Você está na página 1de 62

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian Segmen bisnis ritel merupakan salah satu segmen penting bagi PT BNI (Persero) Tbk dalam upaya melaksanakan strategi Universal Banking. Salah satu komponen usaha yang cukup potensial dalam rangka meningkatkan aktivitas bisnis ritel BNI adalah dengan meningkatkan pemberian kredit atau pembiayaan kepada perorangan. BNI Syariah Cabang Bandung sebagai Pusat Layanan Pembiayaan Personal (LPP) diharapkan dapat membantu PT BNI (Persero) Tbk untuk meningkatkan aktivitas bisnis ritel tersebut, sekaligus meningkatkan fungsi kantor-kantor cabang dalam memberikan layanan jasa perbankan syariah yang optimal, berkualitas, dan memuaskan nasabah. Dengan keberadaan LPP, proses pemberian pembiayaan konsumtif dapat lebih cepat, akurat, dan terkendali. BNI Syariah dalam aktivitas pembiayaannya, melalui produk Murabahah tercatat sebagai transaksi yang terbanyak dipilih nasabah untuk pembelian aset. Murabahah adalah transaksi jual beli antara bank (penjual) dengan nasabah (pembeli), di mana bank mendapat sejumlah keuntungan, bank membeli barang (aset) yang diperlukan nasabah dan menjual kepada nasabah yang bersangkutan sebesar harga pokok ditambah dengan keuntungan yang disepakati. BNI Syariah memiliki beberapa produk pembiayaan Murabahah, diantaranya Murabahah Konsumtif dan Murabahah Produktif. Murabahah Konsumtif terdiri dari BNI Oto Syariah, BNI Griya Syariah, Multiguna Syariah, dan BNI Fleksi Syariah, sedangkan Murabahah Produktif terdiri dari Murabahah Usaha Ritel dan Murabahah Usaha Kecil. Berdasarkan data nasabah BNI Syariah Cabang Bandung yang berdiri pada tahun 2001, jumlah nasabah yang mengajukan pembiayaan setiap tahunnya mengalami peningkatan yang signifikan, dengan dominasi pembiayaan 75% adalah Murabahah, selebihnya Musyarakah, Mudharabah, dan pembiayaan lainnya. 1

Sumber: BNI Syariah Cabang Bandung (Data Diolah Kembali)

Grafik 1.1 menunjukkan bahwa selama 3 tahun terakhir jumlah nasabah yang melakukan realisasi akad pembiayaan Murabahah meningkat sebesar 324% di tahun 2007 (dari 339 nasabah menjadi 1.099 nasabah di tahun 2007). Tahun 2008 meningkat sebesar 167% dibandingkan tahun sebelumnya dengan jumlah nasabah sebanyak 1.836 nasabah sedangkan pada tahun 2009 meningkat sebesar 148% dibandingkan tahun sebelumnya dengan jumlah nasabah sebanyak 2.716 nasabah. Bertambahnya nasabah yang melakukan realisasi akad pembiayaan Murabahah menimbulkan kecemasan pada BNI Syariah akan meningkatnya kredit bermasalah atau yang lebih dikenal dengan Non Performing Financing (NPF). Menurut Rivai dan Arifin (2010:742) pembiayaan bank menurut kualitasnya pada hakikatnya didasarkan atas risiko kemungkinan menurut bank terhadap kondisi dan kepatuhan nasabah pembiayaan dalam memenuhi kewajiban-kewajiban untuk membayar bagi hasil, mengangsur, serta melunasi pembiayaannya kepada bank. Unsur utama dalam menentukan kualitas tersebut oleh waktu pembayaran bagi hasil, pembayaran angsuran maupun pelunasan pokok pembiayaan digolongkan menjadi lancar (pass), perhatian khusus (special mention), kurang lancar (substandard), diragukan (doubtful), dan macet (loss). Adapun untuk lebih jelasnya mengenai profil risiko pembiayaan Murabahah BNI Syariah Cabang Bandung tahun 2007-2009 dapat dilihat dalam Tabel 1.1. Tabel 1.1 Profil Risiko Pembiayaan Murabahah Tahun 2007-2009 Kolektabilitas Lancar Perhatian Khusus Kurang Lancar Diragukan Macet Jumlah NPF 2007 48.016.962.650 5.368.893.174 615.612.769 849.947.996 6.633.899.769 61.485.316.358 13,17% 2008 108.667.848.711 13.440.543.023 2.347.423.076 434.140.370 3.298.973.863 128.188.929.863 4,74% 2009 119.891.852.035 18.049.230.795 4.492.352.124 382.663.131 0 142.816.098.085 3,41%

Sumber: BNI Syariah Cabang Bandung (Data Diolah Kembali)

Tabel 1.1 menunjukkan bahwa pada tahun 2007 tingkat NPF BNI Syariah Cabang Bandung adalah sebesar 13,17%, pada tahun 2008 mengalami penurunan yang signifikan menjadi 4,74% dan pada tahun 2009 tingkat NPF kembali menurun menjadi 3,41%. Penurunan tingkat NPF selama tahun 2008 dan 2009 ini mencerminkan kinerja BNI yang semakin baik dalam mengelola penyaluran dana yang diberikan kepada nasabah dalam bentuk pembiayaan Murabahah walaupun jumlah nasabah yang melakukan realisasi akad Murabahah mengalami peningkatan. Adanya sejumlah nasabah yang mengalami pembiayaan bermasalah akan memunculkan kerugian atau risiko kredit sebagai akibat kegagalan (default) dari nasabah dalam memenuhi kewajibannya. Usaha bank syariah untuk menekan kemungkinan kerugian yang timbul akibat penyaluran pembiayaan adalah dengan menjaga kualitas pembiayaan. Kualitas pembiayaan pada bank syariah akan dinilai berdasarkan prospek usaha, kondisi keuangan dan kemampuan membayar nasabah. Bank yang berhasil menjaga kualitas pembiayaannya akan dapat memperkecil kemungkinan kerugian, sedangkan bagi bank yang tidak berhasil menjaga kualitas pembiayaannya akan berpotensi memiliki lebih banyak pembiayaan bermasalah, maka semakin besar pula cadangan penghapusan pembiayaan bermasalah yang berakibat akan memperbesar biaya dan mengurangi laba. Suatu hal yang sangat penting pada sistem pembiayaan bank syariah yang membedakan antara sistem perbankan syariah dengan sistem perbankan konvensional yaitu adanya unsur kepercayaan yang sangat tinggi dalam sistem pembiayaan bank syariah, oleh sebab itu bank syariah sangat rawan terhadap mereka yang beritikad tidak baik, sehingga kemungkinan terjadinya Non Performing Financing cukup besar. Selain kredit atau pembiayaan, faktor lain yang perlu mendapat perhatian khusus dalam hal menilai tingkat kesehatan bank adalah profitabilitas. Jumlah keuntungan yang layak, diperlukan setiap bank guna menarik minat para pemilik dana untuk mendanai perluasan usaha serta membiayai usaha peningkatan mutu jasa.

Tingginya tingkat kemungkinan pembiayaan bermasalah akan berdampak negatif bagi pihak bank. Menurut Lukman Dendawijaya (2000:88), implikasi bagi pihak bank sebagai akibat dari timbulnya pembiayaan bermasalah diantaranya akan mengakibatkan hilangnya kesempatan memperoleh income (pendapatan) bagi kredit yang diberikan, sehingga mengurangi perolehan laba dan berpengaruh buruk bagi profitabilitas bank. Adapun untuk lebih jelasnya mengenai pengaruh tingkat pembiayaan bermasalah terhadap tingkat profitabilitas (return on asset) BNI Syariah Cabang Bandung dapat dilihat dalam Tabel 1.2. Tabel 1.2 Tingkat Kolektibilitas dan Profitabilitas (Return On Asset) Kolektibilitas ROA 2007 86,83% 0,62% 2008 95,26% 1,26% 2009 96,59% 1,4%

Sumber: BNI Syariah Cabang Bandung (Data Diolah Kembali)

Tabel 1.2 menunjukkan bahwa semakin tinggi persentase kolektabilitas maka ROA yang didapat akan semakin besar. Hal ini disebabkan karena tingginya persentase kolektabilitas menunjukkan keberhasilan BNI dalam meminimalisasi tingkat pembiayaan bermasalah. Semakin tinggi persentase kolektibilitas maka semakin rendah tingkat NPF dan akan semakin tinggi pula persentase tingkat profitabilitas. Berdasarkan fenomena yang diuraikan, terutama mengenai pengaruh tingkat Non Performing Financing pembiayaan Murabahah terhadap profitabilitas dan didukung oleh penelitian mengenai pengaruh modal, dana pihak ketiga dan Non
Performing Financing terhadap profitabilitas yang dilakukan oleh Andri Priyo Utomo

(2008) yang melakukan penelitiannya di BMT (Baitul Maal wat-Tamwil) Amanah, menyimpulkan bahwa pengaruh variabel NPF terhadap profitabilitas (return on asset)
BMT Amanah periode 2007 sampai 2008, didapatkan negatif dan tidak signifikan, tingkat pembiayaan bermasalah yang dihasilkan dari pembiayaan yang disalurkan berdampak negatif pada peningkatan keuntungan dan pertumbuhan aset BMT Amanah pada kurun waktu 2 tahun terakhir. Terdapat perbedaan lokasi, variabel, dan waktu

penelitian yang dilakukan peneliti dengan penelitian yang dilakukan oleh Andri Priyo Utomo, dengan demikian maka peneliti melakukan penelitian yang dituangkan dalam bentuk skripsi yang berjudul: PENGARUH TINGKAT NON PERFORMING FINANCING PEMBIAYAAN MURABAHAH TERHADAP TINGKAT PROFITABILITAS BANK SYARIAH (Studi Kasus Pada PT BNI (Persero) Tbk Kantor Cabang Syariah Bandung). 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut: 1. 2. 3. Bagaimana tingkat Non Performing Financing pembiayaan Murabahah? Bagaimana tingkat profitabilitas yang diperoleh dari pembiayaan Murabahah? Bagaimana pengaruh tingkat Non Performing Financing pembiayaan Murabahah terhadap tingkat profitabilitas?

1.1 Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengumpulkan data, mengolah, serta menganalisis, selanjutnya hasil penelitian tersebut akan dituangkan dalam bentuk skripsi sebagai syarat untuk mengikuti ujian tingkat Sarjana Fakultas Ekonomi Universitas Widyatama. Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam melakukan penelitian adalah untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan yang telah diidentifikasikan tersebut, yaitu: 1. 2. 3. Mengetahui tingkat Non Performing Financing pembiayaan Murabahah. Mengetahui tingkat profitabilitas yang diperoleh dari pembiayaan Murabahah. Mengetahui besarnya pengaruh tingkat Non Performing Financing pembiayaan Murabahah terhadap tingkat profitabilitas.

1.1 Kegunaan Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat bagi: 1. Bagi kalangan perbankan Penulis berharap penelitian ini dapat memberikan masukan yang berguna bagi kalangan perbankan dalam menyalurkan pembiayaannya dan menjadi pertimbangan untuk diaplikasikan pada perbankan khususnya BNI Syariah Cabang Bandung. 2. Bagi pemerintah Penelitian ini kiranya dapat memberikan masukan pula bagi pemerintah dan pihak pengambil keputusan terkait memberi alternatif arah pengembangan industri perbankan kita untuk masa yang akan datang. 3. Bagi penulis Dapat menambah pengetahuan mengenai industri perbankan umumnya dan seputar profitabilitas yang dihasilkan pada pembiayaan Murabahah BNI Syariah Cabang Bandung. 4. Bagi kalangan akademisi dan masyarakat Sebagai bahan dokumentasi untuk melengkapi sarana yang dibutuhkan dalam penyediaan bahan studi bagi pihak-pihak yang mungkin membutuhkan untuk mengetahui pengaruh tingkat kemungkinan kegagalan pembiayaan Murabahah terhadap profitabilitas BNI Syariah Cabang Bandung.. 1.1 Kerangka Pemikiran Kegiatan perbankan syariah di Indonesia saat ini secara hukum diatur dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2008. Bank didefinisikan dalam pasal 1 ayat 2 UU No. 21 Tahun 2008 adalah sebagai berikut: Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat.

