Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
ROYADI
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
TAHUN 2006
ii
Royadi
Nrp.99522708
iii
ABSTRAK
ROYADI. Analisis Pemanfaatan TPA Sampah Pascaoperasi Berbasis
Masyarakat (Studi Kasus TPA Bantar Gebang, Bekasi). Dibimbing oleh M. Sri Saeni,
Lala M. Kolopaking dan Hartrisari Hardjomidjojo.
TPA Bantar Gebang yang beroperasi sejak tahun 1989 selesai kontrak
pakainya oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tanggal 31 Desember 2003. Untuk
mengatasi permasalahan TPA Sampah Pascaoperasi, perlu dilakukan kajian dan
analisis untuk melihat kemungkinan yang terjadi dimasa depan didasarkan pada
keadaan saat ini seperti sumberdaya dan lingkungan alam, sosial ekonomi, fisik
kimia, mikrobiologi, dan keterlibatan masyarakat dalam pemanfaatan TPA Sampah
Pascaoperasi Berbasis Masyarakat. Tujuan dan manfaat dari penelitian ini antara lain
adalah: 1). Melakukan evaluasi terhadap kualitas air sumur, air sungai, air lindi dan
mikrobiologi; 2). Memilih alternatif yang sesuai untuk pemanfaatan TPA Sampah
Pascaoperasi Berbasis Masyarakat.
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah analisis fisik
kimia, analisis sosial ekonomi dan prospektif analisis serta Analitic Hierarki Proces
(AHP). Kesimpulan dari penelitian ini antara lain adalah: 1). Kualitas fisik kimia dan
biologi air sumur, air sungai dan air lindi masih dibawah ambang batas yang
diperbolehkan, kecuali untuk kekeruhan air sungai, kandungan nitrat, nitrit, BOD5 ,
COD air lindi. 2). Alternatif pemanfaatan adalah sebagai TPA Terpadu, dengan
kegiatan setiap zone sebagai berikut: Zone I dan II sebagai hutan kota/penghijauan,
zone III, IV dan zone V sebagai TPA Sampah. Pema nfaatan sebagai TPA Terpadu
menjadi sinergis antara pengelolaan sampah dengan hutan kota/penghijauan, daur
ulang dan kompos. Faktor yang dominan dalam penentuan strategi bagi pemanfaatan
TPA sampah pascaoperasi berbasis masyarakat antara lain adalah: luas lahan, IPAS,
Peraturan Perundangan, Pendanaan, Keterlibatan Swasta, Teknologi dan donor
agency; 3). Pemanfaatan sebagai TPA Terpadu akan menimbulkan multiplyer effect
baik bagi lingkungan, masyarakat sekitar lokasi TPA dan pemerintah sebagai berikut:
a). Bagi masyarakat sekitar lokasi TPA, terciptanya lapangan kerja mulai dari
perencanaan, kontruksi dan pada saat operasi serta keterlibatan dalam pemilahan
sampah, pembuatan kompos dan pembuatan bahan-bahan bangunan. b). Bagi
lingkungan pupuk kompos yang dihasilkan dapat bermanfaat untuk meningkatkan
tingkat kesuburan lingkungan melalui kegiatan penghijauan, pemulihan atau
memperbaiki ekosistem yang rusak, serta dapat menghemat penggunaan lahan TPA;
c). Bagi peningkatan pertanian, pupuk kompos yang dihasilkan dapat mengurangi
tingkat keasaman tanah lahan pertanian akibat penggunaan pupuk kimia secara terus
menerus, disamping itu pupuk kompos dapat meningkatkan produktivitas lahan; d).
Pengembangan ekonomi lokal, dengan terkonsentrasinya tenaga kerja dalam jumlah
besar dapat membuka peluang usaha baru bagi kegiatan lainnya berupa kegiatan
usaha warungan, usaha- usaha jasa keuangan, jasa cetring untuk makan para perkerja
serta usaha rumah/kost/pengontrakan rumah; dan e). Bagi Pemerintah Daerah,
terserapnya tenaga kerja unskill dalam kegiatan ini dapat mengurangi kerawanan
sosial yang ditimbulkan karena ketiadaan lapangan kerja. Kegiatan hasil produk dari
kegiatan ini dapat menjadi sumber PAD bagi pemerintah dan sumber penerimaan
pajak bagi negara.
iv
ABSTRACT
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Diketahui
Dr. Ir. H. Surjono Hadi Sutjahjo, MS Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, MSc
Dekan
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala karunia-Nya, sehingga Disertasi ini dapat diselesaikan. Penelitian yang
dilakukan dengan judul Analisis Pemanfaatan TPA Sampah Pascaoperasi Berbasis
Masyarakat (Studi Kasus TPA Bantar Gebang, Bekasi) dilaksanakan mulai dari
bulan Juli 2004 sampai dengan Nopem ber 2004. Lokasi Penelitian ini adalah pada
TPA sampah Bantar Gebang, Bekasi, Provinsi Jawa Barat.
Dalam melaksanakan penelitian dan penulisan ini penulis telah banyak
mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sehingga pada kesempatan
ini panulis ingin memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Prof. Dr.Ir. M. Sri Saeni, MS, selaku Ketua komisi pembimbing, Dr. Lala M.
Kolopaking, MS dan Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA, selaku anggota komisi
pembimbing atas segala waktunya untuk memberikan bimbingan dan arahan
serta saran yang diberikan kepada penulis.
2. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo,MS., selaku Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor, yang selalu memacu agar cepat selesai dalam studi.
3. Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang selalu mendukung
penulis sebagai mahasiswa di Sekolah Pascasarjana IPB.
4. Pimpinan Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Departemen Dalam
Negeri atas dukungan dan memberikan izin kepada penulis untuk dapat
mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB.
5. Prof.Dr.Ir. Bunasor Sanim, M.Sc dan Prof.Dr. Tjahya Supriatna, SU selaku
penguji luar komisi.
6. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta atas pemberian izin penelitian di TPA Sampah
Bantar Gebang, Bekasi kepada penulis.
7. Semua pihak yang telah membantu penulis tidak dapat disebut satu persatu
namanya, baik secara moral maupun material.
Penulis mengharapkan semoga karya ini dapat bermanfaat bagi Pemerintah
DKI Jakarta dan Pemda Kota Bekasi serta dunia ilmu pengetahuan dan pihak lain
yang membutuhkannya.
Bogor, 8 Mei 2006
ROYADI
viii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 25 Mei 1962 di Jakarta, sebagai putra ke-
empat dari tujuh bersudara dari ayah Mukdi (almarhum) dan Ibu Sareah
(almarhumah). Pada tahun 1976, penulis lulus dari SDN Gempol Pagi I Jakarta,
lulus dari SMP Negeri 79 Jakarta tahun 1980 dan lulus dari SMA YMIK Jakarta
jurusan Ilmu Pasti Alam tahun 1983 kemudian masuk CATAR AKABRI pada tahun
Muhammadiyah Jakarta pada tahun 1992. Pada tahun 1994 mengikuti pendidikan
University of New South Wales, Sdney Australia, dan tahun 1996 mengikuti
1998. Pada tahun 2000 penulis melanjutkan studi pada Program Doktor di program
IPB Bogor.
Kepala Seksi Bencana Alam pada Subdit Pengendalian Dampak dan Bencana
Alam, Direktorat Fasilitasi Lingkungan Hidup dan Penataan Ruang dan pada saat ini
Daerah.
ix
DAFTAR ISI
a. Komposting.......................................................................................... 107
b. Daur Ulang........................................................................................... 109
4.5. Hasil Sintesis AHP........................................................................................ 110
A. Hasil Sintesis AHP pada zone I............................................................... 112
B. Hasil Sintesis AHP pada zone II.............................................................. 113
C. Hasil Sintesis AHP pada zone III............................................................ 114
D. Hasil Sintesis AHP pada zone IV............................................................ 115
E. Hasil Sintesis AHP pada zone V............................................................. 116
F. Prioritas Pemanfaatan TPA setiap zone.................................................. 117
4.6. Implikasi Kebijakan Skenario Prospektif Masa Depan................................ 118
A. Existing codition...................................................................................... 119
B. Need Analysis......................................................................................... 120
C. Gabungan antara Existing Condition dan Need Analysis....................... 122
a. Luas Lahan........................................................................................... 123
b. Instalasi Pengelolaan Air Sa mpah (IPAS)........................................... 123
c. Peraturan Perundangan........................................................................ 124
d. Pendanaan............................................................................................ 125
e. Teknologi............................................................................................. 126
f. Keterlibatan Swasta.............................................................................. 127
g. Donor Agency...................................................................................... 128
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan ...................................................................................................... 131
5.2. Saran ............................................................................................................ 133
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 135
LAMPIRAN ........................................................................................................ 142
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1: Evaluasi Partisipatif.............................................................................. 20
2: Sumber dan Jenis Sampah………........................................................ 28
3: Hasil Analisis Lindi Sistem Sanitary Landfill (ppm)………… ..…..... 30
4: Kualitas air sumur di TPA Bantar Gebang………………………....... 38
5: Kualitas Air Sungai Ciketing………….…………………………...... 39
6: Kualitas Air Lindi…………………………………………………..... 40
7: Penyakit Bawaan Sampah………………………………………….... 41
8: Beberapa Jenis Penyakit Bawaan Air……………………………....... 42
9: Nilai dan definisi pendapat kualitatif……………………………....... 48
10: Pedoman Penilaian Analisis Prospektif................................................ 52
11: Jumlah dan perkembangan penduduk di tiga Kelurahan……………. 58
12: Jumlah sampah yang dibawa ke TPA Bantar Gebang Tahun 2004..... 60
13: Komposisi bahan organik dan anorganik di TPA Bantar Gebang…... 61
14: Perkiraan Jenis Dampak Penting di TPA Bantar Gebang…………… 65
15: Kualitas Air Sumur di Atas dari TPA 2004......................................... 71
16: Kualitas Air Sumur Bawah dari TPA 2004.......................................... 72
17: Analisis Kualitas Air Sungai Sebelum TPA (inlet) 2004..................... 86
18: Analisis Kualitas Air Sungai Sesudah TPA (outlet) 2004................... 87
19: Distribusi lalat di kawasan TPA Bantar Gebang dan sekitarnya……. 99
20: Jenis pekerjaan responden.................................................................... 101
21: Tingkat pendapatan responden............................................................. 101
22: Wujud gangguan terhadap air tanah..................................................... 102
23: Penyebab gangguan terhadap air tanah…………………………… .... 102
24: Penyebab gangguan bau……………………………………………... 103
25: Jenis penyakit di Kota Bekasi dalam 7 tahun terakhir……………..... 104
26: Persepsi responden terhadap gangguan kesehatan tahun 2001 s/d 2004... 106
27: Umur Teknis TPA Bantar Gebang…………...…………………….... 107
28: Faktor-faktor penentu atau kunci hasil gabungan faktor existing
condition dan need analysis................................................................. 122
29: Analisis tingkat kepentingan antar faktor............................................ 129
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
Lampiran 25:
Perjanjian Tambahan (ADDENDUM) No. 127 tahun 2000 dan
227/2000 tentang Perjanjian Kerjasama Pengelolaan Sampah dan
Lampiran 26: TPA Sampah di Kecamatan Bantar Gebang, Bekasi........................
186
Perjanjian Tambahan (ADDENDUM) Kedua No.22 Tahun 2002
dan 41 Tahun 2002 tentang Perjanjian Kerjasama Pengelolaan
Sampah dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di
Kecamatan Bantar Gebang, Kota Bekasi..........................................
190
1
I. PENDAHULUAN
Salah satu masalah lingkungan hidup pada saat ini adalah masalah sampah.
Meningkatnya pertumbuhan penduduk dan aktivitasnya, memberi kontribusi signifikan
pada peningkatan sampah. Menurut Widyatmoko (2001), di kota-kota besar Indonesia
setiap orang menghasilkan sampah 2 - 2,5 liter per hari, dengan mengasumsikan bahwa
sampah yang dihasilkan mempunyai kepadatan yang sama dengan kepadatan sampah
dalam truk yaitu 0,3 – 0,35 ton per m³, maka dalam satu tahun setiap orang me nghasilkan
sampah 2,5 liter x 365 = 900 liter = 0,9 m³ atau 0,9 m³ x 0,35 kg/ m³ = 0,315 ton = 315
kg per tahun.
Jakarta dengan luas 655 km², jumlah penduduk 10.000.000 jiwa menghasilkan
sampah 25.000 m³ per hari dengan bobot 25.000 m³ x 0,35 ton = 8,750 ton per hari. Dari
jumlah tersebut, sampah yang tidak terangkut setiap harinya 7.500 m³ atau 365 hari x
7.500 m³ = 2.737.500 m³ per tahun. Sampah ini ditimbulkan dari berbagai lokasi kegiatan
masyarakat yaitu daerah perumahan 58%, pasar 10 %, daerah komersial 15 %, daerah
industri 15 %, serta jalan, taman dan sungai 2 %. Sampah-sampah ini dapat dibagi dalam
dua jenis sampah, yaitu sampah organik 65 % dan sampah non-organik 35 %. Sampah
yang terkumpul dan diangkut kurang lebih 70 % ke TPA Bantar Gebang, 16,5 % ke
lokasi- lokasi informal, dan 13 % tidak terkelola, tercecer di dalam kota, jalan atau
dibuang ke sembarang tempat misalnya ke sungai dan sepanjang pinggir jalan (Dinas
Kebersihan DKI Jakarta, 2002). Persoalan sampah merupakan permasalahan lingkungan
yang menyebar tidak mengenal batas-batas wilayah administratif, namun sistem
pengelolaannya dibatasi oleh wilayah administratif. Oleh karena itu untuk menangani
masalah persampahan dibutuhkan kerjasama antar wilayah administratif, misalnya untuk
lokasi TPA sampah.
TPA Bantar Gebang secara administratif terletak di Kota Bekasi, dengan luas 108
ha dan dapat menampung sampah 14.000 m³ per hari, saat ini meningkat menjadi 20.000
m³ per hari dengan sistem sanitary landfill. Kondisi TPA saat ini tidak mampu lagi
menampung sampah, lahan yang efektif digunakan dan mulai diisi pada setiap zone
berbeda tahunnya. Zone I total lahan 25 ha, dengan lahan efektif yang digunakan 16,8 ha,
2
saat ini ketinggian sampah 8,2 meter, lahan ini mulai diisi sejak 1989 sampai dengan
1991; zone II total lahan 23 ha, dengan lahan efektif yang digunakan 11,3 ha saat ini
ketinggian sampah 6,1 meter, lahan ini mulai diisi sejak 1992 sampai dengan 1994; zone
III total lahan 30,2 ha, dengan lahan efektif yang digunakan 20,2 ha saat ini ketinggian
sampah 8,6 meter, lahan ini mulai diisi sejak 1995 sampai dengan 1998; zone IV total
lahan 14,3 ha, dengan lahan efektif yang digunakan 11,3 ha saat ini ketinggian sampah
4,7 meter, lahan ini mulai diisi sejak 1999 sampai dengan 2001; dan zone V total lahan
15,5 ha, dengan lahan efektif yang digunakan 12,3 ha saat ini ketinggian sampah 6,1,
meter, lahan ini mulai diisi sejak 2002 sampai dengan 2003.
Pada zone yang tidak aktif terjadi proses suksesi vegetasi, timbunan sampah
besar, pembentukan gas metana, proses akumulasi, degradasi, limpasan dan peresapan
serta pembentukan air lindi yang berlangsung dan aliran air lindi ke dalam pengolahan
terus berjalan, pencemaran sumur, sungai, gas dan konflik, perlu pengelolaan yang baik.
Sedangkan pada zone yang aktif, dampak biologi khususnya keberadaan lalat tinggi 36,7
ekor per grill melebihi baku mutu Departemen Kesehatan RI Nomor 281-11/PD.03.04.11
tanggal 30 Oktober 1989 yaitu 30 per grill. Oleh karena itu pengelolaan sampah pada
zone yang masih aktif perlu memperhatikan standar sanitary landfill dengan menimbun
dan menutup sampah dengan tanah agar tidak menimbulkan bau menyengat hasil
pembusukan bahan organik yang akan merangsang keberadaan lalat.
Dengan demikian, untuk mengatasi permasalahaan TPA sampah pascaoperasi,
perlu dilakukan kajian dan analisis untuk melihat kemungkinan yang terjadi di masa
depan didasarkan pada keadaan saat ini seperti sumberdaya dan lingkungan alam, sosial
ekonomi, fisik kimia, mikrobiologi, dan keterlibatan masyarakat, dala m pemanfaatan
TPA sampah pascaoperasi berbasiskan masyarakat.
A. Tujuan Penelitian
a. Melakukan evaluasi terhadap TPA saat ini dan melakukan analisis kualitas air
sumur, air sungai, air lindi, komponen mikrobiologi serta sosial ekonomi dan
kesehatan masyarakat;
b. Memilih alternatif yang sesuai untuk pemanfaatan TPA Pascaoperasi berbasis
masyarakat.
3
B. Manfaat Penelitian
a. Memberi masukan kepada Pemda DKI Jakarta maupun Pemda Kota Bekasi
alternatif memanfaatkan TPA pascaoperasi berbasis masyarakat yang sesuai
dengan kondisi lingkungan sekitar.
b. Memberi masukan untuk penanggulangan dan pengendalian pencemaran di TPA
Bantar Gebang, Bekasi Pascaoperasi.
c. Pengembangan model partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan
hidup khususnya pemanfaatan TPA Pascaoperasi.
d. Dapat digunakan kebijakan Pemerintah DKI Jakarta dan Kota Bekasi untuk
pemanfaatan TPA Bantar Gebang Pascaoperasi.
e. Meningkatkan pendalaman di bidang ilmu lingkungan yang berkaitan dengan
peranserta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan khus usnya pemanfaatan
TPA Pascaoperasi.
TPA SAMPAH
BANTAR GEBANG
Analisis
Pemilihan alternatif
Pemanfaatan
Gebang dalam Kota Bekasi, Jawa Barat. Secara administrasi tiga kelurahan tersebut
adalah sebagai berikut: a). Kelurahan Ciketing Udik; b). Kelurahan Cikiwul; dan c).
Kelurahan Sumurbatu.
1.6. Hipotesis .
kerja keras, hemat, keterbukaan, rasa tanggung jawab dan lain sebagainya. Pemberdayaan
masyarakat adalah kemampuan setiap individu untuk terlibat dan berperan dalam
pembangunan, dengan demikian masyarakat berhak dan wajib menyumbangkan
potensinya dalam pembangunan, sekecil dan selemah apapun kualitas sumberdaya
seseorang bisa diberdayakan dalam pembangunan di daerahnya.
Menurut Departemen Dalam Negeri (1996), Pembangunan Masyarakat Desa
adalah seluruh kegiatan pembangunan yang dilaksanakan di desa dan kelurahan dan
mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat. Kegiatan ini dilaksanakan secara terpadu
dengan mengembangkan prakarsa dan swadaya gotong royong. Dalam memperdayakan
masyarakat, pemerintah mengarahkan program-program yang diperuntukkan dan
langsung akan dinikmati masyarakat, rencana dan pelaksanaannya dilakukan oleh
masyarakat dan lembaga kemasyarakatan yang pelaksanaannya dilakukan oleh LKMD.
Pemberdayaan masyarakat adalah upaya meningkatkan kemampuan dan kualitas
sumberdaya manusia dan masyarakat agar mampu secara mandiri melaksanakan kegiatan
pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraannya, dengan tujuan dan sasarannya,
meningkatkan kualitas manusia dan masyarakat; pencapaian tujuan pembangunan
masyarakat; semangat membangun pada seluruh masyarakat; dan menempatkan manusia
sebagai subyek pembangunan. Sasarannya adalah pimpinan lembaga kemasyarakatan;
tokoh masyarakat dan warga masyarakat dengan tidak membedakan jenis kelamin.
Pemberdayaan masyarakat adalah suatu kegiatan yang bertujuan membekali
keterampilan dan pengetahuan kepada masyarakat agar mampu memberikan kontribusi
dan dukungan terhadap proses pembangunan yang terjadi di lingkungannya. Masyarakat
akan ikut menangani limbah domestik apabila mereka memiliki "keberdayaan", sehingga
pemberdayaan masyarakat menjadi penting dan mendesak (Ditjen Bina Bangda, 2002).
Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, menempatkan otonomi daerah secara utuh
pada daerah Kabupaten dan Daerah Kota dengan tujuan untuk memberdayakan
masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peranserta
masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD). Atas dasar ini, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mempunyai kewenangan
dan keleluasaan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan
aspirasi masyarakat (Elfian, 2001).
10
hilangnya pengendalian atau hilangnya hal- hal lain, yang paling penting pemberdayaan
memungkinkan pemanfaatan kecakapan dan pengetahuan masyarakat seoptimal mungkin
untuk kepentingan masyarakat itu sendiri.
Pemberdayaan menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat
yang belum berkembang sebagai pihak yang harus diberdayakan, dan pihak yang
menaruh kepedulian sebagai pihak memberdayakan, Sumodiningrat (1997). Dalam kaitan
dengan upaya memberdayakan masyarakat guna mencapai kehidupan yang lebih baik.
Payne (1997) suatu proses pemberdayaan bertujuan membantu masyarakat memperoleh
daya untuk mengambil kep utusan dan menentukan tindakan yang dilakukan melalui
peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang dimiliki
masyarakat, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya. MAcArdle (1989)
mengemukakan bahwa hal terpenting dalam pemberdayaan adalah partisipasi aktif dalam
setiap proses pengambilan keputusan.
Menurut Hikmat (2001), proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan;
Pertama, proses pemberdayaan dengan kecenderungan primer menekankan pada proses
memberikan keleluasaa n, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu
yang bersangkutan menjadi lebih berdaya. Proses ini dapat dilengkapi dengan upaya
membangun aset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui
organisasi. Kedua, proses pemberdayaan dengan kecenderungan sekunder menekankan
atau memotivasi agar individu mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk
menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Seringkali
kecendrungan primer terwujud melalui kecenderungan sekunder terlebih dahulu.
Selanjutnya disebutkan bahwa proses pemecahan masalah berbasiskan pemberdayaan
masyarakat yang berdasarkan prinsif bekerja bersama masyarakat mempunyai hak- hak
yang harus dihargai, sehingga masyarakat lebih mampu mengenali kebutuhannya dan
dilatih untuk dapat merumuskan rencana serta melaksanakan pembangunan secara
memadai dan swadaya. Dalam hal ini, praktisi pembangunan berperan dalam
memfasilitasi proses dialog, diskusi, curah pendapat dan mensosialisasikan temuan
masyarakat.
Menurut Moebyarto (1995), pemberdayaan masyarakat mengacu kepada
kemampuan masyarakat untuk mendapatkan dan memanfaatkan akses dan kontrol atas
12
sumber hidup yang penting. Proses pemberdayaan merupakan wujud perubahan sosial
yang menyangkut relasi antara lapisan sosial sehingga kemampuan individu "senasib"
untuk saling berkumpul dalam suatu kelompok cenderung dinilai sebagai bentuk
pemberdayaan yang paling efektif. Dalam rangka mewujudkan kesamaan derajat yang
lebih besar antara perempuan dan laki- laki, pemberdayaan pere mpuan merupakan proses
kesadaran pembentukan kapasitas terhadap partisipasi perempuan yang lebih besar dan
tindakaan transformasi. Dalam rangka peningkatan partisipasi aktif laki- laki dan
perempuan, maka perempuan harus terlibat secara proporsional, sehingga dapat
menciptakan kemitraan yang adil, IRC, UNICEF dan Yayasan Dian Desa (1999).
Strategi pemberdayaan perempuan sebagai mitra sejajar laki- laki menggunakan
pendekatan dua arah, yaitu saling menghormati, saling mendengar dan menghargai
keinginan serta pendapat orang lain. Dalam proses pemberdayaan ini, terjadi pembagian
kekuasaan secara demokratis atas dasar kebersamaan, keutamaan dan tenggang rasa.
Pemberdayaan perempuan sebagai mitra sejajar laki- laki adalah kondisi dimana laki- laki
dan perempuan memiliki kesamaan hak dan kewajiban yang terwujud dalam kesempatan,
kedudukan, peranan yang dilandasi sikap dan perilaku yang saling membantu dan
mengisi disemua bidang kehidupan (Priyono , 1996).
Praktek proyek pembangunan menunjukkan bahwa pendekatan partisipatif tidak
secara otomatis diterapkan dengan cara yang sensitif gender. Bila tidak ada kaitan
tertentu yang dilakukan untuk melibatkan semua segmen dalam komunitas dalam aksi
partisipatif dari proyek, yang biasanya terjadi adalah laki-laki yang berpendidikan dan elit
yang terlibat seperti yang ada dalam struktur kekuasaan dimana suara perempuan anggota
masyarakat yang tidak beruntung dan miskin tidak didengar, Hemelrijk, et al (2001).
Partisipasi merupakan komponen penting dalam pembangkitan kemandirian dan proses
pemberdayaan (Craig dan Mayo, 1995). Partisipasi aktif dalam setiap proses pengambilan
keputusan merupakan hal penting dalam pemberdayaan. Faktor- faktor determinin yang
mempengaruhi proses pemberdayaan, antara lain, perubahan sistem sosial yang
diperlukan sebelum pembangunan yang sebenarnya dimungkinkan terjadi. Karena itu
perubahan struktur sosial masyarakat dalam sistem sosial menjadi faktor terpenting dalam
melaksanakan pemberdayaan masyarakat, termasuk di dalamnya sistem ekonomi dan
politik (Rojek, 1986).
13
Partisipasi berasal dari bahasa Inggris "participation" yang berarti ambil bagian
atau melakukan kegiatan bersama-sama dengan orang lain. Sedangkan dalam kamus
Webster, arti partisipasi "mengambil bagian atau ikut menanggung bersama orang lain"
Natsir (1986). Apabila dihubungkan dengan masalah sosial, maka arti partisipasi adalah
suatu keadaan dimana seseorang ikut merasakan sesuatu bersama -sama dengan orang lain
sebagai akibat adanya interaksi sosial, Fairchild (1977). Secara harfiah, partisipasi berarti
"turut berperanserta dalam suatu kegiatan", "keikutsertaan atau peran serta dalam suatu
kegiatan", "peran serta aktif atau proaktif dalam suatu kegiatan". Partisipasi dapat
didefinisikan secara luas sebagai "bentuk keterlibatan dan keikutsertaan masyarakat
secara aktif dan sukarela, baik karena alasan-alasan dari da lam dirinya maupun dari luar
dirinya dalam keseluruhan proses kegiatan yang bersangkutan" (Moeliono, 2004).
Dari sudut terminologi partisipasi masyarakat dapat diartikan sebagai suatu cara
melakukan interaksi antara dua kelompok, yaitu kelompok yang selama ini tidak
diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan dan kelompok yang melakukan
pengambilan keputusan. Partisipasi masyarakat merupakan insentif moral untuk
mempengaruhi lingkup- makro yang lebih tinggi, tempat dibuatnya suatu keputusan-
keputusan yang sangat menentukan kesejahteraan mereka.
14
berkembang perlu diperhatikan prasyarat sebagai berikut: 1). aspek partisipasi yang
mendasar adalah luasnya pengetahuan dan latar belakang kemampuan untuk
mengidentifikasi dan menentukan prioritas pemecahan masalah; 2). adanya kemampuan
untuk belajar terhadap berbagai masalah sosial dan cara mengambil keputusan
pemecahannya; dan 3). kemampuan untuk mengambil tindakan secara cepat dan tepat.
