Você está na página 1de 64

Agen Soil Transmitted

disseases

AGNIA SAEFA ALFI 111170006


ERMA PERMATASARI 111170025
LUKITA AFRILA 111170043
M. IHSAN GUMILAR 111170044
• Soil transmitted diseases merupakan
penyakit yang ditularkan melalui
media tanah, penularan soil
Definisi transmitted diseases dibagi menjadi
dua yaitu secara langsung dan tidak
langsung. Berikut adalah kelompok
soil transmitted yang penyebarannya
secara langsung dan tidak langsung:
Agen Soil Transmitted Diseases Secara
Langsung
Nematoda usus
1. Ascaris lumbricoides

Hospes & nama • Manusia


penyakit • Ascariasis

• Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000-


200.000
Morfologi • Panjang cacing dewasa 20-40 cm dan hidup di dalam
usus halus
• Cacing jantan berukuran lebih kecil dari cacing betina.

Distribusi • Survey yang dilakukan di beberapa tempat di Indonesia


geografik menunjukan bahwa prevalensi Ascariasis lumbricoides
masih cukup tinggi sekitar 60-90%.
• Perdarahan kecil di dinding alveolus
• Gangguan paru disertai batuk, demam dan eosinofilia
• Sindrom Loeffer
Gejala klinis • Cacing dewasa: Mual, nafsu makan berkurang, diare,
konstipasi

• Piperazin
• Heksilresorsinol
• Pirantel Pamoat dosis 10 mg/kg berat badan
Pengobatan • Levamisol dosis tunggal 150 mg.
• Albendazol dosis tunggal 400 mg.
• Mebendazol dosis 100 mg, 2 kali sehari selama 3 hari

• Pneunomoni
Komplikasi
2. Necator americanus dan Ancylostoma
duodenale
Ancylostoma Necator americanus
duodenale
• Hospes: manusia • Hospes: manusia
• Morfologi:
• Morfologi:
- memiliki 2 psg gigi
- hidup selama sekitar 6 - memiliki benda kitin
hingga 8 tahun - 3 hingga 5 tahun
- 10.000-25.000 butir
- Cacing betina berukuran 1 telur 5000
cm, cacing jantan 0,8 cm -10000 butir
- bentuk badan spt hrf S
- Cacing jantan mempunyai - Bentuk badan spt hrf c
bursa kopulatriks.
•Daur hidup
• Gejala klinis:
ground itch, penyakit wakana dengan gejala
mual, muntah, iritasi, faring, batuk, sakit leher
dan serak.
• Komplikasi :
Kerusakan pada kulit akan menyebabkan
dermatitis yang berat terlebih bila pasien
sensitif.
• Pengobatan:
▫ Albendazol dapat diberikan dengan dosis tunggal 400
mg.
▫ Mebendazol dapat diberikan dengan dosis 100 mg, 2
kali sehari selama 3 hari.
▫ Tetrakloretilen
▫ Befanium hidroksinaftat obat pilihan utama untuk
ankilostomiasis dan baik untuk pengobatan masal
pada anak.
▫ Pirantel pamoat dosis 10 mg/kg berat badan/hari
sebagai dosis tunggal.
▫ Heksilresorsinol
3. Trichuris trichiura

Hospes Morfologi Daur hidup


• Panjang cacing betina
• Manusia 5cm dan jantan 4cm. • infektif 6
• anterior langsing minggu di
seperti cambuk. lingkungan
• posterior bentuknya
lebih gemuk pada yang
cacing betina
bentuknya membulat
sesuaitelur
tumpul. tertelan
• Cacing dewasa hidup di
colon ascenden dan
hospesusus
sekum dengan bagian halussetelah
anteriornya seperti dewasa turun
cambuk masuk ke
dalam mukosa usus. ke colon,
• Cacing betina
menghasilkan sekitar
terutama
3000-20000 butir. sekum.
• Gejala klinis:
Ditempat perlekatannya dapat terjadinya
perdarahan.
• Pengobatan
- Albendazol 400mg
- Mebendazol 100mg
- Diltiasiamin Yodida dapat diberikan dengan
dosis 10-15 mg/ kg
- Stilbazium Yodida dapat diberikan dengan
dosis 10 mg/kg berat badan/hari
- Heksiresorsinol 0,2% dapat diberikan 500 ml
4. Oxyuris vermicularis