Bank dalam menjalankan usahanya berfungsi menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali kepada masyarakat untuk berbagai tujuan sebagai Financial Intermediary. Secara lebih spesifik, bank berfungsi sebagai agent of trust (kegiatannya berdasarkan kepercayaan), agent of development (memperlancar kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi) dan sebagai agent of service (menawarkan berbagai jasa). Pengertian bank syariah dalam pasal 1 ayat 7 UU No .21 Tahun 2008 adalah: Bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Berdasarkan definisi tersebut prinsip utama operasional bank berdasarkan prinsip syariah adalah hukum Islam yang bersumber dari Al-Quran dan Hadist. Bank syariah dikembangkan atas dasar tidak memperbolehkan pemisahan antara masalahmasalah duniawi dan agama. Dasar tersebut mengharuskan kepatuhan terhadap syariah sebagai dasar bagi semua aspek kehidupan. Dasar ini tidak mencakup ibadah saja tetapi juga transaksi bisnis yang harus sesuai dengan hukum Islam. Misalnya, salah satu aspek yang paling menonjol dari hukum Islam adalah pelarangan riba. Larangan terhadap riba tersebut seperti tercantum dalam Al-Quran sebagai berikut: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS. Al-Baqarah (2): 278-279) Penyaluran dana pada bank syariah seperti halnya bank konvensional dalam bentuk pembiayaan kredit biasanya mendominasi sebagian besar pengalokasian dana bank. Berdasarkan UU No.21 Tahun 2008 pasal 1 ayat 25 yang dimaksud dengan pembiayaan adalah:

Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik; c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna; d. transaksi pinjam-meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank syariah dan atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil. Pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah yaitu pembiayaan Murabahah didasarkan atas kepercayaan sehingga dengan demikian pemberian dana tersebut merupakan pemberian kepercayaan kepada nasabahnya. Menurut Rivai dan Arifin (2010:687) bahwa pembiayaan Murabahah adalah: Perjanjian jual-beli antara bank dan nasabah di mana bank syariah membeli barang yang diperlukan oleh nasabah dan kemudian menjualnya kepada nasabah yang bersangkutan sebesar harga perolehan ditambah dengan margin/keuntungan yang disepakati antara bank syariah dan nasabah. Pembiayaan merupakan suatu proses mulai dari analisis kelayakan pembiayaan sampai kepada realisasinya, sehingga pejabat bank syariah perlu melakukan pemantauan dan pengawasan pembiayaan. Kemungkinan kegagalan yang terjadi dari pembiayaan adalah kemungkinan kegagalan pembiayaan dikaitkan dengan kemampuan debitur untuk membayar kembali pinjamannya. Menurut Siamat (2005:358), Non Performing Financing adalah: Pinjaman yang mengalami kesulitan pelunasan akibat adanya faktor-faktor internal yaitu adanya kesengajaan dan faktor eksternal yaitu suatu kejadian diluar kemampuan kendali kreditur.

Menurut Mahmoeddin (2010:52), Non Performing Financing pada dasarnya disebabkan oleh faktor intern dan ekstern. Kedua faktor tersebut tidak dapat dihindari mengingat adanya kepentingan yang saling berkaitan sehingga mempengaruhi kegiatan usaha bank. Pembiayaan bermasalah merupakan sumber kerugian yang sangat besar jika tidak ditangani dengan baik, maka dari itu diperlukan penanganan yang sistematis dan berkelanjutan. Banyak faktor yang menyebabkan kredit tersebut bermasalah antara lain faktor internal dan faktor eksternal dari bank. Pembiayaan bermasalah dalam jumlah besar akan menurunkan tingkat operasi bank tersebut. Apabila penurunan pembiayaan dan profitabilitas sudah sangat parah sehingga mempengaruhi likuiditas, solvabilitas, dan rentabilitas bank, maka kepercayaan para penitip dana terhadap bank akan menurun. Pemberian pembiayaan dana oleh bank syariah dimaksudkan sebagai salah satu usaha bank untuk meningkatkan perolehan laba. Berkaitan dengan profitabilitas, menurut Muhammad (2005:271) bahwa alokasi dana bank syariah pada dasarnya dapat dibagi dalam dua bagian penting dari aktiva bank seperti aktiva yang menghasilkan (earning assets) diantaranya pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan (musyarakah), pembiayaan berdasarkan prinsip jual beli (murabahah), pembiayaan berdasarkan prinsip sewa (ijarah dan ijarah wa iqtina/ijarah muntahiya biltamlik), surat-surat berharga syariah dan investasi lainnya serta aset yang tidak memberikan penghasilan (non performing assets) diantaranya aktiva dalam bentuk tunai, pinjaman (qard), dan penanaman dana dalam aktiva tetap dan inventaris. Tingkat keuntungan yang dihasilkan oleh bank atau yang lebih dikenal dengan istilah profitabilitas merupakan pengukuran mengenai kemampuan bank dalam menghasilkan laba dan aset yang digunakan. Dengan demikian profitabilitas dapat digunakan sebagai salah satu alat untuk mengukur dan mengevaluasi kinerja bank. Menurut www.e-samuel.com bahwa profitabilitas adalah:

10

Kemampuan suatu bank mendapatkan profit, biasanya ditunjukkan dengan marjin, baik marjin kotor, marjin usaha, maupun marjin bersih. Profitabilitas juga bisa menunjukkan pengembalian keuntungan bank baik terhadap modal yang dimiliki bank (return on equity) maupun terhadap aset (return on assets). Menurut www.peminatanakuntansikeuangan002.com profitabilitas adalah: Merupakan perbandingan antara laba operasional dengan jumlah seluruh aktiva perusahaan pada suatu periode. Penyaluran pendanaan kepada masyarakat dilakukan oleh bank untuk menghasilkan laba. Penyaluran dana tersebut mengandung suatu risiko tidak dikembalikannya dana yang disalurkan. Oleh karena itu, analisis kredit harus berhatihati dalam menyalurkan dana tersebut, agar risiko terjadinya kredit bermasalah dapat diminimalkan. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa tingkat Non Performing Financing pembiayaan Murabahah memiliki hubungan dengan tingkat profitabilitas bank syariah. Hubungan tersebut dituangkan dalam bagan kerangka pemikiran sebagai berikut: Bagan Kerangka Pemikiran
Sistem Perbankan Indonesia

Bank Syariah Analisis Laporan Keuangan Penilaian Kesehatan Aktiva Produktif Kredit Pembayaran Murabahah Pembiayaan Murabahah Bermasalah CA R Penempatan Pada Bank Lain Musyarakah Manajemen Surat Berharga Mudharabah Likuiditas Penyertaan Modal Al-Bai Salam

Bank Konvensional

Bai Al-istishna

11

Tingkat Non Performing Financing Murabahah (X)

Profitabilitas (Y)

Keterangan: Diteliti Tidak diteliti

Berdasarkan identifikasi masalah, tujuan penelitian dan kerangka pemikiran maka dapat diambil suatu hipotesis yang menyatakan bahwa: Terdapat pengaruh yang signifikan antara tingkat Non Performing Financing pembiayaan Murabahah terhadap tingkat profitabilitas yang dihasilkan oleh BNI Syariah Cabang Bandung. 1.1 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode asosiatif. Menurut Sugiyono (2009:69) pengertian metode asosiatif adalah: Suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hubungan antara dua variable atau lebih serta dapat membangun suatu teori yang berfungsi untuk menjelaskan, meramalkan dan mengontrol suatu gejala atau fenomena. 1.6.1 Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik studi kepustakaan (library research). Studi kepustakaan (library research) dilakukan untuk memperoleh data sekunder yang digunakan sebagai landasan teoritis masalah yang akan diteliti. Studi kepustakaan merupakan bahan utama dalam penelitian data sekunder. Penelusuran data sekunder memerlukan cara agar penelitian data sekunder dapat dilakukan lebih cepat dan efisien. Penelusuran data sekunder dilakukan dengan penelusuran secara manual. Menurut Indriantoro dan Supomo (2002:151), penelusuran secara manual adalah: Data sekunder yang disajikan dalam format kertas hasil cetakan.

12

Data sekunder yang disajikan dalam format kertas hasil cetakan antara lain berupa: jurnal, majalah, bulletin dan bentuk publikasi yang diterbitkan secara periodik, buku, atau sumber data lainnya seperti laporan tahunan perusahaan. 1.6.2 Operasionalisasi variabel Sesuai dengan judul yang dipilih yaitu Pengaruh Tingkat Non Performing Financing Pembiayaan Murabahah Terhadap Profitabilitas Bank Syariah maka terdapat 2 variabel yang akan dianalis, yaitu : 1. Tingkat Non Performing Financing Pembiayaan Murabahah (X), yaitu variabel bebas yang keberadaanya tidak dipengaruhi oleh variabel lain. 2. Tingkat Profitabilitas Bank Syariah (Y), yaitu variabel terikat yang dipengaruhi oleh variabel independen. Model penelitian yang menunjukkan hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen disajikan dalam bentuk gambar 1.1 berikut ini: Gambar 1.1 Hubungan antara Variabel Independen (Tingkat Non Performing Financing Pembiayaan Murabahah) dengan Variabel Dependen (Tingkat Profitabilitas Bank Syariah)
Tingkat Non Performing Financing Pembiayaan Murabahah Tingkat Profitabilitas Bank Syariah (variabel dependen)

1.6.3 Rancangan Pengujian Hipotesis Untuk mengetahui pengaruh tingkat Non Performing Financing pembiayaan Murabahah terhadap tingkat profitabilitas bank syariah, digunakan analisis statistik yaitu analisis korelasi, regresi linier, dan koefisien determinasi. Sedangkan untuk menguji hipotesis digunakan uji t statistik. 1.1 Lokasi dan waktu Penelitian ini dilakukan di PT BNI (Persero) Tbk kantor cabang Syariah Bandung yang beralamat di Jalan Buah Batu No. 157 C Bandung. Waktu yang

13

digunakan untuk penelitian ini dimulai sejak bulan Agustus 2010 sampai dengan selesai.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


1.1 Tinjauan Umum Bank Syariah 1.1.1 Pengertian Bank Syariah Kegiatan perbankan syariah di Indonesia saat ini secara hukum diatur dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2008. Bank didefinisikan dalam pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 adalah sebagai berikut: Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat. Tidak jauh berbeda dengan pendapat Kasmir (2008:2) yang mengartikan bank adalah sebagai berikut: Bank merupakan lembaga keuangan yang kegiatan usahanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut ke masyarakat serta memberikan jasa-jasa bank lainnya. Definisi bank umum menurut pasal 1 ayat 3 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan adalah: Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Menurut pasal 1 ayat 7 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 definisi bank syariah adalah: Bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.

14

Berdasarkan pengertian bank syariah menurut pasal 1 ayat 7 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 maka dapat disimpulkan bahwa bank syariah adalah bank yang pengelolaan dan pengoperasionalannya menggunakan prinsip Islam atau prinsip syariah. Dirumuskan pada pasal 1 ayat 12 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 pengertian prinsip syariah, yaitu: Prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Bank syariah dalam peristilahan internasional dikenal sebagai Islamic Banking atau juga disebut dengan interest-free banking. Peristilahan dengan menggunakan Islamic tidak dapat dilepaskan dari asal-usul sistem perbankan syariah itu sendiri. Bank syariah pada awalnya dikembangkan sebagai suatu respon dari kelompok ekonom dan praktisi perbankan Muslim yang berupaya mengakomodasi desakan dari berbagai pihak yang menginginkan agar tersedia jasa transaksi keuangan yang dilaksanakan sejalan dengan moral dan prinsip-prinsip syariah. Misalnya, salah satu aspek yang paling menonjol dari hukum Islam adalah pelarangan riba. Larangan terhadap riba tersebut seperti tercantum dalam Al-Quran sebagai berikut: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS. Al-Baqarah (2): 278-279)

1.1.2

Prinsip Bank Syariah Menurut pasal 2 Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007, ditegaskan

bahwa dalam melaksanakan kegiatan penghimpunan dana, penyaluran dana, dan pelayanan jasa, bank syariah wajib memenuhi prinsip syariah atau prinsip Islam. Prinsip syariah yang dimaksud tersebut adalah sebagai berikut: a. Memenuhi ketentuan pokok hukum Islam, antara lain: 1. Prinsip Keadilan (adl) Menempatkan sesuatu hanya pada tempatnya dan memberikan sesuatu hanya pada yang berhak serta memperlakukan sesuatu sesuai porsinya. 2. Prinsip Keseimbangan (tawazun) Meliputi keseimbangan aspek material dan spiritual, sektor keuangan dan sektor riil, bisnis dan sosial, dan keseimbangan aspek pemanfaatan dan kelestarian. 3. Prinsip Kemaslahatan (maslahah) Merupakan segala bentuk kebaikan yang berdimensi duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual, individual dan kolektif, serta harus memenuhi tiga unsur, yakni kepatuhan syariah (halal), bermanfaat dan membawa kebaikan (thoyib) dalam semua aspek secara keseluruhan yang tidak menimbulkan kemudaratan. 4. Prinsip Universalisme (alamiyah) Dilakukan oleh, dengan, dan untuk semua pihak yang berkepentingan (stakeholder) tanpa membedakan suku, agama, ras, dan golongan, sesuai dengan semangat kerahmatan semesta (rahmatan lil alamin). a. Tidak mengandung unsur-unsur: 1. Gharar Transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan, kecuali diatur lain dalam syariah. 2. Maysir

Transaksi yang bersifat spekulatif (untung-untungan) yang tidak terkait langsung dengan produktivitas di sektor riil. 3. Riba Pemastian penambahan pendapatan secara tidak sah (bathil), antara lain, dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan nasabah penerima fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasiah). 4. Dzalim Transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya. 5. Riswah Tindakan suap dalam bentuk uang, fasilitas, atau bentuk lainnya yang melanggar hukum sebagai upaya mendapatkan fasilitas atau kemudahan dalam suatu transaksi. 6. Objek haram Suatu barang atau jasa yang diharamkan dalam syariah. Ketentuan dalam pasal 2 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 menegaskan bahwa: Perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan prinsip syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian. Pasal 2 undang-undang tersebut dapat diketahui secara jelas bahwa perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usaha diwajibkan berasaskan dan mengimplementasikan prinsip syariah.