Menurut Cressey (1987), partisipasi menjadi fokus utama dalam usaha
peningkatan tarap hidup masyarakat, dan tidak dapat dilepaskan dari pertanyaan-
pertanyaan tentang kewenangan, otoritas, legitimasi serta pengendalian dan tampak
terkait dengan aspek-aspek politik. Dalam prakteknya, partisipasi tidak dapat
didefinisikan secara terbatas, tergantung pada aktor yang terlibat. Terdapat beberapa
model partisipasi pada saat ini yang didasarkan pada pemikiran dan pendekatan terhadap
persoalan, beberapa tipe partisipasi itu ialah:
a. Partisipasi dilihat sebagai kesatuan organik dari kepentingan perusahaan (organic
unity of interest) partisipasi mengambil tempat melalui kerja kelompok dan struktur
untuk mengusahakan aspek-aspek peningkatan dan pengembangan sesuai dengan
sasaran dan tujuan perusahaan.
b. Partisipasi berdasarkan lembaga yang ada (statutory), biasanya dijumpai pada
masyarakat yang memiliki konsensus politik yang stabil, umumnya bersifat formal,
biasanya dimulai dari legalitas, berkembang ke lembaga-lembaga seperti perwakilan
atau pengaturan tripartit.
c. Partisipasi sukarela (voluntary), tidak diprogram, muncul berdasarkan kebutuhan
kelompok dan kebutuhan perusahaan dan bersifat positif kadang-kadang kepada
pengambil keputusan bersama perusahaan.
d. Partisipasi manajeman sendiri (self management) yang mengembangkan demokrasi
dan formalitas kontitusi seperti diskusi investasi dan pengembangan.
Menurut Hassan (1973), partisipasi dalam pembangunan berarti masyarakat ikut
ambil bagian dalam suatu kegiatan, ikut ambil bagian dalam suatu kegiatan hanya dapat
diharapkan bila yang bersangkutan merasa dirinya berkepentingan dan diberi kesempatan
untuk ambil bagian. Dengan kata lain, partisipasi tidak mungkin optimal jika diharapkan
dari mereka yang merasa tidak berkepentingan terhadap suatu kegiatan, dan juga tidak
optimal jika mereka yang berkepentingan tidak diberi keleluasaan untuk ambil bagian.
16
semata dalam pembuatan keputusan proyek, tetapi juga menggali pengetahuan penduduk,
mencatat bidang keahlian lokal yang dapat memberikan kontribusi sesungguhnya bagi
rancangan proyek: mengumpulkan data sosial ekonomi, memantau dan mengevaluasi
proyek yang dikumpulkan oleh orang luar; memberikan pemahaman teknis; dan
memberikan kontribusi informasi ruang dan sejarah tentang proyek terdahulu yang
mungkin sejenis dan penyebab keberhasilan dan kegagalan.
Menurut Davis dalam Sastropoetro (1988), ada beberapa syarat agar terdapat
pertisipasi yang efektif, diantaranya adalah kemampuan. Seseorang dengan kemampuan
ekonomi yang tinggi mampu berpartisipasi dalam berbagai bentuk, misalnya tenaga,
uang, ide atau pemikiran dan sebagainya. Hal ini berarti bahwa tingkat partisipasinya
juga lebih tinggi dibanding seseorang yang kemampuan ekonominya lebih rendah. Di
samping itu partisipasinya juga lebih bersifat "murni" tanpa pamrih, tanpa motif ekonomi.
Sebaliknya, seseorang yang kemampuan ekonominya rendah akan berpartisipasi atas
dasar pamrih, yakni untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Kebutuhan ini bisa
terpenuhi dengan berpartisipasi sebagai tenaga kerja, untuk memperoleh upah. Sedangkan
menurut Arianta (1995) dalam penelitiannya mengenai partisipasi anggota lembaga
perkeriditan desa menemukan bahwa faktor ekonomi merupakan salah satu faktor
penyebab utama partisipasi dari anggota lembaga tersebut. Anggota masyarakat
terdorong untuk berpartisipasi terhadap lembaga tersebut karena faktor ekonomi berupa
keinginan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak.
Menurut GTZ (1997), pendekatan partisipatif diperlukan untuk melibatkan semua
pihak sejak langkah awal, mulai tahapan analisis masalah, penetapan rencana kerja
sampai pelaksanaan dan evaluasinya. Kegiatan partisipatif dapat dikelompokkan pada
dua kelompok sasaran yaitu: partisipasi para pengambil keputusan, dan partisipasi
kelompok setempat yang terkait dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Dengan adanya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup,
apabila berjalan sesuai dengan peraturan yang ada dan setiap masyarakat menjalankannya
secara obyektif tidak hanya mengutamakan kepentingan dirinya atau kelompoknya saja,
maka kerugian yang akan timbul tidak akan berarti dibandingkan manfaatnya (Suratmo,
1977). Selanjutnya menurut Suratmo (1999), manfaat partisipasi adalah:
19
Ketiga faktor tersebut akan dipengaruhi oleh berbagai faktor di seputar kehidupan,
manusia yang paling berinteraksi atau dengan lainnya, seperti psikologis individu (needs,
harapan, motif, reward) pendidikan, adanya informasi, keterampilan, teknologi,
kelembagaan yang mendukung, struktur dan stratifikasi sosial, budaya lokal serta
peraturan dan pelayanan pemerintah. Sedangkan menurut Oppenheim (1973) dalam
Sumardjo dan Saharudin (2003), ada unsur yang mendukung untuk berperilaku tertentu
pada diri seseorang dan terdapat iklim atau lingkungan yang memungkinkan terjadinya
perilaku tertentu.
Menurut Sahidu (1998) faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemauan
masyarakat untuk berpartisipasi adalah motif harapan, dan penguatan informasi. Faktor
yang memberikan kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi adalah pengaturan dan
pelayanan, kelembagaan, struktur dan stratifikasi sosial, budaya lokal, kepemimpinan,
sarana dan prasarana. Faktor yang mendorong adalah pendidikan, modal dan pengalaman
yang dimiliki. Terdapat tiga prinsip dasar dalam menumbuhkan partisipasi masyarakat
desa agar ikut serta dalam pembangunan, yaitu: (1) Learning process (learning by doing) :
Proses kegiatan dengan melakukan aktivitas kegiatan pelaksanaan program dan sekaligus
mengamati, menganalisa kebutuhan dan keinginan masyarakat; (2). Institusional
development. Melakukan kegiatan melalui pengembangan pranata sosial yang sudah ada
dalam masyarakat. Karena institusi atau pranata sosial masyarakat merupakan daya
tampung dan daya dukung sosial; (3) Participatory. merupakan suatu pendekatan yang
umum dilakukan untuk dapat menggali need yang ada dalam masyarakat (Marzali, 2003).
Menurut Hikmat (2001), pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang
sangat potensial dalam rangka peningkatan ekonomi, sosial dan transformasi budaya,
proses ini pada akhirnya dapat menciptakan pembangunan yang lebih berpusat pada
rakyat. Secara sederhana partisipasi mengandung makna peran serta seseorang untuk
sekelompok orang atau sesuatu pihak dalam suatu kegiatan atau upaya mencapai sesuatu
secara sadar diinginkan oleh pihak yang berperan serta tersebut. Bila menyangkut
partisipasi dalam pembangunan masyarakat, maka menyangkut keterlibatan secara aktif
dalam pengambilan keputusan, pelaksanaan, evaluasi dan menikmati hasilnya atas suatu
usaha perubahan masyarakat yang direncanakan untuk mencapai tujuan-tujuan
masyarakat (Sumardjo dan Saharudin (2003). Sedangkan menurut Bumberger dan Shams
23
tersebut bahwa dia berpeluang untuk berpartisipasi, 2). kemauan, sesuatu yang
mendorong atau menumbuhkan minat dan resiko, mereka untuk termotivasi
berpartisipasi, misalnya berupa manfaat yang dapat dirasakan atas partisipasinya tersebut,
dan 3). kemampuan, adanya kesadaran atau keyakinan pada dirinya bahwa dia
mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi, bisa berupa pikiran, tenaga, waktu atau
sarana dan material lainnya.
Dengan demikian partisipasi masyarakat adalah keterlibatan dan keikutsertaan
seseorang atau masyarakat untuk berperanserta melakukan kegiatan bersama -sama
dengan orang lain secara aktif dan sukarela dalam menentukan arah, strategi dan tujuan
pembangunan.
terhadap lingkungan, karena adanya perubahan yang bersifat fisik, kimiawi, maupun
biologis (Supardi, 1994). Pencemaran lingkungan mempunyai derajat pencemaran atau
tahap pencemaran yang berbeda, didasarkan pada konsentrasi zat pencemar, waktu
tercemarnya, lamanya kontak antara bahan pencemaran dengan lingkungan.
dioksida (CO2) dan metana (CH4), pada landfill tergantung banyaknya komponen
organik pada landfill, hara yang tersedia, kadar air pada sampah, tingkat kepadatan
sampah pada kondisi awal, waktu penimbunan dan lain- lain. Secara umum perolehan gas
N2, CO2, CH4 pada landfill dapat dihitung dengan melakukan perkalian antara volume
sampah pada landfill dengan nilai persen masing-masing gas, menurut jangka waktu
penimbunan sampah.
Sampah merupakan sumber beberapa jenis penyakit menular, keracunan dan lain-
lain (Slamet, 1994). Bahan beracun, bakteri, virus, jamur dan lain- lain yang ada dalam
timbunan sampah, dapat berpindah tempat ke tempat lain melalui proses lindi. Apabila
cairan dari sampah yang mengandung bibit penyakit masuk kedalam air permukaan,
maka air permukaan tersebut akan berperan sebagai penyebar mikroba patogen atau
penyakit menular di dalam air.
Ada empat hal penyebab pencemaran air tanah yaitu:
a. Bila jarak antara sumur dan jamban kurang dari 10 m untuk tanah biasa dan paling
dekat 15 m untuk tanah porus atau gembur.
b. Lokasi sumur tersebut sebelumnya merupakan lokasi sumber limbah rumahtangga
atau dekat industri atau bekas lokasi sampah (TPA).
c. Merembesnya air permukaan yang telah tercemar, WC dan air cucian ke dalam sumur.
d. Masuknya debu yang sudah tercemar ke dalam sumur terbuka.
Dari keempat sumber pencemaran air tanah yang berasal dari TPA merupakan
rembesan dari timbunan limbah di TPA sampah, dan merupakan sumber kontaminan
potensial bagi air permukaan, air tanah dangkal maupun air tanah dalam. Selanjutnya
Eugene (1987) mengemukakan bahwa lindi akan mencemari tanah, air tanah dan sungai.
Jadi tingkat pencemaran air yang disebabkan oleh lindi tergantung dari sifat lindi, jarak
aliran dengan air tanah dan sifat-sifat tanah yang dilaluinya. Oleh sebab itu untuk
26
menghindari pencemaran oleh lindi, sumber air sumur dangkal yang umumnya masih
digunakan oleh penduduk sebagai air minum harus terletak jauh dari sanitary landfill.
Pencemaran air dapat mengganggu tujuan penggunaan air dan akan menyebabkan
bahaya bagi manus ia melalui keracunan atau sumber dan penyebab penyakit. Daerah
perkotaan dengan tingkat aktivitas masyarakat dan industri yang demikian tinggi secara
bersamaan akan menghasilkan sampah sehingga membutuhkan tempat pembungan akhir
sampah kota yang perlu dikelola dengan baik agar dampak pencemarannya tidak
mempengaruhi masyarakat sekitarnya. Nitrat dalam hal ini merupakan pencemar utama
yang dapat mencapai air tanah dangkal maupun air tanah dalam yang diakibatkan oleh
aktivitas manusia termasuk dari penempatan sampah, Vasu at.al. (1998). Di samping itu
pergerakan air sangat mudah dipengaruhi oleh pengambilan air atau pemompaan air tanah
dangkal melalui sumur-sumur bor yang umumnya disiapkan oleh masyarakat untuk
memenuhi kebutuhannya.
Secara umum sumber pencemaran air tanah berasal dari tempat-tempat
pembuangan sampah, mudah meresap ke dalam tanah, sehingga sampah organik
merupakan sumber primer pencemaran bakteriologik (Bitton, 1984 dalam Wuryadi,
1990). Menurut Bouwer (1987) menambahkan, jarak aman dari bidang resapan adalah
30 meter untuk daerah di atas muka air tanah, dan 60 meter di bawah muka air tanah.
Bakteri patogen yang biasanya disebarkan melalui air adalah bakteri amuba
disentri, kolera dan tipus. Jumlah bakteri patogen dalam air umumnya sedikit
dibandingkan dengan bakteri coli (coliform), sehingga bakteri ini dipakai sebagai bakteri
indikator terhadap kualitas perairan karena jumlahnya banyak dan mudah diukur (Diana,
1992). Jenis bakteri coliform sebagai indikator adalah Escherichia coli dan Aerobacter
coli. Dari kedua jenis tersebut, yang lebih umum dan lebih banyak terdapat di perairan
atau tanah adalah jenis E. coli, yaitu sebagai indikator pencemar fecal (tinja), dihitung
berdasarkan MPN (most probabel number) (Saeni, 1991).
2.4. Pengertian-pengertian
A. Pengertian Sampah
Pengertian sampah dapat lebih jelas diketahui dengan mempelajari beberapa
pengertian. Sampah adalah istilah umum yang sering digunakan untuk menyatakan
limbah padat. Sedangkan limbah itu sendiri pada dasarnya adalah suatu bahan yang
27
terbuang atau dibuang dari suatu hasil aktivitas manusia, maupun proses-proses alam dan
tidak atau belum mempunyai nilai ekonomi, bahkan dapat mempunyai nilai ekonomi
yang negatif. Sampah mempunyai nilai negatif karena penanganan untuk membuang atau
membersihkannya memerlukan biaya yang cukup besar, disamping juga dapat mencemari
lingkungan (Sa’id, 1998).
Sampah (solid waste) adalah semua jenis bahan padat yang dibuang sebagai bahan
buangan, tidak bermanfaat atau barang-barang yang dibuang karena kelebihan
(Tchobanoglous et al., 1977). Pavoni menyatakan bahwa, sampah adalah semua bahan
buangan yang umumnya dalam bentuk padat, berasal dari manusia dan binatang yang
dibuang sebagai barang yang tidak berguna atau tidak dibutuhkan lagi. Sampah
merupakan segala bentuk buangan padat yang sebagian besar berasal dari aktivitas
manusia (domestik). menurut Hadiwijoto (1983), sampah domestik lebih banyak
didominasi oleh bahan organik, meskipun tipe dan komponennya berpartisipasi dari satu
kota ke kota lainnya, bahkan dari hari-kehari.
6). Sampah industri, dari kegiatan produksi, secara kuantitatif limbah ini banyak,
tetapi ragamnya tergantung jenis industri tersebut.
b. Berdasarkan sumbernya, sampah digolongkan dalam:
1). Sampah domestik (domestic waste).
Berasal dari lingkungan perumaha n, baik di perkotaan maupun pedesaan, ragam
sampah perkotaan lebih banyak, serta jenis sampah organiknya secara kuantitatif
dan kualitatif lebih kompleks. Sampah di pedesaan umumnya bahan-bahan organik
sisa produk pertanian, sedangkan sampah anorganiknya lebih sedikit.
2). Sampah komersial (commercial waste)
Tidak berarti sampah tersebut mempunyai nilai ekonomi, tetapi lebih merujuk
kepada jenis kegiatan yang menghasilkannya. Sampah komersial dari kegiatan
perdagangan, seperti toko, warung, restoran dan pasar atau toko swalayan.
Tabel 2: Sumber dan Jenis Sampah
Sumber Jenis, Fasilitas, Aktivitas, Lokasi Jenis Sampah
Timbulnya Sampah
Perumahan Rumah tinggal, apartemen atau Sisa makan, rubbish, abu,
rumah susun. sampah khusus.
Komersial Toko, restoran, pasar, bangunan Sisa makan, rubbish, abu, sisa
kantor, hotel, percetakan, toko bangunan, sampah khusus.
onderdil, perusahaan.
Fasilitas kesehatan Rumah sakit, puskesmas, Sisa makan, rubbish, sampah
poliklinik, apotik. khusus.
Perkotaan Rumah sakit, puskesmas, Sisa makan, rubbish, sampah
poliklenik, apotik. khusus.
Industri Bangunan, pabrik, penyulingan, Sisa makanan, rubbish , sisa atau
instalasi, kimia, pertambangan, bekas buangan, sampah khusus,
pembangkit tenaga. sampah berbahaya.
Lapangan terbuka Jalan, taman, tanah kosong, lapangan Sampah khusus rubbish.
bermain, pantai, jalan tol, tempat
rekriasi.
Industri pengolahan PDAM, IPAL, proses pengolahan Sampah dan instalasi lumpur
industri. residu.
Pertanian Hasil semua atau ladang, kebun, Sisa makanan membusuk,
peternakan. sampah perkotaan, rubbish,
sampah berbahaya.
Sumber: Tehobauoglous (1997).
a. Garbage, sisa pengolahan makanan yang mudah membusuk, misalnya koto ran dapur
rumah tangga, restoran, hotel dan lain- lain.
b. Rubbish, bahan atau sisa pengelolaan yang tidak mudah membusuk (mudah terbakar:
kayu, kertas, dan yang tidak mudah terbakar: kaleng dan kaca).
c. Ashes, ialah segala jenis abu hasil pembakaran kayu, batubara.
d. Segala jenis bangkai yang besar seperti kuda, sapi, kucing, tikus.
Street sweeping, ialah segala benda padat sisa sampah hasil industri, misal industri
kaleng dengan potongan-potongan sisa kaleng.
Menurut Sumirat (1994), jenis sampah dibagi atas dasar sifat-sifat biologi dan
kimianya, yaitu:
a. Sampah yang membusuk (garbage), yang mudah membusuk karena aktivitas
mikroorganisme.
b. Sampah yang tidak membusuk (refure), jenis ini terdiri dari kertas-kertas, logam,
karet, plastik dan lainnya yang tidak dapat membusuk.
c. Sampah yang berbentuk debu atau abu hasil dari pembakaran, baik pembakaran bahan
bakar, sampah jenis ini tidak membusuk, tetapi dapat dimanfaatkan untuk
mendapatkan tanah atau penimbunan.
d. Sampah berbahaya, adalah sampah karena jumlah, konsentrasi atau sifat kimiawi,
fisika dan mikrobiologinya dapat menimbulkan bahaya.
Jadi pada dasarnya sumber sampah dapat diklarifikasi beberapa kategori yang
berhubungan dengan tata guna tanah: permukiman penduduk, tempat-tempat umum,
tempat pardagangan, sarana pelayanan masyarakat milik pemerintah maupun swasta,
daerah industri, pertanian dan rumah sakit.
C. Pengelolaan Sampah
Pengelolaan sampah bertujuan mengubah sampah menjadi bentuk yang tidak
mengganggu dan menekan volume, sehingga mudah diatur. Cara pengelolaan sampah
yang dianggap terbaik saat ini adalah penimbunan dan pemadatan secara berlapis- lapis
(sanitary landfills), sampah tidak terbuka selama 24 jam karena apabila air hujan yang
terserap ke lapisan tanah dan melalui lapisan sampah akan membentuk cairan lindi, yang
mengandung padatan terlarut dan zat- zat lain hasil perombakan bahan organik oleh
mikroba. Lindi tersebut dapat mengalir bersama air hujan atau air permukaan dan
30
meresap kedalam lapisan- lapisan tanah dan masuk ke dalam air tanah (Clark, 1977).
Hasil analisis lindi oleh Department of Public Health, USA (1972) terdapat pada Tabel 3.
Pada Tabel 3 dijelaskan semakin lama umur lindi, konsentrasi zat pencemar
semakin berkurang, karena zat-zat tersebut telah mengalami penguraian oleh tanah. Ion
klorida (Cl¯) sebagai ion anorganik sulit teruraikan, baik melalui pertukaran ion, adsorbsi,
filtrasi, dan biodegradasi. Dalam hal ini ion Cl¯ dapat dipakai sebagai indikator terhadap
aliran lindi, secara tidak langsung dapat menimbulkan pencemaran terhadap air tanah,
khususnya air sumur gali (Slamet, 1994).
Tabel 3. Hasil Analisis Lindi Sistem Sanitary Landfill (ppm)
Umur Lindi
Parameter Satuan
2 Tahun 6 Tahun 17 Tahun
BOD5 mg/l 39 68.0 8 000.0 40.0
COD mg/l 54 610.0 14 080.0 225.0
Jumlah Padatan mg/l 9 144.0 6 795.0 1 198.0
Klorida (C1¯) mg/l 1 697.0 1 330.0 135.0
mg/l 900.0 810.0 74.0
Natrium (Na?) mg/l 5 500.0 6.3 0.6
Besi (Fe) mg/l 680.0 2.0 2.0
Sulfat (SO4²¯) mg/l 7830.0 2 200.0 540.0
Kesadahan mg/l 15.8 1.5 5.4
Logam-logam berat mg/l
UU &
Disiplin
PERDA Penghasil Sampah Kesadaran
(masyarakat)
Pengetahuan
Penyuluhan
Pengumpul Prilaku atau
Sampah Kebiasaan
Dinas Kebersihan Membuang Sampah
(Petugas Kebersihan)
Menurut Sa’id (1988), pengelolaan sampah adalah perlakuan atau tindakan yang
dilakukan terhadap sampah yang meliputi pengumpulan, pengangkutan, penyimpanan
dan pengolahan serta pemusnahan. Sedangkan menurut Soewedo (1983), pengelolaan
sampah adalah perlakuan terhadap sampah guna menghilangkan masalah yang berkaitan
dengan lingkungan.
Pengelolaan sampah didefinisikan sebagai suatu bidang yang berhubungan
dengan pengaturan terhadap penimbunan, penyimpanan, pengumpulan, pemindahan dan
pengangkutan, pemrosesan dan pembuangan sampah dengan cara yang sesuai dengan
prinsip -prinsip terbaik dari kesehatan masyarakat, ekonomi, teknik, perlindungan alam,
keindahan dan pertimbangan lingkungan lainnya dan juga mempertimbangkan sikap
masyarakat. Pengelolaan sampah adalah suatu proses mulai dari sumber sampai dengan
di buang ke tempat pembuangan akhir (TPA) dengan tidak menimbulkan kerusakan
lingkungan, mengganggu kelestarian dan sumberdaya alam.
Secara umum syarat pokok pengelolaan sampah, yaitu: penyimpanan atau
pewadahan, pengumpulan, pengangkutan dan pengolahan dan pembuangan akhir. Dari
beberapa syarat pokok tersebut, yang perlu mendapat perhatian adalah pengelolaan dan
pembuangan akhir sampah. Pengolahan sampah merupakan proses antara sebelum
dilakukan pembuangan sampah di TPA yang bersifat optimal. Teknik dan cara
pengolahan sampah dapat dilakukan dengan metode daur ulang, biologis (pembuatan
kompos), pemadatan dan insinerator.
32
c. Pemusnahan.
Menurut Partoatmodjo (1993), menyatakan pemusnahan dan pemanfaatan tersebut
sebagai berikut:
1) Sanitary landfill, membuang dalam lembah dan ditutup dengan selapis tanah,
yang dilakukan lapis demi lapis, sehingga sampah tidak berada di alam secara
terbuka.
2) Landfill, sampah dibuang dalam lembah tanpa ditimbun oleh lapisan tanah.
3) Open Dumping, membuang sampah di atas permukaan tanah.
4) Dumping in water, membuang sampah di perairan misalnya di sungai atau di laut.
5) Insiner asi, pembakaran sampah secara besar-besaran dan tertutup dengan
menggunakan insenerator.
6) Individual insenerator, pembakaran sampah dengan insenerator yang dilakukan
oleh perorangan dalam rumahtangga.
7) Hog feeding, sampah sayuran dijadikan untuk pakan babi.
8) Composting, pengelolaan sampah organik menjadi pupuk, yang bermanfaat
untuk menyuburkan tanah.
9) Discharge to sewers, sampah dihaluskan kemudian dibuang ke dalam saluran
air.
33
10) Pendaur ulangan sampah dengan cara memanfaatkan kembali barang- barang
yang masih bisa dipakai.
11) Reduksi, menghancurkan sampah menjadi bagian kecil-kecil dan hasilnya
dimanfaatkan.
tanaman, bau yang tidak sedap, masalah setelah penutupan landfill, pencemaran air tanah,
udara dan pencemaran global, El-fadil (1997).
Menurut El- fadil et al., (1997), dan Samom et al., (2002) hendaknya TPA
dioperasikan dengan sistem sanitary landfill yang dilengkapi dengan pemasangan
instalasi recovery gas, sistem pengolahan dan pengumpulan gas yang mencegah
pemindahan gas dari TPA atau emisi gas melalui permukaan landfill, penghalang hid rolik
seperti ekstraksi dan sumur pantauan, sumur relief dan parit perlindungan dan sistim
pengumpulan untuk masalah pengontrolan lindi. Selain itu untuk meminimisasi dampak
lingkungan jika mungkin diusulkan kepada pemerintah untuk mengadopsi sistem
pengubahan sampah menjadi energi karena tidak mungkin hanya dengan sanitary landfill
dapat menghilangkan semua pengaruh negatif sampah dan lingkungan.
D. Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
Pada era saat ini tempat pembuangan sampah akhir yang umum dipergunakan di
beberapa negara adalah dengan tanah urugan atau dikenal dengan landfill yang berfungsi
sebagai tempat pembuangan akhir (TPA). Menurut Tchobanoglous 1999, TPA adalah
suatu fasilitas fisik yang digunakan untuk pembuangan sisa limbah padat atau sampah
diatas permukaan tanah dari bumi. Akan tetapi saat ini istilah TPA mengacu pada
rekayasa fasilitas untuk pemusnahan limbah padat kota yang dirancang dan dioperasikan
untuk meminimumkan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan.
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang dikenal dengan sanitary landfill adalah
sistem pembuangan sampah dengan cara dipadatkan dan ditutupi serta dilapisi tanah
setiap hari. Di dalam sistem TPA akan terjadi proses dekomposisi sampah secara kimia,
biologi, dan fisik yang menghasilkan gas-gas dan bahan organik lainnya. Air hujan yang
jatuh pada lokasi TPA akan berinfiltrasi ke dalam sistem sampah dan melarutkan hasil
dekomposisi ini berupa cairan yang disebut air lindi, komposisi air lindi bervariasi antara
satu lokasi dengan lokasi lainnya, Widyatmoko dan Sintorini (2002).
Menurut Novotny dan Olem (1994) saat ini Tempat Pembuangan Akhir termasuk
sumber pencemaran air tanah utama di dunia setelah tanki septik dengan perhitungan saat
itu di Amerika Serikat hanya 6 % dari seluruh sanitary landfill yang tidak menyebabkan
masalah lingkungan dan beroperasi secara baik. Hal ini didukung oleh Freeze and Cherry
(1979) yang menyatakan bahwa kontaminasi air tanah oleh bahan organik yang dapat
35
bergerak akan menjadi masalah yang sangat serius. TPA Bantar Gebang, pada prinsipnya
merupakana suatu landfill yang dirancang dan dikonstruksikan secara modern,
pengumpulan lindi dan pengolahannya pada 4 kolam aerasi.
E. Lindi
Masalah yang timbul dalam pengurugan atau penimbunan sampah ke dalam tanah
adalah kemungkinan pencemaran sumber air oleh lindi. Tchobanoglous (1977)
menyatakan lindi merupakan limbah cair atau cairan yang melalui timbunan sampah yang
mengekstrak bahan yang terlarut atau tersuspensi di dalamnya. Cairan tersebut berasal
dari dekomposisi sampah dan dapat juga berasal dari sumber luar, seperti aliran air
permukaan, air hujan, air tanah dan air yang berasal dari mata air bawah tanah.
