Você está na página 1de 109

Irsalina Nurul Putri (1606861681)

Putri Syahida Agustina (1606861725)


Silma Kaaffah (1606949035)
Farida Fakhrunisa (1606965562)
Nisha Virginia (1606965631)
Pingkan Christine (1606965650)
ADR TIPE A : Contoh ADR terkait
farmakokinetika obat
Contoh 1: Tetrasiklin dan senyawa
turunannya

Tetrasiklin dan senyawa


turunannya
Dampak: perubahan
(Minosiklin)membentuk
warna (kuning, abu2,
khelat dengan jaringan
coklat)
yang sedang berkalsifikasi
(gigi, tulang n tl. rawan)

Sánchez, A. R., Rogers, R. S., & Sheridan, P. J. (2004). Tetracycline and other tetracycline-derivative staining
of the teeth and oral cavity. International Journal of Dermatology, 43(10), 709–15.
http://doi.org/10.1111/j.1365-4632.2004.02108.x
Contoh 2 : Diklofenak

 Diklofenak adalah NSAID lain mampu menginduksi secara langsung

kerusakan hati melalui kerusakan pada organel subselular atau melalui

pembentukan metabolit benzoquinone imine.

Dolores B. Njoku. 2014. Drug-Induced Hepatotoxicity: Metabolic, Genetic

and Immunological Basis.Int. J. Mol. Sci. 2014, 15, 6990-7003;

doi:10.3390/ijms15046990
Contoh3: fenitoin & Carbamazepin

 Metabolit dari fenitoin dan carbamazepine mengikat secara kovalen


makromolekul dalam sel, dan kemudian menyebabkan kematian sel
baik dengan efek toksik langsung pada sel induk atau dengan
menyebabkan kematian limfosit yang terlibat dalam mengatur
hematopoiesis (Drug induced aplastic anemia).
Contoh 4: siklofosfamid (Drug Induces
Hemorrhagic cystitis)
Hemorrhagic cystitis:
Drug induced hemorrhagic inflamasi dari kandung ADR  akut, kronik
cystitis  Kemoterapi kemih akibat infeksi atau (peningkatan fibrosis
Golongan Oxazaphosphorine non infesik yang dinding kandung kemih) &
(Ex: siklofasmid) menyebabkan pendarahan delayed
dari mukosa kandung kemih

Siklofosfamid:
Genitourinary: Severe,
Toksisitas bergantung dosis:
potentially fatal, acute Onset hematuria: dalam 48
kejadiannya 2 – 40%
hemorrhagic cystitis or jam pemberian obat
(siklofosfamid)
urinary fibrosis (7% to 40%)
(DIH 17th ed.)
Mekanisme
Cont’d

Membentuk fosforamid mustard (metabolit aktif) dan akrolein


(tidak ada aktivitas antitumor & toksik terhadap urotelium)

Kandung kemih (reservoir urin)  paling rentang  urotelium


kontak terlalu lama dengan akrolein

Akrolein menyebabkan pelepasan mediator inflamasi, (seperti


alfa tumor necrosis factor, beta interleukin-1, nitrit oksida
endogen) yang menyebabkan edema mukosa kandung kemih,
dilatasi vakular dan peningkatan kerentanan kapiler 
haemorrhage
Management Hemorrhagic cystitis
Penghentian Obat

Penurunan dosis kemoterapi

Continuous bladder irrigation (CBI): Hidrasi dan


forced diuresis

Pemberian mesna (natrium 2-merkaptoetan


sulfonat)
• Mesna (rantai sulfhydryl) secara cepat di ekskresikan oleh
saluran kemih dimana rantai sulfhydryl mesna membentuk
kompleks dengan rantai terminal metil dari akrolen sehingga
membentuk thioeter nontoxic
ADR TIPE B : Reaksi
Hipersensitivitas
Mediator
Reaksi Mekanisme
Sinonim kerusakan jaringan Contoh
hipersensitivitas imunologi
dan inflamasi

Tipe 1 Immediate Dimediasi oleh obat – Produk vasoaktif dari Anaphylaxis, urtikaria,
Hypersenditivity antibody spesifik IgE sel mast / basofil angioderma

Tipe 2 Antibody mediated Dimediasi oleh obat – Komplemen Vasculitis


cytotoxic antibody spesifik IgM
hypersensitivity dan IgG
Tipe 3 Immune complex Dimediasi oleh obat – Komplemen Serum sickness
mediated hypersensitivity antibody spesifik IgM vasculitis
dan IgG
Tipe 4 Cell-mediated Obat – spesifik reaksi Lymphokines dan Sensitivitas kontak,
hypersensitivity limfosit T monokine ruam makulopapular,
erupsi morbiliformis,
erupsi obat tetap,
Reaksi photodrug,
dermatitis eksfoliatif,
eritema multiforme, SJS,
toxic
epidermal necrolysis.
Gambar simpelnya :
Gambar dan Mekanismenya
Adverse Drug Reaction Type C