1.1.1

Sasaran Bank Syariah Sasaran utama pendirian bank syariah menurut Rivai dan Arifin (2010:33)

adalah untuk menyebarkan kemakmuran ekonomi dalam struktur Islam dengan mempromosikan dan mengembangkan prinsip Islam dalam area bisnis. Poin sasarannya sebagai berikut:

1. Menawarkan Jasa Keuangan Aturan dan hukum dari bank syariah dengan tepat menerapkan prinsip syariah untuk transaksi keuangan, dimana riba dan gharar diidentifikasi sebagai tidak Islami. Pendorong utamanya adalah kearah keuangan yang berbagi risiko dan fokus pada kegiatan-kegiatan yang halal. Fokusnya adalah menawarkan transaksi perbankan yang melekat pada prinsip syariah dan menolak transaksi bank konvensional yang berdasarkan bunga. 2. Menjaga Stabilitas Nilai Uang Islam mengakui uang sebagai alat tukar dan bukan sebagai komoditi, dimana harga dapat digunakan. Sistem tanpa bunga membawa ke stabilitas dalam nilai uang sehingga bisa menjadi alat tukar yang dapat dipercaya dalam unit transaksi. 3. Pengembangan Ekonomi Bank syariah mengembangkan ekonomi melalui fasilitas seperti Murabahah, Mudharabah, dan lain-lain, dengan prinsip pembagian keuntungan dan kerugian yang khusus. Hal ini membangun relasi yang langsung dan dekat antara hasil atas investasi bank dan keberhasilan operasi dari bisnis oleh pengusaha, dimana akan berdampak pada perkembangan ekonomi negara. 4. Alokasi Sumberdaya yang Optimum Bank syariah optimis dalam mengalokasi sumber dana melalui investasi dari sumber keuangan ke proyek-proyek yang diyakini sangat menguntungkan, diizinkan agama dan memberi keuntungan secara ekonomi. 5. Mendistribusikan Sumberdaya secara Seimbang Bank syariah yakin keseimbangan pendistribusian dari pendapatan dan sumberdaya diantara pihak-pihak yang mengambil bagian yaitu bank, nasabah, dan pengusaha dengan pendekatan pembagian keuntungan.

6. Pendekatan yang Optimis Prinsip pembagian keuntungan mendorong bank untuk memilih proyek-proyek dengan keuntungan yang jangka panjang daripada keuntungan jangka pendek. Hal

ini memimpin bank untuk mempelajari terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam suatu proyek yang aman baik bagi bank dan investor. Hasil yang tinggi yang diperoleh kemudian didistribusikan ke shareholder yang memberikan keuntungan sosial dan membawa kemakmuran secara ekonomi.

1.1.1

Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional Perbedaan yang mendasar antara bank syariah dengan bank konvensional

dikemukakan oleh Triandaru dan Budisantoso (2006:156), antara lain: a. Perbedaan falsafah Perbedaan pokok antara bank konvensional dengan bank syariah terletak pada landasan falsafah yang dianutnya. Bank syariah tidak melaksanakan sistem bunga dalam seluruh aktivitasnya sedangkan bank konvensional kebalikannya. Hal inilah yang menjadi perbedaan yang sangat mendalam terhadap produkproduk yang dikembangkan oleh bank syariah, dimana untuk menghindari sistem bunga maka sistem yang dikembangkan adalah jual-beli serta kemitraan yang dilaksanakan dalam bentuk bagi hasil. b. Konsep pengelolaan dana nasabah Dana nasabah dalam sistem bank syariah dikelola dalam bentuk titipan maupun investasi. Cara titipan dan investasi berbeda dengan deposito pada bank konvensional dimana deposito merupakan upaya membungakan uang. Konsep dana titipan berarti kapan saja nasabah membutuhkan, bank syariah harus dapat memenuhinya. Akibatnya dana titipan menjadi sangat likuid. Likuiditas yang tinggi inilah membuat dana titipan kurang memenuhi syarat suatu investasi yang membutuhkan pengendapan dana. c. Kewajiban mengelola zakat Bank syariah diwajibkan menjadi pengelola zakat yaitu dalam arti wajib membayar zakat, menghimpun, mengadministrasikannya dan

mendistribusikannya. Hal ini merupakan fungsi dan peran yang melekat pada bank syariah untuk memobilisasi dana-dana sosial (zakat, infak, dan sedekah). d. Struktur organisasi Struktur organisasi suatu bank syariah diharuskan adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS). DPS bertugas mengawasi segala aktivitas bank agar selalu sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. DPS ini dibawahi oleh Dewan Syariah Nasional (DSN). Berdasarkan laporan dari DPS pada masing-masing lembaga keuangan syariah, DSN dapat memberikan teguran jika lembaga yang bersangkutan menyimpang. DSN juga mengajukan rekomendasi kepada lembaga yang memiliki otoritas seperti Bank Indonesia dan Departemen Keuangan untuk memberikan sanksi. Perbedaan antara bank syariah dengan bank konvensional secara singkat dapat dilihat pada tabel 2.1, sebagai berikut: Tabel 2.1 Perbedaan Bank Syariah dengan Bank Konvensional Bank Syariah Bank Konvensional Berinvestasi pada usaha yang halal Bebas nilai Berdasarkan prinsip bagi hasil, margin Sistem bunga keuntungan dan fee Besaran bagi hasil berubah-ubah Besarannya tetap bergantung kinerja usaha Profit dan falah oriented Profit oriented Hubungan dengan nasabah dalam Hubungan dengan nasabah dalam bentuk bentuk hubungan kemitraan debitur-kreditur Pergerakan dan penyaluran dana harus Tidak terdapat Dewan Pengawas Syariah sesuai dengan pendapat Dewan Pengawas Syariah Sumber: Bank dan Lembaga Keuangan Lain (Triandaru & Budisantoso,2006:157)

1.1 Pembiayaan 1.1.1 Pengertian Pembiayaan Dua fungsi utama bank syariah adalah menghimpun dana dan menyalurkan dana. Penyaluran dana yang dilakukan bank syariah adalah pemberian pembiayaan kepada debitur yang membutuhkan, baik untuk modal usaha maupun untuk konsumsi.

Pengertian pembiayaan menurut Rivai dan Arifin (2010:681) adalah: Pembiayaan atau financing adalah pendanaan yang diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun lembaga. Menurut Kasmir (2008:102) pembiayaan adalah: Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Berdasarkan kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembiayaan adalah pendanaan atau penyediaan uang dimana didasari oleh kesepakatan atau persetujuan antara bank dan pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan oleh pihak lain yang memerlukan dana dengan jangka waktu yang telah disepakati. 1.1.2 Pembiayaan Bank Syariah Pembiayaan pada bank syariah akan diwujudkan dalam bentuk aktiva produktif dan aktiva tidak produktif, namun dalam praktiknya pembiayaan lebih banyak diwujudkan dalam bentuk aktiva produktif. Pengertian aktiva produktif menurut Mahmoeddin (2010:18) adalah: Semua penanaman dana dalam rupiah dan valuta asing yang dimaksudkan untuk memperoleh penghasilan sesuai dengan fungsinya. Menurut Muhammad (2005:304) pengertian pembiayaan adalah: Pendanaan yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan, seperti bank syariah dan dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan kepada nasabah. Berdasarkan UU No.21 Tahun 2008 pasal 1 ayat 25 yang dimaksud dengan pembiayaan adalah:

Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik; c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna; d. transaksi pinjam-meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank syariah dan atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil. Berdasarkan kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembiayaan bank syariah adalah semua pendanaan yang dilakukan oleh bank syariah kepada nasabahnya untuk mendukung investasi dan memperoleh penghasilan sesuai dengan fungsinya. 1.1.1 Jenis-jenis Pembiayaan Bank Syariah Sesuai dengan akad pengembangan produk, maka bank syariah memiliki banyak jenis pembiayaan. Jenis-jenis pembiayaan menurut Rivai dan Arifin

(2010:686) pada dasarnya dapat dikelompokkan menurut beberapa aspek, di antaranya: 1. Pembiayaan menurut tujuan Pembiayaan menurut tujuannya dibedakan menjadi: a. Pembiayaan modal kerja, yaitu pembiayaan yang dimaksudkan untuk mendapatkan modal dalam rangka pengembangan usaha.

b. Pembiayaan investasi, yaitu pembiayaan yang dimaksudkan untuk melakukan investasi atau pengadaan barang konsumtif. 1. Pembiayaan menurut jangka waktu Pembiayaan menurut jangka waktunya dibedakan menjadi: a. Pembiayaan jangka waktu pendek, pembiayaan yang dilakukan dengan waktu satu bulan sampai dengan satu tahun. b. Pembiayaan jangka waktu menengah, pembiayaan yang dilakukan dengan waktu satu tahun sampai dengan lima tahun. c. Pembiayaan jangka waktu panjang, pembiayaan yang dilakukan dengan waktu lebih dari lima tahun. Jenis pembiayaan pada bank syariah akan diwujudkan dalam bentuk aktiva produktif dan aktiva tidak produktif, yaitu: 1. Jenis aktiva produktif pada bank syariah, dialokasikan dalam bentuk pembiayaan sebagai berikut: a. Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil 1. Pembiayaan Mudharabah Pembiayaan Mudharabah adalah perjanjian antara penanam dana dan pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya. 2. Pembiayaan Musyarakah Pembiayaan Musyarakah adalah perjanjian di antara para pemilik dana atau modal untuk mencampurkan dana atau modal mereka pada suatu usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan di antara pemilik dana atau modal berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya. a. Pembiayaan dengan prinsip jual beli 1. Pembiayaan Murabahah Pembiayaan Murabahah adalah perjanjian jual-beli antara bank dan nasabah di mana bank syariah membeli barang yang diperlukan oleh nasabah dan kemudian menjualnya kepada nasabah yang bersangkutan

sebesar harga perolehan ditambah dengan margin atau keuntungan yang disepakati antara bank syariah dengan nasabah. 2. Pembiayaan Salam Pembiayaan Salam adalah perjanjian jual-beli barang dengan cara pemesanan dengan syarat-syarat tertentu dan pembayaran harga terlebih dulu. 1. Pembiayaan Istishna Pembiayaan Istishna adalah perjanjian jual-beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan dan penjual. a. Pembiayaan dengan prinsip sewa 1. Pembiayaan Ijarah Pembiayaan Ijarah adalah perjanjian sewa-menyewa suatu barang antara bank dengan penyewa dalam waktu tertentu, setelah masa sewa berakhir maka barang sewaan dikembalikan kepada pihak bank. Ijarah sama dengan prinsip jual-beli hanya saja yang menjadi objek adalah dalam bentuk manfaat. 2. Pembiayaan Ijarah Muntahiya Biltamlik/Wa Iqtina Pembiayaan Ijarah Muntahiya Biltamlik/Wa Iqtina adalah perjanjian sewa-menyewa pihak penyewa. a. Surat Berharga Islam Surat berharga Islam adalah surat bukti berinvestasi berdasarkan prinsip Islam yang lazim diperdagangkan di pasar uang dan/atau pasar modal, antara lain wesel, obligasi Islam, sertifikat dana Islam, dan surat berharga lainnya berdasarkan prinsip Islam. b. Penempatan suatu barang yang diakhiri dengan perpindahan kepemilikan barang dari pihak yang memberikan sewa (bank) kepada

