Você está na página 1de 7

A teoria da guerra justa (inglês: just war) ou guerra legal, ou mais precisamente a

versia da guerra justa (Latim: jus bellum iustum), é uma doutrina, também chamada
de tradição, de ética militar estudada ,, porticólogosda formuladores de politicas e
líderes militares.

Teoria ne'ebe ho funu justu (inglés: Just war) ka funu legál, ka buat seluk tan ne'ebé
hakerek iha lia-latin: jus bellum I wrongm) katak doutrina ida-ne'ebé bolu mós
hanesan tradisaun, ne'ebé estuda kona-ba formuladores politika étika militár no lider
militár sira nian.

O objetivo desta doutrina é distinguir entre meios justificáveis e injustificados de


usar uma força armada organizada. As teorias da guerra legítima buscam entender
como o uso de armas pode ser controlado, conduzido de forma mais humana e, em
última instância, direcionado aos esforços para criar paz e justiça duradouras.
Iha Doutrina ne'e nia objetivu mak atu la hanesan ho forsa Armada ne'ebé bele
justifika no la justu,iha Teoria Funu ne'ebé lejítima buka atu komprende no oinsá bele
kontrola arma sira,hala'o ema barak liu, no ikus mai dirije esforsu sira atu kria Paz no
Justisa ne'ebé bele sai dura ba nafatin.

A tradição da Guerra Legislativa discute a moralidade do uso da força em duas


partes: quando um partido pode ter justificativa para usar suas forças armadas (o
interesse jus ad bellum) e as formas em que deve ser usado (o interesse jus in bello)
.
Iha tradisaun funu Lejislativa diskute kona-ba moralidade ne'ebe uza iha forsa parte
rua: kuandu partidu ida uza ninian forsa armadu (Nia interese ba jus Ad bellum) no
maneira oinsá atu uza forsa ne'e (juros bello nian interese ne'e).
Nos anos mais recentes, surgiu uma terceira categoria - Jus post bellum, que regula
como uma guerra pode ser encerrada com justiça e um tratado de paz pode ser
alcançado, enquanto os criminosos de guerra também são julgados.
Iha tinan hirak nian liu ba ne'e, kategoria terseiru mosu - jus post bellum, ne'ebé
regula oinsá funu ne'e bele atinji no tratadu ba dame ne'ebe bele hetan, enkuantu
kriminozu funu nian sira mós bele prosesu ho Julga.

Doktrin tentang Perang yang Sah mempunyai akar yang sudah tua sekali. Nyanyian
Deboradalam Alkitab Ibrani dalam Kitab Hakim-hakim membahas konsep dari Zaman
Perunggu tentang apa yang membedakan perang suci "yang adil". Cicero membahas
gagasan ini beserta aplikasi-aplikasinya. Augustinus dari Hippo, Thomas
Aquinas dan Hugo Grotius belakangan menyusun suatu perangkat hukum untuk
Perang yang Sah, yang hingga masa kini masih mencakup pokok-pokok yang sering
diperdebatkan, dengan sejumlah modifikasi.
A doutrina da guerra legítima tem raízes muito antigas. A canção de Deborah na
Bíblia Hebraica no Livro dos Juízes discute o conceito da Idade do Bronze do que
constitui uma guerra santa "justa". Cícero discute essa ideia e suas aplicações.
Agostinho de Hipona, Tomás de Aquino e Hugo Grotius elaboraram posteriormente
um conjunto de leis para a guerra legítima, que até hoje cobre pontos
frequentemente debatidos, com uma série de modificações.
Mengapa Perang yang Sah dipandang perlu?
Selama beribu-ribu tahun, perang dianggap sebagai suatu peristiwa yang tidak
menyenangkan, memuakkan namun tidak terhindarkan. Dalam sejarah Barat, salah
satu pertanyaan yang terus-menerus diajukan ialah: dapatkah penggunaan kekerasan
dibenarkan secara moral untuk melindungi dan melestarikan nilai-nilai? Adakah
situasi-situasi atau kondisi-kondisi di mana membunuh dapat dianggap sebagai
suatu tuntutan moral? Bila membunuh dapat dibenarkan, apakah batasan-batasan
moral yang harus diberikan – apabila memang ada? Doktrin tentang Perang yang
Sah pada hakikatnya adalah suatu upaya untuk membenarkah peperangan, atau
suatu tindakan perang.
Sementara doktrin tentang Perang yang Sah beranggapan bahwa membunuh, dalam
pengertian umum, secara moral tidak dapat diterima, doktrin ini pun mengakui
bahwa perang antara negara tidak dapat dihindari dan akan menyebabkan kematian.
Doktrin tentang Perang yang Sah berusaha untuk mendefinisikan kondisi-kondisi
dan situasi-situasi di mana pembunuhan terhadap orang lain menjadi suatu
kewajiban moral. Kepedulian utama dari Doktrin tentang Perang yang Sah adalah
perlindungan terhadap mereka yang tidak bersalah (orang-orang yang tidak ikut
berperang), penyusunan aturan-aturan yang dapat meminimalkan kematian, dan
pelaksanaan perang di dalam batas-batas yang telah ditetapkan. Karena itu, Perang
yang Sah tidaklah semata-mata ditentukan oleh kriteria utilitarian semata-mata,
tetapi juga oleh sarana-sarananya, prinsip-prinsipnya, dan nilai-nilainya.

