Você está na página 1de 10

ATONIA UTERI

___________________________________________________________________

A. PENGERTIAN Atonia Uteri didefinisikan sebagai suatu kondisi kegagalan uterus dalam berkontraksi dengan baik setelah persalinan, sedangkan atonia uteri juga didefinisikan sebagai tidak adanya kontraksi uterus segera setelah plasenta lahir. Sebagian besar perdarahan pada masa nifas (75-80%) adalah akibat adanya atonia uteri. Sebagaimana kita ketahui bahwa aliran darah uteroplasenta selama masa kehamilan adalah 500-800 ml/menit, sehingga bisa kita bayangkan ketika uterus itu tidak berkontraksi selama beberapa menit saja, maka akan menyebabkan kehilangan darah yang sangat banyak. Sedangkan volume darah manusia hanya berkisar 5-6 liter saja.

B. FAKTOR PREDISPOSISI Dalam kasus atonia uteri penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Namun demikian ada beberapa faktor predisposisi yang biasa dikenal. Antara lain: Distensi rahim yang berlebihan Penyebab distensi uterus yang berlebihan antara lain: a. kehamilan ganda b. poli hidramnion c. makrosomia janin (janin besar) Peregangan uterus yang berlebihan karena sebab-sebab tersebut akan mengakibatkan uterus tidak mampu berkontraksi segera setelah plasenta lahir. Pemanjangan masa persalinan (partus lama) dan sulit Pada partus lama uterus dalam kondisi yang sangat lelah,

sehingga otot-otot rahim tidak mampu melakukan kontraksi segera setelah plasenta lahir. Grandemulitpara (paritas 5 atau lebih) Kehamilan seorang ibu yang berulang kali, maka uterus juga akan berulang kali teregang. Hal ini akan menurunkan kemampuan berkontraksi dari uterus segera setelah plasenta lahir. Kehamilan dengan mioma uterus Mioma yang paling sering menjadi penyebab perdarahan post partum adalah mioma intra mular, dimana mioma berada di dalam miometrium sehingga akan menghalangi uterus berkontraksi. Persalinan buatan (SC, Forcep dan vakum ekstraksi) Persalinan buatan mengakibatkan otot uterus dipaksa untuk segera mengeluarkan buah kehamilan dengan segera sehingga pada pasca salin menjadi lelah dan lemah untuk berkontraksi. Persalinan lewat waktu Peregangan yang berlebihan ada otot uterus karena besarnya kehamilan, ataupun juga terlalu lama menahan beban janin di dalamnya menjadikan otot uterus lelah dan lemah untuk berkontraksi. Infeksi intrapartum Korioamnionitis adalah infeksi dari korion saat intrapartum yang potensial akan menjalar pada otot uterus sehingga menjadi infeksi dan menyebabkan gangguan untuk melakukan kontraksi. Persalinan yang cepat Persalainan cepat mengakibatkan otot uterus dipaksa untuk segera mengeluarkan buah kehamilan dengan segera sehingga pada pasca salin menjadi lelah dan lemah untuk berkontraksi. Kelainan plasenta Plasenta akreta, plasenta previa dan plasenta lepas prematur mengakibatkan gangguan uterus untuk berkontraksi. Adanya benda asing menghalangi kontraksi yang baik untuk mencegah terjadinya perdarahan.

Anastesi atau analgesik yang kuat Obat anastesi atau analgesi dapat menyebabkan otot uterus menjadi dalam kondisi relaksasi yang berlebih, sehingga saat dibutuhkan untuk berkontraksi menjadi tertunda atau terganggu. Demikian juga dengan magnesium sulfat yang digunakan untuk mengendalikan kejang pada preeklamsi/eklamsi yang berfungsi sebagai sedativa atau penenang. Induksi atau augmentasi persalinan Obat-obatan uterotonika yang digunakan untuk memaksa uterus berkontraksi saat proses persalinan mengakibatkan otot uterus menjadi lelah. Penyakit sekunder maternal Anemia, endometritis, kematian janin dan koagulasi intravaskulere diseminata merupakan penyebab gangguan pembekuan darah yang mengakibatkan tonus uterus terhambat untuk berkontraksi.