Penggunaan Kortikosteroid Jangka Panjang


TIPE C

 Tipe C  chronic reactions, Kejadian ADR yang


terkait penggunaan obat jangka panjang 
akumulasi dosis
 Contoh  Penekanan Hypotalamus – pituitary –
adrenal karena penggunaan kortikosteroid dalam
jangka panjang.
 Kortikosteroid adalah analog sintetis dari hormon steroid alami yang
dihasilkan oleh korteks adrenal. Seperti hormon alami, senyawa sintetik
memiliki sifat glukokortikoid (GC) dan / atau sifat mineralokortikoid.

 Mineralokortikoid mempengaruhi transportasi ion dalam sel epitel tubulus


ginjal dan terutama yang terlibat dalam regulasi elektrolit dan
keseimbangan air.

 Glukokortikoid, sebagian besar terlibat dalam metabolisme karbohidrat,


lemak dan protein, dan memiliki anti-inflamasi, imunosupresif, anti-
proliferasi, dan efek vasokonstriksi.
Pada tubuh manusia terdapat 2 kelenjar adrenal, masing-masing terdapat diatas ginjal dalam
suatu kapsul lemak. Kelenjar Adrenal terdiri dari 2 bagian :

 Bagian (lapisan) luar yang menyusun korteksadrenal mengeluarkan berbagai hormon


steroid.

 Bagian dalam yaitu medula adrenal yang mengeluarkan Katekolamin.

Korteks Adrenal (Adrenocortcosteroid)

 Korteks adrenal merilis sejumlah besar steroid ke dalam sirkulasi.

 Steroid-steroid hormon dapat diklasifikasi menjadi: steroid yang memiliki efek penting
dalam metabolisme perantara (glucocorticoid), steroid yang mempunyai aktivitas utama
pada retensi garam (mineralocorticoid), dan steroid yang memiliki aktivitas
(androgenic atau estrogenic).

 Pada manusia, glucocorticoid utama adalah cortisol (Kortisol) dan Mineralocorticoid


yaitu aldosterone. Secara kuantitatif Androgenic dan esterogenic
adalah dehydroepinndrosterone (DHEA).
Korteks Adrenal mempunyai 3 lapisan berbeda, 3 lapisan kita
sinonimkan dengan sebuah zona yakni :

 Zona glomerulosa  Mensekresi mineraloskortikoid (Aldosteron)

 Zona fasikulata  Mensekresi Glukokortikoid (kortisol) dan


sejumlah kecil androgen dan esterogen adrenal. Sekresi keduanya
di atur oleh sumbu hipotalamus-hipofisis (HP axis) lewat hormon
adrenokotikotropik (ACTH).

 Zona retikularis  Mensekresi Androgenic dan esterogenic


Hipotalamus-hipofisis-adrenal Axis

 HPA axis adalah bagian utama dari sistem neuroendokrin yang


mengontrol reaksi terhadap stres dan memiliki fungsi penting dalam
mengatur berbagai proses tubuh seperti pencernaan, sistem kekebalan
tubuh, suasana hati, emosi, seksualitas, dan
penyimpanan penggunaan energi.
Elemen-elemen kunci dari HPA axis adalah:

 Paraventrikular dari hipotalamus, yang berisi neuron neuroendokrin yang mensintesis


dan mengeluarkan vasopresin serta corticotropin-releasing hormon (CRH).

 Secara khusus, CRH dan vasopresin merangsang sekresi


hormon adrenokortikotropik (ACTH). ACTH bekerja pada adrenal korteks yang
menghasilkan hormon glukokortikoid (terutama kortisol pada manusia) dengan
stimulasi ACTH.

 CRH dan vasopresin bertindak sinergis untuk merangsang sekresi ACTH yang tersimpan
dari sel corticotrope. ACTH diangkut oleh darah ke korteks adrenal kelenjar adrenal,
di mana ia cepat merangsang biosintesis kortikosteroid dari kolesterol.

 Kortisol memiliki efek pada banyak jaringan dalam tubuh, termasuk pada otak. Di
otak, kortisol bekerja pada dua jenis reseptor – reseptor mineralokortikoid dan
reseptor glukokortikoid, termasuk pada berbagai jenis neuron. Salah satu target
penting dari glukokortikoid adalah hippocampus, yang merupakan pusat pengendali
utama dari HPA axis.
 Kortikosteroid berfungsi dalam proses glukoneogenesis di hati, lipolisis
dan mobilisasi asam amino (sebagai subtrat untuk glukoneogenesis).
Serta menghambat/inhibisi ambilan glukosa diotot dan jaringan
adipose.