Hospes • Manusia
• Cacing betina berukuran 8-13 mm x 0,4 mm.
• Cacing jantan berukuran 2-5 mm bentuknya seperti
tanda Tanya (?)
• Cacing betina yang gravid mengandung 11.000 -
Morfologi 15.000 butir telur
• Kopulasi cacing jantan dan betina mungkin terjadi
di sekum.
• Cacing jantan mati setelah kopulasi dengan cacing
betina. Sedangkan cacing betina mati setelah
bertelur

• pruritus lokal
• pruritus ani
Gejala klinis • Cacing betina gravid mengembara dan dapat
bersarang di vagina dan di tuba fallopii se-
hingga menyebabkan radang di saluran telur.
Daur hidup
• Pengobatan
- Mebendazol dosis tunggal 500 mg
- Albendazol dosis tunggal 400 mg
- Piperazin sitrat dosis 2 x 1 g/ hari selama 7 hari
- Pirvium parnoat dosis 5 mg/kg berat badan
- Pirantel pamoat dapat diberikan dengan dosis 10
mg/kg berat badan sebagai dosis tunggal dan
maksimum 1 gram.
5. Strongyloides stercoralis
• Morfologi dan Daur Hidup
hidup sebagai parasit di vilus duodenum dan yeyunum.
Cacing betina berbentuk filiorm, halus, tidak berwarna
dan panjangnya 2 mm
• berkembang biaknya diduga secara parlenogenesis.

• Siklus langsung
Sesudah 2-3 hari di tanah, larva rabditiform →larva
filariform →menembus kulit manusia, larva tumbuh,
masuk ke dalam peredaran darah vena, →antung kanan
sampai ke paru→alveolus→rakea dan laring. Sesudah
sampai di laring trjadi refleks batuk, sehingga parasit
tertelan, kemudian sampai di usus halus bagin atas dan
menjadi dewasa. Cacing betina yang dapat bertelur
ditemukan ± 28 hari sesudah infeksi.
• Siklus tidak langsung
Siklus langsung sering terjadi di negeri yang lebih dingin
dengan keadaan yang kurang menguntungkan untuk parasit
tersebut.

• Autoinfeksi
Larva rabditiform kadang-kadang menjadi larva filariform di
usus atau di daerah sekitar anus (perianal). Bila larva
filariform menembus mukosa usus atau kulit perianal, maka
terjadi daur perkembangan di dalam hospes. Autoinfeksi
dapat menyebabkan strongiloidiasis menahun pada penderita
yang hidup di daerah nonendemik.

• Gejala klinis: creeping eruption


6. Toxocara canis dan Toxocara cati
• Toxocara canis jantan mempunyai ukuran panjang
3,6 cm- 8,5 cm, betina 5,7 - 10,0 cm,
• Toxocara cati jantan 2,5-7,8 cm, yang betina 2,5-14,0
cm. Bentuknya menyerupai Ascaris lumbricoides
muda.

Morfologi • Toxocara canis terdapat sayap servikal yang


berbentuk seperti lanset
• Toxocara cati bentuk sayap lebih lebar, sehingga
kepalanya menyerupai kepala ular kobra. Bentuk
ekor seperti tangan dengan jari yang sedang
menunjuk (digitiform), sedangkan yang betina
ekornya bulat meruncing. (Widoyono, 2008)

Gejala • perdarahan, nekrosis, dan peradangan yang

klinis didominasi oleh eosinofil.


