Você está na página 1de 40

Tinjauan Kepustakaan II

Kamis, 21 Juli 2011

REHABILITASI
PADA AFASIA
Oleh : dr.Hendi Indiarsa
Pembimbing : dr.Sunaryo B.S, SpKFR
Penilai : dr.Marina.A.M,SpKFR

1
PENDAHULUAN

Afasia merupakan gangguan bahasa perolehan yang


disebabkan oleh cedera otak dan ditandai oleh gangguan
pemahaman serta gangguan pengutaraan bahasa, lisan
maupun tertulis.
Afasia bukanlah gangguan bicara, apabila ada gangguan
bicara, akibat kerusakan di susunan saraf dengan
terganggunya kontrol otot yang meliputi mekanisme
bicara, disebut disartria.

2
ETIOLOGI

Afasia dapat timbul cedera otak atau proses patologik pada


area lobus frontal, temporal atau parietal yang mengatur
kemampuan berbahasa yaitu area Broca, area Wernicke, dan
jalur yang menghubungkan antara keduanya. Kedua area ini
biasanya terletak di hemisfer otak kiri dan pada kebanyakan
orang, bagian hemisfer kiri merupakan tempat kemampuan
berbahasa diatur.
Pada dasarnya kerusakan otak yang menimbulkan afasia
disebabkan oleh stroke, cedera otak traumatik, perdarahan
otak dan sebagainya. Afasia dapat muncul perlahan-lahan
seperti pada kasus tumor otak. Afasia juga terdaftar sebagai
efek samping yang langka dari Fenthanyl, suatu opioid untuk
penanganan nyeri kronik.
4
ANATOMI DAN FISIOLOGI
Semua stimulus auditif (pendengaran) dihantar dari perifer
melalui system auditif ke area auditif primer di girus Hirsch,
pada kedua lobus temporalis.
Di hemisfer dominan, informasi diteruskan dari area auditif
primer langsung ke area asosiasi auditif di bagian posterior
lobus temporalis superior.
Informasi dari hemisfer yang non dominan dihantar melalui
korpus kalosum ke area asosiasi auditif di hemisfer yang
dominan
Area asosiasi auditif dapat dianggap sebagai pusat identifikasi
kata, dan dikenal sebagai area Wernicke. Setelah suara
diidentifikasi sebagai simbol bahasa informasi ini diteruskan
ke area pengenalan kata yang terletak di bagian inferior lobus
parietal di hemisfer yang dominan.

5
Bila fungsi ini dilaksanakan, informasi disampaikan
kembali ke atau melalui area Wernicke ke area-area di
otak yang berkaitan dengan enkoding atau berespon
pada bahasa.
Memproduksi bahasa mungkin di mediasi melalui area
pengenalan bahasa, diikuti oleh penyampaian informasi
ke area identifikasi kata.
Komunikasi ditegakkan antara area identifikasi kata
dengan area enkoding motor melalui serabut asosiasi
yang menghubungkan bagian posterior girus temporalis
superior dengan area operkuler pada lobus frontal.

6
Area enkoding motorik (area Broca) bertanggung jawab untuk
konversi preliminer simbol bahasa ke aktivitas motor.
Informasi dari area enkoding motor disampaikan ke area
motor primer pada hemisfer untuk dikonversi menjadi
gerakan motorik yang dibutuhkan, yang memproduksi bicara
(speech).
Pada waktu yang bersamaan, terdapat komunikasi antara area
Broca dengan area motorik suplementer yang terletak di
bagian medial girus frontal superior.
Selanjutnya terjadi komunikasi dari area motorik suplementer
ke area motorik primer.
Lengkung reflex dari area Broca melalui area motorik
suplementer ke area motorik primer tampaknya bertanggung
jawab terhadap kemulusan konversi informasi di area motorik
primer menjadi impuls yang memproduksi bicara (speech).

