Você está na página 1de 5

Jurnal Natur Indonesia I1 (1): 80 - 84 (1999)

BIOLOGI Aphis glycines Matsumura (Homophera: Aphididae) PADA BEBERAPA TINGKAT UMUR TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L) Merrill)
Oleh : Rusli. R Fakultas Pertanian Universitas Riau
Diterima : 13 Agustus 1999 Disetujui : 15 September 1999

ABSTRAK
Penelitian tentang Biologi Aphis glycines pada beberapa tingkat umur tanaman kedelai (Glycine max (L) Merrill) telah dilaksanakan di Field Training facilities (FTF) Kuranji Kota Madya Padang. Tujuan penelitian adalah untuk melihat biologi Aphis glycines pada beberapa tingkat umur tanaman kedelai. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan dan 10 ulangan. Perlakuan adalah tingkat umur tanaman kedelai yaitu umur tiga minggu, lima minggu dan tujuh minggu setelah tanam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan umur tanaman kedelai memberikan pengaruh terhadap biologi Aphis glycines. Di antara ketiga umur tanaman kedelai,tanaman umur tiga minggu setelah tanam merupakan keadaan yang terbaik bagi kehidupan biologi Aphis glycines. Kata kunci: Aphise glycine, biologi, umur kedelai

PENDAHULUAN Kedelai (Glycine max (L) Merrill) adalah salah satu tanaman pangan yang telah lama diusahakan di Indonesia karena kedelai mempunyai peranan cukup besar dalam memenuhi kebutuhan gizi masyarakat. Komoditi tersebut merupakan sumber protein nabati yang efesien (Sumarno dan Harnoto, 1983) dan juga sumber protein yang menduduki tempat pertama diantara tanaman kacang-kacangan (Somaatmadja, 1985). Serangan hama merupakan salah satu faktor yang menyebabkan rendah produksi kedelai. Japan International Cooperation Agency (1990) melaporkan bahwa sampai saat ini telah diketahui 20 species serangga hama pada tanaman kedelai. Soekarno dan Harnoto (1985) membagi hama tersebut atas tiga

kelompok besar, yaitu hama yang menyerang tanaman muda, menyerang daun dan menyerang polong. Soekarno dan Harnoto (1985) mengatakan bahwa salah satu hama yang menyerang daun adalah Aphis glycines. Lebih lanjut Suryatno dan Iqbal (1985) menjelaskan Aphis glycines menghisap daun dan batang di mana secara tidak langsung da-pat menurunkan produksi kedelai. Kehilangan hasil kedelai karena serangan hama ditentukan oleh berbagai faktor antara lain tinggi rendahnya populasi hama yang hadir di pertanaman, bagian tanaman yang dirusak, tanggapan tanaman terhadap gangguan kerusakan, umur tanaman dan varietas yang di-tanam (Tengkano dan Soehardjan, 1985). Umur tanaman kedelai ber-pengaruh terhadap perkembangan populasi

81

Aphis glycines (Suryawan dan Oka, 1992). Usaha yang telah dilakukan dalam mengendalikan serangan hama adalah dengan pemakaian insektisida. Namun perlu disadari bahwa penggunaan insektisida dapat menimbulkan resistensi dan resurjensi terhadap hama. Untuk menghindari kelemahan penggunaan insektisida perlu dikembangkan konsep pengendalian hama terpadu. Dalam melaksanakan konsep pengendalian hama terpadu sangat diperlukan pengetahuan mengenai biologi, ekologi dan fisiologi serangga, sehingga dapat membantu saat yang tepat untuk mengendalikan hama tersebut. Menurut Clark tahun 1970 dan Watson et al tahun 1975 cit. Subiyakto dan Kartono (1986) bahwa salah satu kunci keberhasilan dalam mengendalikan seranngan hama adalah mengenal aspek biologi dari srangga itu sendiri. Aspek biologi dari serangga antara lain keperidian, siklus hidup, umur dan deskripsi masing-masing stadia yang merupakan informasi penting untuk menentukan saat yang tepat untuk pengendalian. Berdasarkan hal di atas penulis telah melaksanakan penelitian dengan judul Biologi Aphis glycines Matsumura (Homoptera: Aphididae) pada beberapa tingkat umur tanaman kedelai (Glycines max (L) Merrill). Adapun tujuan dari penelitian adalah untuk melihat biologi Aphis glycines pada beberapa tingkat umur tanaman kedelai. Sebagai hipotesa akhir dari penelitian ini adalah semua tingkat umur tana-man kedelai memberikan pengaruh yang berbeda terhadap biologi Aphis glycines. METODOLOGI PENELITIAN

