Você está na página 1de 16

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Merusak diri merupakan salah satu bentuk kegawat daruratan psikiatri. Meskipun suicide adalah perilaku yang membutuhkan pengkajian yang komprehensif pada depresi, penyalahgunaan NAPZA, skizofrenia, gangguan kepribadian (paranoid,

bordrline,antisocial), suicide tidak bisa disamakan dengan penyakit mental. Ada 4 hal yang krusial yang perlu diperhatikan oleh perawat selaku tim kesehatan diantaranya adalah : pertama,suicide merupakan perilaku yang bisa mematikan dalam seting rawat inap di rumah sakit jiwa, Kedua, factor factor yang berhubungan dengan staf antara lain : kurang adekuatnya pengkajian pasien yang dilakukan oleh perawat, komunikasi staf yang lemah, kurangnyaorientasi dan training dan tidak adekuatnya informasi tentang pasien. Ketiga, pengkajiansuicide seharusnya dilakukan secara kontinyu selama di rawat di rumah sakit baik saat masuk. Maraknya kejadian merusak diri dan besarnya bahaya dari merusak diri, membuat kami tertarik untuk mengangkat Asushan Keperawatan Merusak Diri guna meningkatkan

pengetahuan dan mengetahui perawatan serta pengobatan yang tepat sesuai. Selain itu, penyusunan makalah ini juga merupakan salah satu tugas bagi penulis selaku mahasiswa keperawatan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan maka rumusan masalah dalam penulisan ini adalah bagaimanakah asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan merusak diri?

C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan merusak diri.

D. Manfaat
Penyusunan makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan merusak diri. Dengan penyusunan makalah ini, juga diharapkan dapat menjadi acuan untuk lebih mengetahui apa yang menjadi tujuan penyusunan makalah ini.

E. Ruang Lingkup Penulisan


Pada makalah ini, penyusun membatasi ruang lingkup penulisan yaitu asuhan keperawatan pada klien : Gangguan Merusak Diri

F. Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini, penyusun menggunakan metode deskriftif yaitu dengan menggambarkan asuhan keperawatan pada klien : Gangguan Merusak Diri yang diperoleh dari buku-buku perpustakaan, internet, dan diskusi antar teman

G. Sistematika Penulisan
Penyusunan makalah ini terdiri dari IV (empat) bab yang disusun secara sistematis. Adapun sistematika penulisan sebagai berikut: BAB I : Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang,rumusan

masalah,tujuan,manfaat,ruang lingkup penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan. BAB II : Laporan Pendahuluan BABIII :Asuhan keperawatan, yang terdiri dari pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan,implementasi dan evaluasi. BAB IV : Penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

BAB II LAPORAN PENDAHULUAN


A. Definisi
Perilaku merusak diri adalah setiap perilaku yang berdampak negatif terhadap pikiran kita atau tubuh dengan pilihan hidup yang kita buat. Kebanyakan orang menyadari kebiasaan diri mereka merusak. Biasanya ada beberapa masalah dengan penanganan atau mengekspresikan perasaan. Membahayakan diri / mutilasi adalah pola cedera diri secara sengaja tidak kematian. Cedera serius terjadi termasuk kematian sengaja. Cedera diri dapat menjadi adiktif. Diri mutilasi biasanya dimulai pada masa kecil atau remaja. Perilaku merusak diri sendiri sering merupakan bentuk hukuman diri dalam menanggapi kegagalan pribadi, yang mungkin nyata atau dirasakan. Mungkin atau tidak dapat dihubungkan dengan perasaan membenci diri sendiri . Ini adalah kesalah pahaman umum bahwa perilaku merusak diri sendiri secara inheren mencari perhatian , atau setidaknya perhatian yang merupakan motif utama. Sementara ini tidak diragukan lagi benar dalam beberapa kasus, biasanya motivasi berjalan lebih dalam dari itu. Seperti bisa diduga, adalah lebih umum pada mereka yang menderita depresi klinis .Atau, dalam beberapa kasus dapat dijelaskan oleh seseorang setelah mempelajari pola disfungsional sebelumnya dalam hidup, atau itu hanya mungkin merupakan hasil dari kurangnya kebijaksanaan terapan atau prioritas yang salah.

