Você está na página 1de 12

 PENDAHULUAN

Pemutusan Hubungan Kerja merupakan salah satu bentuk


Perselisihan Hubungan Industrial. Adanya suatu
pelanggaran dari isi perjanjian kerja antara pihak
pengusaha dengan pihak pekerja menjadi latar belakang
adanya bentuk Pemutusan Hubungan Kerja.
Hal ini termasuk ketika pihak pekerja melakukan suatu
bentuk tindak pidana atau kesalahan berat dimana pihak
pengusaha akan mengajukan Pemutusan Hubungan Kerja
karena merasa pihak pekerja telah tersangkut suatu
perkara pidana atau dengan kata lain adanya kesalahan
berat yang dilakukan oleh pihak Pekerja atau buruh.
Situasi seperti ini jelas akan berdampak pada kondisi
perusahaan dan kepentingan bisnis perusahaan itu sendiri
dimana akan timbul suatu bentuk konflik dan disharmonisasi
hubungan kerja antara pihak pengusaha dengan pihak pekerja
karena adanya bentuk Pemutusan Hubungan Kerja tersebut.
Beberapa ketua organisasi serikat buruh di Indonesia
mengajukan permohonan uji materiil terhadap Pasal 158, 159
dan 160 UU Ketenagakerjaan karena dianggap telah melanggar
asas praduga tak bersalah (presumption of innocent).
Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor: 012/PUU-I/2003,
Tanggal 28 Oktober 2004 membatalkan adanya pasal 158
Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 yang memuat tentang
PHK karena kesalahan berat mengingat lembaga yang paling
berwenang menentukan bersalah atau tidaknya seseorang
adalah Pengadilan bukan pada kewenangan pengusaha.
 AMAR PUTUSAN
MENGADILI:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk
sebagian;
2. Menyatakan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan:
• Pasal 158;
• Pasal 159;
• Pasal 160 ayat (1) sepanjang mengenai anak kalimat
“…. bukan atas pengaduan pengusaha …”;
• Pasal 170 sepanjang mengenai anak kalimat “.… kecuali
Pasal 158 ayat (1), …”;
• Pasal 171 sepanjang menyangkut anak kalimat “…. Pasal
158 ayat (1)…”;
• Pasal 186 sepanjang mengenai anak kalimat “…. Pasal 137
dan Pasal 138 ayat (1)…”;
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
3. Menyatakan Pasal 158; Pasal 159; Pasal 160 ayat (1)
sepanjang mengenai anak kalimat “…. bukan atas
pengaduan pengusaha …”; Pasal 170 sepanjang mengenai
anak kalimat “…. kecuali Pasal 158 ayat (1) …”; Pasal 171
sepanjang menyangkut anak kalimat “…. Pasal 158 ayat (1)
…”; dan Pasal 186 sepanjang mengenai anak kalimat “….
Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1) …” Undang-undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4. Menolak permohonan para Pemohon untuk selebihnya;
 PENERAPAN KESALAHAN BERAT SETELAH
PUTUSAN MK
PENGUSAHA MEDIATOR PHI
• Menerapkan Pasal 158 seperti sebelum • Menolak melakukan mediasi tanpa • Menyatakan gugatan tidak dapat diterima
adanya putusan MK, yakni melakukan PHK memberikan anjuran apabila belum ada apabila gugatan pemutusan hubungan kerja
sepihak tanpa membayarkan pesangon dan putusan pidana. karena kesalahan berat belum memiliki
penghargaan masa kerja. putusan pidana yang berkekuatan hukum
• Melakukan mediasi dan menerbitkan
tetap.
• Hanya melaporkan tindak pidana yang anjuran, apabila dalam proses mediasi
dilakukan pekerja ke Polisi sedangkan pengusaha menyatakan bersedia • Mengabulkan gugatan pemutusan
proses ketenagakerjaanya di biarkan atau memberikan kompensasi sebesar 1 x hubungan kerja karena kesalahan berat
menunggu putusan pidana. ketentuan pasal 156 ayat (2), (3) & (4) UU apabila kesalahan berat diatur dalam
Ketenagakerjaan. perjanjian kerja atau peraturan perusahaan
• Melaporkan pekerja terlebih dahulu ke
atau perjanjian kerja bersama dan pengusaha
polisi dan apabila di lakukan penahanan • Melakukan mediasi dan menerbitkan
dapat membuktikanya dalam persidangan.