 Sedangkan untuk efek anti-inflamasinya, efek tersebut terjadi melalui


penekanan pembentukan berbagai mediator inflamasi (fosfolipase A,
cyclooxiginase, degranulasi sel mast), menghambat fungsi makrofag
dan bekerja dalam inflamasi akut maupun kronik.
Efek Kortikosteroid
Efek Antiinflamasi
Ada dua kategori efek toksik akibat dari pemakaian glukokortikoid:
 Akibat penghentian terapi steroid
 Akibat penggunaan dosis tinggi ( suprafisiologis ) dan lama

Akibat yang bisa terjadi pada penghentian terapi steroid adalah kambuhnya
kembali penyakit yang sedang diobati, yang paling berat adalah insuffisiensi
adrenal akut akibat penghentian terapi mendadak setelah terapi steroid yang
lama sehingga pada akhirnya terjadi supresi aksis HPA (Hypothalamus-Pituitary-
Adrenal) yang tidak dapat segera berfungsi dengan baik terdapat variasi dari
tiap individu mengenai berat dan lama supresi adrenal sesudah terapi
kortikosteroid sehingga sulit menentukan resiko relatif untuk terjadinya krisis
adrenal pada tiap individu.
Efek yang berhubungan dengan penggunaan
kortikosteroid jangka panjang

 Osteoporosis dan fraktur;


 HPA-axis suppression;
 Cushingoid appearance and weight gain;
 hyperglycemia/diabetes;
Osteoporosis dan fractures
 Glukokortikoid menunjukkan stimulasi aktivitas osteoklastik (6-12 bulan
pertama terapi), diikuti oleh penurunan dalam pembentukan tulang
dengan menekan aktivitas osteoblastik dalam sumsum tulang,
penurunan rentang hidup dan fungsi osteoblas, dan mempromosikan
apoptosis osteoblas dan osteosit.

 Sebuah meta-analisis dari 80 penelitian pada orang dewasa menemukan


bahwa penggunaan ≥5 mg / hari prednisolon (atau setara) dikaitkan
dengan pengurangan yang signifikan dalam kepadatan mineral tulang
(BMD) dan peningkatan risiko patah tulang dalam waktu 3 sampai 6
bulan inisiasi pengobatan;
Adrenal suppression

 Adrenal suppression (AS) mengacu pada penurunan atau tidak memadainya


produksi kortisol yang dihasilkan dari paparan glukokortikoid eksogen yang
berpengaruh pada HPA axis.
 Durasi terapi GC dan dosis pengobatan GC bukan merupakan faktor prediktor
pada pasien akan mengalami AS. AS telah dibuktikan setelah penggunaan 5
hari dari dosis terapi yang tinggi. Hal ini penting untuk mengetahui bahwa
inhalasi, topikal dan intraokular GC juga dapat diserap secara sistemik dan
dapat menyebabkan AS.
 Hipotalamus mensekresikan CRH yang merangsang pelepasan ACTH dari
hipofisis anterior.
 ACTH menyebabkan pelepasan kortisol dari zona fasciculata kelenjar
adrenal, yang pada gilirannya menggunakan umpan balik negatif pada rilis
CRH dan ACTH.
 Administrasi eksogen Glukokortikoid bahkan dalam dosis kecil untuk hanya
beberapa hari mengarah ke penekanan dari HPA axis dengan menurunkan
sintesis dan sekresi CRH dan dengan memblokir ACTH releasing oleh CRH
pada hipofisis anterior.
 Akibatnya, dengan tidak adanya ACTH, korteks adrenal kehilangan
kemampuan untuk memproduksi kortisol. Namun demikian, korteks
adrenal mengembalikan kemampuan untuk mengeluarkan jumlah yang
cukup kortisol untuk beberapa periode waktu dan juga mineralocorticoids,
sebagai fungsi terakhir terutama tergantung pada sistem reninagiotensin
bukan pada ACTH.
Cushingoid appearance and weight gain
 Sindroma Cushing merupakan akibat hiperplasia adrenal bilateral yang
bersifat sekunder karena suatu adenoma pituitari tetapi kadangkala
disebabkan oleh tumor atau hiperplasia noduler di kelenjar adrenal atau
produksi ACTH ektopik oleh tumor yang lain. Manifesi yang tampak
berhubungan dengan terdapatnya glucocorticoid yang berlebih.