7
Simbol bahasa visual diterima sebagai impuls visual di pusat
visual primer di lobus oksipital kedua hemisfer. Informasi
kemudian diteruskan ke area asosiasi visual, tempat terjadinya
pengenalan dan identifikasi simbol bahasa.
Dari area asosiasi visual yang menangani bahasa, terdapat dua
jalur.
Pada jalur pertama informasi dari area asosiasi visual yang
dominan berjalan langsung ke area identifikasi kata.
Pada jalur kedua, informasi dari area asosiasi visual yang non
dominan menyilang ke hemisfer yang dominan melalui korpus
kalosum.
Informasi yang berhubungan dengan penamaan obyek dating
dari kedua area asosiasi visual ke area pengenalan kata hemisfer
yang dominan.
Pada waktu ini area pengenalan impuls yang berhubungan
dengan penamaan obyek memasuki sistem bahasa dan di
transmisi ke area Wernicke.

8
9
PATOFISIOLOGI
Afasia terjadi akibat kerusakan pada area pengaturan bahasa di
otak.
Pada manusia fungsi pengaturan bahasa mengalami lateralisasi ke
hemisfer otak kiri pada 96-99% orang yang dominan tangan kanan
(kinan) dan 60% orang yang dominan tangan kiri (kidal).
Pada pasien yang menderita afasia, sebagian besar lesi terletak pada
hemisfer kiri.
Afasia paling sering muncul akibat stroke, cedera kepala, tumor
otak atau penyakit degeneratif.
Kerusakan ini terletak pada bagian otak yang mengatur kemampuan
berbahasa, yaitu area Broca dan area Wernicke.
Area Broca atau area 44 dan 45 Broadmann, bertanggung jawab
atas pelaksanaan motorik berbicara.
10
PATOFISIOLOGI lanjutan
Ada dua bagian utama pada area Broca, yang memiliki peran masing-masing dalam
kemampuan pembentukan dan pemahaman bahasa:
Pars triangularis (anterior), diperkirakan difungsikan untuk menginterpretasikan
berbagai macam rangsang dan pengolahan konduksi verbal.
Pars opercularis (posterior), diperkirakan untuk menyokong manajemen satu jenis
rangsang saja dan mengkoordinasikan organ wicara dan area motorik dalam
berbahasa. Lesi pada area ini akan mengakibatkan kesulitan dalam artikulasi tetapi
penderita bisa memahami bahasa dan tulisan.
Area Wernicke atau area 41 dan 42 Broadmann, merupakan sensorik penerima untuk
impuls pendengaran.
Lesi pada area ini akan mengakibatkan penurunan hebat kemampuan memahami serta
mengerti suatu bahasa.
Secara umum afasia muncul akibat lesi pada kedua area pengaturan bahasa di atas.
Selain itu lesi pada area disekitarnya juga dapat menyebabkan afasia transkortikal.
Afasia juga dapat muncul akibat lesi pada fasikulus arkuatus, yaitu penghubung antara
area Broca dan area Wernicke.

11
12
KLASIFIKASI
Berdasarkan manifestasi klinik, afasia Berdasarkan lesi anatomik, afasia
dapat dibedakan atas : dapat dibedakan berdasarkan :
Afasia tidak lancar atau non-fluent Sindroma afasia peri-silvian :
Afasia Broca (motorik, ekspresif)
Afasia lancar atau fluent
Afasia Wernicke (sensorik, reseptif)
Afasia konduksi
Sindroma afasia daerah perbatasan
(borderzone) :
Afasia transkortikal motorik
Afasia transkortikal sensorik
Afasia transkortikal campuran
Sindroma afasia subkortikal :
Afasia talamik
Afasia striatal
Sindroma afasia non-lokalisasi :
Afasia anomik
Afasia global

15
Sebagai tambahan, ada yang disebut dengan parafasia.
Parafasia ialah mensubstitusi kata.
Ada 2 jenis parafasia :
Parafasia semantic (verbal)
Parafasia fonemik (literal)

16
KLASIFIKASI BOSTON :

17
DIAGNOSIS

Diagnosis afasia ialah berdasarkan tanda dan


gejala klinis yang ditemukan pada pemeriksaan
fisik dan kejiwaan.
Sedangkan pemeriksaan tambahan lainnya
dilakukan untuk mengetahui penyebab
kerusakan otaknya.

