BAB III BUKU KESATU KUHP Dalam teori Hk pidana , alasan yg menghapuskan pidana dibedakan: 1. alasan pembenar, alasan yg menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, shgg yg dilakukan terdakwa dianggap patut dan benar 2. Alasan pemaaf, alasan yg menhapuskan kesalahan. Perbuatan yg dilakukan terdakwa tetap bersifat melawaan hukum, (melakukan perbuatan pidana) ttp tdk dipidana kr tdk ada kesalahan 3. Alasan penghapus penuntutan. Persoalannya bukan terletak pada ada atau tidaknya alasan pembenat/alasan pemaaf. Yg menjadi pertimbangan adalah kepentingan umum, dasarnya adalah utilitas atau kemanfaatan. ALASAN PENGHAPUS PIDANA MENURUT MVT
a. Alasan –alasan yg terdpt dlm batin terdakwa, yaitu
Pasal 44 kUHP b. Alasan-alasan di luar, yaitu Pasal-pasal 48-51 Catatan: dalam teori pembagian sep dilakukan MvT tdk ada yan memakainya sebab tidak tepat Selain alasan penghapus pidana yg umum (Bab III, Buku I KUHP, dalam Buku II masih ada alasan penghapus pidana yang khusus yaitu hanya berlaku pada perbuatan tertentu saja, misalnya Pasal 310 (3) Yang termasuk alasan pembenar adalah: Pasal 49 ayat (1), Pembelaan terpaksa “Noodweer”
Pasal 50, melaksanakan ketentuan UU
Pasal 51, melaksanakan perintah jabatan.
Yang termasuk alasan Pemaaf:
• Pasal 49 ayat (2), pembelaan yang melampaui batas.
Yang termasuk alasan penghapus penuntutan:
• Pasal 51 ayat (2), perintah jabatan tanpa wenang DAYA PAKSA (PASAL 48)
Belum ada kesatuan pendapat,
1. Ada yang mengatakan sbg alasan pembenar dan 2. ada yang mengatakan sbg alasan pemaaf 3. Mungkin alasan pembenar dan mungkin pula alasan pemaaf. DAYA PAKSA (OVERMACHT) Pasal 48: ”barangsiapa melakukan perbuatan karena ;pengaruh daya paksa tidak dipidana”. Overmacht = kekuatan atau daya yang lebih besar Apakah daya paksa merupakan paksaan fisik ataukah psikis ? Kekuatan fisik yang mutlak tidak dapat dihindarkan (vis absoluta) Kekuatan psikis (vis compulsiva) Umumnya, Vis absoluta tidak termasuk dalam Pasal 48, tetapi hanya vis compulsiva, sebab pada vis absoluta orang yang berbuat bukan yang terkena paksaan, ttp yang memberi paksaan fisik.
Pada vis compulsiva, dibagi dalam:
1. Daya paksa dalam arti sempit (sumber paksaan keluar dari orang lain ); inisiatif 2. Keadaan darurat (noodtoestand), tidak disebabkan orang lain ttp timbul dr keadaan yang tertentu. CONTOH DAYA PAKSA DALAM ARTI SEMPIT ORANG YANG DITODONG DENGAN PISTOL UNTUK MELAKUKAN PERBUATAN Dalam keadaan darurat ada 3 kemungkinan a. Orang yang terjepit antara 2 kepentingan, contohnya : papan Karnaedes b. Orang yang terjepit antara kepentingan dan kewajiban, ada konflik antara kepentingan dan kewajiban. Contoh: mecuri karena lapar c. Ada konflik antara 2 kewajiban, contoh: menjadi saksi di dua tempat dalam waktu yang sama. POMPE, DALAM KEADAAN DARURAT DIBAGI DALAM 2 GOLONGAN :
1. Ada konflik antara kepentingan dan kewajiban dan ;
2. konflik antara dua kewajiban . Dalam kasus papan Karnaedes, dianggap masuk dalam konflik antara kepentingan dan kewajiban. APAKAH DAYA PAKSA ALASAN PEMBENAR ATAUKAH ALASAN PEMAAF
Van Hamel, Pompe dan Jonkers: merupakan
alasan pembenar. Perbuatan pidana yang dilakukan karena daya paksa dianggap benar. SIMONS, harus dipisahkan antara daya paksa sempit (merupakan alasan pemaaf) dan keadaan darurat ( yang hapus sifat melawan hukum perbuatan=alasan pembenar) yang didukung Noyon-Langemeyer dan Hazewinkel-Suringa van Hattum, Pasal 48 adl Alasan Pemaaf MOELJATNO MENYETUJUI PANDANGAN VAN HATTUM
Perbuatan yang dilakukan karena daya paksa ,
fungsi bathin tidak bekerja secara normal karena tekanan dari luar, dapat dimaafkan kesalahannya. Persoalannya, seberapa besar tekanan bathin dari luar utk dikatakan ada daya paksa yang akibatnya kesalahannya dimaafkan? Hal ini tdk mungkin ditentukan secara umum, ttp harus dilihat secara kasuistis, tergantung dari sikap hakim, Hal tsb dapat dipertimbangkan dalam pengurangan pidana yang akan dijatuhkan PEMBELAAN TERPAKSA (NOODWEER) Pasal 49 ayat (1): “barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan karena ada serangan atau ancaman serangan seketika itu yang melawan hukum thd diri sendiri maupun orang lain, tidak dipidana” Persoalannya: 1. apakah