 terapi kortikosteroid jangka panjang sering menyebabkan kenaikan berat


badan dan redistribusi jaringan adiposa yang menghasilkan fitur Cushingoid

 Gambaran cushing bisa terjadi dalam dua bulan pertama terapi GC, dan risiko
komplikasi ini tampaknya tergantung pada dosis dan durasi pengobatan.
Glucose Homeostasis
 Pengaturan level glukosa oleh GC dipengaruhi berbagai faktor dan dapat
dijelaskan oleh beberapa mekanisme potensial termasuk induksi enzim yang
terlibat dalam glukoneogenesis hepatik, penurunan penyerapan glukosa di
jaringan perifer, stimulasi lipolisis, pencegahan produksi insulin dan induksi
biosintesis ceramides 'yang mengarah ke resistensi insulin.
Practical recommendations for the monitoring,
prevention and management of systemic
corticosteroid-induced adverse events
Adverse Drug Reaction Type D
Diethylstilbestrol can increase risk of developing
vaginal adenocarcinoma after puberty

 Dietilstilbestrol adalah estrogen nonsteroid sintetis yang


digunakan untuk mencegah keguguran dan komplikasi
kehamilan

 Dietilstilbestrol adalah estrogen nonsteroid sintetis yang


digunakan untuk mencegah keguguran dan komplikasi
kehamilan lainnya

 Wanita yang mengambil dietilstilbestrol selama kehamilan


memiliki risiko sedikit lebih tinggi terkena kanker payudara.
 Selain itu terdapat Efek Dietilstilbestrol bagi Anak yang dikandung

a. Anak Perempuan

 Risiko infertilitas dan risiko kemungkinan kehamilan yang merugikan


seperti kelahiran ektopik, serta adenocarsinoma.

 DES dapat menyebabkan perubahan pada epitel vagina, termasuk


adenosis (epitel kolumnar terletak di atas sepertiga dari vagina).
b. Anak Laki – laki

 Anak laki – laki yang mendapat paparan DES selama ada dalam
kandungan memiliki resiko tiga kali lebih besar mengalami kelainan
struktur genitas daripada yag tidak terkena paparan.

 Kelainan yang sering terjadi yaitu epididymal cysts (kista epididimis,


undescended testes, and small testes.

 Penelitian terbaru, paparan DES pada bayi laki – laki menyebabkan


kanker testis.
Thalidomide causing phocomelia (1)
 Thalidomide marupakan obat yang memiliki ADR berupa terjadinya
Phecomelia.

 Phecomelia yaitu katiadaan anggota gerak seperti tangan (penguin –


like)

 Mekanismenya belum diketahui pasti, tetapi dimungkinkan berupa


reactive oxygen species, penghambatan angiogenesis, dan
penghambatan cereblon protein.
Thalidomide causing phocomelia (2)
 Metabolisme Thalidomid :

 5-hydroxythalidomide dimetabolisme oleh P450s 2J2, 2C18, dan 4A11 ke dihydroxythalidomide.

 Metabolisme dengan P450s menjadikan pembentukan sebuah reactive intermediate yang


memiliki sifat anti-angiogenik dan teratogenik.

 Dihydroxythalidomide merupakan metabolit utama bertanggung jawab untuk stres oksidatif


yang bisa menjadi penyebab untuk efek teratogenik
Penanganan ADR Thalidomid

 Dahulu, Thalidomid digunakan sebagai obat untuk mengatasi


mual pada Ibu hamil  penggunaannya di hentikan karena
ditemukan menimbulkan kecacatan pada bayi.

 Sebanyak 75% wanita hamil mengalami mual dan muntah untuk


beberapa derajat selama trimester pertama kehamilan. Tingkat
keparahan gejala bervariasi, dari mual ringan sampai
melumpuhkan mual dan muntah.
Penanganan ADR Thalidomid
 Penanganan awal mual muntah selama kehamilan  modifikasi gaya
hidup, konsumsi jahe atau dengan akupresur

 Rekomendasi dari American College of Obsentrician and Gynecologist


(ACOG) :

First line Piridoxine 10 – 25 mg Doxylamine 12,5 – 20 mg


1 – 4x/hari 1 – 4x/hari

Gejala (+) dimenhidrinat atau


(+) metoklopramid 5 – 10 mg
IV/jam / prometazin 12,5 – 25 mg
menetap dipenhidramin
IV / 4 jam
Phenytoin causing fetal hydantoin
syndrome

 Fetal hydantoin syndrome peratam kali dideskripsikan oleh


pada 1973 oleh Loughnan et al, tingkat kejadiannya 10 – 30 %.