C. TANDA DAN GEJALA Tanda dan gejala atonia uteri adalah: Perdarahan pervaginam Perdarahan yang terjadi pada kasus atonia uteri sangat banyak dan darah tidak merembes. Yang sering terjadi adalah darah keluar disertai gumpalan, hal ini terjadi karena tromboplastin sudah tidak mampu lagi sebagai anti pembeku darah. Konsistensi rahim lunak Gejala ini merupakan gejala terpenting/khas atonia dan yang membedakan atonia dengan penyebab perdarahan yang lainnya. Fundus uteri naik Disebabkan adanya darah yang terperangkap dalam cavum uteri dan menggumpal Terdapat tanda-tanda syok Tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstremitas

dingin, gelisah, mual dan lain-lain.

D. PENATALAKSANAAN ATONIA UTERI Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam penanganan kasus atonia uteri: Berikan 10 unit oksitosin IM Lakukan massage uterus untuk mengeluarkan gumpalan darah. Periksa lagi dengan teknik aseptik apakah plasenta utuh. Pemeriksaan menggunakan sarung tangan DTT atau steril, usap vagina dan ostium serviks untuk menghilangkan jaringan plasenta atau selaput ketuban yang tertinggal. Periksa kandung kemih ibu jika kandung kemih ibu bisa dipalpasi atau gunakan teknik aseptik untuk memasang kateter ke dalam kandung kemih (menggunakan kateter karet steril/DTT) Gunakan sarung tangan DTT/steril, lakukan KBI selama maksimal 5 menit atau hingga perdarahan bisa dihentikan dan uterus berkontraksi dengan baik. Anjurkan keluarga untuk mulai menyiapkan rujukan Jika perdarahan bisa dihentikan dan uterus berkontraksi baik, teruskan KBI selama 1-2 menit Keluarkan tangan dengan hati-hati dari vagina Pantau kala IV dengan seksama, termasuk sering melakukan masase, mengamati perdarahan, tekanan darah dan nadi Jk perdarahan tidak terkendali dan uterus tidak berkontraksi dalam waktu 5 menit setelah dimulainya KBI, ajari salah satu keluarga melakukan KBE Keluarkan tangan dari vagina dengan hati-hati Jk tidak ada tanda-tanda hipertensi pada ibu, berikan methergin 0,2 mg IM Mulai infus RL 500cc + 20 unit oksitosin menggunakan jarum berlubang besar (16/18 G) dengan teknik aaseptik. Berikan 500cc

pertama secepat mungkin dan teruskan dengan IV RL + 20 unit oksitosin kedua Jk uterus tetap tidak kontraksi maka ulangi KBI Jika berkontraksi, lepaskan tangan anda perlahan-lahan dan pantau kala IV dengan seksama Jk uterus tidak berkontraksi, rujuk segera Dampingi ibu ke tempat rujukan, teruskan infus dengan kecepatan 500cc/jam hingga ibu mendapatkan total 1,5 liter dan kemudian turunkan hingga 125cc/jam