18
MANIFESTASI KLINIS :
Afasia tidak lancar Afasia lancar
Pada afasia ini, output atau keluaran bicara Pada afasia ini penderita bicara lancar, artikulasi
terbatas. Penderita menggunakan kalimat dan irama baik, tetapi isi bicara tidak bermakna
pendek dan bicara dalam bentuk sederhana.
Sering disertai artikulasi dan irama bicara dan tidak dapat dimengerti artinya. Penderita
yang buruk. tidak dapat mengerti bahasa sehingga tidak
Gambaran klinisnya ialah : dapat berbicara kembali.
Pasien tampak sulit memulai bicara Gambaran klinisnya ialah :
Panjang kalimat sedikit (5 kata atau kurang Keluaran bicara yang lancar
per kalimat)
Panjang kalimat normal
Gramatika bahasa berkurang dan tidak
kompleks Artikulasi dan irama bicara baik
Artikulasi umumnya terganggu Terdapat parafasia
Irama bicara terganggu
Kemampuan memahami pendengaran dan
Pemahaman cukup baik, tapi sulit
membaca buruk
memahami kalimat yang lebih kompleks
Pengulangan (repetisi) buruk Repetisi terganggu
Kemampuan menamai, menyebut nama Menulis lancar tapi tidak ada arti
benda buruk

19
LESI ANATOMK
Afasia Broca (motorik, ekspresif).
Disebabkan lesi di area Broca. Pemahaman auditif dan membaca tidak terganggu, tetapi sulit
mengungkapkan isi pikiran. Gambaran klinis afasia ini ialah bergaya afasia non fluent.
Afasia Wernicke (sensorik, reseptif)
Disebabkan lesi di area Wernicke. Pada kelainan ini pemahaman bahasa terganggu. Penderita
tidak mampu memahami bahasa lisan dan tulisan sehingga ia juga tidak mampu menjawab
dan tidak mengerti apa yang dia sendiri katakana. Gambaran klinisnya ialah bergaya afasia
fluent.
Afasia konduksi
Disebabkan lesi di area fasciculus arcuatus yaitu penghubung antara area sensorik
(Wernicke) dan area motoric (Broca). Lesi ini mneyebabkan kemampuan berbahasa dan
pemahaman yang baik tetapi didapati adanya gangguan repetisi atau pengulangan.
Afasia Transkortikal
Disebabkan lesi di sekitar tepi area pengaturan bahasa. Pada dasarnya afasia transkortikal
ditandai oleh terganggunya fungsi berbahasa tetapi didapati repetisi bahasa yang baik dan
terpelihara.
Afasia Transkortikal motorik
Ditandai dengan tanda afasia Broca dengan bicara non fluent, tetapi repetisi atau kemampuan
mengulangnya baik dan terpelihara. 20
Afasia Transkortikal sensorik
Ditandai dengan tanda afasia Wernicke dengan bicara fluent, tetapi repetisi atau kemampuan
mengulangnya baik dan terpelihara.
Afasia Transkortikal campuran
Ditandai dengan campuran tanda afasia Broca dan Wernicke. Penderita bicara non fluent atau tidak
lancar, tetapi juga disertai kemampuan memahami bahsa yang buruk. Sementara kemampuan
mengulangnya atau repetisi tetap baik.
Afasia Talamik
Disebabkan lesi pada thalamus, dan Afasia striatal disebabkan lesi pada capsula striatal yang keduanya
juga berperan dalam pengaturan bahasa. Pada kedua afasia ini terdapat tanda afasia anomik.
Afasia Anomik
Merupakan suatu afasia dimana penderita kesulitan menemukan kata dan tidak mampu menamai benda
yang dihadapkan kepadanya. Bicara, gramatika dan irama lancar, tetapi sering tertegun ketika mencari
kata dan mengenai nama obyek.
Afasia Global
Adalah bentuk afasia yang paling berat. Ini disebabkan lesi yang luas yang merusak sebagian besar atau
semua area bahasa pada otak. Keadaan ini ditandai oleh tidak ada lagi atau berkurang sekali bahasa
spontan dan menjadi beberapa patah kata yang diucapkan secara berulang-ulang, misalnya
baaahbaaahbaaah atau maaamaaamaaa. Pemahaman terganggu berat. Afasia global hampir
selalu disertai dengan hemiparese atau hemiplegia.