B. Demografi
Pada laki-laki tiga kali lebih sering melakukan bunuh diri daripada wanita, karenalakilaki lebih sering menggunakan alat yang lebih efektif untuk bunuh diri, antara laindengan pistol, menggantung diri, atau lompat dari gedung yang tinggi, sedangkan wanitalebih sering menggunakan zat psikoaktif overdosis atau racun, namun sekarang mereka lebihsering menggunakan pistol. Selain itu wanita lebih sering memilih cara menyelamatkandirinya sendiri atau diselamatkan orang lain.Data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2003 mengungkapkan bahwasatu juta orang bunuh diri dalam setiap tahunnya atau setiap 40 detik, bunuh diri juga satudari tiga penyebab utama kematian pada usia 15-34 tahun, selain karena factor kecelakaan.

C. Etiologi
Secara universal : karena ketidak mampuan individu untuk menyelesaikan masalahTerbagi menjadi : 1. Faktor Genetik 1,5 3 kali lebih banyak perilaku merusak diri terjadi pada individu yang menjadikerabat tingkat pertama dari orang yang mengalami gangguan mood/depresi/yg pernah melakukan upaya bunuh diri Lebih sering terjadi pada kembar Monozigot dari pada kembar dizigot2.

2. Faktor Biologis lain Biasanya karena penyakit kronis / kondisi medis tertentu : Stroke Gangg. Kerusakan kognitif (demensia ) Diabetes Peny. Arteri koronaria Kanker HIV / AIDS Dll

3. Faktor Psikososial & Lingkungan Teori Psikoanalitik / Psikodinamika: Teori Freud : bhw kehilangan objek berkaitan dgn agresi & kemarahan, perasaan negatif thd diri, depresi. Sigmund Freud dan Karl Menninger meyakini bahwa bunuh diri merupakan hasil dari marah yang diarahkan pada diri sendiri. Teori Perilaku Kognitif : Teori Beck : Pola kognitif negatif yang berkembang,memandang rendah diri sendiri Stressor Lingkungan : Kehilangan anggota keluarga, penipuan, kurangnya sistem pendukung social Teori sosiologi Emile Durkheim membagi suicide dalam 3 kategori yaitu : Egoistik (orang yangtidak terintegrasi pada kelompok social) atruistik (Melakukan suicide untuk kebaikan masyarakat) dan

anomic ( suicide karena kesulitan dalam berhubungandengan orang lain dan beradaptasi dengan stressor).

4. Faktor lain Adanya harapan untuk reuni dan fantasy. Merupakan jalan untuk mengakhiri keputusasaan dan ketidakberdayaan Tangisan untuk minta bantuan Sebuah tindakan untuk menyelamatkan muka dan mencari kehidupan yang lebih baik

D. Predisposisi
Penyakit jiwa merupakan faktor predisposisi terpenting terjadinya merusak diri. WHO memperkirakan sebanyak 90% orang yang melakukan tindakan bunuh diri terjadi akibat penyakit jiwa yang tidak didiagnosa dan diobati, di samping penggunaan obatobatanterlarang dan konsumsi alkohol. yang mempresentasikan 1,4% dari beban

