Você está na página 1de 19

BAB VIII

MASYARAKAT MADANI
DAN KESEJAHTERAAN
UMAT
A. MASYARAKAT MADANI
Pemahaman tentang masyarakat madani di Indonesia
berawal pada konsep masyarakat Madinah yang
dibangun oleh Nabi Muhammad pasca hijrah. Masyarakat
Madinah yang menjadi parameter normatif historis
masyarakat madani tersebut telah melahirkan kesadaran
baru pada kaum Anshar dan Muhajirin tentang
kesetaraan (musawwah), pluralisme, dan toleransi yang
dibungkus dan disatukan dengan agama Islam yang
dibawa oleh Nabi Muhammad. Namun yang perlu diingat
bahwa Nabi Muhammad telah menanamkan nilai-nilai
religiusitas (dalam hal ini adalah agama Islam) kepada
masyarakat Madinah secara totalitas. Pemahaman
tentang kesetaraan (egalitarian) diwujudkan dengan
mengacu kepada hukum agama yang terkandung
didalam Al Qur’an dan Sunnah.
• Menurut Anwar Ibrahim yang dikutip oleh Dawam
Rahardjo dalam buku “Masyarakat Madani; Agama, Kelas
Menengah dan Perubahan Sosial”, mengatakan bahwa
untuk membentuk masyarakat madani harus dan tetap
bersumber kepada agama, peradaban adalah prosesnya
dan masyarakat kota adalah hasilnya. Jadi, masyarakat
madani mengandung tiga unsur pokok yaitu agama,
peradaban dan perkotaan.
• Menempatkan agama sebagai sumber pada masyarakat
madani merupakan suatu keniscayaan bagi masyarakat
Indonesia karena masyarakat Indonesia yang beragama,
agar pemaknaan masyarakat madani berbeda dengan
civil society yang berkembang di barat yang pada
akhirnya menimbulkan masyarakat sekular dan individual.
1. Makna Sejarah Masyarakat Madani
• Nurcholis Madjid salah seorang intelektual muslim yang
telah mempopulerkan istilah masyarakat madani dengan
mengaitkan hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekkah ke
Madinah yang sebelumnya bernama Yatsrib. Perkataan
Madinah, menurut Nurcholis Madjid, dalam bahasa Arab
dapat dipahami dari dua sudut pengertian: pertama secara
konvensional kata Madinah dapat bermakna sebagai “kota”,
dan kedua secara kebahasaan dapat diartikan sebagai
“peradaban”; walaupun di luar kata “madaniyah” tersebut,
apa yang disebut peradaban juga perpadanan dengan kata
“tamaddun” dan “hadlarah”.
• Perubahan nama kota Yatsrib menjadi Madinah, menurut
Nurcholis, pada hakekatnya adalah sebuah pernyataan niat
atau proklamasi, bahwa beliau bersama kaum Muhajirin dan
Anshar untuk mendirikan dan membangun masyarakat
berperadaban di kota tersebut.
• M. Hasyim yang memberikan kontribusi pemikiran
tentang masyarakat madani dengan menulis buku kecil
berjudul Menuju Masyarakat Madani.
• Hasyim membedakan masyarakat madani dengan
Madinah. Menurutnya, Madinah lebih dikenal dengan
pengertian kota (hadliroh) sebagai antonim dari kata
desa (albadw). Artinya, tidak semua masyarakat di kota
(al-madinah) merupakan masyarakat madani, atau
sebaliknya juga, tidak semua masyarakat yang tinggal di
desa, merupakan masyarakat tidak madani. Justru akan
menjadi kebalikannya, mungkin masyarakat perkotaan
yang menjadi masyarakat barbari dan masyarakat
pedesaan menjadi masyarakat madani. Jadi, sebutan
madani atau tidak madani bukanlah sebutan untuk suatu
wilayah, tetapi kondisi anggota masyarakat yang
memenuhi atau tidak memenuhi syarat-syarat tertentu.