1. Robekan perineum Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan ini dapat dihindarkan atau dikurangi dengan menjaga jangan sampai dasar panggul dilalui oleh kepala janin dengan cepat. Sebaliknya kepala janin yang akan lahir jangan ditahan terlalu kuat dan lama, karena akan menyebabkan asfiksia dan perdarahan dalam tengkorak janin serta melemahkan otot-otot maupun fasia pada dasar panggul karena diregangkan terlalu lama. Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa sehingga kepala janin terpaksa lahir lebih ke belakang daripada biasa, kepala janin melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkumferensia suboksipito-bregmatika, atau anak dilahirkan dengan pembedahan vaginal. Apabila mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum yang robek dinamakan robekan perineum tingkat satu. Pada robekan tingkat dua, mukosa vagina, komisura posterior. Kulit perineum dan otot perineum. dan pada robekan tingkat tiga sampai pada otot spinter Sedangkan robekan tingkat empat, bisa sampai mukosa rektum (JNPK,2007). 2. Robekan dinding vagina Perlukaan vagina yang tidak berhubungan dengan luka perineum tidak seberapa sering terdapat. Mungkin ditemukan sesudah persalinan biasa, tetapi lebih sering terjadi sebagai akibat ekstraksi dengan cunam, lebih-lebih apabila kepala janin harus diputar. Robekan terdapat pada dinding lateral dan baru terlihat pada pemeriksaan dengan spekulum. Perdarahan biasanya banyak, tetapi mudah diatasi dengan jahitan. (Wiknjosastro, 2002). 3. Robekan serviks Persalinan selalu mengakibatkan robekan serviks, sehingga serviks seorang multipara berbeda daripada yang belum pernah melahirkan pervaginam. Robekan serviks

biasanya terdapat di pinggir samping serviks bahkan kadang-kadang sampai ke segmen bawah rahim dan membuka parametrium. Robekan yang sedemikian dapat membuka pembuluh-pembuluh darah yang besar dan menimbulkan perdarahan yang hebat. Robekan semacam ini biasanya terjadi pada persalinan buatan; ekstraksi dengan forsep; ekstraksi pada letak sungsang, versi dan ekstraksi, dekapitasi, perforasi, dan kranioklasi terutama jika dilakukan pada pembukaan yang belum lengkap (Sastrawinata, 2004). 4. Ruptura uteri Ruptura uteri atau robekan uterus merupakan peristiwa yang sangat berbahaya, yang umumnya terjadi pada persalinan, kadang-kadang juga pada kehamilan tua. Robekan pada uterus dapat ditemukan untuk sebagian besar pada bagian bawah uterus. Pada robekan ini kadang-kadang vagina atas ikut serta pula. Apabila robekan tidak terjadi pada uterus melainkan pada vagina bagian atas, hal ini dinamakan kolpaporeksis. Kadang-kadang sukar membedakan antara ruptura uteri dan kolpaporeksis. Apabila pada ruptura uteri peritoneum pada permukaan uterus ikut robek, hal ini dinamakan ruptura uteri komplet, jika tidak disebut ruptura uteri inkomplet. Pinggir ruptura biasanya tidak rata, letaknya pada uterus melintang, atau membujur, miring, dan bisa agak ke kiri atau ke kanan. Menurut cara terjadinya ruptura uteri terbagi atas; 1) Ruptur uteri spontan, 2) Ruptur uteri traumatik, 3) Ruptur uteri pada parut uterus (Wiknjosastro, 2002). Penanganan Robekan Jalan Lahir Berikan anastesi lokal pada setiap ibu yang memerlukan penjahitan robekan jalan lahir atau episiotomi. Jelaskan pada ibu apa yang akan dilakukan dan bantu ibu merasa santai. 1. Ruptura perineum dan robekan dinding vagina Lakukan penjahitan laserasi pada perineum: 1) Cuci tangan secara seksama dan gunakan sarung tangan disinfeksi tingkat tinggi atau steril. Ganti sarung tangan jika sudah terkontaminasi, atau jika tertusuk jarum maupun peralatan tajam lainnya. 2) Pastikan bahwa peralatan dan bahan-bahan yang digunakan untuk melakukan penjahitan sudah didisinfeksikan tingkat tinggi atau steril. 3) Setelah memberikan anastesi lokal dan memastikan bahwa daerah tersebut sudah di anastes, telusuri dengan hati-hati menggunakan satu jari untuk secara jelas menentukan batas-batas luka. Dekatkan tepi laserasi untuk menentukan bagaimana cara menjahitnya menjadi satu dengan mudah. 4) Buat jahitan pertama kurang lebih 1 cm diatas ujung laserasi di bagian dalam vagina. Setelah membuat tusukan pertama, buat ikatan dan potong pendek benang yang lebih pendek dari ikatan. 5) Tutup Mukosa vagina dengan jahitan jelujur, jahit ke bawah kearah cincin himen. 6) Tepat sebelum cincin himen, masukkan jarum ke dalam mukosa vagina lalu ke bawah cincin himen sampai jarum ada di bawah laserasi. Periksa bagian antara jarum di perineum dan bagian atas laserasi. Perhatikan sebarapa dekat jarum ke puncak luka. 7) Teruskan kearah bawah tapi tepat pada luka, menggunakan jahit jelujur, hingga mencapai bagian bawah laserasi. Pastikan bahwa jarak setiap jahitan sama dan otot yang

