan coliform, fitoplankton dan
bentos. Kehadiran mikroba berupa bakteri pencemaran tinja di dalam air yang
digunakan untuk kepentingan hidup manusia (rumah tangga) sangat tidak diharapkan.
Untuk keperluan di luar untuk air minum, seperti air kolam renang, dalam 100 ml air
98

kandungan bakteri coli tidak boleh lebih dari 200, sementara untuk air rekriasi tidak
boleh mengandung lebih dari 1000 bakteri coli.
Banyak jenis bakteri patogen (penyebab penyakit) berkembang dan menyebar
melalui badan air, misalnya penyebab penyakit tipus (Salmonella), disentri (Shigella),
kolera (Vibrio), dan dipteri (Coryne bacterium). Selain itu banyak bakteri patogen
berkembang dan menyebar melalui air, baik yang hidup secara anaerobik maupun yang
hidup secara aerobik. Kontak makanan dengan air yang mengandung bakteri tersebut
akan dinyatakan berbahaya kalau kemudian termakan.
Kandungan E. coli sumur atas dari TPA konsentrasi pada tanggal 2 Oktober
sampai dengan tanggal 27 Nopember 2004 kisarannya 52 – 63 MPN/100 ml dengan
nilai rata-ratanya 55,66 MPN/100 ml (Tabel 15), sedangkan pada sumur bawah dari
TPA kisarannya 0,1 – 50 MPN/100 ml dengan nilai rata-ratanya 23,36 MPN/100 ml
(Tabel 16), ini berarti pada sumur-sumur tersebut baik yang diatas maupun yang
dibawah dari TPA sudah tercemar E. coli akan tetapi masih di bawah ambang batas
BMPSA dan BMAS. Kondisi ini dan buruknya air sumur tersebut, lebih banyak
disebabkan oleh buruknya kondisi lingkungan setempat dan pencemaran di sumur atas
dan sumur bawah tidak hanya dipengaruhi oleh pencemar dari TPA, tetapi juga akibat
adanya pencemaran di sekitar sumur seperti WC dan tumpukan sampah yang
dikumpulkan oleh pemulung di sekitarnya.
Kandungan koliform sumur jauh lebih tinggi daripada kandungan E. coli pada
periode yang sama. Kandungan tertinggi dicapai pada tanggal 27 Nopember 2004 dan
terendah pada tanggal 2 Oktober 2004. Kandungan rata-rata 71 MPN/100 ml. Angka ini
masih dibawah BMPSA dan BMAS.
Dari beberapa komponen mikrobiologi pada kawasan TPA, salah satu diantara
yang terpenting adalah faktor keberadaan dan distribusi lalat. Keberaaan dan banyaknya
lalat juga dapat dianggap sebabagai cerminan keadaan sanitasi lingkungan. Semakin
banyak lalat, semakin menurun kondisi sanitasi lingkungannya, begitu juga sebaliknya.
Dengan kondisi ini, lalat dianggap sebagai indikator penyebaran vektor beberapa
penyakit yang berbahaya.
Pengukuran komponen lalat dilaksanakan pada tanggal 4 Nopember 2004 antara
pukul 9.30 sampai dengan 15.00 WIB. Jumlah keberadaan lalat menurut lokasinya di
TPA Bantar Gebang dan sekitarnya seperti pada Tabel 19.
99

Tabel 19. Distribusi Lalat di Kawasan TPA Bantar Gebang dan Sekitarnya

No Baku
Lokasi Jumlah Keterangan
Mutu
1. Ke Arah Kelurahan Sumur Batu
♦ Titik 1 zone IIIC 8,9 30 Landfill
♦ Titik 2 7,4 30 Berangin
♦ Titik 3 5,2 30 Sampah kering
♦ Titik 4 Kelurahan Sumur Batu 3,6 30 Landfill
♦ Ttitik 5 Batas Kel. S. Batu 1,5 30 Permukiman
2. Ke Arah Kelurahan Taman Sari
♦ Titik 6 zone IIIC 12,3 30 Landfill
♦ Titik 7 jalan pembatas zona 10,4 30 Banyak grobak sampah
IIIC 9,1 30 Landfill
♦ Titik 8 tenggara zone IIIC 3,5 30 Permukiman
♦ Titik 9 Kelurahan Taman Sari 36,8 30 Tempat cucian plastik
♦ Titik 10 tempat cucian plastik
3. Ke Arah Kel. Ciketing Udik
♦ Titik 11 Kel. Ciketing Udik 2,9 30 Permukiman
♦ Titik 12 jala n pembatas TPA 7,4 30 Leachate, berangin
♦ Titik 13 empang cuci plastik 6,8 30 Tempat cucian plastik
4. Ke Arah Kelurahan Cikiwul
♦ Titik 14 Kel. Cikiwul 1,9 30 Permukiman
♦ Titik 15 zone IIIA 3,4 30 Berangin, landfill lama
♦ Titik 16 zone IIB 0,9 30 Berangin, landfill lama
♦ Titik 17 zone IC 7,8 30 Sampah baru, berangin
♦ Titik 18 zone IA 0,7 30 Berangin, rumput &
♦ Titik 19 zone VB 0,5 30 landfill
Berangin, landfill
* Baku Mutu Kep. Dirjen P2M PLP Depkes No.28-1 II/PD 03.04 LP tanggal 30 Oktober 1989

Pada Tabel 19 tersebut bahwa jumlah populasi lalat di lokasi arah desa Taman
Sari yaitu pada titik 10 tempat pencucian pelastik terdapat jumlah lalat 36,8 melebihi
baku mutu Kep. Dirjen P2MPLP Depkes No.28-1 11/PD.03.04LP tanggal 30 Oktober
1989 hal ini terjadi karena dilokasi pencucian pelastik yang dilakukan para pemulung
menimbulkan bau busuk mengundang lalat.

4.4. Komponen Sosial-Ekonomi


A. Karakteristik Responden
Masyarakat yang dijadikan responden adalah masyarakat yang tinggal di sekitar
TPA Bantar Gebang, 49,5 % dari mereka tinggal yang jarak rumahnya antara 0-1 km
100

dari lokasi TPA Bantar Gebang dan 3,4 % responden tinggal antara 1-10 km dari TPA
Bantar Gebang. Tingkat pendidikan responden mayoritas tamatan SD sebanyak 41,9 %
dan 92,7 % dari mereka telah menikah. Sebagian besar memiliki tanggungan antara 1-4
orang.

B. Sosial Ekonomi Responden


Menurut Haeruman (1979) perubahan atau pengaruh pembangunan tidak hanya
dalam bentuk fisik, tetapi juga sosial atau ekonomi yang seringkali menimbulkan
keresahan sosial yang gawat, yang terjadi karena kurangnya pendekatan yang serasi
terhadap masyarakat di sekitar lokasi pembangunan. Mengenai pengaruh ekonomi,
Suratmo (1988) mengemukakan bahwa perubahan dalam basis ekonomi akan
mempengaruhi perubahan dalam kegiatan bukan berbasis ekonomi. Pengaruh ekonomi
tersebut bersifat sekunder yang harus diperhitungkan. Kegiatan ekonomi bukan basis
mencakup berbagai usaha ekonomi yang terkait secara tidak langsung dengan ekonomi
di sektor basis, sebagai contoh jika balai industri berkembang, akan berkembang pula
usaha jasa transportasi pedesaan, usaha warung, serta jasa-jasa perdagangan lainnya di
desa setempat.
Guna mengetahui sejauhmana pengaruh suatu program pembangunan, maka
dilaksanakan pemantauan dan evaluasi secara terus- menerus. Hal tersebut diperlukan
untuk bisa segera memahami sejauhmana pengaruh dari suatu program pembangunan
pada keseimbangan sistem sosial-ekosistem dan keseimbangan tersebut diharapkan agar
senantiasa lestari. Apabila kelestarian belum tercapai, maka program pembangunan
tersebut perlu mendapatkan masukan untuk menghilangkan faktor- faktor penyebab dan
mengurangi tekanannya terhadap lingkungan sosial tersebut, sehingga kelestarian tetap
tercapai.
Pekerjaan responden mayoritas adalah bergerak di bidang wiraswasta atau
berdagang 33,4 %, sedangkan yang berprofesi sebagai karyawan swasta hanya 18,3 %
seperti Tabel 20.
101

Tabel 20. Jenis Pekerjaan Responden


No Jenis Pekerjaan Peresentase (%)
1. Pegawai Negeri atau TNI 7,2
2. Swasta 18,3
3. Wiraswasta 33,4
4. Buruh atau petani 27
5. Mengojek 6,6
6. Lainnya 2
Total 100

Ditinjau dari segi pendapatan 27,4 % mempunyai pendapatan rata-rata antara


Rp.500.000,00 – Rp.1.000.000,00, sedangkan yang punya pendapatan lebih dari satu
juta sebanyak 15,1 % seperti pada Tabel 21. Pengeluaran terbesar dari penduduk adalah
untuk kebutuhan hidup sehari- hari atau 53,4 % sedangkan untuk biaya pendidikan
sebanyak 34,2 %.
Tabel 21. Tingkat Pendapatan Responden
No Tingkat Penghasilan Peresentase (%)
1. 500.000 26
2. 500.000 – 1.000.000 27,4
3. 1.000.000 – 1.500.000 15,1
4. 1.500.000 – 2.000.000 13,7
5. 2.000.000 – 2.500.000 0
6. > 3.000.000 1,4
7. Tidak menjawab 16,4
Total 100

C. Tanggapan Responden terhadap TPA Bantar Gebang


Pada umumya 54,7 % penduduk menganggap bahwa aktivitas TPA tidak
mengganggu dan berpengaruh terhadap kehidupan mereka, 27,2 % mengganggap
kegiatan TPA mengganggu yang menyatakan mendukung atas kehadiran TPA sebanyak
17,6 %.
Sumber air yang digunakan oleh warga pada umumnya berasal dari air tanah
atau sumur, bahkan masih ada yang membeli air dari tukang air keliling sebanyak 5,6
%. Jawaban responden tentang gangguan terhadap air tanah adalah 29,8 % menganggap
masih ada gangguan terhadap kualitas air tanah mereka. Namun jika dibandingkan
dengan tahun 2001, maka ada penurunan. Pada tahun 2001 jumlah responden yang
menyatakan ada gangguan sebesar 43,3 %. Wujud gangguan terhadap air tanah menurut
responden pada tahun 2004 adalah 19,2 % masalah kebauan, namun jika dibandingkan
dengan tahun 2002 terjadi penurunan karena pada tahun 2002 jawaban responden
sebesar 23,3 % seperti Tabel 22.
102

Tabel 22. Wujud Gangguan Terhadap Air Tanah


Presentase ( % ) Rata-
No Wujud Gangguan Kisaran
2001 2002 2003 2004 rata
1. Berbau 25 23,3 21,4 19,2 19,2 - 25 22,22
2. Keruh 15 6,8 5,8 5,3 5,3 – 6,8 8,22
3. Berminyak 3,3 0 0 0 0 – 3,3 0,8
Total 43,3 30,1 27,2 24,5

Selanjutnya apa yang menjadi penyebab gangguan air tanah menurut responden
19,2 % dikarenakan aktivitas TPA Bantar Gebang (pada tahun 2001 jumlah tersebut
adalah 20 %). Penyebab gangguan terhadap air tanah periode tahun 2001 sampai
dengan 2004 persentase tertinggi pada tahun 2001 sebesar 20 % dan terendah pada
tahun 2004 sebesar 18,7 % yang menyatakan penyebabnya adalah TPA Bantar Gebang.
Terdapat penurunan tingkat gangguan dengan nilai kisaran 18,7 – 20 % dan nilai rata-
rata 19,22 %. Sedangkan yang menyatakan penyebab gangguan dari lain- lain adalah
kisaran 11,1 – 18 % dengan nilai rata-rata 5,45 %. Penyebab gangguan air tanah secara
rinci diuraikan pada Tabel 23.
Tabel 23. Penyebab Gangguan Terhadap Air Tanah
PenyebabGangguan Presentase ( % ) Rata-
No Kisaran
2001 2002 2003 2004 rata
1. TPA Bantar Gebang 20 19,2 19,0 18,7 18,7-20 19,22
2. Lain- lain 18 1,4 1,3 1,1 1,1-18 5,45
Total 38 20,6 20,3 19,8

Dari Tabel 23 tersebut dapat disimpulkan bahwa, menurut masyarakat gangguan


terhadap air tanah karena aktivitas TPA Bantar Gebang berkurang, sedangkan karena
adanya aktivitas lainnya menurun.
Menurut responden gangguan bau di wilayah TPA Bantar Gebang berasal dari
aktivitas TPA Bantar Gebang baik tahun 2001 maupun 2002, 2003 dan 2004 dan secara
rinci dapat dilihat pada Tabel 24. Bau merupakan parameter penting dalam kualitas air
minum, parameter tersebut merupakan sifat fisik air yang secara langsung berpengaruh
terhadap konsumen (Peany et al, 1986).
103

Tabel 24. Penyebab Gangguan Bau


Intensitas Gangguan Presentase ( % ) Rata-
No Kisaran
Asap 2001 2002 2003 2004 rata
1. Aktivitas TPA Bantar 83,3 82,9 82,9 81,0 81,0-83,3 82,22
Gebang
2. Aktivitas TPS di Luar 1,7 1,4 1,4 6,3 1,5-6,3 3,47
Bantar Gebang
3. Aktivitas TPA Liar di 14,7 15,7 15,7 12,7 12,7-15,7 14,22
Sekitar TPA
Total 100 100 100 100
Berdasarkan hasil analisis kualitas udara, ya ng menjadi sumber bau adalah NH3
(amonia) dan H2S, namun demikian nilai kedua parameter tersebut masih dibawah baku
mutu lingkungan.
D. Kesehatan Masyarakat
Pengaruh sampah terhadap kesehatan lingkungan dapat terjadi melalui pengaruh
langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung terjadi akibat kontak langsung
dengan sampah, dimana sampah tersebut ada yang bersifat racun, korosif terhadap
tubuh, karsionogenik, teratogenik dan ada juga yang mengandung kuman patogen yang
langsung dapat menularkan penyakit Slamet, (1994). Pengaruh tidak langsung dapat
dirasakan oleh manusia terutama akibat pembusukan, pembakaran dan pembuangan
sampah. Dekomposisi sampah biasanya terjadi secara aerobik, dilanjutkan secara
fakultatif, bahkan terjadi secara anaerobik jika kehabisan oksigen. Dekomposisi secara
aerobik menghasilkan lindi dan gas.
Pengaruh tidak langsung juga terjadi melalui vektor yang dibawa hewan inang
yang hidup dan berkembang biak di sampah, misalnya tikus adalah inang pinjal sebagai
vektor penyakit pes, dan lalat merupakan vektor utama terhadap penyakit disentri
Slamet, (1994). Pengelolaan sampah yang kurang baik, selain menimbulkan penyakit,
juga dapat menimbulkan efek terhadap kualitas sosial lingkungan, terutama penurunan
estetika yang ditunjukan adanya kesan jorok, jijik, bau dan sebagainya Saruji, (986)
Perkembangan kesehatan masyarakat di sekitar kawasan TPA didekati dengan
analisis data sekunder khususnya persentase penyakit di Kecamatan Bantar Gebang,
terhadap 5 penyakit besar, seperti disajikan dala m Tabel 25. Tabel tersebut
memperlihatkan jenis penyakit yang banyak diderita oleh masyarakat Kota Bekasi,
yakni ISPA, penyakit gigi, gastritis, infeksi kulit dan diare.
104

Berdasarkan Tabel 25 dapat dilihat bahwa perkembangan pola penyakit di


wilayah Kota Bekasi dan Kecamatan Bantar Gebang dalam 7 tahun terakhir, terutama
dari tahun 1998-2004 menunjukkan pola yang relatif sama. Misalnya penyakit ISPA
untuk wilayah Bantar Gebang antara 32,9 – 44,3 %, sedangkan wilayah Kota Bekasi
juga sebesar antara 37,4 – 44,3 %. Berdasarkan Uji T menunjukkan bahwa jenis
penyakit ISPA di wilayah Kota Bekasi dan Kecamatan Bantar Gebang tersebut adalah
relatif sama atau tidak berbeda secara nyata.

Tabel 25. Jenis Penyakit di Kota Bekasi dalam 7 tahun terakhir


Wilayah
No Tahun Jenis Penyakit
Kota Bekasi ( % ) Bantar Gebang ( % )
1. 1998 44,3 34,1
1999 40,9 44,3
2000 37,4 40,0
2001 ISPA 38,8 32,9
2002 36,7 30,4
2003 34,9 29,5
2004 31,8 28,6
2. 1998 14,9 12,2
1999 - 14,9
2000 2,2 24,1
2001 Penyakit Gigi 15,4 11,2
2002 12,3 10,6
2003 11,7 10,4
2004 10,8 9,7
3. 1998 14,5 17,5
1999 10,5 14,5
2000 3,7 11,1
2001 Gastritis 7,4 9,2
2002 6,2 8,7
2003 5,8 7,3
2004 5,2 6,4

4. 1998 10,2 11,7


1999 17,0 10,2
2000 5,5 8,4
2001 Infeksi Kulit 10,2 3,4
2002 8,4 3,0
2003 7,2 2,6
2004 6,5 2,4
5. 1998 7,6 4,9
1999 22,8 7,6
2000 9,5 8,1
2001 Diare 6,0 8,4
2002 5,8 7,9
2003 4,9 6,2
2004 4,3 5,7

Perkembangan penyakit gigi di wilayah Kecamatan Bantar Gebang sebesar


11,2-24 %, sedangkan wilayah Kota Bekasi sebesar 2,2-15,4 %. Begitu juga untuk
105

penyakit Gastritis untuk wilayah Bantar Gebang lebih besar yakni 9,2-17,5 % dan
wilayah Kota Bekasi sebesar 3,7-14,5 %. Perbedaan tersebut berdasarkan persentasenya
terlihat berbeda, namun berdasarkan uji T, menunjukkan relatif tidak berbeda nyata.
Namun demikian karena menyangkut penyakit pada manusia, maka perkembangan
penyakit tersebut perlu mendapat perhatian yang serius.
Kedua perkembangan penyakit lainnya yaitu penyakit kulit dan diare
menunjukkan distribusi yang sama antara wilayah Kota Bekasi dan wilayah Bantar
Gebang. Hal ini menunjukkan bahwa pola penyebaran penyakit tersebut adalah sama
untuk seluruh wilayah Kecamatan di Kota Bekasi, tidak ada gejolak yang berbeda
dengan wilayah Kota Bekasi. Status kesehatan masyarakat di sekitar lokasi TPA Bantar
Gebang hingga medio tahun 2004 data Puskesmas Bantar Gebang, menunjukkan bahwa
penyakit yang paling banyak diderita adalah ISPA, penyakit gigi, penyakit kulit,
gastritis dan diare.
Perkembangan pola penyakit di wilayah Bantar Gebang relatif memiliki
karakteristik sama dengan wilayah Kota Bekasi. Namun demikian perhatian pada
masyarakat sekitar tetap perlu mendapat perhatian yang serius sehubungan dengan
upaya pemberian kompensasi berupa pengobatan cuma-cuma bagi masyarakat dan
penderita beberapa penyakit pada masyarakat di sekitar lokasi TPA yang sangat erat
hubungannya dengan saluran pernapasan. TPA Bantar Gebang memberikan kontribusi
terhadap pencetusan atau intensitas rasa sakit penyakit batuk, sesak napas, ISPA,
pusing dan sakit perut.
Pada tahun 2004 persepsi masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar lokasi
TPA Bantar Gebang terhadap gangguan kesehatan mulai bergeser ke arah yang lebih
baik. Secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 26.
Pada tahun 2004 sebanyak 9,4 % responden (Tahun 2001 sebanyak 35,0 %)
menyatakan tidak pernah, sedangkan sisanya kadang-kadang merasakan sakit. Kisaran
terhadap gangguan kesehatan, intensitas sakit dalam beberapa tahun terakhir yang
menyatakan tidak pernah 9,4-35,0 % dengan nilai rata-rata 16,47 %. Sedangkan yang
menyatakan kadang-kadang dengan kisaran 20-50,2 % dengan nilai rata-rata 38,02 %.
Nilai ini menunjukkan peningkatan dari 43,6 %. Jenis penyakit yang sering responden
alami adalah flu dan batuk pilek tahun 2003 menjadi 50,2 % tahun 2004 (Tabel 26).
Jenis penyakit yang sering responden alami adalah flu dan batuk pilek yaitu sebesar
106