Penempatan adalah penanaman dana bank syariah pada bank syariah lainnya antara lain dalam bentuk giro, dan/atau tabungan wadiah, dan bentuk-bentuk penempatan lainnya berdasarkan prinsip Islam. c. Penyertaan Modal Penyertaan modal adalah penanaman dana bank syariah dalam bentuk saham pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan syariah, termasuk penanaman dana dalam bentuk surat utang konversi dengan opsi saham atau jenis transaksi tertentu berdasarkan prinsip Islam yang berakibat bank syariah memiliki atau akan memiliki saham pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan syariah. d. Penyertaan Modal Sementara Penyertaan modal sementara adalah penyertaan modal bank syariah dalam perusahaan untuk mengatasi kegagalan pembiayaan dan/atau piutang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan bank Indonesia yang berlaku, termasuk dalam surat utang konversi dengan opsi saham atau jenis transaksi tertentu yang berakibat bank syariah memiliki atau akan memiliki saham pada perusahaan nasabah. e. Transaksi Rekening Administratif Transaksi berdasarkan rekening prinsip administratif Islam adalah komitmen atas dan bank kontinjensi garansi, yang terdiri

akseptasi/endosemen, Irrevocable Letter of Credit (L/C) yang masih berjalan, dan garansi lain berdasarkan prinsip Islam. f. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) SWBI adalah sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip wadiah. 2. Jenis aktiva tidak produktif a. Pinjaman Qardh

Pinjaman Qardh atau talangan adalah penyediaan dana dan/atau tagihan antara bank syariah dengan pihak peminjam yang mewajibkan pihak peminjam melakukan pembayaran sekaligus ataupun secara berangsur. 2.3 Pembiayaan Murabahah 2.3.1 Pengertian Pembiayaan Murabahah Kata Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu ( )yang berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan), sedangkan dalam definisi para ulama terdahulu adalah jual-beli dengan modal ditambah keuntungan yang diketahui. Hakikatnya adalah menjual barang dengan harga (modal) yang diketahui kedua belah transaktor (penjual dan pembeli) dengan keuntungan yang diketahui keduanya. Disebutkan dalam ketentuan pasal 3 ayat 2 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2007 bahwa yang dimaksud dengan Murabahah adalah: Transaksi jual-beli suatu barang sebesar harga perolehan barang ditambah dengan margin yang disepakati oleh para pihak, dimana penjual menginformasikan terlebih dahulu harga perolehan kepada pembeli. Menurut Rivai dan Arifin (2010:216) Pembiayaan Murabahah adalah: Transaksi jual-beli antara bank dengan nasabah, di mana bank mendapat sejumlah keuntungan (bank menjadi penjual dan nasabah menjadi pembeli). Bank membeli barang yang diperlukan nasabah dan menjual kepada nasabah yang bersangkutan sebesar harga pokok ditambah dengan keuntungan yang disepakati.

Menurut Heri Sudarsono (2003:47) Pembiayaan Murabahah adalah: Jual-beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati antara pihak bank dan nasabah. Sedangkan menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (No.59, 2009:59.6), pembiayaan Murabahah adalah:

Akad jual-beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembiayaan Murabahah merupakan bentuk pembiayaan berprinsip jual-beli yang pada dasarnya merupakan penjualan dengan keuntungan (margin) tertentu yang ditambahkan di atas biaya perolehan, penjual memberitahukan kepada pembeli biaya perolehan dan keuntungan yang diinginkannya. 1.3.2 Landasan Hukum Pembiayaan Murabahah Landasan hukum Islam dari jual-beli berdasarkan Murabahah menurut Rachmadi Usman (2009:178) dapat ditemukan dalam Al-Quran, Hadits, dan Ijma, sebagai berikut: a. QS. Al-Baqarah (2):275 Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. b. QS. An-Nisa (4):29 Hai orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antaramu. c. Hadits Riwayat Al-Baihaqi dan Ibnu Majah Dari Abu Said Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya jual-beli itu harus dilakukan suka sama suka.

d. Hadits Riwayat Ibnu Majah dari Shuhaib Nabi bersabda, Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual-beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jemawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual. e. Ijma Mayoritas Ulama

Mayoritas ulama tentang kebolehan jual-beli dengan cara Murabahah sebagaimana dinyatakan Ibnu Rusyd dalam Bidayah al-Mujtahid Juz 2 dan al-Kasani dalam BadaI as-SanaI Juz 5. 1.3.3 Beberapa Ketentuan Umum Berkenaan dengan pembiayaan Murabahah dalam kegiatan perbankan syariah, DSN telah mengeluarkan Fatwa Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah, yang menetapkan pedoman bagi bank syariah yang memiliki fasilitas Murabahah. Ketentuan tentang pembiayaan Murabahah yang telah dirumuskan DSN dalam Fatwanya Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 sebagai berikut: a. Ketentuan umum Murabahah dalam bank syariah 1. Bank dan nasabah harus melakukan akad Murabahah yang bebas riba. 2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariah Islam. 3. Bank membiayai sebagaian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya. 4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri dan pembelian ini harus sah dan bebas riba. 5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya, jika pembelian dilakukan secara utang. 6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya, dalam kaitan ini bank harus memberi tahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan. 7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati. 8. Pencegahan terhadap terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah. 9. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual-beli Murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank.

b. Ketentuan Murabahah kepada nasabah 1. Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang atau aset kepada bank. 2. Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang. 3. Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima/membelinya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakatinya karena secara hukum perjanjian tersebut mengikat, kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual-beli. 4. Jual-beli ini bank diperbolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan. Hal ini lazim disebut dengan bai arbun. Menurut jumhur ulama, hal ini memang tidak diperbolehkan. Namun, jika bersandar pada pendapat Iman Ahmad bin Hambal, jual beli urbun diperbolehkan. Jika nasabah memutuskan untuk membeli komoditas tersebut, uang muka tersebut bisa digunakan sebagai pengurangan atas harga yang disepakati. 5. Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut. 6. Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah. 7. Jika uang muka memakai kontrak urbun sebagai alternatif dari uang muka, maka: Jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga; dan Jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya. c. Jaminan dalam Murabahah

1. Jaminan dalam Murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya. Bank dapat meminta jaminan yang bernilai ekonomis dan sesuai dengan jumlah transaksi yang dilakukan sebagai pegangan. Jaminan itu muncul karena jual-beli yang dilakukan adalah secara tempo sehingga dirasa perlu untuk menghadirkan jaminan. 2. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang. d. Utang dalam Murabahah 1. Secara prinsip, penyelesaian utang nasabah dalam transaksi Murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan utangnya kepada bank. 2. Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya. 3. Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus menyelesaikan memperlambat diperhitungkan. e. Penentuan pembayaran dalam Murabahah 1. Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian utangnya. 2. Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja atau jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, penyelesaiannya dilakukan melalui badan arbitrase syariah setelah tidak musyawarah. f. Bangkrut dalam Murabahah tercapai kesepakatan melalui utangnya sesuai kesepakatan atau awal. Ia tidak kerugian boleh itu pembayaran angsuran meminta

Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan utangnya, bank harus menunda tagihan utang sampai ia menjadi sanggup kembali atau berdasarkan kesepakatan. 1.3.4 Cakupan Murabahah Terdapat dua jenis pembiayaan Murabahah berdasarkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (No.59, 2009:59.6), yaitu: 1. Murabahah tanpa pesanan Murabahah jenis ini, bank syariah sebagai penjual melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari pembeli. Murabahah dengan pesanan dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat pembeli untuk membeli barang yang dipesannya. Bersifat mengikat berarti pembeli harus membeli barang yang dipesannya dan tidak dapat membatalkan pesanannya. 2. Murabahah berdasarkan pesanan Bank syariah baru akan melakukan transaksi Murabahah atau jual-beli apabila ada nasabah yang memesan barang sehingga penyediaan barang akan dilakukan jika ada pesanan. Pengadaan barang sangat bergantung atau terikat langsung dengan pesanan atau pembelian tersebut tidak terikat, nasabah dapat menerima atau membatalkan barang tersebut. Berdasarkan cara pembayarannya, pembiayaan Murabahah dapat dilakukan dengan cara tunai atau dengan pembayarn tangguh. Pembiayaan Murabahah terbanyak yang dijalankan oleh bank syariah saat ini adalah Murabahah berdasarkan pesanan dengan sifatnya yang mengikat dan cara pembayaran tangguh. 2.3.5 Manfaat dan Risiko Pembiayaan Murabahah Sesuai dengan sifat bisnis (tijarah), pembiayaan Murabahah memiliki beberapa manfaat dan juga risiko yang harus diantisipasi. Menurut Antonio (2009:106) pembiayaan Murabahah memberi banyak manfaat kepada bank syariah. Salah satunya adalah adanya keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari

penjual dengan harga jual kepada nasabah. Selain itu, pembiayaan Murabahah juga sangat sederhana. Hal tersebut memudahkan penanganan administrasinya di bank syariah. Kemungkinan risiko yang harus diantisipasi antara lain sebagai berikut: 1. Default atau kelalaian, nasabah sengaja tidak membayar angsuran. 2. Fluktuasi harga komparatif. Terjadi bila harga suatu barang di pasar naik setelah bank membelikannya untuk nasabah. Bank tidak bisa mengubah harga jual beli tersebut. 3. Penolakan nasabah, barang yang dikirim bisa saja ditolak oleh nasabah karena berbagai sebab. Bisa jadi karena rusak dalam perjalanan sehingga nasabah tidak mau menerimanya. Karena itu, sebaiknya dilindungi dengan asuransi. Kemungkinan lain karena nasabah merasa spesifikasi barang tersebut berbeda dengan yang dipesan. Bila bank telah menandatangani kontrak pembelian dengan penjualnya, barang tersebut akan menjadi milik bank. Dengan demikian, bank mempunyai risiko untuk menjualnya kepada pihak lain. 4. Dijual, karena pembiayaan Murabahah bersifat jual-beli dengan utang, maka ketika kontrak ditandatangani, barang itu menjadi milik nasabah. Nasabah bebas melakukan apapun terhadap aset miliknya tersebut, termasuk menjualnya. Jika terjadi demikian, risiko untuk default akan besar. Aplikasi pembiayaan Murabahah dapat digambarkan dalam skema pada gambar 2.1 berikut ini: Gambar 2.1 Skema Pembiayaan Murabahah
1.Negoisasi 2.Akad jual-beli Bank 6. Bayar 5.Terima barang & dokumen 3.Beli barang 4.Kirim

Produsen Sumber: Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Sudarsono, 2003:48)

1.3

Analisis Pembiayaan Keamanan pembiayaan harus menjadi pertimbangan utama dalam

memberikan pembiayaan. Bank syariah dalam kebijakan penyaluran pembiayaan harus benar-benar memperhatikan keamanan dan keselamatan pembiayaan itu, karena penyaluran pembiayaan jauh lebih mudah daripada penarikan kembali pembiayaan tersebut. Berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 pasal 23 disebutkan bahwa: 1. Ayat 1 Bank syariah dan/atau UUS harus mempunyai keyakinan atas kemauan dan kemampuan calon Nasabah Penerima Fasilitas untuk melunasi seluruh kewajiban pada waktunya, sebelum Bank Syariah dan/atau UUS menyalurkan dana kepada Nasabah Penerima Fasilitas. 2. Ayat 2 Bank syariah dan/atau UUS wajib melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari calon Nasabah Penerima Fasilitas. 1.4.1 Tujuan Analisis Pembiayaan Analisis diperlukan dalam memberikan pembiayaan, dalam analisis

pembiayaan mempunyai dua tujuan. Menurut Muhammad (2005:305) bahwa untuk keamanan dan keselamatan pembiayaan yang diberikan, bank syariah perlu melakukan analisis pembiayaan. Analisis pembiayaan memiliki dua tujuan, yaitu: 1. Tujuan Utama Pemenuhan jasa pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat dalam mendorong dan melancarkan perdagangan, produksi, jasa-jasa, bahkan konsumsi yang kesemuanya ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. 2. Tujuan Khusus a. Menilai kelayakan usaha calon peminjam. b. Menekan risiko akibat tidak terbayarnya pembiayaan.