 Fetal hydantoin syndrome adalah pola karakterisik cacat lahir


pada fisik dan mental akibat penggunaan fenitoin pada ibu
hamil. Keparahannya bervariasi diantaranya hipoplasie,
keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan, serta lingkar
kepala yang lebih kecil dari bayi normal seusianya.
 Hipoplasia adalah tidak sempurnanya pembentukan beberapa struktur atau
organ tubuh. Penyebabnya bisa genetik atau kesalahan selama perkembangan
janin dan, tergantung pada struktur yang terlibat, komplikasi bisa sangat
bervariasi. bentuk-bentuk tertentu dari hipoplasia dapat diobati dengan baik
dan dalam kasus lain, pengobatan akan fokus pada pengelolaan masalah
terkait dan berusaha untuk memberikan pasien kualitas hidup sebaik
mungkin.
Penanganan ADR Phenitoin
 Fenitoin merupakan salah satu obat anti epilepsi. Penggunaan pada
wanita hamil dapat menyebabkan malformasi / kecacatan janin

 Untuk penanganan epilepsi selama kehamilan  hindari penggunaan


obat fenitoin dan mengganti dengan AED lain.

a. Some of the relatively safer new AEDs: lamotrigine dan levetiracetam


(efek teratogenik lebh rendah dari fenitoin).

b. Konsumsi asam folat untuk mencegah malformasi


Perbandingan AED terhadap Malformasi
Table from North American Antiepileptic Drug Pregnancy Registry Spring 2012
ADR type E (End of Use/withdrawal)
Obat yang Menyebabkan Reaksi Henti
Obat

1 •Senyawa Opiat
2 •Glukokortikoid
Sistem Penghargaan Mesolimbik
1
Penanganan Penghentian Opiat

Gejala penghentian opiat Obat pilihan


 anxiety,  methadone,
 chills,  buprenorphine
 muscle pain (myalgia) and  alpha-2 adrenergic agonists (e.g.
weakness, clonidine and lofexidine)
 tremor,
 lethargy and drowsiness,
 restlessness and irritability,
 nausea and vomiting
 diarrhoea
Kelebihan dan Kekurangan Obat-Obat
Pilihan
 Buprenofrin
 cocok utk pemberian sekali sehari; sehingga gejala penghentian lebih
ringan dan angka penyelesaian lebih tinggi daripada α2 agonis. Tapering
selama 5 hari
 α2 agonis
 Menyebabkan durasi gejala penghentian yg lebih pendek dan onset
naltrekson lebih pendek
 Metadon
 Lebih murah dari buprenofrin dan tidak ada risiko penghentian tertunda;
cocok utk ibu hamil. Tapering selama 10 hari
Perbandingan Dosis Pemberian Obat Pilihan

Buprenofrin Klonidin Metadon


Saran pemberian  Dosis
pemberian hingga 100–300  Dosisawal 10-20 mg sehari
mcg, 3-4 x sehari, tergantung tingkat keparahan
 Hari ke 1,
ketergantungan dan derajat
 Dosis
max 10–17 mcg/kg/hari,
 6 mg toleransi terhadap opiat
penurunan setelah 2 hari pertama
 Hari ke 2, dan diselesaikan pada hari ke 4  Turunkan dosis harian 1–2 mg per
 10 mg +/- 2 mg atau 5. hari.
 Hari ke 3,  Utkpasien RI kisaran dosis awal 1–  Pasienmasih mengalami gejala
2 mcg/kg, dosis berikutnya penghentian opiat yang ringan
 10 mg +/- 2 mg
disesuaikan. dalam pekan setelah metadon
 Hari ke 4, dihentikan
 Utkpasien RJ (TD tdk dipantau),
 8 mg +/- 2 mg dosis max harian 450-900 mcg
 Hari ke 5,
 4 mg.
Perrtanyaan : Mengapa metadon digunakan
untuk terapi kecanduan opioid?

 Karena Metadon memiliki efek kecanduan yang lebih rendah daripada opioid
yang lain.

 Dilihat dari t1/2  Methadon memiliki t1/2 lebih panjang daripada Morfin.
T1/2 methadon 8 – 59 jam (penggunaan bisa sekali sehari), sedangkan Morfin
memiliki T1/2 : 2 – 4 jam (penggunaan bisa 3 – 4 kali sehari)

 Tappering off berlangsung selama kurang lebih 6 bulan.


2
Gejala, Tanda dan Mekanisme Henti
Guna Glukokortikoid
Gejala, Tanda dan Mekanisme Henti
Guna Glukokortikoid
Penanganan Penghentian Glukokortikoid

Gejala penghentian glukokortikoid:


 Malaise,
 lethargy,
 postural dizziness,
 generalised weakness,
 arthralgia,
 headaches,
 mood swings and emotional liability
Mekanisme & Durasi Gejala Penyalahgunaan
Obat & Penghentian Glukokortikoid
ADR TYPE F (FAILURE)
ADR TIPE F
Keyword
Tipe Reaksi ADR Karakteristik Contoh Manajemen
(Mnemonic)
F (Kegagalan Failure • Umum • dosis kontrasepsi • Peningkatan
Terapi yang Tidak • Dapat oral inadekuat dosis/perubahan terapi
Terduga) bergantung apabila digunakan • Pertimbangkan efek
dosis (dose- bersamaan dengan penggunaan terapi yang
related) enzim penginduksi bersamaan
• Biasa • Resisten obat
disebabkan terhadap
oleh interaksi mikroorganisme
obat
Contoh 1 : Kegagalan terapi kontrasepsi
oral akibat obat antiepilepsi
Obat Penginduksi Obat Enzim Efek Klinis
Enzim Metabolisme Mungkin

