Dokumen tersebut membahas tentang pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat setelah putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan ketentuan terkait di Undang-Undang Ketenagakerjaan. Putusan tersebut menimbulkan berbagai interpretasi dalam penerapannya oleh berbagai pihak seperti pengusaha, serikat pekerja, dan pengadilan. Hal ini menyebabkan ketidakjelasan dalam penerapan pemutusan hubungan kerja k
Descrição original:
Analisa Putusan MK No. 012/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004 terkait permohonan Pengujian Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Dokumen tersebut membahas tentang pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat setelah putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan ketentuan terkait di Undang-Undang Ketenagakerjaan. Putusan tersebut menimbulkan berbagai interpretasi dalam penerapannya oleh berbagai pihak seperti pengusaha, serikat pekerja, dan pengadilan. Hal ini menyebabkan ketidakjelasan dalam penerapan pemutusan hubungan kerja k
Dokumen tersebut membahas tentang pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat setelah putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan ketentuan terkait di Undang-Undang Ketenagakerjaan. Putusan tersebut menimbulkan berbagai interpretasi dalam penerapannya oleh berbagai pihak seperti pengusaha, serikat pekerja, dan pengadilan. Hal ini menyebabkan ketidakjelasan dalam penerapan pemutusan hubungan kerja k
Pemutusan Hubungan Kerja merupakan salah satu bentuk
Perselisihan Hubungan Industrial. Adanya suatu pelanggaran dari isi perjanjian kerja antara pihak pengusaha dengan pihak pekerja menjadi latar belakang adanya bentuk Pemutusan Hubungan Kerja. Hal ini termasuk ketika pihak pekerja melakukan suatu bentuk tindak pidana atau kesalahan berat dimana pihak pengusaha akan mengajukan Pemutusan Hubungan Kerja karena merasa pihak pekerja telah tersangkut suatu perkara pidana atau dengan kata lain adanya kesalahan berat yang dilakukan oleh pihak Pekerja atau buruh. Situasi seperti ini jelas akan berdampak pada kondisi perusahaan dan kepentingan bisnis perusahaan itu sendiri dimana akan timbul suatu bentuk konflik dan disharmonisasi hubungan kerja antara pihak pengusaha dengan pihak pekerja karena adanya bentuk Pemutusan Hubungan Kerja tersebut. Beberapa ketua organisasi serikat buruh di Indonesia mengajukan permohonan uji materiil terhadap Pasal 158, 159 dan 160 UU Ketenagakerjaan karena dianggap telah melanggar asas praduga tak bersalah (presumption of innocent). Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor: 012/PUU-I/2003, Tanggal 28 Oktober 2004 membatalkan adanya pasal 158 Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 yang memuat tentang PHK karena kesalahan berat mengingat lembaga yang paling berwenang menentukan bersalah atau tidaknya seseorang adalah Pengadilan bukan pada kewenangan pengusaha. AMAR PUTUSAN MENGADILI: 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian; 2. Menyatakan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan: • Pasal 158; • Pasal 159; • Pasal 160 ayat (1) sepanjang mengenai anak kalimat “…. bukan atas pengaduan pengusaha …”; • Pasal 170 sepanjang mengenai anak kalimat “.… kecuali Pasal 158 ayat (1), …”; • Pasal 171 sepanjang menyangkut anak kalimat “…. Pasal 158 ayat (1)…”; • Pasal 186 sepanjang mengenai anak kalimat “…. Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1)…”; bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 3. Menyatakan Pasal 158; Pasal 159; Pasal 160 ayat (1) sepanjang mengenai anak kalimat “…. bukan atas pengaduan pengusaha …”; Pasal 170 sepanjang mengenai anak kalimat “…. kecuali Pasal 158 ayat (1) …”; Pasal 171 sepanjang menyangkut anak kalimat “…. Pasal 158 ayat (1) …”; dan Pasal 186 sepanjang mengenai anak kalimat “…. Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1) …” Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 4. Menolak permohonan para Pemohon untuk selebihnya; PENERAPAN KESALAHAN BERAT SETELAH PUTUSAN MK PENGUSAHA MEDIATOR PHI • Menerapkan Pasal 158 seperti sebelum • Menolak melakukan mediasi tanpa • Menyatakan gugatan tidak dapat diterima adanya putusan MK, yakni melakukan PHK memberikan anjuran apabila belum ada apabila gugatan pemutusan hubungan kerja sepihak tanpa membayarkan pesangon dan putusan pidana. karena kesalahan berat belum memiliki penghargaan masa kerja. putusan pidana yang berkekuatan hukum • Melakukan mediasi dan menerbitkan tetap. • Hanya melaporkan tindak pidana yang anjuran, apabila dalam proses mediasi dilakukan pekerja ke Polisi sedangkan pengusaha menyatakan bersedia • Mengabulkan gugatan pemutusan proses ketenagakerjaanya di biarkan atau memberikan kompensasi sebesar 1 x hubungan kerja karena kesalahan berat menunggu putusan pidana. ketentuan pasal 156 ayat (2), (3) & (4) UU apabila kesalahan berat diatur dalam Ketenagakerjaan. perjanjian kerja atau peraturan perusahaan • Melaporkan pekerja terlebih dahulu ke atau perjanjian kerja bersama dan pengusaha polisi dan apabila di lakukan penahanan • Melakukan mediasi dan menerbitkan dapat membuktikanya dalam persidangan. setelah 6 (enam) bulan tidak dapat anjuran untuk mempekerjakan pekerja menjalankan pekerjaan atau belum 6 pada posisi semula atau melakukan • Dalam hal ini pengadilan akan memberikan (enam) bulan tetapi telah ada putusan pemutusan hubungan kerja dengan hukuman kepada pengusaha untuk bersalah dari pengadilan pidana maka memberikan kompensasi pesangon sebesar membayarkan kompensasi sebesar 1 x pengusaha menerbitkan Surat Keputusan 2 x ketentuan pasal 156 ayat (2), ketentuan pasal 156 ayat (2), (3) & (4) UU PHK sepihak sesuai Pasal 160 UU penghargaan masa kerja sesuai pasal 156 Ketenagakerjaan. Namun sebagian Ketenagakerjaan. ayat (3) & (4) UU Ketenagakerjaan pengadilan ada yang memutuskan tanpa memberikan hak pesangon dan penghargaan • Tidak melaporkan kesalahan berat pekerja masa kerja. ke polisi akan tetapi langsung melakukan proses PHK sesuai UU No. 2 tahun 2004 •Mengabulkan gugatan pemutusan tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan hubungan kerja karena kesalahan berat Industrial (bipartite, mediasi, PHI) meskipun dianggap tidak terbukti. Pada beberapa kasus hakim justru mendasarkan • Tidak melaporkan kesalahan berat pekerja alasan pemutusan hubungan kerja karena ke polisi asalkan pekerja bersedia efisiensi sebagaimana diatur dalam pasal 164 mengundurkan diri atau diakhiri hubungan ayat 3 UU Ketenagakerjaan, dan apabila kerjanya tanpa pesangon dan penghargaan pengusaha dinilai telah kehilangan masa kerja. kepercayaan dan hubungan kerja menjadi • Membuat pengakhiran hubungan kerja disharmonis maka pengusaha akan dihukum terlebih dahulu dengan pekerja setelah itu untuk membayarkan pesangon sebesar 2 x melakukan proses pidana dengan ketentuan pasal 156 ayat (2) UU melaporkan kesalahan berat pekerja. Ketenagakerjaan ANALISA Putusan MK No.012/PUU-I/2003 pada pokoknya menyatakan bahwa ketentuan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat karena dinilai telah bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, serta melanggar azas praduga tidak bersalah/preassumption of innocence. Putusan MK tersebut ditindaklanjuti oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan menerbitkan Surat Edaran Nomor: SE.13/MEN/SJ-HK/I/2005 (SE No. 13 Tahun 2005) pada 7 Januari 2005. SE No. 13 Tahun 2005 menegaskan bahwa PHK dapat dilakukan setelah ada putusan pidana yang mempunyai kekuatan hukum tetap atau apabila pekerja ditahan dan tidak dapat melaksanakan pekerjaan maka berlaku ketentuan Pasal 160 UU Ketenagakerjaan. Surat Edaran tersebut juga memunculkan istilah baru berupa “alasan mendesak” tanpa memberikan pengertian yang jelas. Pasca putusan MK tersebut muncul banyak penafsiran dan pandangan mengenai penerapan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat, seperti yang telah diidentifikasikan pada tabel Penerapan Kesalahan Berat Setelah Putusan MK diatas. Dimana dalam tabel tersebut memuat tentang beberapa penerapan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat yang dilakukan oleh berbagai pihak pasca putusan MK. Dalam praktik pekerja dan Serikat Pekerja memahami alasan PHK karena