A = Umur tiga minggu setelah tanam B = Umur lima minggu setelah tanam C = Umur tujuh minggu setelah tanam.

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan menggunakan tiga perlakuan dan 10 ulangan. Adapun perlakuan tersebut adalah tingkat umur tanaman kedelai, yaitu:

1. Lama stadia nimfa Aphis glycines (Hari) 2. Lama stadia dewasa Aphis glycines (hari) 3. Jumlah nimfa yang dilahirkan Aphis glycines 4. Panjang Aphis glycines dewasa (mm)

Data pengamatan dianalisis secara statistik dengan uji F dan dilanjutkan dengan uji lanjutan Duncans New Multiple Range Test (DNMRT ) pada taraf nyata 5%. Penelitian ini dilaksanakan di lapangan dengan menanam tanaman kedelai dalam polybag. Tanah diinokulasi dengan bakteri Rhizobium japonicum yang diambil dari bekas tanah tanaman kedelai, dan pemupukan dengan pupuk kandang dengan dosis 100 ton per hektar, TSP 100 kg per hektar, Urea 50 kg per hekatar dan KCL 50 kg per hektar. Pupuk diberikan secara melingkar pada kedalaman 5 cm dengan jarak 7 cm dari tanaman. Penanaman dilakukan sesuai dengan perlakuan yang diberikan dan pemasangan clip cage (kurungan serangga) dilakukan pada daun tengah yang berada nomor tiga dari atas yang dipasang pada sisi daun sebelah bawah. Pengamatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

HASIL DAN PEMBAHASAN Lama stadia nimfa Aphis glycines (hari) Hasil pengamatan lama stadia nimfa Aphis glycines setelah dianalisis secara statistik terlihat berbeda nyata.

82

Tabel 1. Rata-rata lama stadia nimfa

Perlakuan umur tanaman (minggu setelah tanam)

Aphis glycines pada berbagai tingkat umur tanaman kedelai (hari)


C B A
Lama stadia nimfa (hari

Perlakuan umur tanaman (minggu setelah tanam) B A C KK = 16%

Lama stadia nimfa (hari 6.5 a 6.4 a 4.9 b

KK = 2.64%

6.8 a 6.7 a 6.2 b

Dari Tabel 1 terlihat bahwa perbedaan umur tanaman kedelai berpengaruh terhadap lama stadia nimfa Aphis glycines. Pada kedelai umur tujuh minggu dan lima minggu setelah tanam memperlihatkan stadia yang lebih lama diduga disebabkan sedikitnya cairan yang dihisap oleh Aphis glycines. Daun tanaman yang berumur tujuh dan lima minggu setelah tanam mempunyai jaringan tanaman keras, bulu-bulu daun lebih panjang dan banyak sehingga menyulitkan bagi Aphis glycines untuk menghisap cairan daun. Keadaan jaringan daun kedelai yang berumur tiga minggu setelah tanam masih muda dan bulu daun pendek serta jarang, sehingga nimfa lebih muda menghisap cairan daun sebagai sumber makanannya. Pertumbuhan dan perkembangan stadia muda serangga yang mendapat makanan sedikit akan terhambat dan stadianya menjadi panjang. (Sunjaya, 1970) Lama stadia dewasa Aphis glycines (hari) Hasil pengamatan lama stadia dewasa Aphis glycines setelah dianalisis secara statistik terlihat berbeda tidak nyata

