Você está na página 1de 13

Apakah sastra ?

Obyek utama penelitian ilmu sastra itu tidak


tentu. Sampai sekarang belum ada orang yang
mampu memberi jawaban dengan tepat
mengenai apakah sastra. Sudah banyak yang
memberi batasan mengenai sastra, namun
akhirnya terbukti tak kesampaian karena hanya
menekankan satu aspek saja. Sampai sekarang
yang belum hilang adalah pendekatan yang
menyamakan sastra dengan bahasa tulis. Definisi
sebuah gejala dapat kita dekati dari sebuah
namanya, namun definisi ini tidak sempurna.

Kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari


bahasa Sansekerta, sas dalam kata kerja
mempunyai arti mengarahkan, mengajarkan.
Sedangkan akhiran -tra biasanya menunjukkan
alat sarana. Maka dari itu sastra dapat berarti alat
untuk mengajar, buku petunjuk. Dalam bahasa
Cina, kata yang dekat dengan sastra adalah kata
wen yang artinya pola, susunan, struktur.
Pemakaian kata literature untuk segala bentuk
yang berwujud tulisan, sangat bertahan lama di
Eropa. Oleh karena pembedaan bahan tulisan
yang bernilai estetik dari tulisan lain.

II. Karya Sastra Dalam Model Semiotik

1.Sastra sebagai tanda termasuk bidang semiotik :


De Saussure
Ferdinand de Saussuredi akui sebagai tokoh yang
meletakkan dasar ilmu bahasa modern. Bahasa adalah
sistem tanda, dan tanda merupakan kesatuan antara dua
aspek yang tak terpisahkan satu sama lain : signifiant
( penanda ) dan signifie ( petanda ). Signifiant adalah
aspek formal atau bunyi pada tanda itu, sedangkan
signifie adalah aspek kemaknaan atau konseptual. De
Saussure membicarakan beberapa aspek tanda yang
khas : tanda adalah arbiter, konvensional dan sistematik.
Arbiter berarti bahwa dalam urutan bunyi itu sendiri tidak
ada alasan atau motif untuk menghubungkannya.

2.Model bahasa Karl


Buhler

Sastra merupakan sistem tanda yang bertugas


sebagai alat komunikasi antar manusia makin
meluas dalam kalangan peneliti sastra. Karl
Buhler seorang ahli psikolog, tetapi yang banyak
mempunyai minat mengenai masalah bahasa
dan yang malahan dalam tahun1934 menulis
sebuah buku. Buhler pertama kali dengan jelas
menguraikan ciri khas tanda bahasa sebagai
gejala sosial. Hal itu berdasarkanya yang di
sebut organonmodell der sprache, model
bahasa dengan memakai istilah yunani.

3.Model sastra Abrams

Sastra mau tak mau adalah salah suatu


bentuk pemakaian bahasa. Abrams meneliti
teori-teori mengenai sastra yang berlaku dan
di utamakkan di masa Romantik, khususnya
dalam puisi dan ilmu sastra Inggris. Abrams
membicarakan masalah keanekaragaman
yang seringkali sangat mengacaukan yang
dapat kita perhatikan di bidang teori sastra.
Abrams memberikan sebuah keranga yang
terkandung pendekatan kritis yaitu

a.Pendekatan obyektif adalah


pendekatan yang menitikberatkan karya itu
sendiri.
b.Pendekatan ekspresif adalah
pendekatan yang menitikberatkan penulis.
c .Pendekatan mimetik adalah
pendekatan yang menitikberatkan semesta.
d.Pendekatan pragmatik adalah
pendekatan yang menitikberatkan pembaca

III. Karya Sastra dan Bahasanya


1. Bahasa Sastra sebagai bahasa khas :
retorik, stilistik
Sarana bahasa yang dipakai dalam bahasa
yang baik termasuk penyimpangan.
Penyimpangan dari bahasa sehari-hari tidak
dapat di cari dasar untuk membedakan sastra
dari pemakaian bahasa yang lain. Namun
keistimewaan bahasa sastra puisi tetap di
teliti secara sistematik. Stilistik berusaha
menetapkan keistimewaan pemaakaian
bahasa secara insidental, tetapi tidak berhasil.

2. Fungsi bahasa yang disebut puitik dalam


teori JakobsonKaum Formalis tidak puas
dengan penelitian sastra yang bersifat
sosiologik dan psikologik ataupun bersifat
sejarah. Para Formalis ingin kembali ke
hakikat puisi yaitu pemakaian bahasa.
Jakobson mengatakan puisi adalah ungkapan
yang terarah ke ragam melahirkannya.
Sedangkan fungsi puitik bahasa ialah
pemusatan perhatian pada pesan demi pesan
itu sendiri, atau keterarahan ke pesan sendiri.

3.Penerapan dan penggarapan teori Jakobson


Jakobson mengatakan prinsip ekuivalensi
diangkat menjadi sarana konstitutif urutan
kata. Jakobson juga mengembangkan teori
kekhasan fungsi puitik dan prinsip yang
mendasari puisi,yang sekaligus menjadi
kerangka analisis struktural sebuah karya
sastra seperti diterapkan oleh kebanyakan
peneliti. Fungsi puitik menjadi dominan dalam
sastra, namun tidak pernah berada dalam
kedudukan terisolasi.

4.Kritik Riffaterre atas pandangan Jakobson


Jakobson hanya memperhatikan aspek pragmatik dan
ekspresif. Sedangkan aspek referensial menurut
beberapa pengkritik di anggap enteng oleh Jakobson.
Riffaterre menentukan makna sebuah sajak ialah
pembacanya, berdasarkan pengalamannya sebagai
pembaca puisi. Sajak adalah lebih dari struktur tata
bahasa saja, tetapi sebagai sarana komunikasi, yang
berfungsi dalam konteks stilistik. Riffaterre juga
mengatakan kata-kata dalam konteks sajak mendapat
makna, jjustru dalam kontras dengan arti biasa. Aspek
puisi yang terpenting justru adalah ketegangan antara
mimetik unsur bahasa dan makna semiotiknya.

5.Kritik sosiologis terhadap teori Jakobson : Mary


Louise Pratt
Pratt dalam judul bukunya sudah menjelaskan latar
belakang pendekatannya. Tuntunan dasar yang di
ajukan adalah wacana sastra harus dipandang sebagai
pemakaian bahasa tertentu, bukan sebagai ragam
bahasa tertentu. Jadi tidak ada bahasa puitik sebagai
ragam bahasa khas, hanya ada pemakaian bahasa yang
khas, yang biasa kita sebut sastra. Pandangan Pratt
untuk penelitian sastra dan pemakaian bahasa dalam
sastra titik tolak penelitian ilmiah bergeser dari pesan
kepada pengirim, penerima dan konteks. Demikianlah
estetik bahasa dikembalikan ke tataran yang layak.

Terima kasih

Você também pode gostar