setelah 6 (enam) bulan tidak dapat anjuran untuk mempekerjakan pekerja
menjalankan pekerjaan atau belum 6 pada posisi semula atau melakukan • Dalam hal ini pengadilan akan memberikan
(enam) bulan tetapi telah ada putusan pemutusan hubungan kerja dengan hukuman kepada pengusaha untuk
bersalah dari pengadilan pidana maka memberikan kompensasi pesangon sebesar membayarkan kompensasi sebesar 1 x
pengusaha menerbitkan Surat Keputusan 2 x ketentuan pasal 156 ayat (2), ketentuan pasal 156 ayat (2), (3) & (4) UU
PHK sepihak sesuai Pasal 160 UU penghargaan masa kerja sesuai pasal 156 Ketenagakerjaan. Namun sebagian
Ketenagakerjaan. ayat (3) & (4) UU Ketenagakerjaan pengadilan ada yang memutuskan tanpa
memberikan hak pesangon dan penghargaan
• Tidak melaporkan kesalahan berat pekerja
masa kerja.
ke polisi akan tetapi langsung melakukan
proses PHK sesuai UU No. 2 tahun 2004 •Mengabulkan gugatan pemutusan
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan hubungan kerja karena kesalahan berat
Industrial (bipartite, mediasi, PHI) meskipun dianggap tidak terbukti. Pada
beberapa kasus hakim justru mendasarkan
• Tidak melaporkan kesalahan berat pekerja
alasan pemutusan hubungan kerja karena
ke polisi asalkan pekerja bersedia
efisiensi sebagaimana diatur dalam pasal 164
mengundurkan diri atau diakhiri hubungan
ayat 3 UU Ketenagakerjaan, dan apabila
kerjanya tanpa pesangon dan penghargaan
pengusaha dinilai telah kehilangan
masa kerja.
kepercayaan dan hubungan kerja menjadi
• Membuat pengakhiran hubungan kerja disharmonis maka pengusaha akan dihukum
terlebih dahulu dengan pekerja setelah itu untuk membayarkan pesangon sebesar 2 x
melakukan proses pidana dengan ketentuan pasal 156 ayat (2) UU
melaporkan kesalahan berat pekerja. Ketenagakerjaan
 ANALISA
Putusan MK No.012/PUU-I/2003 pada pokoknya menyatakan
bahwa ketentuan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat karena dinilai telah
bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, serta melanggar
azas praduga tidak bersalah/preassumption of innocence.
Putusan MK tersebut ditindaklanjuti oleh Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi dengan menerbitkan Surat Edaran Nomor:
SE.13/MEN/SJ-HK/I/2005 (SE No. 13 Tahun 2005) pada 7 Januari
2005. SE No. 13 Tahun 2005 menegaskan bahwa PHK dapat
dilakukan setelah ada putusan pidana yang mempunyai kekuatan
hukum tetap atau apabila pekerja ditahan dan tidak dapat
melaksanakan pekerjaan maka berlaku ketentuan Pasal 160 UU
Ketenagakerjaan. Surat Edaran tersebut juga memunculkan istilah
baru berupa “alasan mendesak” tanpa memberikan pengertian yang
jelas.
Pasca putusan MK tersebut muncul banyak penafsiran dan
pandangan mengenai penerapan pemutusan hubungan kerja
karena kesalahan berat, seperti yang telah diidentifikasikan pada
tabel Penerapan Kesalahan Berat Setelah Putusan MK diatas.
Dimana dalam tabel tersebut memuat tentang beberapa
penerapan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat
yang dilakukan oleh berbagai pihak pasca putusan MK.
Dalam praktik pekerja dan Serikat Pekerja memahami alasan
PHK karena kesalahan berat tidak dapat dipergunakan lagi
sebagai alasan PHK. Dalam hal PHK menggunakan alasan
kesalahan berat maka berdasarkan pemahaman mereka
kesalahan berat harus dibuktikan dengan putusan pidana yang
telah berkekuatan hukum tetap.