masalahkesehatan dunia. Di samping itu, masyarakat dalam hal ini tokoh agama dan pemerintah jugamempunyai peran penting dalam mencegah dan meminimalkan kasus bunuh diri denganmenanamkan nilai-nilai kesehatan jiwa sejak dini Preveler dkk dalam jurnal yang berjudul ABC of Psychological Medicine:Depression in Medical Patients (2002) mengatakan, risiko merusak diri seumur hidup akandialami orang yang mengalami mood disorder, terutama depresi yaitu sebesar 6-15%,sedangkan schizophrenia sebesar 4-10%. Data tahun 2005 menyebutkan, di negara-negaramaju seperti Amerika Serikat, kejadian bunuh diri akibat depresi menempati ranking ke-11 penyebab kematian penduduk.Depresi merupakan kondisi medis yang disebabkan karena adanya disregulasineurotransmitter (zat penghantar dalam sistem syaraf) terutama serotonin (neurotransmitter yang mengatur perasaan) dan norepinefrin (neurotransmitter yang mengatur energi danminat). Spektrum depresi sangat luas dengan keluhan penyakit dan manifestasi klinik yang bermacam-macam sehingga pengelolaannya harus dilakukan secara holistik.

E. Patofisiologi
Luka yang terjadi karena disengaja sering terjadi dan pemeriksaannya biasanyamenjadi tugas ahli patologi dan dokter ahli forensik klinik. Kejadian-kejadian ini terdiri dari: merusak diri, percobaan bunuh diri, dan bunuh diri berencana, pada akhirnya
5

tidak adanya maksud untuk untuk membunuh, meskipun kematian mungkin terjadi karena kurang hati-hati.Salah satu keputusan yang sulit di hadapi oleh ahli patologi dan pemeriksa medis, dan untuk bertindak yang legal, seperti juga pemeriksa sebab dari kematian, terdapat perbedaan antara bunuh diri, pembunuhan, dan perlukaan oleh diri sendiri lainnya. Meskipun ini bukanmerupakan juga fungsi yang legal ahli patologi dalam ,menghubung-hubungkan motif, pengalaman mereka dan latihan juga factor-faktor yang sering sehingga mereka dapatmembuat keputusan dalam pengklasifikasian kebiasaankebiasaan atau cara kematian serta perlukaan. Cidera akibat merusak diri, Diskusi ini dibatasi dengan trauma fisik, meracuni dirisendiri, yang akan dibicarakan lebih lanjut. Bunuh diri akibat melukai diri sendiri dengan berbagai macam cara, yaitu dengan cara yang ganjil atau aneh. Ahli patologi harus selalu waspada dengan kemungkinan-kemungkinan lain selain karena bunuh diri. Pada beberapakejadian biasanya disebabkan karena ketidaksengajaan dilakukan oleh korban.Contoh primer yaitu Masochistic Asfiksia, dimana kadang sering keliru dengan bunuh diri.

F. Pemeriksaan dan Penatalaksanaan


a. Klinik harus menilai resiko merusak diri pada pasien individual berdasarkan pemeriksaan klinis. Hal yang paling prediktif yang berhubungan dengan resiko merusak diri b. Memeriksa pasien yang berusaha merusak diri, jangan meninggalkan mereka sendirian dan keluarkan benda yang berbahaya dari ruangan c. Penatalaksaannya adalah sangat tergantung pada diagnosis. Pada pasien

dengangangguan depresi berat mungkin diobati sebaga pasien rawat jalan jika keluarganyadapat mengawasi mereka secara ketat dan pengobatannya dapat dimulai secar cepat. d. Ide merusak diri pada pasien alkoholik biasanya menghilang dengan abstinensia dalam beberapa hari. Jika depresi menetap setelah tanda psikologis dari putusnya alkoholyang menghilang dengan adanya kecurigaan yang tinggi pada ganguan depresi berat e. Ide merusak diri pada pasien skizofrenia harus ditanggapi secara serius, karena merekacendrung menggunakan kekerasan atau metode yang kacau dengan letalitas yangtinggi
6