terluka telah di jahit. Jika laserasi meluas ke dalam otot, mungkin perlu untuk melakukan satu atau dua lapis jahitan terputus-putus untuk menghentikan perdarahan dan/atau mendekatkan jaringan tubuh secara efektif. 8) Setelah mencapai ujung laserasi, arahkan jarum ke atas dan teruskan penjahitan, menggunakan jahitan jelujur untuk menutup lapisan subkuticuler. Jahitan ini akan menjadi jahitan lapisan kedua. Periksa lubang bekas jarum tetap terbuka berukuran 0,5 cm dan kurang. Luka ini akan menutup dengan sendirinya pada saat penyembuhan luka. 9) Tusukkan jarum dari robekan perineum ke dalam vagina. Jarum harus keluar dari belakang cincin himen. 10) Ikat benag dengan membuat simpul di dalam vagina. Potong ujung benang dan sisakan sekitar 1,5 cm. 11)Ulangi pemeriksaan vagina dengan lembut untuk memastikan bahwa tidak ada kasa atau peralatan yang tertinggal di dalam. 12)Dengan lembut masukkan jari paling kecil kedalam anus. Raba apakah ada jahitan pada rektum. Jika ada jahitan teraba, ulangi periksa rektum enam minggu pasca persalinan. Jika penyembuhan belum sempurna (misalkan jika ada fistula rektovagina atau ibu melaporkan inkotensia alvi atau feses), ibu segera rujuk ke fasilitas kesehatan rujukan. 13) Cuci daerah genital dengan lembut dengan sabun dan air disinfeksi tingkat tinggi, kemudian keringkan. Bantu ibu mencari posisi yang lebih nyaman. 14)Nasehati ibu untuk : - Menjaga perineumnya selalu bersih dan kering. - Hindari penggunaan obat-obatan tradisional pada perineum. - Cuci perineum dengan sabun dan air bersih yang mengalir tiga sampai empat kali perhari. - Kembali dalam seminggu untuk memeriksa penyembuhan lukanya. Ibu harus kembali lebih awal jika ia mengalami demam atau mengeluarkan cairan yang berbau busuk dari daerah lukanya atau jika daerah tersebut menjadi lebih nyeri (JNPK, 2007). 3. Retensio Plasenta Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga atau melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir (Saifuddin, 2001). Menurut tingkat perlekatannya retensio plasenta terbagi atas beberapa bagian, antara lain adalah; a. Plasenta adhesiva, yaitu implantasi yang kuat dari jojot korion plasenta sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis. b. Plasenta akreta, yaitu implantasi jojot korion plasenta hingga memasuki sebagian lapisan miometrium. c. Plasenta inkreta, yaitu implantasi jojot korion plasenta hingga mencapai atau memasuki miometrium.

