SUCIAWATI SANTINA YULPUTRISNA VINDI ADELANDI FITRIANI FARID WIDODO GITA G FERDI ISWANTO KEKE VARELA FIRDAUS MUNIFA I NENGAH LUKI MULIANA ARIF RONI NUR ILMI MOH AL-GHAZI NUR HIJRAH NUR FITRAH NUR FADILA Definisi Alergi adalah reaksi hipersentivitas yang diperantarai oleh mekanisme imunologi. Pada keadaan normal mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas. Hipersensitivitas sendiri berarti gejala atau tanda yang secara objektif dapat ditimbulkan kembali dengan diawali oleh pajanan terhadap suatu stimulus tertentu pada dosis yang ditoleransi oleh individu yang normal. Aspek Epidemiologi Prevalensi penyakit alergi terus meningkat secara dramatis di dunia, baik dinegara maju maupun negara berkembang, terlebih selama dua dekade terakhir. Diperkirakan lebih dari 20% populasi di seluruh dunia mengalami manifestasi alergi seperti asma, rinokonjungtivitis, dermatitis atopi atau eksema dan anafilaksis. WHO memperkirakan alergi terjadi pada 5- 15% populasi anak diseluruh dunia. Pada fase 3 dari studi yang dilakukan oleh International Study of Asthma and Allergy in Childhood (ISAAC) pada tahun 2002-2003 dilaporkan bahwa prevalensi asma bronkial, rhinitis alergi dan dermatitis atopik cenderung meningkat di sebagian besar lembaga dibandingkan data 5 tahun sebelumnya Etiologi bisa berupa partikel debu, serbuk tanaman, obat atau makanan, yang bertindak sebagai antigen yang merangsang terjadinya respon kekebalan Patofisiologi Saat pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh seseorang yang mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika untuk kedua kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah tampak gejala-gejala timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tanda-tanda itu muncul maka antigen akan mengenali alergen yang masuk yang akan memicu aktifnya sel T, dimana sel T tersebut yang akan merangsang sel B untuk mengaktifkan antibodi (Ig E). Proses ini mengakibatkan melekatnya antibodi pada sel mast yang dikeluarkan oleh basofil Apabila seseorang mengalami paparan untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal yaitu : 1. Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan efek terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel sel radang misalnya netrofil dan eosinofil, sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan panas 2. Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang merangsang sel mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang banyak, kemudian histamin tersebut beredar di dalam tubuh melalui pembuluh darah. Saat mereka mencapai kulit, alergen akan menyebabkan terjadinya gatal, prutitus, angioderma, urtikaria, kemerahan pada kulit dan dermatitis. Pada saat mereka mencapai paru paru, alergen dapat mencetuskan terjadinya asma. Gejala alergi yang paling ditakutkan dikenal dengan nama anafilaktik syok. Gejala ini ditandai pada reaksi alergi dilepaskan berbagai zat mediator yang akan menimbulkan gejala klinis. Zat mediator utama dan terpenting adalah histamine yang memiliki efek dilatasi pembuluh darah peningkatan permeabilitas kapiler, iritasi ujung-ujung saraf sensorik dan aktifitas sel-sel kelenjar. Manifestasi Klinis jika terjadi pada kulit ditandai dengan pembengkakan lokal, gatal dan kemerahan pada kulit Pada mukosa respirasi dapat terjadi rhinitis alergi yang ditandai dengan nasal pruritis, rinorea, hidung tersumbat dan asma yang ditandai dengan bronkospasme, inflamasi jalan nafas kronis Pada mukosa gastrointestinal bermanifestasi sebagai alergi makanan dengan gejala nyeri perut kolik, muntah, diare Pada mata berair, hyperemia konjungtiva, gatal pada mata Klasifikasi Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau anafilaktik. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G (IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target sel. Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal ini disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan terlarut di dalam jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada kondisi normal, kompleks antigen- antibodi yang diproduksi dalam jumlah besar dan seimbang akan dibersihkan dengan adanya fagosit. Namun, kadang- kadang, kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau antigen yang persisten akan membuat tubuh secara otomatis memproduksi antibodi terhadap senyawa asing tersebut sehingga terjadi pengendapan kompleks antigen-antibodi secara terus-menerus. Pengendapan kompleks antigen- antibodi tersebut akan menyebar pada membran sekresi aktif dan di dalam saluran kecil sehingga dapat memengaruhi beberapa organ, seperti kulit, ginjal, paru- paru, sendi, atau dalam bagian koroid pleksus otak Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel atau tipe lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan oleh sel T dan makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi dan diferensiasi sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag dan leukosit lain pada daerah yang terkena paparan Pencegahan Untuk mencegahnya yaitu dengan menghindari pemicunya, misalnya : Gunakan masker saat keluar rumah. Membersihkan rumah secara rutin, terutama ruangan yang sering digunakan, seperti kamar tidur serta ruang keluarga, agar terhindar dari tungau debu. Menghindari penggunaan kemoceng karena dapat menyebarkan alergen. Mengelap permukaan perabotan dengan kain bersih yang dibasahi air atau cairan pembersih atau gunakan alat penyedot debu. Membuka jendela atau pintu agar sirkulasi udara lebih lancar sehingga ruangan tidak terasa lembap. Menempatkan hewan piaraan di luar rumah atau di satu ruangan tertentu saja. Mandikan hewan piaraan seminggu sekali. Mencatat jenis makanan yang kemungkinan menjadi sumber alergi sehingga dapat dihindari. penatalaksanaan Terapi untuk penyakit alergi dapat diberikan secara farmakologi dan immunotherapy. Untuk terapi farmakologi dengan obat anti inflamasi non steroid, anti histamin, steroid, teofilin atau epinefrin. Sedangkan immunotherapy atau yang juga dikenal dengan suntikan alergi, pasien diberikan suntikan berulang dari alergen untuk mengurangi IgE pada sel mast dan menghasilkan IgG. Komplikasi Komplikasinya berupa reaksi alergi yang hebat,yang dapat menyebabkan anfilaksis. Tanda dan gejala anafilaksis dapat digolongkan menjadi menjadi reaksi sistemik ringan, sedang dan berat. Ringan Pada reaksi ini ditandai dengan rasa kesemutan serta hangat pada bagian perifer dan dapat disertai dengan rasa kurang nyaman pada tenggorokan. Terjadi kongestinasal, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin dan mata yang berair. Sedang Pada reaksi sedang ditandai dengan bronkospasme dan edema saluran napas atau laring dengan dyspnea, batuk serta mengi. Berat Pada reaksi berat memiliki onset mendadak dengan tanda-tanda dan gejala yang sama pada reaksi sistemik sedang, namun pada reaksi berat dapat terjadi sianosis, disfagia (kesulitan menelan), kram abdomen, vomitus, diare dan serangan kejang-kejang serta kadang-kadang dapat terjadi syok kardiovaskuler yang menyebabkan hipoksia,koma bahkan terjadi kematian Asuhan Keperawatan Pengkajian Diagnosa Intervensi Implementasi evaluasi