58,7 % (tahun 2004), gangguan pernapasan sebanyak 24,3 %, diare dan muntaber
sebanyak 3,6 % (tahun 2004), dan sisanya oleh berbagai jenis penyebab.
Tabel 26. Persepsi Responden terhadap Gangguan Kesehatan tahun 2001-2004
Presen (%) Rata-
No Karakteristik Uraian Kisaran
2001 2002 2003 2004 rata
1 Intensitas sakit Sering 33,3 11,0 10,8 8,6 8,6-33,3 15,92
dalam Beberapa Kadang-kadang 20,0 38,3 43,6 50,2 28,0-50,2 38,02
tahun terakhir Jarang 11,7 39,7 40,2 43,7 11,7-43,7 33,82
Tidak Pernah 35,0 11,0 10,5 9,4 9,4-35,0 16,47

2. Sakit yang Flu, Batuk, Pilek, 38,5 56,9 58,3 58,7 38,5-58,7 53,1
sering Pernapasan 30,5 23,1 20,1 24,3 20,1-30,5 24,5
Dialami Diare, Muntaber 331 4,6 4,2 3,6 3,6-33,1 85,85
Lainnya 17,9 15,4 14,7 12,0 12-7,9 15
3 Penyebab sakit Aktivitas TPA 59 30,8 26,9 19,7 19,7-59 34,1
Aktivitas TPA liar 16,9 14,2 10,3 10,3-16,9 10,35
Lingkungan kurang 15,4 27,7 29,4 33,6 15,4-33,6 26,52
sehat
Sebab-sebab lain 25,6 24,6 23,6 22,0 22-25,6 23,95
4 Bila sakit, cara Beli obat sendiri 15,0 24,6 30,4 36,3 15-36,3 26,57
berobat Ke Dokter 41,7 30,8 42,5 44,2 30,8-44,2 39,8
Ke Puskesmas 43,3 44,6 47,2 48,0 43,3-48 45,77
Dukun atau tabib 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
5 Institusi Pemrov DKI 27,8 35,6 30,2 22,4 22,4-35,6 29
pengelola Pemerintah 50,0 8,2 7,9 5,7 5,7-50 17,95
Pengobatan Kota/Bekasi
gratis Instansi pemerintah lain 16,7 6,9 5,8 4,8 4,8-16,7 8,55
Institusi swasta 5,6 5,5 5,4 4,9 4,9-5,6 5,35
Tidak jawab 43,8 36,7 29,8 29,8-43,8 27,57

Responden berobat ke Puskesmas sebesar 48,0 % (tahun 2001 sebanyak 43,3


%), dan pergi ke dokter sebanyak 44,2 % (tahun 2001 sebanyak 41,7 %), membeli obat
sendiri sebanyak 36,3 % (tahun 2001 sebanyak 15,0 %). Pada tahun 2004 responden
yang berpendapat bahwa instansi yang melakukan pengobatan sebagai kompensasi
dampak negatif adalah Pemerintah DKI Jakarta sebanyak 22,4 % (tahun 2001 sebanyak
27,8 %), sebanyak 5,7 % responden menyatakan bahwa instansi pengelola pengobatan
gratis adalah Pemerintah Kota Bekasi (tahun 2001 sebanyak 50,0 %).
Sehubungan dengan upaya untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat
yang berada di sekitar lokasi TPA Bantar Gebang, salah satu upaya yang dilakukan
adalah dengan meningkatkan pelayanan kesehatan termasuk diantaranya adalah
penyediaan fasilitas kesehatan di sekitar lokasi TPA Bantar Gebang. Adanya
kesepakatan antara pihak Pemda DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Bekasi dalam
107

bentuk penyediaan dana kompensasi termasuk di dalamnya adalah penyediaan fasilitas


kesehatan berupa Puskesmas pembantu dengan segala kelengkapannya.
Keberadaan fasilitas kesehatan seperti Puskesmas pembantu tersebut, sangat
dibutuhkan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi TPA Bantar Gebang.
Diharapkan dengan adanya fasilitas kesehatan tersebut angka kesakitan masyarakat di
sekitar lokasi TPA Bantar Gebang dapat ditekan seminimal mungkin.

E. Umur Teknis TPA


Perkiraan umur teknis TPA ditetapkan beberapa skenario antara lain
menetapkan bahwa ketinggian sampah adalah sebesar 17 m dari dasar konstruksi atau
12 m dari permukaan tanah. Berdasarkan ketinggian tumpukan sampah tersebut,
dengan luas total 76,06 ha, maka umur teknis TPA adalah selama 332 hari atau 1 tahun
seperti pada Tabel 27 (Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2002).
Berdasarkan skenario ini, ketinggian 12-15 m secara teknis memerlukan
persyaratan tertentu berupa pemadatan, harus sempurna sehingga dapat digunakan
sebagai dasar bagi penumpukkan sampah berikutnya, dan untuk beroperasinya alat
berat, serta meningkatkan kemampuan IPAS, karena beban air lindi akan semakin
besar, hal ini berimplikasi pada peningkatan kemampuan pengelolaan air lindi.
Tabel 27. Umur Teknis TPA Bantar Gebang
Tinggi Selisih
Tinggi Tinggi Susut Selisih Umur
Zone Luas (m²) Teknis (m)
Aktual Harian Harian (6-7) (hari)
(m) (3-4)
I 183.000 12 8,2 3,8 0.061 0.002 0.059 64.9
II 167.000 12 6,1 5,9 0.066 0.002 0.064 91.6
III 250.600 12 8,6 3,4 0.044 0.002 0.042 80.6
IV 64.900 12 4,7 7,3 0.171 0.002 0.169 43.2
V 95.000 12 6,1 5,9 0.117 0.002 0.115 51.4
Jumlah 760.700 331.7
Sumber: Evaluasi Pemantauan TPA Bantar Gebang, 2002.

F. Kompos dan Daur Ulang

a. Komposting
Program komposting belum dapat sebagai faktor utama dalam reduksi sampah,
paling tidak untuk jangka waktu 5 tahun kedepan. Walaupun demikian upaya-upaya
tersebut perlu terus diperbaiki dan dikembangkan. Sampah domestik merupakan potensi
yang sangat besar untuk produksi kompos. Namun upaya yang diperlukan untuk
108

merubah perilaku dan kelembagaan pemilahan sampah pada sumbernya, khususnya


sampah domestik, akan sangat banyak, tidak termasuk introduksi minset untuk
memandang kompos sebagai produk bermanfaat.
Karena itu, bagi Jakarta, komposting tidak dapat dijadikan prioritas mendesak,
terutama dalam waktu dekat. Asumsi bahwa sumber kompos yang paling mudah dan
praktis adalah sampah pasar, yang dapat dikumpulkan secara terpisah. Rencana
perkomposan perlu disusun tersendiri, meliputi identifikasi pemanfaatan kompos,
komposisinya, kebutuhan lahan, serta pengelolaannya secara menyeluruh. Program
komposting sampah domestik perlu dikembangkan melalui proyek-proyek percontoha n.
Komposting sampah domestik sekala besar dapat dilaksanakan melalui kemitraan
dengan sektor swasta. Kompos skala kecil dapat berhasil karena secara pembiayaan
modal dapat kembali karena pasar juga belum terbentuk secara baik. Pembeli hanya
dari kalangan pengguna tanaman hias. Pada produksi skala sedang, yang menjadi
kendala pertama adalah modal investasi, akan sulit pengembalian dan pinjaman karena
pasar tidak membeli produk sebanyak itu. Hal lain adalah faktor ongkos angkut, bahan
bakar sampah organik terpilih kelokasi instalasi kompos. Jelas harga kompos yang saat
ini berlaku tidak akan cocok (berarti akan lebih mahal).
Program kompos secara umum perlu digerakan dari lapisan masyarakat bawah.
Selama ini melalui pilot proyek semua stakholder diundang, namun didalam
pelaksanaan dilapangan hanya mereka yang benar-benar ingin memperoleh manfaat
dari proyek tersebut. Dengan demikian, jika dana proyek tidak dikucurkan lagi, maka
kegiatan kompos berhenti dan masyarakat tidak melangsungkan pemilahan sampahnya
lagi. Dengan demikian, kondisi dan permasalahan pengkomposan terdiri dari beberapa
aspek antara lain adalah:
a. Aspek Teknis: (1). Kompos melalui proses windrow pada program UDPK (Unit Daur
Ulang dan Produksi Kompos). (2). Sebetulnya ada proses produksi kompos lain yang
disebut Vermics, adalah kotoran cacing tanah yang bercampur dengan hasil
pembusukan sampah organik. Kualitasnya sedikit lebih unggul dari proses windrow.
Ketekunan pengelola dan pemeliharaan cacing serta pasar kompos vermics ini sangat
menentukan berhasil tidaknya metodologi ini. (3). Produksi kompos skala kecil
menunjukkan bahwa proses windrow dapat ditingkatkan kapasitasnya, melalui
rekayasa mesin kompos Aerob maupun Anaerob. Dari segi waktu proses aerob lebih
109

lama, yaitu membutuhkan waktu di atas 35 hari, sedangkan proses anaerob sudah
dapat diperoleh produksi kompos setelah 18-20 hari. dan (4). Permasalahan
pengkomposan ini terletak di pasar petani yang membutuhkan pupuk, kadang-kadang
belum tertarik pada produk kompos ini.
b. Aspek Kelembagaan: Produk kompos hanya mempunyai pasar pada masyarakat yang
gemar tanaman hias atau taman pekarangan saja. Karena itu produksi kompos secara
informal dan skala kecil cukup berhasil.
c. Aspek Pembiayaan: Pada umumnya kegiatan produksi skala kecil yang dibina oleh
pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah termasuk pembiayaanya pada program 3R,
zero waste atau UDPK. Kelompok swasta yang berkiprah di bidang kompos skala
kecil umumnya membiayai usahanya yang umumnya mereka mempunyai langganan
pembeli. Pasar kompos belum terbentuk secara baik dan banyak usahawan lama- lama
yang menon-aktifkan produksinya.
d. Aspek Hukum: SK Gubernur Nomor 1281/1988 tanggal 21 Juli 1988 tentang Pola
Penanggulangan Kebersihan Lingkungan di DKI Jakarta. Program kompos dapat
dikatagorikan program sampah tidak dapat didaur ulang, namun diproses menjadi
material yang bermanfaat dan bernilai ekonomis.
Proses konversi biologis sampah memiliki peran utama dalam menejemen
persampahan dan dapat diterapkan pada beberapa bagian dalam aliran limbah. Aplikasi
dari proses biologi seperti misalnya pengomposan limbah atau produksi gas bio, dapat
mengkonversi limbah dalam aliran limbah. Proses biologi dapat juga digunakan setelah
proses pengumpulan sampah sebagai berikut: mengurangi volume sampah pada TPA
(lebih dari 50%); pemulihan energi yang terdapat pada sampah (sebagai biogas) dan
menghasilkan suatu produk yang lebih stabil dan bermanfaat (seperti pupuk kompos).
b. Daur ulang
Diasumsikan bahwa 20 % sampah per tahun akan dikembangkan termasuk
tambahan 2 % untuk daur ulang di Bantar Gebang. Model pemb uangan sampah di tiap
daerah pelayanan memperkirakan 20 % daur ulang dan 4 % di komposkan. Perbedaan
penting adalah bahwa daur ulang sedang berlangsung serta harus dibatasi di dalam kota
dan dimodifikasi di Bantar Gebang, sedangkan komposting dapat dikatakan bahwa ada
dan harus dibina sepanjang waktu. Salah satu program 3R adalah daur ulang, dapat
dikatakan bahwa sejumlah sampah yang akan diolah di TPA dapat diolah dengan proses
110

daur ulang. Pemilahan sampah pada sumbernya merupakan aktivitas penting dalam
sistem manajemen persampahan terpadu. Pendekatan yang dapat dilakukan dalam
kegiatan daur ulang, mencakup: 1) identifikasi material untuk diubah atau diproses; 2)
identifikasi kesempatan pakai ulang dan proses daur ulang, dan 3) spesifikasi dari
pembeli terhadap materi yang akan dipulihkan.
Kondisi daur ulang di Bantar Gebang merupakan hal yang agak berbeda dan
memerlukan upaya- upaya drastis untuk memperbaiki kondisi sekarang yang sangat
disesalkan. Sangat memperhatikan, bahwa TPA Bantar Gebang yang dimaksudkan
untuk dioperasikan secara sanitari landfill secara sempurna tidak jadi masalah berapa
lama TPA tersebut akan digunakan, membiarkan para pemulung yang hidup dalam
kondisi menyedihkan dan bahkan bekerja dalam kondisi yang lebih menyedihkan lagi.
4.5. Hasil Sintesis AHP
Setelah proses pembentukan pohon hirarki keputusan, penentuan urutan
prioritas penentuan formula pembobotan, maka dapat diambil sintesisnya untuk
dianalisis lebih lanjut. Untuk menentukan pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi
diperlukan alternatif pemilihan yang akan ditentukan kemudian, kriteria untuk membuat
keputusan antara lain seperti Gambar 20. Setelah proses pembentukan pohon hirarki
keputusan, penentuan urutan prioritas parameter penilai pemanfaatan TPA pasca
operasi dan penentuan formula pembobotan parameter, maka dapat diambil sintesisnya
untuk dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan AHP.
Penyusunan struktur hirarki pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi berbasis
masyarakat berdasarkan keterkaitan yang menjadi bagian dari lingkup permasalahan
tersebut. Struktur hirarki disusun dari empat level, yaitu fokus, aktor, kriteria dan
alternatif kebijakan.

Gambar 19: Lokasi TPA Bantar Gebang zone IV


Level I
Level I menggambarkan tujuan utama penggunaan AHP sebagai metode analisis
keputusan yaitu memilih kebijakan pemanfaatan TPA Sampah Pascaoperasi Berbasis
Masyarakat.
111

Level II
Level II menampilkan aktor-aktor yang harus diperhitungkan dalam rangka
pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi berbasis masyarakat, aktor-aktor tersebut
meliputi: masyarakat, swasta dan pemerintah.

Level III
Level III menyajikan kriteria yang diperhitungkan dalam pemanfaatannya.
Kriteria yang dijadikan bahan pertimbangan adalah: fisik-kimia, mikrobiologi dan
sosial ekonomi serta kesehatan yang merupakan arahan bagi perencanaan ke depan
dalam pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi.

Level IV
Level IV menampilkan penilaian untuk masing- masing kriteria yang mengacu
pada kondisi exsisting dan perencanaan terhadap alternatif keputusan yang ditawarkan.
Ditetapkan lima tingkat penilaian yaitu sangat baik, baik, sedang, buruk, dan sangat
buruk. Penilaian terhadap kriteria diberikan oleh pengambil keputusan berdasarkan
pada data yang diperoleh di lapangan. Untuk lebih jelasnya tiap level dalam
memberikan arahan pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi pada Gambar 20.
Pemanfaatan TPA
Sampah Pascaoperasi Fokus
Berbasis Masyarakat

Pemerintah Swasta Masyarakat Aktor

Kriteria

Fisik Kimia Mikrobiologi Sosial Ekonomi dan


Kesehatan

1. Hutan Kota/Penghijauan
2. Pariwisata
3. Lapangan Golf Alternatif
4. TPA Terpadu
5. Perumahan
6. Penambangan Gas dan Energi Listrik
7. Lahan Budidaya
8. Industri
Gambar 20: Struktur Hirarki
112

Dari ketiga kriteria tersebut: fisik-kimia, mikrobiologi serta sosial ekonomi dan
kesehatan, perlu ditentukan tingkat kepentingannya dengan menentukan bobot secara
sembarang atau dengan membuat skala interval untuk menentukan ranking setiap
kriteria atau perbandingan berpasangan, tingkat kepentingan suatu kriteria relatif
terhadap kriteria lain dapat dinyatakan dengan jelas. Untuk menentukan bobot dari
kriteria dengan jelas menentukan nilai eigen dengan menguadratkan matriks,
menghitung jumlah nilai dari setiap baris, kemudian melakukan normalisasi.
Berdasarkan nilai eigen maka diketahui bahwa kriteria yang paling penting adalah fisik-
kimia, sosial ekonomi dan kesehatan serta mikrobiologi.
Untuk menentukan alternatif yang akan dipilih dari delapan alternatif yang ada,
dalam pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi berbasis masyarakat, kemudian
dilakukan analisis setiap zone dengan menggunakan AHP (Gambar 21). Hal ini sangat
baik dilakukan mengingat kondisi TPA sampah saat ini dan untuk menentukan
pemanfaatannya kedepan, serta mengharapkan keterlibatan masyarakat sekitar TPA,
dengan tetap menjaga kua litas lingkungan. Kajian pembahasan AHP meliputi: data
keluaran dan hasil. Data sintesis ditampilkan untuk level I dan masing- masing kriteria
di level II. AHP dalam masing- masing model penilaian pemanfaatan dapat diuraikan
sebagai berikut:
A. Hasil Sintesis AHP pada zone I
Hasil sintesis untuk AHP dalam penilaian zone I adalah sebagai berikut:

Gambar: 21 Hasil sintesis AHP untuk penggunaan zone I

Gambar 21 menunjukkan bahwa urutan peringkat alternatif tiga teratas pada


zone I pemanfaatannya adalah: Hutan Kota/Penghijauan dengan nilai 0,381, TPA
Terpadu dengan nilai 0,297, dan Penambangan gas dan energi listrik dengan nilai
113

0,179. Artinya ketiga alternatif pemanfaatan tersebut secara fisik-kimia, mikrobiologi


dan sosial ekonomi serta kesehatan masyarakat pada zone I mempunyai daya dukung
lebih baik dibanding alternatif sisanya.
Dari alternatif yang dipilih pada zone I dalam pemanfaatan TPA Pascaoperasi
Berbasis Masyarakat maka prioritas utama adalah Hutan Kota/Penghijauan,
berdasarkan analisis kesesuaian lahan dengan menggunakan AHP dengan skor berturut-
turut: 0,381; 0,297; 0,179; 0,073; 0,030; 0,021; 0,014 dan 0,005. Selain dapat
membandingkan peringkat antara zone untuk pemanfaatan lahan, maka dapat
dibandingkan perbedaan skor dan alternatif ketiga teratas. Misalnya antara Hutan
Kota/Penghijauan dengan TPA Terpadu terdapat perbedaan skor 0,87 dan TPA Terpadu
dengan penambangan gas energi listrik perbedaannya 0,118, sedangkan antara
penambangan gas dan energi listrik dengan lahan budidaya memiliki perbedaan skor
0,124. Secara teoritis perbedaan kesesuaian lahan untuk Hutan Kota/Penghijauan
dengan TPA Terpadu sangat kecil.
B. Hasil Sintesis AHP pada zone II
Hasil sintesis untuk AHP dalam penilaian zone II adalah sebagai berikut:

Gambar: 22 Hasil sintesis AHP untuk penggunaan zone II

Gambar 22 menunjukkan bahwa urutan peringkat alternatif tiga teratas pada


zone II pemanfaatannya adalah: Hutan Kota/Penghijauan dengan nilai 0,361, TPA
Terpadu dengan nilai 0,292, dan penambangan gas dan energi listrik dengan nilai 0,154.
Artinya ketiga alternatif pemanfaatan tersebut secara fisik-kimia, mikrobiologi dan
sosial ekonomi serta kesehatan masyarakat pada zone II mempunyai daya dukung lebih
baik dibanding alternatif sisanya.
Dari alternatif yang dipilih pada zone II dalam pemanfaatan TPA Pascaoperasi
Berbasis Masyarakat maka prioritas utama adalah Hutan Kota/Penghijauan,
114

berdasarkan analisis kesesuaian lahan dengan menggunakan AHP dengan skor berturut-
turut: 0,361; 0,292; 0,154; 0,095; 0,042; 0,032; dan 0,024. Selain dapat
membandingkan peringkat antara zone untuk pemanfaatan lahan, maka dapat
dibandingkan perbedaan skor dan alternatif ketiga teratas. Misalnya antara Hutan
Kota/Penghijauan dengan TPA Terpadu terdapat perbedaan skor 0,069 dan TPA
Terpadu dengan penambanga n gas dan energi listrik perbedaannya 0,138, sedangkan
antara penambangan gas dan energi listrik dengan lahan budidaya memiliki perbedaan
skor 0,059. Secara teoritis perbedaan kesesuaian lahan untuk Hutan Kota/Penghijauan
dengan TPA Terpadu sangat kecil.

