Você está na página 1de 17

ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

Disusun Oleh : M. Bayu Permana (207.112.035) Gerfil Icha Ariyanti (207.112.036) Yuni Safitri Daulay (207.112.039) Eka Mekarsari (207.112.040)

1. 2. 3. 4.

Pemerintah

Lingkungan

Sengketa

Konsumen

Buruh

Sengketa Dengan Pemerintah


Dalam persengketaan antara pemerintah dengan perusahaan membutuhkan banyak waktu dan sulit untuk dicarikan jalan keluarnya, karena antar pemerintah dengan perusahaan hanya dirinyalah yang paling benar. Ini tercermin pada persengketaan yang terjadi antara Perusahaan Batu Bara dengan pemerintah tentang pembagian royalti.

Sengketa Dengan Buruh


Pengusaha memberikan kebijakan yang menurut pertimbangannya membaik dan dapat diterima oleh buruh namun buruh yang bersangkutan mempunyai pertimbangan dan pandangan yang berbeda maka akibatnya kebijaksanaan yang diberikan oleh pengusaha itu tidak sama, buruh yang merasa tidak puas akan tetap bekerja dengan semakin bergairah sedangkan dengan buruh yang bersangkutan atau tidak puas akan menunjukan semangat kerja yang menurun hingga terjadi perselisihan.

Perselisihan buruh dibedakan antara : 1. Perselisihan hak perselisihan yang timbul karena salah satu pihak tidak memenuhi isi perjanjian kerja, perjanjian perburuhan, peraturan majikan ataupun menyalahi ketentuan hukum. 2. Perselisihan Kepentingan Perselisihan yang terjadi akibat dari perubahan syaratsyarat perburuhan atau dengan kata lain perselisiahan yang timbul berhubung dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai syarat-syarat kerja atau keadaan perburuhan

1. Cara penyelesaian perburuhan menurut UU Darurat tahun 1951 adalah sebagai berikut : I.a. Perselisihan oleh pihak-pihak yang berselisih atau oleh salah satu dari mereka. b. Jika pegawai perantara tersebut berpendapat bahwa perselisihan itu tidak dapat diselesaikan dengan perantara olehnya, perselisihan segera diserahkan kepada panitia daerah. c. Setelah menerima penyerahan perselisihan itu, panitia segera mengadakan perundingan dengan pihak-pihak yang berselisih dan mengusahakan penyelesaian secara damai. d. Jika kedua belah pihak atau salah satu pihak dalam 2x 24 jam tidak menyatakan sikapnya maka dipandang sebagai menolak putusan anjuran. e. Mentri perburuhan setelah menerima laporan atau penyerahan itu segera menyerahkan perselisihan itu kepada panitia pusat. f. Walaupun panitia pusat berwenang mengeluarkan putusan yang bersifat anjuran, namun biasanya ditetapkan putusan yang bersifat mengikat.

II. Jika berdasarkan laporan tentang akan diadakannya tindakan yang oleh ketua daerah disampaikan kepada Menteri Perburuhan, mengenai suatu perusahaan yang amat penting sehingga perselisihan itu dapat membahayakan kepentingan negara atau kepentingan umum. III. Panitia pusat berhak menyerahkan suatu perselisihan kepada Menteri Perburuhan. 2. Cara penyelesaian perselisihan perburuhan menurut UU No.22 tahun 1957 : a. Penyelesaian Secara Sukarela Majikan dan buruh yang terlibatdalam perselisihan atas kehendak mereka sendiri dapat menyerahkan perselisihan mereka untuk diselesaikan oleh juru pemisah atau dewan pemisah. b. Penyelesaian Secara Wajib Jika suatu perselisihan tidak bisa di selesaikan secara damai, maka oleh para pihak atau salah satu pihak dari mereka harus memberitahukan keadaan tersebut kepada pegawai perantara.

Sengketa Lingkungan
A. Pengertian Berdasarkan pasal 30 ayat (1) UU No.23 tahun 1997 tentang pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) diatur mengenai penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.

B. Penyebab Terjadinya Sengketa Lingkungan Penyebabnya adalah : Pencemaran (terutama pencemaran air dan udara termasuk kebisingan) Perubahan tata guna lahan Gangguan keamanan dan kenyamanan C. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Penyelesaian sengketa lingkungan diatur dalam pasal 30,31,32, dan 33 UUPHL. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar pengadilan lebih menekankan kepada para pihak yang bersengketa untuk menentukan bentuk yang dipilih atau disepakati untuk dijadikan forum penyelesaian bersama.

Sengketa Dengan Konsumen


Sesuai dengan UU No.8 tahun 1999 setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada dilingkungan peradilan umum. Pelaku usaha juga bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkomsumsi barang atau jasa yang dihasilkan atau di perdagangkan.

Penyelesaian Sengketa Menurut UU No.30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa umum, Pasal 1 angka 1, arbitrase adalah : Cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. A. Dasar Pertimbangan Memilih Arbitrase Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan, adalah sebagai berikut : 1. Ketidak kepercayaan para pihak pada Pengadilan Negeri. 2. Prosesnya Cepat. 3. Dilakukan secara rahasia. 4. Bebas memilih Arbiter. 5. Diselesaikan oleh ahlinya. 6. Merupakan keputusan terakhir dan mengikat. 7. Biaya lebih murah. 8. Bebas memilih hukum yang diberlakukan.