• Siklus Hidup
• Telur yang keluar bersama tinja anjing atau
kucing akan berkembang menjadi telur infektif
di tanah yang cocok. Telur tertelan manusia
(hospes paratenik) kemudian larva menembus
dinding usus dan ikut dalam peredaran darah
menuju organ tubuh (hati, jantung, paru, otak
dan mata). Di dalam orang larva tersebut tidak
mengalami perkembangan lebih lanjut.
(Widoyono, 2008)
Protozoa

Pengertian Protozoa : Berasal dari bahasa Yunani, yaitu protos


artinya pertama dan zoon artinya hewan. Protozoa dapat
melakukan reproduksi seksual (generatif) maupun aseksual
(vegetatif).
Kelas
Protozoa

Rhizopoda Sporozoa

Ciliata Mastigophora
Rhizopoda

Entamoeba
histolytica

Morfologi Patologi

Daur Gejala
Hidup Klinis
• Kista matang tertelan
• Kista tiba di lambung masih
dalam keadaan utuh (karena
dinding kista tahan asam
lambung)
• Rongga terminal usus halus
(dinding kista dicerna)
• Terjadi ekskistasi
• Keluarlah stadium trofozoit
dan masuk ke rongga usus
besar
• Stadium trofozoit mengikuti
aliran darah dan menyebar ke
jaringan hati, paru, otak, kulit
dan vagina dan ada juga yang
keluar bersama tinja.
Naegleria
fowleri

Morfologi Patologi

Daur Gejala
Hidup Klinis
Amuba ini memasuki tubuh
melalui hidung, biasanya ketika
orang sedang berenang di bawah
air atau menyelam. Dari hidung,
amuba ini menjalar ke serat saraf,
melewati tengkorak, dan
memasuki otak. Naegleria ini
menyukai kehangatan otak dan
akan berkembang biak hingga
suatu hari, biasanya hanya dalam
waktu tiga hingga tujuh hari,
korbannya tewas.
Agen soil transmiited secara tidak
langsung
Taeniasis
Definisi
• Taeniasis atau penyakit cacing pita ialah infeksi
pada manusia oleh cacing pita dewasa yang
tergolong dalam genus Taenia.
Taeniasis
• Etiologi
▫ Taenia solium (cacing pita babi, pork tapeworm)
dan
▫ Taenia saginata (cacing pita sapi, cattle atau beef
tapeworm).
Epidemiologi
• Di Indonesia infeksi Taenia saginata pertama
kali dilaporkan di Malang oleh Luchtman pada
tahun 1867
• Infeksi Taenia solium ditemukan pertama kali
di Kalimantan Barat oleh Bonne pada tahun
1940.
Patogenenis
• Sistiserkosis adalah infeksi bentuk larva Taenia
solium pada manusia.
• Neurosistiserkosis adalah sistiserkosis pada
susunan saraf pusat
Usus:
Telur/larva
•Menetes
•menembus

Peredaran
darah

Susunan saraf
Mata otot
Jaringan pusat
tubuh jaringan
subkutan Neurosistiserkosis
Gejala klinis
• keluarnya proglotid dalam • diare (3%)
tinja (91%) • Eosinofilia (kadang-kadang)
• Perut berbunyi (91%), • Mual (17%),
• Mengantuk (57%), • Sakit perut (11%)
• Badan lemah (17%),
Pengobatan
• Prazikuantel dosis tunggal 10 mg/kgBB
• Niclosamide Dosis adalah 2 gram (4 tablet @
500 mg) sekali makan atau diberikan 1 gram
dengan jarak 1 jam, pagi-pagi pada waktu perut
kosong. Tablet harus dikunyah sebelumnya,
kemudian diminum dengan sedikit air
• Albendazol dosis 400 mg peroral dua kali sehari
selama 8-30 hari
• Mebendazol dosis 600 mg-1200 mg/ hari
selama 3-5 hari
• Paromomisin dosis 75 mg/kg BB (maksimum 4
gram)
Pencegahan
• Menghilangkan sumber infeksi dengan
mengobati pasien taeniasis
• Pendidikan kesehatan, terutama dalam
pembuangan kotoran (tinja) yang sembarangan
• kebiasaan memakan daging yang tidak dimasak
dengan sempurna.
Leptospirosis
• Penyakit zoonosis yang disebabkan oleh
Leptospira.
• Pertama kali ditemukan oleh Weil (1886)
Etiologi