C. Hasil Sintesis AHP pada zone III


Hasil sintesis untuk AHP dalam penilaian zone III adalah sebagai berikut:

Gambar: 23 Hasil sintesis AHP untuk penggunaan zone III


Gambar 23 menunjukkan bahwa urutan peringkat alternatif tiga teratas pada
zone III pemanfaatannya adalah: TPA Terpadu dengan nilai 0,336, Hutan
Kota/Penghijauan dengan nilai 0,294, dan penambangan gas dan energi listrik dengan
nilai 0,137. Artinya ketiga alternatif pemanfaatan tersebut secara fisik-kimia,
mikrobiologi dan sosial ekonomi serta kesehatan masyarakat pada zone III mempunyai
daya dukung lebih baik dibanding alternatif sisanya.
Dari alternatif yang dipilih pada zone III dalam pemanfaatan TPA Pascaoperasi
Berbasis Masyarakat, maka prioritas utama adalah TPA Terpadu, berdasarkan ana lisis
kesesuaian lahan dengan menggunakan AHP dengan skor berturut-turut: 0,336; 0,294;
0,137; 0,112; 0,080; 0,022; 0,016 dan 0,003. Selain dapat membandingkan peringkat
antara zone untuk pemanfaatan lahan, maka dapat dibandingkan perbedaan skor dan
alternatif ketiga teratas. Misalnya antara TPA Terpadu dengan Hutan Kota/Penghijauan
dengan terdapat perbedaan skor 0,042 dan Hutan Kota/Penghijauan dengan
115

penambangan gas dan energi listrik perbedaannya 0,157, sedangkan antara


penambangan gas dan energi listrik dengan lahan budidaya memiliki perbedaan skor
0,025. Secara teoritis perbedaan kesesuaian lahan untuk TPA Terpadu dengan Hutan
Kota/Penghijauan sangat kecil.
D. Hasil Sintesis AHP pada zone IV
Hasil sintesis untuk AHP dalam penilaian zone IV adalah sebaga i berikut:

Gambar: 24 Hasil sintesis AHP untuk penggunaan pada zone IV

Gambar 24 menunjukkan bahwa urutan peringkat alternatif tiga teratas pada


zone IV pemanfaatannya adalah: TPA Terpadu dengan nilai 0,335, Hutan
Kota/Penghijauan dengan nilai 0,243, dan Penambangan gan dan energi listrik dengan
nilai 0,145. Artinya ketiga alternatif pemanfaatan tersebut secara fisik-kimia,
mikrobiologi dan sosial ekonomi serta kesehatan masyarakat pada zone IV
mempunyai daya dukung lebih baik dibanding alternatif sisanya.
Dari alternatif yang dipilih pada zone IV dalam pemanfaatan TPA Pascaoperasi
Berbasis Masyarakat maka prioritas utama adalah TPA Terpadu, berdasarkan analisis
kesesuaian lahan dengan menggunakan AHP dengan skor berturut-turut: 0,335; 0,243;
0,145; 0,109; 0,081; 0,052; 0,027 dan 0,008. Selain dapat membandingkan peringkat
antara zone untuk pemanfaatan lahan, maka dapat dibandingkan perbedaan skor dan
alternatif ketiga teratas. Misalnya antara TPA Terpadu dengan Hutan Kota/Penghijauan
terdapat perbedaan skor 0,092 dan Hutan Kota/Penghijauan dengan penambangan gas
dan energi listrik perbedaannya 0,098, sedangkan antara penambangan gas dan energi
listrik dengan lahan budidaya memiliki perbedaan skor 0,036. Secara teoritis perbedaan
kesesuaian lahan untuk TPA Terpadu dengan Hutan Kota/Penghijauan sangat kecil.
116

E. Hasil Sintesis AHP pada zone V

Hasil sintesis untuk AHP dalam penilaian zone V adalah sebagai berikut:

Gambar: 25 Hasil sintesis AHP untuk penggunaan zone V

Gambar 25 menunjukkan bahwa urutan peringkat alternatif tiga teratas pada


zone V pemanfaatannya adalah: TPA Terpadu dengan nilai 0,387, Hutan
Kota/Penghijauan dengan nilai skor 0,342, dan penambangan gas dan energi listirk
dengan nilai skor 0,147. Artinya ketiga alternatif tersebut secara fisik-kimia,
mikrobiologi dan sosial ekonomi serta kesehatan masyarakat pada zone V mempunyai
daya dukung lebih baik dibanding alternatif sisanya.
Dari alternatif yang dipilih pada zone V dalam pemanfaatan TPA Pascaoperasi
Berbasis Masyarakat, maka prioritas utama adalah TPA Terpadu, berdasarkan analisis
kesesuaian lahan dengan menggunakan AHP dengan skor berturut-turut: 0,387; 0,342;
0,147; 0,070; 0,044; dan 0,010. Selain dapat membandingkan peringkat antara zone
untuk pemanfaatan lahan, maka dapat dibandingkan perbedaan skor dan alternatif
ketiga teratas. Misalnya antara TPA Terpadu dengan Hutan Kota/Penghijauan terdapat
perbedaan nilai skor 0,045 dan Hutan Kota/Penghijauan dengan penambangan gas dan
energi listrik perbedaan skor 0,195, sedangkan antara penambangan gas dan energi
listrik dengan lahan budidaya memiliki perbedaan skor 0,077. Secara teoritis perbedaan
kesesuaian lahan untuk TPA Terpadu dengan Hutan Kota/Penghijauan sangat kecil.
F. Prioritas pemanfaatan TPA setiap zone
Terlihat bahwa hasil AHP menunjukkan untuk pemanfaatan TPA Bantar
Gebang pascaoperasi pada zone I dan zone II alternatif terbaik adalah untuk hutan
kota/penghijauan, sedangkan pada zone III sampai dengan zone V terbaik untuk TPA
Terpadu. Jadi dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan TPA pascaoperasi dapat
117

digunakan sebagai TPA Terpadu, hal ini sangat baik dilakukan mengingat TPA sampah
pada kondisi saat ini masih dapat digunakan, pengelolaannya cukup baik, keterlibatan
masyarakat sekitar sudah ada dalam pengelolaan, memiliki potensi untuk kompos
cukup besar, kawasan ini strategis dan terjadi keterpaduan dalam pemanfaatan lahan
setiap zone, untuk zone I dan zone II dijadikan untuk hutan kota/penghijauan,
sedangkan pada zone III sampai dengan zone V dijadikan TPA yang dapat menampung
sampah dari DKI Jakarta dan Kota Bekasi, pengelolaan TPA dilaksanakan oleh pihak
swasta yang melibatkan masyarakat sekitar TPA sebagai operator dan pemulung untuk
mengambil sampah yang dapat di jadikan daur ulang, dan akan mengurangi beban TPA
terhadap sampah non organik dan akan mempengaruhi usia dari TPA itu sendiri dengan
tetap menjaga keselamatan pekerja dan kelestarian lingkungan sekaligus proses
pembuatan kompos karena pada TPA tersebut memiliki potensi cukup besar.
Dengan memanfaatkan lahan TPA setiap zone secara proporsional, maka TPA
Terpadu akan mendapat suplai sampah organik untuk proses pembentukan kompos
sekaligus melakukan penanaman pohon penghijauan. Pilihan pemanfaatan lainnya yang
dapat dikembangkan adalah hutan kota/penghijauan, penambangan gas dan energi
listrik, lahan budidaya, dan TPA Bantar Gebang dijadikan pusat kajian pengelolaan
sampah negara Asia. Untuk pemanfaatan perumahan dan industri tidak
direkomendasikan, karena sangat banyak faktor pembatasnya, sehingga memerlukan
masukan tinggi untuk meningkatkan kualitas kawasan setiap zonenya. Bagi pengambil
kebijakan, pilihan pemanfaatan TPA Terpadu dapat dilihat dari tingkat kesesuaiannya,
tetapi untuk suatu kawasan zone, maka harus mempertimbangkan: (1) Luas lahan setiap
zone, (2) mulai digunakan setiap zone, (3) ketinggian sampah, (4) lahan yang efektif
digunakan, dan (5) Instalasi Pengelolaan Air Sampah.
Dari alternatif yang dipilih dalam pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi
berbasis masyarakat adalah TPA Terpadu, maka pengambilan kebijakan dapat memilih
3 alternatif yang peringkat kesesuaian lahannya berada di atas, sehingga dapat dijadikan
acuan dalam rencana pemanfaatan TPA pascaoperasi. Untuk meningkatkan tingkat
kesesuaian lahan untuk alternatif pemanfaatan, maka faktor pembatas di tiap-tiap zone
harus diminimalkan dan apabila memungkinkan dihapuskan. Faktor pembatas masing-
masing pemanfaatan lahan yaitu: TPA Terpadu, hutan kota/penghijauan, penambangan
gas dan energi listrik, lahan budidaya, pariwisata, lapangan golf, perumahan, dan
118

industri, dari tiga alternatif pemanfaatan peringkat teratas, urutan prioritas dan kendala
pengembangannya dilakukan agar pengambil kebijakan, pelaksana lapangan serta
investor dapat memperhitungkan kendala serta biaya investasinya apabila akan
dikembangkan.

4.6. Implikasi Kebijakan Skenario Prospektif Masa Depan


Implikasi kebijakan ini dirancang berdasarkan analisis prospektif yang
merupakan suatu kajian tentang kemungkinan di masa yang akan datang. Dalam
analisis ini digunakan suatu alat bantu (software) Prospektif Analysis untuk
mengkalkulasi pengaruh langsung dan tidak langsung antar faktor. Analisis prospektif
mengeksploitasi kemungkinan di masa yang akan datang sesuai dengan tujuan yang
sudah ditetapkan. Tahapan analisis yang telah dilakukan sebelumnya (fisik kimia,
mikrobiologi, sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat) dan AHP memberikan
gambaran tentang keadaan (existing condition) fisik-kimia, mikrobiologi serta sosial
ekonomi dan kesehatan masyarakat di wilayah studi pada saat ini. Analisis prospektif
bertujuan untuk mempersiapkan tindakan strategis di masa depan dengan cara
menentukan faktor kunci yang berperan penting terhadap kemungkinan yang akan
terjadi di masa depan. Kemungkinan keadaan di masa depan tersebut diformulasikan
dalam bentuk skenario strategi pemanfaatan TPA pascaoperasi. Tiga tahap analisis
yang perlu dilakukan dalam analisis prospektif, yaitu: 1). mengidentifikasi faktor kunci
atau penentu di masa depan; 2). menentukan tujuan strategis dan kepentingan pelaku
utama; dan 3). mendefinisikan dan mendiskripsikan evolusi kemungkinan masa depan
sekaligus menentukan strategi prioritas sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki oleh
para pelaku utama dan implikasinya bagi sistem yang dikaji.
Untuk menentukan faktor kunci atau penentu dalam pemanfaatan TPA sampah
pascaoperasi berbasis masyarakat sebagai TPA Terpadu di masa yang akan datang,
dilakukan tiga tahap, yaitu: pertama, faktor kunci atau penentu yang berasal dari atribut-
atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks TPA saat ini (existing condition) pada
setiap dimensi dan kedua, faktor kunci atau penentu yang diperoleh dari analisis
kebutuhan (need analysis) dari semua pihak yang berkepentingan terhadap sistem yang
dikaji melalui diskusi para pakar dengan bantuan kuesioner.

A. Existing Condition
119

Berdasarkan hasil analisis pemanfaatan TPA pascaoperasi sebagai TPA Terpadu


pada existing condition, berupa fisik-kimia, biologi dan sosial ekonomi serta kesehatan
masyarakat berupa 19 atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks yaitu:
Fisik:
1. Luas lahan 108 ha
2. Volume sampah
3. Tinggi tumpukan sampah
4. IPAS
Kimia:
5. Kualitas air lindi
6. Kualitas air sungai
7. Kualitas air sumur
8. Gas metana
9. Kualitas udara
10. Kebisingan
Biologi:
11. Lalat
12. E. coli
13. Coliform

Sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat


14. Tingkat pendidikan masyarakat
15. Pendapatan masyarakat sekitar TPA
16. Persepsi masyarakat keberadaan TPA
17. Pemulung
18. Pengelola TPA
19. Kesehatan Masyarakat
120

Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang


Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji
3.00

Volume Sampah
Tinggi Tumpukan Sampah
2.50
IPAS

2.00 Pengelola TPA


Pengaruh

Kualitas air lindi Luas lahan 108 ha


1.50
Kesehatan masyarakat

1.00 Pemulung
Kualitas air sungai
Gas metana

0.50 Kualitas udara


Lalat
Kebisingan Persepsi
Kualitas masyarakat pada
air sumur
E. coli Pendapatan masyarakat sekitar
Pindidikan masyarakat keberadaan TPA
TPA
Coliform
-
- 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50
Ketergantungan
Gambar 26. Tingkat kepentingan faktor-faktor existing condition yang berpengaruh
pada pemanfaatan TPA Terpadu.
Berdasarkan nilai pengaruh langsung antar faktor seperti yang disajikan pada
Gambar 26, dari 19 faktor tersebut didapatkan sebanyak enam faktor yang mempunyai
pengaruh tinggi terhadap kinerja sistem dan ketergantungan antar faktor yang tinggi
pula, yaitu: 1). Tinggi Tumpukan Sampah; 2). Volume Sampah; 3). IPAS; 4).
Pengelola TPA; 5). Luas lahan 108 ha; 6). Kualitas air lindi serta satu faktor yang
mempunyai pengaruh yang tinggi dengan ketergantungan antar faktor yang rendah,
yaitu: 1). Kesehatan masyarakat.
B. Need Analysis
Hasil identifikasi faktor kunci atau penentu berdasarkan hasil need analysis dari
para pelaku utama (responden) diperoleh sebanyak 19 faktor kunci atau penentu untuk
mewujudkan pemanfaatan. Faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1) Pendanaan
2) Dukungan PEMDA
3) Dukungan DPRD
4) Dukungan Masyarakat
5) Teknologi
6) Sumberdaya Manusia
121

7) Peraturan Perundangan
8) Kelembagaan
9) Tata Ruang
10) Kebijakan Pemerintah
11) Kerjasama lintas Sektor
12) Keterlibatan Pusat
13) Donor Agency
14) Keterlibatan swasta
15) Keamanan
16) Konflik
17) Proses akumulasi dan degradasi
18) Partisipasi masyarakat dalam perencanaan
19) Kualitas lingkungan sekitar TPA
Berdasarkan penilaian pengaruh langsung antar faktor, dari 19 faktor yang
teridentifikasi didapatkan sebanyak lima faktor yang mempunyai pengaruh tinggi
terhadap kinerja sistem dan ketergantungan antar faktor yang juga tinggi yaitu: 1).
Dukungan DPRD; 2). Dukungan Pemda; 3). Pendanaan; 4). Dukungan Masyarakat; 5).
Kelembagaan serta empat faktor yang mempunyai pengaruh yang tinggi walaupun
ketergantungan antar faktor yang rendah, yaitu: 1). Keterlibatan swasta: 2). Peraturan
perundangan; 3). Donor agency; 4). Teknologi (Gambar 27).
Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang
Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji
3.00

2.50 Dukungan DPRD

2.00
Pengaruh

Dukungan PEMDA
Keterlibatan Swasta
1.50 Pendanaan
Peraturan Perundangan Dukungan Masyarakat
Donor Agency
Teknologi Kelembagaan
1.00 Tata Ruang Kebijakan Pemerintah
Keterlibatan Pusat Partisipasi Masyarakat
Keamanan Sumberdaya Manusia
0.50 Kualitas lingkungan
Kerjasama Lintas Sektor
Konflik
Proses Akumulasi dan
degradasi
-
- 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50
Ketergantungan

Gambar 27. Tingkat Kepentingan faktor-faktor need analysis yang berpengaruh


pada sistem pemanfaatan TPA Terpadu.
122

C. Gabungan Antara Existing Condition dan Need Analysis


Berdasarkan hasil analysis tingkat kepentingan antar faktor pada tahap pertama
dan kedua (Gambar 26 dan 27) maka diperoleh sebanyak 11 faktor kunci atau
penentu (6 faktor dari existing condition dan 5 faktor dari need analysis) dan 5 faktor
yang mempunyai pengaruh yang tinggi walaupun ketergantungan antar faktor yang
rendah (1 faktor dari existing condition dan 4 faktor dari need analysis). Selanjutnya di
antara 16 faktor tersebut yang memiliki kesamaan dapat digabungkan, sehingga faktor
kunci atau penentu gabungan menjadi 15 faktor (Tabel 28).
Tabel 28. Faktor-faktor penentu atau kunci hasil gabungan faktor
existing condition dan need analysis.
No Existing Condition Need Analysis
1 Volume sampah
2 Tinggi tumpukan sampah
3 IPAS
4 Luas lahan 108 ha
5 Kualitas air lindi
6 Pengelola TPA Kelembagaan
7 Kesehatan masyarakat
8 Dukungan DPRD
9 Dukungan PEMDA
10 Pendanaan
11 Dukungan Masyarakat
12 Keterlibatan Swasta
13 Peraturan Perundangan
14 Donor Agency
15 Teknologi
Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang
Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji
2.00

1.80
Luas lahan IPAS
1.60
Peraturan Perundangan
1.40 Keterlibatan Swasta
Teknologi
Pendanaan
1.20
Pengaruh

Donor Agency

1.00 Tinggi tumpukan sampah Kualitas air lindi

0.80 Dukungan PEMDA

Volume sampah
0.60
Kelembagaan
Kesehatan Masyarakat
0.40
Dukungan DPRD

0.20 Dukungan masyarakat

-
- 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60 1.80 2.00
Ketergantungan

Gambar 28. Tingkat kepentingan faktor-faktor gabungan antara existing condition


dan need analysis yang berpengaruh pada sistem TPA Terpadu.
123

Analisis tingkat kepentingan antar faktor sebagaimana disajikan pada gambar 28


menunjukkan bahwa terdapat empat faktor yang mempunyai pengaruh tinggi terhadap
kinerja sistem dan ketergantungan antar faktor yang tinggi pula, yaitu: 1) luas lahan; 2)
IPAS; 3) Peraturan Perundangan; dan 4) Pendanaan; serta tiga faktor yang mempunyai
pengaruh yang tinggi walaupun ketergantungan antar faktor yang rendah, yaitu: 1)
teknologi; 2) keterlibatan swasta; dan 3) donor agency. Dengan demikian ketujuh faktor
tersebut perlu dikelola dengan baik dan dibuat dengan berbagai keadaan (state) yang
mungkin terjadi di masa depan agar terwujud sistem TPA Terpadu di TPA Bantar
Gebang pascaoperasi berbasis masyarakat. Deskripsi masing- masing faktor kunci hasil
analisis pengaruh langsung antar faktor sebagaimana Gambar 28 adalah sebagai berikut:
a. Luas Lahan
Pemanfaatan lahan TPA Bantar Gebang pada zone I, II, III, IV dan zone V,
perlu dilengkapi dengan rencana tindak sebagai arah dan acuan Propinsi DKI Jakarta,
Pemda Kota Bekasi, swasta dan masyarakat. TPA Bantar Gebang mempunyai luas 108
ha, yang efektif digunakan 69 ha, dibagi 5 zone, luas zone I sebesar 168.000 m², zone II
sebesar 113.000 m², zone III sebesar 202.800 m², zone IV sebesar, 106.600 m² dan zone
V luas 95.000 m². Setiap zone dikelilingi dengan jalan yang kondisinya cukup baik
(beraspal). Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.16 tahun 2005 tentang
Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (Pasal 21 Ayat (2), TPA wajib
dilengkapi dengan zone penyangga yang berfungsi untuk mengurangi akibat dari
gangguan bau, kebisingan dan estetika.

b. Instalasi Pengolahan Air Sampah (IPAS)