f. Pasien dengan gangguan keperibadian mendapat manfaat dari konfrontasi empatik dan bantuan dengan mendapatkan pendekatan yang rasional dan bertanggung jawab. g. Hospitalisasi jangka panjang, diindikasi pada keadaan yang menyebabkan mutilasidiri. h. Psikoterapi dengan pedoman wawancara. Mulailah dengan bertanya apakah pasien pernah merasa menyerah atau merasamereka lebih baik meninggal. Pendekatan tersebut menyebabkan stigma yang kecil dan dapat dilakukan sebagian besar orang. Berbicaralah mengenai apa yang sebenarnya yang difikirkan pasien dan catatlahfikirannya. Lontarkan pertanyaan pada pasien. Pertimbangkan usia dan kecanggihan pasien dan apakah maksud pertanyaan pasiensesuai dengan caranya. Apakah cara yang dipilih untuk bunuh diri tersedia pada pasien. Pertanyaan yang terakhir menentukan penilaian dan pengobatan karena pasien dapatmenunjukkan cara untuk keluar dari dilemanya.

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian
Hal hal yang harus dikaji, yaitu : 1. Jenis kelamin: resiko meningkat pada pria 2. Usia: lebih tua, masalah semakin banyak 3. Status perkawinan: menikah dapat menurunkan resiko, hidup sendiri merupakan masalah. 4. Riwayat keluarga: meningkat apabila ada keluarga dengan percobaan bunuh diri / penyalahgunaan zat. 5. Peristiwa pencetus, termasuk kebutuhan yang tercantum oleh kejadian dengan gejala yang timbul seperti kehilangan orang yang dicintai, baik karena kematian maupun karena kehilangan salah satu bagian dari tubuh karena operasi, sakit, kehilangan pekerjaan, kehilangan peran sosial, kehilangan kemampuan melihat, dan sebagainya. Kehilangan milik pribadi misalnya anggota keluarga yang sakit dan perselisihan yang hebat dengan pasangan hidup. Ancaman lain yang dapat diidentifikasikan termasuk semua ancaman terhadap pemenuhan kebutuhan. 6. Mengedintifikasi persepsi pasien terhadap kejadian. Persepsi terhadap kejadian yang menimbulkan krisis, termasuk pokok-pokok pikiran dan ingatan yang berkaitan dengan kejadian tersebut. Apa arti makna kejadian terhadap individu, pengaruh kejadian terhadap masa depan, apakah individu memandang kejadian tersebut secara realistis. Dengan siapa tinggal, apakah tinggal sendiri, dengan keluarga, atau dengan teman. Apakah memiliki teman tempat mengeluh dan bisa menceritakan masalah yang dihadapi bersama keluarga. Perasaan diasingkan oleh lingkungan dan menunjukkan gejala somatik. 7. Data yang dikumpulkan berkaitan dengan koping individu tak efektif, seperti mengungkapkan tentang kesulitan dengan stress kehidupan. Perasaan tak berdaya, kebingungan dan putus asa. Perasaan yang diasingkan oleh lingkungan.

Mengungkapkan ketidakmampuan mengatasi masalah atau meminta bantuan. Mengungkapkan ketidakpastian terhadap pilihan-pilihan. Mengungkapkan kurangnya dukungan dari orang yang berarti. Ketidakmampuan memenuhi peran yang diharapkan. Perasaan khawatir dan ansietas. Perubahan dalam pertisipasi sosial. Tidak
8

mampu memenuhi kebutuhan dasar. Tampak pasif, ekspresi wajah tegang. Perhatian menurun. Pada krisis malapetaka prilaku individu dapat diidentifikasi berdasarkan fase respons terhadap masalah musibah yang dialami.

Data Subjektif : - Menyatakan ingin bunuh diri / ingin mati saja, tak ada gunanya hidup. - Menyatakan putus asa dan tak berdaya, tidak bahagia, tak ada harapan. Data Objektif : - Nampak sedih, mudah marah, gelisah, tidak dapat mengontrol impuls. - Ada isyarat bunuh diri, ada ide bunuh diri, pernah mencoba bunuhdiri.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Koping individual yang tidak efektif b.d perpisahan dengan orang terdekat atau yang dicintai, yang dimanifestasikan dengan menangis, perasaan tidak berharga, dan bersalah. 2. Perubahan proses interaksi keluarga b.d anggota keluarga yang dirawat di rumah sakit, diitandai dengan perasaan khawatir, takut, dan bersalah.. 3. Resiko perilaku kekerasan b.d fungsi kontrol otak yang terganggu akibat gangguan neurologis otak.