Menurut St. Agustinus


Santo Agustinus dari Hippo menegaskan bahwa hal ini adalah suatu sikap pribadi,
suatu pendirian filosofis:[1]
"Apa yang diperlukan di sini bukanlah tindakan fisik, tetapi suatu disposisi batin. Tahta suci
kebajikan adalah hati."

Meski demikian, ia menegaskan, kedamaiandalam menghadapi suatu kesalahan yang


berat dan serius, yang hanya dapat dihentikan melalui kekerasan, akan menjadi
suatu dosa. Pertahanan atas diri sendiri atau orang lain dapat menjadi suatu
keharusan, terutama jika diizinkan oleh suatu otoritas yang resmi dan sah:[2]
"Mereka yang telah berperang dalam ketaatan pada perintah ilahi, atau sejalan dengan
hukum-Nya, telah terwakili dalam diri mereka keadilan publik atau kebijaksanaan
pemerintah, dan dalam kapasitas ini telah membunuh orang-orang jahat; orang-orang tersebut
tidaklah berarti melanggar perintah, 'Jangan membunuh'."

Walau tidak merinci persyaratan yang dibutuhkan agar perang dapat dibenarkan,
yang biasa disebut dengan istilah just war(perang yang adil/sah), Agustinus
mengambil istilah tersebut dari karyanya sendiri Kota Allah:[2]
"Tetapi, kata mereka, orang bijak akan melancarkan perang yang adil (just war). Seolah ia
tidak akan lebih meratapi pentingnya perang yang adil, jika ia ingat bahwa ia seorang
manusia; karena jikalau tidak adil ia tidak akan melancarkannya, dan karena itu akan bebaslah
dari segala peperangan."