IPAS bebannya perlu dijaga dengan menambahkan bangunan interciptor agar
air hujan tidak masuk, pengelolaannya perlu ditingkatkan dengan pengurangan BOD,
COD sampai batas yang dipersyaratkan baku mutu lingkungan. Perbaikan sarana dan
prasarana TPA harus dilakukan seperti 4 buah IPAS yang ada, sepanjang deposit
sampah belum di exploitasi. Mensyaratkan perbaikan IPAS ke kapasitas beban
penutupan permukaan sampah dengan soil cover dan meratakan (compaction) sesuai
standar dan melengkapi dengan aerator, dan aerator ditingkatkan kapasitasnya sampai
130 persennya, dengan menghilangkan unsur toxic melalui pengolahan kimia-fisik
sebelum memasuki proses biologi.
124

c. Peraturan Perundangan
Kemauan politik dari pengelola persampahan dan kesadaran masyarakat akan
bahaya yang ditimbulkan dari pengelolaan sampah yang kurang tepat sangat diharapkan
ketimbang harus terus menerus berkonflik dengan pihak-pihak pengelola sampah.
Upaya untuk memebrikan landasan hukum yang kuat dalam pengelolaan sampah yang
komprehensif, terpadu, lintas sektor, konsisten, efektif dan responsif terhadap
kebutuhan masyarakat perlu adanya Undang-undang pengelolaan sampah sebagai
kepastian hukum, perlindungan hukum bagi stakeholders serta sebagai landasan untuk
kebijakan, perencanaan, program dan kegiatan pada pengelolaan sampah. Kebijakan
jangka panjang "harus ditegakan", meliputi aspek hukum, pendidikan sosial,
pengelolaan sumberdaya manusia dan pengembangan riset dan teknologi. Aspek hukum
harus dikembangkan untuk: Pembagian tanggung jawab dalam pengelolaan sampah;
Pengawasan terhadap pengumpulan sampah yang dilaksanakan pihak swasta;
Pengawasan lokasi- lokasi TPA kecil; dan Peraturan hukuman terhadap pembuangan
sampah ilegal.
Penegakan hukum tentang kebersihan (termasuk sampah) masih lemah, untuk
mendukung sistem pengelolaan sampah yang baru, diperlukan penataan kembali
peraturan yang telah ada, serta penerbitan peraturan yang baru baik berupa Perda, SK
Gubernur dan Instruksi Gubernur sesuai kebutuhan, baik menyangkut aspek institusi
maupun teknis operasional. Dengan perubahan paradigma pengelolaan kebersihan
mengikuti hasil kajian ini, maka perlu diuraikan lebih lanjut aspek kelembagaan dan
dasar hukumnya. Hal-hal mendasar yang menyebabkan perubahan paradigma adalah:
Struktur pengelolaan kebersihan lebih terarahkan pada bentuk korporasi dan bukan lagi
sepenuhnya di Pemerintah Daerah; Perubahan fungsi pelaku pelayanan antar regulator
(Dinas Kebersihan) dan operator (Dinas Kebersihan dengan swasta atau swasta penuh);
dan Perubahan cakupan daerah pelayanan.
Selain itu perumusan dasar hukum mencakup ketentuan fungsi operator yakni:
menerima limpahan wewenang dan tanggung jawab pengelolaan sampah dari
Pemerintah Daerah, Dinas Kebersihan yang akan melaksanakan tugas operasional
antara lain meliputi: penyapuan jalan-jalan utama, pengangkutan sampah dari TPS ke
SPA/TPA atau dari SPA ke TPA; dan berbagai paket pekerjaan yang terbuka
peluanganya dalam kebijakan pengelolaan kebersihan sampah padat misalnya
125

menerima konsesi pelayanan suatu daerah atau kawasan tertentu, menyelenggarakan


investasi pemusnahan sampah. Dengan perubahan dasar hukum ini selanjutnya diatur
pelaksanaan perubahan tata laksananya secara bertahap seperti halnya keadaan yang
selama ini sudah berlangsung sesudah terjadinya kebijakan swastanisasi persampahan
sejak tahun 1990an; , atau dengan kata lain Dinas Kebersihan secara berangsur melepas
perannya sebagai operator terutama bagi pelayanan terhadap daerah cukup mampu.

d. Pendanaan
Terbatasnya dukungan dana untuk operasional dan ivestasi pengelolaan TPA,
harus diperhitungkan dalam menentukan teknologi sampah, pertimbangan investasi
yang murah salah satu kriteria. Biaya pendampingan investasi oleh swasta hendaknya
dibatasi pada dana conterpart seperti prasarana dan sarana pendukung yang strategis
(antara lain penyediaan lahan, jalan lingkungan prasarana dan sarana ke PU-an).
Sampah merupakan komoditi ekonomi, bila sampah diolah menjadi barang yang
bernilai ekonomi, akan menarik investasi, sehingga berkemungkinan menghasilkan
PAD. Sepanjang ada kegiatan pembuangan sampah ke TPA, Pemda DKI Jakarta
menganggarkan dana setiap tahunnya, dalam rangka merealisasi addendum SKB.
Perubahan kebijakan pengelolaan sampah DKI Jakarta dimasa akan datang
menyangkut waktu dan investasi yang signifikan, maka untuk pelaksanaan
pembangunan prasarana dan sarana diperlukan dana besar, hal ini memungkinkan
Pemerintah DKI Jakarta untuk memperoleh pinjaman jangka panjang dari Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank
dan masyarakat, mengacu Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Alternatif sumber dana
pinjaman jangka panjang yang saat ini dapat diajukan oleh Pemerintah DKI Jakarta
adalah pinjaman dari Pemerintah Pusat yang dananya dari luar negeri, pinjaman rupiah
murni dari Pemerintah Pusat serta Bank Pemerintah dan Bank Komersial.
Dalam perjanjian kerja sama antara Pemerintah DKI Jakarta dengan Pemerintah
Kota Bekasi disebutkan bahwa pengoperasian TPA Bantar Gebang akan dilaksanakan
oleh Badan Usaha yang harus terbentuk paling lambat tahun 2006, menunggu
terbentuknya Badan Usaha tersebut, saat ini TPA Bantar Gebang dioperasikan oleh PT.
Patriot Bangkit Bekasi, yang juga akan berakhir pada tahun 2006.
126

e. Teknologi
Intermediate Treatment Facility (ITF) adalah teknologi yang merubah bentuk,
komposisi dan volume sampah padat dengan tujuan mereduksi jumlah sampah atau
residu yang harus dibuang ke TPA. Sebagai fasilitas tunggal, sebuah ITF dapat
menggunakan satu atau lebih teknologi, tergantung dari faktor, biaya, kebutuhan lahan,
kendala, efisiensi dan efektifitas. Fasilitas ITF yang menggunakan beberapa jenis
teknologi secara terpadu pada satu lokasi, pada dasarnya sama dengan TPST (Tempat
Pengelolaan Sampah Terpadu). Sebagai satu sistem, tiap daerah pelayanan harus
dipandang sebagai TPST. Jadi, sejumlah teknologi tersebut dapat digunakan, sebagai
tambahan proses daur ulang. Secara khusus, sistem ini diharapkan mencakup
komposting sampah pasar, dan minimal daur ulang sampah yang tidak dapat dibakar.
Teknologi pengelolaan atau pemusnahan sampah yang diyakini dapat
mengurangi polusi udara dan yang dilaksanakan sebaiknya sanitary landfill (sampah
ditumpuk dikubur pada daerah yang cekung atau lokasi yang sudah digali lalu
dipadatkan dan dilapisi tanah penutup). Pengembangan teknologi harus memperhatikan
kriteria dan standar minimal penentuan lokasi penampungan akhir sampah, penetapan
lokasi pengelolaan akhir sampah, luas minimal lahan untuk lokasi pengolahan akhir
sampah dan penetapan lahan penyangga (buffer zone). Metode pengelolaan sampah
dengan sistem pemilahan juga dapat menimbulkan multiplier effect baik bagi
lingkungan, masyarakat sekitar dan pemerintah.
Pemilihan teknologi yang dapat memadukan beberapa metode pemusnahan
sampah yang sudah ada, antara lain pemilahan upaya mengurangi (reduce), memakai
kembali (re-use), mendaur ulang (recyeling) sampah dan mengganti (replace) secara
terpadu, bagi sampah yang terkumpul di TPA, sampah dapat diurai sesuai dengan bahan
dan jenisnya untuk memindahkan proses pengelolaan selanjutnya. Manfaatnya adalah
untuk menggali potensi dari bagian-bagian sampah tersebut serta kompos yang
dihasilkan untuk memperbaiki lingkungan serta dapat menghemat penggunaan lahan
TPA, bagi lingkungan dan potensi ekonomi dapat digali dari tumpukan sampah di TPA
dengan proses pemilahan sebagai berikut: 1). Sampah organik yang tertimbun diolah
menjadi kompos untuk meningkatkan kesuburan tanah di sekitar lokasi TPA, hutan
kota/penghijauan dan lingkungan permukiman; 2). Sampah non organik yang bernilai
ekonomi: plastik, botol, besi/logam, kayu, kertas, kardus, kaca dan lain- lain untuk
127

bahan baku daur ulang; dan 3). Sampah non organik tidak bernilai ekonomi, bagian-
bagian sampah yang sudah hancur kemudian dibakar, abunya dijadikan bahan
pembuatan batako, conblok, internit dan lain sebagainya.

f. Keterlibatan Swasta
Swasta telah berperanserta dalam pengelolaan sampah seperti pengoperasian
SPA Cakung dan TPA Bantar Gebang. Perlu ditingkatkan, terutama dalam investasi,
untuk membangun pasilitas pengolahan sampah (SPA, TPA, insinerator) termasuk
pengoperasiannya. Banyak swasta yang berminat untuk investasi dalam pembangunan
dan pengoperasian prasarana pengelolaan sampah, dalam kenyataannya sumber dana
mereka juga sangat tergantung dari bank. Pada umumnya swasta akan berusaha
sebagian besar dana investasinya pinjaman bank jangka panjang, dalam hal ini investor
swasta mungkin harus membayar bunga yang lebih tinggi, yaitu sekitar 15 % per tahun,
daripada tingkat bunga yang dikenakan, disamping itu, jangka waktu pengembalian
pinjaman juga lebih pendek daripada jangka waktu yang diberikan. Oleh karena itu,
keterlibatan investasi swasta dalam pembangunan dan pengoperasian prasarana
persampahan akan mengakibatkan peningkatan faktor biaya modal.
Kerjasama dengan mitra swasta untuk kontrak jangka pendek dibawah lima
tahun cukup menjadi kewenangan Gubernur, kontrak jangka panjang atau kerjasama
dengan mitra internasional diatur dalam peraturan daerah. Kerjasama dengan pihak
swasta saat ini masih cost center, swasta bergerak karena ada pembiayaan dari APBD.
Lebih jauh swasta dapat diberdayakan menjadi mandiri dengan status operator, dimana
Dinas Kebersihan akan lebih memfokuskan sebagai regulator setatusnya sebagai
pembina, pengatur dan pengawas. Kerjasama dengan swasta dapat berwujud Built
Operate and Own (BOO), jika kerjasama dalam jangka panjang dimana permodalan
dan resiko investasi sepenuhnya pada mitra swasta, atau Built Operate and Transfer
(BOT), jika kerjasama dalam jangka panjang, dimana setelah habis masa kontrak,
seluruh asset ditransfer kepada Pemerintah DKI Jakarta.
Kemitraan dengan swasta dalam penyediaan pelayanan dan investasi prasarana
dan sarana persampahan dengan meningkatkan iklim yang kondusif bagi kemitraan
Pemerintah, swasta dan masyarakat. Diperlukan swasta dalam rangka penanganan
pembangunan akhir sampah yang melibatkan semua pihak terkait, dengan pembagian
tugas dan tanggung jawab secara proporsional. Masyarakat dan swasta diberi peran
128

lebih dalam pengelolaan persampahan, perlu dirangsang untuk mau lebih berperan aktif
dalam pengelolaan persampahan dengan pendekatan win-win solution.
Dalam perjanjian kerjasama antara Pemda DKI Jakarta dengan Pemda Kota
Bekasi disebutkan bahwa pengoperasian TPA dilaksanakan oleh Badan Usaha yang
harus terbentuk paling lambat tahun 2006. Sampai bulan Pebruari 2006 Badan Usaha
tersebut belum terbentuk, saat ini pengoperasian TPA oleh PT. Patriot Bangkit Bekasi.
Pengoperasian TPA diatur berdasarkan Perjanjian Kerja antara Pemerintah Propinsi
DKI Jakarta dengan Pemerintah Kota Bekasi tentang Pemanfaatan lahan TPA
Bantargebang Kota Bekasi sebagai Tempat Pembuangan dan Tempat Pengolahan
Sampah Terpadu (TPST) yang ditandatangani tanggal 2 Juli tahun 2004.

g. Donor Agency
Investasi mencakup perbaikan pengumpulan sampah, pembangunan Stasiun
Peralihan Antara dan pengembangan TPA, peralatan penyapuan jalan dan bengkel, hal
ini tidak mencakup investasi untuk pengumpulan sampah pasar, sungai dan kanal, yang
akan tetap dibawah pengawasan instansi pemerintah yang bertanggung jawab pada saat
itu, akan tetapi, Dinas Kebersihan akan memusnahkan sampah pasar dan akan
bertanggung jawab untuk pengangkutan dan pemusnahan sampah sungai dan kanal.
Tahapan investasi tersebut adalah, pertama, mengutamakan perbaikan pengembangan
lokasi TPA Bantar Gebang, dan kedua perluasan areal TPA.
Sumber dana untuk investasi adalah anggaran tahunan (APBD) dan pinjaman
luar negeri dan dalam negeri. Rasional usulan rencana finansial harus didukung dengan
pertimbangan sebagai berikut: Pertama: Kontribusi APBD per tahun; Kedua: Pinjaman
luar negeri setara dengan 60% dari kebutuhan investasi dari rencana investasi proyek;
dan Ketiga: pinjaman dalam negeri untuk memenuhi keseimbangan kebutuhan
finansial. Sumber pinjaman luar maupun dalam negeri dalam bentuk subsidiary loan
agreements (SLA). Pinjaman dalam negeri dimaksudkan untuk didanai melalui
Departemen Keuangan via saluran rup iah murni Rekening Pembangunan Daerah.
Diperkirakan kondisi dasar pinjaman adalah sebagai berikut: 1). Pinjaman luar
negeri, jangka waktu 25 tahun, termasuk 7 tahun periode bebas bunga (contoh 18 tahun
periode pembayaran kembali) dengan suku bunga 4% per tahun. 2). Pinjaman dalam
negeri, jangka waktu 20 tahun, termasuk 5 tahun periode bebas bunga (contoh 15 tahun
periode pembayaran kembali), dengan suku bunga 4% per tahun. Analisis tingkat
129

kepentingan antar faktor hasil prospektif pada existing condition, need analysis dan
gabungan seperti Tabel 29.

Tabel 29. Analisis tingkat kepentingan antar faktor


Hasil Prospektif Kuadran I Kuadran II Keterangan
Existing condition Kesehatan 1. Kualitas air lindi Bau
masyarakat 2. Luas lahan 108 ha Tercemar air sumur
3. Pengelola TPA dengan e. coli dan
4. Volume sampah coliform
5. Tinggi tumpukan
sampah
6. IPAS
Need Analysis 1. Keterlibatan swasta 1. Dukungan DPRD Perlu:
2. Peraturan 2. Dukungan Pemda Peraturan
Perundangan 3. Pendanaan Keterlibatan swasta
3. Donor agency 4. Dukungan Donor Agency
4. Teknologi masyarakat Teknologi
5. Kelembagaan
Gabungan 1. Keterlibatan swasta 1. Luas lahan Keterlibatan swasta
2. Teknologi 2. IPAS Donor agency dan
3. Donor agency 3. Peraturan teknologi.
Periundangan
4. Kelembagaan

Secara skematis model pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi berbasis


masyarakat melibatkan pihak swasta untuk mendisiminasikan faktor teknologi,
sedangkan keterlibatan pihak asing (donor agency) perlu dikoordinasikan terlebih
dahulu dengan pihak pemerintah seperti pada gambar 29.
130

Donor Agency Pemerintah

Swasta Teknologi

TPA Terpadu

Masyarakat
Sekitar TPA

Gambar 29: Model Pemanfaatan TPA Sampah Pascaoperasi berbasis masyarakat


131

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan
a. Pencemaran fisik-kimia dan biologi di sumur bawah dan atas dari TPA seperti: pH,

BOD5, COD, nitrat, nitrit, padatan terlarut, E. coli dan coliform, dan sumur yang
di atas dari TPA telah melampaui baku mutu lingkungan Keputusan Menteri
Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor 2 Tahun 1988 dan
Keputusan Gubernur KDH Ibukota Jakarta Nomor 1608. Kualitas rata-rata air
Sungai Ciketing secara keseluruhan telah terjadi peningkatan pencemaran.

b. Pemanfaatan sebagai TPA Terpadu menyatukan pemanfaatan nilai ekonomi sampah


baru dan sampah lama menjadi kompos dan sampah non organik bahan daur ulang,
dimana pemanfaatan setiap zone sebagai berikut: 1). Zone I dan II digunakan
sebagai hutan kota dan penghijauan; 2). Zone III sampai dengan Zone V sebagai
TPA Sampah. Jadi pemanfaatan TPA pascaoperasi terjadi keterpaduan antara
hutan kota/penghijauan dan TPA sampah. Untuk itu TPA Terpadu mempunyai
kesesuaian terbaik dan sinergis antara pengelolaan sampah dengan hutan
kota/penghijauan, komposting serta daur ulang. Keterpaduan pengelolaan sampah
DKI Jakarta dan Kota Bekasi dengan penghijauan, dan kawasan TPA menjadi
strategis, potensial untuk pembuatan kompos dan proses daur ulang. Artinya
dengan memanfaatkan menjadi TPA Terpadu secara propesional TPA menjadi
kegiatan mengolah sampah dan kegiatan ekonomi dengan keterlibatan swasta
sebagai pengelola, masyarakat sekitar lokasi sebagai tenaga kerja dan pemulung
sebagai pemilah dan pengumpul sampah untuk di daur ulang serta lokasi tersebut
dapat menjadi pusat kajian atau penelitian model pengolahan sampah Asia.

c. Dengan memanfaatkan sebagai TPA Terpadu akan menimbulkan multiplier effect


bagi lingkungan, masyarakat sekitar TPA dan pemerintah sebagai berikut:
1). Bagi masyarakat sekitar TPA, terciptanya lapangan kerja dengan pelibatan
secara langsung dalam pemanfaatan TPA pascaoperasi pada saat perencanaan,
kontruksi maupun operasi, karena operasional TPA dapat menciptakan
lapangan kerja yang melibatkan tenaga kerja unskill dalam proses pemilahan
sampah, pembuatan kompos, pembuatan bahan bangunan dan lainnya;
132

2). Bagi lingkungan, kompos yang dihasilkan bermanfaat untuk meningkatkan


kesuburan lingkungan melalui kegiatan penghijauan, pemulihan ekosistem
yang rusak, dan menghemat penggunaan lahan TPA.
3). Bagi pertanian, kompos yang dihasikan dapat mengurangi tingkat keasaman
tanah lahan pertanian akibat penggunaan pupuk kimia secara terus menerus,
disamping itu kompos dapat meningkatkan produktivitas lahan serta membantu
perairan dalam menga tasi kelengkapan fisik.
4). Pengembangan ekonomi lokal, dengan terkonsentrasinya tenaga kerja dalam
jumlah besar, membuka peluang usaha baru bagi kegiatan lainnya berupa
kegiatan warung, jasa keuangan, ketring serta usaha rumah/kost/pengontrakan
rumah.
5). Bagi Pemerintah Daerah, terserapnya tenaga kerja unskill dapat mengurangi
kerawanan sosial yang ditimbulkan karena ketiadaan lapangan kerja, hasil
produk kegiatan ini, menjadi sumber PAD dan penerimaan pajak bagi negara.

d. Berhasil tidaknya TPA Terpadu, tergantung dari dukungan masyarakat dan empat
faktor yang mempunyai pengaruh tinggi dan ketergantungan yang tinggi yaitu:
1). Luas Lahan; pemanfaatan lahan TPA pada zone I sampai dengan zone V perlu
dilengkapi dengan rencana tindak sebagai arahan dan acuan Pemerintah DKI
Jakarta, Pemda Kota Bekasi, swasta dan masyarakat. 2). Instalasi Pengelolaan Air
Sampah (IPAS), perlu ditingkatkan dengan pengurangan BOD, COD sampai
batas baku mutu lingkungan, melengkapi dengan aerator dan kapasitasnya
ditingkatkan sampai dengan 130 persen dan menghilangkan unsur toxic. 3).
Peraturan Perundangan; Pusat sudah saatnya merumuskan sampah regional dan
menerbitkan Undang- undang tentang pembentukan organisiasi untuk
pemusnahan sampah gabungan, segera dibuat standar pengumpulan, pengolahan
dan pemusnahan sampah. Dasar hukum tentang fungsi operator seperti menerima
limpahan wewenang dan tanggung jawab pengelolaan sampah dari Pemerintah
Daerah, perlu segera dirumuskan. 4). Pendanaan; Biaya pendampingan investasi
oleh swasta dibatasi pada dana conterpart seperti prasarana dan sarana pendukung
yang strategis seperti penyediaan lahan, jalan lingkungan, prasarana dan sarana
ke PU-an. Dana pinjamman jangka panjang Pemda DKI Jakarta mengacu
133

Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara


Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Serta tiga faktor yang mempunyai pengaruh tinggi walauapun
ketergantungan antara faktor yang rendah: 1). Teknologi; Pemilihan teknologi
agar dapat memadukan beberapa metode pemusnahan sampah upaya mengurangi
(reduce), memakai kembali (re-use), mendaur ulang (recyeling) sampah dan
mengganti (replace) secara lebih terpadu. 2). Keterlibatan swasta; Perlu
ditingkatkan dan dikembangkan untuk berinvestasi membangun fasilitas
pengelolaan sampah termasuk pengoperasiannya. Pengembangan kemitraan
dengan swasta dalam penyediaan pelayanan dan investasi prasarana dan sarana
persampahan dengan meningkatkan iklim yang kondusif. dan 3). Donor Agency;
investasi ini mengutamakan perbaikan pengembangan lokasi TPA. Sumberdana
untuk investasi adalah anggaran tahunan (APBD) dan pinjaman luar negeri dan
dalam negeri dalam bentuk Subsidiary Loan Agreement (SLA).
Faktor dominan dalam pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi berbasis
masyarakat, hasil gabungan antara existing condition dengan need analysis antara
lain adalah keterlibatan swasta, donor agency dan teknologi.

e. Model pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi berbasis masyarakat melibatkan


pihak swasta untuk mendisiminasikan faktor teknologi, sedangkan keterlibatan
pihak asing (donor agency) perlu dikoordinasikan dengan pihak pemerintah.