Dari diagnosa di atas, maka perencanaan yang dapat dilakukan, yaitu : Perencanaan Dinamika yang mendasari krisis diciptakan alternatif penyelesaian, langkah-langkah untuk mencapai penyelesaian masalah seperti menentukan lingkungan pendukung dan memperkuat mekanisme koping.

Tujuan 1. Membantu klien agar dapat berfungsi lagi seperti sebelum mengalami krisis. 2. Meningkatkan fungsi pasien seperti dari sebelum terjadi krisis.

Tindakan keperawatan

Tindakan keperawatan yang utama dapat dibagi menjadi empat tindakan dari urutan paling dangkal sampai urutan paling dalam, yaitu sebagai berikut: 1. Manipulasi lingkungan. Tindakan ini adalah intervensi dengan mengubah secara langsung fisik individu atau situasi interpersonalnya, untuk memisahkan individu dengan stresor yang menyebabkan krisis.

2. Dukungan umum (general support). Tindakan ini dilakukan dengan membuat pasien merasa bahwa perawat berada di sampingnya dan siap untuk membantu. Sikap perawat yang hangat, menerima, empati, serta penuh perhatian merupakan dukungan bagi pasien. 3. Pendekatan genetic (genetic approach). Tindakan ini digunakan untuk sejumlah besar individu yang mempunyai risiko tinggi, sesegera mungkin. Tindakan ini dilakukan dengan metode spesifik untuk individu-individu yang menghadapi tipe krisis dan kombinasi krisis atau jika ada resiko bunuh diri/membunuh orang lain. 4. Pendekatan individual (individual approach). Tindakan ini meliputi penentuan diagnosis dan terapi terhadap masalah spesifik pada pasien tertentu. Pendekatan individual ini efektif untuk semua tipe krisis dan kombinasi krisis atau jika ada resiko bunuh diri/membunuh orang lain.

C. Intervensi Keperawatan
DX 1 : Koping individual yang tidak efektif b.d perpisahan dengan orang terdekat atau yang dicintai, yang dimanifestasikan dengan menangis, perasaan tidak berharga, dan bersalah. Tujuan : Pasien dapat mengungkapkan perasaan secara bebas. Intervensi: 1. Bina hubungan saling percaya dengan lebih banyak memakai komunikasi nonverbal. 2. Izinkan pasien untuk menangis. 3. Tunjukkan sikap empati. 4. Sediakan alat tulis atau kertas jika pasien belum mau berbicara.
10

5. Katakan pada pasien bahwa perawat dapat mengerti apabila dia belum siap untuk membicarakan perasaannya dan mungkin pasien merasa bahwa nanti perawat akan mendengarkan jika dia sudah bersedia berbica. 6. Bantu pasien menggali perasaan serta gejala-gejala yang berkaitan dengan perasaan.

DX 2 : Perubahan proses interaksi keluarga berhubungan dengan anggota keluarga yang dirawat dirumah sakit, ditandai dengan perasaan khwatir, takut, dan bersalah. Tujuan: Keluarga dapat mengungkapkan perasaan kepada perawat atau orang lain. Intervensi: 1. Lakukan pendekatan dengan anggota keluarga dengan sikap hangat, empati dan member dukungan. 2. Tanyakan kepada keluarga tentang penyakit yang diderita anggota keluarganya seperti timbulnya penyakit, beban yang dirasakan, akibat yang diduga timbul karena penyakit yang diderita oleh anggota keluarga tersebut. 3. Tanyakan tentang prilaku keluarga yang sakit. 4. Tanyakan tentang sikap keluarga secara keseluruhan dalam menghadapi keluarga yang sakit. 5. Diskusikan dengan keluarga apa yang sudah dilakukan untuk mengatasi perasaan cemas, takut dan rasa bersalah.