d. Plasenta perkreta, yaitu implantasi jojot korion plasenta yang menembus lapisan otot hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus. e. Plasenta inkarserata, yaitu tertahannya plasenta di dalam kavum uteri, disebabkan oleh kontriksi ostium uteri (Saifuddin, 2001). Faktor-faktor yang mempengaruhi pelepasan plasenta, antara lain adalah; a. Kelainan dari uterus sendiri, yaitu anomali dari uterus atau serviks; kelemahan dan tidak efektifnya kontraksi uterus; kontraksi yang tetanik dari uterus; serta pembentukan constriction ring. b. Kelainan dari plasenta dan sifat pelekatan plasenta pada uterus. c. Kesalahan manajemen kala tiga persalinan, seperti manipulasi dari uterus yang tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta menyebabkan kontraksi yang tidak ritmik; pemberian uterotonik yang tidak tepat waktu dapat menyebabkan serviks kontraksi dan menahan plasenta; serta pemberian anestesi (Faisal, 2008). Kondisi umum yang menjadi penyebab retensio plasenta adalah : 1. Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena tumbuh melekat lebih dalam. 2. Plasenta sudah lepas tetapi belum keluar karena atonia uteri dan akan menyebabkan perdarahan yang banyak. Atau karena adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahim akibat kesalahan penanganan kala III, yang akan menghalangi plasenta keluar (Plasenta inkarserata). Plasenta mungkin pula tidak keluar karena kandung kemih atau rektum penuh, karena itu keduanya harus dikosongkan (Mochtar, 1998). a. Penanganan Retensio Plasenta Apabila plasenta belum lahir setengah jam setelah anak lahir, maka harus diusahakan untuk mengeluarkannya (Wiknjosastro, 2002). Setelah bayi lahir dilakukan dengan segera manajemen aktif kala III yaitu: 1. Pemberian suntikan oksitosin dalam 1 menit pertama setelah bayi lahir. 2.Melakukan penegangan tali pusat terkendali. 3. Massase fundus uteri. Bila plasenta tidak lahir dalam 15 menit sesudah bayi lahir, ulangi penatalaksanan aktif persalinan kala tiga dengan memberikan oksitosin 10 IU intramuskuler dan teruskan penenganagn tali pusat terkendali dengan hati-hati. Teruskan melakukan penegangan tali pusat terkendali untuk terakhir kalinya. Jika plasenta masih tetap belum lahir, rujuk segera kerumah sakit. Bila terjadi perdarahan, maka plasenta harus segera dilahirkan secara manual. b. Prosedur Plasenta Manual 1) Berikan cairan IV : Nacl 0,9% atau RL dengan tetesan cepat jarum berlubang besar (16 atau 18G) untuk mengganti cairan yang hilang sampai nadi dan tekanan darah membaik atau kembali norma. 2) Siapkan peralatan untuk melakukan tehnik manual, yang HARUS dilakukan secara