5.2. SARAN
a. Pengelolaan air lindi pada IPAS 1 sampai dengan IPAS 4 sebaiknya masih
tanggung jawab Pemerintah DKI Jakarta, perlu ditingkatkan dengan pengurangan
BOD dan COD sampai dengan batas yang dipersyaratkan baku mutu lingkungan
agar tidak mencemari sungai dan sumur-sumur penduduk sekitar TPA, beban
IPAS perlu dijaga dengan menambahkan bangunan interciptor agar air hujan tidak
masuk dan melengkapi IPAS dengan aerator, dan kapasitasnya ditingkatkan
sampai 130 %, menghilangkan unsur toxic melalui pengolahan kimia- fisik
sebelum memasuki proses biologi.

b. Agar TPA Terpadu dapat efektif dan optimal, sampah yang ke TPA terlebih
dahulu dilakukan pemisahan sampah organik dan an organik dan memperhatikan
134

luas lahan yang efektif digunakan dan melengkapi rencana tindak sebagai acuan
DKI Jakarta, Pemda Kota Bekasi, swasta dan masyarakat yang dilengkapi zone
penyangga yang berfungsi untuk mengurangi gangguan bau, kebisingan dan
estetika.

c. Keterbatasan dana operasional dan ivestasi, pembangunan dan pengelolaan TPA,


harus memperhitungkan dalam menentukan teknologi, investasi yang murah salah
satu kriteria. Pendampingan investasi swasta dibatasi pada dana conterpart
prasarana dan sarana pendukung yang strategis seperti penyediaan lahan, jalan
lingkungan prasarana dan sarana. Pemerintah Daerah DKI Jakarta me mungkinkan
perolehan pinjaman jangka panjang dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah
lain, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank dan dana luar negeri,
mengacu Undang- undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

d. Pemanfaatan sebagai TPA Terpadu sebaiknya digunakan bersama oleh Pemerintah


DKI Jakarta dan Kota Bekasi yang secara geografis letaknya berdekatan, operator
pelaksana dibentuk perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas, yang kepemilikan
sahamnya dimiliki oleh pemerintah, pemerintah daerah dan swasta serta
masyarakat. Keterlibatan masyarakat sekitar TPA dalam memanfaatkan TPA
sampah pascaoperasi perlu diperhatikan oleh pengambil keputusan baik pihak
pemerintah maupun swasta.

e. Model pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi perlu dilengkapi dengan analisis


dinamis agar dapat dipridiksi perubahan dari waktu kewaktu, hal ini dapat
dijadikan dasar operasional bagi pengambil keputusan.
135

DAFTAR PUSTAKA

Adimihardja, K. dan H, Hikmat. 2001. Participatory Research Appraisal: Pengabdian dan


Pemberdayaan Masyarakat. Humaniora Utama Press. Bandung.

Alaer, G.S. dan Sumesti. 1984. Metode Penelitian Air. Usaha Nasional. Surabaya.

Arianta, I.M. 1995. Aspek Sosial Lembaga Perkeriditan Desa: Paktor Penyebab
Partisipasi dan Status Sosial Anggota (Kasus Perbedaan LPD Berhasil dan
Kurang Berhasil di Kabupaten Badung, Bali) (Tesis). Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Azwar, A. 1983. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Penerbit Mutiara. Jakarta.

Bernadette, W. 1998. Panduan Pemberitaan Lingkungan Hidup (Acuan untuk Wartawan),


Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Bouwer, H. 1978. Groundwater Hydrology. Mc.Grow-Hill Kogakusha, Ltd.Tokyo.

Bumberger, M dan K. Shams. 1989. Community Participation in Project Management.


Asian and Pacific Development Centre. Kuala Lumpur.

Butler, K. 2002. Landfill Resource Recovery (LRR) on LPA Bantar Gebang.


International Centre for Application of Solar Energy.

Cary, L. J. 1970. Community Development as a Perocess. University of Missouri.


Columbia.

Center, L.W. 1977. Environmental Impac Assessment. Mc.Graw Hill. N.Y. 331 pp.

Chen, K.Y.and F.R. Bowerman. 1975. Mechanisms of leachate Formation in Sanitary


Landfill, Rececling and Disposal of Solid Waste, Industrial, Agriculter, Domestic.
F.F. Yen (ed). Ann Arbor Science. Michigan.

Clark, J.R. 1977. Costal Ecosystem Management. Jhon Wiley & Sons. New York.

Craig, G. dan M. Mayo (ed). 1995. Community Enpowerment: A Reader in Participation


and Development. Zed Books. London.

Cressey, R.P. 1987. Participation Review. University Glasgow Europeans Foundation.


Glasgow.

Departemen PU RI. 1999. Tata Cara Pere ncanaan Tempat Pembuangan Akhir.
Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta.
136

Depdagri RI. 1996. Perencanaan Partisipatif Pembangunan Masyarakat Desa.


Departemen Dalam Negeri. Jakarta.

Depkes RI. 2002. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 907/Menkes/SK/VII/2002


tentang Syarat-syarat Pengawasan Kualitas Air Minum. Departemen Kesehatan.
Jakarta.

Diana, E. 1992. Pemantauan Dampak Lokasi Pembuangan Akhir Sampah secara Sanitary
Landfill Bantar Gebang terhadap Kualitas Air Permukaan, Air Tanah dan Sosial
Ekonomi Masyarakat di Sekitarnya. (Tesis) Program Pascasarjana. IPB Bogor.

Dinas Kebersihan DKI Jakarta. 2002. Evaluasi Pemantauan TPA Sampah Bantar Gebang
Bekasi.

Dinas Kebersihan DKI Jakarta. 2005. Laporan Akhir Western Java Environmental
Management Project, Solid Waste Management for Jakarta.

El-Fadel, M., A.N. Findikakis, and O.J. Leckie, 1997. Environmental Impacts of Solid
Waste Landfilling, J. Environ Mgort. 50-1-25.

Elfian, E. 2001. Jangan Menunggu Kapal Pecah. Lembaga Penerbit FE-UI. Jakarta.

Emilsalim. 2004. Bumi Makin Panas, Banjir Makin Luas, Banyak Tragedi Kehancuran
Hutan. Yayasan Nuansa Cendekia.

Environmental Protection Agency. 1977. Water quality criteria: A. Report of the


Committee on water quality criteria. Environmental Agency. Washington D.C.

Fairchild, H. P. 1977. Dictionary of Social Science and Related Science and Related
Science. Littlefield, Adams & Co. New Jersy.

Foundation Environmental Management Couses from AusAID’s PCI Project. 1999.


Water Quality Management Course.

Friedmann, J. 1992. Empowerment the politics of alternative development. Cambrigl.


Black Will.

Garna, J., H. Versnel, dan A. Enka. 1982. Sistim Mulung di Sukabumi, Informala Sector
Project Cooverative Action Research Program, Bandung.

Godet, M. 1999. Scenarios and Strategies, A. Toolbox For Scenario Planning Librairie
des Arts et Matiers. Paris. France.

GTZ dan Meneg LH RI. 1997. Pedoman Pendekatan Partisipatif Prencanaan Program
Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah. Kantor Menteri Negara Lingkungan
Hidup. Jakarta.
137

Hadiwiyoto, S, 1993. Penanganan dan Pemanfaatan Sampah. Yayasan Idaya. Jakarta.

Haeruman, H. 1979. Perencanaan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sekolah


Pascasarjana. Jurusan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Institut
Pertanian Bogor.

Hamidjojo, S. 1993. Strategi Pengembangan dan Peningkatan Pembangunan Masyarakat


dalam Pembangunan Desa: Suatu Evaluasi dan Tinjauan Perspektif Masa Depan.
BKKBN, Jakarta.

Hardjomidjojo. 2002. Panduan Analisis Prospektif. Bahan Kuliah Analisis System dan
Permodelan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan. Program Pascasarjana IPB
Bogor.

Hassan. 1973. Peranan Pemuka-Pemuka Agama Dalam Peningkatan Partisipasi Agama


Dalam Pembangunan. YTKI Departemen Agama, FES. Jakarta.

Hikmat, H. 2001. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Humaniora Utama Press. Bandung.

Huntington, Samuel P. and Joan M. Nilson, 1977. No. Eary Choice: Political
Participation In Developing Countries Harvard University Press, Cambrige,
Massachusets.

Husin, Y.A. dan E. Kustaman. 1992. Metoda dan Teknik Analisis Kualitas Air. PPLH-
Lembaga Penelitian IPB. Bogor.

(IRC) International Resource Centre (UNICEF) United Nations Children's Fund,


Yayasan Dian Desa, 1999. Pengelolaan yang Berkesinambungan dalam Program
Penyediaan Air Bersih dan Sanitasi, Jakarta.

Jensen, B. 1992. Spring Research Series Planning as a Dialogue.

Juli, S.S. 1994. Kesehatan Lingkungan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Koentjaraningrat. 1984. Masyarakat Desa di Indonesia. Lembaga Penerbit Fakultas


Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.

Konsultan Independen. 2003. Final Report Evaluasi Pemanfaatan TPA Bantargebang


Kerjasama Dinas Kebersihan Propinsi DKI Jakarta, Pusat Penelitian Sumberdaya
Manusia dan Lingkungan Universitas Indonesia dan Pusat Studi Pengembangan
Lingkungan Universitas Islam ”45” Bekasi.

Kota Bekasi. 1999. Kota Bekasi Dalam Angka. Badan Pusat Statistik. Bekasi.

MacArdle, J. 1989. Community Development Tools of Trade. Community Quartely


Journal. Vol. 16.
138

Marimin. 1999. Penyelesaian persoalan AHP (Analytical Hierarchy Process) dengan


Criterium Decision Plus. Group Pengembangan Teknologi Manajemen dan
Sistem Informasi Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi
Pertanian, IPB.

Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk.


Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.

Marzali, A. 2003. Teknik Identifikasi Kebutuhan dalam Program Community


Development dalam Akses Peranserta Masyarakat: Lebih Jauh Memahami
Community Development. Diedit oleh Bambang Rudito, Adi Prasetijo, dan
Kusairi. Penerbit ICSD. Jakarta.

Meneg LH RI dan Japan International Cooperation Agency (JICA). 2003. The Study for
Development of Regulatory System of Solid Waste Management. Jakarta.

Meneg LH RI. 1999. Kebijaksanaan, Strategi dan Rencana Aksi Pengelolaan Lingkungan
Hidup. 2000-2025. Menteri Negara Lingkungan Hidup. Jakarta.

Meneg LH RI. 2002. Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Pengelolaan


Lingkungan Hidup dan Pengendalian Dampak Lingkungan Era Otonomi Daerah,
Jakarta: Koperasi Bapedal Lestari.

Moeliono, I. 2004. Partisipasi Manipulatif: Catatan Reflekktif tentang Pendekatan PRA


dalam Pembangunan Masyarakat. http://www.balaidesa.or.id/prapar.htm.

Mubyarto. 1985. Peluang Kerja dan Berusaha di Pedesaan BPEE. Yogyakarta.

NTAC. 1968. Water Quality Criteria. Federal Water Pollution Control Administration.
Washington.

Oppenheim, A.N. 1973. Questionnare Design and Attitude Measurement. Heinemanm,


London.

Partoatmodjo, S. 1993. Pengelolaan Sampah Pola Padang. Bahan Kuliah masalah


Pembangunan da n Lingkungan. Pascasarjana IPB Bogor.

Payne, M. 1997. Modern Social Work Theory. Macmillan Press Ltd. London.

Pemda DKI Jakarta, 1997. Analisis Dampak Lingkungan Pembangunan dan Pengelolaan
TPA Bantar Gebang Bekasi.

Pescod, M.B. 1973. Investigation of Rational Effluen and Stream Standa rd for Tropical
Countries. AIT. Bangkok.
139

Poerwadarminto. 1986. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Departemen Pendidikan dan


Kebudayaan, Balai Pustaka. Jakarta.

Prijono dan Pranarka. 1996. Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan, dan Implementasi. CSIS.
Jakarta.

Rojek and Chris. 1986. The Subject in Social Work. British Journal of Social Work 16(1)
65-79.

Rozaki A. 2004. Promosi Otonomi Desa, Penerbit IRE Press Yogyakarta.

Saeni, M.S. 1989. Bahan Pengejaran Kimia Lingkungan. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan dan Institut Pertanian Bogor.

Saeni, M.S. 1991. Dampak pada kualitas air. Kursus Dasar Penyusun AMDAL PPLH
Lembaga Penelitian IPB-Bogor.

Saeni, M.S. 1997. Penentuan Tingkat Pencemaran Logam Berat dengan Analisis Rambut.
Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Kimia Lingkungan Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam. IPB.

Sa’id, G. 1987. Sampah Masalah Kita Bersama. Madiyatama Sarana Perkasa. Jakarta.

Saaty, T.L. 1983. Decision Making for Leaders: The Analytical Hierarchy Process for
Decision in Complex World RWS Publication, Pittsburgh.

Sahidu, A. 1998. Partisipasi Masyarakat TaniPengguna Lahan Sawah dalam


Pembangunan Pertanian di Daerah Lombok, Nusa Tenggara Barat. (Disertasi)
Program Pascasarjana, IPB. Bogor.

Samom, M., C.L. Sales, and S. Phunsiri. 2002. Solid Waste Racycling Disposal and
Management in Bangkok. J. Environ Res 28:106-112.

Santoso, P. 2002. Merubah Watak Negara. LAPPERA. Pustaka Utama. Yogyakarta.

Saruji, D. 1986. Sampah Ditinjau dari Segi Kesehatan Lingkungan. Dalam Seminar
Pengelolaan Sampah di Kotamadya Surabaya.

Sastropoetro, R. A. dan Santoso, 1988. Partisipasi Komunikasi, Persuasi dan Disiplin


dalam Pembangunan. Penerbit, Alumni. Bandung.

Schmeider, W. 1970. Hydrologic Imlication of Solid Waste Disposal.U.S. Geological


Survey. Washington D.C.

Siegel, S. 1990. Statistik Nonparametrik, untuk Ilmu- ilmu Sosial. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
140

Silalahi, T.S. 1980. Studi Kualitas Fisik -Kimia Air Kali Cakung Sehubungan dengan
Daerah Industri Pulo Gadung di DKI Jakarta. (Tesis) Fakultas Pascasarjana, IPB.
Bogor.

Slamet, J.S. 1994. Kesehatan Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Soekanto. 1986. Sosiolog: Suatu Pengantar. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Soemirat, J. 1994. Kesehatan Lingkungan. Gajah Mada Press. Jakarta.

Soeratmo, F.G. 1998. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.

Soeratmo, F.G. 2001. Panduan Penelitian Multidisiplin. IPB Press.

Soeratmo, F.G. 2002. Penanganan Sampah di Daerah, bahan rapat teknis alternatif solusi
penangan sampah di daerah.

Soewedo, H. 1983. Penanganan dan Pemanfaatan Sampah. Yayasan Indayu. Jakarta.

Syaukani, H.R. 1999. Pokok-pokok Pemikiran Pemberdayaan Masyarakat. Gerbang


Dayaku.

Suryanto. 1988. Persampahan. Jakarta.

Surat Perjanjian antara Pemda DKI Jakarta dengan Kota Bekasi. 1999. Nomor 96 Tahun
1999/168 tentang Pengelolaan Sampah dan tempat Pembuangan Akhir (TPA) di
Kecamatan Bantar Gebang. Bekasi.

Sumodiningrat, G. 1997. Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat PT. Bina


Rena Pariwara, Jakarta.

Sumardjo dan Saharudin. 2003. Metode-Metode Partisipatif Dalam Pengembangan


Masyarakat.

Sumitro, B.S. 1991. Studi Pendahuluan tentang Komposisi Kimia Energi Pembakaran
dan Mikroorganisme Dominan pada Sampah di Kotamadya Malang. Jurnal
Universitas Brawijaya, Malang 3:9 -15.

Supriatna, T. 1997. Birokrasi, Pemberdayaan dan Pengentasan Kemiskinan. Humaniora


Utama Press. Bandung.

Suyoto, B. 2001. Progress Report I Proyek Community Development Dalam Pengelolaan


Sampah Secara Partisipatif di Desa Sumur Batu Kecamatan Bantar Gebang,
Bekasi. Proyek Kerjasama antara Komite Pemantauan Sampah oleh YPKM
dengan dukungan dana UNDP.
141

Suyoto, B. 2004. Malapetaka Sampah, Kasus TPA Bantar Gebang, Kasus TPA dan IPLT
Sumur Batu serta Kasus TPST Bojong. Adi Kencana Aji. Jakarta.

Stewart, Aileen Mitchell. 1994. Empowering People. Pitmen Publishing. London.

Supardi, I. 1994. Lingkungan Hidup dan Kelestariannya. Penerbit Alumni. Bandung.

Tchobanolous.1977. Solid Waste Engeneering Principles and Management Issues. Mc.


Graw Hill Book Company. New York.

Tchobanolous. 2002. Introduction In George Tchobanolous dan Frank Kreith,


Handbook of Solid Maste Management. McGrow-Hill Companies, Inc., New
York.

Thank. 1985. Waste disposal and resource recovery. In Proceeding of Seminar on Solid
Management Asian Institut of Tehchnological. Bangkok.

Tjokroamidjojo, H. Bintoro dan A.R, Mustopadidjaja. 1980. Teori Strategi Pembangunan


Nasional. Gunung Agung. Jakarta.

Tonny, F. 1990. Metoda dan Teknik Sosial Ekonomi. Kursus Penyusunan AMDAL IPB
Bogor.

Untung, O. 1995. Menjernihkan Air Kotor. Puspa Swara. Jakarta.

Uphoff. 1988. Menyesuaikan Proyek pada Manusia. Dalam Mengutamakan Manusia di


dalam Pembangunan: Variabel- variabel Sosiologi di dalam Pembangunan
Pedesaan. UI-Press. Jakarta.

Usman, S. 2003. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Pustaka Pelajar.


Yogyakarta.

Widarto L. 1996. Membuat Alat Penjernih Air. Kanisius. Yogyakarta.

Widjaja, A.W. 1986. Peranan Motivasi dalam Kepemimpinan. Akademika Pressindo.


Jakarta.

Widyatmoko. 2001. Menghindari, Mengolah dan Menyingkirkan Sampah. Abdi Tandur.


Jakarta.

Wuryadi. 1990. Telaah Kelangsungan Hidup Escherichia coli dalam Air Sumur Gali dan
Kaitannya sebagai Indikator Pencemaran Tinja dalam System Air Tanah. Fakultas
Pascasarjana IPB. Bogor.
142

Lampiran 1: Pertanyaan Analisis Prospektif

PEMANFAATAN TPA SAMPAH


PASCA OPERASI BERBASIS MASYARAKAT
( Studi Kasus TPA Bantar Gebang, Bekasi )

Identitas Responden

Nama : ...........................................................................
Alamat : ...........................................................................