Pengertian lain lindi adalah limbah cair yang timbul akibat masuknya air eksternal ke
dalam timbunan sampah, melarutkan dan membilas zat-zat terlarut, termasuk juga zat
organik hasil proses dekomposisi biologis (Damanhuri, 1995). Jadi dapat disimpulkan
bahwa lindi adalah cairan yang timbul akibat masuknya air eksternal ke dalam timbunan
sampah, melarutkan dan membilas zat- zat terlarut. Cairan tersebut mengandung bahan
organik yang tinggi sebagai hasil dekomposisi sampah dan juga berasal dari proses
infiltrasi dari air limpasan.
Air lindi merupakan bahan cair yang timbul pada bagian bawah sanitary landfill,
yang jumlahnya tergantung pada berbagai faktor seperti: curah hujan, kemiringan dan
jenis lapisan tanah penutup, kepadatan sampah, kelembaban sampah dan kondisi
lingkungan sanitary landfill. Debit air lindi berhubungan positif dengan besarnya curah
hujan, air lindi yang akan timbul diperkirakan sebesar 50 persen, pada proses
penimbunan dan 20 persen setelah penimbunan. Fasilitas air lindi diharapkan dapat
menampung jumlah air lindi pada bulan-bulan basah, yakni bulan Januari dan Februari
(Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2002). Menurut Chen (1975), komposisi lindi bervariasi
karena proses pembentukan lindi dipengaruhi oleh macam buangan (zat organik atau
anorganik), mudah tidaknya peruraian (larut atau tidak larut), kondisi landfill (suhu, pH,
potensial redoks, kelembaban, umur); karakteristik sumber air (kuantitas dan kualitas);
komposisi tanah penutup.
36
Pengaruh sanitary landfill adalah pencemaran air tanah dan air permukaan, terjadi
bila sanitary landfill berdampingan dengan badan air, jika air hujan jatuh di atas
permukaan landfill, meresap dan turun melalui lapisan kedap air ke badan air yang lebih
rendah. Pembentukan lindi akibat air hujan tidak dapat dihindari pada awal pengisian
sampah. Setelah lindi melalui tanah pada kedalaman beberapa meter kontaminasi
bakteriologis tidak ditemui lagi. Suspensi yang terdapat di dalam lindi dapat terbawa
sampai ke dalam tanah yang lebih jauh, sehingga menyebabkan pencemaran air tanah
(Thank, 1985).
Air lindi akibat proses degradasi sampah dari TPA merupakan sumber utama yang
mempengaruhi perubahan sifat fisik air, suhu air, rasa, bau dan kekeruhan. Suhu limbah
yang berasal dari lindi umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan air penerima. Hal ini
dapat mempercepat reaksi kimia dalam air, mengurangi kelarutan gas dalam air,
mempercepat pengaruh rasa dan bau (Husin dan Kustaman, 1992). Sedangkan Menurut
Schmeider (1970), untuk menghindari pencemaran oleh lindi, maka tempat pembuangan
akhir sampah, harus terletak jauh dari kantong air dan memiliki lapisan kedap air,
sekurang-kurangnya 3 meter di atas permukaan air tanah tertinggi. Selanjutnya
Environmental Protection Agency (1977), menyarankan lokasi pengelolaan sampah harus
menjauhi jaringan drainase, terletak di garis pantai terluar (batas pasang 10 tahun) dan
jauh dari badan air, minimal 300 meter dari air permukaan.
Permasalahan TPA yang memerlukan penanganan khusus dari operasi sistem
TPA ini adalah mengusahakan agar air lindi tidak meresap ke dalam sistem air tanah
dangkal supaya tidak mencemari lingkungan. Pada prinsipnya pada TPA telah disiapkan
unit pengolah air lindi yang dikumpulkan sebelum dibuang ke sistem air permukaan.
Pada kondisi normal air lindi ditemukan pada dasar TPA dan bergerak melewati lapisan
dasar yang juga tergantung pada sifat-sifat bahan sekitarnya. Pengelolaan lindi dapat
dilakukan dalam beberapa metode secara umum yaitu: pengurangan secara alami oleh
tanah, menghambat pembentukan lindi, pengumpulan dan pengolahan, perlakuan
pendahuluan untuk mengurangi volume dan kelarutan, dan detoksifikasi limbah
berbahaya sebelum dibuang ke saluran.
37
Dalam pene litian ini dikumpulkan data primer dan data sekunder. Data primer
melalui survai dan wawancara langsung di lokasi TPA dengan responden di Kelurahan
Sumur Batu, Ciketing Udik, Cikiwul, Aparat Kecamatan Bantar Gebang, para pakar dan
stakeholder yang terkait dengan TPA. Dalam satu kelurahan dilakukan kegiatan lapangan
meliputi: kegiatan wawancara pada aspek karakteristik responden, sosial ekonomi dan
tanggapan responden terhadap keberadaan TPA. Pertanyaan prospektif di peruntukkan
sebagai kemungkinan pemanfaatan TPA di masa mendatang, faktor dan kreteria yang
mempengaruhi dan variabel skor dari pertanyaan tersebut, sedangkan data sekunder
dikumpulkan melalui penelusuran berbagai pustaka yang ada.
A. Data Primer
a. Fisik dan Kimia
gambaran umum serta data pelengkap lain, diperoleh melalui Dinas Kebersihan DKI
Jakarta dan Pemda Kota Bekasi.
Alat yang digunakan pH meter, turbidimeter, untuk pengukuran parameter kimia
digunakan alat spektrofotometer kecuali zat organik (KMnO4 ) menggunakan metode
titrasi.
1). Air sumur
Untuk mengetahui kualitas air sumur penduduk, maka pengelolaan dan
pengukuran sampel dilakukan pada saat musim hujan dan musim kemarau, parameter
sesuai Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 416/Menkes/Per/IX/1990 seperti
Tabel 4.
Tabel 4. Kualitas Air Sumur di TPA Bantar Gebang
Parameter Satuan Peralatan Metode Analisis
Fisika :
Suhu ºC Termometer Pemuaian air raksa
Bau - -
Rasa -
Kekeruhan FTU Turbidimeter Turbidimetrik
Kimia:
Zat padat terlarut mg/l Timbangan analitik Gravimetrik
pH - pH-Meter Potensiometrik
DO mg/l DO-Meter Potensiometrik
BOD5 mg/l Buret Titrimetrik
mg/l Buret Titrimetrik
COD
mg/l Spektrofotometer Spektrofotometrik
Amonia N-NH3 mg/l Spektrofotometer Spektrofotometrik
Nitrat-N
mg/l Spektrofotometer Spektrofotometrik
Nitrit-N
mg/l Buret Titrimetrik
Kesadahan (CaCO3 )
Klorida mg/l Buret Titrimetrik
mg/l Buret Titrimetrik
Sulfida
Fosfat mg/l Spektrofotometer Spektrofotometrik
mg/l Spektrofotometer Spektrofotometrik
Besi (Fe)
mg/l Spektrofotometer Spektrofotometrik
Timbal (Pb)
Mikrobiologi:
Coliform MPN/100ml Tabel MPN MPN
E. coli MPN/100ml Tabel MPN MPN
Sumber: Permenkes RI No.416/Menkes/Per/IX/1990
Keterangan: ( - ): Tidak ada satuan
39
Titik pengambilan sampel berdasarkan aliran air tanah, diambil dari pompa
atau sumur-sumur penduduk di Kelurahan Cikiwul, Ciketing Udik dan Sumur Batu,
radius 200 m dari lokasi TPA, pada empat penjuru lokasi yaitu timur, barat, utara dan
selatan dari TPA. Untuk masing-masing lokasi sampel diambil satu titik sehingga
akan didapatkan empat sampel air sumur.
2). Air Permukaan (sungai)
Untuk mengetahui kualitas air sungai, maka sungai yang dijadikan sampel
adalah sungai Ciketing, lebar sekitar 2 m, debit air 0.409 m³ /detik. Pengambilan
sampel didasarkan pada sistem aliran air dari hulu sungai menuju hilir sungai atau
dari tempat yang tinggi menuju ke tempat yang rendah. Sampel diambil pada aliran
sungai sebelum memasuki wilayah TPA dianggap sebagai hulu sungai dan aliran
sungai sesudah melewati wilayah TPA dianggap sebagai hilir sungai, sehingga akan
didapatkan dua sampel air sungai.
Parameter kualitas air sesuai dengan Baku Mutu Keputusan Gubernur Jawa
Barat No.8 tanggal 12 Juni 1991 (Tabel 5).
Tabel 5. Kualitas Air Sungai Ciketing
Parameter Satuan Metode Analisis
Fisika
Padatan terlarut mg/l Gravimetrik
Warna PtCo
Kekeruhan FTU Turbidimetrik
Kimia
pH - pH meter
Besi (Fe) mg/l Potensiometrik
Mangan terlarut (Mn) mg/l SNI-M-63-1990-03
Tembaga (Cu) mg/l SNI-M-73-1990-03
Seng (Zn) mg/l SNI-M-73-1990-03
Krom heksava len mg/l AAS
Kadmium (Cd) mg/l SNI-M-35-1990-03
Air Raksa (Hg) mg/l AAS
Nikel (Ni) mg/l SNI-M-86-1990-03
Timbal (Pb) mg/l Spektrofotometrik
Sulfida mg/l Titrimetrik
Nitrat-N mg/l Spektrofotometrik
Nitrit-N mg/l Spektrofotometrik
BOD5 mg/l Titrimetrik
mg/l Titrimetrik
COD
Baku Mutu: Keputusan Gubernur Jawa Barat No.38 tgl 12 Juni tahun 1991.
40
b. Mikrobiologi Lingkungan
Jenis mikroorga nisme yang terdapat dalam lingkungan adalah: bakteri, virus,
protozoa, jamur, fungi, ganggang, cacing dan lain- lain. Jenis-jenis mikroorganisme yang
dapat berkembang baik dengan cepat dalam sampah adalah: bakteri, jamur, cacing.
Sampah merupakan sumber beberapa jenis penyakit menular, keracunan, dan lain- lain.
Beberapa jenis penyakit bawaan sampah dapat diperlihatkan pada Tabel 7.
Bahan beracun, bahan kimia, bakteri, virus, jamur dan lain- lain yang ada dalam
timbunan sampah, dapat berpindah tempat ke tempat lain melalui proses lindi. Apabila
cairan dari sampah yang mengandung bibit penyakit masuk ke dalam air permukaan,
maka air permukaan tersebut akan berperan sebagai penyebar mikroba patogen atau
penyakit menular di dalam air.
Tabel 7. Penyakit Bawaan Sampah
Nama Penyakit Penyebab
1. Penyakit bawaaan lalat: Shigella shigae
Dysentriae basilaris (disentri) Entamoeba histolytica
Dysentriae amoebica (disentri) Salmonella thypii
Thypus abdominalis (tifus) Vibrio cholerae
Kolera Ascariasis lumbricoides
Ascariasis (cacingan) Ascariasis duodenale
Ancylostomiasis (cacingan)
2. Penyakit bawaan tikus:
Pest Pasteurella pestis
Leptospirosis icterohaemonhagica Leptospira icterohaemonhagica
Rat bite fever Stretobacillus monilliformis
3. Keracunan:
Metana
Carbon monoxide, Dioxida
Hidrogen sulfide
Logam berat
Sumber: Juli (1994).
Penyakit menular yang disebabkan oleh air sering disebut penyakit bawaan air
Tabel 8. Jenis mikroba yang dapat menyebar lewat air antara lain adalah: bakteri, virus,
protozoa, dan lain- lain.
42
Data biologi khususnya penyebaran lalat diambil dari data primer, keberadaan
dan banyaknya lalat dapat dianggap sebagai cerminan keadaan sanitasi lingkungan.
Semakin banyak lalat, semakin menurun kondisi sanitasi lingkungannya, begitu juga
sebaliknya. Dengan kondisi ini, lalat dianggap sebagai indikator penyebaran vektor
beberapa penyakit yang berbahaya. Lalat diambil dengan metode grill net per satuan
waktu umpan lokasi ke arah Kelurahan Taman Sari 5 titik, Kelurahan Ciketing Udik 3
titik, Kelurahan Sumur Batu 5 titik dan Kelurahan Cikiwul 6 titik. Jarak pengambilan
sampel adalah 100 m sampai dengan jarak 600 m dari TPA, masing- masing diukur dalam
waktu 30 detik di lokasi yang berbeda di Kelurahan sekitar TPA, daerah permukiman,
pemulung yang sekaligus juga dipergunakan untuk tempat mencuci plastik bekas.
Tabel 8. Beberapa Jenis Penyakit Bawaan Air
Virus:
Diare pada anak Rotavirus
Hepatitis A V. Hepatitis A
Polio (myelitis anterior acuta) V. poliomyelitis
Bakteri:
Cholera Vibrio cholerae
Diare atau dysentrie Escherichia coli enteropatogenik
Typhus abdo minalis Salmonella typhi
Paratyphus Salmonella paratyphi
Dysenterie Shigella dysenteriae
Protozoa:
Dysenterie amoeba Entamoeba histolytica
Baiantidiasis Balantida coli
Giardiasis Giardia lamblia
Metazoa:
Ascariasis Ascaris lumbricoides
Clonorchiasis Clonorchis sinensis
Diphylobothriasis Diphyllobothrium latum
Taeniasis Taenia saginata
Schistosomiasis Schistosoma
Sumber: Juli (1994).
43
Pengukuran dan pengamatan distribusi lalat dilakukan pada jam 09.30 – 15.00
WIB, dengan asumsi pada jam tersebut lalat melakukan aktivitasnya. Keberadaan lalat
dipengaruhi oleh kondisi iklim, seperti musim dan curah hujan. Menurut Yulianto (2000),
aktivitas lalat akan tinggi pada waktu pukul 08.00 – 10.00 pagi sebagai kegiatan mencari
makan setelah beristirahat cukup lama pada malam hari. Menurut Keputusan Dirjen
P2MPLP Departemen Kesehatan RI Nomor 281-II/PD.03.04.LP tanggal 30 Oktober 1989
baku mutu jumlah keberadaan lalat adalah 30 ekor per grill.
c. Sosial Ekonomi Masyarakat
Keadaan sosial ekonomi, adalah pengaruh dari kegiatan pengelolaan sampah pada
warga atau masyarakat maupun pemerintah, di sekitar lokasi pengelolaan sampah seperti
Kelurahan Cikiwul, Ciketing Udik dan Sumur Batu. Pada umumnya keberadaan
pengelolaan sampah, menimbulkan dampak positif dan negatif secara langsung maupun
tidak langsung. Dampak positif secara langsung, ada tenaga kerja yang dapat tertampung,
dampak negatif secara langsung keberadaan pengelolaan sampah timbul masalah sosial.
Keberadaan pengelolaan sampah juga menimbulkan perubahan tingkat
perekonomian bagi pengelola, pemerintah, maupun warga di sekitar TPA. Perubahan
tingkat perekonomian karena adanya kegiatan pembangunan, pemeliharaan unit
pengelolaan sampah, yang memerlukan tenaga kerja atau sumber daya manusia yang
tersedia di sekitar TPA. Selain itu, bila penambangan TPA untuk pembuatan kompos dan
gas metana, maka pendapatan asli daerah (PAD) melalui retribusi dan pajak akan dapat
ditingkatkan.
Responden yang dipilih dilakukan secara acak sebanyak 50 orang, dilakukan pada
kelompok masyarakat sekitar TPA (non pemulung, pemulung), Aparat Kecamatan,
Lurah, tokoh masyarakat (formal dan informal) untuk mengetahui permasalahan terhadap
keberadaan dan pengelolaan TPA dan yang terkait di lapangan.
Variabel yang akan ditanyakan karakteristik, sosial ekonomi dan tanggapan
responden terhadap keberadaan TPA seperti:
1). Karakteristik responden
Pemilihan responden dengan melakukan kegiatan wawancara dengan
menggunakan daftar kuisioner yang dilakukan terhadap 50 orang responden, terdiri
44
Badan Meteorologi dan Geofisika Jakarta. Data sosial ekonomi penduduk dicatat dari
Biro Statistik, Kota Bekasi, Jawa Barat, sedangkan data kesehatan masyarakat dari
Puskesmas di Kecamatan Bantar Gebang, Bekasi.
3.3. Tahapan Kegiatan Penelitian
Perumahan
Potensi 5 zone
TPA Bantar Gebang
Industri
Kondisi
SosialEkonomi
TPA terhadap kualitas air dan masyarakat, (5) umur pemanfaatan TPA. Teknik Prospektif
untuk mengidentifikasi faktor- faktor yang mempengaruhi, menetapkan faktor dominan
dan merancang skenario yang mungkin terjadi di masa datang, sedangkan Proses Hierarki
Analitik (AHP) digunakan untuk pengambil keputusan.
A. Data Fisik Kimia
Analisis fisik -kimia dilaksanakan pada musim hujan dan musim kemarau, dengan
melakukan kegiatan analisis kualitas air sumur, air sungai dan air lindi. Pengujian yang
dipakai ialah pengukuran Biochemical Oxygen Demand (BOD) contoh dalam keadaan
aerobik pada suhu 20° C selama lima hari. Pengujian lain untuk melihat kandungan zat
organik dapat melalui Chemical Oxygen Demand (COD), jumlah karbon organik dan
oksigen terlarut (D.O). Parameter anorganik di dalam air dapat digambarkan dalam
bentuk salinitas, kesadahan, pH, keasaman, alkalinitas dan kandungan besi (Fe), mangan
(Mn), klorida (Cl?), sulfat (SO4²? ), sulfida ( S²¯ ), logam berat ( Hg, Pb, Cr, Cu, Zn ),
organik ammonia (N-NH3), nitrit (N-NO2), nitrat (N-NO3) dan orto fosfat (Suratmo,
1991):
a. Analisis Kualitas Air sumur
Data yang terkait dan diukur adalah suhu, pH air sumur, nitrat, nitrit, kadmium
(Cd), mangan (Mn), besi (Fe), bahan organik total dan kekeruhan (turbiditas).
Pengukuran suhu, pH dan turbiditas dilakukan di lapangan (in situ). Pada penelitian ini
metode yang dipakai disesuaikan dengan parameter yang diteliti. Data tersebut digunakan
untuk melakukan kajian potensi pencemaran air yang diakibatkan oleh keberadaan TPA
sampah.
Untuk menetapkan kelayakan air sumur sebagai bahan baku air minum,
ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup
Nomor Kep-02/MENKLH/I/1988, tentang Baku Mutu Air golongan B, dan Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 416/MENKES/IX/1990, tentang
persyaratan kualitas air minum.
47
discoring tersebut merupakan data yang diskontinyu (1,2,3 …n), karena itu metode
analisis yang digunakan analisis statistik non-parametrik.
Tujuan analisis adalah untuk mengetahui tingkat keeratan hubungan antar peubah
sosial ekonomi, maka digunakan model analisis korelasi, dengan pertimbangan hubungan
peubah sosial ekonomi tersebut bukanlah hubungan sebab akibat, melainkan hubungan
setaraf. Oleh karena itu dipilih metode Korelasi Rank Spearman (Siegel, 1990).
D. Umur Pemanfaatan TPA
Untuk menentukan umur TPA, dilakukan studi literatur tinggi tumpukan sampah,
luas pada seluruh zone serta laju penyusutan sampah. Data yang terkait dengan tinggi
tumpukan sampah dilakukan melalui studi literatur pada komponen luas dan ketinggian
sampah pada seluruh zone yang kemudia n dibandingkan antara ketinggian rencana
dengan ketinggian aktual. Sedangkan penyusutan sampah dan untuk mempridiksi
penurunan ketinggian sampah sesuai dengan dimensi umurnya serta untuk menghitung
umur pemanfaatan TPA digunakan studi literature .
E. Analitik Hierarki Proses (AHP)
Dengan AHP, proses keputusan kompleks dapat diurai menjadi keputusan lebih
kecil yang dapat ditangani dengan mudah antara lain: a). Penyusunan hierarki yaitu,
persoalan yang akan diselesaikan diuraikan menjadi kreteria dan alternatif, kemudian
disusun menjadi struktur hirarki; b). Penilaian kriteria dan alternatif dinilai melalui
perbandingan berpasangan. Menurut Saaty (1983) dalam Marimin 2004, untuk berbagai
persoalan, skala 1 sampai 9 adalah skala terbaik dalam mengespresikan pendapat. Nilai
dan definisi pendapat kualitatif dari skala seperti Tabel 9.
Tabel 9: Nilai dan Definisi Pendapat Kualitatif
Nilai Keterangan
1. Kriteria atau alternatif A sama penting dengan kriteria atau
alternatif B.
3. A sedikit penting dari B
5. A jelas lebih penting dari B
7. A sangat jelas lebih penting dari B
9. Mutlak lebih penting dari B
2,4,6,8 Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan
49
F. Teknik Prospektif
Setelah diketahui kondisi lingkungan di sekitar TPA berdasarkan pengujian
laboratorium untuk kualitas air sumur, sungai, lindi, biologi dan sosial ekonomi serta
kesehatan, maka untuk menentukan skenario pemanfaatan TPA masa mendatang
dilakukan modeling, dengan metode analisis prospektif yang akan menentukan partisipasi
masyarakat serta kelembagaannya dan kemungkinan pemanfaatan TPA masa depan.
Analisis prospektif dalam penelitian ini akan digunakan untuk mengidentifikasi faktor-
faktor yang mempengaruhi sistem, serta menetapkan faktor dominan dan skenario dalam
pemanfaatan TPA pascaoperasi berbasis masyarakat.
Menurut Hardjomidjojo (2002), Analisis Prospektif merupakan suatu jenis
analisis yang digunakan untuk melihat kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di waktu
yang akan datang. Analisis ini digunakan dengan tujuan (1) mempersiapkan tindakan
strategis, (2) melihat apakah perubahan dibutuhkan di masa depan. Di dalam melakukan
analisis berdasarkan jawaban responden, dengan langkah-langkah berupa:
a. Mengidentifikasi faktor penentu di masa depan, dengan cara:
1) Mencatat seluruh elemen penting;
2) Mengidentifikasi keterkaitan;
3) Membuat tabel untuk menggambarkan keterkaitan;
4) Memilih elemen kunci untuk masa depan.
b. Menentukan tujuan strategis dan kepentingan pelaku utama;
c. Mendefinisikan dan menggambarkan evolusi kemungkinan masa depan, dengan
tahapan sebagai berikut:
1) Mengidentifikasi bagaimana elemen kunci dapat berubah dengan menentukan
keadaan pada setiap faktor;
2) Memeriksa perubahan mana yang dapat terjadi bersamaan;
3) Menggambarkan skenario dengan memasangkan perubahan yang akan terjadi
dengan cara mendiskusikan skenario dan implikasinya.
Untuk melihat pengaruh langsung antar faktor dalam sistem, yang dilakukan pada
tahap pertama analisis prospektif digunakan matriks seperti pada Lampiran 1. Sedangkan
menentukan faktor dominan digunakan softwer analisis prospektif yang memperlihatkan
51
tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor di dalam sistem, dengan tampilan
seperti Gambar 4.
P
e Faktor Penentu Faktor Penghubung
n INPUT STAKES
g
a
r
u
Faktor Bebas Faktor Terikat
h UNUSED OUTPUT
Ketergantungan
A. Letak Geografi
SKALA 1:50.000
U
9
DKI
10
6
1
2
Kabupaten Bogor
Lokasi TPA
TPA Bantar Gebang dimiliki oleh Pemda DKI Jakarta yang ditujukan untuk
penyelenggaraan sistem pengolahan sampah dengan memperhatikan segi lingkungan,
dioperasikan tahun 1989 direncanakan mampu menampung sampah dari Jakarta dan
Kota Bekasi hingga tahun 2005 (Gambar 6).
b. Iklim
Keadaan iklim Kota Bekasi panas, tahun 2001 jumlah curah hujan yang relatif
tinggi hanya terjadi pada bulan Januari, Februari dan Maret yaitu masing- masing
tercatat 1.539 mm³, 1.094 mm³ dan 1.049 mm³. Jumlah curah hujan tertinggi tercatat di
Kecamatan Bekasi Utara pada bulan Januari yaitu 608 mm³ dengan jumlah hari hujan
selama 19 hari. Sedangkan jumlah curah hujan pada bulan lainnya di musim hujan rata-
rata kurang dari 400 mm³.
c. Penduduk
Jumlah penduduk Kota Bekasi 1.700.678 jiwa dengan luas wilayah 21.049 ha,
memiliki laju pertumbuhan penduduk alami 1,50 persen per tahun dengan laju
pertumbuhan penduduk migran 3,69 persen (Statistik Kota Bekasi dalam Angka, 1999).
Jumlah penduduk di Kecamatan Bantar Gebang berjumlah 99.766 jiwa yang terdiri dari
66.454 jiwa laki- laki dan 33.312 jiwa perempuan dalam 6.704 kepala keluarga,
kepadatan penduduk sebesar 22,36 jiwa per km². Jumlah dan perkembangan
penduduk di Kelurahan Sumur Batu, Cikiwul dan Ciketing Udik pada tahun 2001 setiap
bulannya bertambah, disebabkan banyaknya penduduk yang datang dari luar Bekasi,
seperti: dari Jakarta, Cirebon, Madura dan lain- lain (Tabel 11).
57
a. Karakteristik sampah
Sampah mempunyai karakteristik yang berbeda antara satu kota dengan kota
lainnya, tergantung dari sumber, tingkat sosial ekonomi penduduk dan iklim (Suryanto,
1988). Karakteristik untuk berbagai jenis sampah seperti nilai kalor dan kadar air
sampah dan kadar abu (Laboratorium Balai Pelatihan Air Bersih dan Penyehatan
Lingkungan, Departemen Kimpraswil, 2005), nilai kadar air sampah permukiman
45,93 %, pasar modern 36,59 %, sekolahan 31,31 %, dan industri 23,73 %. Nilai
kadar air tertinggi berasal dari sumber sampah pasar tradisional 56,58 %, hal ini
disebabkan adanya banyak komponen sampah yang memiliki kandungan air yang
cukup tinggi seperti kulit buah, sisa sayuran, dan buah yang sudah membusuk,
sedangkan kadar air terendah didapatkan dari sumber sampah yang bersumber dari
perkantoran 23,17 %, jenis sampah yang banyak ditemui umumnya kandungan air yang
rendah seperti karet, plastik, kertas dan logam.
59
b. Komposisi sampah
1). Komposisi fisik sampah DKI Jakarta adalah besarnya komponen pembentukan
sampah yang dihasilkan rata-rata terdiri dari sampah organik 65,05 %, kertas 10,11
%, kayu 3,12 %, kain dan tekstil 2,45 %, karet, kulit dan yang sejenis 0,55 %,
logam 1,90 %, kaca, gelas 1,63 %, baterai 0,28 %, plastik 11,08 %, tulang, kulit
telur 1,09 % dan lain- lain 2,74 % ( Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 1999). Data
Dinas Kebersihan 2004, jumlah sampah yang terangkut ke TPA Bantargebang
sebanyak 6.446.886 m³ Tabel 12.
60
Tabel 12. Jumlah sampah yang dibawa ke TPA Bantar Gebang Tahun 2004
No Sumber sampah Sampah per tahun (m³)
2). Komposisi kimia, adalah besarnya kandungan zat kimia yang terdapat dalam
sampah. Komposisi kimia berhubungan dengan alterna tif pemrosesan atau
pengolahan dan pilihan pemulihan (Suryanto, 1988).
Pada sistem sanitary landfill dan open dumping, komposisi kimia dapat
dimanfaatkan untuk mengetahui tingkat pencemaran yang ditimbulkan oleh lindi
terhadap air tanah. Umumnya komposisi kimia sampah terdiri dari zat karbon,
hidrogen, oksigen, nitrogen, sulfur dan fospor (C,H,O,N,S,P), serta unsur lainnya
yang terdapat dalam protein, karbohidrat dan lemak (Suryanto, 1988).