Sementara bagi seorang Kristen yang berada di bawah kekuasaan suatu


pemerintahan dan terlibat dalam perang yang tidak bermoral, Agustinus
memperingatkan bahwa orang-orang Kristiani, "menurut perintah ilahi, tidak
mempunyai pilihan selain tunduk pada para pimpinan politik mereka dan [harus]
berusaha untuk memastikan bahwa mereka menjalankan tugas mereka dalam
peperangan dengan seadil mungkin."[3]
Kapan suatu perang dapat dianggap sah berdasarkan
kriteria ini? (Jus ad bellum)
Dalam bahasa modern, agar suatu perang dapat dianggap sah maka ia harus
memenuhi kriteria berikut ini sebelum penggunaan kekerasan dapat
dilaksanakan (Jus ad bellum):
 Alasan yang Sah: Kekerasan hanya boleh digunakan untuk memperbaiki suatu kejahatan
publik yang parah (mis. pelanggaran hak-hak asasi seluruh populasi dalam skala yang parah)
atau sebagai upaya pembelaan diri;
 Perbandingan Keadilan: Sementara semua pihak yang terlibat konflik mungkin mempunyai
sisi-sisi yang benar dan salah, penggunaan kekerasan dapat dibenarkan ketidakadilan yang
diderita oleh salah satu pihak haruslah jauh melebihi penderitaan yang dialami oleh pihak
yang lainnya;
 Kekuasaan yang Sah: Hanya penguasayang diakui sah oleh masyarakat yang boleh
menggunakan kekerasan yang mematikan atau menyatakan perang;
 Niat yang Benar: Kekerasan hanya boleh digunakan dalam suatu alasan yang benar-benar
sah dan semata-mata untuk maksud itu saja; Memperbaiki kesalahan yang diderita oleh suatu
pihak dianggap sebagai niat yang benar, sementara keuntungan materi tidak.
 Probabilitas Keberhasilan: Senjata tidak boleh digunakan dalam usaha yang sia-sia atau
dalam kasus di mana langkah-langkah yang tidak proporsional dibutuhkan untuk mencapai
keberhasilan;
 Proporsionalitas: Kerusakan keseluruhan yang diperkirakan akan ditimbulkan dari
penggunaan kekerasan haruslah dikalahkan oleh kebaikan yang akan dicapai.[2]
 Upaya Terakhir: Kekerasan hanya boleh digunakan setelah semua alternatif perdamaian dan
upaya-upaya yang mungkin telah dengan sungguh-sungguh diusahakan dengan tuntas .
Perhatikan bahwa semua ini hanyalah kondisi-kondisi yang paling umum dikutip oleh
para teoretikus Perang yang Sah; sebagian orang (seperti misalnya Brian Orend)
menghilangkan Perbandingan Keadilan, karena menganggapnya sebagai lading yang
subur untuk dieksploitasi oleh rezim-rezim yang ingin mengadakan perang.
Melaksanakan suatu Perang yang Sah (Jus in Bello)
Sekali peperangan telah dimulai, Doktrin tentang Perang yang Sah juga
mengarahkan bagaimana para kombatan harus bertindak:Jus in bello
 Perilaku dalam Perang yang Sah conduct harus diatur oleh prinsip-prinsip pemilahan
(diskriminatif). Tindakan-tindakan perang harus diarahkan kepada pelaku tindakan yang
salah, dan bukan kepada warga sipilyang terjebak dalam keadaan-keadaan yang tidak mereka
ciptakan. Tindakan-tindakan yang dilarang termasuk pengeboman terhadap daerah hunian
warga sipil yang tidak mencakup target militer dan melakukan tindakan-tindakan terorisme
atau pembalasan terhadap warga sipil biasa. Sebagian orang percaya bahwa aturan ini
melarang senjata pemusnah massal dari jenis apapun, dengan alasan apapun seperti misalnya
penggunaan bom atom.
 Tingkah laku dalam Perang yang Sah harus dipimpin oleh prinsip proporsionalitas. Kekuatan
yang digunakan haruslah proporsional dengan kesalahan yang dialami, dan demi kebaikan
yang diharapkan akan dihasilkan. Semakin tidak proporsional jumlah kematian warga sipil
sebagai korban sampingan, semakin harus dicurigai ketulusan dari klaim suatu negara yang
berperang tentang keadilan dari perang yang dimulainya.
 Tingkah laku dalam Perang yang Sah harus diatur oleh prinsip kekuatan yang minimum.
Suatu tingkat kekuatan tertentu tidak boleh digunakan apabila tingkat kekuatan yang lebih
sedikit sudah cukup untuk mencapai tujuan-tujuan yang sama. Prinsip ini dimaksudkan untuk
membatasi kematian da n kehancuran yang berlebih-lebihan dan tidak perlu Ini berbeda
dengan proporsionalitas karena jumlah kekuatan yang proporsional dengan tujuan misinya
tidak boleh melampaui kekuatan yang dibutuhkan untuk mencapai misi tersebut.
 Siksaan Penyiksaan, terhadap para kombatan (prajurit yang ikut bertempur) atau non-
kombatan (warga sipil), dilarang.
 Tawanan perang harus diperlakukan dengan penuh hormat.
 Sepanjang sejarah banyak orang yang telah menganggap bahwa wajib militer paksa sebagai
suatu cara yang tidak adil, mis.
Memaksa orang untuk menyerahkan hidupnya, atau menimbulkan kematian dalam
cara yang berlawanan dengan kehendak mereka, atau tanpa keyakinan tentang
kebenaran tindakan mereka, adalah suatu tindakan yang merendahkan harkat
kemanusiaan.