Assalamualaikum Wr.Wb.
Nama saya Royadi, pekerjaan Staf Ditjen Bina Bangda, Departemen Dalam Negeri. Sementara ini saya
sedang mengikuti Sekolah Pascasarjana S3 IPB, Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, dibawah
Bimbingan Prof.Dr.Ir.M. Sri Saeni, MS, Dr.Ir. Hartrisari H, DEA dan Dr.Ir. Lala M. Kolopaking, MS.
Sehubungan dengan penyusunan disertasi yang berjudul ”Pemanfaatan TPA Sampah Pascaperasi Berbasis
Masyarakat, studi Kasus TPA Bantar Gebang Bekasi”. TPA Bantar Gebang luas 108 Ha terdiri 5 zona,
secara administrative berada di Kota Bekasi. Kondisi TPA saat ini sudah penuh, keadaan yang terjadi
dalam TPA proses akumulasi, pembentukan air lindi, gas, degradasi dan perasapan air lindi. Oleh karena itu
dampak lingkungan pascas operasi tergantung dari pemanfaatannya.
Besar harapan saya Bapak/Ibu dapat berpartisipasi dalam penelitian ini dengan cara: !). Menuliskan
jawaban apa yang menjadi faktor kunci/penting/strategis, 2).Membandingkan pengaruh langsung antar
faktor (pada butir a) dalam pemanfaatan TPA sampah pasca operasi berbasis partisipasi masyarakat. Atas
kesediaan Bapak/Ibu saya haturkan terima kasih.

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
TAHUN 2005
143

1. Faktor - faktor kunci (penting dan strategis) dalam pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi
berbasis masyarakat (Need Analysis):
A. Pendanaan
B. Dukungan Pemda
C. Teknologi
D. Kelembagaan
E. Peraturan Perundangan
F. RTRWK
G. SDM
H. Kerjasama Lintas Sektor
I. Persepsi masyarakat
J. Partisipasi masyarakat ikut dalam perencanaan
K. Proses akumulasi dan degradasi
L. Limpasan dan penyerapan air lindi
M. Pencemaran sumur
N. Pencemaran sungai
O. Konflik
P. Keterlibatan Pemerintah Pusat
Q. Donor Agency
R. Dukungan legislatif DPRD/DPR-RI
S. Keterlibatan Swasta

1. Pengaruh langsung antar faktor dalam pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi berbasis
masyar akat di TPA Bantar Gebang Bekasi.
Pedoman penilaian:
Skor: Keterangan:
O Tidak ada pengaruh; 1. Berpengaruh kecil; 2. Berpengaruh sedang; 3. Berpengaruh kuat.
Pedoman pengisian:
§ Dilihat dulu apakah faktor tersebut tidak ada pengaruhnya terhadap faktor lain, jika ya beri nilai O.
§ Jika ada pengaruh, selanjutnya dilihat apakah pengaruhnya sangat kuat, jika ya beri nilai 3.
§ Jika ada pengaruh, baru dilihat jika pengaruhnya kecil=1, atau berpengaruh sedang=2.

Tabel 1: Pengaruh langsung antar faktor dalam pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi
berbasis masyarakat (need analysis).
Dari
A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S
Terhadap
A 3 3 2 2 3 2 2 2 1 2 2 1 1 2 3 3 3 3
B 3 2 3 3 2 3 3 2 3 1 2 2 2 3 3 2 3 3
C 3 3 2 2 2 3 2 2 3 1 2 2 2 1 2 2 3 3
D 2 2 2 2 2 3 2 2 1 1 1 2 1 2 2 2 2 2
E 2 3 2 3 2 2 2 2 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2
F 1 2 1 2 2 1 1 1 2 1 1 1 1 2 2 1 2 2
G 2 2 3 2 2 1 2 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0
H 2 2 2 1 2 1 1 1 1 0 0 0 0 1 2 1 3 1
I 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 2 2 1 3 1 0 1 0
J 1 2 1 1 1 1 2 1 3 1 0 0 1 2 0 2 1 2
K 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 2 2 2 2 0 0 1 0
L 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 2 3 3 2 1 0 1 0
M 1 1 1 0 1 0 0 0 1 1 3 1 3 3 1 0 1 0
N 1 1 1 0 1 0 0 0 1 1 2 1 2 2 0 0 2 1
O 1 2 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 0
P 2 3 2 2 3 2 1 3 1 2 1 1 1 1 1 1 2 2
Q 3 3 2 3 3 1 3 2 1 1 0 0 0 0 0 1 3 3
R 3 3 2 3 3 2 1 2 2 2 1 2 2 1 2 2 1 2
S 3 3 3 1 3 2 1 3 1 2 1 1 2 1 1 2 2 2
Sumber: godet, 1999.
Keterangan: A-Z = Faktor penting
144

2. Faktor-faktor kunci (penting/strategis) dalam pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi berbasis


masyarakat (existing condition):
A. Luas lahan
B. Volume sampah
C. Tinggi tumpukan sampah
D. Pembentukan air lindi
E. Gas metan
F. Pencemaran sumur
G. Pencemaran sungai
H. E. Coli
I. Distribusi Lalat
J. IPAS
K. Pendapatan Masyarakat
L. Partisipasi masyarakat
M. Frekwensi konflik
N. Pengaruh daerah sekitar
O. Pemulung
P. Pengelola
Q. Kebijakan Pemerintah
R. Pencemaran udara
S. Kebisingan

2. Pengaruh langsung antar faktor dalam pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi berbasis
masyarakat di TPA Bantar Gebang Bekasi.
Pedoman penilaian:
Skor: Keterangan:
O Tidak ada pengaruh; 1. Berpengaruh kecil; 2. Berpengaruh sedang; 3. Berpengaruh kuat.
Pedoman pengisian:
§ Dilihat dulu apakah faktor tersebut tidak ada pengaruhnya terhadap faktor lain, jika ya beri nilai O.
§ Jika ada pengaruh, selanjutnya dilihat apakah pengaruhnya sangat kuat, jika ya beri nilai 3.
§ Jika ada pengaruh, baru dilihat jika pengaruhnya kecil=1, atau berpengaruh sedang=2.

Tabel 2: Pengaruh langsung antar faktor dalam pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi
berbasis masyarakat (existing condition).
Dari
A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S
Terhadap
A 3 2 2 1 1 2 1 1 2 2 1 1 2 2 2 3 2 2
B 3 3 1 3 3 3 2 3 2 2 1 3 3 3 3 2 2 1
C 3 3 2 2 2 2 2 1 2 2 2 2 2 3 2 2 3 2
D 1 1 1 2 2 2 2 1 2 1 1 2 1 1 2 1 1 1
E 2 2 3 1 0 0 0 0 0 1 2 1 2 0 2 2 3 0
F 3 2 2 2 0 3 2 1 1 1 1 2 1 1 1 2 0 0
G 2 2 2 2 0 2 1 0 2 0 0 2 1 1 2 2 1 0
H 1 2 2 1 1 2 2 1 1 1 1 1 2 2 1 1 1 0
I 1 3 1 1 0 0 1 0 0 0 0 1 1 0 2 1 1 0
J 3 2 2 2 2 2 2 1 0 0 1 2 2 1 2 2 1 0
K 1 2 1 0 2 0 0 0 0 0 1 0 1 2 1 1 0 1
L 1 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 1 1 2 1 0 0
M 1 1 2 1 2 1 2 1 1 1 0 1 1 1 2 1 0 0
N 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
O 3 3 2 1 2 1 2 2 3 1 2 1 2 2 2 2 1 2
P 2 2 2 1 2 2 2 1 2 1 1 1 1 2 2 2 2 1
Q 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2
R 1 2 2 1 1 0 0 1 1 0 0 0 3 2 1 3 3 1
S 2 2 1 0 0 0 0 1 0 1 0 1 1 2 1 2 1 1
Sumber: godet, 1999.
Keterangan: A-Z = Faktor penting
145

Tabel 3: Faktor-faktor Pene ntu Hasil Gabungan (existing condition dan need anayis).
Dari
A B C D E F G H I J
Terhadap
A 3 3 3 3 1 0 2 3 0
B 3 3 3 2 0 0 1 2 0
C 3 2 3 3 1 0 2 3 0
D 3 3 3 2 2 0 2 2 0
E 2 1 3 2 1 0 1 3 0
F 0 0 2 1 1 0 3 2 0
G 0 0 0 0 0 0 2 3 1
H 1 0 2 1 0 1 2 3 1
I 3 2 3 2 1 1 3 2 0
J 1 1 0 0 0 0 1 2 0
Sumber: godet, 1999.
Keterangan: A-Z = Faktor penting
146

Lampiran: 2. Curah Hujan Bulanan di Bekasi (mm), tahun 1979-1988, Sta 841 Bekasi

No Tahun Jan Feb Mar April Mei Juni Juli Agust Sept Okt Nop Des
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
1 1988 339 - - - - - - - - - -
2 1987 382 - - - - - - - - - -
3 1986 190 136 222 282 112 194 141 172 241 255 295 198
4 1985 - - - 241 - 109 184 - 182 198 47
5 1984 - 271 205 - 206 - 43 26 - - -
6 1983 372 170 105 315 403 - - - - - -
7 1982 333 187 360 265 54 121 6 - - - -
8 1981 464 121 270 327 26 159 153 136 50 199 244 464
9 1980 454 162 318 72 109 36 88 170 87 250 394 304
10 1979 391 132 159 205 147 5 27 113 195 286 533 293
Rata-rata 3666 168 234 244 151 104 92 123 151 238 31 157,30
Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta.
Keterangan: - : Tidak terdeteksi.
147

Lampiran: 3. Jumlah Curah Hujan Bulanan di Bekasi (mm), tahun 1979-1988,


Sta 841 Bekasi

No Tahun Jan Feb Mar April Mei Juni Juli Agust Sept Okt Nop

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
1 1988 21 - - - - - - - - - -
2 1987 25 - - - - - - - - - -
3 1986 18 16 14 14 6 10 9,5 9 10 12 20
4 1985 - - - - - 5 11 0 11 12 6
5 1984 - 15 9 9 7 - 3 5 - - -
6 1983 14 7 7 7 7 - - - - - -
7 1982 15 6 13 13 3 3 1 - - - -
8 1981 13 6 13 13 3 5 10 7 4 7 7
9 1980 17 11 12 72 6 4 6 7 4 9 14
10 1979 18 19 13 12 4 2 2 7 13 8 19
Rata-rata 18 11 12 11 129 9 6 7 8 10 13
Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta.
Keterangan: - : Tidak terdeteksi.
148

Lampiran 4: Analisis Kualitas Air Lindi sebelum diolah IPAS 1 (Inlet), 2004.
Air Lindi IPAS I (Inlet) Rata-
Parameter Satuan BM Kisaran
2 Okt 04 23 Okt 04 27 Nop 04 rata
Suhu ºC 35,4 34,7 31,2 31,2-35,4 33,7
Kekeruhan NTU 1550 1523 1235 1235-1550 1436
pH - 6– 9 8,16 8,22 7,87 7,87-8,22 8,03
Warna PtCo 5700 5334 5690 5334-5700 5574
TDS Mg/liter 8050 9032 7957 7957-9032 8346

BOD5
Mg/liter 50 650 598 548 548-650 596

COD Mg/liter 100 1974 1879 1449 1449-1974 1767

Nitrat (N-NO 3) Mg/liter 20 3,81 4,09 3,23 3,23-4,09 3,71

Nitrit(N-NO 2) Mg/liter 1 37,0 43,1 28,6 28,6-43,1 36,2

Besi (Fe) Mg/liter 5 4,956 5,003 4,498 4,498-5,003 4,819


Mangan (Mn) Mg/liter 2 0,621 0,498 0,559 0,498-0,621 0,555
Kadmium (cd) Mg/liter 0.05 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03
Air raksa (Hg) Mg/liter 0,0013 0,0008 0,0008 0,0008-0,0013 0,0009
Timbal (Pb) Mg/liter 0.02 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06
Tembaga (cu) Mg/liter 22 0,05 0,03 0,04 0,03-0,05 0,04
Nikel (Ni) Mg/liter 0,243 0,199 0,176 0,176-0,243 0,206
Seng (Zn) Mg/liter 5 0,100 0,123 0,205 0,100-0,205 0,142
Kromium (cr) Mg/liter 0.05 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07
Sulfida Mg/liter 0.05 0,35 0,55 0,26 0,26-0,55 0,38
Sumber: Laboratorium Kimia Fisik dan Lingkungan, IPB 2004
149

Lampiran 5: Analisis Kualitas Air Lindi sebelum diolah IPAS 2 (Inlet), 2004.

Air Lindi IPAS 2 (Inlet) Rata-


Parameter Satuan BM Kisaran
2 Okt 04 23 Okt 04 27 Nop 04 rata
Suhu ºC 34,1 34,3 31,1 31,1-34,3 33,1
Kekeruhan NTU 1440 1428 1238 1238-1440 1368
pH - 6– 9 8,53 8,44 8,08 8,08-8,53 8,35
Warna PtCo 5475 5721 5177 5177-5721 5457
TDS Mg/liter 8830 9005 7590 7590-9005 8475
Mg/liter 50 1020 1012 1008 1008-1020 1013
BOD5

COD Mg/liter 100 3046 3154 3188 3046-3188 3129

Nitrat (N-NO 3) Mg/liter 20 3,89 2,99 3,41 2,99-3,89 3,43

Nitrit(N-NO 2) Mg/liter 1 0,375 0,503 1,044 0,375-1,044 0,640

Besi (Fe) Mg/liter 5 1,157 1,157 1,065 1,065-1,157 1,126


Mangan (Mn) Mg/liter 2 1,437 1,338 1,256 1,256-1,437 1343
Kadmium (cd) Mg/liter 0.05 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03
Air raksa (Hg) Mg/liter <0,0008 <0,0008 <0,0008 <0,0008 <0,0008
Timbal (Pb) Mg/liter 0.02 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06
Tembaga (cu) Mg/liter 22 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05
Nikel (Ni) Mg/liter 0,226 0,226 0,202 0,202-0,226 0,218
Seng (Zn) Mg/liter 5 0,175 0,175 0,133 0,133-0,175 0,161
Kromium (cr) Mg/liter 0.05 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07
Sulfida Mg/liter 0.05 28,0 29,0 22,9 22,9-29,0 26,6
Sumber: Laboratorium Kimia Fisik dan Lingkungan, IPB 2004
150

Lampiran 6: Analisis Kualitas Air Lindi sebelum diolah IPAS 3 (Inlet), 2004.

Air Lindi IPAS 3 (Inlet ) Rata-


Parameter Satuan BM Kisaran
2 Okt 04 23 Okt 04 27 Nop 04 rata
Suhu ºC 33,5 34,2 30,2 30,234,2 32,6
Kekeruhan NTU 975 1003 854 854-1003 944
pH - 6–9 8,62 8,58 8,12 8,12-8,62 8,44
Warna PtCo 4125 4365 399 399-4365 2963
TDS Mg/liter 7890 8003 6590 6590-8003 7454
Mg/liter 50 740 809 650 650-809 733
BOD5

COD Mg/liter 100 2230 1987 1987 1987-2230 2068

Nitrat (N-NO 3) Mg/liter 20 2,69 2,02 2,34 2,02-2,69 2,35

Nitrit(N-NO 2) Mg/liter 1 0,401 0,399 0,379 0,379-0,401 0,393

Besi (Fe) Mg/liter 5 1,197 1,204 1,498 1,197-1,498 1,259


Mangan (Mn) Mg/liter 2 1,350 1,344 1,176 1,176-1350 1,290
Kadmium (cd) Mg/liter 0.05 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03
Air raksa (Hg) Mg/liter <0,0008 <0,0008 <0,0008 <0,0008 <0,0008
Timbal (Pb) Mg/liter 0.02 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06
Tembaga (cu) Mg/liter 22 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05
Nikel (Ni) Mg/liter 0,224 0,243 0,188 0,188-0,243 0,218
Seng (Zn) Mg/liter 5 0,076 0,069 0,099 0,069-0,099 0,081
Kromium (cr) Mg/liter 0.05 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07
Sulfida Mg/liter 0.05 6,325 4,885 5,348 4,885-6,325 5,519
Sumber: Laboratorium Kimia Fisik dan Lingkungan, IPB 2004
151

Lampiran 7: Analisis Kualitas Air Lindi sebelum diolah IPAS 4 (Inlet ), 2004.

Air Lindi IPAS 4 (Inlet) Rata-


Parameter Satuan BM Kisaran
2 Okt 04 23 Okt 04 27 Nop 04 rata
Suhu ºC 30,7 31,2 28,8 28,8-31,2 30,2
Kekeruhan NTU 2075 1880 1980 1880-2075 1978
pH - 6– 9 7,82 7,79 7,55 7,55-7,82 7,72
Warna PtCo 8500 8225 7890 7890-8500 8205
TDS Mg/liter 8050 8266 8219 8050-8266 8178
Mg/liter 50 1084 1267 986 986-1267 1112
BOD5

COD Mg/liter 100 3276 3455 2975 2975-3455 3235

Nitrat (N-NO 3) Mg/liter 20 6,46 5,87 4,98 4,98-6,46 5,77

Nitrit(N-NO 2) Mg/liter 1 1552,5 1444 116,7 116,7-1552,5 1037

Besi (Fe) Mg/liter 5 5,884 5,663 4,022 4,022-5,884 5,189,6


Mangan (Mn) Mg/liter 2 0,316 0,287 0,255 0,255-0,316 0,286
Kadmium (cd) Mg/liter 0.05 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03
Air raksa (Hg) Mg/liter 0,0038 0,0044 0,0007 0,0007-0,0044 0,0029
Timbal (Pb) Mg/liter 0.02 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06
Tembaga (cu) Mg/liter 22 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05
Nikel (Ni) Mg/liter 0,349 0,412 0,278 0,278-0,412 0,346
Seng (Zn) Mg/liter 5 0,445 0,365 0,377 0,365-0,445 0,395
Kromium (cr) Mg/liter 0.05 0,094 0,088 0,094 0,088 0,092
Sulfida Mg/liter 0.05 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01
Sumber: Laboratorium Kimia Fisik dan Lingkungan, IPB 2004
152

Lampiran 8: Analisis Kualitas Air Lindi sesudah diolah IPAS 1 (Outlet), 2004.

Air Lindi IPAS I (Outlet) Rata-


Parameter Satuan BM Kisaran
2 Okt 04 23 Okt 04 27 Nop 04 rata
Suhu ºC 33,1 33,6 30,0 30,0-33,6 32,2
Kekeruhan NTU 145 165 156 145-165 155
pH - 6– 9 8,00 8,04 7,87 7,87-8,04 7,97
Warna PtCo 620 743 547 547-743 636
TDS Mg/liter 4450 5033 5640 4450-5640 5041

BOD5 Mg/liter 50 200 211 234 200-234 215

COD Mg/liter 100 604 742 623 604-742 656

Nitrat (N-NO 3) Mg/liter 20 20,95 3,03 19,97 3,03-20,95 14,65

Nitrit (N-NO 2) Mg/liter 1 209,5 232,4 198,9 198,9-232,4 213,6

Besi (Fe) Mg/liter 5 0,329 0,287 0,287 0,287-0,329 0,301


Mangan (Mn) Mg/liter 2 1,034 1,101 1,009 1,009-1,101 1,048
Kadmium (cd) Mg/liter 0.05 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03
Air raksa (Hg) Mg/liter 0,0008 0,0008 0,0008 0,0008 0,0008
Timbal (Pb) Mg/liter 0.02 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06
Tembaga (cu) Mg/liter 2 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05
Nikel (Ni) Mg/liter 0,079 0,066 0,068 0,066-0,079 0,071
Seng (Zn) Mg/liter 5 0,03 0,02 0,032 0,020-0,032 0,027
Kromium (cr) Mg/liter 0.05 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07
Sulfida Mg/liter 0.05 0,02 0,01 0,04 0,01-0,04 0,02
Sumber: Laboratorium Kimia Fisik dan Lingkungan, IPB 2004
153

Lampiran 9: Analisis Kualitas Air Lindi sesudah diolah IPAS 2 (Outlet), 2004.