DX 3 : Resiko perilaku kekerasan b.d fungsi kontrol otak yang terganggu akibat gangguan neurologis otak. Tujuan : Klien tidak akan mencederai diri. Klien akan mencari bantuan staf bila ada perasaan ingin merusak diri.

Intervensi : 1. Observasi perilaku klien lebih sering melalui aktivitas dan interaksi rutin, hindari kesan pengamatan dan kecurigaan pada klien 2. Tetapkan kontak verbal dengan klien bahwa ia akan meminta bantuan jika keinginan untuk merusak diri dirasakan 3. Jika merusak diri terjadi, rawat luka klien dengan tidak mengusik penyebabnya, jangan berikan reinforcement positif untuk prilaku tersebut

11

4. Dorong klien untuk bicara tentang perasaan yang dimilkiinya sebelum prilaku ini terjadi Bertindak sebagai model dalam mengekspresikan kemarahan yang tepat 5. Singkirkan semua benda yang berbahaya dari lingkungan klien 6. Arahakan kembali prilaku merusak diri dengan penyaluran fisik 7. Komitmen semua staf untuk memberikan spirit kepada klien 8. Berikan obat-obatan sesuai hasil kolaborasi, pantau keefektifan,dan efek samping 9. Gunakan restrain mekanis bila keadaan memaksa sesui prosedur tetap 10. Observasi klien dalam restrain tiap 15 menit/sesuai prosedur tetap dengan mempertimbangkan keamanan, sirkulasi darah, kebutuhan dasar

D. Implementasi
DX 1 : Koping individual yang tidak efektif b.d perpisahan dengan orang terdekat atau yang dicintai, yang dimanifestasikan dengan menangis, perasaan tidak berharga, dan bersalah. 1. Membina hubungan saling percaya dengan lebih banyak memakai komunikasi nonverbal. 2. Mengizinkan pasien untuk menangis. 3. menunjukkan sikap empati. 4. Menyediakan alat tulis atau kertas jika pasien belum mau berbicara. 5. Mengatakan pada pasien bahwa perawat dapat mengerti apabila dia belum siap untuk membicarakan perasaannya dan mungkin pasien merasa bahwa nanti perawat akan mendengarkan jika dia sudah bersedia berbica. 6. Membantu pasien menggali perasaan serta gejala-gejala yang berkaitan dengan perasaan. DX 2 : Perubahan proses interaksi keluarga berhubungan dengan anggota keluarga yang dirawat dirumah sakit, ditandai dengan perasaan khwatir, takut, dan bersalah. 1. Meakukan pendekatan dengan anggota keluarga dengan sikap hangat, empati dan member dukungan. 2. Menanyakan kepada keluarga tentang penyakit yang diderita anggota keluarganya seperti timbulnya penyakit, beban yang dirasakan, akibat yang diduga timbul karena penyakit yang diderita oleh anggota keluarga tersebut. 3. menanyakan tentang prilaku keluarga yang sakit.

12

4. Menanyakan tentang sikap keluarga secara keseluruhan dalam menghadapi keluarga yang sakit. 5. Mendiskusikan dengan keluarga apa yang sudah dilakukan untuk mengatasi perasaan cemas, takut dan rasa bersalah.