• Masykuri Abdillah dalam tulisannya di harian Kompas
berjudul “Islam dan Masyarakat Madani” yang menyatakan
bahwa diantara pemahaman tentang masyarakat madani
yang dikaitkan dengan Islam tetapi menurutnya kurang
tepat adalah (1) masyarakat madani diidentikkan dengan
masyarakat Madinah pada masa Nabi, (2) masyarakat
madani disamakan dengan peran Nabi sebagai kepala
negara, (3) masyarakat madani diidentikkan dengan kelas
menengah muslim kota, (4) masyarakat madani berarti
masyarakat yang beradab, kata madani terkait dengan
madaniyah (peradaban) sama dengan civil yang berasal
dari civility (peradaban).
• Meskipun kata “Madani” menurut Masykuri lebih lanjut
dalam bahasa Arab bisa merupakan kata sifat dari kata
“Madinah” yang berarti nama sebuah kota tertentu tempat
hijrah Nabi, atau berarti kota secara umum atau berarti
peradaban.
• Thoha Hamim, dalam hal ini menangani bahwa memang
masyarakat madani sebagai terjemahan civil society
tidak terkait dengan masyarakat tertentu yaitu Madinah
sebagai sebuah wilayah dimana Nabi Muhammad hijrah.
Thoha Hamim menjelaskan bahwa masyarakat madani
yang dihubungkan dengan Madinah, karena Madinah lah
sebagai attributive atau masyarakat madani. Juga
Madinah lah Nabi Muhammad telah membangun
masyarakat yang ideal, dengan memberlakukan nilai-nilai
keadilan, prinsip kesetaraan, penegakan hukum, jaminan
kesejahteraan bagi semua warga serta perlindungan
terhadap kelompok minoritas.
• Sehingga para pemikir muslim menganggap masyarakat
Madinah sebagai prototype masyarakat ideal produk
Islam yang bisa dipersandingkan dengan masyarakat
ideal dalam konsep civil society.
• Madani berasal dari unsur kata mim, dal dan nun (‫) ن د م‬
yang kemudian menjadi “tamaddana” yang bermakna to
become civilized, menjadi sopan, beradab. Kata Madaniy
mempunyai arti civilized, sopan, beradab. Sementara
kata civil dalam susunan civil society mempunyai makna
polite, well mannered, sopan santun dan berperilaku
baik. Sehingga Hasyim memberikan pengertian
masyarakat Madani adalah :
• Masyarakat madani adalah masyarakat yang selalu
memelihara perilaku yang beradab, sopan santun,
berbudaya tinggi, baik dalam pergaulan sehari-hari,
dalam berbicara, dalam mencari kebenaran bahkan
dalam mencari rizki, mengupayakan kesejahteraan, atau
dalam menerapkan hukum dalam sanksi, sampai dalam
menghadapi konflik dan peperangan.
• Masyarakat madani adalah masyarakat yang selalu
memelihara perilaku yang beradab, sopan santun
berbudaya tinggi, baik dalam menghadapi sesama
manusia, atau alam lainnya, misalnya dalam
menyembelih binatang untuk dikonsumsi, dalam berburu,
dan lain sebagainya.
• Masyarakat madani adalah masyarakat yang selalu
memelihara perilaku yang beradab, sopan santun
berbudaya tinggi, dan ramah dalam menghadapi
lingkungannya, masyarakat dimana hubungan antara
warganya sangat harmoni, saling menghargai
kepentingan masing-masing, menyadari bahwa walaupun
masing-masing mempunyai hak bahkan hak asasi, tetapi
haknya itu dibatasi oleh hak yang dimiliki orang lain
dalam kapasitas yang sama.