kesalahan berat tidak dapat dipergunakan lagi sebagai alasan PHK. Dalam hal PHK menggunakan alasan kesalahan berat maka berdasarkan pemahaman mereka kesalahan berat harus dibuktikan dengan putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap. Terdapat pemahaman lain mengenai penerapan PHK karena kesalahan berat, yakni alasan kesalahan berat ex pasal 158 UU No.13 tahun 2003 tidak dapat lagi digunakan sebagai alasan PHK karena oleh MK telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, begitu juga alasan mendesak yang diatur dalam Surat Edaran Nomor: SE.13/MEN/SJ-HK/I/2005 (SE No. 13 Tahun 2005) pada 7 Januari 2005, karena alasan medesak dari penelusuran pustaka adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 1603 O KUHPerdata, yang isinya identic dengan ex Pasal 158 UU No.13 tahun 2003. Alasan PHK karena kesalahan berat masih dibutuhkan oleh pengusaha dan pekerja hal ini dapat di buktikan dengan banyaknya Peraturan Perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama yang mengatur mengenai Alasan PHK karena kesalahan berat. Dalam pemahaman penulis hal ini tidak menjadi keliru, apabila Alasan PHK karena kesalahan berat tidak hanya sekedar memindahkan ex Pasal 158 UU No.13 tahun 2003 kedalam Peraturan Perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama. Perlu redefinisi terhadap alasan kesalahan berat termasuk mengubah istilah pidana menjadi istilah ketenagakerjaan. Setelah redefinisi dalam Peraturan Perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama maka harus ada pemahaman bahwa perbuatan tersebut hanya merupakan pelanggaran Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama, sehingga berlaku ketentuan Pasal 161 UU No.13 tahun 2003 yang mewajibkan Pengusaha membayar kompensasi sesuai Pasal 156 ayat (2), (3) & (4) UU No. 13 tahun 2003. Dengan pemahaman ini maka apabila terjadi pelanggaran tersebut proses PPHI harus dijalankan, artinya harus melalui perundingan bipartit, mediasi dan PHI. Berbagai pemahaman penerapan alasan PHK karena kesalahan berat telah menjadi perdebatan yang cukup lama dan berakibat pada ketidakseragaman penerapan alasan PHK karena kesalahan berat. Terbitnya SEMA Nomor 3 Tahun 2015 seharusnya telah mengakhiri perdebatan panjang atas berbagai pemahaman yang berbeda, karena butir B angka 2 huruf e menyatakan: “Dalam hal terjadi PHK terhadap pekerja/buruh karena alasan melakukan kesalahan berat ex Pasal 158 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Pasca Putusan MK Nomor 021/PUU-1/2003, tanggal 28 Oktober 2004), maka PHK dapat dilakukan tanpa harus menunggu putusan pidana berkekuatan hukum tetap (BHT).” Berdasarkan hal tersebut diatas, dapat diperoleh beberapa pemahaman bahwa : 1. SEMA ini telah membenarkan alasan PHK karena kesalahan berat dapat diproses melalui PPHI (bipartit, mediasi dan PHI) tanpa perlu mendasarkan pada putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap. 2. Apabila pengusaha telah menempuh proses pidana terhadap pekerja yang melakukan kesalahan berat, maka proses PHK melalui mekanisme PPHI tetap dapat dijalankan bersamaan dengan proses pidana tanpa harus menunggu putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap. Dikeluarkannya SEMA ini merupakan tindakan yang sudah tepat hal ini disebabkan karena alasan PHK karena kesalahan berat berawal dari hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja. Sehingga untuk menyelesaikan perselisihan yang timbul selama hubungan kerja harus melalui mekanisme PPHI. Dengan pemahaman ini alasan PHK karena kesalahan berat akan lebih baik diselesaikan dalam koridor hukum ketenagakerjaan. Proses pidana hanya perlu dilihat sebagai hak pengusaha. Artinya, apabila penyelesaian melalui koridor hukum ketenagakerjaan telah menyelesaikan perselisihan antara pengusaha dengan pekerja, maka alasan PHK karena kesalahan berat tidak perlu dibuktikan melalui peradilan pidana sebagaimana dimaksud putusan MK.
Skripsi Tentang Penanganan Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Yang Mengakibatkan Matinya Orang (Suatu Penelitiaan Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Takengon)