21
PEMERIKSAAN AFASIA :
1. TT/Token Test 7. CADL/Communicative abilities
2. MTTDDA/Minnesota test for in daily living
differential diagnosis of 8. SAN-TEST
aphasia 9. UCO/Utrechts communicatie
3. PICA/Porch index of onderzoek
communicative ability 10. TADIR
Tes afasia indonesia
4. FCP/Functional 11. IKF
communication profile
5. BDAE/BostonDiagnostic
aphasia examination
6. AAT/Akense afasie test

22
TOKEN TEST / TT
Tujuan pemeriksaan ini ialah menentukan diagnosis diferensial afasia ya/tidak.
Yang dikehendaki ialah tes yang hanya memeriksa pemahaman bahasa auditif
tanpa mengandalkan daya ingat atau intelegensia pasien.
Pemeriksaan ini terdiri dari 4 bagian yang masing-masing terdiri dari 10
tugas dan satu bagian yang terdiri dari atas 21 tugas.
Setiap bagian berikutnya menambah tuntutan pemahaman auditif sehingga
pada bagian akhir pasien afasia yang mengalami gangguan pemahaman bahasa
yang ringan pun dapat ditelusuri.
Bahan terdiri dari atas 4x5 token (bundar dan persegi empat, yang besar dan
yang kecil, dalam lima warna yang berbeda), buku instruksi dan beberapa
formulir skor. Cut-off score (batas antara afatis atau tidak) diberikan
menurut umur dan tingkat intelegensia.
Waktu yang diperlukan untuk pengambilan pemeriksaan ini adalah 20-30
menit.
Tes ini ternyata peka sekali, juga untuk melacak orang yang terkena afasia
ringan.

23
TADIR (TES AFASIA UNTUK DIAGNOSIS INFORMASI REHABILITASI)
Tujuan TADIR adalah :
a. Membuat diagnosis afasia/bukan afasia.
b. Membuat diagnosis sindroma afasia mana.
c. Memberi informasi kepada pasien, lingkungannya dan orang
ketiga lain.
d. Menjadi titik tolak untuk penanganan wicara (rehabilitasi).
TADIR memakan waktu kira-kira 1 jam.
Membuat diagnosis afasia dan sindrom afasia dapat dilakukan dengan
cepat dan efisien karena hanya beberapa subtes yang harus
dilakukan.
Klasifikasi Boston dipilih untuk klasifikasi sindrom-sindrom afasia.

24
TADIR terdiri dari 4 bagian :
Bagian I : merupakan pedoman pengambilan dan pembagian skor TADIR.
Setiap modalitas bahasa (bicara, pemahaman bahasa lisan, pemahaman
bahasa tulis dan menulis) mengandung beberapa subtes. Dalam setiap
subtes diikutsertakan tujuan, bahan yang digunakan, cara pengambilan
dan pemberian skornya. Disamping itu, dijelaskan bagaimana skor yang
diperoleh dapat dipindahkan ke dalam profil skor.
Bagian II : menjelaskan cara menginterpretasikan skor-skor yang
diperoleh dan kemudian cara mengisi laporan pemeriksaan.
Bagian III : membahas pertimbangan-pertimbangan praktis dan teoritis,
yang merupakan titik tolak pembuatan TADIR.
Bagian IV : masalah pembakuan dan normalisasi TADIR.
Suplemen I merupakan formulir registrasi termasuk laporan pemeriksaan
dan suplemen II memuat bahan tes yang diperlukan.