2. Ciri-Ciri Masyarakat Madani
• Nurcholis Madjid mengungkapkan beberapa ciri
mendasar dari masyarakat madani yang acuannya tetap
kepada konsep masyarakat yang dibangun Nabi
Muhammad SAW di Madinah yaitu :
a. Egalitarianisme.
b. Penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi (bukan
prestises seperti kesukuan, keturunan, ras dan
sebagainya).
c. Keterbukaan Partisipasi Seluruh Anggota Masyarakat
Secara Aktif,
d. Penegakan hukum dan keadilan.
e. Toleransi dan pluralisme
f. Musyawarah
• Didalam masyarakat madani tidak terdapat marginalisasi
derajat, bahkan mereka percaya bahwa semua orang
mempunyai derajat yang sama. Inilah yang disebut
dengan egalitarianisme. Antara pemimpin dan pengikut
tidak dibedakan dalam perlakuan dan pengakuan atas
hak dan kewajiban individual maupun kelompoknya. Yang
ada dalam masyarakat madani adalah kewajaran,
kelayakan, proporsionalitas, dan resiprositas.
• Dalam mewujudkan masyarakat madani, dibutuhkan
manusia-manusia yang secara pribadi berpandangan
hidup dengan semangat ketuhanan, dengan konsekuensi
tindakan rahmatan lil alamaiin. Dalam Islam tidak ada
sistem keturunan, kesukuan, atau ras, yang ada adalah
sebuah ukhuwah islamiyah, persatuan antar umat Islam.
• Dalam rangka penegakan hukum dan keadilan, Nabi
SAW juga tidak membedakan antara orang atas dan
orang bawah. Sehingga keadilan yang dijunjung oleh
Nabi SAW adalah mengibaratkan seandainya Fatimah,
putri kesayangan beliau, melakukan kejahatan, maka
beliau sendiri yang akan memberikan hukuman sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
• Paham pluralisme atau kemajemukan masyarakat tidak
cukup hanya dengan sikap mengakui dan menerima
kenyataan masyarakat yang majemuk, tapi harus disertai
dengan sikap tulus untuk menerima kenyataan
kemajemukan itu adalah suatu hal yang positif.
• Pemahaman pluralisme harus diiringi dengan toleransi
yang memberikan penilaian bahwa merupakan suatu
kewajiban untuk melaksanakan ajarannya sendiri.
• Dasar toleransi dan pluralisme dalam Piagam Madinah,
diambil dari konsep Al Qur’an yang mengajarkan tidak
adanya paksaan dalam agama, sehingga bisa memilih
dan bertanggung jawab dengan dasar kebenaran (QS. Al
Baqarah: 256).
• Keberadaan manusia dalam sebuah masyarakat yang
sangat plural mengharuskannya berinteraksi dengan baik.
Ajaran kemanusiaan yang suci membawa konsekuensi
bahwa kita harus melihat sesama manusia secara optimis
dan positif dengan berprasangka baik (husn al-adzan).
• Berdasarkan pandangan kemanusiaan yang optimis –
positif tersebut, kita harus memandang bahwa setiap
orang mempunyai potensi yang baik dan benar sehingga
pendapat-pendapatnya layak untuk didengar.
3. Peran Umat Muslim Mewujudkan Masyarakat Madani.
• Salah satu jalan peran umat Islam mewujudkan
masyarakat madani adalah meningkatkan SDM kaum
muslimin dengan jalur pendidikan (mempunyai lembaga
pendidikan unggulan).
• Kita semua prihatin dengan adanya sinyalemen bahwa
lembaga pendidikan Islam masih ketinggalan baik sistem
maupun output yang dihasilkannya. Mulai abad XIV sampai
sekarang masih sangat kecil sumber daya manusia (baca :
muslim) yang menguasai IPTEK.
• Terjadinya kemunduran tersebut disebabkan oleh adanya
penerapan program pendidikan di lembaga-lembaga
pendidikan Islam yang dikotomi, pemisahan antara ilmu-
ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Lahirnya pemikiran
tersebut sangat berpengaruh pada pelaksanaan pendidikan
di lembaga-lembaga pendidikan Islam sampai sekarang.
• Sehingga ada beberapa kalangan memunculkan gagasan
perlunya islamisasi ilmu-ilmu umum (islamisasi sains).
Padahal menurut kami tidak ada istilah ilmu-ilmu umum dan
agama, sebab semua ilmu itu Islam, sebagaimana firman
Allah: Al-Mujadalah (58) : 11, Al-ra’ad (13) : 3-4, Yunus (10) :
101, Ali Imron (3) : 190 – 191.