Mengakhiri suatu Perang: Jus Post Bellum


Pada tahun-tahun belakangan, sebagian teoretikus telah mengusulkan kategori yang
ketiga di dalam Doktrin tentang Perang yang Sah. Jus post bellum berkaitan dengan
pengaturan tentang proses mengakhiri perang, dan transisi dari perang menuju
perdamaian. Salah satu adri penganjur utama dari jus post bellum ini adalah Brian
Orend, yang mengusulkan aturan-aturan berikut:
 Alasan yang sah untuk mengakhiri – Sebuah negara dapat mengakhiri suatu peperangan
apabila pembalasan terhadap hak-hak yang pertama-tama dilanggar itu sudah, dan bila si
agresor bersedia merundingkan syarat-syarat penyerahan. Syarat-syarat penyerahan itu
mencakup permintaan maaf yang resmi, pembayaran ganti rugi, pengadilan terhadap
kejahatan-kejahatan perang, dan barangkali juga rehabilitasi.
 Niat yang benar – Suatu negara hanya boleh mengakhiri suatu peperangan di bawah kondisi-
kondisi yang telah disepakati berdasarkan kriteria-kriteria di atas. Pembalasan tidak diizinkan.
Negara yang menang juga harus bersedia memberlakukan objektivitas dan investigasi pada
tingkat yang sama terhadap kejahatan-kejahatan perang apapun yang mungkin telah dilakukan
oleh pasukan-pasukannya.
 Pernyataan umum dan kekuasaan – Syarat-syarat perdamaian harus dibuat oleh kekuasaan
yang sah, dan syarat-syarat itu harus diterima oleh kekuasaan yang sah.
 Diskriminasi – Negara yang menang harus melakukan pembedaan antara para pemimpin
politik dan militer, dan antara kombatan dan warga sipil. Langkah-langkah penghukuman
harus dibatasi hanya kepada mereka yang secara langsung bertanggung jawab atas konflik itu.
 Proporsionalitas – Syarat-syarat apapun untuk penyerahan diri haruslah proporsional dengan
hak-hak yang pertama-tama dilanggar. Syarat-syarat yang kejam, tindakan-tindakan
absolusionis, dan upaya apapun yang menyangkal hak-hak dari negara yang telah menyerah
untuk ikut serta dalam komunitas dunia tidak diizinkan.
Tantangan
Telah muncul sejumlah teori yang menantang Doktrin tentang Perang yang Sah.
Sebagian juga mencatat bahwa Doktrin tentang Perang yang Sah tidak praktis dalam
situasi-situasi perang sungguhan.