25
PEMERIKSAAN TAMBAHAN
Pemeriksaan laboratorium hanya diperlukan tergantung dari penyebab
kerusakan otaknya.
Diagnosis afasia terutama berasal dari pemeriksaan klinik dan kejiwaan
karena afasia merupakan tanda klinis.
Pemeriksaan radiologis biasanya dilakukan dalam hal untuk melokalisasi
lesi dan mendiagnosa penyebab kerusakan otak.
CT scan efektif untuk mengetahui adanya perdarahan otak atau stroke
iskhemik yang sudah lebih dari 48 jam.
MRI mampu mendeteksi stroke sesegera mungkin sampai 1 jam setelah
onset.
Penggunaan kontras mungkin perlu untuk mendeteksi tumor.

26
PENATALAKSANAAN
Prinsip umum rehabilitasi dari terapi wicara adalah :
Terlepas dari jenis terapi afasia yang digunakan, hasilnya akan lebih baik
jika intensitas terapi ditingkatkan. Dengan kata lain, hasil terapi akan lebih
baik jika pasien melakukan beberapa sesi terapi selama beberapa hari
dibandingkan dengan melakukan banyak sesi terapi dalam sehari dengan
jumlah hari yang lebih banyak pula.
Efektivitas terapi afasia akan meningkat jika terapis menggunakan
berbagai bentuk stimulus sensori. Sebagai contoh, stimulus audio dalam
bentuk musik dan stimulus visual dalam bentuk gambar-gambar serta
lukisan. Jenis stimulus ini sebaiknya digunakan secara rutin selama
mengikuti sesi terapi afasia.
Peningkatan kesulitan dalam praktek latihan tes berbahasa selama
mengikuti sesi terapi akan memberikan hasil yang lebih baik.

27
BEBERAPA BENTUK TERAPI AFASIA :
1. Terapi kognitif linguistik 7. Program komputer untuk melatih
2. Program stimulus auditif pasien Afasia (Systeem Voor
(Schuell) Training Van Afasiepasienten :
STAP)
3. Stimulation-fascilitation
therapy 8. Latihan pemahaman auditif
4. Terapi kelompok (group 9. Terapi Video
therapy 10. Pelatihan Respon Elaborasi (RET)
5. PACE (Promoting Aphasics 11. Transcranial Magnetic Stimulation
Communicative Effectiveness) (TMS)
6. Terapi intonasi melodi

28
PACE (PROMOTING APHASICS COMMUNICATIVE EFFECTIVENESS
Ini merupakan bentuk terapi pragmatik yang paling terkenal.
Jenis terapi afasia ini bertujuan meningkatkan kemampuan
berkomunikasi dengan menggunakan percakapan sebagai alatnya.
Dalam terapi ini, pasien akan terlibat percakapan dengan terapis.
Untuk menstimulus komunikasi yang spontan.
Jenis terapi ini akan menggunakan lukisan-lukisan, gambar, serta
benda-benda visual.
Benda-benda ini akan digunakan oleh pasien sebagai sumber ide
untuk dikomunikasikan dalam percakapan.
Pasien dan terapis secara bergiliran akan menyampaikan ide-ide
mereka.