c. Menghitung kebutuhan pembiayaan yang layak. Analisa pembiayaan dapat dilakukan dengan berbagai metode sesuai dengan kebijakan bank. Menurut a. Karakter (Character) Analisa ini merupakan analisa kualitatif yang tidak dapat dideteksi secara numerik namun hal ini merupakan pintu gerbang utama proses persetujuan pembiayaan. Kesalahan dalam menilai karakter calon nasabah dapat berakibat fatal pada kemungkinan pembiayaan terhadap orang yang beritikad buruk seperti berniat membobol bank, penipu, pemalas, pemabuk, pelaku kejahatan dan lainlain. b. Kapasitas atau Kemampuan (Capacity) Kapasitas calon nasabah sangat penting diketahui untuk memahami kemampuan seseorang untuk berbisnis. Hal ini dapat dipahami karena watak yang baik semata-mata tidak menjamin seseorang mampu berbisnis dengan baik, untuk memahami kapasitas nasabah, bank harus memperhatikan: a. Angka-angka hasil produksi. b. Angka-angka penjualan dan pembelian. c. Perhitungan rugi laba perusahaan saat ini dan proyeksinya. d. Data keuangan perusahaan beberapa tahun terakhir yang tercermin dalam laporan keuangan. a. Modal (Capital) Analisa modal diarahkan untuk mengetahui seberapa besar tingkat keyakinan calon nasabah terhadap usahanya sendiri, jika nasabah sendiri tidak yakin akan usahanya maka orang lain akan lebih tidak yakin. Bank harus melakukan beberapa hal untuk mengetahui hal ini, yakni: a. Melakukan analisa neraca sedikitnya dua tahun terakhir. b. Melakukan analisa rasio untuk mengetahui likuiditas, solvabilitas, dan rentabilitas dari perusahaan yang dimaksud. a. Kondisi (Condition) Zulkifli (2003:144), dalam beberapa kasus sering digunakan metode analisis 5C yang meliputi:

Analisa diarahkan pada kondisi sekitar yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap usaha calon nasabah, seperti kebijakan pembatasan usaha properti, pelarangan ekspor pasir laut, tren PHK besar-besaran usaha sejenis dan lain-lain. Kondisi yang harus diperhatikan bank antara lain: a. Keadaan ekonomi yang akan mempengaruhi perkembangan usaha calon nasabah. b. Kondisi usaha calon nasabah, perbandingannya dengan usaha sejenis, dan lokasi lingkungan wilayah usahanya. c. Keadaan pemasaran dari hasil usaha calon nasabah. d. Prospek usaha di masa yang akan datang. e. Kebijakan pemerintah yang mempengaruhi prospek industri dimana perusahaan calon nasabah terkait didalamnya.

a. Jaminan (Collateral) Analisa ini diarahkan terhadap jaminan yang diberikan. Jaminan dimaksudkan harus mampu mengcover risiko bisnis calon nasabah. Analisa yang dilakukan antara lain: a. Meneliti kepemilikan jaminan yang diserahkan. b. Mengukur dan memperkirakan stabilitas harga jaminan dimaksud. c. Memperhatikan kemampuan untuk dijadikan uang dalam waktu relatif singkat tanpa harus mengurangi nilainya. d. Memperhatikan pengikatannya, sehingga secara legal bank dapat dilindungi. e. Rasio jaminan terhadap jumlah pembiayaan. Semakin tinggi rasio tersebut, maka semakin tinggi kepercayaan bank terhadap kesungguhan calon nasabah. f. Marketabilitas jaminan. Jenis dan lokasi jaminan sangat menentukan tingkat marketable suatu jaminan.

1.4.2

Informasi yang Diperlukan dalam Analisis Pembiayaan Account officer bank syariah membutuhkan berbagai macam data dan

informasi sebagai masukan penting yang disimpan dalam arsip dokumen pembiayaan yang berguna untuk menyalurkan dan mengevaluasi perkembangan kualitas pembiayaan yang diberikan kepada debitur. Menurut Antonio (2009:107), bahwa bank syariah menetapkan syarat-syarat umum untuk sebuah pembiayaan, seperti hal-hal berikut: 1. Surat permohonan tertulis, dengan dilampiri proposal yang memuat antara lain gambaran umum usaha, rencana atau prospek usaha, rincian dan rencana penggunaan dana, jumlah kebutuhan dana, dan jangka waktu penggunaan dana. 2. Legalitas usaha, seperti identitas diri, akta pendirian usaha, surat izin umum perusahaan, dan tanda daftar perusahaan. 3. Laporan keuangan, seperti neraca dan laporan laba rugi, data persediaan terakhir, data penjualan dan fotocopy rekening bank. 1.4 Kualitas Pembiayaan Menurut Rivai dan Arifin (2010:742) pembiayaan bank menurut kualitasnya pada hakikatnya didasarkan atas risiko kemungkinan menurut bank terhadap kondisi dan kepatuhan nasabah pembiayaan dalam memenuhi kewajiban-kewajiban untuk membayar bagi hasil, mengangsur, serta melunasi pembiayaannya kepada bank. Unsur utama dalam menentukan kualitas tersebut oleh waktu pembayaran bagi hasil, pembayaran angsuran maupun pelunasan pokok pembiayaan dan diperinci sebagai berikut: 1. Lancar (Pass) Pembiayaan yang digolongkan lancar apabila memenuhi kriteria berikut ini: a. Pembayaran angsuran pokok dan/atau margin tepat waktu. b. Memiliki mutasi rekening yang aktif. c. Bagian dari pembiayaan yang dijamin dengan agunan tunai. 2. Perhatian Khusus (Special Mention)

Pembiayaan yang digolongkan ke dalam pembiayaan dalam perhatian khusus apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau margin yang belum melampaui 90 hari. b. Kadang-kadang terjadi cerukan. c. Mutasi rekening relatif aktif. d. Jarang terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan. e. Didukung oleh pinjaman baru. 3. Kurang Lancar (Substandard) Pembiayaan yang digolongkan ke dalam pembiayaan kurang lancar apabila memenuhi kriteria berikut ini: a. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau margin yang telah melampaui 90 hari. b. Sering terjadi cerukan. c. Frekuensi mutasi rekening relatif rendah. d. Terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan lebih dari 90 hari. e. Terdapat indikasi masalah keuangan yang dihadapi debitur. f. Dokumentasi pinjaman yang lemah. 3. Diragukan (Doubtful) Pembiayaan yang digolongkan ke dalam pembiayaan diragukan apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau margin yang telah melampaui 180 hari. b. Terjadi cerukan yang bersifat permanen. c. Terjadi wanprestasi lebih dari 180 hari. d. Dokumentasi hukum yang lemah baik untuk perjanjian pembiayaan maupun pengikatan jaminan. 3. Macet (Loss) Pembiayaan yang digolongkan ke dalam pembiayaan macet apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau margin yang telah melampaui 270 hari. b. Kerugian operasional ditutup dengan pinjaman baru. c. Dari segi hukum maupun kondisi pasar, jaminan tidak dapat dicairkan pada nilai wajar. 2.5.1 Pembiayaan Bermasalah (Non Performing Financing) Suatu kenyataan bahwa pembiayaan bermasalah merupakan bagian dari financing portofolio dari sebuah bank syariah, namum pemberian pembiayaan yang sukses adalah bank yang mampu mengelola pembiayaan bermasalah pada suatu tingkat wajar yang tidak menimbulkan kerugian bagi bank yang bersangkutan. Menurut Siamat (www.rasiam.multiply.com), Non Performing Financing adalah: Pinjaman yang mengalami kesulitan pelunasan akibat adanya faktor-faktor internal yaitu adanya kesengajaan dan faktor eksternal yaitu suatu kejadian diluar kemampuan kendali kreditur. Menurut Prasetiyanto (www.indomedia.com), Non Performing Financing adalah: Kredit-kredit yang telah mulai tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada bank sesuai kesepakatan yang telah disetujui semula dengan kategori kolektibilitas diragukan atau macet. Menurut Alihozi (www.alihozi77.blogspot.com), Non Performing Financing adalah: Suatu kondisi pembiayaan, dimana ada suatu penyimpangan utama dalam pembayaran kembali pembiayaan yang menyebabkan kelambatan dalam pengembalian atau diperlukan tindakan yuridis dalam pengembalian atau kemungkinan potensial loss.

2.5.1.1 Pengertian Pembiayaan Bermasalah (Non Performing Financing)

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa Non Performing Financing adalah pembiayaan atau kredit yang mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajibannya kepada bank yang disebabkan oleh faktor internal dan eksternal bank syariah. 2.5.1.2 Penyebab Pembiayaan Bermasalah (Non Performing Financing) Pembiayaan bermasalah merupakan sumber kerugian yang sangat potensial bagi bank jika tidak ditangani dengan baik, karena itu diperlukan penanganan yang sistematis dan berkelanjutan. Pembiayaan bermasalah menimbulkan biaya yang menjadi beban dan kerugian bagi bank. Peranan sektor perbankan adalah menjembatani dua kelompok kepentingan masyarakat, yaitu antara kepentingan masyarakat pemilik dana (surplus spending units) dengan masyarakat yang membutuhkan dana (deficit spending units). Bank syariah adalah selaku lembaga yang bermodalkan kepercayaan semata dari masyarakat dalam menjalankan fungsinya sebagai penerima amanah masyarakat. Bank syariah sebagai lembaga perkreditan dalam menjalankan fungsinya sebagai penyalur dana kepada masyarakat, harus melakukan analisis melalui prinsip 5C, guna meminimalkan risiko bermasalahnya atau tidak kembalinya pembiayaan. Banyak faktor yang menyebabkan pembiayaan tersebut menjadi bermasalah. Menurut Mahmoeddin (2010:51) faktorfaktor penyebab terjadinya pembiayaan bermasalah, yaitu: 1. Faktor Internal Faktor internal perbankan yang menyebabkan pembiayaan bermasalah ialah adanya kelemahan atau kesalahan dalam bank itu sendiri, yang terdiri dari: a. Kebijakan pemberian pembiayaan yang terlalu ekspansif Peningkatan penghimpunan dana dari pihak ketiga yang cukup pesat menyebabkan beberapa bank melakukan pertumbuhan pembiayaan yang melebihi tingkat wajar. Hal ini disebabkan untuk menghindari terjadinya pengumpulan dana, seharusnya bank tetap melakukan kebijakan pemberian pembiayaan dengan prosedur berhati-hati untuk menghindari terjadinya risiko non performing financing.

b. Penyimpangan pemberian pembiayaan Bank pada umumnya telah memiliki pedoman dan tata cara pemberian pembiayaan, namun dalam pelaksanaannya seringkali tidak dilakukan dengan patuh dan taat asas. Penyimpangan pemberian pembiayaan terhadap prosedur atau kebijakan yang ada pada umumnya disebabkan oleh kurangnya kuantitas maupun kualitas pejabat-pejabat pemberi pembiayaan selain disebabkan oleh adanya dominasi pemutusan pembiayaan oleh pejabat tertentu pada bank yang bersangkutan. c. Itikad kurang baik pemilik atau pengurus dan pegawai bank Seringkali terjadi pemilik atau pengurus dan pegawai bank memberikan pembiayaan kepada debitur yang sebenarnya tidak bankable. Kegiatan usaha yang tidak bankable tersebut antara lain kegiatan-kegiatan yang kurang jelas tujuannya selain tidak jelas debiturnya (debitur fiktif) yaitu penggunaan dana yang sebenarnya berbeda dengan yang tercantum pada bukti-bukti yang ada. d. Lemahnya sistem administrasi dan pengawasan pembiayaan Sistem administrasi dan pengawasan pembiayaan yang lemah menyebabkan pemantauan terhadap performance pembiayaan tidak dapat dilakukan sebagaimana mestinya, dengan demikian permasalahan yang dapat menimbulkan pembiayaan bermasalah tidak dapat terdeteksi secara dini dan hal ini dapat menimbulkan kerugian. e. Lemahnya sistem informasi pembiayaan Bank cenderung melaporkan gambaran pembiayaan yang lebih baik dari keadaan yang sebenarnya kepada Bank Indonesia dengan tujuan mendapatkan penilaian kesehatan yang lebih baik. Bank perlu mengadministrasikan dan memiliki informasi pembiayaan bermasalah yang sama dengan yang dilaporkan kepada Bank Indonesia, apabila hal ini tidak dilakukan maka bank tidak memiliki gambaran yang akurat mengenai keadaan pembiayaan bermasalah yang sebenarnya sehingga tidak dapat mengambil langkah-langkah pencegahan lebih dini.