Terdapatnya perbedaan yang tidak nyata dari lama stadia dewasa pada berbagai tingkat umur tana-an kedelai diduga disebabkan stadia dewasa merupakan stadia yang aktif dan telah mengalami perkemba-gan morfologi yangi lengkap dan kuat sehingga struktur morfologi tana-an kedelai yang berbulu panjang dan jaringan yang keras tidak menjadi penghalang bagi Aphis glycines dalam menancapkan stiletnya untuk menghisap cairan daun sehingga Aphis glycines memperoleh maka-an yang cukup untuk menunjang pertumbuhannya. Jumlah nimfa yang dilahirkan Aphis glycines Hasil pengamatan jumlah nimfa yang dilahirkan oleh Aphis glycines dewasa setelah dianalisis secara statistik terlihat berbeda nyata. Tabel 3. Rata-rata jumlah nimfa yang
dilahirkan Aphis glycines pada berbagai tingkat umur tanaman kedelai

Perlakuan umur tanaman Lama stadia (minggu setelah tanam) nimfa (hari A 19.9 a B 12.9 b C 12.7 b KK = 18.49%

Tabel 2. Rata-rata lama stadia dewasa

Aphis glycines pada berbagai tingkat umur tanaman kedelai (hari)

Imago Aphis glycines pada tanaman kedelai umur tiga minggu setelah tanam menghasilkan jumlah anak yang tertinggi yaitu 19.9 nimfa sedangkan pada tanaman kedelai umur tujuh minggu setelah tanam hanya 12.7 nimfa. Banyaknya jumlah anak yang dilahirkan oleh Aphis glycines dewasa pada tanaman kedelai umur tiga minggu setelah tanam diduga

83

disebabkan jaringan daun kedelai umur tiga minggu setelah tanam masih muda, nutrisi tersedia dengan baik sehingga mendukung untuk perkembangan Aphis glycines. Hal ini didukung oleh Suryawan dan Oka (1992) bahwa tanaman yang lebih muda dapat menyediakan nutrisi lebih baik dan semakin tua umur tanaman kualitas nutrisi menurun akibat meningkatnya ratio C/N tanaman. Menurut Painter (1951) perbedaan kualitas makanan merupakan sifat fisiologis tanaman yang dapat menyebabkan resistensi terhadap tanaman tersebut. Resistensi suatu tanaman dapat menyebabkan reseistensi terhadap tanaman tersebut. Resistensi suatu tanaman dapat menyebabkan keperidian serangga yang memakannya menjadi berkurang. Panjang Aphis glycines dewasa (mm) Hasil pengamatan panjang Aphis glycines setelah dianalisis secara statistik terlihat berbeda nyata. Tabel 4. Rata-rata panjang Aphis glycines dewasa pada berbagai tingkat umur tanaman kedelai (mm)
Lama stadia nimfa (hari 1.17 a 1.00 b 0.93 b