Parameter Satuan Air Lindi IPAS 2 (Outlet) Kisaran Rata-rata


BM
2 Okt 04 23 Okt 04 27 Nop 04
Suhu ºC 33,1 33,3 31,7 31,7-33,3 32,7
Kekeruhan NTU 90 101 89 89-101 93
pH - 6– 9 7,89 7,99 7,57 7,57-7,99 7,81
Warna PtCo 445 399 399 399-445 414
TDS Mg/liter 5310 5288 4989 4989-5310 519

BOD5 Mg/liter 50 138 144 122 122-144 134,6

COD Mg/liter 100 423 395 380 380-423 399

Nitrat (N-NO 3) Mg/liter 20 7,08 7,08 8,01 7,08-8,01 7,39

Nitrit (N-NO 2) Mg/liter 1 9,10 7,89 7,90 7,89-9,10 8,29

Besi (Fe) Mg/liter 5 0,409 0,389 0,330 0,330-0,409 0,376


Mangan (Mn) Mg/liter 2 1,240 1,223 1,276 1,223-1,276 1,246
Kadmium (cd) Mg/liter 0.05 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03
Air raksa (Hg) Mg/liter <0,0008 <0,0008 <0,0008 <0,0008 <0,0008
Timbal (Pb) Mg/liter 0.02 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06
Tembaga (cu) Mg/liter 2 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05
Nikel (Ni) Mg/liter 0,04 0,301 0,04 0,04-0,301 0,127
Seng (Zn) Mg/liter 5 1,112 1,202 1,336 1,112-1,336 1,216,6
Kromium (cr) Mg/liter 0.05 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07
Sulfida Mg/liter 0.05 0,01 0,02 0,04 0,01-0,05 0,02
Sumber: Laboratorium Kimia Fisik dan Lingkungan, IPB 2004
154

Lampiran 10: Analisis Kualitas Air Lindi sesudah diolah IPAS 3 (Outlet), 2004.
Air Lindi IPAS 3 (Outlet ) Kisaran Rata-rata
Parameter Satuan BM
2 Okt 04 23 Okt 04 27 Nop 04
Suhu ºC 30,9 31,3 29,7 29,7-31,3 30,6
Kekeruhan NTU 260 348 288 260-348 298
pH - 6– 9 8,15 8,22 7,87 7,87-8,22 8,08
Warna PtCo 1113 1256 1005 1005-1256 1124
TDS Mg/liter 6170 5990 5490 5490-6170 5883

BOD5 Mg/liter 50 388 406 356 356-406 383

COD Mg/liter 100 1177 1222 989 989-1222 1129

Nitrat (N-NO 3) Mg/liter 20 3,92 3,88 3,55 3,55-3,92 3,78

Nitrit (N-NO 2) Mg/liter 1 522,5 425,3 388,9 388,9-522,5 445,5

Besi (Fe) Mg/liter 5 0,635 0,644 0,457 0,457-0,644 0,578


Mangan (Mn) Mg/liter 2 0,673 0,754 0,545 0,545-0,754 0,657
Kadmium (cd) Mg/liter 0.05 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03
Air raksa (Hg) Mg/liter 0,0047 0,0043 0,0008 0,0008 0,0008
Timbal (Pb) Mg/liter 0.02 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06
Tembaga (cu) Mg/liter 2 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05
Nikel (Ni) Mg/liter 0,046 0,039 0,033 0,033-0,046 0,039
Seng (Zn) Mg/liter 5 0,183 0,199 0,137 0,137-0,199 0,173
Kromium (cr) Mg/liter 0.05 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07
Sulfida Mg/liter 0.05 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01
Sumber: Laboratorium Kimia Fisik dan Lingkungan, IPB 2004
155

Lampiran 11: Analisis Kualitas Air Lindi sesudah diolah IPAS 4 (Outlet ), 2004.
Air Lindi IPAS 4 (Outlet) Kisaran Rata -rata
Parameter Satuan BM
2 Okt 04 23 Okt 04 27 Nop 04
Suhu ºC 30,5 31,0 27,9 27,9-31,0 29,8
Kekeruhan NTU 165 202 128 128-202 165
pH - 6– 9 7,99 7,87 7,34 7,34-7,99 7,73
Warna PtCo 860 880 876 860-880 872
TDS Mg/liter 7900 8340 8024 7900-8340 8088

BOD5 Mg/liter 50 376,8 388,9 323,8 323,8-388,9 363

COD Mg/liter 100 1133 1240 996,7 996,7-1240 1123

Nitrat (N-NO 3) Mg/liter 20 3,75 3,88 3,44 3,44-3,88 3,69

Nitrit (N-NO 2) Mg/liter 1 527,5 643 641 527,5-643 603,8

Besi (Fe) Mg/liter 5 0,221 0,330 0,188 0,188-0,330 0,246


Mangan (Mn) Mg/liter 2 0,533 0,499 0,448 0,448-0,533 0,493
Kadmium (cd) Mg/liter 0.05 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03
Air raksa (Hg) Mg/liter 0,0032 0,0032 0,0027 0,0027 0,0030
Timbal (Pb) Mg/liter 0.02 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06
Tembaga (cu) Mg/liter 2 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05
Nikel (Ni) Mg/liter 0,062 0,070 0,044 0,044-0,070 0,058
Seng (Zn) Mg/liter 5 0,375 0,402 0,254 0,254-0,402 0,343
Kromium (cr) Mg/liter 0.05 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07
Sulfida Mg/liter 0.05 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01
Sumber: Laboratorium Kimia Fisik dan Lingkungan, IPB 2004
156

Lampiran 12: Kualitas Air Lindi Titik Inlet dan Outlet Tahun 2003

IPAS 1 IPAS 2 IPAS 3


Parameter Satuan BM
Inlet Outlet Inlet Outlet Inlet Outlet
Suhu oC 25 25 25 25 25 25
Kekeruhan NTU 1468 126 1592 420 982 246
pH - 6–9 7,65 8,05 7,96 6,36 8,07 8,67
Warna PtCo 6847 870 8246 218 6743 720
TDS Mg/liter 14301 7057 14395 8036 10546 8031
BOD5 Mg/liter 50 1812 549 1728 118 591 441
COD Mg/liter 100 4796 1443 4409 314 1544 1423
Nitrat (N-NO3) Mg/liter 20 26,77 23,93 26,59 3098 1939 930
Nitrit(N-NO 2) Mg/liter 1 <0.05 3,17 1,39 17,10 5,56 56,72
Besi (Fe) Mg/liter 5 7,80 2,52 6,51 <0,01 3,91 1,97
Mangan (Mn) Mg/liter 2 1,94 0,56 0,28 0,80 1,96 0,25
Kadmium (cd) Mg/liter 0.05 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001
Air raksa (Hg) Mg/liter 0,004 0,002 0,003 0,003 0,004 0,002
Timbal (Pb) Mg/liter 0.02 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01
Tembaga (cu) Mg/liter 2 0,13 <0,02 0,14 <0,02 0,02 <0,02
Nikel (Ni) Mg/liter <0,01 <0,01 0,37 <0,01 0,24 <0,01
Seng (Zn) Mg/liter 5 0,62 0,15 0,33 0,52 0,33 0,23
Kromium (cr) Mg/liter 0.05 0,29 0,12 0,20 <0,05 0,12 0,05
Sulfida Mg/liter 0.05 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05
Sumber: Dinas Kebersihan DKI Jakarta 17 Nopember 2003.

Lampiran 13: Kualitas Air Lindi Titik Inlet dan Outlet Tahun 2002

IPAS 1 IPAS 2 IPAS 3


Parameter Satuan BM
Inlet Outlet Inlet Outlet Inlet Outlet
Suhu oC 25 25 25 25 25 25
157

Kekeruhan NTU 1350 1102 4668 2498 9036 3044


pH - 6–9 7,34 7,95 7,70 7,12 7,69 6,49
Warna PtCo 5600 620 5495 445 4128 1113
TDS Mg/liter 8045 4460 8870 5320 7870 6140
BOD5 Mg/liter 50 59,10 36,10 197 164 387 106
COD Mg/liter 100 139 92,35 468 386 922 250
Nitrat (N-NO3) Mg/liter 20 47,64 43,17 2,08 35,26 2,24 34,47
Nitrit(N-NO 2) Mg/liter 1 0,31 3,535 <0,03 <0,03 <0,03 1,68
Besi (Fe) Mg/liter 5 3,74 0,11 8,27 2,57 8,00 0,90
Mangan (Mn) Mg/liter 2 0,46 0,27 1,47 0,48 1,73 3,13
Kadmium (cd) Mg/liter 0.05 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03
Air raksa (Hg) Mg/liter <0,00005 <0,00005 <0,00005 <0,00005 <0,00005 <0,00005
Timbal (Pb) Mg/liter 0.02 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07
Tembaga (cu) Mg/liter 2 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03
Nikel (Ni) Mg/liter <0,04 <0,04 0,14 0,09 0,27 0,19
Seng (Zn) Mg/liter 5 0,06 <0,04 0,06 <0,04 0,06 0,11
Kromium (cr) Mg/liter 0.05 <0,006 <0,006 <0,006 <0,006 <0,006 <0,006
Sulfida Mg/liter 0.05 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01
Sumber: Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2002.

Lampiran 14: Kualitas Air Lindi Titik Inlet dan Outlet Tahun 2001

IPAS 1 IPAS 2 IPAS 3


Parameter Satuan BM
Inlet Outlet Inlet Outlet Inlet Outlet
Suhu oC 35,8 33,6 35,4 34,2 34,8 30,9
Kekeruhan NTU 1483 1207 4289 2936 8725 4024
pH - 6–9 8,6 8,40 7,20 7,90 7,12 7,10
Warna PtCo 5824 640 5467 464 4210 1128
TDS Mg/liter 6075 1,355 4,580 4,900 5865 6,100
BOD5 Mg/liter 50 620 144 145 651,40 986,40 732
COD Mg/liter 100 1980 321,48 321,48 1,428,80 8,789,20 4,643,60
Nitrat (N-NO3) Mg/liter 20 124,16 114,20 281,50 256,40 297,30 2,78
Nitrit(N-NO 2) Mg/liter 1 0,46 0,27 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03
Besi (Fe) Mg/liter 5 2,98 1,36 3,46 2,81 1,02 1,21
Mangan (Mn) Mg/liter 2 0,27 0,31 0,42 0,32 1,47 3,04
Kadmium (cd) Mg/liter 0.05 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03
Air raksa (Hg) Mg/liter <0,00005 <0,00005 <0,00005 <0,00005 <0,00005 <0,00005
Timbal (Pb) Mg/liter 0.02 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07
Tembaga (cu) Mg/liter 2 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03
Nikel (Ni) Mg/liter 0,48 0,32 0,39 0,32 0,24 0,15
158

Seng (Zn) Mg/liter 5 0,05 0,03 0,07 0,06 0,04 0,25


Kromium (cr) Mg/liter 0.05 - - - - - -
Sulfida Mg/liter 0.05 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01
Sumber: Dinas Kebersihan DKI Jakarta, Nopember 2001.

Lampiran 15: Kualitas Air Lindi Titik Inlet dan Outlet Tahun 2000

IPAS 1 IPAS 2 IPAS 3


Parameter Satuan BM
Inlet Outlet Inlet Outlet Inlet Outlet
Suhu oC 34,6 32,4 33,92 30,86 32,64 31,82
Kekeruhan NTU 1,847 1,355 4,900 4,580 7,940 6,100
pH - 6–9 8,70 8,40 7,90 7,20 8,42 7,10
Warna PtCo 6847 826 5896 852 7432 425
TDS Mg/liter 8264 7942 12641 9264 10,718 8392
BOD5 Mg/liter 50 420 144,00 145,00 651,40 942,40 732,00
COD Mg/liter 100 441,82 321,48 1,428,80 321,48 682,36 643,60
Nitrat (N-NO3) Mg/liter 20 102,47 114,20 256,40 281,50 1,22 278,10
Nitrit(N-NO 2) Mg/liter 1 Ø,16 3,26 4,15 2,47 2,86 1,08
Besi (Fe) Mg/liter 5 1,44 1,36 3,61 2,46 1,36 1,21
Mangan (Mn) Mg/liter 2 0,36 0,31 0,32 0,42 0,40 3,04
Kadmium (cd) Mg/liter 0.05 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03
Air raksa (Hg) Mg/liter <0,00005 <0,00005 <0,00005 <0,00005 <0,00005 <0,00005
Timbal (Pb) Mg/liter 0.02 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07
Tembaga (cu) Mg/liter 2 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03
Nikel (Ni) Mg/liter 0,08 0,03 0,06 0,07 0,36 0,25
Seng (Zn) Mg/liter 5 0,05 0,03 0,06 0,04 0,05 0,02
Kromium (cr) Mg/liter 0.05 - - - - - -
Sulfida Mg/liter 0.05 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01
Sumber: Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2000.
159

Lampiran 16: Kualitas Air Sumur di Sekitar TPA Bantar Gebang Tahun 2003
Nama/Kode Lokasi
Pengambilan Sampel Air Sumur
Parameter Satuan Standard
S. Batu Cikiwul Ciketing Ciketing
(1) (2) (3) (4)
Suhu oC 25,4 26,7 26,4 25,3
Kekeruhan NTU 5 16 2 3 2
pH 6.9-8.5 6,75 6,84 6,76 6,63
TDS 164 402 198 283
BOD5 3,89 4,07 3,40 3,09
COD 8,24 9,83 8,27 6,32
Ammonia (N-NH3) 0,327 0,502 0,319 0,412
Kesadahan mg/liter 500 40,5 157,4 46,8 68,9
Nitrat (N-NO 3) mg/liter 1,684 0,425 1,466 2,423
Nitrit (N-NO 2) mg/liter 1 0,038 0,002 0,002 0,016
Klorida mg/liter 600 58,6 34,9 56,4 92,3
DO mg/liter 3,04 3,06 3,08 3,14
Besi (Fe) mg/liter 1.0 0,512 0,398 <0,05 <0,05
Timbal (Pb) mg/liter 0.05 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06
Sulfida mg/liter <0,05 <0,05 <0,05 <0,05
Ortho-Phosfat mg/liter 3,47 4,25 2,46 2,54
Seng (Zn) mg/liter 15 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001
Coliform MPN/ml 0,03x10¹ 0,04x10¹ 6,1x10¯¹ 6,4x10¯¹
E. coli MPN/ml 0,3x10¯² 0,7x10¯² 5,2x10¯¹ 6,4x10¯¹
Sumber: Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2003
160

Lampiran 17: Kualitas Air Sumur di Sekitar TPA Bantar Gebang Tahun 2002
Nama/Kode Lokasi
Pengambilan Samp el Air Sumur
Parameter Satuan Standard
S. Batu Cikiwul Ciketing Ciketing
(1) (2) (3) (4)
Suhu oC 22,8 23,5 22,1 23,8
Kekeruhan NTU 5 3,20 5 3,40 1,30
pH 6.9-8.5 6 5,50 6,20 6,70
TDS 176 40,8 169 189
BOD5 4,09 4,12 3,05 3,44
COD 11,05 10,4 10,2 11,6
Ammonia (N-NH3) 0,64 0,26 0,38 0,27
Kesadahan mg/liter 500 44,3 138,9 47,7 598,3
Nitrat (N-NO 3) mg/liter - 0,06 - -
Nitrit (N-NO 2) mg/liter 1 0,01 0,04 0,02 0,01
Klorida mg/liter 600 28,07 37,43 60,83 67,85
DO mg/liter 3,06 3,02 3,05 3,09
Besi (Fe) mg/liter 1.0 - 0,44 0,22 0,93
Timbal (Pb) mg/liter 0.05 - - - -
Sulfida mg/liter <0,05 <0,05 <0,05 <0,05
Ortho-Phosfat mg/liter 4,26 3,72 1,58 1,69
Seng (Zn) mg/liter 15 - 8,98 0,96 8,47
Coliform MPN/ml <2 300.10³ 900.10 300.10²
E. Coli MPN/ml <2 300.10³ 300.10 300.10²
Sumber: Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2002.
Keterangan: - : Tidak terdeteksi
161

Lampiran 18: Kualitas Air Sumur di Sekitar TPA Bantar Gebang Tahun 2001
Nama/Kode Lokasi
Pengambilan Samp el Air Sumur
Parame ter Satuan Standard
S. Batu Cikiwul Ciketing Ciketing
(1) (2) (3) (4)
Suhu ºC
Kekeruhan NTU 5 5,50 3,20 5,20 4,40
pH 6.9-8.5 10,00 7,20 6,60 6,80
TDS mg/liter 215,00 317,00 198,20 230,00
BOD5 mg/liter 4,72 4,83 3,68 3,59
COD mg/liter 9,04 8,62 7,92 8,26
Ammonia (N-NH3) 0,11 - 0,05 0,12
Kesadahan mg/liter 500 457 142,6 492 479,8
Nitrat (N-NO 3) mg/liter 9,48 10,00 8,32 7,64
Nitrit (N-NO 2) mg/liter 1 0,01 0,01 0,04 0,15
Klorida mg/liter 600 2,34 51,47 11,70 88,90
DO mg/liter 3,07 3,09 3,02 3,06
Besi (Fe) mg/liter 1.0 <0,05 <0,05 0,16 0,14
Timbal (Pb) mg/liter 0.05 - - - -
Sulfida mg/liter <0,05 <0,05 <0,05 <0,05
Ortho-Phosfat mg/liter 4,09 4,01 3,02 1,05
Seng (Zn) mg/liter 15 0,02 0,01 0,02 -
Coliform MPN/ml 8 23 16000 5000
E. coli MPN/ml 8 23 1600 5000
Sumber: Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2001
Keterangan: - : Tidak terdeteksi
162

Lampiran 19: Kualitas Air Sumur di Sekitar TPA Bantar Gebang Tahun 2000
Nama/Kode Lokasi
Pengambilan Sampel Air Sumur
Parameter Satuan Standard
S. Batu Cikiwul Ciketing Ciketing
(1) (2) (3) (4)
Suhu ºC 25,1 26,0 25,8 25,0
Kekeruhan NTU 5 10,0 16,5 8,35 9,7
pH 6.9-8.5 6,60 6,20 6,13 6,40
TDS mg/liter 246 328 205 240
BOD5 mg/liter 5,86 4,64 3,82 3,46
COD mg/liter 9,61 7,84 8,26 7,38
Ammonia (N-NH3) mg/liter 1,5 0,02 - 0,05 0,04
Kesadahan mg/liter 500 170,20 69,70 80,10 80,30
Nitrat (N -NO 3) mg/liter 5,0 6,34 10,21 8,45 9,20
Nitrit (N-NO2) mg/liter - - - - -
Klorida mg/liter 600 8,50 40,00 10,00 9,60
DO mg/liter 3,05 3,08 3,01 3,4
Besi (Fe) mg/liter 1.0 - - 0,12 0,15
Timbal (Pb) mg/liter 0.05 - - - -
Sulfida mg/liter <0,05 <0,05 <0,05 <0,05
Ortho-Phosfat mg/liter 3,05 4,07 2,08 1,06
Seng (Zn) mg/liter 15 0,02 0,01 0,01 0,02
Coliform MPN/100ml 8 23 16000 5000
E. coli MPN/100ml 8 23 1600 5000
Sumber: Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2000
Keterangan: - : Tidak terdeteksi

Lampiran 20: Kualitas Air Sungai Ciketing pada titik Inlet dan Outlet

2000 2001 2002


Parame ter Satuan BM
Inlet Outlet Inlet Outlet Inlet Outlet
Suhu oC 22,5 20,7 24,5 22,6 28,02 30,92
Kekeruhan NTU 68,00 188,00 23,00 68,00 49,45 118,26
pH 6.5–9 7,20 7,50 7,00 7,60 6,23 7,366
163

Warna PtCo 250,00 400,0 160 556


TDS mg/liter 255 2,650 88,30 742,00 962 653
BOD mg/liter 43,50 228,50 7,00 112,75 15,356 21,708
COD mg/liter 06,37 2864,08 14,65 257,32 345,19 825,74
Nitrat (N-NO 3) mg/liter 10 0,26 7,39 - - 3,7797 4,310
Nitrit (N-NO 2) mg/liter 1 0,02 - 0,03 0,04 0,0638 0,0567
Besi (Fe) mg/liter 1 1,72 1,68 1,57 1,49 0,1072 0,3577
Mangan (Mn) mg/liter 0.5 8,49 5,58 0,85 0,62 0,038 0,166
Kadmium (cd) mg/liter 0.01 - - - - 0,00027 0,0004
Air raksa (Hg) mg/liter 0.001 - - - - 0,00002 Ttd
Timbal (Pb) mg/liter - - - - 0,013 0,014
Tembaga (Cu) mg/liter 1 - - - - - -
Nikel (Ni) mg/liter - - - - - -
Seng (Zn) mg/liter 15 - 0,07 0,01 0,02 0,08 0,06
Kromium Val.6 mg/liter 0.05 0,00004 0,00008
Sulfida mg/liter 0.1 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01 0,368 0,136
Sumber: Dinas Kebersihan DKI Jakarta tahun 2000 s/d 2003 yang diolah.
Keterangan: - : Tidak terdeteksi
164

Lampiran: 2. Curah Hujan Bulanan di Bekasi (mm), tahun 1979-1988, Sta 841 Bekasi
No Tahun Jan Feb Mar April Mei Juni Juli Agust Sept Okt Nop Des
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
1 1988 339 - - - - - - - - - -
2 1987 382 - - - - - - - - - -
3 1986 190 136 222 282 112 194 141 172 241 255 295 198
4 1985 - - - 241 - 109 184 - 182 198 47
165

5 1984 - 271 205 - 206 - 43 26 - - -


6 1983 372 170 105 315 403 - - - - - -
7 1982 333 187 360 265 54 121 6 - - - -
8 1981 464 121 270 327 26 159 153 136 50 199 244 464
9 1980 454 162 318 72 109 36 88 170 87 250 394 304
10 1979 391 132 159 205 147 5 27 113 195 286 533 293
Rata-rata 3666 168 234 244 151 104 92 123 151 238 31 157,30
Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta.
Keterangan: - : Tidak terdeteksi.