Kepadatan sampah menyatakan bobot sampah per satuan volume. Pada sistem
sanitary landfill, kepadatan sampah diperlukan untuk menentukan ketebalan lapisan
sampah yang akan dibuang pada sistem tersebut.
perhari, komposisi bahan organiknya serupa dengan kota-kota lain di Indonesia, antara
80 hingga 90 % dari total sampah organik dan anorganik (Tabel 13).
Tabel 13. Komposisi bahan organik dan anorganik di TPA Bantar Gebang
No Material Presentase
1. Kayu 5,70
2. Kertas 10,71
3. Tekstil 4,05
4. Organik (yang dapat membusuk) 65,96
Total Zat Organik 86,4
5. Plastik 8,24
6. Kaca 2,14
7. Logam 1,49
8. Lainnya 1,71
Sumber: Butler (2002).
Umur pemanfaatan TPA menyangkut faktor teknis dan sosial. Faktor teknis
dipengaruhi oleh dinamika faktor- faktor teknis, yakni luas zone, tinggi sampah, laju
penyusutan dan laju penimbunan sampah. Sedangkan faktor sosial menyangkut
toleransi masyarakat di sekitar TPA dengan kualitas lingkungan terutama dampak
lingkungan.
D. Kualitas Lingkungan
Kualitas lingkungan adalah keadaan lingkungan yang diindikasikan oleh tinggi
rendahnya batas kadar parameter pencemaran lingkungan, sehingga zat pencemar
berada dalam batas-batas toleransi dalam lingkungan.
Tinggi rendahnya batas kadar zat pencemar lindi dipengaruhi oleh tinggi
rendahnya atau fluktuasi debit air sungai sebagai media penerimanya. Fluktuasi debit
air sungai yang relatif stabil lebih diharapkan terjadi dan lebih baik dibandingkan
dengan debit yang sangat fluktuatif. Fluktuasi debit air ekstrim terjadi pada musim
hujan dan debit air sungai minimal musim kemarau. Fluktuasi debit air sungai yang
tajam tidak diharapkan, karena menimbulkan risiko banjir dan mempengaruhi
amplitudo konsentrasi zat pencemar dalam badan air sungai (Dinas Kebersihan DKI
2002).
62
Zat pencemar yang dianalisis adalah zat pencemar yang berada dalam perairan,
karena air merupakan komponen lingkungan yang sangat esensial untuk kehidupan.
Status zat pencemar relatif dapat menggambarkan karakteristik kegiatan manusia dalam
pengelolaan sumberdaya alam, khususnya di TPA dan wilayah yang diteliti, disamping
itu juga dapat menggambarkan keadaan alamiah dari lingkungan tersebut (Dinas
Kebersihan DKI, 2002). Standar yang digunakan untuk memahami karakteristik bahan
organik terhadap media air adalah BOD, COD, logam berat, dan mikroba.
Pengabaian dalam mengusahakan kehidupan yang lebih baik dari pemulung, akan
menimbulkan dampak ke arah hulu maupun hilir dalam konteks sosial ekonomi secara
luas ( Ken, 2002). Keberadaan pemulung di TPA Bantar Gebang yang setiap hari
bekerja mengambil sebagian sampah yang masih bernilai ekonomi untuk didaur ulang
atau digunakan kembali seperti plastik, kertas, kayu, botol dan sebaginya. Keberadaan
63
Menurut Samom et al., (2002) cara terbaik untuk pemisahan sampah pada
sumbernya yaitu dengan diberikan insentif keuangan, peraturan dan penciptaan
kesadaran lingkungan. Di Bangkok 90 % dari sampah padat dibuang dengan sistem
buangan terbuka, di sekitar TPA ada sejumlah toko-toko kecil (SSR) yang menjual
barang-barang bekas dari tempat sampah, barang-barang ini dikumpulkan dan dijual
oleh pegawai pengumpul dan pemulung. Jumlah barang yang diantarkan ke setiap SSR
ini sekitar 1-6 ton/hari. Total ton harian dari barang-barang yang dikumpulkan oleh para
pemulung diperkirakan sekitar 5 % dari jumlah sampah kota.
Menurut Usman (2003), dalam kajian dampak sosial paling tidak ada tiga alasan
mengapa aspek sosial diperlukan bagi para pengambil kebijakan. Pertama, keberadaan
suatu usaha atau kegiatan mempunyai dampak positif sekaligus negatif terhadap
kehidupan masyarakat di sekitarnya. Kedua, penilaian atau respon masyarakat terhadap
keberadaan suatu usaha atau kegiatan berubah-ubah. Sesuatu yang dianggap bermanfaat
oleh lapisan atau sekelompok lainnya, dan sesuatu yang dianggap baik pada kurun
waktu tertentu tidak dianggap baik pada kurun waktu tertentu tidak selamanya dianggap
baik pada kurun waktu selanjutnya. Ketiga, dalam kurun waktu yang sama, kehidupan
masyarakat boleh jadi bersentuhan dengan beberapa usaha atau kegiatan sekaligus.
Hasil yang diharapkan dari aspek sosial dalam kegiatan dampak lingkungan
adalah pengetahuan komprehensif tentang dampak suatu usaha atau kegiatan terhadap
kehidupan masyarakat di sekitarnya, dimanfaatkan untuk: (1). proses pengambilan
keputusan (khususnya dalam memperhitungkan resiko yang dihadapi. sedangkan (2).
memperbaiki kebijaksanaan (terutama menghilangkan hal- hal yang sudah terbukti
merugikan. Paling tidak terdapat 4 variabel kunci yang perlu dikaji sehubungan dengan
introduksi suatu usaha atau kegiatan, yaitu: keresahan sosial, konflik sosial (benturan)
dan integrasi sosial dari kelestarian nilai- nilai sosial. Keresahan sosial antara lain
ditandai oleh protes yang dilakukan oleh penduduk lokal (baik tertulis maupun lisan),
demonstrasi dan gerakan-gerakan politik lain yang dilandasi oleh ketidak puasan.
Apabila komentarnya itu terjadi, itu berarti dampaknya adalah negatif.
65
a. Peranserta masyarakat
Pada saat ini peranserta masyarakat dalam pengumpulan sampah di
koordinasikan oleh RT/RW, dengan pengadaan petugas gerobak sampah swadaya
masyarakat dan merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan oleh sistem
pengumpulan serta pengangkutan sampah yang diselenggarakan oleh Dinas Kebersihan.
Proses pengumpulan sampah sudah cukup besar, namun masih perlu ditingkatkan
terutama untuk proses pemilihan sampah organik dan anorganik, serta upaya
pengumpulan sampah di sumbernya.
b. Peranserta Swasta
Pada saat ini sektor swasta telah ikut berperan dalam pengelolaan sampah baik
dalam proses pengangkutan sampah, pengoperasian SPA dan TPA Bantar Gebang
berdasarkan sistem kontrak kerja. Peran sektor swasta ini masih perlu ditingkatkan
kearah investasi untuk pembangunan fasilitas pengelolaan sampah (SPA, TPA,
incinerator) termasuk pengoperasiannya agar mengurangi beban biaya pemerintah.
Peran swasta dalam pengembangan sistem pengelolaan sampah secara bertahap akan
diterapkan peran Dinas Kebersihan sebagai Regulator dimana secara bertahap pula
diharapkan peran swasta dan masyarakat setempat menjalankan operasionalisasi peran
operator per bidang yang diminati.
68
Peranserta sektor swasta yang selama ini telah berjalan dalam kegiataan-
kegiatan penyapuan jalan, pengangkutan sampah, pengoperasian SPA Cakung dan
pengoperasian TPA Bantar Gebang perlu terus ditingkatkan dan dikembangkan dalam
rangka pembinaan sektor swasta sebagai operator. Langkah selanjutnya adalah
mendorong sektor swasta untuk investasi dalam pembangunan dan pengoperasian
fasilitas pengolahan sampah termasuk prasarana dan sarana penunjangnya seperti ITF
(Intermediate Treatment Facility) suatu teknologi yang merubah bentuk, komposisi dan
atau mereduksi jumlah sampah atau residu yang harus dibuang ke TPA, Stasiun
Peralihan Antara (SPA) dan truk sampah (truk compector, truk Kapsul dan dump
truck). Akan tetapi, peningkatan peran sektor swasta ini jangan bersifat monopolistik
dan kapitalistik, namun harus partisipatif dan bersifat pemerataan (memberi peran
berarti pada perusahaan kecil dan menengah termasuk para pemulung).
c. Pengelola TPA
Berdasarkan SK. Gubernur Nomor 15 tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Dinas Kebersihan Propinsi DKI Jakarta, Struktur Organisasi Dinas Kebersihan
saat ini seperti pada Gambar 9, dengan kegiatan sebagai berikut:
a. Dinas Kebersihan terdiri dari 6 Sub Dinas, 1 Bagian, 18 Seksi, 5 Sub-Bagian, dan 1
Unit Pelaksana Teknis;
b. Sub Dinas Kebersihan masing- masing terdiri dari 6 Seksi dan 1 Sub-Bagian;
c. Ditiap Kecamatan terdapat 1 Seksi, dan tiap Kelurahan terdapat 1 Sub-Seksi;
d. Jumlah petugas Dinas Kebersihan terdiri dari 3.633 orang pegawai dan 2950 orang
pegawai harian lepas. Terdapat 6.656 orang petugas gerobak swadaya masyarakat
(Dinas Kebersihan Propinsi DKI Jakarta, 2005).
Sedangkan TPA Bantar Gebang telah melaksanakan hal penting dalam
pengelolaan lingkungan antara lain:
a. Pelapisan tumpukan sampah oleh tanah merah (soil cover) telah dilakukan hampir di
seluruh zone, kecuali pada zone yang aktif (adanya kegiatan pengumpulan sampah).
b. IPAS konstruksinya telah direhabilitasi, namun proses pengolahannya sedang dalam
penyempurnaan. Proses pengolahan sudah terlihat adanya keterpaduan antara
perlakuan fisik, kimia, dan biologi.
c. Penertiban TPA liar dan diupayakan bekas TPA tersebut dilapisi oleh tanah merah.
69
a. Kekeruhan
Kekeruhan dapat menggambarkan tingkat penetrasi cahaya ke dalam perairan,
Pescod (1973). Tingkat kekeruhan dipengaruhi oleh padatan tersuspensi dan koloid
yang terkandung di dalam perairan. Secara tidak langsung kekeruhan dapat
mempengaruhi produktivitas perairan. Nilai kekeruhan yang tinggi akan mengurangi
penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan, sehingga proses fotosintesis akan
berlangsung pada lapisan air yang lebih tipis, dengan demikian produktivitas perairan
akan semakin menurun. Kekeruhan juga dapat mempengaruhi kehidupan ikan dan
organisme air lainnya, derajat kekeruhan yang tinggi akan mengganggu organ-organ
pernapasan atau alat penyaring makanan dari organisme air, sehingga dapat
mengakibatkan kematian.
Menurut Saeni 1988, kekeruhan terjadi karena adanya bahan tersuspensi yang
bervariasi dari ukuran koloidal sampai dengan dispensi kasar, tergantung pada derajat
turbilansinya. Bahan tersuspensi tersebut terdiri dari bahan organik dan anorganik yang
berasal dari limbah domestik, limbah industri dan juga dari erosi. Pengukuran
kekeruhan biasa dipakai JTU (Jeckson Turbidity Unit) dan NTU (Nephelometric
Turbidity Unit) Gambar 10.
perlindungan pada kuman. Pada air yang mengandung zat organik dan anorganik,
mikroorganisme dapat berkembang dan hidup baik. Oleh karena itu bakteri terdapat
pada semua sistem air yang dapat merugikan atau tidaknya tergantung pada kondisi
optimum yang menunjang pertumbuhannya. Penyimpangan terhadap standar kualitas
yang telah ditetapkan yaitu 25 NTU (Nephelometric Turbidity Units) akan
menyebabkan gangguan estetika dan mengurangi efektivitas desinfeksi air. Temuan
hasil penelitian terhadap kualitas air sumur penduduk yang berada di Kelurahan
Ciketing Udik yang terletak di atas dari TPA dengan parameter kimia- fisika dan biologi
dapat dilihat pada Tabel 15.
Kekeruhan yang terjadi di sumur atas dan sumur bawah berfluktuasi cukup tajam,
kekeruhan air sumur bawah dari TPA dan yang di atas wilayah TPA pada tanggal 2
Oktober 2004 masing- masing adalah 1 NTU dan 15 NTU (Tabel 15 dan 16). Air sumur
yang dibawah dari TPA jauh lebih keruh daripada air sumur yang di atas wilayah TPA.
Bila dihubungkan dengan DO, maka kekeruhan ini konsisten dengan konsentrasi DO
72
yaitu air sumur yang di bawah dari wilayah TPA mempunyai DO lebih kecil dari pada
air sumur yang di atas dari wilayah TPA.
Kekeruhan air sumur pada tanggal 23 Oktober 2004 menunj ukkan peningkatan
tingkat kekeruhan baik air sumur yang dibawah TPA maupun yang di atas dari wilayah
TPA, yaitu masing- masing 18 NTU dan 2 NTU. Hal ini menunjukkan bahwa
penyinaran sumur di bawah lebih banyak terpencar daripada sumur diatas pada tanggal
23 Oktober 2004, Tingkat kekeruhannya di atas BMAPSA – KEPMENLH yang
diperbolehkan, tetapi untuk sumur yang di atas dari wilayah TPA, dibawah yang
dianjurkan. Tingkat kekeruhan air sumur bawah pada tanggal 27 Nopember 2004
mengalami penurunan dibandingkan dengan kekeruhan pada tanggal 23 Oktober 2004,
yaitu masing- masing adalah 14 NTU dan 18 NTU (Tabel 16).
Kisaran kekeruhan air sumur di atas wilayah TPA secara keseluruhan selama
priode tanggal 2 Oktober 2004 sampai dengan 27 Nopember 2004 minimum adalah 1
NTU dan maksimum 2 NTU dan rata-ratanya adalah 1,7 NTU. Hal ini masih dibawah
BMPSA yang dianjurkan. Sedangkan kisaran kekeruhan air sumur yang dibawah dari
73
wilayah TPA pada periode yang sama adalah 14 – 18 NTU dengan rata-rata 15,66 NTU
yang berarti diatas BMPSA yang dianjurkan.
b. Suhu
Suhu air merupakan salah satu faktor ekologis yang berperan di lingkungan
perairan. Sifat-sifat kimia seperti kelarutan oksigen (DO) dan gas- gas lainnya,
kecepatan reaksi kimia dan daya racun bahan pencemar dipenga ruhi oleh suhu air.
Selain itu suhu air dapat mempengaruhi proses-proses fisiologis, susunan jenis dan
penyebaran organisme perairan. Berbagai faktor lingkungan dapat mempengaruhi suhu
air. Komposisi substrat, kecerahan, kekeruhan, pertukaran panas air dengan panas udara
akibat respirasi, musim, cuaca, kedalaman perairan, kegiatan manusia di sekitar
perairan maupun kegiatan dalam badan perairan itu sendiri dapat mempengaruhi suhu
perairan.
Ikan dan organisme air lainnya mempunyai daya adaptasi yang berbeda-beda
terhadap suhu air. NTAC (1968) mengemukakan bahwa ikan yang hidup di perairan
yang suhu airnya tidak pernah lebih dari 21,1 ºC dan langsung dipindahkan ke dalam
perairan bersuhu 32,2 ºC akan mengalami tekanan fisiologis yang dapat menyebabkan
kematian, jenis-jenis makanan ikan pada suhu tersebut merupakan titik mati karena
dalam tubuhnya yang mengatur metabolisme terdiri dari enzim yang rusak pada suhu
tinggi. Sedangkan menurut Pescod (1973) untuk menjamin kehidupan ikan dan
organisme air lainnya denga n baik, maka dianjurkan agar perubahan suhu air pada
perairan mengalir yang disebabkan oleh limbah bersuhu tinggi tidak lebih dari 2,8 ºC,
sedangkan untuk perairan tergenang tidak lebih dari 1,7 ºC.
Suhu merupakan parameter kualitas air yang berpengaruh dalam reaksi kimia dan
kelarut an gas dalam air. Suhu dipengaruhi oleh lingkungan, tanah dan udara serta
komponen-komponen fisik dalam air. Suhu merupakan parameter yang terpenting,
karena erat hubungannya dengan kehidupan dalam air. Suhu berpengaruh terhadap
kelarutan oksigen, kekeruhan, kecepatan reaksi kimia dan kehidupan organisme di
dalamnya. Hasil pengukuran suhu air sumur di atas dan bawah dari TPA seperti pada
Tabel 15 dan 16, menunjukan bahwa berada di atas kadar maksimum yang
diperbolehkan, yaitu + 3° C menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 416
Tahun 1990 tentang syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air.
74
Kisaran air sumur atas dari wilayah TPA periode tanggal 2 Oktober sampai dengan
tanggal 27 Nopember 2004 minimum adalah 23,8 °C dan maksimum 27,7 °C dan rata-
ratanya adalah 26,1 °C, diatas baku mutu yang dianjurkan. Sedangkan kisaran suhu air
sumur yang berada dibawah dari TPA pada periode yang sama adalah 22,8 – 27,0 °C
dengan rata-rata 25,46 °C yang berarti masih diatas baku mutu.
c. Kemasaman (pH)
Kualitas air sumur juga ditentukan oleh kemasaman (pH), nilai pH dapat
mempengaruhi pertumbuhan mikroba dalam air, oleh sebab itu menjadi penting untuk
mengetahui parameter pH air sumur di lokasi penelitian, khususnya perkembangan
dalam 5 tahun terakhir, seperti pada Gambar 11.
12
10
Sumur Bawah
pH
6
Sumur Atas
0
2000 2001 2002 2003 2004
Tahun
mentolerir lingkungan perairan yang mempunyai kisaran pH antara 4,0 - 11,0, namun
suatu perairan yang produktif dan ideal bagi kehidupan akuatik adalah perairan yang pH
airnya berkisar antara 6,5 -8,5 NTAC (1968).
Perkembangan pH air sumur di lokasi penelitian tidak terlalu berbeda jauh dari
tahun 2001-2004, kecuali air sumur bawah pada tahun 2001 yang mengalami
peningkatan pH menjadi 10 setelah sebelumnya bernilai 6,60 (Gambar 11). pH air
sumur bawah ini mendekati sangat basa, dan tidak aman untuk dikonsumsi sebagai air
minum oleh masyarakat. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.
416/Menkes/Per/X/1990, tanggal 3 September 1990, pH air sumur bawah dan atas di
tahun 2002-2004 masih berada di bawah ambang batas yang diperbolehkan 6-9.
Secara keseluruhan kisaran pH sumur dalam periode tanggal 2 Oktober sampai
dengan tanggal 27 Nopember 2004 untuk sumur di atas TPA adalah 6,69 – 6,81 dengan
rata-rata 6,74, sedangkan sumur di bawah TPA adalah 6,55-6,88 dengan rata-rata 6,71.
Secara keseluruhan pH sumur di atas maupun di bawah TPA masih dalam batas-batas
normal BMAPS-MENKLH.
Secara keseluruhan TDS sumur atas maupun di bawah dari TPA masih berada dibawah
ambang batas yang di perbolehkan.
e. Chemical Oxigen Demand (COD)
COD (Chemical Oxigen Demand) jumlah oksigen dibutuhkan untuk mengoksidasi
bahan-bahan kimia di dalam sistem air. Untuk mengetahui jumlah kandungan bahan
organik di dalam air dapat dilakukan dengan uji yang berdasarkan reaksi kimia dari
suatu bahan oksidan, yaitu merupakan uji yang dapat menentukan jumlah oksigen yang
dibutuhkan oleh bahan oksidan, misalnya kalium dikromat untuk mengosidasi bahan-
bahan organik yang terdapat di dalam air. Jika nilai COD melebihi kadar batas
maksimum yang diperbolehkan (10 mg/l) maka akan mengakibatkan sakit perut. COD
adalah kebutuhan oksigen yang ekivalen untuk mengoksidasi senyawa-senyawa kimia
yang dapat dibiodegradabel, Radojevic dan Bashkin, (1999). Nilai COD dapat
digunakan memperkirakan jumlah berbagai senyawa ano rganik dalam limbah cair. Juga
dapat digunakan menentukan nilai BOD pada proses karbonatasi, yaitu dapat
mengoksidasi berbagai senyawa anorganik dengan menggunakan senyawa permenganat
atau dikromat atau dikromat sebagai oksidator. Hasil pengukuran COD pada air sumur
di bawah dan atas dari TPA seperti pada Tabel 15 dan 16.
Kisaran COD air sumur atas dari wilayah TPA periode tanggal 2 Oktober sampai
dengan 27 Nopember 2004 adalah 5,44-11,6 mg/l dengan rata-rata 7,83 mg/l,
sedangkan sumur di bawah wilayah dari TPA adalah 8,99-11,05 mg/l dengan rata-rata
9,72 mg/l. Secara keseluruhan COD rata-rata sumur atas maupun sumur bawah dari
TPA masih berada dibawah ambang batas yang di perbolehkan.
Berdasarkan Tabel 15 dan 16, maka nilai kandungan COD di sumur atas dan
bawah dari TPA berada masih di bawah ambang batas yang diperbolehkan (10 mg/l,
menurut Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor
Kep.02/MENKLH/I/1998 tentang Baku Mutu Air pada Sumber Air menurut Golongan
Air).
f. Kesadahan
Kesadahan air disebabkan oleh adanya mineral dari kation logam bervalensi dua
dalam jumlah yang berlebihan. Biasanya yang menimbulkan kesadahan adalah kation
Ca dan Mg. Air yang mempunyai kesadahan tinggi melebihi kadar maksimum yang
diperbolehkan yaitu 500 mg/l menimbulkan efek: a). mengurangi efektivitas sabun; b).
77
menyebabkan lapisan karak pada alat-alat dapur yang terbuat dari logam; c). merupakan
masalah pada ketel pemanas yang akan menyebabkan karat sehingga menyumbat pipa
dan berdampak mengurangi efesiensi pemanasan; d). kemungkinan terjadinya ledakan
pada boiler; dan e). sayuran menjadi keras apabila dicuci dengan air yang sadah. Dari
hasil pengukuran kesadahan air sumur di bawah dan atas dari TPA seperti pada Tabel
15 dan 16.
Kesadahan air sumur di bawah wilayah TPA pada tanggal 2 Oktober 2004 adalah
38,7 mg/l dan yang diatas dari wilayah TPA adalah 66,4 mg/l atau lebih tinggi 27,7
mg/l. Perbedaaan konsentrasi kesadahan ini diduga karena perbedaan dari konsentrasi
ion Ca²? pada sumur-sumur tersebut. Konsentrasi ion Ca²? dan ion Mg²? pada sumur
yang diatas dari wilayah TPA lebih tinggi daripada sumur yang dibawah dari TPA.
Kesadahan air sumur pada tanggal 23 Oktober 2004 masing- masing untuk sumur
dibawah wilayah TPA dan yang diatas wilayah TPA adalah 45,6 mg/l dan 70,3 mg/l.
Kesadahan air sumur di bawah dari TPA dan atas dari TPA masing- masing pada
tanggal 27 Nopember 2004 adalah 44,3 mg/l dan 598,3 mg/l jauh lebih tinggi daripada
kesadahan tanggal 23 Oktober 2004. Kesadahan pada tanggal 27 Nopember 2004 ini
merupakan yang tertinggi untuk sumur yang di atas TPA (Tabel 15 dan 16). Secara
keseluruhan kisaran kesadahan sumur yang di bawah TPA adalah 38,7 mg/l dan 45,6
mg/l dengan rata-rata adalah 42,6 mg/l. Kisaran kesadahan sumur yang di atas TPA
adalah 66,4 mg/l dan 598,3 mg/l dengan rata-rata 245 mg/l. Kualitas air sumur juga
ditentukan oleh nitrat, oleh sebab itu menjadi penting untuk mengetahui parameter
nitrat air sumur di lokasi penelitian.
g. Nitrat (NO3¯ )
Nitrat (NO3¯ ) merupakan salah satu senyawa nitrogen yang paling stabil
dibandingkan dengan nitrit dan ammonia. Sanropie at.al. (1989) mengemukakan bahwa
kandungan nitrat dalam jumlah besar di dalam usus cendrung untuk berubah menjadi
nitrit yang dapat bereaksi langsung dengan haemoglobine dalam darah sehingga dapat
menghalangi perjalanan oksigen di dalam tubuh. Nitrogen merupakan komponen utama
protein yang penting bagi pertumbuhan organisme. Di perairan nitrogen terdapat dalam
bentuk gas (N2), nitrit, nitrat, ammonia dan ammonium. Nitrogen dalam bentuk
senyawa nitrat mudah diserap oleh organisme nabati. Senyawaan ini terdapat dalam
78
perairan alami sebagai garam- garam yang terlarut, tersuspensi atau dalam bentuk
endapan, Saeni (1989). Setiap organisme (alga dan fitoplangton) membutuhkan kadar
nitrat yang berbeda. Namun nilai nitrat optimum yang dibutuhkan bagi pertumbuhan
alga dan fitoplangton umumnya berkisar antara 0,3-1,7 ppm, sedangkan nilai nitrat
yang dapat memberikan faktor pembatas bagi pertumbuhan alagae dan fitoplangton
berkisar antara 0,1 ppm sampai kurang libih 45 ppm.
Perkembangan nitrat air sumur di lokasi penelitian mengalami penurunan tajam
pada tahun 2001 dan 2003 (Lampiran 16 dan 18). Setelah terjadi peningkatan kadar
nitrat pada air sumur bawah dari sebelumnya 6,34 mg/l tahun 2000 menjadi 9,48 mg/l
tahun 2001, dan penurunan kadar nitrat dari 9,20 mg/l menjadi 7,64 mg/l, maka secara
drastis terjadi penurunan kadar nitrat di tahun 2003 menjadi 1,68 mg/l untuk sumur
bawah dan 2,42 mg/l untuk sumur atas. Kadar nitrat mengalami sedikit peningkatan
pada tahun 2004, namun masih di bawah ambang batas yang diperbolehkan
berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 416/Menkes/Per/X/1990, tanggal 3
September 1990.
Nitrat sumur bawah TPA konsentrasi pada tangga l 2 Oktober sampai dengan
tanggal 27 Nopember 2004 kisaran 1,663 – 1,879 mg/l, nilai rata-rata 1,744 mg/l,
sedangkan sumur di atas TPA kisaran 2,245-2,804 mg/l dengan nilai rata-ratanya 2,609
mg/l, ini berarti pada sumur tersebut yang diatas maupun di bawah TPA sudah tercemar
NH3?. Keberadaan nitrat dalam air sumur baik di atas dan dibawah dari TPA terjadi
akibat proses nitrifikasi yaitu pemberian oksigen pada ammonia menjadi nitrat dan nitrit
oleh bakteri dalam suasana aerob (Sugiarto, 1987). Untuk air minum N-NH3
konsentrasinya harus 0. Untuk itu air sumur disekitar TPA sebaiknya tidak untuk
dikonsumsi.
h. Besi (Fe)
Besi (Fe) dalam jumlah kecil dibutuhkan oleh tubuh untuk pembentukan sel-sel
darah merah. Saeni (1989) mengemukakan bahwa melebihi 0,31 mg/l dapat
79
menimbulkan bekas karat, merusak keindahan pakaian, menimbulkan rasa yang tidak
enak pada air minum, pengendapan pada pipa dan kekeruhan.