2. Faktor Eksternal Non Performing Financing dapat pula disebabkan oleh faktor eksternal, yaitu: a. Kegagalan usaha debitur Kegagalan usaha debitur dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang terdapat dalam lingkungan usaha debitur. Faktor-faktor tersebut dapat berupa kegagalan produksi, distribusi, pemasaran maupun regulasi terhadap suatu industri. b. Menurunnya kegiatan ekonomi Menurunnya kegiatan ekonomi terutama pada sektor-sektor usaha tertentu akibat adanya kebijakan pemerintah telah menjadi salah satu penyebab kesulitan debitur untuk memenuhi kewajibannya kepada bank. c. Pemanfaatan iklim persaingan perbankan yang tidak sehat oleh debitur Persaingan perbankan yang ketat sering dimanfaatkan oleh beberapa calon debitur dengan cara tertentu yang mendorong bank menawarkan persyaratan pembiayaan yang lebih ringan dan jumlah pembiayaan yang lebih besar. Pada akhirnya pemberian yang berlebihan dapat mendorong debitur yang bersangkutan menggunakan kelebihan dana tersebut untuk tujuan spekulatif. d. Musibah yang terjadi pada usaha debitur atau kegiatan usahanya Beberapa pembiayaan bermasalah yang terjadi karena musibah yang dialami debitur seperti sarana usaha mengalami kebakaran, sementara debitur atau bank tidak melakukan pengamanan penutupan asuransi. 2.5.1.1 Dampak Pembiayaan Bermasalah (Non Performing Financing) Pembiayaan bermasalah dalam jumlah besar dapat mendatangkan dampak yang kurang menguntungkan baik bagi pemberi pembiayaan, dunia perbankan kegiatan ekonomi dan moneter negara. Menurut maupun terhadap bermasalah, yaitu: 1. Dampak terhadap kelancaran operasi bank pemberi pembiayaan Bank yang dirongrong masalah pembiayaan bermasalah dalam jumlah besar akan mengalami kesulitan operasional. Pembiayaan dengan kualitas buruk memerlukan

Mahmoeddin (2010:111), bahwa dampak yang akan diakibatkan oleh pembiayaan

cadangan penghapusan yang semakin besar sehingga menyebabkan biaya yang harus ditanggung untuk mengadakan cadangan tersebut semakin besar, hal ini jelas mempengaruhi profitabilitas bank syariah. Profitabilitas yang semakin menurun akan mengurangi modal sendiri kemudian CAR akan menurun, sehingga bank memerlukan modal dana segar, apabila bank syariah tidak dapat menambah modal sendiri maka nilai kesehatan operasi akan menurun. Hal ini akan mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap bank tersebut.

2. Dampak terhadap dunia perbankan Pembiayaan bermasalah dalam jumlah besar akan menurunkan tingkat operasi bank tersebut. Penurunan pembiayaan dan profitabilitas yang sudah sangat parah akan mempengaruhi likuiditas, solvabilitas, dan rentabilitas bank, maka kepercayaan para penitip dana terhadap bank akan menurun. 3. Dampak terhadap ekonomi dan moneter negara Sistem perbankan yang terganggu karena pembiayaan bermasalah akan menghilangkan kesempatan bank untuk membiayai kegiatan operasinya dan perluasan debitur lain karena terhentinya perputaran dana yang akan dipinjamkan. Hal ini akan memperkecil kesempatan pengusaha lain untuk memanfaatkan peluang bisnis dan investasi yang ada. 2.5.1.1 Upaya Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah Risiko yang terjadi dari pembiayaan adalah pembiayaan yang bermasalah atau ketidakmampuan peminjam untuk membayar kewajiban yang telah dibebankan, untuk mengantisipasi hal tersebut maka bank syariah harus mampu menganalisis metode penyelesaiannya. Sebuah pembiayaan menurut Kasmir (2008:285), bahwa penyelesaian pembiayaan bermasalah adalah upaya bank untuk menjaga kualitas pembiayaan dan menghindari risiko kerugian yang mungkin akan diderita bank dengan sasaran utama dari pendekatan sisi aktiva dan pasiva bank, yaitu: 1. Memperbaiki dan meningkatkan kualitas aktiva produktif.

2. Menekan penghapusan penyisiha aktiva produktif yang dibentuk. 3. Meningkatkan penerimaan bunga pinjaman dan operasional perkreditan bank. 4. Upaya memperoleh dana murah dari hasil penagihan pembiayaan bermasalah yang telah dihapus buku (write off) sehingga dapat memberi sumbangan bagi peningkatan likuiditas maupun ekuitas bank. 5. Memudahkan penyusunan business plan bank tersebut dalam memprediksi targettarget perusahaan yang bermuara pada tingkat kesehatan suatu bank. 6. Memperbaiki reputasi dan citra bank tersebut. Tindakan penyelesaian pembiayaan bermasalah dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut: 1. Rescheduling, yaitu perubahan syarat pembiayaan berupa jadwal atau jangka waktu pembiayaan baik pokok, tunggakan margin maupun masa tenggang, sehingga debitur akan mampu memenuhi kewajibannya pada bank. 2. Reconditioning, yaitu perubahan syarat pembiayaan berupa perubahan sebagian atau seluruh syarat-syarat pembiayaan yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu dan atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimal saldo pembiayaan, sehingga debitur akan mampu memenuhi kewajibannya pada bank. 3. Restructuring, yaitu debitur akan mampu memenuhi kewajibannya pada bank denngan perubahan syarat-syarat yang menyangkut: a. Penurunan margin pembiayaan. b. Penurunan tunggakan pokok pembiayaan. c. Perpanjangan jangka waktu pembiayaan. d. Penambahan fasilitas pembiayaan. e. Pengambilan aset debitur sesuai dengan ketentuan yang berlaku. f. Konversi pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara pada perusahaan debitur. 2.5.1 Tingkat Non Performing Financing Pembiayaan Murabahah

Setiap pembiayaan memiliki risiko yang dihadapi oleh pihak bank maupun nasabah. Antonio (2009:132) berpendapat bahwa terdapat risiko dalam pembiayaan Murabahah, terutama pada penerapannya dalam pembiayaan yang relatif tinggi, yaitu sebagai berikut: 1. Slide Streaming, yaitu nasabah menggunakan dana itu bukan seperti yang disebut dalam kontrak. 2. Lalai dan kesalahan yang disengaja. 3. Penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya tidak jujur. Kualitas aktiva produktif dalam bentuk pembiayaan dapat diukur dengan mengetahui besarnya credit risk yaitu perbandingan besarnya pembiayaan bermasalah terhadap total pembiayaan yang disalurkan jadi besarnya tingkat risiko pembiayaan Murabahah dapat dirumuskan sebagai berikut: Pembiayaan Murabahah Bermasalah Risiko Pembiayaan Murabahah = Total Pembiayaan Murabahah 2.5 Profitabilitas Bank Syariah Sebagaimana bank umum lainnya (bank konvensional), tugas utama bank syariah adalah mengoptimalkan laba, meminimalkan risiko, dan menjamin tersedianya likuiditas yang cukup. Potensi risiko yang dihadapi bank konvensional juga dihadapi oleh bank syariah, kecuali risiko tingkat bunga. Pengertian profitabilitas menurut Mahmoeddin (2010:114), adalah: Kemampuan bank untuk memperoleh keuntungan. Kamus Besar Ekonomi (2007:360) mendefinisikan profitabilitas yaitu: Kemungkinan yang diprediksi dapat mendatangkan keuntungan Tingkat keuntungan yang dihasilkan oleh bank atau yang lebih dikenal dengan istilah profitabilitas merupakan pengukuran mengenai kemampuan bank dalam menghasilkan laba dan aset yang digunakan, dengan demikian profitabilitas dapat digunakan sebagai salah satu alat untuk mengukur dan mengevaluasi kinerja bank. Menurut www.e-samuel.com bahwa profitabilitas adalah: X 100%

Kemampuan suatu bank mendapatkan profit, biasanya ditunjukkan dengan marjin, baik marjin kotor, marjin usaha, maupun marjin bersih. Profitabilitas juga bisa menunjukkan pengembalian keuntungan bank baik terhadap modal yang dimiliki bank (return on equity) maupun terhadap aset (return on assets).

Menurut www.peminatanakuntansikeuangan002.com profitabilitas adalah: Merupakan perbandingan antara laba operasional dengan jumlah seluruh aktiva perusahaan pada suatu periode. Menurut Triyuwono dan Asudi (2001:87), tujuan keuntungan dalam akuntansi syariah adalah untuk memenuhi salah satu rukun Islam yaitu kewajiban menunaikan zakat, oleh karena itu, keuntungan dalam akuntansi syariah diperlukan untuk menilai jalannya operasional usaha, apakah sudah dilakukan secara efisien atau belum. Hal ini sangat penting untuk melakukan pertanggungjawaban, baik pertanggungjawaban kepada pemilik (pemegang saham) maupun pertanggungjawaban kepada Allah SWT yang dimanifestasikan dalam bentuk penentuan pembayaran zakat. Segala aktivitas penghimpunan dana dan penyaluran dana bank tercermin dalam laporan keuangan dimana proses pencatatan sampai tersusunnya laporan keuangan harus dilakukan dengan benar, sehingga informasi yang dihasilkan dapat digunakan oleh pihak umum. Hal ini menunjukkan bahwa sistem akuntansinya harus menjaga output yang dihasilkan tetap dalam kebenaran, keadilan dan kejujuran sebagaimana halnya hakikat dalam ajaran agama Islam. Laporan keuangan yang diterbitkan bank syariah secara lengkap diisyaratkan dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (No.59, 2009:59.18) yang terdiri dari: 1. Neraca 2. Laporan Laba Rugi 3. Laporan Arus Kas

4. Laporan Perubahan Ekuitas 5. Laporan Perubahan Dana Investasi Terikat 6. Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat, Infak, dan Shadaqah 7. Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Qardhul Hasan, dan 8. Catatan atas Laporan Keuangan Mengoptimalkan keuntungan dalam akuntansi syariah tidak berarti bahwa bank hanya melakukan usaha peningkatan keuntungan, lebih dari itu bank juga harus memperhitungkan tingkat investasi modal untuk menjaga agar pendapatan terutama keuntungan terus dapat ditingkatkan. Bank syariah harus mempersiapkan strategi penggunaan dana-dana yang dihimpunnya sesuai dengan rencana alokasi berdasarkan kebijakan yang telah digariskan agar mencapai tingkat keuntungan yang cukup dan tingkat risiko yang rendah. Tingkat keuntungan yang dihasilkan bank dikenal dengan istilah profitabilitas, yang merupakan pengukuran mengenai kemampuan bank untuk menghasilkan keuntungan dari aset yang digunakan. Mahmoeddin (2010:20) menjelaskan bahwa: Analisa profitabilitas akan dicari hubungan timbal balik antara pos-pos yang ada dalam income statement itu sendiri maupun hubungan timbal balik dengan pos-pos yang ada dalam neraca bank untuk mendapatkan berbagai indikasi yang berguna dalam mengukur efisiensi dan profitabilitas bank yang bersangkutan. Kasmir (2008:234) menyatakan bahwa: Rentabilitas rasio sering disebut profitabilitas usaha. Rasio rentabilitas digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi usaha dan profitabilitas yang dicapai oleh bank yang bersangkutan. Menurut Zainul Arifin (2003:64) bahwa ada dua rasio yang biasanya dipakai untuk mengukur kinerja bank, yaitu: 1. Return On Assets (ROA), adalah perbandingan antara pendapatan bersih (net income) dengan rata-rata aktiva (average assets) atau perbandingan dari laba

sebelum pajak dan zakat terhadap total asset yang dapat dirumuskan sebagai berikut: Laba Sebelum Pajak dan Zakat X 100% Total Asset 2. Return On Eqity (ROE), didefinisikan sebagai perbandingan antara pendapatan bersih (net income) dengan rata-rata modal (average equity) atau investasi para pemilik bank. Dilihat dari pandangan para pemilik, ROE adalah ukuran yang lebih penting karena merefleksikan kepentingan kepemilikan mereka. Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut: Laba Sebelum Pajak dan Zakat ROE = Total Equity Mahmoeddin (2010:20), mengungkapkan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi profitabilitas bank adalah: 1. Kualitas kredit atau pembiayaan yang diberikan dan pengembaliannya 2. Jumlah modal 3. Mobilisasi dana masyarakat dalam memperoleh sumber dana yang murah 4. Manajemen pengalokasian dana dalam aktiva likuid 5. Efisiensi dalam menekan biaya operasi 2.5 Pengaruh Tingkat Non Performing Financing Pembiayaan Murabahah terhadap Tingkat Profitabilitas Pembiayaan adalah suatu proses mulai dari analisis kelayakan pembiayaan sampai kepada realisasinya, sehingga pejabat bank syariah perlu melakukan pemantauan dan pengawasan pembiayaan. Menurut peraturan Bank Indonesia No.8/21/PBI/2006 tentang ketentuan umum bank syariah yang menyebutkan bahwa pembiayaan adalah: Penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang X 100% ROA =

dibiayai dan diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan, tanpa imbalan, atau bagi hasil.