Lampiran: 3. Jumlah Curah Hujan Bulanan di Bekasi (mm), tahun 1979-1988,


Sta 841 Bekasi

No Tahun Jan Feb Mar April Mei Juni Juli Agust Sept Okt Nop

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
1 1988 21 - - - - - - - - - -
2 1987 25 - - - - - - - - - -
3 1986 18 16 14 14 6 10 9,5 9 10 12 20
4 1985 - - - - - 5 11 0 11 12 6
5 1984 - 15 9 9 7 - 3 5 - - -
6 1983 14 7 7 7 7 - - - - - -
7 1982 15 6 13 13 3 3 1 - - - -
8 1981 13 6 13 13 3 5 10 7 4 7 7
9 1980 17 11 12 72 6 4 6 7 4 9 14
10 1979 18 19 13 12 4 2 2 7 13 8 19
Rata-rata 18 11 12 11 129 9 6 7 8 10 13
Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta.
Keterangan: - : Tidak terdeteksi.
166

Lampiran 23: Daftar Pertanyaan Masalah TPA Bantar Gebang

I. KONDISI MASYARAKAT:
A. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat:
1. Berapa usia Bapak/Ibu/Sdr saat ini:
a 21 s/d 30 tahun
b 31 s/d 40 tahun
c 41 s/d 50 tahun
d Kurang dari 21 tahun.
e Lebih dari 50 tahun.
2. Matapencaharian utama Bapak/Ibu/Sdr sebelum ada TPA:
a Petani
b Pedagang
c Buruh
d Karyawan
e Lain-lain (sebutkan………………………………)
3. Setelah adanya TPA Bantar Gebang:
a Petani
b Pedagang
c Buruh
d Karyawan
e Lain-lain (sebutkan………………………………)
4. Berapa pendapatan/penghasilan Bapak/Ibu/Sdr/bulan sebelum ada TPA:
a Lebih kecil dari Rp.150.000,-
b Rp.150.000,- s/d Rp.200.000, -
c Rp.250.000,- s/d Rp.350.000, -
d Rp.400.000,- s/d Rp.500.000, -
e Rp.550.000,- s/d Rp.700.000, -
f Rp.750.000,- s/d Rp.900.000, -
g Lebih dari Rp.900.000,-
5. Pendapatan/penghasilan Bapak/Ibu/Sdr/bulan setelah adanya TPA:
a Lebih kecil dari Rp.150.000,-
b Rp.150.000,- s/d Rp.200.000,-
c Rp.250.000,- s/d Rp.350.000,-
d Rp.400.000,- s/d Rp.500.000,-
e Rp.550.000,- s/d Rp.700.000,-
f Rp.750.000,- s/d Rp.900.000,-
g Lebih dari Rp.900.000,-
6. Berapa besar biaya yang Bapak/Ibu/Sdr keluarkan untuk kebutuhan
hidup sehari-hari:
a Rp.3.000,- s/d Rp.5.000,-
b Rp.>5.000,- s/d Rp.7.000,-
c Rp.>7.000,- s/d Rp.9.000,-
d Rp.>9.000,- s/d Rp.10.000,-
e Rp.>10.000,- s/d Rp.15.000,-
f Rp.>15.000,- s/d Rp.20.000,-
g Lebih dari Rp.20.000,-
167

B. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat:


1. Tingkat pendidikan Bapak/Ibu/Sdr adalah:
a Buta huruf
b Tidak tamat SD
c Tamat SD
d Tidak tamat SLTP
e Tamat SLTP
f Tidak tamat SLTA
g Tamat SLTA
h Tamat Akademi
i Tamat Universitas
2. Apa tanggapan Bapak/Ibu/Sdr. Dengan kehadiran para pemulung
dari luar daerah:
a Menimbulkan konflik dengan masyarakat sekitar
b Ada konflik antara pemulung pendatang dengan masyarakat sekitar TPA.
3. Apakah ada konflik antara petugas TPA dengan masyarakat sekitar:
a Tidak ada konflik antara petugas TPA dengan masyarakat sekitar
b Ada konflik antara petugas TPA dengan masyarakat sekitar.
4. Apakah ada kerjasama antara petugas TPA dengan masyarakat sekitar:
a Ada kerjasama contohnya apa ? …………
b Tidak ada kerjasama antara petugas TPA dengan masyarakat sekitar.
5. Apakah ada kerjasama antara pemulung, pendatang dengan
masyarakat sekitar:
a Ada kerjasama contohnya:……………….
b Tidak ada kerjasama
6. Berapakah jumlah tanggungan keluarga Bapak/Ibu/Sdr:
a. 1 (satu) orang (belum berkeluarga)
b. 2 (dua) orang
c. 3 (tiga) orang
d. 4 (empat) orang
e. 5 (lima) orang
f. lebih dari 5 (lima) orang
7. Apakah fasilitas pendidikan/sekolah yang digunakan:
a Bersekolah di sekitar lokasi TPA.
b Sekolah di kampung (daerah asal).
c Lain-lain.

C. Persepsi masyarakat atas keberadaan TPA Bantar Gebang:


1. Bagaimana tanggapan Bapak/Ibu/Sdr mengenai keberadaan TPA:
a. Setuju adanya TPA, dengan alasan:
1). Menambah lapangan kerja
2). Meningkatkan penghasilan
3). Menambah peluang usaha
4). Menambah fasilitas umum (misal: jalan, MCK, dll).
b. Tidak setuju dengan keberadaan TPA, dengan alasan:
1). Menimbulkan kemacetan
2). Menimbulkan kesan kumuh, kotor dan bau.
3). Menambah jumlah penduduk pendatang.
4). Menambah kerawanan di sekitar lokasi.
168

2. Bagaimana tanggapan/persepsi masyarakat mengenai pengelolaan


sampah di TPA:
a Baik
b Cukup
c Buruk

3. Bagaimana persepsi masyarakat menganai keamanan dan


ketertiban masyarakat di sekitar TPA:
a Aman
b Rawan
4. Apa pengaruh keberadaan TPA terhadap pendapatan masyarakat:
a Meningkatkan pendapatan dan tarap hidup
b Tidak merubah pendapatan.

5. Harapan Bapak/Ibu/Sdr dengan adanya TPA:


a. Agar TPA segera ditutup
b. Agar pengelola TPA lebih baik
c. Sumber air bersih maasyarakat sekitar TPA diperhatikan
d. Agar dijaga suasana di sekitar TPA tetap aman
e. Agar sampah-sampah liar ditertibkan .

II. KONDISI PEMULUNG:


A. Kondisi sosial ekonomi pemulung:
1. Berapa usia Bapak/Ibu/Sdr saat ini:
a Kurang dari 15 tahun
b 15 s/d 20 tahun
c 21 s/d 30 tahun
d 31 s/d 40 tahun
e 41 s/d 50 tahun
f lebih dari 50 tahun
2. Apakah mata pencaharian Bapak/Ibu/Sdr sebelum jadi pemulung:
a Petani
b Buruh
c Pedagang
d Lainnya (sebutkan:………………………….)
3. Berapa penghasilan Bapak/ibu/Sdr/bulan sebelum jadi pemulung:
a Kurang dari Rp.150.000,-
b Rp.150.000,- s/d Rp.200.000,-
c Rp.250.000,- s/d Rp.350.000,-
d Rp.400.000,- s/d Rp.500.000,-
e Rp.550.000,- s/d Rp.700.000,-
f Lebih dari Rp.700.000,-
4. Sejak kapan Bapak/Ibu/Sdr bekerja sebagai pemulung:
a Sebelum ada TPA
b Sejak TPA beroperasi hingga sekarang
c Kurang dari 1 tahun
d 1 s/d 2 tahun
e 3 s/d 4 tahun
f 5 s/d 7 tahun
g lebih dari 7 tahun
169

5. Cara pengangkutan barang pulungan ketangan pembeli:


a Diangkut sendiri oleh pembeli
b Menyewa truk sampah
c Lainnya
6. Berapakah pendapatan/penghasilan Bapak/Ibu/Sdr dari hasil
penjulan barang pulungan:
a Kurang dari Rp.150.000,-
b Rp.150.000,- s/d Rp.200.000,-
c Rp.250.000,- s/d Rp.350.000,-
d Rp.400.000,- s /d Rp.500.000,-
e Rp.550.000,- s/d Rp.700.000,-
f Rp.750.000,- s/d Rp.900.000,-
g Lebih besar dari Rp.900.000,-
7. Apakah pekerjaan sebagai pemulung merupakan pekerjaan utama:
a Ya
b Tidak
8. Apakah ada perubahan penghasilan setelah menjadi pemulung:
a Penghasilan meningkat
b Tidak ada perubahan
c Lainnya.
9. Dimana lokasi pulungan sampah:
a Di dalam lokasi TPA
b Di luar lokasi TPA:
1). Dilahan sendiri
2). Dilahan orang lain.

B. Kondisi Sosial Budaya Pemulung:


1. Daerah asal Bapak/Ibu/Sdr: …………………………………..
2. Dimana tempat tinggal Bapak/Ibu/Sdr:
a. Tinggal menetap di luar lokasi TPA
b. Tinggal menetap di dalam lokasi TPA
3. Tingkat pendidikan Bapak/Ibu/Sdr adalah:
a. Buta huruf
b. Tidak tamat SD
c. Tamat SD
d. Tidak tamat SLTP
e. Tamat SLTP
f. Tidak tamat SLTA
g. Tamat SLTA
h. Tamat Akademi
i. Tamat Universitas

4. Berapa lama untuk pulang ke daerah asal Bapak/Ibu/Sdr:


a Satu bulan sekali
b Tiga bulan sekali
c Empat bulan sekali
d Satu tahun sekali
e Tidak tentu
170

5. Status tempat tinggal Bapak/Ibu yang tinggal menetap di luar TPA:


a Kontrak tanah, bangunan buat sendiri
b Kontrak tanah berikut bangunan/rumah.
c Membeli tanah berikut bangunan rumah.
d Rumah dan tanah warisan.

6. Berapakah tanggungan keluarga Bapak/Ibu/Sdr:


a 1 (satu) orang
b 2 (dua) orang
c 3 (tiga) orang
d 4 (empat) orang
e 5 (lima) orang
f lebih dari 5 orang
7. Dimanakah tempat sekolah anak Bapak/Ibu/Sdr:
a Sekolah di sekitar TPA
b Sekolah di kampung/daerah
c Lainnya.
8. Bagaimana system kerja Bapak/Ibu/Sdr sebagai pemulung di TPA:
a Bekerja secara sendiri-sendiri
b Bekerja secara berkelompok berdasarkan suku (daerah asal)
c Bekerja secara bersama-sama (tidak atas suku/kelompok)
9. Apakah Bapak/Ibu/Sdr sebagai pemulung ada yang mengkoordinir:
a Tidak ada yang mengkoordinir
b Ada yang mengkoordinir (siapa: …………………………)

10. Apakah ada pembinaan yang dilakukan oleh organisasi


pemulung/pihak lain:
a Tidak ada
b Ada pembinaan (Siapa: …………………………..)
11. Apakah Bapak/Ibu setuju sebagai pemulung ada yang mengkoordinir:
a Setuju
b Tidak setuju
12. Siapa sebaiknya yang mengkoordinir:
a Para pemulung itu sendiri
b Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM
c Pemerintah
d Lembaga lainnya
e Bos lapak
13. Apakah ada konflik sesama pemulung di lokasi TPA:
a Tidak ada konflik
b Ada konflik

14. Apakah ada konflik antara pemulung dengan masyarakat sekitar TPA:
a Tidak ada konflik
b Ada konflik
15. Apakah ada konflik antara pemulung dengan petugas TPA:
a Tidak ada konflik
b Ada konflik
171

16. Apakah ada kerjasama antara pemulung di lokasi TPA:


a Tidak ada
b Ada (misalnya:……………………………….)

C. Persepsi pemulung dengan keberadaan TPA:


1. Bagaimana tanggapan Bapak/Ibu/Sdr dengan keberadaan TPA:
a. Setuju dengan alasan:
1). Menambah lapangan kerja
2). Meningkatkan pendapatan/penghasilan
3). Menambah peluang usaha
4). Menambah fasilitas umum (mis: jalan, MCK, dll)
b. Tidak setuju.
2. Bagaimana tanggapan Bapak/Ibu/Sdr tentang pengelolaan TPA:
a. Baik
b. Cukup
c. Buruk/jelek.
3. Bagaimana situasi keamanan dan ketertiban masyarakat di sekitar TPA:
a. Aman
b. Rawan
4. Pengaruh TPA dari pendapatan/penghasilan:
a. Meningkatkan tarap hidup
b. Tidak berpengaruh apa-apa
c. Tidak tahu
5. Harapan-harapan apa dengan adanya kegiatan TPA:
a. Kegiatan TPA terus berlanjut
b. Para pemulung diperhatikan
c. Fasilitas kesehatan diperhatikan seperti pengobatan gratis.
d. Agar suasana di TPA tetap aman.

III. KONDISI PENGELOLA:

A. Kondisi sosial ekonomi pengelola:


1. Berapa usia Bapak/Ibu/Sdr saat ini:
a 20 s/d 30 tahun
b 31 s/d 40 tahun
c 41 s/d 50 tahun
d lebih dari 50 tahun
2. Sejak kapan Bapak/Ibu/Sdr bekerja sebagai pengelola TPA:
a Kurang dari 1 tahun
b 1 s/d 2 tahun
c 3 s/d 4 tahun
d 5 s/d 7 tahun
e lebih dari 7 tahun
172

3. Berapakah pendapatan/penghasilan Bapak/Ibu/Sdr/bulan:


a Kurang dari Rp.150.000,-
b Rp.150.000,- s/d Rp.200.000,-
c Rp.250.000,- s/d Rp.350.000,-
d Rp.400.000,- s/d Rp.500.000,-
e Rp.550.000,- s/d Rp.700.000,-
f Rp.750.000,- s/d Rp.900.000,-
g Lebih besar dari Rp.900.000,-
4. Apakah pekerjaan sebagai pengeloa TPA merupakan pekerjaan utama:
a Ya
b Tidak
5. Apakah ada perubahan penghasilan setelah menjadi pengelola TPA:
a Penghasilan meningkat
b Tidak ada perubahan
c Lainnya.

B. Kondisi Sosial Budaya Pengelola:


1. Daerah asal Bapak/Ibu/Sdr: …………………………………..
2. Dimana tempat tinggal Bapak/Ibu/Sdr:
a. Tinggal menetap di luar lokasi TPA
b. Tinggal menetap di dalam lokasi TPA
3. Tingkat pendidikan Bapak/Ibu/Sdr adalah:
a. Buta huruf
b. Tidak tamat SD
c. Tamat SD
d. Tidak tamat SLTP
e. Tamat SLTP
f. Tidak tamat SLTA
g. Tamat SLTA
h. Tamat Akademi
i. Tamat Universitas

4. Status tempat tinggal Bapak/Ibu yang tinggal menetap di luar TPA:


a Kontrak tanah, bangunan buat sendiri
b Kontrak tanah berikut bangunan/rumah.
c Membeli tanah berikut bangunan rumah.
d Rumah dan tanah warisan.
5. Berapakah tanggungan keluarga Bapak/Ibu/Sdr:
a 1 (satu) orang
b 2 (dua) orang
c 3 (tiga) orang
d 4 (empat) orang
e 5 (lima) orang
f lebih dari 5 orang
6. Dimanakah tempat sekolah anak Bapak/Ibu/Sdr:
a Sekolah di sekitar TPA
b Sekolah di kampung/daerah
c Lainnya.
173

7. Bagaimana system kerja Bapak/Ibu/Sdr sebagai pengelola TPA:


a Bekerja secara sendiri-sendiri
b Bekerja secara berkelompok berdasarkan jadwal kerja
c Bekerja secara bersama-sama
8. Apakah Bapak/Ibu/Sdr sebagai pengelola ada yang membina:
a Tidak ada yang membina
b Ada yang membina (siapa: …………………………)
9. Apakah ada pembinaan yang dilakukan oleh organisasi
pemerintah/pihak lain:
a Tidak ada
b Ada pembinaan (Siapa: …………………………..)
10. Apakah Bapak/Ibu/Sdr setuju sebagai pengelola ada yang membina:
a Setuju
b Tidak setuju
11. Siapa sebaiknya yang membina:
a Para pengelola itu sendiri
b Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM
c Pemerintah
d Lembaga lainnya
12. Apakah ada konflik sesama pengelola di lokasi TPA:
a Tidak ada konflik
b Ada konflik
13. Apakah ada konflik antara pengelola dengan masyarakat sekitar TPA:
a Tidak ada konflik
b Ada konflik
14. Apakah ada konflik antara pengelola dengan pemulung:
a Tidak ada konflik
b Ada konflik
15. Apakah ada kerjasama antara pengelola di lokasi TPA:
a Tidak ada
b Ada (misalnya:……………………………….)

C. Persepsi pengelola dengan keberadaan TPA:


1. Bagaimana tanggapan Bapak/Ibu/Sdr dengan keberadaan TPA:
a. Setuju dengan alasan:
1). Menambah lapangan kerja
2). Meningkatkan pendapatan/penghasilan
3). Menambah peluang usaha
4). Menambah fasilitas umum (mis: jalan, MCK, dll)
b. Tidak setuju.
2. Bagaimana tanggapan Bapak/Ibu/Sdr tentang pengelolaan TPA:
a. Baik
b. Cukup
c. Buruk/jelek.
174

3. Bagaimana situasi keamanan dan ketertiban masyarakat di sekitar TPA:


a. Aman
b. Rawan
4. Pengaruh TPA dari pendapatan/penghasilan:
a. Meningkatkan tarap hidup
b. Tidak berpengaruh apa-apa
c. Tidak tahu
5. Harapan-harapan apa bagi pengelola dengan adanya kegiatan TPA:
a. Kegiatan TPA terus berlanjut
b. Para pemulung diperhatikan
c. Fasilitas kesehatan diperhatikan seperti pengobatan gratis.
d. Agar suasana di TPA tetap aman.
175

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT


Analisis Kebijakan Pemberdayaan masyarakat di TPA berbasis masyarakat dengan
pendekatan AHP diintegrasikan kedalam Prospektif.
Tujuan Integrasi untuk meningkatkan basis informasi kuantitatif dari proses-proses
perencanaan strategis. Integrasi AHP kedalam Prospektif menghasilkan prioritas-
prioritas yang ditentukan secara analitik berdasarkan faktor- faktor yang mencakup dalam
AHP dan membuat mereka sepadan. AHP memberikan kerangka dasar untuk
pembentukan suatu analisis keputusan , sementara Prospektif membantu dalam membuat
AHP lebih analitik dan melakukan analisis sehingga strategi-strategi alternatif keputusan
dapat diprioritaskan.

AHP adalah salah satu alat analisis dalam pengambilan keputusan untuk menentuklan
kebijakan yang akan diambil dengan menetapkan prioritas dan membuat keputusan yang
paling baik ketika aspek Kualitatif dan Kuantitatif dibutuhkan untuk dipertimbangkan.
Penentuan prioritas strategi dilakukan dengan dua tahap yakni pembuatan hirarki
prioritas dan survei penentuan bobot.

Sedangkan untuk menentukan bobot dari strategi digunakan metode survai. Wawancara
dilakukan terhadap responden yang berkompeten dengan pemanfaatan TPA. Responden
diharapkan memberikan nilai dalam angka terbatas untuk memberi tingkat urutan (skala)
pentingnya strategis-strategis tersebut. Dalam AHP digunakan skala angka Saaty. mulai
dari 1 yang menggambarkan antara satu atribut terhadap atribut lainnya sama penting dan
untuk atribut yang sama selalu bernilai satu, sampai dengan 9 yang menggambarkan satu
atribut ekstrim penting terhadap atribut lainnya.

Você também pode gostar