Você está na página 1de 25

ANGIOFIBROMA NASOFARING JUVENILE

Husain Abdul Halim


201520401011172

SMF THT RSUD JOMBANG


Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang
PENDAHULUAN
Angiofibroma nasofaring juvenil (ANJ) adalah tumor jinak
pembuluh darah di nasofaring yang secara histologik jinak,
namun secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai
kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan
sekitarnya, seperti ke sinus paranasal, pipi, mata dan tengkorak,
serta sangat mudah berdarah yang sangat sulit dihentikan
(Roezin et al, 2012).
Angka kekambuhan dari ANJ dilaporkan masih tinggi.
ANATOMI
DEFINISI
Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak bila dilihat
secara histologi, akan tetapi bersifat ganas secara klinis karena
tumbuh agresif serta menyebabkan epistaksis dan obstruksi
hidung (Martins et al, 2013).
ETIOLOGI
Belum diketahui secara pasti.
Diduga berhubungan dengan ketidakseimbangan hormon
androgen dan estrogen.
EPIDEMIOLOGI
Tumor ini jarang ditemukan, frekuensinya 1/5000-1/60.000 dari
pasien THT, diperkirakan hanya merupakan 0,05 persen dari
tumor leher dan kepala. Tumor ini umumnya terjadi pada laki-
laki dekade ke-2 antara 7-19 tahun. Jarang terjadi pada usia
lebih dari 25 tahun (Roezin et al, 2012).
Di Amerika, 1/5000-1/50.000
Di Denmark 0,4 persen
PATOFISIOLOGI
STAGING FISCH
Stadium Deskripsi

I Tumor terbatas di kavum nasi dan nasofaring tanpa mendestruksi


tulang
II Tumor menginvasi fossa pterygomaksilla, sinus paranasal dengan
destruksi tulang

III Tumor menginvasi fossa infratemporal, orbita dengan atau regio


paraselar
IV Tumor menginvasi sinus kavernosus, regio chiasma optik dan atau
fossa pituitary
MANIFESTASI KLINIS
Obstruksi nasal (90%)
Epistaksis spontan (60%)
Proptosis (20%)
muka kodok
Rhinorea
Sinusitis
Gangguan telinga (otitis media, penurunan pendengaran)
Defisit neurologis
Manifestasi klinis pada 13 pasien ANJ yang diamati secara studi retrospektif dengan perawatan
di rumah sakit selama 5 tahun dari tahun 2004-2009 (Moorthy, 2011).
DIAGNOSIS
Anamnesis: umur, jenis kelamin, gejala klinis berupa obstruksi nasal
dan epistaksis spontan berulang.
Pemeriksaan fisik: rinoskopi posterior, massa tumor dengan
konsistensi kenyal, warna bervariasi dari abu-abu sampai merah
muda. Bagian tumor yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi
selaput lendir berwarna keunguan, sedangkan bagian yang meluas
ke luar nasofaring berwarna putih atau abu-abu, mukosanya
mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan ulserasi.
Perlu dilakukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan
diagnosis ANJ.
DIFERENSIAL DIAGNOSIS
hemangioma
polip khoana
karsinoma nasofaring
polip angiomatosa
kista nasofaring
Hemangioperisitoma
Rhabdomyosarkoma
khordoma
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tidak disarankan untuk melakukan biopsi karena tumor mudah


berdarah.
Radiologi: CT scan, MRI (ditemukan massa jaringan lunak di
nasofaring serta invasinya, terdapat gambaran Holman Miller
pendorongan prosessus pterigoideus ke belakang sehingga fisura
pterigopalatina melebar).
Angiogram: aliran darah dari arteri maksila interna lebih besar dari
normal.
Aksial (a) dan koronal (b) MRI kontras. Angiofibroma Juvenile dengan pusat di dalam akar
dari prosesus pterygoideus kiri. Komponen nasofaring dengan submukosa tersebar jelas
(tanda bintang hitam). Lesi mencapai kompartemen ekstradural intrakranial melalui celah
orbital inferior dan superior (panah putih), bagian inferolateral mengalami pergeseran nervus
maxilla (panah hitam). Tanda bintang putih menunjukkan Meckels cave. LPM: otot
pterygoideus lateralis; MPM: otot pterygoideus medial.
Angiogram karotis eksternal dari angiofibroma juvenile menunjukkan aliran darah dari arteri
maksila interna yang lebih besar dari batas normal.
PENATALAKSANAAN
Dilakukan pendekan yang berbeda untuk tiap stadiumnya,
tergantung lokasi, ekstensi dan besar tumor.
Embolisasi
Tindakan operatif
Hormonal
Radioterapi
EMBOLISASI
Dilakukan kurang lebih 24-48 jam sebelum tindakan operatif. Embolisasi
preoperatif pada ANJ terbukti menurunkan perdarahan serta membantu
visualisasi yang lebih baik saat dilakukan pengangkatan tumor. Penelitian
terdahulu menemukan bahwa jumlah perdarahan dan transfusi darah pada
pasien berkurang 50% pada tindakan embolisasi preoperatif (Nongrum et al,
2009).
TINDAKAN OPERATIF
Merupakan pilihan utama selain hormonal dan radioterapi.
Harus dilakukan di RS dengan fasilitas yang memadai karena
beresiko menyebabkan perdarahan hebat.
Pendekatan operasi sesuai lokasi dan perluasan tumor, seperti
melalui transpalatal, rinotomi lateral, rinotomi sublabial
(sublabial facial deglowing) atau kombinasi dengan kraniotomi
frontotemporal bila sudah meluas ke intrakranial.
TERAPI HORMONAL
Flutamide (2-Methyl-n-[4-nitro-3-{trifluoromethyl} phenyl]
propanamide) antagonis androgen non-steroid (NSAA).
Diberikan 6 minggu sebelum operasi.
Flutamide adalah komponen anti androgen yang murni, oleh
karena itu menyebabkan tidak terjadinya peningkatan dari
gonadotropin maupun testosterone. Efek samping dari
pengobatan ini adalah penurunan libido yang mengakibatkan
feminisme (Nongrum et al, 2009).
RADIOTERAPI
Radioterapi adjuvan pasca operasi dengan residu tumor
Pada tumor yang besar sehingga tidak memungkinkan untuk reseksi
komplit (residu tumor).
Radioterapi Definitif
Pada kasus dimana tidak dapat dilakukan tindakan pembedahan.
Radioterapi Emergency
Radioterapi emergency pada keadaan perdarahan tumor yang
mengancam jiwa.
Radioterapi Paliatif
KOMPLIKASI
Defisit neurologi akibat tindakan operatif
Komplikasi secara lambat dapat berkembang seiring dengan
berjalannya radioterapi. Lebih dari 33 persen pasien dilaporkan
mengalami retardasi mental, panhypopituitarism, nekrosis lobus
temporal, katarak, keratopati akibat radiasi.
Feminisme akibat terapi hormonal
PROGNOSIS
Follow up jangka panjang perlu dilakukan karena adanya
kemungkinan rekurensi dan efek lanjut dari radiasi. Angka
rekurensi murni pasca reseksi total adalah 50% yang terjadi
dalam kurun waktu Antara 2-4 tahun atau rata-rata 37 bulan
pasca operasi (Primasari et al, 2013).
TERIMA KASIH

Você também pode gostar