Perlakuan umur tanaman (minggu setelah tanam) A B C KK = 2.7%

man masih muda sehingga Aphis glycines mudah menancapkan styletnya untuk memperoleh makanan. Pada tanaman kedelai umur tujuh minggu setelah tanam Aphis glycines lebih pendek yakni 0.93 mm diduga bulu-bulu daun yang panjang dan jaringan tanaman kuat menyebabkan resistensi terhadap tanaman sehingga Aphis glycines kurang mendapat makanan. Jika dibandingkan dengan ukuran Aphis glycines yang dikemukakan oleh Borror et al (1976) di mana ukuran Aphis glycines dewasa adalah 1 mm, berarti Aphis glycines pada tanaman umur tujuh minggu setelah tanam masih berada pada standar normal. Menurut Painter (1951), resistensi suatu tanaman dapat mengakibatkan meningkatnya kematian nimfa stadia awal, lamanya satu siklus hidup tidak normal, berkurangnya persediaan makanan, ukuran serangga lebih kecil, keperidian berkurang. Ada empat kemungkinan fisiologis yang menyebabkan resistensi tanaman terhadap serangga yaitu, (1) adanya pengaruh bahan kimia yang dapat mengganggu yaitu toksin, (2) kekurangan bahan makanan yang khusus, (3) perbedaan kuantitas makanan yang ada, dan (4) bahan-bahan makanan ada tetapi tidak memungkinkan dimakan oleh serangga. KESIMPULAN Dari hasil penelitian biologi Aphis glycines pada beberapa tingkat umur tanaman kedelai dapat diambil kesimpulan bahwa tanaman umur tiga minggu setelah tanam memberikan kehidupan yang lebih baik terhadap biologi Aphis glycines dalam hal lama stadia nimfa, jumlah nimpa yang dilahirkan dan panjang tubuh tetapi tidak berpengaruh terhadap lama stadia dewasa. Dari hasil penelitian ini penulis menyarankan supaya dalam

Dari Tabel 4 terlihat bahwa perlakuan umur tiga minggu setelah tanam berbeda nyata dengan perlakuan umur lima minggu dan tujuh minggu setelah tanam. Hal ini disebabkan Aphis glycines pada tanaman kedelai umur tiga minggu setelah tanam telah memperoleh makanan yang cukup sejak stadia nimfa sehingga pertumbuhannya lebih cepat. Di samping itu jaringan tana-

84

pengendalian hama Aphis glycines secara biologi yaitu dengan menggunakan serangga predator agar diintroduksikan ke lahan kedelai pada umur tiga mnggu setelah tanam . DAFTAR PUSTAKA Borror, D.J, D.M. Delong and C.A. Triplehorn. 1975. An Introduction to The Study of Insect. Fourth Edition. Halt. Richart and Winston. New York, Chicago, San Fransisco, Atlanta, Dallas, Montreal, Toronto, London and Sydney. 852 p. Japan International Cooperation Agency. 1990. Petunjuk Bergambar Untuk Identifikasi Hama dan Penyakit Kedelai di Indonesia. Edisi Kedua. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Bogor. 115 hal. Painter, R.H. 1951. Insect Resistence in Crop Plant. The University Press of Kansas, USA. 520 p. Soekarno dan Harnoto. 1985. Pengendalian Hama Kedelai Dalam Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Bogor. Hal. 319-330. Somaatmadja, S. 1985. Peningkatan Produksi Kedelai Melalui Perakitan Varietas. Dalam Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Bogor. hal. 243-262. Subiyakto dan Kartono. 1986. Beberapa Aspek Biologi Ulat Buah Kapas (Heliothis armigera Hubner). Makalah Temu Ilmiah Entromologi Perkebunan

Tanggal Medan.

22-24

April

di

Sumarno dan Harnoto. 1983. Kedelai dan Cara Bercocok Tanamnya. Buletin No. 6. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Bogor. Suryawan dan Oka. 1992 Bioekologi, Serangan dan Pengendalian Hama-hama Penghisap Daun Kedelai. Dalam Risalah Lokakarya Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Kedelai. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. hal. 104-116. Sunjaya. 1970. Dasar-dasar Ekologi Serangga. Bahagian Ilmu Hama Tanaman Pertanian. Institut Pertanian Bogor. hal 127. Suryatno dan Iqbal. 1985. Biologi dan Predator Aphis Micromus sp (Homoptera: Hemenobiidae) dalam Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan. Balitan Bogor. Volume 2. hal. 368 375. Tengkano dan Suhardjan. 1985. Jenis Hama Utama pada Berbagai Fase Pertumbuhan Kedelai. Dalam Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Bogor. hal. 295-318.

Você também pode gostar