Antiepilepsi CYP3A4 inducer Kontrasepsi CYP3A4 Kehamilan


(karbamazepin, mengandung yang tidak
fenobarbital, etinil terencana
Fenitoin, felbamat, estradiol akibat
topiramat, primidon, penurunan
okskarbazepin) kadar
estradiol

Reddy, D. S. (2010). Clinical pharmacokinetic interactions between antiepileptic drugs and


hormonal contraceptives. Expert Review of Clinical Pharmacology,3(2), 183-192.
doi:10.1586/ecp.10.3
Cont’d
Antiepileptic Drugs (AED) d metabolisme utama oleh system enzim
CYP3A4 yang juga merupakan enzim primer yang memetabolisme
esterogen dan progestero

AED dapat meningkatkan aktivitas CYP3A4

Induksi system 3A4 meningkatkan metabolisme esterogenik dan


progesteronic dan menurunkan kadar sirkulasi sebesar 50%

Akibat  menurunnya efikasi kontrasepsi hormonal (baikk


pemberian oral-low dose, implant progesterone subdermal)

Enzim penginduksi CYP3A4  menurunkan kadar serum


kontrasepsi oral  kegagalan terapi
Cont’d
Management
 Penggunaan kontrasepsi non hormonal (seperti IUD, barrier methods)
sebagai metode alternative dari kontrasepsi pada wanita dengan
terapi AED

 AED generasi baru (gabapentin, levetiracetam) tidak berinteraksi


dengan OC(tidak menginduksi enzim hepatic)  dipertimbangkan
untuk wanita yang menggunakan OC
Kegagalan terapi dalam penggunaan
codeine
Codeine
 Kegagalan terapi pd pasien dapat bergantung pada profil farmakogenomik
pasien  variabilitas genetik pada proses biotransformasi obat menjadi
bentuk aktif  masalah efikasi dan keamanan

 Kodein (weak opioid)  moderate pain

 Kodein merupakan prodrug  untuk dapat memberikan efek klinis 


kodein dikonversi menjadi metabolit hidroksil aktif (morfin) yang ini
dikatalisis oleh CYP2D6

 Efikasi prodrug bergantung pada jumlah metabolit yang terbentuk

 Gen yang mengkode CYP2D6 menunjukkan polimorfisme, dengan 100


variasi alel (inter-etnik dan inter-individu)
Cont’d
 Pada fetus  aktivitas enzim CYP2D6 tidak ada atau < 1% pada dewasa

 Peningkatan pasca melahirkan  tetapi tidak lebih dari 25% untuk anak-anak
(< 5 tahun) dibandingkan pada dewasa

 Efek analgesik sangat rendah atau tidak ada pada neonates dan anak-anak
Charlton, M., & Thompson, J. (2017). Adverse drug reactions. Anaesthesia & Intensive Care
Medicine. https://doi.org/10.1016/j.mpaic.2017.01.005
Cont’d
 Frekuensi perkiraan fenotip klinis di Kaukasia:

5-10%  pemetabolis rendah

10-15%  pemetabolis sedang

65-80%  pemetabolis cepat

5-10%  pemetabolis ultra cepat

 Pada pasien pemetabolis rendah memiliki kemampuan yang


terbatas untuk mengubah kodein menjadi bentuk aktif morfin
sehingga tidak dapat mencapai efek terapi yang
menguntungkan dari obat ini  pengobatan gagal
Management ROTD

 Guideline Pain in Children (2012)  Dewasa  WHO three-steps ladder


 WHO (two-step approach)

Moderate to
Severe Pain
(strong opioid)

Mild Pain
(paracetamol
& ibuprofen)
Nussbaum, R. L., McInnes, R. R., & Willard, H. F. (2016). Application of Genomics to Medicine and Personalized
Health Care - ClinicalKey. In Thompson & Thompson Genetics in Medicine (8th ed., pp. 369–382). Philadelphia:
Elsevier.
Cont’d