Temuan hasil penelitian terhadap kualitas air sumur penduduk yang berada di
Kelurahan Ciketing Udik yang terletak di atas dari TPA dapat dilihat pada Tabel 15.
Besi (Fe) yang terjadi di sumur atas dan sumur bawah berada dibawah ambang batas
yang diperbolehkan, besi air sumur bawah dari TPA dan yang di atas wilayah TPA pada
tanggal 2 Oktober 2004 masing- masing adalah 0,414 mg/l dan sumur atas lebih kecil
dari 0,05 mg/l (Tabel 15 dan 16). Besi (Fe) air sumur pada tanggal 23 Oktober 2004
menunjukkan peningkatan pada air sumur yang dibawah TPA menjadi 0,504 mg/l dan
yang di atas dari wilayah TPA tetap tidak mengalami peningkatan maupun penurunan,
yaitu masing- masing sumur atas 0,504 mg/l dan sumur bawah lebih kecil dari 0,05
mg/l. Tingkat besi di bawah ambang batas yang diperbolehkan (1,0 mg/l). Tingkat besi
air sumur bawah pada tanggal 27 Nopember 2004 menga lami penurunan dibandingkan
dengan besi pada tanggal 2 Oktober 2004, yaitu masing- masing adalah 0,414 mg/l dan
0,288 mg/l (Tabel 16).
Kisaran besi air sumur di atas wilayah TPA secara keseluruhan selama priode
tanggal 2 Oktober 2004 sampai dengan 27 Nopember 2004 minimum adalah lebih kecil
dari 0,05 mg/l dan maksimum lebih kecil dari 0,05 mg/l dan rata-ratanya adalah lebih
kecil dari 0,05 mg/l. Hal ini masih dibawah ambang batas yang diperbolehkan.
Sedangkan kisaran besi air sumur yang dibawah dari wilayah TPA pada periode yang
sama adalah 0,288 – 0,504 mg/l dengan rata-rata 0,402 mg/l yang berarti masih
dibawah ambang batas yang dianjurkan.
i. Sulfida (S²¯)
Senyawa sulfida sangat beracun dan berbau busuk, oleh karena itu zat ini tidak
boleh terdapat pada air minum. Dalam jumlah besar yaitu melebihi 0,1 mg/l dapat
menimbulkan kemasaman air, sehingga menyebabkan korosifitas pada pipa-pipa logam
dan iritasi. Keracunan akibat kandungan sulfida jarang terjadi, akan tetapi bila sulfida
ini berbentuk gas, zat ini cepat menjalar sehingga orang tidak sempat melarikan diri,
akhirnya terjadi keracunan akut yang mematikan dalam waktu singkat. Jika kandungan
sulfida dalam air lebih besar dari kadar maksimum yang diperbolehkan (0,1 mg/l) maka
akan menimbulkan: a). Rasa bau yang tidak enak; b). Merubah air menjadi berwarna
80
dan bersifat korosif; dan c). menimbulkan rasa. Untuk mengurangi kelebihan kadar
sulfida dengan cara pengudaraan, pemberian chlor dan penyaringan.
Temuan hasil penelitian terhadap kualitas air sumur pend uduk yang berada di
Kelurahan Ciketing Udik, Cikiwul dan Sumur Batu yang terletak di atas dan bawah dari
TPA dapat dilihat pada Tabel 15 dan 16. Sulfida yang terjadi di sumur atas dan sumur
di bawah dari TPA berada dibawah kadar maksimum yang diperbolehkan yaitu 0,05
mg/l untuk baku mutu air bersih menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 416
Tahun 1990 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air. Kisaran Sulfida air
sumur di atas dan sumur bawah wilayah TPA secara keseluruhan selama priode tangga l
2 Oktober 2004 sampai dengan 27 Nopember 2004 menunjukan angka yang sama yaitu
minimum adalah lebih kecil dari 0,05 mg/l dan maksimum lebih kecil dari 0,05 mg/l
dan rata-ratanya adalah lebih kecil dari 0,05 mg/l, hal ini dibawah ambang batas yang
diperbolehkan.
j. Nitrit (NO2¯ )
Nitrit (NO2¯ ) merupakan salah satu ion nitrogen anorganik dalam air. Ion ini dapat
terjadi dari adanya reduksi nitrat ataupun oksidasi ammonia. Ion nitrit lebih berbahaya
daripada ion nitrat (Sanropie et al. 1989), karena dapat merusak kehidupan akuatik.
Pada tanah-tanah yang padat dan kurang gembur, nitrit dapat merembes kedalam
sumur.
Kandungan nitrit dalam air sebesar 1,0 mg/l dapat menyebabkan terbentuknya
methemoglobin yang dapat menghambat perjalanan oksigen dalam tubuh terutama pada
bayi (blue babies) dan menyebabkan diare. Selain itu nitrit adalah zat yang bersifat
racun, sehingga standar persyaratan baku mutu kualitas air bersih tidak membolehkan
kehadiran bahan nitrit lebih dari 1 mg/l.
Nitrit (NO2¯ ) di sumur bawah dari TPA relatif rendah yang berkisar mulai dari
0,044 mg/l sampai dengan yang tertinggi 0,052 mg/l yang terjadi pada tanggal 2
Oktober 2004 (Tabel 16). Rata-rata konsentrasi nitrit pada periode tanggal 2 Oktober
sampai dengan tanggal 27 Nopember 2004 adalah 0,047 mg/l. Secara keseluruhan nitrit
di sumur bawah TPA masih dalam batas baku mutu air golongan A berdasarkan SK
KEP.02/MENKLH/1988 dan SK Gub. KDH-DKI No.1608/1988. Nitrit sumur atas TPA
berkisar 0,015 sampai dengan yang tertinggi yaitu 0,022 mg/l yang terjadi pada tanggal
81
27 Nopember 2004. Rata-rata keseluruhan nitrit di sumur atas dari TPA adalah 0,018
mg/l, masih dalam batas baku mutu air golongan A.
k. Orto fosfat
Djabu et al. (1991) mengemukakan jika kandungan fosfat rata-rata dalam waktu 24
jam lebih besar dari 2 mg/l akan menyebabkan gangguan pada tulang. Sumber fosfat
akibat dari pencemaran industri, limbah domistik, hanyutan pupuk, dan bahan mineral
fosfat. Kadar fosfat berbahaya terhadap kesehatan. Jika kandungan fosfat me lebihi batas
kadar maksimum (0,5 mg/l) dapat mengganggu pencernaan.
Temuan hasil penelitian terhadap kualitas air sumur penduduk yang berada di
Kelurahan Ciketing Udik yang terletak di atas dari TPA dengan parameter kimia- fisika
dan biologi dapat dilihat pada Tabel 15.
Fosfat yang terjadi di sumur atas dan sumur bawah berfluktuasi cukup tajam,
fosfat air sumur bawah dari TPA dan yang di atas wilayah TPA pada tanggal 2 Oktober
2004 masing- masing adalah 2.76 mg/l dan 4,80 mg/l (Tabel 15 dan 16). Fosfat air
sumur pada tanggal 23 Oktober 2004 menunjukkan penurunan tingkat fosfat baik air
sumur yang dibawah TPA maupun yang di atas dari wilayah TPA, yaitu masing- masing
2,34 mg/l dan 3,56 mg/l. Tingkat fosfat di atas ambang batas yang diperbolehkan (0,5
mg/l) untuk baku mutu air bersih berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala
Daerah DKI Jakarta Nomor 1608 tentang Baku Mutu Air Sungai di DKI Jakarta dan
Baku Mutu Air Golongan A: Air Baku Air Minum. Tingkat fosfat air sumur bawah
pada tanggal 27 Nopember 2004 menga lami penurunan dibandingkan dengan fosfat
pada tanggal 2 Oktober 2004, yaitu ma sing- masing adalah 4,80 mg/l dan 3,87 mg/l
(Tabel 16).
Kisaran fosfat air sumur di atas wilayah TPA secara keseluruhan selama priode
tanggal 2 Oktober 2004 sampai dengan 27 Nopember 2004 minimum adalah 2,34 mg/l
dan maksimum 2,89 mg/l dan rata-ratanya adalah 2,66 mg/l. Hal ini diatas ambang
batas yang diperbolehkan. Sedangkan kisaran fosfat air sumur yang dibawah dari
wilayah TPA pada periode yang sama adalah 3,56 – 4,80 mg/l dengan rata-rata 4,07
mg/l yang berarti diatas yang dianjurkan.
l. Ammonia (N-NH3)
82
Ammonia (N-NH3) air sumur atas berfluktuasi mulai dari 0,2999 sampai dengan
0,404. Nilai tertinggi pada tanggal 23 Oktober 2004. Berdasarkan BMPAS Menteri
Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup KEP.02/MENKLH-1988 maksimum
yang dianjurkan dan yang diperbolehkan untuk air minum harus nihil atau 0 ppm dan
untuk air golongan B maksimum yang dianjurkan 0,01 ppm dan maksimum yang
diperbolehkan 0,5 ppm. Mengacu pada peraturan ini, maka konsentrasi N-NH3 untuk
baku mutu air golongan B konsentrasi pada tanggal 2 Oktober 2004 di sumur bawah
menunjukkan nilai yang semakin besar daripada di atas. Selama periode tanggal 2
Oktober sampai dengan 27 Nopember 2004 adalah nilai sumur bawah 0,442–0,557 ppm
dengan rata-ratanya 1,485 ppm. Nilai konsentrasi N-NH3 tertinggi di sumur bawah
adalah 0,557 ppm dengan rata-ratanya 1,485 ppm. Nilai ini diatas BMPAS air
golongan B.
Namun, tahun 2004 kandungan N-NH3 air sumur bawah berada diatas ambang
batas yang diperbolehkan, Rata-rata N-NH3 selama periode 2 Oktober sampai dengan
27 Nopember 2004 adalah 1,485 mg/l. Sedangkan kandungan N-NH3 pada air sumur
atas pada tanggal 2 Oktober 2004 sebesar 0,376 mg/l diatas baku mutu yang
diperbolehkan, tanggal 23 Oktober 2004 sebesar 0,404 mg/l. Rata-rata N-NH3 selama
periode 2 Oktober sampai dengan 27 Nopember 2004 ini adalah 0,359 mg/l.
Menurut Alaert et al, 1983, Ammonia merupakan senyawa nitrogen yang
menjadi NH4? pada pH rendah yang disebut ammonium. Ammonia dalam air
permukaan berasal dari air seni dan tinja serta dari oksidasi zat organik secara
mikrobiologi yang berasal dari industri dan penduduk. Ammonia berada dimana- mana
dalam jumlah yang kecil beberapa mg per liter sampai dengan 30 mg/l pada air
buangan. Kadar ammonia yang tinggi pada air sungai menunjukkan adanya
pencemaran. Pada air minum kadar ammonia harus nol dan pada air sungai harus
dibawah 0,5 mg/l. Menurut Morne dan Goldman (1994) dalam (http://.
Ag.iastate.edu/centers/wrg/Lavene/webpages/NH A.htm, 2002) Ammonia berada dalam
sistem perairan terutama sebagai disosiasi ion NH4? yang cepat diambil oleh
fitoplankton dan tanaman perairan lainnya untuk pertumbuhan, apabila ammonia
83
kontak dengan air, ammonia terpisah menjadi ion NH4? dan ion CH¯ (ammonium
hidroksida). Pada pH netral dengan nilai 7 ammonia tidak mempunyai masalah, tetapi
apabila pH lebih besar dari 7, maka ammonia hidroksida akan menjadi toksik baik bagi
tumbuh-tumbuhan ataupun hewan.
dengan rata-rata 0,53 MPN/100 ml yang berarti masih dibawah ambang batas yang
dianjurkan.
n. Escherichia coli
Bakteri ini disebut Escherichia coli sesuai dengan sumber keberadaannya yang
berasal dari tinja manusia. Air yang mengandung Escherichia coli berarti disimpulkan
air tersebut telah tercemar tinja. Tinja potensial dalam menularkan penyakit yang
berhubungan dengan air. Dalam keadaan normal bateri ini tidak menimbulkan penyakit,
tetapi bila jumlahnya berlebih yaitu 3 sel dalam 100 ml dapat bersifat patogen. Karena
keterkaitannya yang kuat dengan tinja manusia atau hewan, bakteri ini diangkat sebagai
indikator pencemar lingkungan oleh tinja. Keadaan ini memberikan indikasi bahwa air
sumur diatas dan di bawah dari TPA telah terkontaminasi oleh tinja dengan resiko
adanya patogen yang dapat menimbulkan penyakit seperti muntaber dan penyakit
disentri.
Hasil pengukuran Escherichia coli pada air sumur di atas dan bawah dari TPA
dapat dilihat pada Tabel 15 dan 16. Temuan hasil penelitian terhadap kualitas air sumur
penduduk yang berada di Kelurahan Ciketing Udik yang terletak di atas dari TPA dapat
dilihat pada Tabel 15. Escherichia coli yang terjadi di sumur atas dan sumur di bawah
dari TPA berada diatas kadar maksimum yang diperbolehkan yaitu 3 sel dalam 100 ml
untuk baku mutu air bersih menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 416 Tahun
1990 tentang Syarat-syarat dan Pengewasan Kualitas Air. Peningkatan jumlah sel pada
sumur-sumur tersebut, disebabkan antara lain: a). Sumur-sumur tersebut jaraknya dari
tanki septic kurang 10 m; b). Tingkat kemiringan tanah; c). struktur tanah berpasir; dan
d).Perilaku masyarakat yang sering meletakan tali timba di lantai.
Kisaran Escherichia coli air sumur di atas wilayah TPA secara keseluruhan
selama priode tanggal 2 Oktober 2004 sampai dengan 27 Nopember 2004 minimum
adalah 52 MPN/100 ml dan maksimum 63 MPN/100 ml dan rata-ratanya adalah 55,66
MPN/100 ml. Hal ini diatas ambang batas yang diperbolehkan. Sedangkan kisaran
Escherichia coli air sumur yang dibawah dari wilayah TPA pada periode yang sama
adalah 0,1 – 50 MPN/100 ml dengan rata-rata 23,36 MPN/100 ml yang berarti diatas
ambang batas yang dianjurkan.
Berdasarkan hasil pengukuran yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan
sebagai berikut: air sumur di atas dan sumur bawah dari TPA di Kelurahan Ciketing
85
Udik, Cikiwul dan Sumurbatu telah mela mpaui ambang baku mutu untuk air bersih
untuk parameter kekeruhan, fosfat, COD, koliform total dan Escherichia coli. Untuk
sumur atas dari TPA parameter yang telah melampaui ambang baku mutu untuk air
bersih yaitu: COD, koliform total dan Escherichia coli. Untuk sumur atas dari TPA
parameter yang telah melampaui ambang baku mutu untuk air bersih yaitu: COD,
koliform total dan Escherichia coli. Air sumur di atas dan bawah dari TPA yang berada
di Kelurahan Ciketing Udik, Cikiwul dan Sumurbatu tidak layak sebagai sumber air
minum berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 416 Tahun 1990 tentang
Syarat-syarat dan pengawasan Kualitas Air. Keputusan Menteri Negara Kependudukan
dan Lingkungan Hidup Nomor 02 Tahun 1988 tentang Baku Mutu Air pada Sumber Air
Menurut Golongan A). Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Nomor 1608 Tahun 1988 tanggal 26 September 1988 tentang Baku Mutu Air Sungai di
DKI Jakarta dan Baku Mutu Air Golongan A; Air Baku Air Minum.
Tabel 17. Analisis Kualitas Air Sungai sebelum TPA (Inlet), 2004.
Air Sungai Sebelum TPA Rata-
Parameter Satuan BM Kisaran
2 Okt 04 23 Okt 04 27 Nop 04 rata
Suhu ºC 31,6 31,8 28,5 28,5-31,8 30,6
Kekeruhan NTU 69 77 76 69-77 74
pH 6.5–9 8,93 8,7 8,00 8,00-8,93 8,54
Warna PtCo 271 306 244 244-306 273,66
TDS mg/l 936 944 879 879-944 919,22
Suhu Sungai Ciketing pada outlet tanggal 2 Oktober sampai dengan 27 Nopember 2004
mempunyai kecenderungan yang tinggi, dan ada sedikit penurunan yaitu pada saat
memasuki musim hujan (Tabel 18). Secara keseluruhan suhu air Sungai Ciketing pada
outlet berkisar antara 29,3 – 32,8 ºC dan nilai rata-ratanya 31,56 ºC.
Kenaikan suhu air Sungai Ciketing ini terjadi, karena pada musim kemarau
airnya dangkal dan alirannya lambat, sehingga penetrasi sinar matahari sangat mudah
mencapai dasar sungai yang mengakibatkan suhunya naik cukup tinggi.
Tabel 18. Analisis Kualitas Air Sungai sesudah TPA (Outlet), 2004.
Air Sumur sesudah TPA Rata-
Parameter Satuan BM Kisaran
2 Okt 04 23 Okt 04 27 Nop 04 rata
Suhu ºC 32,8 32,6 29,3 29,3-32,8 31,56
Kekeruhan NTU 840 905 738 738-905 827,6
PH 6.5–9 8,42 8,33 8,05 8,05-8,42 8,26
Warna PtCo 3225 3178 3165 3165-3225 3169
TDS mg/l 5460 5540 4999 4999-5540 5333
Kekeruhan air Sungai Ciketing pada tanggal 2 Oktober di inlet adalah 69 NTU.
Angka ini masih dibawah yang diperbolehkan (150 NTU) berdasarkan surat Keputusan
Gubernur KDH Ibukota Jakarta No. 1608 tahun 1988. Tingkat kekeruhan air Sungai
Ciketing semakin besar setelah keluar dari wilayah TPA (outlet) yaitu menjadi 840
NTU. Angka ini sudah diatas BMAS di DKI yang diperbolehkan. Ini berarti tingkat
kekeruhan air Sungai Ciketing setelah keluar dari wilayah TPA ada peningkatan 771
NTU. Konsentasi yang semakin tinggi ini akan mengurangi penetrasi sinar yang masuk
88
kedalam air dan hal ini akan mempengaruhi proses fotosintesis dalam air oleh
fitoplangton dan tumbuhan lainnya, sehingga akan mengurangi konsentrasi oksigen
terlarut.
Pada tanggal 23 Oktober 2004 Sungai Ciketing di inlet kekeruhannya sebesar 77
NTU dan setelah masuk dalam wilayah TPA (otlet) kekeruhannya naik menjadi 905
NTU. Kondisi ini menunjukkan bahwa pencemaran semakin meningkat, karena air
sungai setelah keluar wilayah TPA telah bercampur dengan lindi. Tingkat kekeruhan ini
di atas BMAS-DKI yang tidak diperbolehkan. Sedangkan pada tanggal 27 Nopember
2004 kekeruhan air Sungai Ciketing di inlet adalah 76 NTU atau menurun 1 NTU
dibandingkan pada kondisi tanggal 23 Oktober 2004. Setelah keluar dari wilayah TPA
(outlet) kekeruhannya semakin meningkat menjadi 738 NTU, karena sudah bercampur
dengan buangan lindi. Namun demikian kekeruhan pada tanggal 27 Nopember 2004
masih diatas BMAS-DKI.
Secara keseluruhan kisaran konsentrasi air Sungai Ciketing pada inlet periode
tanggal 2 Oktober sampai dengan 27 Nopember 2004 adalah minimum 69 NTU dan
maksimum 77 NTU dengan nilai rata-rata 74 NTU. Nilai rata-rata ini menunjukkan
masih dibawah BMAS. Sedangkan kisaran kekeruhan air Sungai Ciketing pada outlet
periode yang sama, kisaran kekeruhan minimum 738 NTU dan maksimum 905 NTU,
dengan nilai rata-rata 827,6 NTU. Fluktuasi air Sungai Ciketing selama periode tanggal
2 Oktober sampai dengan 27 Nopember 2004 di outlet diatas BMAS-DKI.
Menurut Saeni, 1986, nilai pH suatu perairan mencerminkan keseimbangan antara
asam dan basa yang diidentifikasikan melalui pengukuran konsentrasi ion hydrogen
dalam suatu larutan. Nilai pH air normal adalah netral yaitu antara pH 6–8. Apabila pH
air diatas atau dibawah angka kisaran tersebut, tergolong tidak normal. Perairan bersifat
asam apabila pH nya lebih kecil dari 7 dan bersifat basa apabila pHnya lebih besar atau
sama dengan 7. Pada industri makanan pada umumnya pHnya rendah, karena banyak
mengandung asam-asam organik. Namun pada air buangan industri pH nya juga
rendah, karena mengandung asam mineral yang tinggi. Namun adanya karbonat,
hidroksida dan bikarbonat menaikkan kebasaan air. Hal ini dapat terjadi di TPA
sampah, karena sampah yang dibuang banyak mengandung padatan terlarut dan
tersuspensi dan disamping mineral- mineral bebas.
89
Secara keseluruhan kisaran warna sebagai salah satu indikator kualitas air Sungai
Ciketing di inlet adalah antara 244 unit – 306 unit PtCo dengan rata-rata dari tanggal 2
Oktober 2004 sampai dengan tanggal 27 Nopember 2004 adalah 273,66 unit PtCo.
Kisaran warna kualitas air Sungai Ciketing di outlet adalah 3165 – 3225 unit PtCo dan
nilai warna rata-ratanya adalah 3169 unit PtCo. Nilai ini lebih tinggi daripada nilai
warna rata-rata di inlet.
Salah satu parameter untuk mengetahui kualitas air sungai adalah BOD5 . Oksigen
terlarut merupakan senyawa yang sangat penting dalam kehidupan perairan pada tingkat
konsentrasi tertentu dan berguna untuk penghancuran bahan organik atau zat pencemar
dalam air (Saeni, 1988). Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD) adalah pengukuran jumlah
oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme selama penghancuran bahan organik
dalam waktu tertentu dan suhu 20 ºC (Saeni, 1988; Wardhana, 1995; Fardiaz, 1993;
Jenie, 1992; Alaert et al., 1984). Selama jangka waktu 5 tahun terakhir, nilai BOD
tertinggi terjadi pada tahun 2000 dengan titik outlet memberikan sumbangan BOD
sebesar 228,50 mg/l dan titik inlet sebesar 43,50 mg/l. Nilai BOD ini terus mengalami
penurunan, sehingga pada tahun 2004 di titik inlet hanya sebesar 31,90 mg/l dan di titik
outlet sebesar 45,60 mg/l.
Secara keseluruhan kisaran BOD sebagai salah satu indikator kualitas air Sungai
Ciketing di inlet adalah antara 24,5 – 31,9 mg/l dengan rata-rata dari tanggal 2 Oktober
2004 sampai dengan tanggal 27 Nopember 2004 adalah 28,83 mg/l. Kisaran BOD air
Sungai Ciketing di outlet adalah 445 – 456 mg/l dan nilai rata-ratanya adalah 471 mg/1.
Nilai ini lebih tinggi daripada nilai warna rata-rata di inlet. Selain BOD, parameter lain
yang harus diperhatikan dalam melihat kualitas air Sungai Ciketing adalah COD.
Adapun perkembangan COD dalam 5 tahun terakhir dapat dilihat pada (Lampiran 20).
Nilai COD di inlet dan outlet Sungai Ciketing memiliki perkembangan seperti nilai
BOD. Nilai COD yang ditemukan di Sungai Ciketing tahun 2000 sangat tinggi,
terutama di outlet yang mencapai nilai sebesar 2864,08 mg/l. Nilai COD ini terus
mengalami penurunan sehingga pada tahun 2004, kandungannya hanya sekitar 118,80
mg/l, namun nilai COD di inlet nilainya mengalami fluktuasi setelah mengalami
peningkatan di tahun 2002 dan 2003, pada tahun 2004 nilainya mengalami penurunan.
Secara keseluruhan kisaran COD sebagai salah satu indikator kualitas air Sungai
Ciketing di inlet 83-92,3 mg/l, kecendrungan ada kenaikan nilai COD, dan dengan nilai
91
rata-rata dari tanggal 2 Oktober 2004 sampai dengan tanggal 27 Nopember 2004 adalah
88,83 mg/l. Kisaran COD air Sungai Ciketing di outlet adalah 1188-1515 mg/l dan nilai
rata-ratanya adalah 1349 mg/l. Nilai ini lebih tinggi daripada nilai rata-rata di inlet.
Selain BOD dan COD, kandungan nitrat dan nitrit juga harus diperhatikan dalam
pengamatan kualitas air sungai. Nitrat juga terdapat di dalam tanah dan air dengan cara
biologis melalui bantuan mikroorganisme. Akar tumbuhan polongan atau kacang-
kacangan terdapat bakteri yang mempunyai kemamp uan mengikat nitrogen di udara dan
selanjutnya melalui proses kimiawi dengan katalis bakteri akan terbentuk nitrat. Di
dalam air nitrogen diikat oleh bakteri dan ganggang (Saeni, 1988; Sastrawijaya, 1991).
Nitrat Sungai Ciketing di inlet berfluktuasi (Tabel 17) mulai dari 8,34 sampai
dengan 7,54 mg/l. Nilai tertinggi pada tanggal 2 Oktober 2004. Berdasarkan BMPAS
Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup KEP.02/MENKLH-1988
maksimum yang dianjurkan dan yang diperbolehkan untuk air minum harus nihil atau 0
mg/l dan untuk air golongan B maksimum yang dianjurkan 0,01 mg/l dan maksimum
yang diperbolehkan 0,5 mg/l. Mengacu pada peraturan ini, maka konsentrasi N-NO3
untuk baku mutu air golongan B konsentrasi pada tanggal 2 Oktober sampai dengan 27
Nopember 2004 baik di inlet dan di outlet menunjukkan nilai yang semakin besar
daripada di inlet. Secara keseluruhan kisaran N-NO3¯, di inlet Sungai Ciketing selama
periode tanggal 2 Oktober sampai dengan 27 Nopember 2004 adalah 7,54 – 8,34 mg/l
dengan rata-ratanya 7,8 mg/l. Nilai konsentrasi N-NO3 tertinggi di outle adalah 2,55
– 2,97 mg/l dengan rata-ratanya 2,72 mg/l. Nilai ini sudah diatas BMPAS air golongan
B. Berarti pencemaran air Sungai Ciketing di outlet semakin bertambah.
Nitrit (NO2¯) di inlet Sungai Ciketing (Tabel 17) secara keseluruhan menunjukkan
konsentrasi yang tinggi berkisar antara 3,87 – 5,40 mg/l. Konsentrasi tertinggi terjadi
pada tanggal 27 Nopember 2004 yaitu 5,54 mg/l. Konsentrasi nitrit tertinggi dicapai
pada tanggal 27 Nopember 2004. Rata-rata konsentrasi nitrit selama periode tanggal 2
Oktober sampai dengan 27 Nopember 2004 adalah 4,96 mg/l. Nilai ini sudah diatas
BMAPS air golongan A berdasarkan S.K. MENEG KLH No. KEP.02/MENKLH.
(Tabel 18). Konsentrasi nitrit terendah dicapai pada tanggal 27 Nopember 2004 yaitu
1,05 mg/l dan nitrit tertinggi dicapai pada tanggal 23 Oktober 2004 yaitu 1,42 mg/l.
Nilai rata-rata keseluruhannya adalah 1,21 mg/l. Secara keseluruhan nilai nitrit rata-rata
di atas baku mutu air golongan B berdasarkan S.K. MENEG KLH No.
KEP.02/MENKLH dan baku mutu air golongan A berdasarkan S.K. Gub. KDH DKI
No. 1608/1988.