• Genus Leptospira, famili treponemateceae


• Panjang : 5-15 μm, lebar : 0,1-0,2 μm
• Spiral sangat halus
• Pergerakan rotasi aktif tanpa adanya flagela
• Pergerakan leptospira  mikroskopi lapang
pandang gelap
• Genus Leptospira terdiri dari 2 spesies :
L. interrogans (patogen)
L. biflexa (nonpatogen)
• Lebih dari 250 serovars yang tergabung dalam
23 serogroup
Epidemiologi
• Terbanyak di daerah tropis

• Indonesia :
DKI, Jabar, Jateng, DI Yogya, Lampung, Sumsel,
Bengkulu, Riau, Sumbar, Sumut, Bali, NTB, Sulsel,
Sulut, Kaltim dan Kalbar.

• Vektor : anjing, babi, lembu, kuda, kucing, marmut,


tupai, musang, kelelawar dan binatang pengerat lain

• Tikus : vektor utama L. icterohemorhoagica


Penularan
• Hewan karier  ekskresi leptospira di dalam
urine secara intermiten atau kontinyu
• Infeksi pada manusia :
Kontak tidak langsung : kontak dengan air, atau
tanah, lumpur yang telah terkontaminasi
• Infeksi terjadi terutama bila terdapat luka/ erosi
pada kulit atau selaput lendir.
PATOGENESIS
Luka/ aberasi
Leptospira Mukosa membranosa atau konjungtiva
aerosol inhalation dari microscopic droplets
Ingesti

Masuk ke sirkulasi

migrasi spirochetes ke dalam organ dan jaringan

Gejala klinis
3 mekanisme
Pathogenic leptospires

1) Direct invasion 3) Immunological


-Enzymes reactions
-Cytotoxic factors

2) Nonspecific inflammatory
effects
• mediators
• cytokines
• oxygen radicals
• complemen activation
• intravascular haemolysis
• intravascular coagulation

Compromised microcirculation

Tissue injury
Pengobatan
Indication Compound Dosage
Chemoprophylaxis Doxycycline 200 mg PO orally once
per week

Treatment of mild Doxycycline 100 mg bid PO


leptospirosis
Ampicillin 500–750 mg q6h PO

Amoxicillin 500 mg q6h PO

Treatment of moderate Penicillin G 1.5 MU IV q6h


to severe leptospirosis
Ceftriaxone 1 g IV q24h

Ampicillin 0.5–1 g IV q6h


Pencegahan
Vaksinasi terhadap hewan-hewan tersangka
reservoar
Antraks
Pendahuluan

• Penyakit zoonosis
• Bacillus anthraxis :
- ditularkan ke manusia melalui kontak binatang atau
bahan
dari binatang yang terkontaminasi
- Antraks = batu bara  lesi nekrotik berwarna hitam
seperti
batu bara.
Etiologi
Bacillus anthraxis :

• Gram (+), non motil,


• membentuk spora yang bertahan di lingkungan aerobik
selama bertahun-tahun, tahan kering dan temperatur tinggi.