B. Lembaga Arbitrase Ciri dari lembaga arbitrase institusional ini, yang dapat pula dikatakan sebagai perbedaannya dengan lembaga arbitrase ad hoc adalah sebagai berikut : 1. Arbitrase institusional sengaja didirikan untuk bersifat permanen, sedangkan arbitrase ad hoc sifatnya sementara dan akan bubar setelah perselisihan selesai diputus. 2. Arbitrase institusional sudah ada/sudah berdiri sebelum suatu perselisihan timbul, sedangkan arbitrase ad hoc didirikan setelah perselisihan timbul oleh pihak yang bersangkutan. 3. Karena bersifat permanen, Arbitrase institusional didirikan lengkap dengan susunan organisasi, tata cara pengangkatan arbiter dan tata cara pemeriksaan perselisihan yang pada umumnya tercantum dalam anggaran dasar pendirian lembaga tersebut, sedangkan pada arbitrase ad hoc tidak ada sama sekali.

C. Ruang Lingkup Arbitrase Ruang lingkup arbitrase menurut UU No.30 tahun 1999, jika dilihat dari pengertian arbitrase sebagaimana telah dikutip, ternyata cukuplah luas, yaitu semua jenis sengketa dalam bidang perperdataan. D. Dasar Hukum Berarbitrase Dasar hukumnya tersebut adalah : 1. UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum. 2. UU No.5 Tahun 1968 tentang Persetujuan atas Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan Antar Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal. 3. Keputusan Presiden No 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan Konvensi New York 1958. 4. Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 1990 mengenai Peraturan lebih lanjut tentang pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing.

E. Perjanjian Arbitrase Secara teoritis bentuk perjanjian Arbitrase itu dikenal dengan istilah sebagai berikut : 1. Akta kompromitendo adalah suatu klausa dalam perjanjian pokok dimana ditentukan bahwa para pihak diharuskan mengajukan perselisihannya kepada seorang atau majelis arbitrase. 2. Akta Kompromis adalah perjanjian kusus yang dibuat setelah terjadinya perselisihan guna mengatur tentang cara mengajukan perselisihan yang telah terjadi itu kepada seorang atau beberapa orang arbiter untuk diselesaikan. F. Prosedur Arbitrase Prosedur yang harus ditempuh adalah sebagai berikut : 1. Permohonan Arbitrase 2. Para pihak tidak menunjuk arbiter. 3. Proses pemeriksaan dan tenggang waktu yang diperlukan.

G. Pranata Alternatif Penyelesaian Sengketa Untuk menentukan apakah uatu putusan arbitrase itu arbitrase nasional dapat dilihat dari patokan berikut ni : Faktor wilayah dimana putusan dikeluarkan aturan yang dipergunakan untuk menyelesaikan perselisihan 1. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Nasional Untuk melaksanakan atau mengeksekusi putusan arbitrase adalah Pengadilan Negri, sedangkan majelis arbitrase yang mengeluarkan atau menjatuhkan putusan tidak memiliki kewenangan untuk memerintahkan dan menjalankan eksekusi (pelaksanaan putusan). 2. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional Dalam pasal 65 UU No.30 tahun 1999 dunyatakan bahwa yang berwenang menangani masalah pengakuan dalam pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah Pengadilan Negri Jakarta Pusat. Pasal 65 UU No.30 tahun 1999 menentukan bahwa putusan arbitrase internasional hanya diakui dan dapat dilaksanakan di wilayah RI apabila memenuhi syarat-syarat yang tela ditentukan.

H. Alternatif Penyelesaian Sengketa Pranata alternatif penyelesaian sengketa yang diperkenalkan oleh UU No.30 tahun 1999 sebagaimana datur dalam pasal 6 terdiri dari: 1. Penyelesaian yang dapat dilaksanakan sendiri oleh para pihak dalam Negosiasi. 2. Penyelesaian sengketa yang diselenggarakan melalui (dengan bantuan) pihak ketiga yang netral diluar para pihak yaitu dalam bentuk mediasi yang diatur dalam pasal 6 ayat (3), pasal 6 ayat (4) dan pasal 6 ayat (5) UU No.30 tahun 1999. 3. Penyelesaian melalui arbitrase.

Alternatif Penyelesaian Sengketa dapat diakukan melalui : 1. Konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat Personal antara suatu pihak tertentu, yang disebut dengan klien dengan pihak lain yang merupakan pihak Konsultan, yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut. 2. Negoisasai dan Perdamaian adalah suatu persetujuan dan dimana keduabelah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mecegah timbulnya suatu perkara. 3. Mediasi melibatkan pihak ketiga (baik perorangan maupun dalam bentuk suatu lembaga independent) yang bersifat netral dan tidak memihak dan ditunjuk oleh pihak (secara langsung maupun melalui lembaga mediasi), mediator itu berkewajiban untuk melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan pada kehendak para pihak. 4. Konsiliasi dan Perdamaian pada prinsipnya konsiliasi tidak berbeda jauh dengan perdamaian, sebagaimana diatur dalam pasal 1851 s/d 1854 bab ke 18 Buku III Kitab UU Hukum Perdata.

Você também pode gostar