Nitrit NO2¯ adalah nitrogen yang teroksidasi dengan tingkat oksidasi +3 dan
merupakan keadaan sementara proses oksidasi antara ammonia dan nitrat yang dapat
terjadi pada pengolahan air buangan, dalam air sungai dan sistem drainase dan
merupakan pencemar berbahaya dalam konsentrasi yang tinggi (Alaert et al., 1983).
Nitrit dalam tubuh manusia sangat membahayakan, karena dapat bereaksi dengan
hemoglobin dalam darah, sehingga darah tidak dapat mengangkut oksigen. Keadaan ini
akan mengakibatkan keracunan pada bayi yang disebut blue baby (Manahan, 1977.
Saeni, 1988). Disamping itu nitrit juga dapat menimbulkan nitrosamin pada air buangan
tertentu yang dapat menyebabkan kanker (Alaert et al., 1983).
menilai parameter nitrat, nitrit, BOD5, COD dan pH. Nilai nitrat tertinggi, baik pada
inlet maupun outlet terjadi pada tahun 2000 dan 2001, terutama pada IPAS 2. Sampai
tahun 2003, kandungan nitrat yang ditemukan pada IPAS 1 dan IPAS 2 Gambar 13
masih di atas ambang batas yang diperbolehkan berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan No. 416/Menkes/Per/X/1990, tanggal 3 September 1990 untuk nitrat yaitu
sebesar 20 mg/l.
300
250
200
inlet
mg/l
150
outlet
100
50
0
IPAS 1 IPAS 2 IPAS 1 IPAS 2 IPAS 1 IPAS 2 IPAS 1 IPAS 2 IPAS 1 IPAS 2
Namun, untuk tahun 2004 kandungan nitrat air lindi pada IPAS 1 (Inlet) sudah
berada dibawah ambang batas yang diperbolehkan, kecuali pada tanggal 27 Nopember
2004 yang merupakan N-NO3 terendah dalam perode 2 Oktober sampai dengan tanggal
27 Nopember 2004, N-NO3 pada tanggal 27 Nopember 2004 ini adalah 3,23 mg/l, N-
NO3 yang tertinggi terjadi pada tanggal 23 Oktober 2004 dengan konsentrasi sebesar
4,09 mg/l. Rata-rata N-NO3 selama periode 2 Oktober sampai dengan tanggal 27
Nopember 2004 ini adalah 3,71 mg/l (Lampiran 4). Sedangkan kandungan nitrat
tertinggi di IPAS 1 (outlet) pada tanggal 2 Oktober 2004 sebesar 20,95 mg/l diatas
baku mutu yang diperbolehkan, kecuali pada tanggal 23 Oktober 2004 sebesar 3,03.
Rata-rata N-NO3 selama periode 2 Oktober sampai dengan tanggal 27 Nopember 2004
ini adalah 14,65 mg/l.
N-NO3 pada IPAS 2 (inlet) periode tanggal 2 Oktober sampai dengan tanggal
27 Nopember 2004 berada dibawah ambang batas yang diperbolehkan, dengan kisaran
2,99 –3,89 mg/l, dan raa-rata sebesar 3,43 mg/l (Lampiran 5). Sedangkan kandungan
nitrat di IPAS 2 (outlet) periode tanggal 2 Oktober sampai dengan tanggal 27
Nopember 2004 sebesar kisaran 7,08 – 8,01 mg/l dibawah baku mutu yang
tertinggi terjadi pada IPAS 1 di bulan November di outlet dengan nilai mencapai 19,97
mg/l dan terendah pada IPAS 3 di bulan Oktober di inlet yang mencapai nilai 2,02 mg/l.
Untuk lebih jelasnya mengenai perkembangan nilai nitrat di IPAS periode Oktober-
November 2004 dapat dilihat pada Gambar 14.
Nilai nitrit air lindi di IPAS 1 (inlet) berkisar mulai dari 28,6 yang terendah
sampai dengan 43,1 yang tertinggi. Angka terendah dicapai pada tanggal 27 Nopember
2004 dan tertinggi dicapai pada tanggal 23 Oktober 2004. Nilai rata-rata selama
periode 2 Oktober sampai dengan tanggal 27 Nopember 2004 adalah 36,2 mg/l. Secara
keseluruhan nitrit rata-rata menunjukkan sudah jauh diatas baku mutu air limbah
golongan II, dan IPAS 2, khususnya pada outlet berada di atas baku mutu yang
25
20
15
mg/l
inlet
outlet
10
0
Okt Nov. Okt Nov. Okt Nov. Okt Nov.
1 2 3 4
IPAS
1600
1400
1200
1000
inlet
mg/l
800
outlet
600
400
200
0
Okt Nov. Okt Nov. Okt Nov. Okt Nov.
1 2 3 4
IPAS
3 September 1990 yang menetapkan bahwa batas BOD5 yang diperbolehkan adalah 50
mg/l, maka keberadaan BOD air lindi telah sangat mengkhawatirkan. Nilai BOD5, baik
di IPAS 1 maupun IPAS 2 sangat tinggi dan hanya ketika tahun 2002 di IPAS 1,
nilainya berada di bawah baku mutu yang diperbolehkan. Bahkan pada tahun 2004,
berkurang. Nilai BOD5 tertinggi terjadi pada IPAS 4 di bulan Oktober 2004 di inlet
dengan nilai mencapai 1267 mg/l dan terendah pada IPAS 2 di bulan Oktober 2004 di
outlet yang mencapai nilai 144 mg/l. Secara umum, nilai BOD di inlet lebih tinggi
daripada di outlet. Untuk lebih jelasnya mengenai perkembangan nilai BOD di IPAS
periode Oktober-November 2004 dapat dilihat pada Gambar 16.
96
1400
1200
1000
800
mg/l inlet
600 outlet
400
200
0
Okt Nov. Okt Nov. Okt Nov. Okt Nov.
1 2 3 4
IPAS
Nilai COD lebih banyak ditemukan pada titik inlet, kecuali pada IPAS 2 di
tahun 2001 dan IPAS 4 tahun 2000. Nilai COD yang tinggi ditemukan pada IPAS 3
tahun 2001 (Lampiran 14 dan 15). Untuk nilai COD air lindi yang ditemukan, nilainya
juga berada di atas baku mutu yang diperbolehkan berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan No. 416/Menkes/Per/X/1990 tanggal 3 September 1990 yang menetapkan
bahwa batas COD yang diperbolehkan adalah 100 mg/l. Bahkan pada tahun 2004,
kandungan COD di IPAS 2 pada titik inlet mencapai 3188 mg/l.
Nilai COD dengan BOD tidak terlalu berbeda perkembangannya. Nilai COD
tertinggi terjadi pada IPAS 4 di bulan Oktober di titik inlet dengan nilai 3455 mg/l dan
terendah pada IPAS 2 di bulan Nopember di titik outlet mencapai nilai 380 mg/l.
Secara umum, nilai COD di titik inlet lebih tinggi daripada di titik outlet. Untuk lebih
jelasnya mengenai perkembangan nilai COD di IPAS periode Oktober-November 2004
dapat dilihat pada Gambar 17.
4000
3500
3000
2500
inlet
mg/l
2000
outlet
1500
1000
500
0
Okt Nov. Okt Nov. Okt Nov. Okt Nov.
1 2 3 4
IPAS
Nilai pH air lindi di IPAS menentukan keseimbangan antara asam dan basa
yang diidentifikasikan melalui pengukuran konsentrasi ion hidrogen dalam suatu
larutan. Nilai pH air yang normal adalah sekitar netral yaitu kisaran pH 6-8. Apabila pH
air diatas atau dibawah angka kisaran tersebut tergolong tidak normal. Air bersifat asam
apabila pH nya lebih kecil dari 7 dan bersifat basa apabila pH nya lebih besar atau sama
dengan 7.
Untuk nilai pH air lindi yang ditemukan, nilainya masih berada dalam baku
mutu yang diperbolehkan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.
416/Menkes/Per/X/1990 tanggal 3 September 1990 yang menetapkan bahwa pH yang
diperbolehkan adalah 6-9.
Pada Gambar 18 terlihat bahwa pH di IPAS yang tinggi lebih banyak dijumpai
pada bulan Oktober dengan nilai tertinggi berada pada IPAS 3. Nilai pH juga lebih
tinggi pada inlet, kecuali pada IPAS 1 di bulan November dan IPAS 4 bulan Oktober,
Secara keseluruhan pH air lindi pada IPAS periode bulan Oktober sampai dengan bulan
Nopember 2004 berada lebih besar atau sama dengan 7 bersifat basa .
8.6
8.4
8.2
8
7.8
pH 7.6
7.4 inlet
7.2
outlet
7
6.8
6.6
Okt Nov. Okt Nov. Okt Nov. Okt Nov.
1 2 3 4
IPAS
kandungan bakteri coli tidak boleh lebih dari 200, sementara untuk air rekriasi tidak
boleh mengandung lebih dari 1000 bakteri coli.
Banyak jenis bakteri patogen (penyebab penyakit) berkembang dan menyebar
melalui badan air, misalnya penyebab penyakit tipus (Salmonella), disentri (Shigella),
kolera (Vibrio), dan dipteri (Coryne bacterium). Selain itu banyak bakteri patogen
berkembang dan menyebar melalui air, baik yang hidup secara anaerobik maupun yang
hidup secara aerobik. Kontak makanan dengan air yang mengandung bakteri tersebut
akan dinyatakan berbahaya kalau kemudian termakan.
Kandungan E. coli sumur atas dari TPA konsentrasi pada tanggal 2 Oktober
sampai dengan tanggal 27 Nopember 2004 kisarannya 52 – 63 MPN/100 ml dengan
nilai rata-ratanya 55,66 MPN/100 ml (Tabel 15), sedangkan pada sumur bawah dari
TPA kisarannya 0,1 – 50 MPN/100 ml dengan nilai rata-ratanya 23,36 MPN/100 ml
(Tabel 16), ini berarti pada sumur-sumur tersebut baik yang diatas maupun yang
dibawah dari TPA sudah tercemar E. coli akan tetapi masih di bawah ambang batas
BMPSA dan BMAS. Kondisi ini dan buruknya air sumur tersebut, lebih banyak
disebabkan oleh buruknya kondisi lingkungan setempat dan pencemaran di sumur atas
dan sumur bawah tidak hanya dipengaruhi oleh pencemar dari TPA, tetapi juga akibat
adanya pencemaran di sekitar sumur seperti WC dan tumpukan sampah yang
dikumpulkan oleh pemulung di sekitarnya.
Kandungan koliform sumur jauh lebih tinggi daripada kandungan E. coli pada
periode yang sama. Kandungan tertinggi dicapai pada tanggal 27 Nopember 2004 dan
terendah pada tanggal 2 Oktober 2004. Kandungan rata-rata 71 MPN/100 ml. Angka ini
masih dibawah BMPSA dan BMAS.
Dari beberapa komponen mikrobiologi pada kawasan TPA, salah satu diantara
yang terpenting adalah faktor keberadaan dan distribusi lalat. Keberaaan dan banyaknya
lalat juga dapat dianggap sebabagai cerminan keadaan sanitasi lingkungan. Semakin
banyak lalat, semakin menurun kondisi sanitasi lingkungannya, begitu juga sebaliknya.
Dengan kondisi ini, lalat dianggap sebagai indikator penyebaran vektor beberapa
penyakit yang berbahaya.
Pengukuran komponen lalat dilaksanakan pada tanggal 4 Nopember 2004 antara
pukul 9.30 sampai dengan 15.00 WIB. Jumlah keberadaan lalat menurut lokasinya di
TPA Bantar Gebang dan sekitarnya seperti pada Tabel 19.
99
Tabel 19. Distribusi Lalat di Kawasan TPA Bantar Gebang dan Sekitarnya
No Baku
Lokasi Jumlah Keterangan
Mutu
1. Ke Arah Kelurahan Sumur Batu
♦ Titik 1 zone IIIC 8,9 30 Landfill
♦ Titik 2 7,4 30 Berangin
♦ Titik 3 5,2 30 Sampah kering
♦ Titik 4 Kelurahan Sumur Batu 3,6 30 Landfill
♦ Ttitik 5 Batas Kel. S. Batu 1,5 30 Permukiman
2. Ke Arah Kelurahan Taman Sari
♦ Titik 6 zone IIIC 12,3 30 Landfill
♦ Titik 7 jalan pembatas zona 10,4 30 Banyak grobak sampah
IIIC 9,1 30 Landfill
♦ Titik 8 tenggara zone IIIC 3,5 30 Permukiman
♦ Titik 9 Kelurahan Taman Sari 36,8 30 Tempat cucian plastik
♦ Titik 10 tempat cucian plastik
3. Ke Arah Kel. Ciketing Udik
♦ Titik 11 Kel. Ciketing Udik 2,9 30 Permukiman
♦ Titik 12 jala n pembatas TPA 7,4 30 Leachate, berangin
♦ Titik 13 empang cuci plastik 6,8 30 Tempat cucian plastik
4. Ke Arah Kelurahan Cikiwul
♦ Titik 14 Kel. Cikiwul 1,9 30 Permukiman
♦ Titik 15 zone IIIA 3,4 30 Berangin, landfill lama
♦ Titik 16 zone IIB 0,9 30 Berangin, landfill lama
♦ Titik 17 zone IC 7,8 30 Sampah baru, berangin
♦ Titik 18 zone IA 0,7 30 Berangin, rumput &
♦ Titik 19 zone VB 0,5 30 landfill
Berangin, landfill
* Baku Mutu Kep. Dirjen P2M PLP Depkes No.28-1 II/PD 03.04 LP tanggal 30 Oktober 1989
Pada Tabel 19 tersebut bahwa jumlah populasi lalat di lokasi arah desa Taman
Sari yaitu pada titik 10 tempat pencucian pelastik terdapat jumlah lalat 36,8 melebihi
baku mutu Kep. Dirjen P2MPLP Depkes No.28-1 11/PD.03.04LP tanggal 30 Oktober
1989 hal ini terjadi karena dilokasi pencucian pelastik yang dilakukan para pemulung
menimbulkan bau busuk mengundang lalat.
dari lokasi TPA Bantar Gebang dan 3,4 % responden tinggal antara 1-10 km dari TPA
Bantar Gebang. Tingkat pendidikan responden mayoritas tamatan SD sebanyak 41,9 %
dan 92,7 % dari mereka telah menikah. Sebagian besar memiliki tanggungan antara 1-4
orang.
Selanjutnya apa yang menjadi penyebab gangguan air tanah menurut responden
19,2 % dikarenakan aktivitas TPA Bantar Gebang (pada tahun 2001 jumlah tersebut
adalah 20 %). Penyebab gangguan terhadap air tanah periode tahun 2001 sampai
dengan 2004 persentase tertinggi pada tahun 2001 sebesar 20 % dan terendah pada
tahun 2004 sebesar 18,7 % yang menyatakan penyebabnya adalah TPA Bantar Gebang.
Terdapat penurunan tingkat gangguan dengan nilai kisaran 18,7 – 20 % dan nilai rata-
rata 19,22 %. Sedangkan yang menyatakan penyebab gangguan dari lain- lain adalah
kisaran 11,1 – 18 % dengan nilai rata-rata 5,45 %. Penyebab gangguan air tanah secara
rinci diuraikan pada Tabel 23.
Tabel 23. Penyebab Gangguan Terhadap Air Tanah
PenyebabGangguan Presentase ( % ) Rata-
No Kisaran
2001 2002 2003 2004 rata
1. TPA Bantar Gebang 20 19,2 19,0 18,7 18,7-20 19,22
2. Lain- lain 18 1,4 1,3 1,1 1,1-18 5,45
Total 38 20,6 20,3 19,8
penyakit Gastritis untuk wilayah Bantar Gebang lebih besar yakni 9,2-17,5 % dan
wilayah Kota Bekasi sebesar 3,7-14,5 %. Perbedaan tersebut berdasarkan persentasenya
terlihat berbeda, namun berdasarkan uji T, menunjukkan relatif tidak berbeda nyata.
Namun demikian karena menyangkut penyakit pada manusia, maka perkembangan
penyakit tersebut perlu mendapat perhatian yang serius.
Kedua perkembangan penyakit lainnya yaitu penyakit kulit dan diare
menunjukkan distribusi yang sama antara wilayah Kota Bekasi dan wilayah Bantar
Gebang. Hal ini menunjukkan bahwa pola penyebaran penyakit tersebut adalah sama
untuk seluruh wilayah Kecamatan di Kota Bekasi, tidak ada gejolak yang berbeda
dengan wilayah Kota Bekasi. Status kesehatan masyarakat di sekitar lokasi TPA Bantar
Gebang hingga medio tahun 2004 data Puskesmas Bantar Gebang, menunjukkan bahwa
penyakit yang paling banyak diderita adalah ISPA, penyakit gigi, penyakit kulit,
gastritis dan diare.
Perkembangan pola penyakit di wilayah Bantar Gebang relatif memiliki
karakteristik sama dengan wilayah Kota Bekasi. Namun demikian perhatian pada
masyarakat sekitar tetap perlu mendapat perhatian yang serius sehubungan dengan
upaya pemberian kompensasi berupa pengobatan cuma-cuma bagi masyarakat dan
penderita beberapa penyakit pada masyarakat di sekitar lokasi TPA yang sangat erat
hubungannya dengan saluran pernapasan. TPA Bantar Gebang memberikan kontribusi
terhadap pencetusan atau intensitas rasa sakit penyakit batuk, sesak napas, ISPA,
pusing dan sakit perut.
Pada tahun 2004 persepsi masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar lokasi
TPA Bantar Gebang terhadap gangguan kesehatan mulai bergeser ke arah yang lebih
baik. Secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 26.
Pada tahun 2004 sebanyak 9,4 % responden (Tahun 2001 sebanyak 35,0 %)
menyatakan tidak pernah, sedangkan sisanya kadang-kadang merasakan sakit. Kisaran
terhadap gangguan kesehatan, intensitas sakit dalam beberapa tahun terakhir yang
menyatakan tidak pernah 9,4-35,0 % dengan nilai rata-rata 16,47 %. Sedangkan yang
menyatakan kadang-kadang dengan kisaran 20-50,2 % dengan nilai rata-rata 38,02 %.
Nilai ini menunjukkan peningkatan dari 43,6 %. Jenis penyakit yang sering responden
alami adalah flu dan batuk pilek tahun 2003 menjadi 50,2 % tahun 2004 (Tabel 26).
Jenis penyakit yang sering responden alami adalah flu dan batuk pilek yaitu sebesar
106
58,7 % (tahun 2004), gangguan pernapasan sebanyak 24,3 %, diare dan muntaber
sebanyak 3,6 % (tahun 2004), dan sisanya oleh berbagai jenis penyebab.
Tabel 26. Persepsi Responden terhadap Gangguan Kesehatan tahun 2001-2004
Presen (%) Rata-
No Karakteristik Uraian Kisaran
2001 2002 2003 2004 rata
1 Intensitas sakit Sering 33,3 11,0 10,8 8,6 8,6-33,3 15,92
dalam Beberapa Kadang-kadang 20,0 38,3 43,6 50,2 28,0-50,2 38,02
tahun terakhir Jarang 11,7 39,7 40,2 43,7 11,7-43,7 33,82
Tidak Pernah 35,0 11,0 10,5 9,4 9,4-35,0 16,47
2. Sakit yang Flu, Batuk, Pilek, 38,5 56,9 58,3 58,7 38,5-58,7 53,1
sering Pernapasan 30,5 23,1 20,1 24,3 20,1-30,5 24,5
Dialami Diare, Muntaber 331 4,6 4,2 3,6 3,6-33,1 85,85
Lainnya 17,9 15,4 14,7 12,0 12-7,9 15
3 Penyebab sakit Aktivitas TPA 59 30,8 26,9 19,7 19,7-59 34,1
Aktivitas TPA liar 16,9 14,2 10,3 10,3-16,9 10,35
Lingkungan kurang 15,4 27,7 29,4 33,6 15,4-33,6 26,52
sehat
Sebab-sebab lain 25,6 24,6 23,6 22,0 22-25,6 23,95
4 Bila sakit, cara Beli obat sendiri 15,0 24,6 30,4 36,3 15-36,3 26,57
berobat Ke Dokter 41,7 30,8 42,5 44,2 30,8-44,2 39,8
Ke Puskesmas 43,3 44,6 47,2 48,0 43,3-48 45,77
Dukun atau tabib 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
5 Institusi Pemrov DKI 27,8 35,6 30,2 22,4 22,4-35,6 29
pengelola Pemerintah 50,0 8,2 7,9 5,7 5,7-50 17,95
Pengobatan Kota/Bekasi
gratis Instansi pemerintah lain 16,7 6,9 5,8 4,8 4,8-16,7 8,55
Institusi swasta 5,6 5,5 5,4 4,9 4,9-5,6 5,35
Tidak jawab 43,8 36,7 29,8 29,8-43,8 27,57
a. Komposting
Program komposting belum dapat sebagai faktor utama dalam reduksi sampah,
paling tidak untuk jangka waktu 5 tahun kedepan. Walaupun demikian upaya-upaya
tersebut perlu terus diperbaiki dan dikembangkan. Sampah domestik merupakan potensi
yang sangat besar untuk produksi kompos. Namun upaya yang diperlukan untuk
108
lama, yaitu membutuhkan waktu di atas 35 hari, sedangkan proses anaerob sudah
dapat diperoleh produksi kompos setelah 18-20 hari. dan (4). Permasalahan
pengkomposan ini terletak di pasar petani yang membutuhkan pupuk, kadang-kadang
belum tertarik pada produk kompos ini.
b. Aspek Kelembagaan: Produk kompos hanya mempunyai pasar pada masyarakat yang
gemar tanaman hias atau taman pekarangan saja. Karena itu produksi kompos secara
informal dan skala kecil cukup berhasil.
c. Aspek Pembiayaan: Pada umumnya kegiatan produksi skala kecil yang dibina oleh
pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah termasuk pembiayaanya pada program 3R,
zero waste atau UDPK. Kelompok swasta yang berkiprah di bidang kompos skala
kecil umumnya membiayai usahanya yang umumnya mereka mempunyai langganan
pembeli. Pasar kompos belum terbentuk secara baik dan banyak usahawan lama- lama
yang menon-aktifkan produksinya.
d. Aspek Hukum: SK Gubernur Nomor 1281/1988 tanggal 21 Juli 1988 tentang Pola
Penanggulangan Kebersihan Lingkungan di DKI Jakarta. Program kompos dapat
dikatagorikan program sampah tidak dapat didaur ulang, namun diproses menjadi
material yang bermanfaat dan bernilai ekonomis.
Proses konversi biologis sampah memiliki peran utama dalam menejemen
persampahan dan dapat diterapkan pada beberapa bagian dalam aliran limbah. Aplikasi
dari proses biologi seperti misalnya pengomposan limbah atau produksi gas bio, dapat
mengkonversi limbah dalam aliran limbah. Proses biologi dapat juga digunakan setelah
proses pengumpulan sampah sebagai berikut: mengurangi volume sampah pada TPA
(lebih dari 50%); pemulihan energi yang terdapat pada sampah (sebagai biogas) dan
menghasilkan suatu produk yang lebih stabil dan bermanfaat (seperti pupuk kompos).
b. Daur ulang
Diasumsikan bahwa 20 % sampah per tahun akan dikembangkan termasuk
tambahan 2 % untuk daur ulang di Bantar Gebang. Model pemb uangan sampah di tiap
daerah pelayanan memperkirakan 20 % daur ulang dan 4 % di komposkan. Perbedaan
penting adalah bahwa daur ulang sedang berlangsung serta harus dibatasi di dalam kota
dan dimodifikasi di Bantar Gebang, sedangkan komposting dapat dikatakan bahwa ada
dan harus dibina sepanjang waktu. Salah satu program 3R adalah daur ulang, dapat
dikatakan bahwa sejumlah sampah yang akan diolah di TPA dapat diolah dengan proses
110
daur ulang. Pemilahan sampah pada sumbernya merupakan aktivitas penting dalam
sistem manajemen persampahan terpadu. Pendekatan yang dapat dilakukan dalam
kegiatan daur ulang, mencakup: 1) identifikasi material untuk diubah atau diproses; 2)
identifikasi kesempatan pakai ulang dan proses daur ulang, dan 3) spesifikasi dari
pembeli terhadap materi yang akan dipulihkan.
Kondisi daur ulang di Bantar Gebang merupakan hal yang agak berbeda dan
memerlukan upaya- upaya drastis untuk memperbaiki kondisi sekarang yang sangat
disesalkan. Sangat memperhatikan, bahwa TPA Bantar Gebang yang dimaksudkan
untuk dioperasikan secara sanitari landfill secara sempurna tidak jadi masalah berapa
lama TPA tersebut akan digunakan, membiarkan para pemulung yang hidup dalam
kondisi menyedihkan dan bahkan bekerja dalam kondisi yang lebih menyedihkan lagi.
4.5. Hasil Sintesis AHP
Setelah proses pembentukan pohon hirarki keputusan, penentuan urutan
prioritas penentuan formula pembobotan, maka dapat diambil sintesisnya untuk
dianalisis lebih lanjut. Untuk menentukan pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi
diperlukan alternatif pemilihan yang akan ditentukan kemudian, kriteria untuk membuat
keputusan antara lain seperti Gambar 20. Setelah proses pembentukan pohon hirarki
keputusan, penentuan urutan prioritas parameter penilai pemanfaatan TPA pasca
operasi dan penentuan formula pembobotan parameter, maka dapat diambil sintesisnya
untuk dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan AHP.
Penyusunan struktur hirarki pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi berbasis
masyarakat berdasarkan keterkaitan yang menjadi bagian dari lingkup permasalahan
tersebut. Struktur hirarki disusun dari empat level, yaitu fokus, aktor, kriteria dan
alternatif kebijakan.
Level II
Level II menampilkan aktor-aktor yang harus diperhitungkan dalam rangka
pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi berbasis masyarakat, aktor-aktor tersebut
meliputi: masyarakat, swasta dan pemerintah.
Level III
Level III menyajikan kriteria yang diperhitungkan dalam pemanfaatannya.
Kriteria yang dijadikan bahan pertimbangan adalah: fisik-kimia, mikrobiologi dan
sosial ekonomi serta kesehatan yang merupakan arahan bagi perencanaan ke depan
dalam pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi.
Level IV
Level IV menampilkan penilaian untuk masing- masing kriteria yang mengacu
pada kondisi exsisting dan perencanaan terhadap alternatif keputusan yang ditawarkan.
Ditetapkan lima tingkat penilaian yaitu sangat baik, baik, sedang, buruk, dan sangat
buruk. Penilaian terhadap kriteria diberikan oleh pengambil keputusan berdasarkan
pada data yang diperoleh di lapangan. Untuk lebih jelasnya tiap level dalam
memberikan arahan pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi pada Gambar 20.
Pemanfaatan TPA
Sampah Pascaoperasi Fokus
Berbasis Masyarakat
Kriteria
1. Hutan Kota/Penghijauan
2. Pariwisata
3. Lapangan Golf Alternatif
4. TPA Terpadu
5. Perumahan
6. Penambangan Gas dan Energi Listrik
7. Lahan Budidaya
8. Industri
Gambar 20: Struktur Hirarki
112
Dari ketiga kriteria tersebut: fisik-kimia, mikrobiologi serta sosial ekonomi dan
kesehatan, perlu ditentukan tingkat kepentingannya dengan menentukan bobot secara
sembarang atau dengan membuat skala interval untuk menentukan ranking setiap
kriteria atau perbandingan berpasangan, tingkat kepentingan suatu kriteria relatif
terhadap kriteria lain dapat dinyatakan dengan jelas. Untuk menentukan bobot dari
kriteria dengan jelas menentukan nilai eigen dengan menguadratkan matriks,
menghitung jumlah nilai dari setiap baris, kemudian melakukan normalisasi.