Doktrin-doktrin alternatifSunting
 Realisme – Proposisi inti realisme adalah skeptisisme tentang apakah konsep-konsep moral
seperti keadilan dapat diterapkan pada perilaku dalam masalah-masalah internasional. Para
penganjur realisme percaya bahwa konsep-konsep moral tidak boleh sekali-kali menjadi dasar
atau membatasi perilaku suatu negara. Sebaliknya, negara harus mengutamakan keamanan
negara dan kepentingan dirinya. Salah satu bentuk dari realisme - realisme descriptive –
menyatakan bahwa negara tidak dapat bertindak secara moral, sementara bentuk yang lainnya
– realisme prescriptif – berpendapat bahwa faktor-faktor yang memotivasi negara adalah
kepentingan dirinya sendiri.
 Pasifisme – Pasifisme adalah keyakinan bahwa perang seperti apapun secara moral tidak sah.
Sebuah argumen yang diajukan oleh kaum pasifis untuk menentang Doktrin tentang Perang
yang Sah ialah bahwa doktrin itu membela perlindungan dan kesucian nyawa orang yang
tidak bersalah, namun dalam suatu peeprangan nyawa orang-orang yang tidak bersalah tidak
dapat dijamin perlindungannya. Karenanya, bila nyawa orang-orang yang tidak bersalah tidak
dapat dijamin, perang pun tidak dapat dianggap sah dengan alasan apapun juga.
 Perang yang "Sah" yang melanggar prinsip-prinsip Perang yang Sah. Banyak ideologi yang
sepakat dengan tradisi bahwa perang hanya boleh dilakukan dengan Alasan yang Sah (Just
Cause) tetapi menolak sebagian besar atau bahkan semua criteria lainnya dari tradisi ini.
Tradisi Marxis dapat dilihat sebagai bagian dari kategori ini. Bagi kaum Marxis satu-satunya
kriteria yang menentukan ialah apakah suatu perang itu "progresif" (artinya, sah menurut
pengertian mereka) sementara seberapa mahalnya perang itu tidaklah relevan. Husayn bin
Aliterkenal karena usahanya ketika ia menyatakan klaimnya atas jabatan kalifah sah,
meskipun pada kenyataannya pemberontakannya sudah pasti akan gagal. Namun menurut
kriteria tradisi Perang yang Sah, pemberontakan Husayn adalah suatu Perang yang Tidak Sah
karena melanggar prinsip bahwa perang itu harus memiliki alasan yang cukup masuk akal
untuk berhasil.
 Absolutisme - Absolutisme berpendapat bahwa ada berbagai aturan etis yang, sesuai dengan
namanya, mutlak atau absolut. Melanggar aturan-aturan moral itu tidak pernah sah dan
karenanya tidak akan pernah dapat dibenarkan. Filsuf Thomas Nagel terkenal sebagai
pendukung pandangan ini, karena ia pernah membela pandangan ini dalam esainya “Perang
dan Pembantaian”.
 Militerisme - Militerisme merujuk kepada keyakinan bahwa perang tertentu pada dasarnya
tidak buruk, dan sebaliknya dapat membawa manfaat kepada masyarakat. Namun teori ini
tidak banyak diikuti oleh kebanyakan teoretikus arus utama.
 Revolusi dan perang saudara - Doktrin tentang Perang yang Sah menyatakan bahwa hanya
pemerintah yang sah saja yang boleh melakukan perang. Namun hal ini tidak memberikan
banyak ruang untuk perang kemerdekaan atau perang saudara, di mana suatu badan yang
tidak sah dapat mengumumkan perang karena alasan-alasan yang cocok dengan kriteria
lainnya dari Doktrin tentang Perang yang Sah.
Doktrin tentang Perang yang Sah dan Situasi perang yang
sesungguhnyaSunting
 Sementara mereka yang terlibat dalam perang secara moral bertanggung jawab untuk
membedakan antara tentara lawan dan warga sipil yang tidak berperang, adakalanya
pembedaan itu tidak mugkin dilakukan. Taktik-taktik seperti “tembakan untuk memastikan”
atau “tepukan ganda” - ketika pasukan menembak tentara musuh yang telah jatuh – untuk
mencegah kejadian apapun yang mungkin dapat mengacaukan keamanan mereka, melanggar
aturan-aturan perang. Sementara tentara, ketika menemui prajurit lawan yang terluka,
diperintahkan untuk melucui prajurit itu, memeriksa status medisnya dan meminta bantuan
medis, adakalanya hal-hal seperti itu justru menempatkan tentara-tentara itu dalam keadaan
yang sangat berbahaya. Ada pula ancaman bahaya bahwa tentara musuh itu menyerang
pasukan-pasukan tersebut, misalnya menembak mereka dari belakang.