DX 3 : Resiko perilaku kekerasan b.d fungsi kontrol otak yang terganggu akibat gangguan neurologis otak. 1. Mengobservasi perilaku klien lebih sering melalui aktivitas dan interaksi rutin, hindari kesan pengamatan dan kecurigaan pada klien 2. Menetapkan kontak verbal dengan klien bahwa ia akan meminta bantuan jika keinginan untuk merusak diri dirasakan 3. Jika merusak diri terjadi, rawat luka klien dengan tidak mengusik penyebabnya, jangan berikan reinforcement positif untuk prilaku tersebut 4. Mendorong klien untuk bicara tentang perasaan yang dimilkiinya sebelum prilaku ini terjadi Bertindak sebagai model dalam mengekspresikan kemarahan yang tepat. 5. Menyingkirkan semua benda yang berbahaya dari lingkungan klien 6. Mengarahakan kembali prilaku merusak diri dengan penyaluran fisik 7. Memberikan spirit kepada klien 8. Memberikan obat-obatan sesuai hasil kolaborasi, pantau keefektifan,dan efek samping 9. Menggunakan restrain mekanis bila keadaan memaksa sesui prosedur tetap 10. Mengobservasi klien dalam restrain tiap 15 menit/sesuai prosedur tetap dengan mempertimbangkan keamanan, sirkulasi darah, kebutuhan dasar

E. Evaluasi
1. Dapatkah individu menjalankan fungsinya seperti sebelum krisis terjadi? 2. Apakah sudah ditemukan kebutuhan utama yang dirasakan tercantum oleh kejadian yang menjadi faktor pencetus? 3. Apakah prilaku maladaptif atau simtom yang ditunjukka telah berkurang? 4. Apakah mekanisme koping yang adptif sudah berfungsi kembali? 5. Apakah individu telah mempunyai pendukung sebagai tempat ia bertumpu / berpegang?

13

6. Pengalaman apa yang diperoleh oleh individu yang mungkin dapat memnbantunya dalam menghadapi keadaan krisis di kemudian hari?

14

BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
Perilaku merusak diri adalah setiap perilaku yang berdampak negatif terhadap pikiran kita atau tubuh dengan pilihan hidup yang kita buat. Kebanyakan orang menyadari kebiasaan diri mereka merusak. Biasanya ada beberapa masalah dengan penanganan atau mengekspresikan perasaan. Membahayakan diri / mutilasi adalah pola cedera diri secara sengaja tidak kematian. Cedera serius terjadi termasuk kematian sengaja. Cedera diri dapat menjadi adiktif. Diri mutilasi biasanya dimulai pada masa kecil atau remaja. Perilaku merusak diri sendiri sering merupakan bentuk hukuman diri dalam menanggapi kegagalan pribadi, yang mungkin nyata atau dirasakan. Mungkin atau tidak dapat dihubungkan dengan perasaan membenci diri sendiri . Adapun diagnose keperawatan pada gangguan merusak diri adalah : 1. Koping individual yang tidak efektif b.d perpisahan dengan orang terdekat atau yang dicintai, yang dimanifestasikan dengan menangis, perasaan tidak berharga, dan bersalah. 2. Perubahan proses interaksi keluarga b.d anggota keluarga yang dirawat di rumah sakit, diitandai dengan perasaan khawatir, takut, dan bersalah.. 3. Resiko perilaku kekerasan b.d fungsi kontrol otak yang terganggu akibat gangguan neurologis otak.

B. Saran
Adapun saran yang dapat penulis berikan adalah : Bagi perawat yang akan memberikan asuhan keperawatan pada penderita Gangguan Merusak Diei harus lebih memperhatikan dan tahu pada bagian- bagian mana saja dari asuhan keperawatan pada klien yang perlu ditekankan. Perawat juga memberikan pendidikan kesehatan kepada bapak dan ibu atau keluarga dari klien tentang bahaya dari gangguan merusak diri Untuk keluarga klien semestinya harus lebih tanggap terhadap pengkajian- pengkajian yang dilakukan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan khususnya dalam asuhan keperawatan, karena peningkatan penyembuhan klien,melakukan prosedur
15

diagnostik, pemeriksaan-pemeriksaan dan melakukan perawatan tindak lanjut sangat penting bagi klien maupun perawat. Hendaknya mahasiswa keperawatan dapat menerapkan dan membandingkan ilmu yang telah didapat di kampus berupa teori dengan kasus di ruangan, yang nantinya mahasiswa mampu mengaplikasikan tindakan keperawatan dengan sebaik-baiknya agar menjadi perawat yang profesional.

16

Você também pode gostar