Salah satu pembiayaan yang disediakan oleh bank syariah adalah pembiayaan Murabahah. Disebutkan dalam ketentuan pasal 3 ayat 2 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2007 bahwa yang dimaksud dengan pembiayaan Murabahah adalah: Transaksi jual-beli suatu barang sebesar harga perolehan barang ditambah dengan margin yang disepakati oleh para pihak, dimana penjual menginformasikan terlebih dahulu harga perolehan kepada pembeli. Diberikannya pembiayaan Murabahah oleh pihak bank syariah kepada nasabah yang membutuhkan, secara tidak langsung pembiayaan tersebut memiliki risiko yang akan dihadapi oleh pihak bank syariah maupun nasabah. Kemungkinan kegagalan yang terjadi dari pembiayaan Murabahah adalah kemungkinan kegagalan pembiayaan dikaitkan dengan kemampuan debitur untuk membayar kembali pinjamannya, untuk mengantisipasi hal tersebut, maka bank syariah harus mampu menganalisis penyebab permasalahannya. Beberapa pihak menyalahkan kondisi perekonomian sebagai penyebab terjadinya pembiayaan Murabahah bermasalah, namun jika ditelaah melalui perspektif praktis sehari-hari terjadinya pembiayaan Murabahah bermasalah yang dapat mempengaruhi profitabilitas terdiri dari beberapa penyebab. Pertama, faktor internal bank yaitu lemahnya verifikasi atas laporan keuangan debitur dan monitoring yang lemah setelah pembiayaan Murabahah diberikan. Lemahnya verifikasi ini bisa terjadi karena kapabilitas pejabat bank yang rendah ataupun karena adanya tekanan dari pihak lain, sehingga pihak bank tidak terlalu objektif dalam membiayai usaha debitur. Sementara yang dimaksud dengan lemahnya monitoring merupakan pemantauan usaha debitur, apakah berjalan dengan baik atau terjadi penyimpangan. Pada fase ini, jika bank syariah menemukan kejanggalan lalu memberikan toleransi kepada pihak debitur maka pihak bank syariah tidak disiplin dalam menjalankan

schedule montoring itu sendiri. Kedua, faktor eksternal yaitu yang dipicu oleh kondisi debitur maupun perekonomian. Faktor-faktor eksternal antara lain penyalahgunaan pembiayaan Murabahah, kegagalan usaha debitur, musibah yang terjadi pada debitur, dan lain-lain. Profitabilitas menggambarkan kemampuan bank syariah mendapatkan laba melalui semua kemampuan dan sumber yang ada. Pendekatan Return on Assets (ROA) dirasakan tepat untuk digunakan dalam pengukuran tingkat profitabilitas bank syariah yang nantinya akan dihubungkan dengan perhitungan tingkat Non Performing Financing pembiayaan Murabahah, karena dengan menggunakan Return on Assets (ROA) memperhitungkan bagaimana kemampuan manajemen bank syariah dalam memperoleh laba secara keseluruhan. Tingkat profitabilitas dengan pendekatan Return on Assets (ROA) bertujuan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengelola aktiva yang dikuasainya untuk menghasilkan income. Menurut Dendawijaya (2000:120) menjelaskan bahwa: Rasio ROA digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh keuntungan (laba) secara keseluruhan, semakin besar ROA suatu bank semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank tersebut dan semakin baik pula posisi bank tersebut dari segi penggunaan aktiva. Sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia, bahwa apabila Return on Assets (ROA) hanya mempunyai nilai 0% akan memperoleh nilai positif. Secara umum dikatakan bahwa semakin besar Return on Assets (ROA) semakin baik, itu berarti semakin efisien penggunaan seluruh aktiva di dalam menghasilkan profit. Tingkat Non Performing Financing pembiayaan Murabahah dijadikan sebuah indikator kualitas aktiva bank syariah, dapat diartikan sebagai perbandingan antara pembiayaan Murabahah bermasalah dengan total pembiayaan Murabahah yang diberikan oleh bank syariah. Semakin tinggi tingkat Non Performing Financing pembiayaan Murabahah menunjukkan jumlah pembiayaan Murabahah yang bermasalah pada bank tersebut ada pada jumlah yang relatif besar terhadap seluruh pembiayaan Murabahah yang disalurkan. Dampak dari pembiayaan Murabahah

bermasalah yang terjadi adalah pendapatan margin semakin rendah, dengan demikian keuntungan yang diperoleh bank syariah menjadi kecil. Bank syariah yang mempunyai tingkat Non Performing Financing pembiayaan Murabahah yang tinggi akan semakin berat menanggung beban, sehingga bukan tidak mungkin pihak bank syariah akan mengalami kerugian atas pembiayaan Murabahah yang diberikan kepada nasabahnya.

BAB III OBJEK DAN METODOLOGI PENELITIAN


3.1 Objek Penelitian Objek yang akan penulis gunakan dalam penelitian ini adalah besarnya tingkat Non Performing Financing pembiayaan Murabahah serta tingkat profitabilitas. Hal ini ditetapkan sesuai dengan pendapat Arikunto (2006:100) yang mendefinisikan variabel sebagai objek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian. Variabel-variabel tersebut bersifat kuantitatif, artinya besarnya tingkat Non Performing Financing pembiayaan Murabahah serta tingkat profitabilitas diukur dengan besaran rasio dalam suatu rentang waktu tertentu. Unit analisis menurut Arikunto (2006:121) merupakan satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subjek penelitian. Unit analisis dalam penelitian ini adalah PT BNI (Persero) Tbk. Kantor Cabang Syariah Bandung. 1.1.1 Sejarah Singkat PT BNI (Persero) Tbk. Kantor Cabang Syariah Sistem syariah yang terbukti dapat bertahan dalam terpaan krisis moneter 1997, meyakinkan masyarakat bahwa sistem tersebut kokoh dan mampu menjawab kebutuhan perbankan yang transparan. Berdasarkan hal itu dan mengacu pada Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, mulailah PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. merintis Divisi Usaha Syariah. PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Kantor Cabang Syariah dibentuk secara mandiri melalui Tim Proyek Internal tanpa bantuan konsultan. Pola yang digunakan perusahaan untuk masuk dalam pasar perbankan syariah adalah Dual Sistem Bank yakni menyediakan layanan perbankan umum dan syariah sekaligus. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 yang memungkinkan bankbank umum untuk membuka layanan syariah. Setelah dikeluarkannya UndangUndang No. 10 Tahun 1998 yang memperbolehkan Bank Konvensional untuk membuka layanan syariah, kemudian pada tahun 1999 terbentuklah Tim Proyek

Cabang Syariah. Pada tanggal 29 April 2000, dilakukan pembentukan lima cabang pertama yaitu di Pekalongan, Jepara, Yogyakarta, Malang dan Banjarmasin. Kemudian

pada tahun 2001 pembukaan cabang selanjutnya di lakukan di Padang, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Bandung dan Makasar serta pembukaan cabang di Medan dan Palembang pada tahun 2002. Pada tahun 2003 dilakukan penyusunan Corporate Plan BNI Syariah dan relokasi cabang Jepara ke Semarang. Pada tahun 2003 , dibentuk Cabang Syariah Banking and Financial Service (peta navigasi) dan pembukaan cabang syariah Prima Jakarta dan Surabaya. Pada tahun 2005, dilakukan pengembangan cabang secara agresif, penataan organisasi dan adanya otonomi khusus. Keseluruhan kantor cabang syariah sampai tahun 2010 berjumlah 58 buah di seluruh Indonesia. Selanjutnya berlandaskan peraturan Bank Indonesia No 8/3/ PBI/2006 tentang pemberian ijin bagi kantor cabang Bank konvensional yang memiliki unit usaha syariah untuk melayani pembukaan rekening produk dana syariah, BNI Syariah merespon ketentuan ini dengan cara bersinergi dengan cabang konvensional guna melakukan office channelling. Hingga saat ini outlet layanan syariah pada kantor cabang konvensional berjumlah 636 outlet. Beberapa hal yang menjadi alasan pembukaan cabang syariah, antara lain: 1. Menyediakan layanan perbankan yang lengkap untuk mewujudkan BNI sebagai Universal Banking. 2. Berdasarkan data Majelis Ulama Indonesia (MUI), sebanyak 30% masyarakat Indonesia menolak sistem bunga. 3. Landasan operasional perbankan syariah sudah kuat. 4. Terbatasnya saingan. 5. Berdasarkan hasil survei, masyarakat memberikan respon baik dan kepercayaan yang besar terhadap kehadiran bank syariah.

1.1.1

Sejarah Singkat PT BNI (Persero) Tbk. Kantor Cabang Syariah Bandung Berdirinya PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Kantor Cabang Syariah

Bandung berdasarkan ketentuan dan aturan yang berkaitan dengan perbankan syariah adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/23/Kep/Dir Tanggal 12 Mei 1999 tentang bank umum berdasarkan prinsip syariah, perubahan kegiatan usaha dan pembukaan kantor cabang syariah. 3. Peraturan Bank Indonesia No. 2/7/PBI/2000 Tanggal 27 Februari 2000 tentang giro wajib minimum dalam rupiah dan valuta asing bagi bank umum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. 4. Peraturan Bank Indonesia No. 2/14/PBI/2000 Tanggal 9 Juni 2000 tentang perubahan kliring lokal. 5. Peraturan Bank Indonesia No. 2/8/PBI/2000 Tanggal 23 Juni 2000 tentang pasar uang atas bank berdasarkan prinsip syariah. 6. Peraturan Bank Indonesia No. 2/9/PBI/2000 Tanggal 23 Juni 2000 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI). 7. Buku petunjuk pendirian bank syariah. PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Cabang Syariah Bandung merupakan cabang yang kesembilan yang didirikan pada tanggal 15 Agustus 2001. PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Kantor Cabang Syariah Bandung adalah satu dari usaha BNI yang hadir untuk melayani masyarakat dengan landasan sistem perbankan syariah dalam rangka mewujudkan BNI sebagai Bank Universal. atas peraturan Bank Indonesia No. 1/3/PBI/1999 tentang penyelenggaraan kliring lokal dan penyelesaian akhir transaksi pembayaran antar

1.1.1 Visi

Visi, Misi, dan Tujuan PT BNI (Persero) Tbk. Kantor Cabang Syariah Bandung

Menjadi bank syariah yang unggul dalam layanan dan kinerja sesuai dengan kaedah sehingga insyaAllah membawa berkah. Misi Secara istiqomah melaksanakan amanah untuk memaksimalkan kinerja dan layanan perbankan dan jasa keuangan syariah sehingga dapat menjadi bank syariah kebanggaan anak negeri. Tujuan Dalam rangka menjadi Universal Banking perlu mengakomodir kebutuhan masyarakat yang ingin menyalurkan keuangannya melalui perbankan syariah serta sebagai alternatif dalam menghadapi krisis yang mungkin timbul dikemudian hari, mengingat kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah tidak terkena negatif spread seperti yang dialami oleh bank-bank konvensional. 3.2 3.2.1 Metode Penelitian Metode yang Digunakan Metode yang digunakan oleh penulis adalah metode penelitian asosiatif. Data penelitian yang diperoleh tersebut diolah, dianalisis secara kuantitatif, serta diproses lebih lanjut dengan alat bantu berupa dasar-dasar teori yang dipelajari sebelumnya sehingga dapat memperjelas gambaran mengenai objek yang diteliti dan kemudian dari hasil tersebut ditarik kesimpulan. Menurut Sugiyono (2009:69) pengertian metode asosiatif adalah: Suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hubungan antara dua variable atau lebih serta dapat membangun suatu teori yang berfungsi untuk menjelaskan, meramalkan dan mengontrol suatu gejala atau fenomena. Jenis dan Sumber Data