 Dalam peperangan modern, proporsionalitas, seperti yang digambarkan dalam jus in


bello bisa sulit dicapai, karena adanya kecenderungan ut menempatkan target-target militer di
wilayah sipil. Karena itu, adakalanya korban di pihak sipil terjadi. Kriteria proporsionalitas
menggunakan konsep “dampak ganda” – artinya, orang dapat melakukan operasi-operasi
militer yang ditujukan kepada sasaran-sasaran atau target-target objektif, meskipun operasi itu
dapat menimbulkan konsekuensi-konsekuensi negatif, seperti misalnya korban di pihak sipil.
Konsekuensi-konsekuensi negatif itu harus proporsional dengan keuntungan militer. Para
pemikir dalam tradisi Perang yang Sah akan menerima bahwa ada ambang yang di luarnya
konsekuensi-konsekuensi negatif mengalahkan pertimbangan-pertimbangan lainnya, bahkan
bahaya kemungkinan kalah. Para teoretikus berbeda pendapat tentang seberapa ketat kriteria-
kriteria Perang yang Sah harus ditafsirkan pada butir ini.
Teoretikus Perang yang Sah
Teoretikus Perang yang SahSunting
 Cicero (106 SM-43 SM)
 Augustinus dari Hippo (354-430)
 St. Thomas Aquinas (1225-1274)
 Stanislaw dari Skarbimierz (1360-1431)
 Francisco de Vitoria (1492-1546)
 Francisco Suarez (1548-1617)
 Hugo Grotius (1583-1645)
 Baron von Pufendorf (1632-1694)
 Emerich de Vattel (1714-1767)
 Reinhold Niebuhr (1892-1971)
 H. Richard Niebuhr (1894-1962)
 Paul Tillich (1886-1965)
 Paul Ramsey (1913-1988)
 Michael Walzer (1935-)
 Timothy P. Jackson (1954-)
 Brian Orend (1970-)
Pranala luarSunting
Wikiquote memiliki koleksi kutipan yang
berkaitan dengan:

Just war theory

 Theories of A Just War Pranala ke tulisan-tulisan Augustinus, Aquinas, Kant, dan William


James, dll.
 Sumber-sumber tentang Doktrin Perang yang Sah Diarsipkan 2006-10-07 di Wayback
Machine.
 "Apakah berperang itu selalu berdosa?", dari Summa Theologiae
 "JustWarTheory.com", bimbingan gratis dan nir-laba di internet tentang pengajaran dan
penelitian mengenai teori Perang yang Sah.
 Doktrin Perang yang Sah dan penerapannya dalam hukum internasional saat ini
 Intervensi kemanusiaan dan Perang yang Sah Diarsipkan 2014-02-02 di Wayback Machine.
 Teori Perang yang Sah - suatu tinjauan
 Just War, As It Was and Is: J.T. Johnson
Small, Brad. Thomas Aquinas "The Just War Theory" The Lincoln-Douglas Great
Philosopher Library Series
Yang menentangSunting
 A New Way Diarsipkan 2007-12-11 di Wayback Machine.
 A Critique of the Just War Theory
 v. Starck, Christian (Hrsg.): Kann es heute noch gerechte Kriege geben?, Wallstein-Verlag
2008
https://id.wikipedia.org/wiki/Teori_perang_yang_bena
r.
Hukum perang (bahasa Inggris: laws of war) adalah sebuah komponen hukum
internasional yang mengatur mengenai syarat-syarat untuk berperang (jus ad bellum) dan
tindakan-tindakan yang diizinkan dalam keadaan perang (jus in bello).

Você também pode gostar