aseptik. 3) Baringkan ibu telentang dengan lutut ditekuk dan kedua kaki ditempat tidur. 4) Jelaskan kepada ibu apa yang akan dilakukan dan jika ada berikan diazepam 10 mg IM. 5) Cuci tangan sampai kebagian siku dengan sabun, air bersih mengalir dan handuk bersih, gunakan sarung tangan panjang steril/DTT. 6) Pastikan kandung kemih dalam keadaan kosong. 7) Jepit tali pusat dengan klem pada jarak 5-10 cm dari vulva, tegangkan dengan satu tangan sejajar lantai. 8) Secara obstetrik, masukkan tangan lainnya (punggung tangan menghadap kebawah) kedalam vagina dengan menelusuri sisi bawah tali pusat. 9) Setelah mencapai bukaan serviks, mintak seorang asisten/penolong lain untuk memegang klem tali pusat kemudian pindahkan tangan luar untuk menahan fundus uteri. 10) Sambil menahan fundus uteri, masukkan tangan dalam hingga kekavum uteri sehingga mencapai tempat implantasi plasenta. 11) Bentangkan tanga obstetrik menjadi datar seperti memberi salam (ibu jari merapat kejari telunjuk dan jari-jari lain saling merapat). 12) Tentukan implantasi plasenta, temukan tepi plsenta paling bawah. Bila plsenta berimplantasi di korpus belakang, tali pusat tetap disebalah atas dan disisipkan ujung jari-jari tangan diantara plasenta dan dinding uterus dimana punggung tangan menghadap ke bawah (posterior ibu) Bila di korpus depan maka pindahkan tangan kesebalah atas tali pusat dan sisipkan ujung jari-jari tangan diantara plasenta dan dinding uterus dimana punggung tangan menghadap keatas (anterior ibu) 13) Setelah ujung-ujung jari masuk diantara plasenta dan dinding uterus maka perluasan pelepasan plasenta dengan jalan menggeser tangan ke kanan dan ke kiri sambil digeser keatas (kranial ibu) hingga semua perleketan plasenta terlepas dari dinding uterus. 14) Sementara satu tangan masih di dalam kavum uteri, lakukan eksplorasi untuk menilai tidak ada plasenta yang tertinggal. 15) Pindahkan tangan luar dari fundus ke supra simfisis (tahan segmen bawah uterus) kemudian instruksikan asisten/penolong untuk menarik tali pusat sambil tangan dalam membawa plasenta keluar. 16) Lakukan penekanan (dengan tangan yang menahan suprasimfisis) uterus kearah dorsokranial setelah plasenta dilahirkan dan tempatkan plasenta di dalam wadah yang telah disediakan. 17) Dekontaminasi sarung tangan (sebelum dilepaskan) dan peralatan lainyang digunakan.

18) Lepaskan dan rendam sarung tangan dan peralatan lainnya di dalam larutan klorin 0,5% selama 10 menit. 19) Cuci tangan dengan sabun dan air bersih mengalir. 20) Keringkan tangan dengan handuk bersih dan kering. 21) Periksa kembali tanda vital ibu. 22) Catat kondisi ibu dan buat laporan tindakan. 23) Tuliskan rencana pengobatan, tindakan yang masih di perlukan dan asuhan lanjutan. 24) Beritahukan pada ibu dan keluarga bahwa tindakan telah selesai tetapi ibu masih memerlukan pemantauan dan asuhan lanjutan. 25) Lanjutkan pemantauan ibu hingga 2 jam pasca tindakan (JNPK, 2007). c. Rangsang Taktil (masase) Fundus Uteri Segera setelah plasenta lahir,Lakukan massae fundus uteri: 1) Letakkan telapak tangan pad fundus uteri. 2) Jelaskan tindakan kepada ibu, katakan bahwa ibu mungkin merasa agak tidak nyaman karena tindakan yang di berikan. Anjurkan ibu untuk menarik nafas dalam, perlahan rileks. 3) Dengan lembut tapi mantap gerakkan tangan dengan arah memutar pada fundus uteri supaya uterus berkontraksi. Jika uterus tidak berkontraksi dalam waktu 15 detik, lakukan penatalaksanaan atonia uteri. 4) Periksa plasenta dan selaputnya untuk memastiakan keduanya lengkap dan utuh: a. Periksa plasenta sisi maternal untuk memastikan bahwa semuanya lengkap dan utuh (tidak ada bagian yang hilang). b. Pasangkan bagian-bagian plasenta yang robek atau terpisah untuk memastikan tidak ada bagian yang hilang. c. Periksa plasenta sisi foetal untuk memastiakan tidak adanya kemungkinan lobus tambahan (suksenturiata). d. Evaluasi selaput untuk memastikan kelengkapannya. 5) Periksa uterus setelah satu hingga dua menit untuk memastikan uterus berkontraksi Jika uterus masih belum berkontraksi baik, ulangi masase fundus uteri. Ajarkan ibu dan keluarganya cara melakukan masase uterus sehingga mampu untuk segera mengetahui jika uterus tidak berkontraksi dengan baik. 6) Periksa kontraksi uterus setiap 15 menit selama satu jam pertama pasca persalinan dan setiap 30 menit selama satu jam kedua pasca persalinan (JNPK, 2007).

Você também pode gostar