1.2.2

1.2.2.1 Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data dokumenter. Pengertian data dokumenter menurut Indriantoro dan Supomo (2002:146) adalah: Data dokumenter adalah jenis data penelitian yang antara lain berupa: faktur, jurnal, surat-surat, notulen hasil rapat, memo, atau dalam bentuk laporan program. Data dokumenter memuat apa dan kapan suatu kejadian atau transaksi, serta siapa yang terlibat dalam suatu kejadian. Data dokumenter dalam penelitian dapat menjadi bahan atau dasar analisis data yang kompleks yang dikumpulkan melalui metode observasi dan analisis dokumen yang dikenal dengan content analysis. 3.2.2.2 Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data sekunder. Pengertian data sekunder menurut Indriantoro dan Supomo (2002:147) adalah: Data sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain). Menurut Marzuki (2002:56) pengertian data sekunder adalah: Data sekunder merupakan data yang bukan diusahakan sendiri pengumpulannya oleh peneliti misalnya dari biro statistik, majalah, katerangan-keterangan atau publikasi lainnya. Kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa data sekunder diperoleh data-data yang diberikan dari perusahaan yang bersangkutan, buku-buku dan informasi selama melakukan penelitian. Data yang diambil penulis juga merupakan data yang bersifat time series atau bersifat deret waktu menurut Husein Umar (2002:85) data time series adalah: Sekumpulan data dari suatu fenomena tertentu yang didapat dalam beberapa interval waktu tertentu. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini bersumber pada data internal. Menurut Indriantoro dan Supomo (2002:149) data internal adalah:

Dokumen-dokumen akuntansi dan operasi yang dikumpulkan, dicatat, dan disimpan di dalam suatu organisasi. 3.2.3 Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik studi kepustakaan (library research). Studi kepustakaan (library research) dilakukan untuk memperoleh data sekunder yang digunakan sebagai landasan teoritis masalah yang akan diteliti. Studi kepustakaan merupakan bahan utama dalam penelitian data sekunder. Penelusuran data sekunder memerlukan cara agar penelitian data sekunder dapat dilakukan lebih cepat dan efisien. Penelusuran data sekunder dilakukan dengan penelusuran secara manual. Menurut Indriantoro dan Supomo (2002:151), penelusuran secara manual adalah: Data sekunder yang disajikan dalam format kertas hasil cetakan. Data sekunder yang disajikan dalam format kertas hasil cetakan antara lain berupa: jurnal, majalah, bulletin dan bentuk publikasi yang diterbitkan secara periodik, buku, atau sumber data lainnya seperti laporan tahunan perusahaan. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa neraca, laporan laba rugi, dan catatan atas laporan keuangan PT BNI (Persero) Tbk. Kantor Cabang Syariah Bandung selama tiga periode, yaitu dari tahun 2007 sampai dengan 2009. 3.2.4 Operasionalisasi Variabel Operasionalisasi variabel merupakan suatu tindakan dalam membuat batasanbatasan yang akan digunakan dalam analisis, adapun yang akan dianalisis adalah hubungan antara variabel bebas (variabel independen) dengan variabel terikat (variabel dependen), yaitu: 1. Tingkat Non Performing Financing Pembiayaan Murabahah (X) sebagai variabel bebas (variabel independen). Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi variabel yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel terikat (variabel dependen).

1. Tingkat Profitabilitas Bank Syariah (Y) sebagai variabel terikat (variabel dependen). Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas. Model penelitian yang menunjukkan hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen disajikan dalam bentuk gambar 1.1 berikut ini: Gambar 3.1 Hubungan antara Variabel Independen (Tingkat Non Performing Financing Pembiayaan Murabahah) dengan Variabel Dependen (Tingkat Profitabilitas Bank Syariah)
Tingkat Non Performing Financing Pembiayaan Murabahah Tingkat Profitabilitas Bank Syariah (variabel dependen)

3.2.5

Rancangan Pengujian Hipotesis Analisis terhadap data yang berhasil dikumpulkan menggunakan analisis

3.2.5.1 Rancangan Analisis kuantitatif dengan bantuan ukuran-ukuran statistik yang relevan. Digunakan uji statistik regresi dan korelasi linier sederhana dalam penelitian ini untuk tingkat Non Performing Financing pembiayaan Murabahah yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap tingkat profitabilitas bank syariah. Tahapan pengolahan dan penganalisisan data yang dilakukan penulis adalah: 1. Mendapatkan data yang berhubungan dengan variabel-variabel yang terkait, baik melalui 2. 3. 4. laporan keuangan maupun laporan-laporan pendukung yang berhubungan dengan jenis pembiayaan Murabahah dan profitabilitas. Menghitung nilai Non Performing Financing pembiayaan Murabahah dan rasio profitabilitas. Melakukan pengujian statistik untuk menguji hipotesis serta menginterpretasikan dan menganalisis hasil pengujian hipotesis. Berdasarkan hasil pengujian statistik akan ditarik suatu kesimpulan.

1.2.5.2 Penetapan Hipotesis

Penetapan hipotesis assosiatif dalam penelitian ini, yaitu meneliti ada atau tidaknya hubungan yang signifikan antara tingkat Non Performing Financing pembiayaan Murabahah sebagai variabel independen dengan tingkat profitabilitas bank syariah sebagai variabel dependen. Bentuk pengujian hipotesis assosiatif yaitu menggunakan uji dua pihak (two tail). Uji dua pihak digunakan bila hipotesis nol (Ho) berbunyi tidak terdapat hubungan dan hipotesis alternatif (Ha) berbunyi terdapat hubungan, perumusan hipotesis nol dan hipotesis alternatif adalah sebagai berikut: Hipotesis nol Hipotesis alternatif : Tidak terdapat hubungan antara X dengan Y : Terdapat hubungan antara X dengan Y

Ho : = 0 (berarti tidak ada hubungan) Ha : 0 (berarti terdapat hubungan) 1.2.5.3 Pengujian Hipotesis Pengujian hipotesis assosiatif diuji dengan teknik korelasi sederhana, yaitu menggunakan korelasi Pearson Product Moment (r) karena datanya berbentuk interval atau ratio dan untuk pengujian hipotesis hubungan antara satu variabel independen dengan satu variabel dependen. Teknik pengujian hipotesis assoiatif diuji pula dengan analisis regresi sederhana. Tujuan utama dilakukannya analisis regresi sederhana adalah untuk mengetahui hubungan fungsional antara variabel-variabel yang diteliti. Langkah-langkah perhitungannya adalah: 1. Analisis Regresi Sederhana Analisis ini bertujuan menunjukkan pola hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Persamaan regresi dapat digunakan untuk melakukan prediksi seberapa tinggi nilai variabel dependen bila nilai variabel independen dimanipulasi (berubah-ubah). Analisis regresi sederhana (dengan satu prediktor) secara umum mempunyai persamaan sebagai berikut: Y = a + b X Keterangan:

Y X a b

= Tingkat profitabilitas bank syariah sebagai variabel dependen = Tingkat Non Performing Financing pembiayaan Murabahah sebagai variabel independen = Konstanta atau bila harga X = 0 = Koefisien regresi, merupakan besarnya perubahan variabel dependen akibat perubahan variabel independen Nilai a dan b dari persamaan tersebut dapat dicari dengan menggunakan

rumus: a= x2y- xxynx2- (x)2 b= nxy- xynx2- (x)2 Pengujian Hipotesis Koefisien (b) diuji dengan menggunaka uji t untuk menunjukkan ada atau tidaknya hubungan atau pengaruh yang signifikan antara tingkat Non Performing Financing pembiayaan Murabahah sebagai variabel independen dengan tingkat profitabilitas bank syariah sebagai variabel dependen. Hipotesis ujinya adalah: Ho : = 0 Diartikan tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara tingkat Non Performing Financing pembiayaan Murabahah dengan tingkat profitabilitas bank syariah. Ho : 0 Diartikan terdapat pengaruh yang signifikan antara tingkat Non Performing Financing pembiayaan Murabahah dengan tingkat profitabilitas bank syariah. Rumus statistik ujinya adalah sebagai berikut: thitung= MSE/Sxx Keterangan : MSE=SSRn-2 Sy2= y2- (y)2n Sxy= xy- (x)(y)n SSR= Sy2- Sxy Sx2= x2- (x)2n

Adapun kriteria untuk uji dua pihak adalah: Ho diterima atau Ha ditolak jika t tabel t hitung t tabel Ho ditolak atau Ha diterima jika t hitung > t tabel atau t hitung < -t tabel Keputusan pemilihan uji dua pihak tidaklah didasarkan atas pertimbangan statistik, tetapi didasarkan atas keputusan yang akan diambil sebagai hasil dari penemuan penelitian. Disamping itu, beberapa ahli berpendapat bahwa uji dua pihak lebih dapat dipertanggungjawabkan untuk ilmu-ilmu sosial karena sangat banyak variabel yang belum diketahui. 2. Analisis Korelasi Pearson Product Moment Analisis ini dapat membantu peneliti dalam menunjukkan seberapa besar atau seberapa erat hubungan antar variabel. Apabila terdapat dua variabel yang ingin diketahui eratnya hubungan antar variabel tersebut, dengan syarat harus berdistribusi normal dan menggunakan skala interval atau rasio, dapat digunakan alat ukur korelasi pearson product moment. Analisis koefisien korelasi pearson product moment dapat diketahui melalui rumus berikut: r= nxy- xynx2- (x)2ny2- (y)2 Keterangan: X Y n r = = = = Tingkat Non Performing Financing pembiayaan Murabahah sebagai variabel independen Tingkat profitabilitas bank syariah sebagai variabel dependen Jumlah pengamatan (sampel) Koefisien korelasi

Pada hakekatnya, nilai r dapat bervariasi dari -1 melalui 0 hingga +1 (-1 < r < 1). Bila r = 0 atau mendekati 0, maka hubungan antar keduanya sangat lemah atau tidak terdapat hubungan sama sekali. Bila r = +1 atau mendekati +1, maka hubungan antara kedua variabel sangat kuat dan positif. Bila nilai r = -1, maka hubungan kedua

variabel dikatakan sangat kuat dan negatif. Tanda positif dan negatif pada koefisien korelasi memiliki arti yang khas. Bila r positif (+), maka hubungan antara keduanya bersifat searah, dengan kata lain kenaikan atau penurunan nilai variabel independen akan diikuti pula dengan kenaikan atau penurunan nilai variabel dependen. Adapun bila r negatif (-), maka hubungan antara keduanya berlawanan arah dalam arti bahwa apabila terjadi kenaikan nilai variabel dependen dan demikian juga sebaliknya. Interpretasi yang digunakan untuk menilai derajat keeratan hubungan dari variabel yang ada adalah dengan menggunakan interpretasi nilai koefisien korelasi,. Pedoman untuk memberikan interpretasi koefisien korelasi menurut Sugiyono (2009:184) disajikan dalam bentuk tabel 3.1 berikut ini: Tabel 3.1 Pedoman untuk Memberikan Interpretasi Koefisien Korelasi Interval Koefisien Tingkat Hubungan 0,00 0,199 Sangat rendah 0,20 0,399 Rendah 0,40 0,599 Sedang 0,60 0,799 Kuat 0,80 1,000 Sangat kuat Sumber: Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D(Sugiyono, 2009:184) Pengujian Hipotesis Pengujian tingkat signifikansi dari koefisien korelasi, peneliti menggunakan statistik uji t dengan rumus : t=rn-21- r2 Hasil perhitungan dari statistik uji t (t hitung) kemudian dibandingkan dengan t tabel yang diperoleh dengan menggunakan tingkat signifikansi 5% dan derajat kebebasan (degree of freedom) dengan rumus (df) = n k 1. Kriteria pengambilan kesimpulan uji t tersebut adalah 1. Bila t t maka Ho diterima 2. Bila t < t dan t > t maka Ho ditolak

3. Analisis Koefisien Determinasi Besarnya kontribusi pengaruh tingkat Non Performing Financing pembiayaan Murabahah terhadap tingkat profitabilitas bank syariah dapat diketahui dengan rumus berikut: Kd = r2 x 100% Sedangkan untuk mengetahui besarnya kontribusi dan pengaruh faktor-faktor lain terhadap variabel independen, dapat diketahui dengan rumus sebagai berikut: Kk = (1 - r2) x 100% 3.2.6 Penarikan Kesimpulan Penarikan kesimpulan dilakukan berdasarkan hasil pengolahan data dan hasil pengujian berdasarkan kriteria-kriteria yang telah disebutkan tersebut serta didukung oleh teori teori yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

Você também pode gostar