29
TERAPI INTONASI MELODI
Terapi intonasi melodi ialah program terapi yang memanfaatkan instruksi
terprogram, yang menggunakan terapi musik untuk membantu pasien
dengan gangguan komunikasi yang disebabkan oleh cedera otak.
Metode ini menggunakan gaya bernyanyi yang disebut intonasi melodi
untuk merangsang aktivitas hemisfer kanan untuk memproduksi bicara
(Carroll 1996).
Telah diamati bahwa pasien yang tidak atau hampir tidak dapat
berbicara biasanya dapat menyanyi, juga menyanyikan kata-katanya.
Rupanya kata-kata itu turut tertarik oleh lagunya, suatu fungsi hemisfer
kanan yang pada afasia tidak terganggu.
Metode ini terdiri dari 4 tingkat.

30
Pada tingkat pertama pasien diajarkan untuk mengambil alih lagu-
lagu. Lalu itu didukung oleh ketukan irama dan aksen lagu.
Pada tingkat kedua pasien diajarkan menyanyikan kalimat-kalimat
pada melodi : mula-mula dengan turut menyanyi dengan ahli
terapi, lalu meniru menyanyi, dan akhirnya dengan menggunakan
kalimat yang dilatih itu sebagai jawaban atas suatu pertanyaan.
Pada tingkat ketiga masih dengan lagu, dilatih kalimat-kalimat yang
lebih panjang.
Akhirnya, pada tingkat keempat tidak ada nyanyian lagi. Tetapi
latihan dilakukan dengan intonasi yang belebihan.
Tingkat terakhir adalah tahapan antara menyanyi dan bicara
normal.
Terapi intonasi melodi ternyata merupakan metode yang efektif.
Pasien yang dengan bantuan program terapi lain tidak
memperoleh kemajuan bicara, ternyata dengan metode ini
mendapat kemajuan
31
PELATIHAN RESPON ELABORASI (RET)
Pelatihan respon elaborasi / Response Elaboration Training (RET) yang
merupakan terapi bicara / bahasa untuk afasia.
Studi ini dirancang untuk menentukan apakah produksi bahasa verbal
meningkatkan dalam hal konten dan panjang ucapan-ucapan sebagai
akibat dari pengobatan.
Prosedur ini dikembangkan untuk memfasilitasi peningkatan kemampuan
verbal pada pasien afasia (Stokes and Baer,1986). Dengan cara :
Mendapat tanggapan spontan
Model dan memperkuat respon awal
Memperluas dan rumit respon melalui perancah
Memperkuat upaya pasien pada elaborasi
Selalu mengulangi dan memperluas ucapan pasien

Pemodelan dan Ekspansi berdasarkan perancah respon pasien

32
TRANSCRANIAL MAGNETIC STIMULATION (TMS)

Stimulasi magnetik transkranial (TMS) adalah metode non-invasif untuk


menimbulkan depolarisasi atau hiperpolarisasi dalam neuron dari otak.
TMS menggunakan induksi elektromagnetik untuk menginduksi lemah
arus listrik yang berubah dengan cepat menggunakan medan magnet, ini
dapat menyebabkan aktivitas di bagian tertentu atau seluruh bagian dari
otak dengan ketidaknyamanan yang minimal sehingga memungkinkan
fungsi dan interkoneksi otak untuk dipelajari.
Terapi ini dilakukan dengan mendekatkan magnet langsung ke area otak
yang diduga menghambat pemulihan kemampuan berbahasa setelah
stroke.
Dengan menekan fungsi dari bagian otak tersebut, maka pemulihan
diharapkan akan semakin cepat.
Beberapa studi telah menunjukkan hasil yang menggembirakan.
Tetapi masih diperlukan studi yang lebih besar untuk membuktikan
efektivitas terapi ini.