perbuatan hrs merupakan pembelaan (harus ada hal-hal memaksa dilakukannya perbuatan yang dirumuskan”sbg serangan atau ancaman serangan” Terpaksa melakukan pembelaan (Moeljatno) ada 3 pengertian: 1. Harus ada serangan atau ancaman serangan; 2. Harus ada jalan lain ut menghalau serangan/ ancaman serangan pada saat itu dan 3. Perbuatan pembelaan harus seimbang dengan sifat serangan/ancaman serangan. Moejatno: pembelaan itu harus masuk akal dan caranya harus seimbang dengan sifat serangannya. Contoh:orang yg memasang perangkap ikan dan mengenai pencuri hingga buta tdk dapat mendalilkan Pasal 49 ayat (1) 2. KEPENTINGAN HUKUM MACAM APAKAH YG HARUS DISERANG SHGG BOLEH MELAKUKAN PEMBELAAN
Ada 3 hal,masing2 baik kepunyaan sendiri maupun
orang lain, yi: a. Diri sendiri atau badan orang; b. Kehormatan, kesusilaan, c. Harta benda orang 3. SERANGAN HARUS BERSIFAT MELAWAN HUKUM, HANYA THD SERANGAN YG MELAWAN HUKUM ORANG YG TERKENA BERHAK UT MENGADAKAN PEMBELAAN
Bagaimana kalau orang mengira ada serangan itu
melawan hukum nyatanya tidak. Berarti tidak ada alasan pembenar. Perbuatan tsb tetap keliru, thd pelakunya dpt dikurangi pidananya. PASAL 49 AYAT (2)”PEMBELAAN TERPAKSA (NOODWEER-EKSES)”
Ada serangan yang bersifat melawan hukum, tetapi
reaksinya berlebihan dan tidak seimbang dengan sifat serangan. Terdakwa hanya dpt dihindarkan dr pidana apbl hakim menerima bhw eksesnya tadi:” langsung disebabkan oleh goncangan jiwa yg hebat”, shgg adanya tekanan dr luar b itu fungsi bathinnya tidak normal, hal yg menyebabkan ada alasan pemaaf. Arti keguncangan jiwa yang hebat:
Engerbrecht: karena sangat panas hatinya,
Dalam buku Schravendijk (yg diikuti oleh M. Ismail dan R Mangkuningrat) : karena perasaan tergoncang sangat Hazewinkel-Suringa: keguncangan jiwa yang hebat meliputi rasa takut,bingung dan marah , heran sekali. MELAKSANAAN PERINTAH UU DAN PERINTAH JABATAN
Pasal 50: “barangsiapa melakukan perbuatan
utk melaksanakan UU tidak dipidana” Pasal 51 ayat (1) “barangsiapa melakukan perbuatan utk melaksanakan perintah jabatan yg diberikan oleh penguasa yang wenang, tidak dipidana Kedua hal tsb ada alasan pembenar, shgg apa yang dilakukan terdakwa adalah benar PASAL 51 AYAT (2), PERINTAH JABATAN YG TDK WENANG TDK MENYEBABKAN HAPUSNYA PIDANA
Maksud tanpa wenang dihubungkan dg perintah
jabatan, mungkin ada 2 kemungkinan: 1. pembesar yg memberi perintah tdk berhak utk itu; 2. Perintah macam itu tdk termasuk dalam wewenangnya Utk dapat melepaskan orang yg diperintah dr pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya ada 2 syarat:
1. yang subjektif, dalam bathin orang yg diperintah
harus mengira bhw perintah tsb sah, baik dilihat dr segi pejabat yg mengeluarkan perintah maupun macam perintahnya 2, menurut fakta2 yg ada adl masuk akal jk terdakwwa mengira bhw perintah adl sah shgg apa yg diperintahkan scr objektif masuk dlm lingkungan pekerjaannya Contoh, agen polisi diperintah oleh atasannya untuk memukuli tahanan yang berteriak-teriak. Oleh karena tugas agen p[olisi bukan memukuli tahanan ttp hanya menangkap, menggeledah dan memeriksa perkaranya, maka yg diperintahkan tdk masuk dalam lingkungan pekerjaannya. APAKAH PASAL 49 AYAT (2) MERUPAKAN ALASAN PEMBENAR SEPERTI PADA AYAT (1)?
Sama sekali tidak, ini sbg konsekuensi bahwa kita
tdk menginginkan pelaksanaan perintah jabatan secara buta. Shgg tdk mungkin ada alasan pembenar, yg mungkin ada adl alasan pemaaf. Menurut Moeljatno, Ratio ayat (2), meskipun di satu sisi, pemerintah tdk ingin pejabatnya scr buta melaksanakan perintah yg diberikan kpd mereka, di sisi lain pemerintah juga menyadari tdk mungkin tiap-tiap perintah disertai bukti bhw perintah itu sah, yg berakibat roda pemerintahan tdk berjalan lancar maka di sini tdk mungkin ada alasan pemaaf (kr tdk ada tekanan batin dr luar seperti kalau menghadapi alasan pemaaf) Menurut Moeljatno, kl pemerintah memandang tdk baik kl ada pemidanaan didasarkan pertimbangan utilitas; Kalau ada pertimbangan utilitas arahnya pada alasan penghapus penuntutan , apbl hakim berpendapat demikian, maka dia menolak tuntutan jaksa utk mengadili perkara tsb., seperti kalau ada perkara pencurian di antara suami-isteri. Pasal 367 KUHP.