 Pemetabolis rendah memiliki konsentrasi obat dlm bentuk tdk aktif (prodrug)
yg lebih tinggi dlm plasma, sehingga memerlukan dosis yg lebih rendah untuk
mencegah terjadi adverse reaction.
 Pemetabolis ultra cepat memiliki konsentrasi obat dlm plasma yg rendah (di
bwh therapeutic range), sehingga memerlukan dosis yg lebih tinggi untuk
dapat memberikan efek klinis
Contoh 2 : MEKANISME RESISTENSI
TRASTUZUMAB
Vu, T., & Claret, F. X. (2012). Trastuzumab: Updated Mechanisms of Action and
Resistance in Breast Cancer. Frontiers in Oncology, 2. doi:10.3389/fonc.2012.00062
MEKANISME NORMAL PENSINYALAN HER2
 Overekspresi atau amplifikasi gen pada HER2 ditemukan pada 20-30% kanker
payudara (subtype HER2 positive)

 Subtype HER2 positif  menempati posisi kedua kanker payudara dengan


prognosis yang buruk

 Ekspresi HER2 di epitel sel pada level rendah penting untuk perkembangan
jaringan normal

 Namun, pada sel kanker payudara  analisis imunohistokimia  level HER2


sangat tinggi , bisa mencapai hingga 2 juta reseptor per sel

 Overekspresi HER2 mengaktivasi berbagai jalur yang dibutuhkan untuk


proliferasi abnormal dari sel kanker
 Mekanisme Pensinyalan HER2

 HER2 diaktivasi dengan formasi homodimer atau heterodimer dengan protein


EGFR lain (epidermal growth factor receptor, EGFR (HER1), ErbB2 (HER2),
ErbB3 (HER3), dan ErbB4 (HERR4))

 Ikatan dimer tersebut menyebabkan autofosforilasi dan/atau trasfosforilasi


pada residu spesifik tirosin pada domain intraseluler EGFR  aktivasi tirosin
kinase seluler  aktifasi Ras/Raf/mek (mitogen-activated protein kinase),
phosphoinositide 3-kinase/Akt/mTOR (PI3K/Akt), dan phospholipase C gama
(PLC gama)/protein kinase C (PKC)  aktifiasi proliferasi, angiogenesis,
perkembangan sel dan regulasi sel

 Stimulator poten khususnya PI3K/Akt  regulator utama pada perkembangan dan


survival sel

 p27kip1  Dimer HER2 promosi mislokasi dan degradasi cepat dari siklus sel
inhibitor mengarah pada progresi sel
MEKANISME AKSI TRASTUZUMAB

 Trastuzumab: antibodi monoclonal rekombinan manusia yang secara langsung mengantagonis


domain IV dari HER2 ekstraseluler
 Mekanisme
 Degradasi HER2
 Ikatan trastuzumab pada HER2 pada docking site menyebabkan degradasi HER2

 Antibody-Dependent Cellular Cytotoxicity (ADCC)


 Trastuzumab sebagai antibody menarik sel imun menuju lokasi tumor yang megoverekspresikan HER2 dengan
mekanisme ADCC
 Natural Killer Cells dapat mentargetkan sel dengan overekspresi HER2 yang di coated dengan trastuzumab melalui
mekanisme CD16-mediated ADCC

 MAPK dan PI3K/Akt Interference


 Ikatan trastuzumab pada domain ekstraseluler dapat secara poten menekan perkembanagn sel kanker, proliferasi,
dan survival (secara langsung/tidak langsung)
 Inhibisi MAPK dan PI3K/Akt mengarah pada peningkatan siklus istirahat sel dan supresi perkembangan dan
proliferasi sel
MEKANISME RESISTENSI TRASTUZUMAB
 Latar belakang  banyak pasien pada awalnya memberikan respon setelah
pemberian trastuzumab, namun mengalami resisten dan kekambuhan, meskipun
terapi dilanjutkan
 Trastuzumab juga memiliki efikasi terbatas sebagai agen tungal, dan beberapa
pasien tidak merespon pada terapi, meskipun dengan HER2-positif
 Mekanisme
 The Steric Effects
 Mutasi structural pada protein HER2
 The alternative elevations of other tyrosine kinase receptors
 Hilangnya fungsi Peningkatan Insulin-like Growth Factor 1 receptor
(IGF1R)
 Intracellular alteration in HER2 downstreaming signalling
 Defisiensi
& kehilangan fungsi Phosphatase dan Tensin Homolog (PTEN)
dan/atau aktivasi PI3K/Akt
Management
 Tidak direkomendasikan menggunakan trastuzumab sebagai single agent pada
kanker payudara HER2 positif  digunakan secara kombinasi/bersamaan
dengan kemoterapi lain. Contoh:

 Penggunaan kombinas targeted therapy lain


 Lapatinib (inhibitor reversible aktivitas tirosin kinase dari EGFR dan HER2) bersama
trastuzumab
Contoh 3 : MEKANISME RESISTENSI
AROMATASE INHIBITOR (AI)
Miller, W. R., & Larionov, A. A. (2012). Understanding the mechanisms of
aromatase inhibitor resistance. Breast Cancer Research, 14(1).
doi:10.1186/bcr2931
AROMATASE INHIBITOR (AI)
 Umum digunakan pada subtype hormone-dependant breast cancer
(post-menopause)