B. KESEJAHTERAAN UMAT
“Sejahtera” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah “aman, sentosa dan makmur; selamat (terlepas) dari
segala macam gangguan, kesukaran dan sebagainya”.
Dengan demikian kesejahteraan sosial, merupakan keadaan
masyarakat yang sejahtera. Sebagian pakar menyatakan
bahwa kesejahteraan sosial didambakan Al-Qur’an
tercermin dari surga yang dihuni oleh Adam dan istrinya,
sesaat sebelum turunnya mereka melaksanakan tugas
kekhalifahan di bumi.
• Kesejahteraan surgawi dilukiskan antara lain dalam
peringatan Allah kepada Adam :
• Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu
dan bagi istrimu, maka sekali-kali jangan sampai ia
mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang akibatnya
engkau akan bersusah payah. Sesungguhnya engkau
tidak akan kelaparan disini (surga), tidak pula akan
telanjang, dan sesungguhnya engkau tidak akan merasa
dahaga maupun kepanasan. (QS. Thaha (20) : 117-119).
• Dari ayat diatas ini jelas bahwa pangan, sandang dan
papan yang diistilahkan dengan tidak lapar, dahaga,
telanjang dan kepanasan semuanya telah terpenuhi
disana. Terpenuhinya kebutuhan ini merupakan unsur
pertama dan utama kesejahteraan sosial.
• Dari ayat lain diperoleh informasi bahwa masyarakat di
surga hidup dalam suasana damai, harmonis, tidak
terdapat suatu dosa, dan tidak ada sesuatu yang tidak
wajar, serta tiada pengangguran ataupun sesuatu yang
sia-sia :
• Mereka tidak mendengar didalamnya (surga) perkataan
sia-sia; tidak pula (terdengar adanya) dosa, tetapi ucapan
salam dan salam (sikap damai). (QS. Al-Waqi’ah (52): 25
dan 26)
• Mereka hidup bahagia bersama sanak keluarganya yang
beriman (Baca Surat Yasin (36): 55-58, dan Al-Thur (52) :
21).
• Adam bersama istrinya diharapkan dapat mewujudkan
bayang-bayang surga itu di permukaan bumi ini dengan
usaha sungguh-sungguh, berpedoman kepada petunjuk-
petunjuk ilahi.
• Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu (hai Adam,
setelah engkau berada di dunia, maka ikutilah). Maka
barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tiada
ketakutan menimpa mereka dan tiada pula kesedihan.
(QS. Al-Baqarah (2) : 38).
• Itulah rumusan kesejahteraan yang dikemukakan oleh Al-
qur’an. Rumusan ini dapat mencakup berbagai aspek
kesejahteraan sosial yang pada kenyataannya dapat
menyempit atau meluas sesuai dengan kondisi pribadi,
masyarakat serta perkembangan zaman.
• Untuk masa kini, kita dapat berkata bahwa yang sejahtera
adalah yang terhindar dari rasa takut terhadap
penindasan, kelaparan, dahaga, penyakit, kebodohan,
masa depan dirinya, sanak keluarga, bahkan lingkungan.
• Kesejahteraan sosial dimulai dari kesadaran bahwa
pilihan Allah apa pun bentuknya, setelah usaha maksimal
adalah pilihan terbaik, dan selalu mengandung hikmah.
Karena itu Allah memerintahkan kepada manusia
berusaha semaksimal mungkin, kemudian berserah diri
kepada-Nya, disertai kesadaran bahwa :
• Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi, dan
tidak pula pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis di
dalam kitab (Lauhul Mahfudzh) sebelum Kami
menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu
mudah bagi Allah. (Kami jelaskan ini) supaya kamu
jangan berduka cita terhadap sesuatu yang luput dari
kamu, dan jangan juga terlalu gembira (melampaui
batas) terhadap hal yang diberikannya kepada kamu……
(QS. Al-Hadid (57): 22-23)

Você também pode gostar