• Mikroskopik :
- membentuk rantai panjang, paralel menyerupai gerbong
barang
- spora berbentuk oval dan terletak sentral atau parasentral
Bacillus anthraxis
Patogenesis

• Spora masuk melalui kulit, saluran cerna atau saluran


nafas didalam makrofag akan bertahan hidup

• Virulensi  ditentukan oleh 3 exotoxin (plasmid X01) :


Protective antigen (PA), Edema factor (EF) dan Lethal
factor (LF) dan antiphagocytic polidiglutamic acid
capsule (pX02)

• Strain yang hanya memiliki salah satu dari kedua


plasmid tsb  tidak virulen
Patogenesis
Cutaneus antraks :
• Spora masuk melalui kulit yang luka  jaringan
subkutan  berubah menjadi bentuk vegetatif &
bermultiplikasi  mengeluarkan eksotoksin dan
material kapsul antifagositik  edema & nekrosis
jaringan.
• kuman akan difagosit oleh makrofag  KGB 
perdarahan, edema & nekrosis
• kuman masuk peredaran darah  pneumonia,
meningitis dan sepsis.
Spora Anthraks
Patogenesis
Inhalation antraks :
• Inhalasi spora  alveoli  fagositosis oleh makrofag 
KGB mediastinum  germinasi  eksotoksin 
limfadenitis dan mediastinitis hemoragis
• Kapiler paru  trombosis, gagal nafas, pneumonia, efusi
pleura
• Bakteriemia  meningitis hemoragis
• Penyebab kematian : gagal nafas, syok dan edema paru
Inhalation anthraxs
Patogenesis
Intestinal antraks :
• Spora yg masuk melalui mulut  orofaringeal antraks.
• Terjadi edema, perdarahan mukosa usus, limfadenopati
mesenterika, asites hemoragis dan sepsis
Manifestasi Klinis
• 3 jenis manifestasi klinis :
Cutaneus anthraxs
• 90 % kasus
• Masa inkubasi : 1-7 hari
• Lesi berbentuk papula kecil dan gatal  vesikel yang
tidak nyeri dan berisi cairan serosanguenus

Inhalation anthraxs
• 5% kasus
• Masa inkubasi 1-5 hari, dapat sampai 60 hari
• Gambaran bifasik : fase initial (ringan)  fase kedua
yang lebih berat ( sesak nafas, sianosis, stridor, syok)
Manifestasi Klinis
Gastrointestinal anthraxs
• Masa inkubasi 2- 5 hari
• demam, nyeri perut, muntah darah, melena, perforasi
usus
• Angka kematian 25-60%
Diagnosis
• Riwayat pekerjaan dan kontak
• Laboratorium :
Lekosit normal atau sedikit Î, dominasi PMN
• Rontgen Thorax : pelebaran mediastinum
• Cairan pleura & CSF : hemoragis
• Gram dan kultur :
lesi kulit, apus tenggorok, efusi pleura, cairan asites, CSF
kuman gram positif
• Serologis :
indirect hemaglutinin, ELISA, FA  kenaikan titer 4
kali.
Terapi
Cutaneus anthraxs :
• Penicillin G : 4 x 4 juta unit
• Tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin
Terapi kombinasi :
• Ciprofloxacin 2x500 mg atau doksisiklin 2x100 mg +
klindamisin 3 x 900 mg dan/ Rifampin 2 x 300 mg.
Terapi lain :
• imipenem dan vancomycin
Lama terapi :
• Cutaneus anthraxs : 7-10 hari
• Inhalasi & GI : 14 hari
Program eliminasi soil transmitted
• Sediakan fasilitas jamban yang memadai
• Jarak lubang kotoran ke sumur sekurang-kurangnya
10 meter
• Letak lubang kotoran lebih rendah daripada letak
sumur agar air kotor dari lubang kotoran tidak
merembes dan mencemari sumur.
• Sumber air (sumur), konstruksinya baik dan
memenuhi syarat, perlu diperhatikan saat membuat
sumur, jarak minimal dari sumber air kotor (septick
tank, sumur resapan, saluran air kotor yg tidak
kedap air) adalah 7 meter, agar sumur tidak
tercemar
• Penyediaan air bersih
• Kebiasaan mencuci tangan
• Higiene

Você também pode gostar