33
STRATEGI PENANGANAN AFASIA
A. Stategi penanganan pada Afasia Broca :
1. Terapi intonasi melodi
Terapi terpilih pada pasien-pasien yang komprehensi auditifnya baik
daripada ekspresi verbalnya.
2. Latihan respon elaborasi
Dirancang untuk pasien afasia nonfluent dalam rangka meningkatkan
informasi baik isi dan panjang kalimat dari suatu tanggapan lisan.
3. Stimulasi magnetik transkranial/Transcranial Magnetic
Stimulation
Terapi ini dilakukan dengan mendekatkan magnet langsung ke area otak yang
diduga menghambat pemulihan kemampuan berbahasa. Dengan menekan
fungsi dari bagian otak tersebut, maka pemulihan diharapkan akan semakin
cepat.

34
B. Strategi penanganan pada Afasia Wernicke :
1. Mempromosikan Efektivitas Komunikatif Afasia (PACE)
Terapis dan klien mengambil informasi bergantian menyampaikan satu sama lain
berpartisipasi sama seperti pengirim dan penerima pesan. Ada pertukaran informasi
baru. Terapis dapat model pilihan komunikasi. Setiap saluran Komunikasi adalah
diterima: visual, gestural, grafis, dan lisan.
2. Program stimulus auditif (Schuell)
Schuell memilih stimulasi auditif yang kuat sebagai dasar untuk memancing respon
verbal, ahli terapi merangsang pasien hingga pemahaman dan pengungkapan bahasa
dipermudah.
C. Strategi penanganan pada Afasia Global :
Strategi penanganan pada afasia global lebih mendekati penanganan pada afasia
Wernicke, terapi video dan terapi stimulasi magnetik intrakranial dapat di pakai
walaupun masih memerlukan penelitian yang dapat membuktikan efektivitasnya.

35
PROGNOSIS
Prognosis hidup untuk penderita afasia tergantung pada penyebab afasia.
Suatu tumor otak dapat dihubungkan dengan angka harapan hidup yang
kecil. Sedangkan afasia dengan stroke ringan mungkin memiliki prognosis
yang sangat baik. Prognosis hidup ditentukan oleh penyebab afasia
tersebut.
Prognosis kesembuhan kemampuan berbahasa bervariasi, tergantung pada
ukuran lesi dan umur serta keadaan umum pasien. Secara umum, pasien
dengan tanda klinis yang lebih ringan memiliki kemungkinan sembuh yang
lebih baik. Afasia Broca secara fungsional memiliki prognosis yang lebih baik
daripada afasia Wernicke. Afasia akibat penyakit yang tidak dapat atau sulit
disembuhkan misalnya tumor otak, memiliki tingkat prognosis yang buruk.

36
PENUTUP
Afasia adalah suatu tanda klinis, berupa gangguan berbahasa yang disebabkan oleh
gangguan peredaran darah otak dan ditandai oleh gangguan pemahaman serta gangguan
pengutaraan bahasa, lisan maupun tertulis.
Afasia dapat dibagi dalam 2 golongan besar : Afasia fluent dan afasia non fluent.
Penggolongan ini dilakukan dengan memperinci ciri-ciri bicara pasien. Afasia dapat
ditentukan jenisnya dari analisis kemampuan linguistiknya (bicara spontan, menyimak,
mengulang dan menyebut).
Afasia yang berat dan sedang dapat ditetapkan secara klinik non formal, sedangkan afasia
yang ringan atau meragukan perlu ditetapkan secara formal dengan tes afasia. Penetapan
jenis afasia (Broca, Wernicke dan sebagainya) diperlukan untuk menentukan letak lesi di
otak (diagnostik) dan program rehabilitasinya (bina wicara= speech therapy).
Untuk mengatasi masalah ini salah satu metode yang bisa digunakan untuk membantu
kemampuan berbahasa dan berbicara pasien adalah dengan menggunakan terapi afasia.
Ada berbagai terapi afasia, dari berbagai jenis ini hanya beberapa terapi yang telah diteliti
tingkat efektivitasnya.
Akan tetapi berdasarkan pengalaman pasien, para terapis dan dokter, terapi afasia
bermanfaat bagi perkembangan kemampuan berbahasa pasien.

37
38
39
40

Você também pode gostar