Berdasarkan nilai eigen maka diketahui bahwa kriteria yang paling penting adalah fisik-
kimia, sosial ekonomi dan kesehatan serta mikrobiologi.
Untuk menentukan alternatif yang akan dipilih dari delapan alternatif yang ada,
dalam pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi berbasis masyarakat, kemudian
dilakukan analisis setiap zone dengan menggunakan AHP (Gambar 21). Hal ini sangat
baik dilakukan mengingat kondisi TPA sampah saat ini dan untuk menentukan
pemanfaatannya kedepan, serta mengharapkan keterlibatan masyarakat sekitar TPA,
dengan tetap menjaga kua litas lingkungan. Kajian pembahasan AHP meliputi: data
keluaran dan hasil. Data sintesis ditampilkan untuk level I dan masing- masing kriteria
di level II. AHP dalam masing- masing model penilaian pemanfaatan dapat diuraikan
sebagai berikut:
A. Hasil Sintesis AHP pada zone I
Hasil sintesis untuk AHP dalam penilaian zone I adalah sebagai berikut:
berdasarkan analisis kesesuaian lahan dengan menggunakan AHP dengan skor berturut-
turut: 0,361; 0,292; 0,154; 0,095; 0,042; 0,032; dan 0,024. Selain dapat
membandingkan peringkat antara zone untuk pemanfaatan lahan, maka dapat
dibandingkan perbedaan skor dan alternatif ketiga teratas. Misalnya antara Hutan
Kota/Penghijauan dengan TPA Terpadu terdapat perbedaan skor 0,069 dan TPA
Terpadu dengan penambanga n gas dan energi listrik perbedaannya 0,138, sedangkan
antara penambangan gas dan energi listrik dengan lahan budidaya memiliki perbedaan
skor 0,059. Secara teoritis perbedaan kesesuaian lahan untuk Hutan Kota/Penghijauan
dengan TPA Terpadu sangat kecil.
Hasil sintesis untuk AHP dalam penilaian zone V adalah sebagai berikut:
digunakan sebagai TPA Terpadu, hal ini sangat baik dilakukan mengingat TPA sampah
pada kondisi saat ini masih dapat digunakan, pengelolaannya cukup baik, keterlibatan
masyarakat sekitar sudah ada dalam pengelolaan, memiliki potensi untuk kompos
cukup besar, kawasan ini strategis dan terjadi keterpaduan dalam pemanfaatan lahan
setiap zone, untuk zone I dan zone II dijadikan untuk hutan kota/penghijauan,
sedangkan pada zone III sampai dengan zone V dijadikan TPA yang dapat menampung
sampah dari DKI Jakarta dan Kota Bekasi, pengelolaan TPA dilaksanakan oleh pihak
swasta yang melibatkan masyarakat sekitar TPA sebagai operator dan pemulung untuk
mengambil sampah yang dapat di jadikan daur ulang, dan akan mengurangi beban TPA
terhadap sampah non organik dan akan mempengaruhi usia dari TPA itu sendiri dengan
tetap menjaga keselamatan pekerja dan kelestarian lingkungan sekaligus proses
pembuatan kompos karena pada TPA tersebut memiliki potensi cukup besar.
Dengan memanfaatkan lahan TPA setiap zone secara proporsional, maka TPA
Terpadu akan mendapat suplai sampah organik untuk proses pembentukan kompos
sekaligus melakukan penanaman pohon penghijauan. Pilihan pemanfaatan lainnya yang
dapat dikembangkan adalah hutan kota/penghijauan, penambangan gas dan energi
listrik, lahan budidaya, dan TPA Bantar Gebang dijadikan pusat kajian pengelolaan
sampah negara Asia. Untuk pemanfaatan perumahan dan industri tidak
direkomendasikan, karena sangat banyak faktor pembatasnya, sehingga memerlukan
masukan tinggi untuk meningkatkan kualitas kawasan setiap zonenya. Bagi pengambil
kebijakan, pilihan pemanfaatan TPA Terpadu dapat dilihat dari tingkat kesesuaiannya,
tetapi untuk suatu kawasan zone, maka harus mempertimbangkan: (1) Luas lahan setiap
zone, (2) mulai digunakan setiap zone, (3) ketinggian sampah, (4) lahan yang efektif
digunakan, dan (5) Instalasi Pengelolaan Air Sampah.
Dari alternatif yang dipilih dalam pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi
berbasis masyarakat adalah TPA Terpadu, maka pengambilan kebijakan dapat memilih
3 alternatif yang peringkat kesesuaian lahannya berada di atas, sehingga dapat dijadikan
acuan dalam rencana pemanfaatan TPA pascaoperasi. Untuk meningkatkan tingkat
kesesuaian lahan untuk alternatif pemanfaatan, maka faktor pembatas di tiap-tiap zone
harus diminimalkan dan apabila memungkinkan dihapuskan. Faktor pembatas masing-
masing pemanfaatan lahan yaitu: TPA Terpadu, hutan kota/penghijauan, penambangan
gas dan energi listrik, lahan budidaya, pariwisata, lapangan golf, perumahan, dan
118
industri, dari tiga alternatif pemanfaatan peringkat teratas, urutan prioritas dan kendala
pengembangannya dilakukan agar pengambil kebijakan, pelaksana lapangan serta
investor dapat memperhitungkan kendala serta biaya investasinya apabila akan
dikembangkan.
A. Existing Condition
119
Volume Sampah
Tinggi Tumpukan Sampah
2.50
IPAS
1.00 Pemulung
Kualitas air sungai
Gas metana
7) Peraturan Perundangan
8) Kelembagaan
9) Tata Ruang
10) Kebijakan Pemerintah
11) Kerjasama lintas Sektor
12) Keterlibatan Pusat
13) Donor Agency
14) Keterlibatan swasta
15) Keamanan
16) Konflik
17) Proses akumulasi dan degradasi
18) Partisipasi masyarakat dalam perencanaan
19) Kualitas lingkungan sekitar TPA
Berdasarkan penilaian pengaruh langsung antar faktor, dari 19 faktor yang
teridentifikasi didapatkan sebanyak lima faktor yang mempunyai pengaruh tinggi
terhadap kinerja sistem dan ketergantungan antar faktor yang juga tinggi yaitu: 1).
Dukungan DPRD; 2). Dukungan Pemda; 3). Pendanaan; 4). Dukungan Masyarakat; 5).
Kelembagaan serta empat faktor yang mempunyai pengaruh yang tinggi walaupun
ketergantungan antar faktor yang rendah, yaitu: 1). Keterlibatan swasta: 2). Peraturan
perundangan; 3). Donor agency; 4). Teknologi (Gambar 27).
Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang
Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji
3.00
2.00
Pengaruh
Dukungan PEMDA
Keterlibatan Swasta
1.50 Pendanaan
Peraturan Perundangan Dukungan Masyarakat
Donor Agency
Teknologi Kelembagaan
1.00 Tata Ruang Kebijakan Pemerintah
Keterlibatan Pusat Partisipasi Masyarakat
Keamanan Sumberdaya Manusia
0.50 Kualitas lingkungan
Kerjasama Lintas Sektor
Konflik
Proses Akumulasi dan
degradasi
-
- 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50
Ketergantungan
1.80
Luas lahan IPAS
1.60
Peraturan Perundangan
1.40 Keterlibatan Swasta
Teknologi
Pendanaan
1.20
Pengaruh
Donor Agency
Volume sampah
0.60
Kelembagaan
Kesehatan Masyarakat
0.40
Dukungan DPRD
-
- 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60 1.80 2.00
Ketergantungan
c. Peraturan Perundangan
Kemauan politik dari pengelola persampahan dan kesadaran masyarakat akan
bahaya yang ditimbulkan dari pengelolaan sampah yang kurang tepat sangat diharapkan
ketimbang harus terus menerus berkonflik dengan pihak-pihak pengelola sampah.
Upaya untuk memebrikan landasan hukum yang kuat dalam pengelolaan sampah yang
komprehensif, terpadu, lintas sektor, konsisten, efektif dan responsif terhadap
kebutuhan masyarakat perlu adanya Undang-undang pengelolaan sampah sebagai
kepastian hukum, perlindungan hukum bagi stakeholders serta sebagai landasan untuk
kebijakan, perencanaan, program dan kegiatan pada pengelolaan sampah. Kebijakan
jangka panjang "harus ditegakan", meliputi aspek hukum, pendidikan sosial,
pengelolaan sumberdaya manusia dan pengembangan riset dan teknologi. Aspek hukum
harus dikembangkan untuk: Pembagian tanggung jawab dalam pengelolaan sampah;
Pengawasan terhadap pengumpulan sampah yang dilaksanakan pihak swasta;
Pengawasan lokasi- lokasi TPA kecil; dan Peraturan hukuman terhadap pembuangan
sampah ilegal.
Penegakan hukum tentang kebersihan (termasuk sampah) masih lemah, untuk
mendukung sistem pengelolaan sampah yang baru, diperlukan penataan kembali
peraturan yang telah ada, serta penerbitan peraturan yang baru baik berupa Perda, SK
Gubernur dan Instruksi Gubernur sesuai kebutuhan, baik menyangkut aspek institusi
maupun teknis operasional. Dengan perubahan paradigma pengelolaan kebersihan
mengikuti hasil kajian ini, maka perlu diuraikan lebih lanjut aspek kelembagaan dan
dasar hukumnya. Hal-hal mendasar yang menyebabkan perubahan paradigma adalah:
Struktur pengelolaan kebersihan lebih terarahkan pada bentuk korporasi dan bukan lagi
sepenuhnya di Pemerintah Daerah; Perubahan fungsi pelaku pelayanan antar regulator
(Dinas Kebersihan) dan operator (Dinas Kebersihan dengan swasta atau swasta penuh);
dan Perubahan cakupan daerah pelayanan.
Selain itu perumusan dasar hukum mencakup ketentuan fungsi operator yakni:
menerima limpahan wewenang dan tanggung jawab pengelolaan sampah dari
Pemerintah Daerah, Dinas Kebersihan yang akan melaksanakan tugas operasional
antara lain meliputi: penyapuan jalan-jalan utama, pengangkutan sampah dari TPS ke
SPA/TPA atau dari SPA ke TPA; dan berbagai paket pekerjaan yang terbuka
peluanganya dalam kebijakan pengelolaan kebersihan sampah padat misalnya
125
d. Pendanaan
Terbatasnya dukungan dana untuk operasional dan ivestasi pengelolaan TPA,
harus diperhitungkan dalam menentukan teknologi sampah, pertimbangan investasi
yang murah salah satu kriteria. Biaya pendampingan investasi oleh swasta hendaknya
dibatasi pada dana conterpart seperti prasarana dan sarana pendukung yang strategis
(antara lain penyediaan lahan, jalan lingkungan prasarana dan sarana ke PU-an).
Sampah merupakan komoditi ekonomi, bila sampah diolah menjadi barang yang
bernilai ekonomi, akan menarik investasi, sehingga berkemungkinan menghasilkan
PAD. Sepanjang ada kegiatan pembuangan sampah ke TPA, Pemda DKI Jakarta
menganggarkan dana setiap tahunnya, dalam rangka merealisasi addendum SKB.
Perubahan kebijakan pengelolaan sampah DKI Jakarta dimasa akan datang
menyangkut waktu dan investasi yang signifikan, maka untuk pelaksanaan
pembangunan prasarana dan sarana diperlukan dana besar, hal ini memungkinkan
Pemerintah DKI Jakarta untuk memperoleh pinjaman jangka panjang dari Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank
dan masyarakat, mengacu Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Alternatif sumber dana
pinjaman jangka panjang yang saat ini dapat diajukan oleh Pemerintah DKI Jakarta
adalah pinjaman dari Pemerintah Pusat yang dananya dari luar negeri, pinjaman rupiah
murni dari Pemerintah Pusat serta Bank Pemerintah dan Bank Komersial.
Dalam perjanjian kerja sama antara Pemerintah DKI Jakarta dengan Pemerintah
Kota Bekasi disebutkan bahwa pengoperasian TPA Bantar Gebang akan dilaksanakan
oleh Badan Usaha yang harus terbentuk paling lambat tahun 2006, menunggu
terbentuknya Badan Usaha tersebut, saat ini TPA Bantar Gebang dioperasikan oleh PT.
Patriot Bangkit Bekasi, yang juga akan berakhir pada tahun 2006.
126
e. Teknologi
Intermediate Treatment Facility (ITF) adalah teknologi yang merubah bentuk,
komposisi dan volume sampah padat dengan tujuan mereduksi jumlah sampah atau
residu yang harus dibuang ke TPA. Sebagai fasilitas tunggal, sebuah ITF dapat
menggunakan satu atau lebih teknologi, tergantung dari faktor, biaya, kebutuhan lahan,
kendala, efisiensi dan efektifitas. Fasilitas ITF yang menggunakan beberapa jenis
teknologi secara terpadu pada satu lokasi, pada dasarnya sama dengan TPST (Tempat
Pengelolaan Sampah Terpadu). Sebagai satu sistem, tiap daerah pelayanan harus
dipandang sebagai TPST. Jadi, sejumlah teknologi tersebut dapat digunakan, sebagai
tambahan proses daur ulang. Secara khusus, sistem ini diharapkan mencakup
komposting sampah pasar, dan minimal daur ulang sampah yang tidak dapat dibakar.
Teknologi pengelolaan atau pemusnahan sampah yang diyakini dapat
mengurangi polusi udara dan yang dilaksanakan sebaiknya sanitary landfill (sampah
ditumpuk dikubur pada daerah yang cekung atau lokasi yang sudah digali lalu
dipadatkan dan dilapisi tanah penutup). Pengembangan teknologi harus memperhatikan
kriteria dan standar minimal penentuan lokasi penampungan akhir sampah, penetapan
lokasi pengelolaan akhir sampah, luas minimal lahan untuk lokasi pengolahan akhir
sampah dan penetapan lahan penyangga (buffer zone). Metode pengelolaan sampah
dengan sistem pemilahan juga dapat menimbulkan multiplier effect baik bagi
lingkungan, masyarakat sekitar dan pemerintah.
Pemilihan teknologi yang dapat memadukan beberapa metode pemusnahan
sampah yang sudah ada, antara lain pemilahan upaya mengurangi (reduce), memakai
kembali (re-use), mendaur ulang (recyeling) sampah dan mengganti (replace) secara
terpadu, bagi sampah yang terkumpul di TPA, sampah dapat diurai sesuai dengan bahan
dan jenisnya untuk memindahkan proses pengelolaan selanjutnya. Manfaatnya adalah
untuk menggali potensi dari bagian-bagian sampah tersebut serta kompos yang
dihasilkan untuk memperbaiki lingkungan serta dapat menghemat penggunaan lahan
TPA, bagi lingkungan dan potensi ekonomi dapat digali dari tumpukan sampah di TPA
dengan proses pemilahan sebagai berikut: 1). Sampah organik yang tertimbun diolah
menjadi kompos untuk meningkatkan kesuburan tanah di sekitar lokasi TPA, hutan
kota/penghijauan dan lingkungan permukiman; 2). Sampah non organik yang bernilai
ekonomi: plastik, botol, besi/logam, kayu, kertas, kardus, kaca dan lain- lain untuk
127
bahan baku daur ulang; dan 3). Sampah non organik tidak bernilai ekonomi, bagian-
bagian sampah yang sudah hancur kemudian dibakar, abunya dijadikan bahan
pembuatan batako, conblok, internit dan lain sebagainya.
f. Keterlibatan Swasta
Swasta telah berperanserta dalam pengelolaan sampah seperti pengoperasian
SPA Cakung dan TPA Bantar Gebang. Perlu ditingkatkan, terutama dalam investasi,
untuk membangun pasilitas pengolahan sampah (SPA, TPA, insinerator) termasuk
pengoperasiannya. Banyak swasta yang berminat untuk investasi dalam pembangunan
dan pengoperasian prasarana pengelolaan sampah, dalam kenyataannya sumber dana
mereka juga sangat tergantung dari bank. Pada umumnya swasta akan berusaha
sebagian besar dana investasinya pinjaman bank jangka panjang, dalam hal ini investor
swasta mungkin harus membayar bunga yang lebih tinggi, yaitu sekitar 15 % per tahun,
daripada tingkat bunga yang dikenakan, disamping itu, jangka waktu pengembalian
pinjaman juga lebih pendek daripada jangka waktu yang diberikan. Oleh karena itu,
keterlibatan investasi swasta dalam pembangunan dan pengoperasian prasarana
persampahan akan mengakibatkan peningkatan faktor biaya modal.
Kerjasama dengan mitra swasta untuk kontrak jangka pendek dibawah lima
tahun cukup menjadi kewenangan Gubernur, kontrak jangka panjang atau kerjasama
dengan mitra internasional diatur dalam peraturan daerah. Kerjasama dengan pihak
swasta saat ini masih cost center, swasta bergerak karena ada pembiayaan dari APBD.
Lebih jauh swasta dapat diberdayakan menjadi mandiri dengan status operator, dimana
Dinas Kebersihan akan lebih memfokuskan sebagai regulator setatusnya sebagai
pembina, pengatur dan pengawas. Kerjasama dengan swasta dapat berwujud Built
Operate and Own (BOO), jika kerjasama dalam jangka panjang dimana permodalan
dan resiko investasi sepenuhnya pada mitra swasta, atau Built Operate and Transfer
(BOT), jika kerjasama dalam jangka panjang, dimana setelah habis masa kontrak,
seluruh asset ditransfer kepada Pemerintah DKI Jakarta.
Kemitraan dengan swasta dalam penyediaan pelayanan dan investasi prasarana
dan sarana persampahan dengan meningkatkan iklim yang kondusif bagi kemitraan
Pemerintah, swasta dan masyarakat. Diperlukan swasta dalam rangka penanganan
pembangunan akhir sampah yang melibatkan semua pihak terkait, dengan pembagian
tugas dan tanggung jawab secara proporsional. Masyarakat dan swasta diberi peran
128
lebih dalam pengelolaan persampahan, perlu dirangsang untuk mau lebih berperan aktif
dalam pengelolaan persampahan dengan pendekatan win-win solution.
Dalam perjanjian kerjasama antara Pemda DKI Jakarta dengan Pemda Kota
Bekasi disebutkan bahwa pengoperasian TPA dilaksanakan oleh Badan Usaha yang
harus terbentuk paling lambat tahun 2006. Sampai bulan Pebruari 2006 Badan Usaha
tersebut belum terbentuk, saat ini pengoperasian TPA oleh PT. Patriot Bangkit Bekasi.
Pengoperasian TPA diatur berdasarkan Perjanjian Kerja antara Pemerintah Propinsi
DKI Jakarta dengan Pemerintah Kota Bekasi tentang Pemanfaatan lahan TPA
Bantargebang Kota Bekasi sebagai Tempat Pembuangan dan Tempat Pengolahan
Sampah Terpadu (TPST) yang ditandatangani tanggal 2 Juli tahun 2004.
g. Donor Agency
Investasi mencakup perbaikan pengumpulan sampah, pembangunan Stasiun
Peralihan Antara dan pengembangan TPA, peralatan penyapuan jalan dan bengkel, hal
ini tidak mencakup investasi untuk pengumpulan sampah pasar, sungai dan kanal, yang
akan tetap dibawah pengawasan instansi pemerintah yang bertanggung jawab pada saat
itu, akan tetapi, Dinas Kebersihan akan memusnahkan sampah pasar dan akan
bertanggung jawab untuk pengangkutan dan pemusnahan sampah sungai dan kanal.
Tahapan investasi tersebut adalah, pertama, mengutamakan perbaikan pengembangan
lokasi TPA Bantar Gebang, dan kedua perluasan areal TPA.
Sumber dana untuk investasi adalah anggaran tahunan (APBD) dan pinjaman
luar negeri dan dalam negeri. Rasional usulan rencana finansial harus didukung dengan
pertimbangan sebagai berikut: Pertama: Kontribusi APBD per tahun; Kedua: Pinjaman
luar negeri setara dengan 60% dari kebutuhan investasi dari rencana investasi proyek;
dan Ketiga: pinjaman dalam negeri untuk memenuhi keseimbangan kebutuhan
finansial. Sumber pinjaman luar maupun dalam negeri dalam bentuk subsidiary loan
agreements (SLA). Pinjaman dalam negeri dimaksudkan untuk didanai melalui
Departemen Keuangan via saluran rup iah murni Rekening Pembangunan Daerah.
Diperkirakan kondisi dasar pinjaman adalah sebagai berikut: 1). Pinjaman luar
negeri, jangka waktu 25 tahun, termasuk 7 tahun periode bebas bunga (contoh 18 tahun
periode pembayaran kembali) dengan suku bunga 4% per tahun. 2). Pinjaman dalam
negeri, jangka waktu 20 tahun, termasuk 5 tahun periode bebas bunga (contoh 15 tahun
periode pembayaran kembali), dengan suku bunga 4% per tahun. Analisis tingkat
129
kepentingan antar faktor hasil prospektif pada existing condition, need analysis dan
gabungan seperti Tabel 29.
Swasta Teknologi
TPA Terpadu
Masyarakat
Sekitar TPA
5.1. Simpulan
a. Pencemaran fisik-kimia dan biologi di sumur bawah dan atas dari TPA seperti: pH,
BOD5, COD, nitrat, nitrit, padatan terlarut, E. coli dan coliform, dan sumur yang
di atas dari TPA telah melampaui baku mutu lingkungan Keputusan Menteri
Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor 2 Tahun 1988 dan
Keputusan Gubernur KDH Ibukota Jakarta Nomor 1608. Kualitas rata-rata air
Sungai Ciketing secara keseluruhan telah terjadi peningkatan pencemaran.
d. Berhasil tidaknya TPA Terpadu, tergantung dari dukungan masyarakat dan empat
faktor yang mempunyai pengaruh tinggi dan ketergantungan yang tinggi yaitu:
1). Luas Lahan; pemanfaatan lahan TPA pada zone I sampai dengan zone V perlu
dilengkapi dengan rencana tindak sebagai arahan dan acuan Pemerintah DKI
Jakarta, Pemda Kota Bekasi, swasta dan masyarakat. 2). Instalasi Pengelolaan Air
Sampah (IPAS), perlu ditingkatkan dengan pengurangan BOD, COD sampai
batas baku mutu lingkungan, melengkapi dengan aerator dan kapasitasnya
ditingkatkan sampai dengan 130 persen dan menghilangkan unsur toxic. 3).
Peraturan Perundangan; Pusat sudah saatnya merumuskan sampah regional dan
menerbitkan Undang- undang tentang pembentukan organisiasi untuk
pemusnahan sampah gabungan, segera dibuat standar pengumpulan, pengolahan
dan pemusnahan sampah. Dasar hukum tentang fungsi operator seperti menerima
limpahan wewenang dan tanggung jawab pengelolaan sampah dari Pemerintah
Daerah, perlu segera dirumuskan. 4). Pendanaan; Biaya pendampingan investasi
oleh swasta dibatasi pada dana conterpart seperti prasarana dan sarana pendukung
yang strategis seperti penyediaan lahan, jalan lingkungan, prasarana dan sarana
ke PU-an. Dana pinjamman jangka panjang Pemda DKI Jakarta mengacu
133
5.2. SARAN
a. Pengelolaan air lindi pada IPAS 1 sampai dengan IPAS 4 sebaiknya masih
tanggung jawab Pemerintah DKI Jakarta, perlu ditingkatkan dengan pengurangan
BOD dan COD sampai dengan batas yang dipersyaratkan baku mutu lingkungan
agar tidak mencemari sungai dan sumur-sumur penduduk sekitar TPA, beban
IPAS perlu dijaga dengan menambahkan bangunan interciptor agar air hujan tidak
masuk dan melengkapi IPAS dengan aerator, dan kapasitasnya ditingkatkan
sampai 130 %, menghilangkan unsur toxic melalui pengolahan kimia- fisik
sebelum memasuki proses biologi.
b. Agar TPA Terpadu dapat efektif dan optimal, sampah yang ke TPA terlebih
dahulu dilakukan pemisahan sampah organik dan an organik dan memperhatikan
134
luas lahan yang efektif digunakan dan melengkapi rencana tindak sebagai acuan
DKI Jakarta, Pemda Kota Bekasi, swasta dan masyarakat yang dilengkapi zone
penyangga yang berfungsi untuk mengurangi gangguan bau, kebisingan dan
estetika.
DAFTAR PUSTAKA
Alaer, G.S. dan Sumesti. 1984. Metode Penelitian Air. Usaha Nasional. Surabaya.
Arianta, I.M. 1995. Aspek Sosial Lembaga Perkeriditan Desa: Paktor Penyebab
Partisipasi dan Status Sosial Anggota (Kasus Perbedaan LPD Berhasil dan
Kurang Berhasil di Kabupaten Badung, Bali) (Tesis). Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Center, L.W. 1977. Environmental Impac Assessment. Mc.Graw Hill. N.Y. 331 pp.
Clark, J.R. 1977. Costal Ecosystem Management. Jhon Wiley & Sons. New York.
Departemen PU RI. 1999. Tata Cara Pere ncanaan Tempat Pembuangan Akhir.
Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta.
136
Diana, E. 1992. Pemantauan Dampak Lokasi Pembuangan Akhir Sampah secara Sanitary
Landfill Bantar Gebang terhadap Kualitas Air Permukaan, Air Tanah dan Sosial
Ekonomi Masyarakat di Sekitarnya. (Tesis) Program Pascasarjana. IPB Bogor.
Dinas Kebersihan DKI Jakarta. 2002. Evaluasi Pemantauan TPA Sampah Bantar Gebang
Bekasi.
Dinas Kebersihan DKI Jakarta. 2005. Laporan Akhir Western Java Environmental
Management Project, Solid Waste Management for Jakarta.
El-Fadel, M., A.N. Findikakis, and O.J. Leckie, 1997. Environmental Impacts of Solid
Waste Landfilling, J. Environ Mgort. 50-1-25.
Elfian, E. 2001. Jangan Menunggu Kapal Pecah. Lembaga Penerbit FE-UI. Jakarta.
Emilsalim. 2004. Bumi Makin Panas, Banjir Makin Luas, Banyak Tragedi Kehancuran
Hutan. Yayasan Nuansa Cendekia.
Fairchild, H. P. 1977. Dictionary of Social Science and Related Science and Related
Science. Littlefield, Adams & Co. New Jersy.
Garna, J., H. Versnel, dan A. Enka. 1982. Sistim Mulung di Sukabumi, Informala Sector
Project Cooverative Action Research Program, Bandung.
Godet, M. 1999. Scenarios and Strategies, A. Toolbox For Scenario Planning Librairie
des Arts et Matiers. Paris. France.
GTZ dan Meneg LH RI. 1997. Pedoman Pendekatan Partisipatif Prencanaan Program
Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah. Kantor Menteri Negara Lingkungan
Hidup. Jakarta.
137
Hardjomidjojo. 2002. Panduan Analisis Prospektif. Bahan Kuliah Analisis System dan
Permodelan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan. Program Pascasarjana IPB
Bogor.
Huntington, Samuel P. and Joan M. Nilson, 1977. No. Eary Choice: Political
Participation In Developing Countries Harvard University Press, Cambrige,
Massachusets.
Husin, Y.A. dan E. Kustaman. 1992. Metoda dan Teknik Analisis Kualitas Air. PPLH-
Lembaga Penelitian IPB. Bogor.
Juli, S.S. 1994. Kesehatan Lingkungan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Kota Bekasi. 1999. Kota Bekasi Dalam Angka. Badan Pusat Statistik. Bekasi.
Meneg LH RI dan Japan International Cooperation Agency (JICA). 2003. The Study for
Development of Regulatory System of Solid Waste Management. Jakarta.
