Você está na página 1de 15

ANALISIS MORFIN

OLEH :
HIMAYARI NUFUS MARYANA
1508105002
MORFIN
 Rumus: C17H19NO3
 Nama
IUPAC: (4R,4aR,7S,7aR,12bS)-
3-methyl-2,4,4a,7,7a,13-
hexahydro-1H-4,12-
methanobenzofuro[3,2-
e]isoquinoline-7,9-diol
 Massa molar: 285,34 g/mol
 Titik lebur: 255°C
 Larut dalam: Air
 Morfin adalah alkaloid analgesik yang sangat kuat dan
merupakan agen aktif utama yang ditemukan pada opium.

 Morfin bekerja langsung pada sistem saraf pusat untuk


menghilangkan rasa sakit.

 Dalam dunia kedokteran morfin merupakan analgesik


narkotik yang bisa digunakan dalam operasi dan biasanya
digunakan para tentara dimedan perang yang terkena
tembakan pistol ataupun terkena tusukan benda tajam yang
dengan terpaksa dalam keadaan darurat digunakan untuk
menahan rasa sakit yang sangat berat.
 Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya)
relatife selektif, yakni tidak begitu mempengaruhi unsur
sensoris lain, yaitu rasa raba, rasa getar (vibrasi),
penglihatan dan pendengaran ; bahakan persepsi nyeripun
tidak selalu hilang setelah pemberian morfin dosis terapi

 Efek analgesik morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme ;


(1) morfin meninggikan ambang rangsang nyeri ; (2) morfin
dapat mempengaharui emosi, artinya morfin dapat
mengubah reaksi yang timbul di korteks serebri pada
waktu persepsi nyeri diterima oleh korteks serebri dari
thalamus ; (3) morfin memudahkan tidur dan pada waktu
tidur ambang rangsang nyeri meningkat.
 Morfin merupakan agonis reseptor opioid,
dengan efek utama mengikat dan mengaktivasi
reseptor µ-opioid pada sistem saraf pusat.
Aktivasi reseptor ini terkait dengan analgesia,
sedasi, euforia, physical dependence dan
respiratory depression. Morfin juga bertindak
sebagai agonis reseptor κ-opioid yang terkait
dengan analgesia spinal dan miosis
FARMAKODINAMIK
 Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat
dan organ yang mengandung otot polos. Efek
morfin pada system syaraf pusat mempunyai dua
sifat yaitu depresi dan stimulasi. Digolongkan
depresi yaitu analgesia, sedasi, perubahan emosi,
hipoventilasi alveolar. Stimulasi termasuk
stimulasi parasimpatis, miosis, mual muntah,
hiperaktif reflek spinal, konvulsi dan sekresi
hormon anti diuretika
FARMAKOKINETIK
 Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi
dapat menembus kulit yang luka. Morfin juga dapat
menembus mukosa. Morfin dapat diabsorsi usus,
tetapi efek analgesik setelah pemberian oral jauh
lebih rendah daripada efek analgesik yang timbul
setelah pemberian parenteral dengan dosis yang
sama. Morfin dapat melewati sawar uri dan
mempengaruhi janin. Ekskresi morfin terutama
melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas
ditemukan dalam tinja dan keringat.
ANALISIS MORFIN DENGAN KLT
 Pembuatan Larutan Baku 0.5 µg
0.5656 g Ditotolkan
Dilarutkan
morfinhidrok
dengan 4,8,12,16,20,2
lorida akuades 4 µL
ditimbang

Pelat diangkat, Pelat dikembangkan


apabila sudah dalam bejana yang
sampai tanda dijenuhkan dengan
batas larutan pengembang

Bercak diamati
pada
spektrofotodensito
meter (λ=287 nm)
ANALISIS URIN DENGAN KLT DAN
SPEKTROFOTODENSITO

Sampel urin simulasi Dianlisis dengan


diekstraksi dengan KLT-
pelarut terpilih Spektrofotodensito
PEMBAHASAN
 Ke dalam 5 mL sample urin ditambahkan asam
fosfat sampai pH 3, kemudian diekstraksi
dengan 2x15 mL eter. Ke dalam lapisan air
ditambahkan ammonia sampai pH 8 dan
diekstraksi dengan 2x5 mL kloroform. Lapisan
air berikutnya ditambah asam klorida pekat
sampai pH 3, kemudian dipanaskan 100oC
selama 30 menit. Setelah larutan didinginkan
kemudian diekstraksi kembali dengan 2x5 mL
eter. Lapisan air hasil ekstraksi ditambah NaOH
sampai pH 9, lalu diekstraksi dengan etilasetat-
isopropanol (9:1). Lapisan organik hasil ekstraksi
diuapkan sampai kering kemudian ditambah 5
mL metanol.
Data jumlah yang ditotolkan vs luas puncak morfin
Jumlah (ng) Puncak
20 101.3
40 227,4
60 477,4
80 512,7
100 718,5
120 948,2
140 1045,6
 Berdasarkan perhitungab diperoleh nilai regresi
sebesar y=-69.21 + 8.06x dengan r sebesar 0.992
 Penggunaan kloroform untuk mengekstraksi
morfin ternyata kurang baik, mengingat
kelarutan etilasetat dalam air adalah 1: 15
sedangkan kelarutan kloroform dalam air adalah
1: 200
 Penambahan isopropanol (9:1) pada etilasetat
menjadikan morfin yang berada pada keadaan
isoelektrik menjadi lebih banyak tertarik ke
dalam fase organik tersebut.
 Batas perhitungan ternyata bahwa morfin
mempunyai batas deteksi 18,02 ng, sedangkan
berdasarkan percobaan yang dilakukan diperoleh
batas deteksi sebesar 15 ng.
 Persentase perolehan kembali kadar morfin
dalam urin simulasi adalah 92,31 ; 93,14 ; dan
89,68 % dengan simpangan baku dan koefisien
variasi masing-masing sebesar 2,55 dan 2,78.
KESIMPULAN
 Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan
bahwa pelarut pengembang yang sesuai untuk
morfin adalah toluena:aseton:etanol:amonia
dengan perbandingan 45:45:7:3 dan panjang
gelombang maksimum adalah 287 nm.
 Persamaan garis regresi morfin diperoleh y = -
69,21 + 8,06x dengan r =0,992 dengan jumlah
morfin yang ditotolkan secara seri
20,40,60,80,100, dan 120 ng.
 Batas deteksi adalah 18,02 ng dan perolehan
kembali morfin sebesar 90,91 %.
TERIMAKASIH
ADA PERTANYAAN?

Você também pode gostar