 Contoh: eksemestan (steroid AI) letrozol, anastrozol (non steroid)

 Mekanisme kerja: inhibisi katalisasi konversi androgen menjadi


esterogen

 Menurunkan esterogen di sirkulasi

 Menurunkan proliferasi dan perkembangan tumor


MEKANISME RESISTENSI AI

 (A) ineffective inhibition of aromatase


 Berkaitan dengan ketidakpatuhan (potensi obat yang kurang baik, adverse PK/PD, kompensasi loop endrokrin
perubahan fenotip aromatase)
 (B) alternative sources of oestrogen/oestrogenic hormones;
 Tidak berefek pada sintesis steroid lain, adanya eksogen esterogen/esterogenik (fitoesterogen, korteks
adrenal)
 (C) inherent oestrogen insensitivity (non-functional ER);
 Stimulasi efek esterogen pada sel hormone dependent dimediasi oleh ER, oleh karena itu AI diberikan pada
pasien dengan ER positif, tetapi mengapa masih terjadi pada pasien dengan AI dan ER positif? 
nonfungsionalnya ER (reseptor abnormal berikatan dengan esterogen tp tidak memberikan sinyal)
 (D) ligand independent activation of oestrogen signaling pathways
 Melalui mekanisme lain  pensinyalan HER2  aktivasi esterogen
 (E) oestrogen signalling disconnected from tumour proliferation and growth;
 Menurunkan ekspresi gen esterogen namun tidak mempengaruhi proliferasi
 (F) enhanced cell survival and out growth of hormone-insensitive cellular clones (not illustrated).
Management
 Pemeriksaan imunohistokimia (profil ER penting), disertai dengan
pemeriksaan marker proliferasi (misalnya HER2)

 Penggantian dengan aromatase inhibitor lainnya (contoh: exemestan


 letrozol,anastrozol)

 Kombinasi terapi hormone dengan targeted therapy (lapatinib)


diberikan untuk pasien kanker payudara hormone reseptor positif dan
HER2 positif
Referensi
 Charlton, M., & Thompson, J. (2017). Adverse drug reactions. Anaesthesia & Intensive
Care Medicine. https://doi.org/10.1016/j.mpaic.2017.01.005

 Li, J., & Bluth, M. H. (2017). Henry’s Clinical Diagnosis and Management by Laboratory
Methods. (M. R. P. Richard A. McPherson, Ed.) (23rd ed.). St. Louis, Missouri : Elsevier.

 Nussbaum, R. L., McInnes, R. R., & Willard, H. F. (2016). Application of Genomics to


Medicine and Personalized Health Care - ClinicalKey. In Thompson & Thompson Genetics in
Medicine (8th ed., pp. 369–382). Philadelphia: Elsevier.

 Smith, H. S. (2009). Opioid Metabolism. Mayo Clinic Proceedings, 84(7), 613–624.

 R. Searle, P. M. Hopkins; Pharmacogenomic variability and anaesthesia. Br J Anaesth 2009;


103 (1): 14-25. doi: 10.1093/bja/aep130
Silbernagl ,S. dan Lang, F. 2000. Color Atlas of Pathophysiology; Thieme

Arshad ,SH. Holgate, ST. Adkinson, NF. Babu, KS. 2005. An Atlas of Investigation
and Management : Allergy; Clinical Publishing Oxford

Greene, RJ and Harris, ND. 2008.Pathology and Therapeutics for Pharmacist;


Pharmaceutical Press.

Manikandan, R., Kumar, S., & Dorairajan, L. N. (2010). Hemorrhagic cystitis: A


challenge to the urologist. Indian Journal of Urology : IJU : Journal of the
Urological Society of India, 26(2), 159–166. http://doi.org/10.4103/0970-
1591.65380

Lacy, F.C., et. Al (eds). 2008. Drug Information Handbook, 17th ed. USA: Lexi-
comp.
Silbernagl ,S. dan Lang, F. 2000. Color Atlas of Pathophysiology; Thieme

Arshad ,SH. Holgate, ST. Adkinson, NF. Babu, KS. 2005. An Atlas of Investigation
and Management : Allergy; Clinical Publishing Oxford
Greene, RJ and Harris, ND. 2008.Pathology and Therapeutics for Pharmacist ;
Pharmaceutical Press.
Lowenberg, D., Thorn, C. F., Desta, Z., Flockhart, D. A., Altman, R. B., & Klein,
T. E. (2014). PharmGKB summary: ifosfamide pathways, pharmacokinetics
and pharmacodynamics. Pharmacogenetics and Genomics, 24(2), 133–138.
http://doi.org/10.1097/FPC.0000000000000019

Você também pode gostar