Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang PENDAHULUAN Angiofibroma nasofaring juvenil (ANJ) adalah tumor jinak pembuluh darah di nasofaring yang secara histologik jinak, namun secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sangat sulit dihentikan (Roezin et al, 2012). Angka kekambuhan dari ANJ dilaporkan masih tinggi. ANATOMI DEFINISI Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak bila dilihat secara histologi, akan tetapi bersifat ganas secara klinis karena tumbuh agresif serta menyebabkan epistaksis dan obstruksi hidung (Martins et al, 2013). ETIOLOGI Belum diketahui secara pasti. Diduga berhubungan dengan ketidakseimbangan hormon androgen dan estrogen. EPIDEMIOLOGI Tumor ini jarang ditemukan, frekuensinya 1/5000-1/60.000 dari pasien THT, diperkirakan hanya merupakan 0,05 persen dari tumor leher dan kepala. Tumor ini umumnya terjadi pada laki- laki dekade ke-2 antara 7-19 tahun. Jarang terjadi pada usia lebih dari 25 tahun (Roezin et al, 2012). Di Amerika, 1/5000-1/50.000 Di Denmark 0,4 persen PATOFISIOLOGI STAGING FISCH Stadium Deskripsi
I Tumor terbatas di kavum nasi dan nasofaring tanpa mendestruksi
tulang II Tumor menginvasi fossa pterygomaksilla, sinus paranasal dengan destruksi tulang
III Tumor menginvasi fossa infratemporal, orbita dengan atau regio
paraselar IV Tumor menginvasi sinus kavernosus, regio chiasma optik dan atau fossa pituitary MANIFESTASI KLINIS Obstruksi nasal (90%) Epistaksis spontan (60%) Proptosis (20%) muka kodok Rhinorea Sinusitis Gangguan telinga (otitis media, penurunan pendengaran) Defisit neurologis Manifestasi klinis pada 13 pasien ANJ yang diamati secara studi retrospektif dengan perawatan di rumah sakit selama 5 tahun dari tahun 2004-2009 (Moorthy, 2011). DIAGNOSIS Anamnesis: umur, jenis kelamin, gejala klinis berupa obstruksi nasal dan epistaksis spontan berulang. Pemeriksaan fisik: rinoskopi posterior, massa tumor dengan konsistensi kenyal, warna bervariasi dari abu-abu sampai merah muda. Bagian tumor yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi selaput lendir berwarna keunguan, sedangkan bagian yang meluas ke luar nasofaring berwarna putih atau abu-abu, mukosanya mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan ulserasi. Perlu dilakukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan diagnosis ANJ. DIFERENSIAL DIAGNOSIS hemangioma polip khoana karsinoma nasofaring polip angiomatosa kista nasofaring Hemangioperisitoma Rhabdomyosarkoma khordoma PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak disarankan untuk melakukan biopsi karena tumor mudah
berdarah. Radiologi: CT scan, MRI (ditemukan massa jaringan lunak di nasofaring serta invasinya, terdapat gambaran Holman Miller pendorongan prosessus pterigoideus ke belakang sehingga fisura pterigopalatina melebar). Angiogram: aliran darah dari arteri maksila interna lebih besar dari normal. Aksial (a) dan koronal (b) MRI kontras. Angiofibroma Juvenile dengan pusat di dalam akar dari prosesus pterygoideus kiri. Komponen nasofaring dengan submukosa tersebar jelas (tanda bintang hitam). Lesi mencapai kompartemen ekstradural intrakranial melalui celah orbital inferior dan superior (panah putih), bagian inferolateral mengalami pergeseran nervus maxilla (panah hitam). Tanda bintang putih menunjukkan Meckels cave. LPM: otot pterygoideus lateralis; MPM: otot pterygoideus medial. Angiogram karotis eksternal dari angiofibroma juvenile menunjukkan aliran darah dari arteri maksila interna yang lebih besar dari batas normal. PENATALAKSANAAN Dilakukan pendekan yang berbeda untuk tiap stadiumnya, tergantung lokasi, ekstensi dan besar tumor. Embolisasi Tindakan operatif Hormonal Radioterapi EMBOLISASI Dilakukan kurang lebih 24-48 jam sebelum tindakan operatif. Embolisasi preoperatif pada ANJ terbukti menurunkan perdarahan serta membantu visualisasi yang lebih baik saat dilakukan pengangkatan tumor. Penelitian terdahulu menemukan bahwa jumlah perdarahan dan transfusi darah pada pasien berkurang 50% pada tindakan embolisasi preoperatif (Nongrum et al, 2009). TINDAKAN OPERATIF Merupakan pilihan utama selain hormonal dan radioterapi. Harus dilakukan di RS dengan fasilitas yang memadai karena beresiko menyebabkan perdarahan hebat. Pendekatan operasi sesuai lokasi dan perluasan tumor, seperti melalui transpalatal, rinotomi lateral, rinotomi sublabial (sublabial facial deglowing) atau kombinasi dengan kraniotomi frontotemporal bila sudah meluas ke intrakranial. TERAPI HORMONAL Flutamide (2-Methyl-n-[4-nitro-3-{trifluoromethyl} phenyl] propanamide) antagonis androgen non-steroid (NSAA). Diberikan 6 minggu sebelum operasi. Flutamide adalah komponen anti androgen yang murni, oleh karena itu menyebabkan tidak terjadinya peningkatan dari gonadotropin maupun testosterone. Efek samping dari pengobatan ini adalah penurunan libido yang mengakibatkan feminisme (Nongrum et al, 2009). RADIOTERAPI Radioterapi adjuvan pasca operasi dengan residu tumor Pada tumor yang besar sehingga tidak memungkinkan untuk reseksi komplit (residu tumor). Radioterapi Definitif Pada kasus dimana tidak dapat dilakukan tindakan pembedahan. Radioterapi Emergency Radioterapi emergency pada keadaan perdarahan tumor yang mengancam jiwa. Radioterapi Paliatif KOMPLIKASI Defisit neurologi akibat tindakan operatif Komplikasi secara lambat dapat berkembang seiring dengan berjalannya radioterapi. Lebih dari 33 persen pasien dilaporkan mengalami retardasi mental, panhypopituitarism, nekrosis lobus temporal, katarak, keratopati akibat radiasi. Feminisme akibat terapi hormonal PROGNOSIS Follow up jangka panjang perlu dilakukan karena adanya kemungkinan rekurensi dan efek lanjut dari radiasi. Angka rekurensi murni pasca reseksi total adalah 50% yang terjadi dalam kurun waktu Antara 2-4 tahun atau rata-rata 37 bulan pasca operasi (Primasari et al, 2013). TERIMA KASIH