Meneg LH RI. 1999. Kebijaksanaan, Strategi dan Rencana Aksi Pengelolaan Lingkungan
Hidup. 2000-2025. Menteri Negara Lingkungan Hidup. Jakarta.
NTAC. 1968. Water Quality Criteria. Federal Water Pollution Control Administration.
Washington.
Payne, M. 1997. Modern Social Work Theory. Macmillan Press Ltd. London.
Pemda DKI Jakarta, 1997. Analisis Dampak Lingkungan Pembangunan dan Pengelolaan
TPA Bantar Gebang Bekasi.
Pescod, M.B. 1973. Investigation of Rational Effluen and Stream Standa rd for Tropical
Countries. AIT. Bangkok.
139
Prijono dan Pranarka. 1996. Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan, dan Implementasi. CSIS.
Jakarta.
Rojek and Chris. 1986. The Subject in Social Work. British Journal of Social Work 16(1)
65-79.
Saeni, M.S. 1989. Bahan Pengejaran Kimia Lingkungan. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan dan Institut Pertanian Bogor.
Saeni, M.S. 1991. Dampak pada kualitas air. Kursus Dasar Penyusun AMDAL PPLH
Lembaga Penelitian IPB-Bogor.
Saeni, M.S. 1997. Penentuan Tingkat Pencemaran Logam Berat dengan Analisis Rambut.
Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Kimia Lingkungan Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam. IPB.
Sa’id, G. 1987. Sampah Masalah Kita Bersama. Madiyatama Sarana Perkasa. Jakarta.
Saaty, T.L. 1983. Decision Making for Leaders: The Analytical Hierarchy Process for
Decision in Complex World RWS Publication, Pittsburgh.
Samom, M., C.L. Sales, and S. Phunsiri. 2002. Solid Waste Racycling Disposal and
Management in Bangkok. J. Environ Res 28:106-112.
Saruji, D. 1986. Sampah Ditinjau dari Segi Kesehatan Lingkungan. Dalam Seminar
Pengelolaan Sampah di Kotamadya Surabaya.
Siegel, S. 1990. Statistik Nonparametrik, untuk Ilmu- ilmu Sosial. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
140
Silalahi, T.S. 1980. Studi Kualitas Fisik -Kimia Air Kali Cakung Sehubungan dengan
Daerah Industri Pulo Gadung di DKI Jakarta. (Tesis) Fakultas Pascasarjana, IPB.
Bogor.
Slamet, J.S. 1994. Kesehatan Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Soeratmo, F.G. 1998. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Soeratmo, F.G. 2002. Penanganan Sampah di Daerah, bahan rapat teknis alternatif solusi
penangan sampah di daerah.
Surat Perjanjian antara Pemda DKI Jakarta dengan Kota Bekasi. 1999. Nomor 96 Tahun
1999/168 tentang Pengelolaan Sampah dan tempat Pembuangan Akhir (TPA) di
Kecamatan Bantar Gebang. Bekasi.
Sumitro, B.S. 1991. Studi Pendahuluan tentang Komposisi Kimia Energi Pembakaran
dan Mikroorganisme Dominan pada Sampah di Kotamadya Malang. Jurnal
Universitas Brawijaya, Malang 3:9 -15.
Suyoto, B. 2004. Malapetaka Sampah, Kasus TPA Bantar Gebang, Kasus TPA dan IPLT
Sumur Batu serta Kasus TPST Bojong. Adi Kencana Aji. Jakarta.
Thank. 1985. Waste disposal and resource recovery. In Proceeding of Seminar on Solid
Management Asian Institut of Tehchnological. Bangkok.
Tonny, F. 1990. Metoda dan Teknik Sosial Ekonomi. Kursus Penyusunan AMDAL IPB
Bogor.
Wuryadi. 1990. Telaah Kelangsungan Hidup Escherichia coli dalam Air Sumur Gali dan
Kaitannya sebagai Indikator Pencemaran Tinja dalam System Air Tanah. Fakultas
Pascasarjana IPB. Bogor.
142
Identitas Responden
Nama : ...........................................................................
Alamat : ...........................................................................
Assalamualaikum Wr.Wb.
Nama saya Royadi, pekerjaan Staf Ditjen Bina Bangda, Departemen Dalam Negeri. Sementara ini saya
sedang mengikuti Sekolah Pascasarjana S3 IPB, Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, dibawah
Bimbingan Prof.Dr.Ir.M. Sri Saeni, MS, Dr.Ir. Hartrisari H, DEA dan Dr.Ir. Lala M. Kolopaking, MS.
Sehubungan dengan penyusunan disertasi yang berjudul ”Pemanfaatan TPA Sampah Pascaperasi Berbasis
Masyarakat, studi Kasus TPA Bantar Gebang Bekasi”. TPA Bantar Gebang luas 108 Ha terdiri 5 zona,
secara administrative berada di Kota Bekasi. Kondisi TPA saat ini sudah penuh, keadaan yang terjadi
dalam TPA proses akumulasi, pembentukan air lindi, gas, degradasi dan perasapan air lindi. Oleh karena itu
dampak lingkungan pascas operasi tergantung dari pemanfaatannya.
Besar harapan saya Bapak/Ibu dapat berpartisipasi dalam penelitian ini dengan cara: !). Menuliskan
jawaban apa yang menjadi faktor kunci/penting/strategis, 2).Membandingkan pengaruh langsung antar
faktor (pada butir a) dalam pemanfaatan TPA sampah pasca operasi berbasis partisipasi masyarakat. Atas
kesediaan Bapak/Ibu saya haturkan terima kasih.
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
TAHUN 2005
143
1. Faktor - faktor kunci (penting dan strategis) dalam pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi
berbasis masyarakat (Need Analysis):
A. Pendanaan
B. Dukungan Pemda
C. Teknologi
D. Kelembagaan
E. Peraturan Perundangan
F. RTRWK
G. SDM
H. Kerjasama Lintas Sektor
I. Persepsi masyarakat
J. Partisipasi masyarakat ikut dalam perencanaan
K. Proses akumulasi dan degradasi
L. Limpasan dan penyerapan air lindi
M. Pencemaran sumur
N. Pencemaran sungai
O. Konflik
P. Keterlibatan Pemerintah Pusat
Q. Donor Agency
R. Dukungan legislatif DPRD/DPR-RI
S. Keterlibatan Swasta
1. Pengaruh langsung antar faktor dalam pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi berbasis
masyar akat di TPA Bantar Gebang Bekasi.
Pedoman penilaian:
Skor: Keterangan:
O Tidak ada pengaruh; 1. Berpengaruh kecil; 2. Berpengaruh sedang; 3. Berpengaruh kuat.
Pedoman pengisian:
§ Dilihat dulu apakah faktor tersebut tidak ada pengaruhnya terhadap faktor lain, jika ya beri nilai O.
§ Jika ada pengaruh, selanjutnya dilihat apakah pengaruhnya sangat kuat, jika ya beri nilai 3.
§ Jika ada pengaruh, baru dilihat jika pengaruhnya kecil=1, atau berpengaruh sedang=2.
Tabel 1: Pengaruh langsung antar faktor dalam pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi
berbasis masyarakat (need analysis).
Dari
A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S
Terhadap
A 3 3 2 2 3 2 2 2 1 2 2 1 1 2 3 3 3 3
B 3 2 3 3 2 3 3 2 3 1 2 2 2 3 3 2 3 3
C 3 3 2 2 2 3 2 2 3 1 2 2 2 1 2 2 3 3
D 2 2 2 2 2 3 2 2 1 1 1 2 1 2 2 2 2 2
E 2 3 2 3 2 2 2 2 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2
F 1 2 1 2 2 1 1 1 2 1 1 1 1 2 2 1 2 2
G 2 2 3 2 2 1 2 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0
H 2 2 2 1 2 1 1 1 1 0 0 0 0 1 2 1 3 1
I 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 2 2 1 3 1 0 1 0
J 1 2 1 1 1 1 2 1 3 1 0 0 1 2 0 2 1 2
K 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 2 2 2 2 0 0 1 0
L 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 2 3 3 2 1 0 1 0
M 1 1 1 0 1 0 0 0 1 1 3 1 3 3 1 0 1 0
N 1 1 1 0 1 0 0 0 1 1 2 1 2 2 0 0 2 1
O 1 2 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 0
P 2 3 2 2 3 2 1 3 1 2 1 1 1 1 1 1 2 2
Q 3 3 2 3 3 1 3 2 1 1 0 0 0 0 0 1 3 3
R 3 3 2 3 3 2 1 2 2 2 1 2 2 1 2 2 1 2
S 3 3 3 1 3 2 1 3 1 2 1 1 2 1 1 2 2 2
Sumber: godet, 1999.
Keterangan: A-Z = Faktor penting
144
2. Pengaruh langsung antar faktor dalam pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi berbasis
masyarakat di TPA Bantar Gebang Bekasi.
Pedoman penilaian:
Skor: Keterangan:
O Tidak ada pengaruh; 1. Berpengaruh kecil; 2. Berpengaruh sedang; 3. Berpengaruh kuat.
Pedoman pengisian:
§ Dilihat dulu apakah faktor tersebut tidak ada pengaruhnya terhadap faktor lain, jika ya beri nilai O.
§ Jika ada pengaruh, selanjutnya dilihat apakah pengaruhnya sangat kuat, jika ya beri nilai 3.
§ Jika ada pengaruh, baru dilihat jika pengaruhnya kecil=1, atau berpengaruh sedang=2.
Tabel 2: Pengaruh langsung antar faktor dalam pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi
berbasis masyarakat (existing condition).
Dari
A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S
Terhadap
A 3 2 2 1 1 2 1 1 2 2 1 1 2 2 2 3 2 2
B 3 3 1 3 3 3 2 3 2 2 1 3 3 3 3 2 2 1
C 3 3 2 2 2 2 2 1 2 2 2 2 2 3 2 2 3 2
D 1 1 1 2 2 2 2 1 2 1 1 2 1 1 2 1 1 1
E 2 2 3 1 0 0 0 0 0 1 2 1 2 0 2 2 3 0
F 3 2 2 2 0 3 2 1 1 1 1 2 1 1 1 2 0 0
G 2 2 2 2 0 2 1 0 2 0 0 2 1 1 2 2 1 0
H 1 2 2 1 1 2 2 1 1 1 1 1 2 2 1 1 1 0
I 1 3 1 1 0 0 1 0 0 0 0 1 1 0 2 1 1 0
J 3 2 2 2 2 2 2 1 0 0 1 2 2 1 2 2 1 0
K 1 2 1 0 2 0 0 0 0 0 1 0 1 2 1 1 0 1
L 1 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 1 1 2 1 0 0
M 1 1 2 1 2 1 2 1 1 1 0 1 1 1 2 1 0 0
N 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
O 3 3 2 1 2 1 2 2 3 1 2 1 2 2 2 2 1 2
P 2 2 2 1 2 2 2 1 2 1 1 1 1 2 2 2 2 1
Q 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2
R 1 2 2 1 1 0 0 1 1 0 0 0 3 2 1 3 3 1
S 2 2 1 0 0 0 0 1 0 1 0 1 1 2 1 2 1 1
Sumber: godet, 1999.
Keterangan: A-Z = Faktor penting
145
Tabel 3: Faktor-faktor Pene ntu Hasil Gabungan (existing condition dan need anayis).
Dari
A B C D E F G H I J
Terhadap
A 3 3 3 3 1 0 2 3 0
B 3 3 3 2 0 0 1 2 0
C 3 2 3 3 1 0 2 3 0
D 3 3 3 2 2 0 2 2 0
E 2 1 3 2 1 0 1 3 0
F 0 0 2 1 1 0 3 2 0
G 0 0 0 0 0 0 2 3 1
H 1 0 2 1 0 1 2 3 1
I 3 2 3 2 1 1 3 2 0
J 1 1 0 0 0 0 1 2 0
Sumber: godet, 1999.
Keterangan: A-Z = Faktor penting
146
Lampiran: 2. Curah Hujan Bulanan di Bekasi (mm), tahun 1979-1988, Sta 841 Bekasi
No Tahun Jan Feb Mar April Mei Juni Juli Agust Sept Okt Nop Des
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
1 1988 339 - - - - - - - - - -
2 1987 382 - - - - - - - - - -
3 1986 190 136 222 282 112 194 141 172 241 255 295 198
4 1985 - - - 241 - 109 184 - 182 198 47
5 1984 - 271 205 - 206 - 43 26 - - -
6 1983 372 170 105 315 403 - - - - - -
7 1982 333 187 360 265 54 121 6 - - - -
8 1981 464 121 270 327 26 159 153 136 50 199 244 464
9 1980 454 162 318 72 109 36 88 170 87 250 394 304
10 1979 391 132 159 205 147 5 27 113 195 286 533 293
Rata-rata 3666 168 234 244 151 104 92 123 151 238 31 157,30
Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta.
Keterangan: - : Tidak terdeteksi.
147
No Tahun Jan Feb Mar April Mei Juni Juli Agust Sept Okt Nop
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
1 1988 21 - - - - - - - - - -
2 1987 25 - - - - - - - - - -
3 1986 18 16 14 14 6 10 9,5 9 10 12 20
4 1985 - - - - - 5 11 0 11 12 6
5 1984 - 15 9 9 7 - 3 5 - - -
6 1983 14 7 7 7 7 - - - - - -
7 1982 15 6 13 13 3 3 1 - - - -
8 1981 13 6 13 13 3 5 10 7 4 7 7
9 1980 17 11 12 72 6 4 6 7 4 9 14
10 1979 18 19 13 12 4 2 2 7 13 8 19
Rata-rata 18 11 12 11 129 9 6 7 8 10 13
Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta.
Keterangan: - : Tidak terdeteksi.
148
Lampiran 4: Analisis Kualitas Air Lindi sebelum diolah IPAS 1 (Inlet), 2004.
Air Lindi IPAS I (Inlet) Rata-
Parameter Satuan BM Kisaran
2 Okt 04 23 Okt 04 27 Nop 04 rata
Suhu ºC 35,4 34,7 31,2 31,2-35,4 33,7
Kekeruhan NTU 1550 1523 1235 1235-1550 1436
pH - 6– 9 8,16 8,22 7,87 7,87-8,22 8,03
Warna PtCo 5700 5334 5690 5334-5700 5574
TDS Mg/liter 8050 9032 7957 7957-9032 8346
BOD5
Mg/liter 50 650 598 548 548-650 596
Lampiran 5: Analisis Kualitas Air Lindi sebelum diolah IPAS 2 (Inlet), 2004.
Lampiran 6: Analisis Kualitas Air Lindi sebelum diolah IPAS 3 (Inlet), 2004.
Lampiran 7: Analisis Kualitas Air Lindi sebelum diolah IPAS 4 (Inlet ), 2004.
Lampiran 8: Analisis Kualitas Air Lindi sesudah diolah IPAS 1 (Outlet), 2004.
Lampiran 9: Analisis Kualitas Air Lindi sesudah diolah IPAS 2 (Outlet), 2004.
Lampiran 10: Analisis Kualitas Air Lindi sesudah diolah IPAS 3 (Outlet), 2004.
Air Lindi IPAS 3 (Outlet ) Kisaran Rata-rata
Parameter Satuan BM
2 Okt 04 23 Okt 04 27 Nop 04
Suhu ºC 30,9 31,3 29,7 29,7-31,3 30,6
Kekeruhan NTU 260 348 288 260-348 298
pH - 6– 9 8,15 8,22 7,87 7,87-8,22 8,08
Warna PtCo 1113 1256 1005 1005-1256 1124
TDS Mg/liter 6170 5990 5490 5490-6170 5883
Lampiran 11: Analisis Kualitas Air Lindi sesudah diolah IPAS 4 (Outlet ), 2004.
Air Lindi IPAS 4 (Outlet) Kisaran Rata -rata
Parameter Satuan BM
2 Okt 04 23 Okt 04 27 Nop 04
Suhu ºC 30,5 31,0 27,9 27,9-31,0 29,8
Kekeruhan NTU 165 202 128 128-202 165
pH - 6– 9 7,99 7,87 7,34 7,34-7,99 7,73
Warna PtCo 860 880 876 860-880 872
TDS Mg/liter 7900 8340 8024 7900-8340 8088
Lampiran 12: Kualitas Air Lindi Titik Inlet dan Outlet Tahun 2003
Lampiran 13: Kualitas Air Lindi Titik Inlet dan Outlet Tahun 2002
Lampiran 14: Kualitas Air Lindi Titik Inlet dan Outlet Tahun 2001
Lampiran 15: Kualitas Air Lindi Titik Inlet dan Outlet Tahun 2000
Lampiran 16: Kualitas Air Sumur di Sekitar TPA Bantar Gebang Tahun 2003
Nama/Kode Lokasi
Pengambilan Sampel Air Sumur
Parameter Satuan Standard
S. Batu Cikiwul Ciketing Ciketing
(1) (2) (3) (4)
Suhu oC 25,4 26,7 26,4 25,3
Kekeruhan NTU 5 16 2 3 2
pH 6.9-8.5 6,75 6,84 6,76 6,63
TDS 164 402 198 283
BOD5 3,89 4,07 3,40 3,09
COD 8,24 9,83 8,27 6,32
Ammonia (N-NH3) 0,327 0,502 0,319 0,412
Kesadahan mg/liter 500 40,5 157,4 46,8 68,9
Nitrat (N-NO 3) mg/liter 1,684 0,425 1,466 2,423
Nitrit (N-NO 2) mg/liter 1 0,038 0,002 0,002 0,016
Klorida mg/liter 600 58,6 34,9 56,4 92,3
DO mg/liter 3,04 3,06 3,08 3,14
Besi (Fe) mg/liter 1.0 0,512 0,398 <0,05 <0,05
Timbal (Pb) mg/liter 0.05 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06
Sulfida mg/liter <0,05 <0,05 <0,05 <0,05
Ortho-Phosfat mg/liter 3,47 4,25 2,46 2,54
Seng (Zn) mg/liter 15 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001
Coliform MPN/ml 0,03x10¹ 0,04x10¹ 6,1x10¯¹ 6,4x10¯¹
E. coli MPN/ml 0,3x10¯² 0,7x10¯² 5,2x10¯¹ 6,4x10¯¹
Sumber: Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2003
160
Lampiran 17: Kualitas Air Sumur di Sekitar TPA Bantar Gebang Tahun 2002
Nama/Kode Lokasi
Pengambilan Samp el Air Sumur
Parameter Satuan Standard
S. Batu Cikiwul Ciketing Ciketing
(1) (2) (3) (4)
Suhu oC 22,8 23,5 22,1 23,8
Kekeruhan NTU 5 3,20 5 3,40 1,30
pH 6.9-8.5 6 5,50 6,20 6,70
TDS 176 40,8 169 189
BOD5 4,09 4,12 3,05 3,44
COD 11,05 10,4 10,2 11,6
Ammonia (N-NH3) 0,64 0,26 0,38 0,27
Kesadahan mg/liter 500 44,3 138,9 47,7 598,3
Nitrat (N-NO 3) mg/liter - 0,06 - -
Nitrit (N-NO 2) mg/liter 1 0,01 0,04 0,02 0,01
Klorida mg/liter 600 28,07 37,43 60,83 67,85
DO mg/liter 3,06 3,02 3,05 3,09
Besi (Fe) mg/liter 1.0 - 0,44 0,22 0,93
Timbal (Pb) mg/liter 0.05 - - - -
Sulfida mg/liter <0,05 <0,05 <0,05 <0,05
Ortho-Phosfat mg/liter 4,26 3,72 1,58 1,69
Seng (Zn) mg/liter 15 - 8,98 0,96 8,47
Coliform MPN/ml <2 300.10³ 900.10 300.10²
E. Coli MPN/ml <2 300.10³ 300.10 300.10²
Sumber: Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2002.
Keterangan: - : Tidak terdeteksi
161
Lampiran 18: Kualitas Air Sumur di Sekitar TPA Bantar Gebang Tahun 2001
Nama/Kode Lokasi
Pengambilan Samp el Air Sumur
Parame ter Satuan Standard
S. Batu Cikiwul Ciketing Ciketing
(1) (2) (3) (4)
Suhu ºC
Kekeruhan NTU 5 5,50 3,20 5,20 4,40
pH 6.9-8.5 10,00 7,20 6,60 6,80
TDS mg/liter 215,00 317,00 198,20 230,00
BOD5 mg/liter 4,72 4,83 3,68 3,59
COD mg/liter 9,04 8,62 7,92 8,26
Ammonia (N-NH3) 0,11 - 0,05 0,12
Kesadahan mg/liter 500 457 142,6 492 479,8
Nitrat (N-NO 3) mg/liter 9,48 10,00 8,32 7,64
Nitrit (N-NO 2) mg/liter 1 0,01 0,01 0,04 0,15
Klorida mg/liter 600 2,34 51,47 11,70 88,90
DO mg/liter 3,07 3,09 3,02 3,06
Besi (Fe) mg/liter 1.0 <0,05 <0,05 0,16 0,14
Timbal (Pb) mg/liter 0.05 - - - -
Sulfida mg/liter <0,05 <0,05 <0,05 <0,05
Ortho-Phosfat mg/liter 4,09 4,01 3,02 1,05
Seng (Zn) mg/liter 15 0,02 0,01 0,02 -
Coliform MPN/ml 8 23 16000 5000
E. coli MPN/ml 8 23 1600 5000
Sumber: Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2001
Keterangan: - : Tidak terdeteksi
162
Lampiran 19: Kualitas Air Sumur di Sekitar TPA Bantar Gebang Tahun 2000
Nama/Kode Lokasi
Pengambilan Sampel Air Sumur
Parameter Satuan Standard
S. Batu Cikiwul Ciketing Ciketing
(1) (2) (3) (4)
Suhu ºC 25,1 26,0 25,8 25,0
Kekeruhan NTU 5 10,0 16,5 8,35 9,7
pH 6.9-8.5 6,60 6,20 6,13 6,40
TDS mg/liter 246 328 205 240
BOD5 mg/liter 5,86 4,64 3,82 3,46
COD mg/liter 9,61 7,84 8,26 7,38
Ammonia (N-NH3) mg/liter 1,5 0,02 - 0,05 0,04
Kesadahan mg/liter 500 170,20 69,70 80,10 80,30
Nitrat (N -NO 3) mg/liter 5,0 6,34 10,21 8,45 9,20
Nitrit (N-NO2) mg/liter - - - - -
Klorida mg/liter 600 8,50 40,00 10,00 9,60
DO mg/liter 3,05 3,08 3,01 3,4
Besi (Fe) mg/liter 1.0 - - 0,12 0,15
Timbal (Pb) mg/liter 0.05 - - - -
Sulfida mg/liter <0,05 <0,05 <0,05 <0,05
Ortho-Phosfat mg/liter 3,05 4,07 2,08 1,06
Seng (Zn) mg/liter 15 0,02 0,01 0,01 0,02
Coliform MPN/100ml 8 23 16000 5000
E. coli MPN/100ml 8 23 1600 5000
Sumber: Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2000
Keterangan: - : Tidak terdeteksi
Lampiran 20: Kualitas Air Sungai Ciketing pada titik Inlet dan Outlet
Lampiran: 2. Curah Hujan Bulanan di Bekasi (mm), tahun 1979-1988, Sta 841 Bekasi
No Tahun Jan Feb Mar April Mei Juni Juli Agust Sept Okt Nop Des
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
1 1988 339 - - - - - - - - - -
2 1987 382 - - - - - - - - - -
3 1986 190 136 222 282 112 194 141 172 241 255 295 198
4 1985 - - - 241 - 109 184 - 182 198 47
165
No Tahun Jan Feb Mar April Mei Juni Juli Agust Sept Okt Nop
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
1 1988 21 - - - - - - - - - -
2 1987 25 - - - - - - - - - -
3 1986 18 16 14 14 6 10 9,5 9 10 12 20
4 1985 - - - - - 5 11 0 11 12 6
5 1984 - 15 9 9 7 - 3 5 - - -
6 1983 14 7 7 7 7 - - - - - -
7 1982 15 6 13 13 3 3 1 - - - -
8 1981 13 6 13 13 3 5 10 7 4 7 7
9 1980 17 11 12 72 6 4 6 7 4 9 14
10 1979 18 19 13 12 4 2 2 7 13 8 19
Rata-rata 18 11 12 11 129 9 6 7 8 10 13
Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta.
Keterangan: - : Tidak terdeteksi.
166
I. KONDISI MASYARAKAT:
A. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat:
1. Berapa usia Bapak/Ibu/Sdr saat ini:
a 21 s/d 30 tahun
b 31 s/d 40 tahun
c 41 s/d 50 tahun
d Kurang dari 21 tahun.
e Lebih dari 50 tahun.
2. Matapencaharian utama Bapak/Ibu/Sdr sebelum ada TPA:
a Petani
b Pedagang
c Buruh
d Karyawan
e Lain-lain (sebutkan………………………………)
3. Setelah adanya TPA Bantar Gebang:
a Petani
b Pedagang
c Buruh
d Karyawan
e Lain-lain (sebutkan………………………………)
4. Berapa pendapatan/penghasilan Bapak/Ibu/Sdr/bulan sebelum ada TPA:
a Lebih kecil dari Rp.150.000,-
b Rp.150.000,- s/d Rp.200.000, -
c Rp.250.000,- s/d Rp.350.000, -
d Rp.400.000,- s/d Rp.500.000, -
e Rp.550.000,- s/d Rp.700.000, -
f Rp.750.000,- s/d Rp.900.000, -
g Lebih dari Rp.900.000,-
5. Pendapatan/penghasilan Bapak/Ibu/Sdr/bulan setelah adanya TPA:
a Lebih kecil dari Rp.150.000,-
b Rp.150.000,- s/d Rp.200.000,-
c Rp.250.000,- s/d Rp.350.000,-
d Rp.400.000,- s/d Rp.500.000,-
e Rp.550.000,- s/d Rp.700.000,-
f Rp.750.000,- s/d Rp.900.000,-
g Lebih dari Rp.900.000,-
6. Berapa besar biaya yang Bapak/Ibu/Sdr keluarkan untuk kebutuhan
hidup sehari-hari:
a Rp.3.000,- s/d Rp.5.000,-
b Rp.>5.000,- s/d Rp.7.000,-
c Rp.>7.000,- s/d Rp.9.000,-
d Rp.>9.000,- s/d Rp.10.000,-
e Rp.>10.000,- s/d Rp.15.000,-
f Rp.>15.000,- s/d Rp.20.000,-
g Lebih dari Rp.20.000,-
167
14. Apakah ada konflik antara pemulung dengan masyarakat sekitar TPA:
a Tidak ada konflik
b Ada konflik
15. Apakah ada konflik antara pemulung dengan petugas TPA:
a Tidak ada konflik
b Ada konflik
171
AHP adalah salah satu alat analisis dalam pengambilan keputusan untuk menentuklan
kebijakan yang akan diambil dengan menetapkan prioritas dan membuat keputusan yang
paling baik ketika aspek Kualitatif dan Kuantitatif dibutuhkan untuk dipertimbangkan.
Penentuan prioritas strategi dilakukan dengan dua tahap yakni pembuatan hirarki
prioritas dan survei penentuan bobot.
Sedangkan untuk menentukan bobot dari strategi digunakan metode survai. Wawancara
dilakukan terhadap responden yang berkompeten dengan pemanfaatan TPA. Responden
diharapkan memberikan nilai dalam angka terbatas untuk memberi tingkat urutan (skala)
pentingnya strategis-strategis tersebut. Dalam AHP digunakan skala angka Saaty. mulai
dari 1 yang menggambarkan antara satu atribut terhadap atribut lainnya sama penting dan
untuk atribut yang sama selalu bernilai satu, sampai dengan 9 yang menggambarkan satu
atribut ekstrim penting terhadap atribut lainnya.