Terdapat pemahaman lain mengenai penerapan PHK karena
kesalahan berat, yakni alasan kesalahan berat ex pasal 158 UU
No.13 tahun 2003 tidak dapat lagi digunakan sebagai alasan PHK
karena oleh MK telah dinyatakan bertentangan dengan UUD
1945, begitu juga alasan mendesak yang diatur dalam Surat
Edaran Nomor: SE.13/MEN/SJ-HK/I/2005 (SE No. 13 Tahun
2005) pada 7 Januari 2005, karena alasan medesak dari
penelusuran pustaka adalah sebagaimana diatur dalam Pasal
1603 O KUHPerdata, yang isinya identic dengan ex Pasal 158 UU
No.13 tahun 2003.
Alasan PHK karena kesalahan berat masih dibutuhkan oleh
pengusaha dan pekerja hal ini dapat di buktikan dengan
banyaknya Peraturan Perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama
yang mengatur mengenai Alasan PHK karena kesalahan berat.
Dalam pemahaman penulis hal ini tidak menjadi keliru,
apabila Alasan PHK karena kesalahan berat tidak hanya sekedar
memindahkan ex Pasal 158 UU No.13 tahun 2003 kedalam
Peraturan Perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama. Perlu
redefinisi terhadap alasan kesalahan berat termasuk mengubah
istilah pidana menjadi istilah ketenagakerjaan.
Setelah redefinisi dalam Peraturan Perusahaan dan
Perjanjian Kerja Bersama maka harus ada pemahaman bahwa
perbuatan tersebut hanya merupakan pelanggaran Peraturan
Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama, sehingga berlaku
ketentuan Pasal 161 UU No.13 tahun 2003 yang mewajibkan
Pengusaha membayar kompensasi sesuai Pasal 156 ayat (2), (3)
& (4) UU No. 13 tahun 2003. Dengan pemahaman ini maka
apabila terjadi pelanggaran tersebut proses PPHI harus
dijalankan, artinya harus melalui perundingan bipartit, mediasi
dan PHI.
Berbagai pemahaman penerapan alasan PHK karena
kesalahan berat telah menjadi perdebatan yang cukup lama dan
berakibat pada ketidakseragaman penerapan alasan PHK karena
kesalahan berat. Terbitnya SEMA Nomor 3 Tahun 2015
seharusnya telah mengakhiri perdebatan panjang atas berbagai
pemahaman yang berbeda, karena butir B angka 2 huruf e
menyatakan:
“Dalam hal terjadi PHK terhadap pekerja/buruh karena
alasan melakukan kesalahan berat ex Pasal 158 UU Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Pasca Putusan
MK Nomor 021/PUU-1/2003, tanggal 28 Oktober 2004),
maka PHK dapat dilakukan tanpa harus menunggu putusan
pidana berkekuatan hukum tetap (BHT).”
Berdasarkan hal tersebut diatas, dapat diperoleh beberapa
pemahaman bahwa :
1. SEMA ini telah membenarkan alasan PHK karena kesalahan
berat dapat diproses melalui PPHI (bipartit, mediasi dan
PHI) tanpa perlu mendasarkan pada putusan pidana yang
berkekuatan hukum tetap.
2. Apabila pengusaha telah menempuh proses pidana
terhadap pekerja yang melakukan kesalahan berat,
maka proses PHK melalui mekanisme PPHI tetap dapat
dijalankan bersamaan dengan proses pidana tanpa harus
menunggu putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap.
Dikeluarkannya SEMA ini merupakan tindakan yang sudah
tepat hal ini disebabkan karena alasan PHK karena kesalahan
berat berawal dari hubungan kerja antara pengusaha dengan
pekerja. Sehingga untuk menyelesaikan perselisihan yang
timbul selama hubungan kerja harus melalui mekanisme PPHI.
Dengan pemahaman ini alasan PHK karena kesalahan berat
akan lebih baik diselesaikan dalam koridor hukum
ketenagakerjaan. Proses pidana hanya perlu dilihat sebagai hak
pengusaha. Artinya, apabila penyelesaian melalui koridor
hukum ketenagakerjaan telah menyelesaikan perselisihan
antara pengusaha dengan pekerja, maka alasan PHK karena
kesalahan berat tidak perlu dibuktikan melalui peradilan
pidana sebagaimana dimaksud putusan MK.

Você também pode gostar